• Tidak ada hasil yang ditemukan

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI 615.1

Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat p Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Pedoman penerapan kajian Farmakoekonomi,-- Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

2012

ISBN 978-602-235-207-5

(3)

PEDOMAN PENERAPAN

KAJIAN FARMAKOEKONOMI

KEMENTERIAN KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

(4)

PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI

TIM PENYUSUN

Pengarah :

Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes Penanggung Jawab : Dra. Engko Sosialisne M.,Apt

Narasumber/Ahli :

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH Ahmad Fuad Afdhal. Ph.D

dr. Jarir At Thobari, Ph.D Pelaksana : dr. Zorni Fadia

Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM Rengganis Pranandari, S.Farm, Apt

Dina Sintia Pamela, S.Si, Apt Dra. Agusdini B. Saptaningsih, Apt, MARS

Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt Yusi Anggriani, Apt, M.Si

Vetty Yulianti, M.Si, Apt Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Helsy Pahlemi, Apt, M.Si Roy Himawan, S.Farm, Apt

Editor :

Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt dr. Zorni Fadia

(5)

KATA PENGANTAR

Memperhitungkan biaya obat dalam upaya mengendalikan biaya kesehatan merupakan hal penting dalam pembangunan kesehatan. Untuk menganalisa biaya obat dalam dekade terakhir ini ilmu farmakoekonomi telah semakin berkembang, termasuk di negara – negara Asia-Pasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan dimasukkan dalam daftar obat yang digunakan dalam jaminan kesehatan masyarakat, daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat.

Dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2014, termasuk untuk jaminan kesehatan, dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Sehingga penerapan hasil kajian farmakoekonomi dalam pemilihan dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh Pemerintah, namun juga bagi industri, pendidikan, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada tahun 2011, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian telah menyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan. Pedoman ini merupakan langkah awal dari pemerintah dalam menerapkan ilmu farmakoekonomi dalam pengambilan keputusan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Pedoman ini. Semoga Pedoman ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi dan referensi yang mendasar tentang kajian farmakoekonomi bagi pihak yang membutuhkan. Diharapkan Pedoman ini dapat dikembangkan lebih lanjut agar penerapan kajian farmakoekonomi dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan akan optimal, sehingga Visi “Masyarakat Sehat dan Berkeadilan” dapat terwujud.

(6)

ii | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL

BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Visi ‘Mewujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan

Berkeadilan’ menjadi arah setiap kebijakan Kementerian

Kesehatan RI dalam melaksanakan pembangunan kesehatan

untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya. Pencapaian visi ini didukung dengan strategi

meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan

obat dan alat kesehatan, terutama dalam rangka mendukung

peningkatan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau,

bermutu, berkeadilan dan berbasis bukti. Penyusunan buku

Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini merupakan salah

satu implementasi dari strategi tersebut.

Farmakoekonomi telah tumbuh menjadi salah satu metode

yang senantiasa diperhatikan dalam penyusunan standar-standar

pengobatan, terutama bila menggunakan pembiayaan dari pihak

ketiga (misalnya asuransi, jaminan kesehatan masyarakat, dan

lain-lain). Metode ini memungkinkan pengambil kebijakan kesehatan

membuat keputusan terkait obat dan juga untuk berbagai intervensi

kesehatan lainnya- yang memiliki nilai efektivitas sebanding dengan

biayanya, terutama dalam perspektif kesehatan masyarakat.

Pemilihan obat yang cost-effective memungkinkan penggunaan

dana pelayanan kesehatan dengan lebih rasional, sehingga kualitas

maupun cakupan pelayanan dapat semakin ditingkatkan.

Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi merupakan

acuan yang dapat dimanfaatkan oleh penyelenggara pelayanan

kesehatan agar pelayanan kesehatan berkualitas, menyeluruh,

dan berkesinambungan. Buku ini disusun dengan upaya

semaksimal mungkin untuk dapat dimengerti oleh setiap tenaga

kesehatan yang bergerak di bidang pelayanan, termasuk oleh

tenaga kefarmasian. Dengan demikian, diharapkan buku ini dapat

menjadi pembuka jalan penerapan aspek farmakoekonomi dalam

pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat atau menjadi literatur

yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu farmakoekonomi di

(7)

Indonesia.

Saya berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat

dalam penyusunan pedoman ini. Melalui penggunaan obat berbasis

farmakoekonomi, pengendalian biaya pelayanan kesehatan yang

seimbang dengan luaran (outcome) terapi akan lebih mudah

dilakukan, sehingga semakin mewujudkan

Masyarakat Sehat

yang Mandiri dan Berkeadilan.

(8)

iv | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar--- i

Sambutan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan--- ii

Daftar Isi--- iv

Daftar Tabel--- vi

Daftar Gambar--- vii

BAB I. PENDAHULUAN--- 1 1.1 Latar Belakang--- 1 1.2 Tujuan--- 3 1.3 Sasaran--- 3 1.4 Ruang Lingkup--- 4 1.5 Publikasi--- 5 1.6 Pengertian--- 5

BAB II. TINJAUAN TEORI FARMAKOEKONOMI--- 9

2.1 Perspektif Penilaian--- 10

2.2 Hasil Pengobatan (outcome)--- 11

2.3 Biaya--- 12

2.4 Metode Kajian Farmakoekonomi--- 16

2.5 Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB)--- 17

2.6 Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)--- 18

2.7 Analisis Utilitas-Biaya (AUB)--- 23

2.8 Analisis Manfaat-Biaya--- 26

2.9 Penyesuaian Nilai (Discounting)--- 27

2.10 Analisis Sensitivitas--- 28

BAB III. PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DI INDONESIA--- 31

3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Kajian Farmakoekonomi-- 33

3.1.1 Tahap Persiapan--- 33

3.1.2 Tahap Analisis--- 34

3.2 Contoh Penerapan Kajian Farmakoekonomi--- 36

3.2.1 Analisis Minimalisasi Biaya--- 36

3.2.2 Analisis Efektivitas-Biaya--- 37

(9)

BAB IV. INSTRUMEN KAJIAN FARMAKOEKONOMI--- 45 DAFTAR PUSTAKA--- 51 LAMPIRAN--- 53 Lampiran 1 : SK Dirjen Binfar dan Alkes Nomor HK.03.05/III/502.1/2011

tentang Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian

Farmakoekonomi--- 53 Lampiran 2 : Contoh Formulir Perhitungan Biaya Akibat Sakit--- 58 Lampiran 3 : Daftar Beberapa Alamat Situs Internet Untuk Penelusuran

Jurnal/ Bukti Ilmiah--- 59 Lampiran 4 : Critical Appraisal Worksheet for Economic Analysis--- 60 Lampiran 5 : Critical Appraisal Checklist for Economic Evaluations --- 65 Lampiran 6 : Daftar Narasumber dan Peserta Rapat Finalisasi Pedoman

(10)

vi | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis Biaya menurut Perspektif--- 11

Tabel 2.2 Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi--- 16

Tabel 2.3 Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-Biaya--- 21

Tabel 2.4 Contoh Perhitungan RIEB--- 23

Tabel 2.5 Perhitungan Penyesuaian Nilai--- 28

Tabel 3.1 Contoh Perhitungan AMiB--- 31

Tabel 3.2 Langkah Perhitungan Analisis Efektivitas-Biaya--- 38

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Efektivitas-Biaya--- 22 Gambar 2.2 Diagram JTKD/QALY (Quality-adjusted life years)--- 25

(12)
(13)

BAB I

(14)
(15)

1. 1 Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Sebagai anggota dari komunitas peradaban dunia, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 2000–2015. Komitmen pencapaian MDGs ini telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan periode 2010–2014.

Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan beban ganda penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai.

Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan anggaran tersebut membuat pencapaian target MDGs, bahkan upaya pembangunan kesehatan secara umum, menghadapi kendala. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan reformasi di bidang kesehatan, termasuk reformasi pembiayaan kesehatan.

Reformasi Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu prioritas nasional dijabarkan dalam beberapa area perubahan yang antara lain meliputi pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pelayanan medis dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar promotif dan preventif; penyediaan obat esensial KIA/KB, malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS, dan penyakit lainnya; serta penyediaan sumberdaya kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar. Titik tolak reformasi kesehatan yang dilakukan

BAB

PENDAHULUAN

(16)

2 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

secara terpadu tersebut adalah untuk meniadakan, atau setidaknya mempersempit, disparitas derajat kesehatan di antara berbagai kelompok masyarakat.

Ruang lingkup Reformasi Kesehatan Masyarakat mencakup antara lain penyusunan kebijakan strategis dan perencanaan berbasis bukti yang dapat menjamin terlaksananya alokasi sumber daya yang efektif. Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan efisiensi guna mencapai efektivitas-biaya (cost-effectiveness) setinggi mungkin, yang ditunjukkan dengan perolehan hasil terbaik dengan biaya terendah.

Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah ini perlu digunakan kaidah farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau Formularium Rumah Sakit, misalnya untuk pemilihan jenis obat yang akan dimasukkan ke dalamnya perlu dilakukan pembandingan efektivitas terapi, termasuk frekuensi manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua atau lebih obat yang berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan untuk satu periode terapi dari masing-masing obat tersebut. Dalam hal ini, biaya obat untuk satu periode terapi adalah banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk pembelian obat atau pembayaran perawatan kesehatan sampai seorang pasien mencapai kesembuhan. Dengan demikian, pemilihan obat tidak hanya didasarkan pada harga per satuan kemasan.

Dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat yang berlaku di Indonesia saat ini, Jamkesmas dan/atau Jamkesda, proporsi biaya obat dialokasikan maksimal 30% dari biaya perawatan kesehatan. Kenyataannya, konsumsi obat nasional mencapai 40% dari belanja kesehatan secara keseluruhan dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Kementerian Kesehatan, 2009).

Karena itu, peningkatan efektivitas-biaya obat, bahkan di tingkat pemerintah daerah atau tingkat lokal rumah sakit, pada ujungnya akan memberikan dampak yang berarti terhadap efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional. Dan, dengan menerapkan peningkatan efektivitas-biaya dan upaya lain berdasarkan kaidah farmakoekonomi pada penetapan kebijakan kesehatan secara menyeluruh, peningkatan efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional yang dicapai akan maksimal.

Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini disusun terutama untuk membantu para pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun

(17)

fasilitas pelayanan (Rumah Sakit) serta instansi yang terkait pelayanan kesehatan, termasuk asuransi kesehatan lainnya, dalam memilih obat yang secara obyektif memiliki efektivitas-biaya paling tinggi. Contoh-contoh perhitungan yang diberikan terutama menampilkan analisis yang terkait dengan biaya obat. Namun demikian, Pedoman yang merupakan bagian dari Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK—Health Technology Assessment, HTA) ini dapat juga digunakan sebagai salah satu pedoman untuk melakukan analisis ekonomi yang lebih luas, hingga mencakup teknologi kesehatan secara keseluruhan, dan dengan metode yang lebih dari sekadar efektivitas biaya.

1. 2 Tujuan

Secara umum tujuan pedoman ini adalah menyediakan acuan bagi para pengambil kebijakan, baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun fasilitas pelayanan (Rumah Sakit) dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dengan menerapkan kajian farmakoekonomi, dalam rangka pemilihan dan penggunaan obat yang efektif dan efisien.

Tujuan Khusus

1. Meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan dengan tetap mempertahankan kualitas,

2. Memperluas akses terhadap obat dan pelayanan kesehatan pada umumnya di tengah keterbatasan sumberdaya,

3. Melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang murah dan tidak berkualitas,

4. Memberikan pedoman untuk meningkatkan Penggunaan Obat secara Rasional (POR).

1. 3 Sasaran

Sasaran dari pedoman ini adalah para pengambil kebijakan di bidang yang terkait dengan pelayanan kesehatan, terutama di sektor publik. Tetapi, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini dapat pula digunakan oleh para pengambil kebijakan di sektor swasta maupun peneliti dan profesional lainnya di bidang kesehatan yang membutuhkan. Secara lebih rinci, kalangan yang termasuk dalam sasaran pedoman ini adalah:

(18)

4 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

1. Pengambil kebijakan di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), terutama yang terkait dengan kebijakan obat, seperti seleksi obat untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), registrasi obat, dan lain-lain;

2. Pengambil kebijakan di tingkat Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota), terutama yang terkait dengan seleksi obat dalam rangka pengadaan obat;

3. Lembaga Asuransi Kesehatan lainnya baik milik pemerintah maupun swasta;

4. Pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit), terutama yang terlibat dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit;

5. Profesional di bidang kesehatan (dokter, apoteker, dll); 6. Peneliti dan pengamat di bidang ekonomi kesehatan;

7. Industri farmasi, terutama untuk swa-kajian sebagai upaya awal peningkatan daya saing produk maupun untuk tujuan lainnya.

1. 4 Ruang Lingkup

Pedoman ini mencakup penerapan kajian farmakoekonomi untuk pengambilan keputusan pada seleksi dan/atau penggunaan obat pada suatu daerah atau fasilitas pelayanan kesehatan. Prioritas pelaksanaan kajian farmakoekonomi terutama pada penyakit yang mempunyai dampak besar terhadap biaya kesehatan. Kajian farmakoekonomi dilakukan untuk mengidentifikasi obat yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih tinggi dengan harga lebih rendah sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang tinggi.

Pedoman ini memberikan contoh-contoh praktis analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan analisis efektivitas-biaya (AEB). Penerapan Pedoman Kajian Farmakoekonomi ini sangat dianjurkan. Pada lima tahun pertama, penerapannya oleh instansi terkait bersifat sukarela, belum merupakan keharusan. Kajian Farmakoekonomi dilakukan berdasarkan perspektif pihak yang memprakarsai pelaksanaan kajian. Pada pedoman ini intervensi kesehatan yang dikaji masih dibatasi untuk obat saja.

(19)

1. 5 Publikasi

Hasil kajian farmakoekonomi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit dan/atau Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota yang disampaikan kepada Kementerian Kesehatan akan dianalisis lebih lanjut untuk kepentingan bersama lintas-daerah dan lintas-institusi. Dengan demikian, hasil kajian yang disampaikan tersebut dapat menunjukkan capaian instansi yang bersangkutan.

Untuk mempermudah analisis lanjut, hasil kajian hendaknya mencantumkan secara jelas perhitungan biaya dan penghematan yang dapat dilakukan. Analisis yang dilakukan hendaknya mencakup segala masalah yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan, termasuk informasi epidemiologis (pola penyakit, prevalensi dan insidensi penyakit, populasi pasien), dan pilihan terapi yang tersedia.

Bahan pertimbangan yang digunakan dalam analisis pada Kajian Farmakoekonomi diambil dari publikasi ilmiah dalam jurnal yang peer-reviewed. Studi dari dalam negeri yang belum dipublikasi dapat digunakan sejauh metodologinya dapat dipertanggungjawabkan dan data yang diperoleh dapat menunjang kajian yang akan dilakukan.

1. 6 Pengertian

Pedoman ini menggunakan istilah-istilah yang lazim dalam Kajian Farmakoekonomi. Berbagai istilah tersebut dan pengertiannya adalah sebagai berikut:

1. Analisis biaya (AB—cost analysis, CA) adalah metode atau cara untuk menghitung besarnya pengorbanan (biaya, cost) dalam unit moneter (rupiah), baik yang langsung (direct cost) maupun tidak langsung (indirect cost), untuk mencapai tujuan.

2. Analisis (kajian) biaya sakit (ABS—cost of illness evaluation, COI) dimaksudkan untuk memperkirakan biaya yang disebabkan oleh suatu penyakit pada sebuah populasi.

3. Analisis efektivitas-biaya (AEB—cost-effectiveness analysis, CEA) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan biaya dan hasil (outcomes) relatif dari dua atau lebih intervensi kesehatan. Pada AEB, hasil diukur dalam unit non-moneter, seperti jumlah kematian yang dapat dicegah atau penurunan mm Hg tekanan darah diastolik.

(20)

6 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

4. Analisis manfaat-biaya (AMB—cost-benefit analysis, CBA) adalah teknik untuk menghitung rasio antara biaya intervensi kesehatan dan manfaat (benefit) yang diperoleh, dimana outcome (manfaat) diukur dengan unit moneter (rupiah). 5. Analisis minimalisasi-biaya (AMiB—cost-minimization analysis,

CMA ) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan dua pilihan (opsi, option) intervensi atau lebih yang memberikan hasil (outcomes) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang menawarkan biaya lebih rendah.

6. Analisis sensitivitas (sensitivity analysis) adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengukur ketidakpastian (uncertainty) dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan dalam kajian farmakoekonomi.

7. Analisis utilitas-biaya (AUB—cost-utility analysis, CUA) adalah teknik analisis ekonomi untuk menilai “utilitas (daya guna)” atau kepuasan atas kualitas hidup yang diperoleh dari suatu intervensi kesehatan. Kegunaan diukur dalam jumlah tahun dalam keadaan sehat sempurna, bebas dari kecacatan, yang dapat dinikmati umumnya diekspresikan dalam quality-adjusted life years (QALY), atau ‘jumlah tahun berkualitas yang disesuaikan’.

8. Didominasi (dominated) adalah suatu obat (atau pelayanan kesehatan) yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih rendah dan biayanya lebih tinggi sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang rendah.

9. Dominan (dominant) adalah obat (atau pelayanan kesehatan) yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih tinggi dengan biaya lebih rendah sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang tinggi.

10. Efektivitas (effectiveness) mengacu pada kemampuan suatu intervensi kesehatan dari praktek klinis rutin dalam mencapai perbaikan kesehatan. Suatu intervensi kesehatan dikatakan efektif bila memberikan hasil yang diharapkan (expected outcomes).

11. Efikasi (efficacy, kemanjuran) mengacu pada kemampuan suatu intervensi kesehatan, umumnya obat, di bawah kondisi optimal dalam menghasilkan perubahan yang menguntungkan

(21)

atau efek terapetika yang diinginkan.

12. Efisien (efficient) mengacu pada kecilnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

13. Formularium adalah daftar obat dalam nama generik berdasarkan kelas terapi. Formularium disusun dengan memasukkan rentang obat yang mencukupi, yang memungkinkan dokter, dokter gigi, dan, kalau diizinkan oleh peraturan perundang-undangan, praktisi lain untuk meresepkan obat yang sesuai dengan kondisi penyakit.

14. Hasil (outcomes) pengobatan adalah hasil yang diperoleh dari suatu intervensi kesehatan sebaliknya, tidak dilakukannya intervensi kesehatan yang secara langsung mempengaruhi panjang usia (mortalitas) atau kualitas hidup seseorang, sekelompok orang, atau sebuah populasi.

15. Intervensi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan (misalnya, melalui pemberian obat atau perawatan kesehatan) dan perilaku kesehatan yang baik seperti olahraga atau menghindari perilaku kesehatan yang buruk antara lain merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan.

16. Jumlah tahun kehidupan berkualitas yang disesuaikan (JTKD- quality-adjusted life years, QALY) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. QALY dapat dikatakan sebagai jumlah tahun pertambahan usia dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati. Atau dengan kata lain, pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh.

17. Kemauan untuk membayar (Willingness to pay, WTP), adalah suatu teknik untuk mengukur nilai manfaat kesehatan dengan secara langsung menunjukkan preferensi individual yang diwakili oleh populasi sampel dari masyarakat umum yang diminta menjawab pertanyaan berapa banyak mereka bersedia membayar untuk memperoleh manfaat atau menghindari hal-hal tertentu.

(22)

8 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

pengambilan keputusan yang selektif secara intelektual ketika dihadapkan pada beberapa alternatif kompleks yang memiliki sejumlah variabel, dan biasanya menentukan arah tindakan atau ide.

19. Penilaian teknologi kesehatan (PTK—health technology assessment, HTA) adalah metode kajian multidisipliner yang sistematik, transparan, tidak bias, dan berdasarkan bukti ilmiah kuat guna memberikan masukan (input) tentang implikasi medis, ekonomi, sosial, dan etis dari hal-hal yang terkait dengan pengembangan, difusi, dan penerapan teknologi kesehatan biasanya obat, alat kesehatan, atau prosedur klinis/ pembedahan. Bagi pembuat keputusan, PTK dimaksudkan untuk memberikan informasi objektif yang dapat digunakan dalam formulasi kebijakan kesehatan yang aman, efektif, terfokus pada pasien, dan memberikan nilai terbaik (best value for money).

20. Penyesuaian nilai (discounting) adalah metode yang digunakan untuk menyesuaikan biaya dan manfaat di masa depan dengan nilai saat ini.

21. Rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB—incremental cost-effectiveness ratio, ICER) adalah suatu ukuran biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitas-biaya.

22. Tukaran (trade-off) adalah kondisi dimana perlunya dilakukan pemilihan antara intervensi/strategi yang tersedia, karena masing – masing intervensi/strategi memiliki biaya dan hasil pengobatan (outcome) yang sebanding.

23. Utilitas (daya guna – utility), adalah tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mendapatkan suatu intervensi kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan biasanya adalah QALY (Quality-adjusted life years), atau JTKD.

BAB II

TINJAUAN TEORI

FARMAKOEKONOMI

(23)

BAB II

TINJAUAN TEORI

FARMAKOEKONOMI

(24)
(25)

Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua negara di seluruh dunia, memiliki keterbatasan sumberdaya dan dana yang kebutuhannya terus meningkat, sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan peralatan dalam menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini memaksa dilakukannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif.

Untuk pemilihan obat, faktor efikasi merupakan salah satu pertimbangan yang penting. Agar tercapai peningkatan kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan yang ada, setiap pengambil kebijakan di bidang kesehatan setidaknya harus memberikan jawaban memuaskan terhadap empat pertanyaan berikut:

1. Apakah obat (atau, secara umumnya teknologi kesehatan) yang akan digunakan itu efektif?

2. Siapa yang akan menerima manfaat dari penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu?

3. Berapa biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu?

4. Bagaimana efektivitasnya jika dibandingkan dengan obat (teknologi kesehatan) yang telah digunakan?

Kajian farmakoekonomi yang mempertimbangkan faktor klinis (efektivitas) sekaligus faktor ekonomi (biaya) dapat membantu para pengambil kebijakan mendapatkan jawaban obyektif terhadap keempat pertanyaan tersebut. Dengan demikian, Ilmu Farmakoekonomi dapat membantu pemilihan obat yang rasional, yang memberikan tingkat kemanfaatan paling tinggi.

BAB

TINJAUAN TEORI

FARMAKOEKONOMI

(26)

10 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

2.1 Perspektif Penilaian

Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam Kajian Farmakoekonomi, karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya yang harus disertakan. Seperti yang telah disampaikan, penilaian dalam kajian ini dapat dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu:

1. Perspektif masyarakat (societal).

Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti program penurunan konsumsi rokok, untuk memperkirakan potensi peningkatan produktivitas ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi kesehatan tersebut.

2. Perspektif kelembagaan (institutional).

Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan Formularium Rumah Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional.

3. Perspektif individu (individual perspective).

Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup bernilai atau tidak dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan).

Karena pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga perspektif itu berbeda, jenis biaya yang diperhitungkan dalam Kajian Farmakoekonomi masing-masing perspektif tersebut juga tak sama. Secara ringkas, jenis biaya yang harus diperhitungkan dan kategorisasinya menurut beberapa perspektif yang lazim melakukan dalam Kajian dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Dalam konteks Indonesia, kajian farmakoekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Kemenkes), Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/Kota) dan asuransi kesehatan semesta (BPJS

(27)

Kesehatan) yang akan mulai diterapkan pada 2014 akan lebih banyak mengambil perspektif penyedia pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Untuk seleksi obat dalam perencanaan, misalnya, titik tolak awalnya adalah pola epidemiologis penyakit di daerah terkait.

Tabel 2.1. Jenis Biaya Menurut Perspektif

Komponen biaya Perspektif

Masyarakat Pasien Penyedia yankes Pembayar

Biaya Langsung Medis:

- Biaya pelayanan

kesehatan + + + +

- Biaya pelayanan

kesehatan lainnya + + +

- Biaya cost sharing patient +

Biaya Langsung Non Medis:

- Biaya transportasi + + +

- Biaya pelayanan informal

(tambahan) +

Biaya Tidak Langsung: - Biaya hilangnya

produktivitas + +

Keterangan: + disertakan + disertakan (bila ada) − tidak disertakan Diadaptasi dari Rascati et al., 2009 dan Shafie, 2011.

2.2 Hasil Pengobatan (outcome)

Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan.

Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya

(28)

(cost-12 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun non-klinis (misalnya, dalam mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indikator kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya suatu obat.

Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat. Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau ‘jumlah tahun yang disesuaikan’ (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, Kajian Farmakoekonomi ini akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang menunjukkan unit moneter yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi utilitas-biaya suatu obat.

Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan “nilai rupiah yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut” (willingness to pay). Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin layak obat tersebut dipilih.

2.3 Biaya

Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri.

Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan, biaya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:

(29)

1. Biaya rerata dan biaya marjinal

Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh, sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas penambahan atau pengurangan unit hasil yang diperoleh (Bootman et al., 2005). Sebagai contoh, jika sebuah cara pengobatan baru memungkinkan pasien pulang dari rumah sakit sehari lebih cepat dibanding cara pengobatan lama mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata rawat inap sebagai penghematan sumberdaya. Kenyataannya, semua biaya tetap yang terhitung ke dalam biaya tetap tersebut (misalnya, biaya laboratorium tidak mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah biaya yang terkait dengan lamanya pasien dirawat (biaya makan, pengobatan, jasa dokter dan perawat, inilah biaya marjinal, biaya yang betul-betul megalami perubahan.

1. Biaya tetap dan biaya variabel

Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dengan perubahan kuantitas atau volume produk atau layanan yang diberikan dalam jangka pendek (umumnya dalam rentang waktu 1 tahun atau kurang), misalnya gaji karyawan dan depresiasi aset. Sementara itu, biaya variabel berubah seiring perubahan hasil yang diperoleh, seperti komisi penjualan dan biaya penjualan obat (Bootman et al., 2005).

2. Biaya tambahan (ancillary cost)

Biaya tambahan adalah biaya atas pemberian tambahan pelayanan pada suatu prosedur medis, misalnya jasa laboratorium, skrining sinar-X, dan anestesi. (Berger et al., 2003).

3. Biaya total

Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan. Biaya untuk perawatan kesehatan seringkali bukan hanya biaya obat ditambah biaya langsung lain. Selain berbagai biaya langsung tersebut, ada pula biaya tidak langsung yang harus ditanggung, termasuk biaya transportasi, hilangnya produktivitas karena pasien tidak bekerja, dan

(30)

lain-14 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

lain termasuk depresi dan rasa sakit yang sangat sulit dikonversikan ke unit moneter.

Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Biaya langsung

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya.

2. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien). (Bootman et al., 2005).

3. Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya.

4. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Berger et al., 2003).

Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga sering diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain:

(31)

1. Biaya perolehan (acqusition cost)

Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun institusi (Berger et al., 2003).

2. Biaya yang diperkenankan (allowable cost)

Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau teknologi kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara jaminan kesehatan atau pemerintah pasien maupun institusi (Berger et al., 2003).

3. Biaya pengeluaran sendiri (out-of-pocket cost)

Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh individu pasien dengan uangnya sendiri. Sebagai contoh, iur biaya peserta asuransi kesehatan (Berger et al., 2003).

4. Biaya peluang (opportunity cost)

Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya (Bootman et al., 2005).

Identifikasi jenis-jenis biaya dapat berkembang sesuai kasus yang dikaji. Jenis biaya yang disertakan dalam kajian farmakoekonomi tergantung pada pertanyaan yang ingin dijawab. Terkait dengan hal ini, secara umum hasil Kajian Farmakoekonomi dapat diukur dari tiga perspektif: masyarakat, kelembagaan (pengambil kebijakan, penyedia pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan), dan individu (misalnya pasien).

2.4 Metode Kajian Farmakoekonomi

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada table 2.2. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.

(32)

16 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

Tabel 2.2. Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi

Metode analisis Karakteristik analisis

Analisis minimalisasi biaya

(AMiB) Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah.

Analisis efektivitas biaya (AEB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil

pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah.

Analisis utilitas-biaya (AUB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years (QALY), valuasi/ biaya dalam rupiah.

Analisis manfaat-biaya

(AMB) Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah.

Diadaptasi dari Newby and Hill, 2003. Di antara empat metode tersebut, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan.

Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitas-biaya (AEB). Pada AEB, hasil pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar LDL darah dalam mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan).

Metode lain yang juga banyak digunakan adalah analisis utilitas-biaya (AUB). Seperti AEB, utilitas-biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, misalnya JTKD. Karena hasil pengobatannya tidak bergantung secara langsung pada keadaan penyakit (disease state),

(33)

secara teoretis AUB dapat digunakan untuk membandingkan dua area pengobatan yang berbeda, misalnya biaya per JTKD operasi jantung koroner versus biaya per JTKD erythropoietin pada penyakit ginjal. Namun demikian, pembandingan antar-area pengobatan ini tidak mudah, karena JTKD diperoleh pada waktu dan dengan cara berbeda sehingga tak dapat begitu saja diperbandingkan.

Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda, dapat digunakan analisis manfaat-biaya (AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter.

Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan.

Sebagai edisi awal, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini memfokuskan bahasan pada metode analisis yang sederhana, yaitu analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan analisis efektivitas-biaya (AEB).

2.5 Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB)

Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya.

Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk:

1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan

(34)

18 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas-bioekuivalen (BA/BE). Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan.

2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.

Terdapat banyak jenis biaya dan jenis biaya yang harus dimasukkan berbeda untuk setiap perspektif analisis. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian.

2.6 Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)

Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana. Dan banyak digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). Dengan analisis yang mengukur biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya, misalnya:

1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.

2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya obat golongan proton pump inhibitor dengan H2 antagonist untuk reflux oesophagitis parah.

Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam atau mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam—mulai dari mmHg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat antihipertensi), banyaknya katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan prosedur yang berbeda), sampai jumlah

(35)

kematian yang dapat dicegah (oleh program skrining kanker payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya preventif lainnya).

Sebab itu, AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan yang muaranya sama (Drummond et al., 1997). Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan penurunan kadar LDL atau kolesterol total (oleh obat antikolesterol), AEB tak dapat digunakan. Oleh pengambil kebijakan, metode Kajian Farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan, yaitu sistem yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah tertentu dana.

Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-effectiveness ratio/ICER). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitas-biaya. Selain itu, untuk mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan efektivitas-biaya terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel efektivitas-biaya.

Dengan menggunakan tabel efektivitas-biaya (tabel 2.3), suatu intervensi kesehatan secara relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke dalam satu dari empat posisi, yaitu:

1. Posisi Dominan Kolom G (juga Kolom D dan H)

Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB.

2. Posisi Didominasi Kolom C (juga Kolom B dan

F)

Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB.

(36)

20 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

3. Posisi Seimbang Kolom E

Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.

4. Posisi yang memerlukan pertimbangan

efektivitas-biaya Kolom A dan I

Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.

(37)

Tabel 2.3. Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-Biaya

Efektivitas-biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi

Efektivitas lebih

rendah (Perlu perhitungan RIEB)A B (Didominasi)C

Efektivitas sama D E F

Efektivitas lebih

tinggi (Dominan)G H (Perlu perhitungan RIEB)I

Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram efektivitas-biaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini, jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran I (Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan pertimbangan sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia mencukupi.

Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang tersedia lebih terbatas.

Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak untuk dipilih.

(38)

22 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

Gambar 2.1. Diagram Efektivitas-Biaya

Contoh Perhitungan RIEB

Skenario:

Untuk terapi sebuah penyakit dapat digunakan tiga macam obat yang masing-masing memiliki kinerja sebagai berikut:

1. Obat A membutuhkan biaya Rp6.000.000/100 pasien, tingkat survival 3%

2. Obat B membutuhkan biaya Rp22.000.000/100 pasien, tingkat survival 5%

3. Obat C membutuhkan biaya Rp30.000.000/100 pasien, tingkat survival 1%

(39)

Tabel 2.4. Contoh Perhitungan RIEB

(dalam rupiah)

Obat per 100 pasienBiaya Kematian yang dihindarkan per 100 pasien

Rasio efektivitas-biaya, REB (rupiah per kematian yang dicegah)

A 6.000.000 3 6.000.000/3 = 2.000.000

B 22.000.000 5 22.000.000/5 = 4.400.000

C 30.000.000 1 30.000.000/1 = 30.000.000

Dari perhitungan di atas, ditemukan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk setiap alternatif obat. Dengan membandingkan REB Obat B dengan REB Obat A, RIEB untuk pindah obat dari A ke B dapat dihitung seperti berikut: RIEBA B = (22.000.000 – 6.000.000) / (5 – 3) = 16.000.000/2 kematian yang dicegah

Dengan demikian, RIEB untuk pindah obat dari A ke B adalah Rp16.000.000 untuk setiap dua kematian yang dicegah, atau Rp 8.000.000 / kematian yang dicegah.

2.7 Analisis Utilitas-Biaya (AUB)

Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome)-nya dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas akibat intervensi kesehatan yang dilakukan. Menurut Bootman (1996), hasil pengobatan dalam bentuk kuantitas dan kualitas hidup itu mencerminkan keadaan berikut:

1. Apakah penyakit yang diderita atau pengobatan terhadap penyakit yang diberikan secara kuantitas akan memperpendek usia pasien?

2. Apakah kondisi penyakit yang diderita pasien atau pengobatan terhadap penyakit tersebut tidak seperti yang diinginkan? Kalau jawabannya “ya”, sebesar apa?

3. Apakah dampaknya terhadap usia? Berapa banyak berkurangnya usia (kuantitatif) dan kepuasan (kualitas) hidup? Dalam praktek, AUB hampir selalu digunakan untuk membandingkan

(40)

24 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

Time preference = 10 tahun

Utilitas JTKD = 0,8 x 10 = 8 0 1 0,8

alternatif yang memiliki tujuan (objective) sama, seperti: 1. Membandingkan operasi versus kemoterapi;

2. Membandingkan obat kanker baru versus pencegahan (melalui kampanue skrining).

Beberapa istilah yang lazim digunakan dalam AUB, termasuk:

1. Utilitas

(utility)

Analisis utilitas-biaya (AUB) menyatakan hasil dari intervensi sebagai utilitas atau tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mengkonsumsi suatu pelayanan kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan dalam Kajian Farmakoekonomi biasanya ‘Jumlah Tahun yang Disesuaikan’ (JTKD) atau quality-adjusted life years (QALY).

2. Kualitas hidup (quality of life, QOL)

Kualitas hidup dalam AUB diukur dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitas (duration of life) dan pendekatan kualitas (quality of life). (Bootman et al., 1996). Kualitas hidup merupakan sebuah konsep umum yang mencerminkan keadaan yang terkait dengan modifikasi dan peningkatan aspek-aspek kehidupan, yaitu fisik, politik, moral dan lingkungan sosial.

3.

QALY (quality-adjusted life years)

Quality-adjusted life years (QALY) atau ‘Jumlah Tahun yang Disesuaikan’ (JTKD) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. Pada QALY, pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh (Bootman et al., 1996).

AUB menambah dimensi dari titik pandang atau perspektif pihak tertentu (biasanya pasien). Pandangan yang bersifat subyektif inilah yang memungkinkan pengukuran utilitas (preference/value). Unit utilitas, termasuk JTKD, merupakan sintesis dari berbagai hasil (outcome) fisik yang dibobot menurut preference terhadap masing-masing hasil pengobatan tersebut.

(41)

Time preference = 10 tahun Utilitas JTKD = 0,8 x 10 = 8 0 1 0,8

Gambar 2.2. Diagram JTKD/QALY (Quality-adjusted life years) JTKD didasarkan pada keyakinan bahwa intervensi kesehatan dapat meningkatkan survival (kuantitas hidup) ataupun kemampuan untuk menikmati hidup (kualitas hidup). Pada penghitungan besaran utilitas yang paling banyak dipakai ini, dilakukan pembobotan kualitas terhadap setiap tahun pertambahan kuantitas hidup yang dihasilkan suatu intervensi kesehatan. Dengan demikian, JTKD merupakan penggabungan dari kedua elemen tersebut.

Secara teknis, JTKD diperoleh dari perkalian antara nilai utilitas dan nilai time preference, dimana nilai utilitas menggambarkan penilaian pasien terhadap kualitas hidupnya saat itu. Penilaian yang dilakukan secara subyektif oleh pasien didasarkan pada berbagai atribut kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan, sementara time preference menggambarkan perkiraan pertambahan usia (dalam tahun) yang diperoleh karena pengobatan yang diterima.

Terkait teknis perhitungan, pengertian “adjusted” atau “disesuaikan” pada JTKD adalah penyesuaian pertambahan usia yang akan diperoleh dengan utilitas. Dengan penyesuaian ini, diperoleh jumlah tahun pertambahan usia dalam kondisi sehat penuh. Nilai utilitas berkisar dari 1 (hidup dalam keadaan sehat sempurna) sampai 0 (mati). Jadi, jika seorang pasien menilai bahwa keadaannya setelah periode terapi yang diperoleh setara dengan 0,8 keadaan sehat sempurna—utilitas = 0,8— dan pertambahan usianya 10 tahun, pertambahan usia yang berkualitas bukanlah 10 tahun, melainkan 0,8 x 10 tahun = 8 tahun (Drummond et al., 1987).

(42)

26 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

2.8 Analisis Manfaat-Biaya

Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar).

Suatu program kesehatan selalu diperbandingkan dengan beberapa alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lainnya maupun dengan tidak memberikan program/ intervensi. Nilai manfaat dari suatu program/intervensi adalah meningkatnya hasil pengobatan (outcome) bila dibandingkan dengan hasil serupa dari program / intervensi lain. Outcome dapat berupa nilai terkait pasien (misal : kesembuhan, pulihnya abilitas fisik, dll), nilai pilihan (manfaat keberadaan program/intervensi saat dibutuhkan), dan nilai altruistik (manfaat peningkatan kesehatan orang lainnya). Parameter outcome diukur dengan satuan moneter (mata uang), umumnya dengan Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP). Dan untuk menghitung surplus biaya program/intervensi, biaya dari program / intervensi dan hal-hal terkaitnya (misal. obat, dokter, rumah sakit, home care, biaya pasien dan keluarga, biaya kehilangan produktivitas, biaya lain karena hilangnya waktu, dll) dikurangi biaya yang serupa dari program/intervensi lainnya.

Dasar dari AMB adalah surplus manfaat, yaitu manfaat yang diperoleh dikurangi dengan surplus biaya. Surplus manfaat adalah kriteria dasar dalam AMB. Bila surplus manfaat suatu intervensi/program bernilai positif, maka umumnya intervensi/program tersebut dapat diterima untuk dilaksanakan.

AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh biaya dan manfaat yang relevan. Namun, perhitungan dari biaya (terutama biaya tidak langsung) yang terkait biasanya diperdebatkan/ kontroversial. AMB jarang digunakan untuk membandingkan obat atau alternatif terapi medis karena pertimbangan etika. Penilaian kondisi kesehatan menggunakan nilai moneter dan metode yang dipakai untuk hal tersebut seringkali diperdebatkan.

AMB memiliki dua keuntungan, yang salah satunya bersifat unik/khas AMB. Keuntungan pertama, AMB memungkinkan adanya perbandingan antara program/intervensi dengan outcome yang sangat berbeda (misal. program klinik antikoagulan atau program klinik antidiabetes), sehingga memungkinkan perbandingan dengan nilai moneter antar program/

(43)

intervensi yang sama sekali tidak berkaitan. Ketentuan pengambilan keputusannya adalah memilih program/intervensi dengan surplus manfaat yang paling besar.

Keuntungan kedua, AMB adalah satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk membandingkan internal satu program/intervensi. Bila surplus manfaatnya bernilai positif, maka program/intervensi tersebut harus dipilih/didanai/dilakukan.

Kesulitan AMB adalah melakukan konversi/menerjemahkan kondisi klinis non-moneter dan outcome kualitas hidup (misal. tahun hidup terselamatkan) menjadi nilai moneter. Lebih lanjut, metode yang umum digunakan untuk melakukan konversi/ penerjemahan tersebut Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP) mengundang perdebatan etika karena condong kepada preferensi kekayaan. Oleh karenanya, teknik analisa ini tidak umum digunakan dalam perumusan kebijakan kesehatan.

AMB umumnya dilakukan berdasarkan model dan menggunakan asumsi-asumsi yang signifikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan analisa sensitivitas untuk memvalidasi model dan asumsi yang digunakan serta untuk menilai kekuatan dari hasil analisisnya.

2.9 Penyesuaian Nilai (Discounting)

Interpretasi hasil kajian farmakoekonomi seringkali mengkaitkan durasi waktu (time horizon) yang panjang. Hasil perhitungan rasio manfaat terhadap biaya biasanya melibatkan durasi waktu lebih dari setahun, terutama pada terapi-terapi yang hasilnya baru dapat dinikmati dalam jangka panjang, misalnya imunisasi. Di sisi lain, masyarakat umumnya lebih mengharapkan manfaat tersebut dapat diterima segera, pada saat ini, sehingga nilai suatu parameter baik biaya maupun efektivitas terapi harus dapat diinterpretasikan untuk kondisi masa sekarang.

Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Didasarkan pada tingkat inflasi, baik yang telah terjadi (retrospektif) maupun yang diharapkan (prospektif) faktor koreksi ini dapat digunakan untuk menyesuaikan nilai pada masa lalu maupun masa datang menjadi nilai saat ini. Dengan menghitung nilai saat ini (atau nilai pada tahun tertentu yang sama), dapat dilakukan pembandingan biaya dan/atau hasil yang setara (apple to apple). Untuk sebagian kajian farmakoekonomi yang memiliki dampak pengobatan jangka panjang memerlukan informasi

(44)

28 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

discounting. Untuk pengobatan jangka waktu kurang dari satu tahun tidak memerlukan penyesuaian nilai atau discounting.

Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Tingkat diskonto (discounting rate) tidak sama dengan tingkat inflasi; keduanya berbeda secara konsep. Inflasi menggambarkan perubahan harga, sementara discounting terkait dengan preferensi waktu yang diperhitungkan dengan nilai uang.

Artinya, penyesuaian nilai layak dilakukan manakala sebuah program memiliki rentang waktu beberapa tahun walau tingkat inflasi 0%. Jika tingkat diskonto dinyatakan 5%, sebuah intervensi kesehatan yang setahun yang akan datang bernilai Rp 500.000 dihitung dari sisi biaya, pada saat ini (tersesuaikan selama 1 tahun) adalah Rp 500.000/1,05 = Rp 476.190, berapa pun tingkat inflasinya.

Tabel 2.5. Perhitungan Penyesuaian Nilai

Tahun

biaya Perkiraan biaya discounting Perhitungan discounting Nilai saat ini

Tahun I 5.000 5.000/1 5.000

Tahun II 3.000 3.000/1,05 2.857

Tahun III 4.000 4.000/(1,05)2 3.628

Total 12.000 11.485

Keterangan: nilai dalam rupiah, perkiraan inflasi 5% / tahun

Diadaptasi dari Rascati et al., 2009.

Beberapa pakar berpendapat bahwa tingkat diskonto biaya sama dengan tingkat diskonto manfaat (benefits). Tetapi beberapa pakar lain, menyatakan bahwa tingkat diskonto manfaat lebih kecil dari tingkat diskonto biaya. Manfaat jauh lebih sulit diukur dibanding biaya, karena itu penyesuaian penilaian manfaat juga sering menimbulkan silang-pendapat.

2.10 Analisis Sensitivitas

Kajian farmakoekonomi memperhitungkan aspek ketidakpastian (uncertainty) dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan. Ketidakpastian timbul antara lain karena:

(45)

1. Kurangnya ketersediaan data, sehingga prediksi yang dihasilkan kurang tajam (precise).

2. Hasil Kajian terhadap parameter umumnya berupa nilai diskrit (single point, misalnya rerata), sementara dalam realita parameter tersebut berupa nilai kontinyu yang terdistribusi acak dalam suatu kisaran tertentu.

3. Model analisis yang digunakan, misalnya yang terkait dengan metode pengkombinasian parameter atau penggeneralisasian hasil kajian.

Agar ketidakpastian yang ada dapat diperhitungkan dengan baik, dampak dari unsur ketidakpastian harus diidentifikasi, dinilai, dan diinterpretasi terutama untuk parameter yang paling dominan pada hasil kajian. Untuk menganalisis dampak ketidakpastian, lazim digunakan analisis sensitivitas. Terdapat beragam metode analisis sensitivitas, mulai dari yang sederhana seperti analisis sensitivitas satu arah, analisis sensitivitas dua arah atau lebih, analisis ambang batas (threshold analysis) dan analisis skenario, sampai yang kompleks semacam simulasi Monte Carlo dan analisis bootsrapping.

Metoda yang paling sederhana, analisis sensitivitas satu arah, dilakukan dengan mengubah nilai suatu variabel dalam kisaran yang memungkinkan dengan menjaga nilai variabel lainnya konstan. Hasil metode analisis sensitivitas satu arah ini sering ditampilkan dalam diagram tornado, dimana variabel yang berdampak paling besar ditempatkan di puncak diagram, dan seterusnya sampai ke bawah sesuai urutan besarnya dampak (Berger et al., 2003).

(46)

BAB III

PENERAPAN KAJIAN

FARMAKOEKONOMI

(47)

BAB III

PENERAPAN KAJIAN

FARMAKOEKONOMI

(48)
(49)

Kajian farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan, khususnya dalam seleksi dan pendaftaran obat baru, telah diterapkan di banyak negara, termasuk negara yang menjadi tetangga dekat kita di Asia Tenggara, seperti Korea, Filipina, Thailand, dan Malaysia. Dengan meningkatkan biaya obat nasional, penerapan Kajian ini juga diperlukan di Indonesia agar sumberdaya yang ketersediaannya terbatas dapat memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Kajian Farmakoekonomi menjadi lebih mendesak dengan akan diterapkannya Jaminan Kesehatan Semesta (universal coverage).

Dalam pemilihan obat, termasuk revisi Formularium, selama ini kriteria yang biasa digunakan untuk menyeleksi obat adalah efikasi, keamanan, dan kualitas. Analisis yang dilakukan untuk penyusunan daftar obat yang digunakan di rumah sakit juga masih terbatas pada AMiB (analisis minimalisasi-biaya), misalnya dalam pemilihan obat dengan nama dagang dan generik (dengan zat aktif sama). Bila ada obat baru dengan zat aktif baru, AEB (analisis efektivitas-biaya) belum menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk memasukkan obat tersebut ke dalam Formularium.

Guna memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan sumberdaya yang ada, sudah saatnya AEB atau kajian farmakoekonomi lain yang lebih mendalam diterapkan dalam proses pemilihan obat. Penerapan kajian farmakoekonomi dilakukan untuk memilih dan menjalankan program atau pengobatan yang memiliki efektivitas-biaya paling tinggi. Pada fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit. Formularium ini memegang peran penting dalam penggunaan obat secara rasional.

Penerapan kajian farmakoekonomi di instansi pemerintah dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dapat dilakukan di tingkat Nasional (Kementerian Kesehatan), Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/ Kab/Kota), dan fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit dan fasilitas

3

PENERAPAN KAJIAN

FARMAKOEKONOMI

DI INDONESIA

BAB

(50)

32 | Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi pelayanan kesehatan lainnya).

1. Tingkat Nasional (Kementerian Kesehatan)

Kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Program Jamkesmas, Formularium Nasional, obat program, asuransi kesehatan, dan lain-lain;

2. Tingkat Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/

Kabupaten/Kota)

Kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam pemilihan obat yang akan digunakan di Puskesmas;

3. Tingkat Fasilitas Pelayanan (rumah sakit dan

fasilitas pelayanan kesehatan lainnya)

Di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit dan pemilihan obat dalam pengobatan. Formularium ini memegang peran penting dalam pengobatan yang rasional.

Penerapan Kajian Farmakoekonomi dapat dilakukan oleh tim yang telah ada di dalam setiap institusi, misalnya Komite Nasional (KomNas) Penyusunan DOEN (di Tingkat Pusat), Tim Evaluasi Obat (di PT. Askes), Panitia Farmasi dan Terapi (PFT, di rumah sakit), dan Tim Pengadaan Obat Terpadu (TPOT, di Dinas Kesehatan). Tim tersebut dianjurkan untuk mengikuti pelatihan/pembekalan pemahaman Farmakoekonomi agar memiliki kesamaan persepsi.

Jika belum ada tim yang sesuai dan dimungkinkan untuk dibentuk tim tersendiri atau menjadi bagian dari tim yang sudah ada, anggota tim yang diutamakan adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang farmakoekonomi, minimal terdiri atas dokter klinisi dan apoteker yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan. Akan lebih baik jika mengikutsertakan farmakolog, epidemiolog, dan ahli statistik, dari dalam maupun luar instansi.

Selanjutnya Tim dianjurkan untuk menyampaikan secara tertulis tentang rencana untuk melakukan kajian farmakoekonomi dan mengirimkan

(51)

hasil kajian tersebut kepada Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Hal ini dianjurkan agar terbentuk koordinasi yang baik antar institusi pelaksana sehingga hasil kajian yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar secara Nasional.

3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Kajian

Farmakoekonomi

Langkah-langkah pelaksanaan dan contoh yang disajikan berikut merupakan pedoman mendasar yang dapat diterapkan dalam melakukan penerapan kajian farmakoekonomi di institusi yang membutuhkan. Namun secara teknis pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi pada masing-masing instansi.

3.1.1 Tahap Persiapan

Sebelum melakukan kajian Farmakoekonomi, perlu dilakukan langkah-langkah awal untuk mempersiapkan proses kajian. Langkah-langkah persiapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan personil atau membentuk Tim Kajian Farmakoekonomi;

2. Mengikutsertakan anggota Tim dalam suatu pelatihan/ pembekalan pemahaman tentang Kajian Farmakoekonomi di dalam maupun luar instansi ;

3. Menyampaikan secara tertulis tentang rencana pelaksanaan penerapan Kajian Farmakoekonomi ke Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 4. Mengumpulkan bahan yang dibutuhkan dalam kajian, antara

lain :

a. Data tentang pengalaman institusi terkait efektivitas obat yang akan dikaji (bila ada);

b. Bukti ilmiah terpublikasi mengenai efektivitas-biaya (Cost-effectiveness), efikasi/efektivitas dari obat yang akan dikaji, dan melakukan telaah kritis (penilaian) atas bukti ilmiah tersebut. Untuk mengumpulkan bukti ilmiah dari jurnal yang peer-reviewed ini dapat digunakan mesin pencari (search engine) seperti pada Lampiran 5. Pada

Gambar

Tabel 2.1.  Jenis Biaya Menurut Perspektif
Tabel 2.2.  Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi
Tabel 2.3.  Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-Biaya
Gambar 2.1.  Diagram Efektivitas-Biaya
+5

Referensi

Dokumen terkait

Analisis efektivitas biaya (AEB) merupakan salah s atu kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran

Sistem kekebalan menggunakan banyak mekanisme efektor kuat yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan berbagai sel mikroba dan untuk membersihkan berbagai zat beracun

Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Hal

Berkoordinasi dengan petugas surveilans PD3I provinsi untuk pengiriman spesimen serum ke laboratorium nasional campak- rubella (jika belum diperiksa di laboratorium RS) dan

Dalam 2 hari setelah memulai KPP atau 7 hari setelah memulai kontrasepsi hormonal kombinasi (KPK, KHKT, CVKK atau KSK) atau kontrasepsi progestin lainnya (DMPA

Lembar balik Alat Bantu Pengambilan Keputusan ber- KB (ABPK) adalah sebuah alat bantu kerja interaktif, yang diperuntukkan bagi penyedia layanan (dokter atau bidan) dalam

Disebut dengan kelainan kepribadian yang besar (Psychosis Mayor) karena seluruh kepribadian orang yang bersangkutan terkena dan orang tersebut tidak dapat lagi hidup dan

Defi nisi tersedianya minimal 80% jenis peralatan set pemeriksaan kesehatan anak sesuai Permenkes 75/2014 yang berfungsi baik, termasuk di dalamnya yang harus ada yaitu Ɵ