• Tidak ada hasil yang ditemukan

Katalog Dalam Terbitan, Kementerian Kesehatan RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Katalog Dalam Terbitan, Kementerian Kesehatan RI"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Katalog Dalam Terbitan, Kementerian Kesehatan RI

Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak

Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM), Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan. - Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI, 2014

ISBN 978-602-235-769-8

1. Judul I. REPRODUCTIVE PHYSIOLOGICAL PROCESESSES II. ENVIRONMENT AND PUBLIC HEALTH

III. DISASTERS PLANNING IV. RESCUE WORK

614.599 2 Ind

b

(3)

BUKU PEDOMAN

PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI

PADA KRISIS KESEHATAN

614.599 2 Ind

b

(4)
(5)
(6)

KATA SAMBUTAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi dalam situasi apapun, terma- suk pada situasi bencana. Demikian halnya dengan kesehatan reproduksi yang merupakan bagian dari kesehatan. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan reproduksi harus selalu ada dan tersedia pada situasi bencana, agar hak kesehatan reproduksi dapat tetap terpenuhi.

Dalam respon bencana bidang kesehatan, pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi yang difokuskan pada upaya pencegahan kekerasan berbasis gender, pencegahan penularan HIV dan pence- gahan meningkatnya kematian maternal dan neonatal melalui koordinasi dengan berbagai pihak untuk penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan terjangkau.

Setelah situasi memungkinkan dan mulai stabil, maka pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif harus segera diselenggarakan secara rutin di fasilitas pelayanan kesehatan.

PPAM Kesehatan Reproduksi merupakan intervensi global dari respon kemanusiaan saat bencana yang disusun berdasarkan pengalaman lapangan dimana ketersediaan pelayanan kesehatan reproduksi sering terabaikan. Padahal pada saat bencana tetap ada ibu hamil yang dapat melahirkan sewaktu waktu, bahkan mengalami komplikasi maternal dan harus segera mendapat pertolongan tenaga kesehatan. Demikian juga dengan risiko meningkat- nya penularan HIV karena lemahnya penerapan kewaspadaan standar dan risiko meningkat- nya kekerasan berbasis gender, utamanya pada situasi konflik.

(7)

Di Indonesia, PPAM Kesehatan Reproduksi mulai dikembangkan sejak tahun 2008 dengan menyusun panduan dan modul pelatihan yang berasal dari Inter Agency Working Group (IAWG) on Reproductive Health in Crisis dan melatih fasilitator PPAM Kesehatan Reproduksi yang berasal dari pengelola program di pusat dan 9 Regional Pusat Krisis Kesehatan. Saat ini PPAM telah menjadi bagian dari penanggulangan krisis kesehatan melalui penetapan Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.

Saya menyambut gembira dengan terbitnya Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan yang diadaptasi dari “Buku Pedoman Lapangan Antar Lembaga Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Darurat Bencana”. Buku pedoman ini diadaptasi sesuai dengan perkembangan program kesehatan reproduksi dan situasi lapang- an penanggulangan krisis kesehatan dewasa ini. Saya harap buku ini dapat menjadi acuan bagi stakeholder, instansi, organisasi dan tenaga lapangan di bidang kemanusiaan dalam me- nyediakan pelayanan kesehatan reproduksi pada situasi bencana.

Jakarta, 18 Februari 2015

Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,

dr. Anung Sugihantono, M.Kes NIP. 196003201985021002

(8)

KATA SAMBUTAN UNFPA INDONESIA

Indonesia adalah salah satu negara yang rawan bencana di dunia. Berlokasi di Pacific Ring of Fire, Indonesia sering menghadapi situasi darurat bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, banjir, tanah longsor, kemarau dan kebakaran hutan yang sering kali menimbulkan dampak buruk. Dalam situasi darurat bencana, kebu- tuhan akan kesehatan reproduksi sering kali terabaikan. Risiko komplikasi pada pe- rempuan ketika melahirkan dapat meningkat, karena terpaksa harus melahirkan tan- pa bantuan tenaga kesehatan terlatih. Risiko terhadap kekerasan seksual, kehamilan yang tidak diinginkan dan penularan infeksi HIV dapat juga terjadi dalam situasi ben- cana. Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi pada situasi bencana akan menye- lamatkan jiwa. Penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi melalui Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi dapat membantu mengurangi risiko yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi pada situasi darurat bencana.

UNFPA akan terus memastikan adanya akses terhadap kesehatan reproduksi pada situasi bencana. Di Indonesia, UNFPA mendukung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam mengintegrasikan PPAM Kesehatan Reproduksi ke dalam sistem kesiapsiagaan dan respon bencana. Pada saat terjadi bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004, UNFPA memastikan layanan PPAM Kesehatan Reproduksi terse- dia bagi penduduk yang terkena dampak bencana. Sejak saat itu, UNFPA telah men- dukung berbagai respon bencana di wilayah lain di Indonesia, seperti respon gempa

(9)

di Yogyakarta pada tahun 2006 dan Padang pada tahun 2009, bencana banjir Jakarta pada tahun 2007, 2013, dan 2014, gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai pada tahun 2010, serta respon bencana Gunung Sinabung dan Gunung Kelud yang meletus pada tahun 2014.

Indonesia juga lebih siap siaga dalam respon terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan re- produksi pada situasi bencana, termasuk upaya dalam pengadaptasian pedoman internasi- onal dalam konteks Indonesia, aktivasi sub klaster kesehatan reproduksi dan penyusunan rencana kontijensi.

Di siklus program UNFPA ketujuh dengan Pemerintah Indonesia, PPAM Kesehatan Reproduksi telah diintegrasikan ke dalam sistem kesiapsiagaan dan respon bencana.

Selain itu, di siklus program UNFPA kedelapan, UNFPA berkolaborasi dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) mengintegrasikan PPAM Kesehatan Reproduksi ke dalam kurikulum sekolah kebidanan sebagai bagian dari pelatihan prapelayanan untuk seluruh murid kebidanan.

Sejak saat itu program PPAM Kesehatan Reproduksi telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Dengan dukungan UNFPA, lebih dari 500 tenaga yang bekerja di penanggulangan bencana bidang kesehatan telah dilatih PPAM Kesehatan Reproduksi. Untuk lebih mening- katkan pelayanan PPAM Kesehatan Reproduksi, UNFPA dan Kementerian Kesehatan telah mengidentifikasikan kebutuhan akan pedoman teknis PPAM Kesehatan Reproduksi yang mudah digunakan dan sesuai dengan konteks Indonesia.

(10)

Sehubungan dengan hal ini, UNFPA Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan menerbitkan “Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan”. Buku pedoman ini disusun berdasarkan referensi pe- doman PPAM internasional yang kemudian diadaptasikan ke dalam konteks Indonesia.

Buku ini memberikan petunjuk praktis untuk pelaksanaan PPAM Kesehatan Reproduksi di Indonesia dan akan menjadi referensi yang sangat bermanfaat bagi para aktor kemanu- siaan yang mengimplementasikan pelayanan kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan.

Harapan kami buku ini bermanfaat dalam meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif untuk kesiapsiagaan dan respon bencana di Indonesia.

Jakarta, Februari 2015

Jose Ferraris

Perwakilan UNFPA Indonesia

(11)
(12)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Tujuan ...3

1.3. Sasaran ...4

1.4. Dasar Hukum ...5

BAB II KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN, KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI, DAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN... 9

2.1. Konsep Dasar Bencana dan Krisis Kesehatan ...9

2.2. Konsep dasar Kesehatan Reproduksi ...12

2.3. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan ...13

BAB III PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI ...27

3.1. Mengidentifikasi koordinator PPAM Kesehatan Reproduksi ...33

3.1.1. Pengorganisasian ...35

3.1.2. Prinsip Dasar ...37

3.2. Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual ...38

3.2.1. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Koordinator Kesehatan Reproduksi Dalam Pelayanan Klinis Untuk Penyintas Perkosaan ...41

3.2.2. Pil Kontrasepsi Darurat ...42

3.2.3. Perawatan untuk Dugaan Infeksi Menular Seksual (IMS) ...43

3.2.4. Profilaksis Paska Pajanan (PPP) untuk Mencegah Penularan HIV ....44

(13)

3.2.5. Perawatan luka dan pencegahan tetanus ...46

3.2.6. Rujukan untuk penanganan lebih lanjut bagi penyintas GBV ...46

3.3. Mengurangi Penularan HIV ...47

3.3.1. Kewaspadaan Standar ...49

3.3.2. Menjamin Ketersediaan Kondom ...55

3.4. Mencegah Meningkatnya Kesakitan dan Kematian Maternal dan Neonatal ...52

3.4.1. Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan ...57

3.4.2. Memastikan Tersedianya Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal di Fasilitas Kesehatan Rujukan ...59

3.5. Merencanakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dan Terintegrasi ke dalam Pelayanan Kesehatan Dasar pada situasi stabil pas- cakrisis kesehatan ...60

BAB IV LOGISTIK KESEHATAN REPRODUKSI PADA TANGGAP DARURAT KRISIS KESEHATAN...63

4.1. Kit Individu ...64

4.2. Kit Bidan...70

4.3. Kit Kesehatan Reproduksi (RH Kit ) ...71

BAB V PENILAIAN KESEHATAN REPRODUKSI PADATANGGAP DARURAT KRISIS KESEHATAN...79

5.1. Langkah – langkah dalam melakukan penilaian ...80

5.2. Pihak yang menilai ...81

5.3. Cara menganalisis, menggunakan dan mendiseminasikan hasil penilaian. ...82

(14)

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI ...85

6.1. Cara Melakukan Monitoring PPAM ...86

6.2. Evaluasi ...87

6.2.1. Waktu Evaluasi ...87

6.2.2. Instrumen Evaluasi...87

6.2.3. Data yang Dibutuhkan untuk Evaluasi ...88

6.2.4. Penanggungjawab Evaluasi ...88

6.2.5. Analisis dan Diseminasi Hasil Evaluasi...89

LAMPIRAN ...90

Lampiran 1: Formulir B-1 ...90

Lampiran 2 Data dasar kesehatan reproduksi prakrisis kesehatan ...94

Lampiran 3 Cara melakukan estimasi statistik sasaran kesehatan reproduksi ...96

Lampiran 4 Penilaian tentang kondisi fasilitas pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, alat dan obat ...97

Lampiran 5 Daftar lembaga/organisasi/LSM yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi ...100

Lampiran 6 Format wawancara ibu hamil dan pasca bersalin ...101

Lampiran 7 Penilaian kondisi kamp pengungsian dan identifikasi resiko terjadinya SGBV ...103

Lampiran 8 Format dan isi laporan penilaian untuk koordinator kesehatan reproduksi di tingkat pusat/propinsi/kabupaten ...106

Lampiran 9 Lembar monitoring indikator PPAM ...107

Lampiran 10 Lembar evaluasi ...116

Lampiran 11 Daftar kontak ...118

Lampiran 12 Daftar Pustaka ...121

Lampiran 13 Daftar Istilah ...122

(15)
(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang rentan ter- hadap bencana. Hal ini dikarenakan kon- disi geografis, geologis, hidrologis maupun demografisnya. Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam, non alam maupun akibat perbuatan manusia yang dapat mengaki- batkan kerusakan lingkungan, kerugian harta benda bahkan korban jiwa. Bencana juga dapat menimbulkan krisis kesehatan yang menyebabkan korban luka, dampak psikologis, korban meninggal, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, ma- salah sanitasi lingkungan, penyakit menu- lar, gangguan kejiwaan dan masalah lain- nya. Jika terjadi bencana berskala sangat

besar, dapat menyebabkan terganggunya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan reproduksi bahkan dapat me- nimbulkan lumpuhnya sistem kesehatan di tempat yang terkena dampak bencana.

Krisis kesehatan merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengan- cam kesehatan individu atau masyarakat yang disebabkan oleh bencana dan/atau potensi bencana. Penyelenggaraan pe- nanggulangan krisis kesehatan mengikuti siklus penanggulangan bencana pada se- tiap tahapan bencana yang meliputi tahap prakrisis kesehatan, tanggap darurat krisis

(18)

kesehatan, dan pasca krisis kesehatan de- ngan penekanan pada upaya mencegah kejadian krisis kesehatan yang lebih parah atau buruk dengan memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus terpenuhi dalam situasi apapun termasuk pada situasi bencana. Demikian halnya dengan kesehatan reproduksi yang merupakan bagian dari kesehatan. Agar hak kesehatan reproduksi dapat tetap ter- penuhi, pada saat bencana, penduduk yang terdampak harus memiliki akses in- formasi dan pelayanan kesehatan repro- duksi. Oleh karena ruang lingkup kesehat- an reproduksi sangat luas, meliputi siklus hidup manusia, maka dalam upaya peme- nuhan hak reproduksi dibutuhkan pende- katan multi program dan sektor yang ber- sifat terpadu.

Pada saat tanggap darurat krisis kesehat- an akibat bencana akan banyak pemberi bantuan kemanusiaan dari berbagai i ns- tansi, organisasi dan negara yang masing masing mempunyai peran penting dalam

merencanakan dan memberikan pelayan- an kesehatan reproduksi. Namun tidak kalah penting untuk melibatkan peran ma- syarakat yang terkena dampak di setiap ta- hapan pada respon bencana, yang diawali dari menilai kebutuhan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksa- naan program yang sesuai dengan kebu- tuhan masyarakat setempat.

Intervensi global kesehatan reproduksi dalam merespon bencana adalah melalui Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi. PPAM kesehatan reproduksi disusun berdasarkan penga- laman lapangan dari respon kemanusiaan dimana pada situasi bencana pelayanan kesehatan reproduksi sering terabaikan.

PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang ha- rus dilaksanakan segera pada tahap awal bencana/saat tanggap darurat krisis kese- hatan yang menitikberatkan pada pence- gahan kematian, kesakitan dan kecacatan pada populasi yang terkena dampak ben- cana, khususnya pada kelompok perempu- an dan remaja perempuan. Setelah situasi

(19)

memungkinkan dan mulai stabil, maka pe- layanan kesehatan reproduksi yang kom- prehensif harus segera diselenggarakan.

PPAM kesehatan reproduksi merupakan bagian dari Standar Sphere. Sphere adalah standar yang disusun oleh kelompok orga- nisasi yang bergerak dibidang kemanusia- an untuk meningkatkan mutu pelayanan pada situasi bencana sehingga masyarakat yang terkena dampak bencana dapat hi- dup secara layak dan bermartabat. Sphere

menyusun sejumlah standar minimum untuk sektor-sektor kunci yang berfokus pada upaya penyelamatan jiwa berupa pa- sokan air bersih, sanitasi dan promosi ke- bersihan, ketahanan pangan dan gizi, huni- an, permukiman dan bantuan non-pangan dan kesehatan. Sejak tahun 2013, PPAM telah menjadi bagian dari penanggulang- an krisis kesehatan di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum:

Tujuan dari buku pedoman ini adalah sebagai bahan acuan atau rujukan dalam menyelengga- rakan kegiatan kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Tersosialisasinya PPAM kesehatan reproduksi pada respon penanggulangan bencana bi- dang kesehatan

b. Tersedianya PPAM kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan

(20)

c. Tersedianya informasi tentang kebutuhan logistik untuk PPAM kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan dan cara pengelolaannya

d. Terlaksananya mekanisme koordinasi dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan

e. Tersedianya informasi tentang cara melakukan penilaian kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan

f. Tersedianya alat bantu untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi pelayanan kesehat- an reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan

g. Tersusunnya rencana tindak lanjut dalam penyiapan pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi

1.3 SASARAN

a. Penanggung Jawab Program Kesehatan Reproduksi/Kesehatan Ibu dan Anak di Tingkat Pusat dan Daerah

b. Penanggung Jawab Penanggulangan Krisis Kesehatan di Tingkat Pusat dan Daerah c. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah d. TNI dan POLRI yang terlibat dalam penanggulangan bencana

e. Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik dan Praktik Swasta f. Institusi Pendidikan

g. Organisasi Profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan

(21)

1.4 DASAR HUKUM

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia (HAM) di Indonesia

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga

e. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran f. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang

g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723)

h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

i. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no.

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

j. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan k. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran

Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637)

l. Peraturan Pemerintah nomor 21Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

(22)

m. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

n. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi kemen- terian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara o. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 1144/MENKES/Per/VIII/2010 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan

p. Peraturan Menteri Kesehatan no 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan

q. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 066/MENKES/SK/II/2006 tentang Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana

(23)
(24)
(25)

BAB II

KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN, KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI, DAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN

2.1 KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan meng- ganggu kehidupan masyarakat yang dise- babkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa ma- nusia, kerusakan lingkungan, kerugian har- ta benda, dan dampak psikologis (Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana).

Upaya penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap:

1. Prabencana

- Situasi tidak terjadi bencana, kegi- atannya berupa pencegahan dan mitigasi.

- Situasi dimana dinyatakan adanya potensi terjadi bencana, kegiatan- nya berupa kesiapsiagaan

2. Tanggap darurat terdiri dari kegiatan tanggap darurat

3. Pasca bencana, terdiri dari pemulihan dan rekonstruksi

(26)

Penentuan masa tanggap darurat dite- tapkan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Nasional Pe- nanggulangan Bencana maupun Badan

Penanggulangan Bencana Daerah. Tahap- an situasi bencana dapat digambarkan da- lam suatu siklus seperti di bawah ini:

SIKLUS BENCANA

Pra Bencana Tanggap Darurat Pasca Bencana

Pencegahan/

mitigasi

Pencegahan/

mitigasi Tanggap Darurat

Kesiapsiagaan

Pemulihan Rekonstruksi Kejadian/Krisis

Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan

Setiap tahap penanggulangan bencana ti- dak dapat dibatasi secara tegas. Artinya bahwa upaya pra bencana harus terle- bih dahulu dilaksanakan sebelum me- langkah pada tahap tanggap darurat dan

dilanjutkan ke tahap berikutnya, yakni pe- mulihan. Siklus ini harus dipahami bahwa pada setiap waktu, semua tahapan ben- cana dapat dilaksanakan secara bersama- an pada satu tahap tertentu dengan porsi

(27)

yang berbeda. Sebagai contoh, pada tahap pemulihan kegiatan utamanya berupa pe- mulihan, tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi dapat juga dilakukan untuk meng- antisipasi bencana yang akan datang.

Pada setiap bencana dapat timbul krisis kesehatan. Penyelenggaraan penanggu- langan krisis kesehatan ditetapkan me- lalui Permenkes No 64 tahun 2013 ten- tang Penanggulangan Krisis Kesehatan.

Penyelenggaran pananggulangan krisis kesehatan tersebut mengikuti siklus pe- nanggulangan bencana seperti dijelaskan di atas, dengan penyesuaian pada tahapan bencana yang meliputi tahap prakrisis ke- sehatan, tanggap darurat krisis kesehatan, dan pascakrisis kesehatan dengan pene- kanan pada upaya mencegah kejadian kri- sis kesehatan yang lebih parah atau buruk dengan memperhatikan aspek pengurang- an risiko bencana.

Tahapan dalam krisis kesehatan:

1. Prakrisis kesehatan merupakan se- rangkaian kegiatan yang dilakukan

sebelum terjadi bencana atau pada si- tuasi terdapat potensi terjadinya ben- cana yang meliputi kegiatan perenca- naan penanggulangan krisis kesehatan, pengurangan risiko krisis kesehatan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia dan penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggu- langan krisis kesehatan, kesiapsiagaan dan mitigasi kesehatan

2. Tanggap darurat krisis kesehatan ada- lah serangkaian kegiatan yang dilaku- kan dengan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk memperkecil ri- siko dan menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan, yang meliputi kegiat- an penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelin- dungan dan pemulihan korban, prasara- na serta fasilitas pelayanan kesehatan 3. Pascakrisis kesehatan merupakan se-

rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera untuk memperbaiki, memulihkan, dan/atau membangun kembali prasarana dan fasilitas pela- yanan kesehatan

(28)

Bencana Tsunami di Aceh Tahun 2004 Gempa di Padang Tahun 2009

2.2 KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI

Menurut UU No 36 tahun 2009 tentang ke- sehatan pasal 71 ayat 1, kesehatan repro- duksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduk- si, fungsi serta prosesnya baik pada laki-laki maupun perempuan.

Dengan pengertian tersebut maka kesehat- an reproduksi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yang mencakup keseluruh- an siklus hidup manusia mulai sejak konsepsi hingga lanjut usia. Laki-laki dan perempuan

memiliki hak yang sama terhadap akses dan pelayanan kesehatan reproduksi. Oleh ka- rena itu, untuk dapat memenuhi hak repro- duksi setiap individu, maka pelayanan kese- hatan reproduksi harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terpadu, disesuai- kan dengan usia individu dengan memper- hatikan kesetaraan dan keadilan gender.

(29)

2.3 KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN

Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia, seperti hak asasi manusia lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, penduduk yang terkena dampak bencana harus memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memungkinkan setiap individu dapat be- bas dari masalah kesehatan reproduksi.

Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak tersedia karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan

pertolongan. Pada saat bencana, bila pem- berian pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan sesegera mungkin, dapat mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya kekerasan seksual serta men- cegah penularan infeksi HIV. Pelayanan kesehatan reproduksi akan selalu dibu- tuhkan dalam setiap situasi dan harus se- lalu tersedia. Dengan mengintegrasikan pelayanan kesehatan reproduksi ke dalam setiap respon penanggulangan bencana di bidang kesehatan, diharapkan kebutuhan pelayanan tersebut dapat terpenuhi.

KESEHATAN REPRODUKSI ADALAH KOMPONEN PENTING PADA PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN

Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan dilak- sanakan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi yang diselenggarakan sesegera mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap

darurat krisis kesehatan untuk men- cegah dampak lanjut krisis kesehatan.

Sedangkan pada tahap prakrisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan, pelayanan ke- sehatan reproduksi dilaksanakan melalui

(30)

pelayanan kesehatan reproduksi kompre- hensif pada situasi normal.

Penerapan pelayanan kesehatan repro- duksi berdasarkan tahapan krisis keseha- tan dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini:

Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

Tahap Bencana Kegiatan

Prakrisis kesehatan

Pembentukan tim kesehatan reproduksi, Pelatihan PPAM, Advokasi, Sosialisasi, Penyusunan Kebijakan, Penyusunan Pedoman, dll

Tanggap darurat krisis kesehatan

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi

Pascakrisis kesehatan Perencanaan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Perbaikan fasilitas PONED dan PONEK, dll

Untuk mewujudkan ketersediaan pelayan- an kesehatan reproduksi yang berkuali- tas terutama pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinasi lintas program dan sektor terkait serta keterlibatan masya- rakat di setiap tahap pelayanan tersebut sangat diperlukan, yaitu mulai dari penilai- an, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Paska persalinan di tenda pengungsian – Tsunami Aceh 2004

(31)

Meskipun sampai saat ini belum ada data dan laporan berapa jumlah ibu hamil di wi- layah bencana di Indonesia, namun peng- alaman respon bencana sebelumnya me- nunjukkan bahwa dalam situasi bencana, selalu ada ibu yang melahirkan atau meng- alami komplikasi kehamilan seperti kasus seorang Ibu yang melahirkan ketika gempa di Padang pada bulan Oktober 2009 dan

ibu yang melahirkan saat terjadi letusan gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010.

Di Padang, ibu harus diangkut dengan mo- bil bak terbuka untuk mencapai tempat bidan ketika gempa terjadi. Bidan meno- long ibu di luar rumah dengan peralatan seadanya. Di Yogyakarta, ibu melahirkan di mobil pada saat proses evakuasi sedang berlangsung.

Melahirkan saat gempa Padang 2009 Melahirkan saat evakuasi Gunung Merapi 2010

Pelayanan kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan difokus- kan pada beberapa hal di bawah ini:

1. Koordinasi Kesehatan Reproduksi

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada

tanggap darurat krisis kesehatan per- lu dikoordinir oleh seorang koordinator kesehatan reproduksi. Koordinator ini berperan penting untuk memastikan ke- tersediaan pelayanan dan menghindari kegiatan yang tidak efektif, efisien dan tumpang tindih. Akibat dari ketiadaan

(32)

koordinator kesehatan reproduksi di la- pangan dapat menyebabkan pengham- buran sumber daya manusia dan material yang tidak diperlukan. Contoh kasus: tidak adanya koordinator kesehatan reproduksi sesaat setelah gempa di salah satu daerah.

Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang seharusnya menolong ke- gawatdaruratan kebidanan berganti tugas mengarahkan mobil parkir masuk karena banyaknya pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut.

Keberadaan koordinator kesehatan re- produksi diperlukan sejak awal tanggap darurat krisis kesehatan. Adakalanya pe- nunjukan koordinator PPAM kesehatan reproduksi yang telah disiapkan pada ta- hap prakrisis menjadi korban dari bencana itu sendiri yang menyebabkan tidak mung- kin untuk melaksanakan tugasnya sesege- ra mungkin. Untuk itu dapat ditunjuk ko- ordinator kesehatan reproduksi lain yang berasal dari satu wilayah atau dari wilayah terdekat atau apabila diperlukan dapat berasal dari pemerintah pusat.

2. Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence/GBV)

Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) rawan terjadi pada kondisi yang tidak stabil seperti pada situasi ben- cana, termasuk konflik, perang dan benca- na alam. GBV berhubungan dengan status perempuan yang dianggap lebih rendah dalam suatu masyarakat sehingga rentan mengalami tindak kekerasan. Namun de- mikian, kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki dan anak laki-laki dapat juga menjadi penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan sek- sual terutama ketika mereka mengalami penyiksaan dan/atau penahanan.

Ada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan fisik, kekeras- an psikis, kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan ekonomi. Pada situasi bencana, interven- si GBV difokuskan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Sexual Gender Based Violence/SGBV). Namun pada umumnya kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi bencana jarang dilaporkan.

(33)

Contoh Kasus Kekerasan Berbasis Gender pada Situasi Bencana di Indonesia

• Selama konflik di Aceh 1989-1998: 20 kasus perkosaan dan ke- kerasan seksual oleh oknum militer, petugas keamanan dan ma- syarakat umum (Laporan Komnas Perempuan, 2002)

• 3 kasus perkosaan di pengungsian pasca gempa di Padang ta- hun 2009 (Laporan Program Pencegahan dan Respon GBV Pasca Gempa Padang, UNFPA Indonesia)

• 4 kasus kekerasan seksual pengungsi Aceh pasca tsunami (Catatan Kekerasan terhadap Perempuan, Tahun 2006, Komnas Perempuan)

• 97 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan oleh 10 Community Support Center (CSC) selama program respon Tsunami, 80% diantaranya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), (Final Project Report, UNFPA Indonesia 2005-2006)

• Komnas Perempuan mencatat dalam situasi konflik di seluruh Indonesia tahun 1965-2009 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, meliputi: a) kekerasan seksual sebanyak 1511 kasus, b) kekerasan non seksual sebanyak 302.642 kasus

(34)

Pada situasi bencana terjadi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender karena:

a. Sistem perlindungan sosial terganggu:

keluarga yang terpisah, sistem keaman- an di lingkungan tempat tinggal yang ti- dak berjalan

b. Lemahnya aturan keamanan dan kese- lamatan pada saat terjadi konflik c. Pengaturan tempat pengungsian dapat

juga meningkatkan risiko terjadinya ke- kerasan seksual, misalnya pengaturan

tenda, penempatan toilet dan fasilitas di tempat pengungsi yang tidak aman, mekanisme distribusi bantuan yang ti- dak memperhatikan kebutuhan kelom- pok rentan dll

d. Hilangnya pendapatan sehingga mem- pengaruhi stabilitas ekonomi rumah tangga

e. Tidak terpenuhinya kebutuhan seksual selama tinggal di pengungsian dalam jangka waktu yang lama

Kondisi pengungsi di daerah bencana

3. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Pada situasi bencana, risiko terhadap penularan IMS dan HIV bisa meningkat

disebabkan karena kekerasan seksual, pe- kerja dengan mobilitas tinggi, transaksi seks, ketiadaan informasi dan akses kon- dom, berkurangnya kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, dll.

(35)

Bencana dapat memicu situasi yang kom- pleks seperti terjadinya konflik, ketidak stabilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang dapat meningkatkan ke- rentanan dan risiko terhadap penularan HIV, melalui:

a. Rusaknya infrastruktur dan minimnya peralatan kesehatan menyebabkan su- litnya penerapan kewaspadaan stan- dar. Beberapa kasus di situasi bencana, tenaga kesehatan menggunakan alat- -alat medis yang tidak steril pada saat melakukan pertolongan kepada korban b. Terganggunya sistem dukungan sosial

yang dapat meningkatkan kekerasan seksual (perkosaan) dan pelecehan sek- sual di pengungsian

c. Perpindahan penduduk ke daerah de- ngan prevalensi HIV yang lebih tinggi yang memungkinkan terjadinya risiko penularan HIV antara pengungsi de- ngan penduduk setempat

Faktor yang mempengaruhi penyebar- an HIV pada situasi bencana sangatlah

kompleks dan saling berkaitan, termasuk prevalansi HIV di wilayah asalnya dan tem- pat pengungsian, tingkat interaksi antara pengungsi dan masyarakat sekitarnya, la- manya pengungsian dan lokasi pengung- sian. Pengungsi yang tinggal dan berbaur dengan masyarakat perkotaan memiliki risiko berbeda dengan pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian.

Mengintegrasikan upaya pencegahan HIV pada situasi bencana ke dalam strategi pe- nyuluhan yang berhubungan dengan po- pulasi dan kondisi bencana merupakan hal yang sangat penting. Upaya komunikasi pada respon awal difokuskan pada pembe- rian informasi kepada penduduk tentang tempat pelayanan dasar yang dapat diak- ses. Perlu dipertimbangkan karakteristik populasi sesegera mungkin, agar informasi tentang HIV sesuai dengan kebutuhan ma- syarakat, misalnya:

a. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang keliru tentang HIV di masyarakat b. Perilaku berisiko dalam penularan HIV

(36)

c. Faktor-faktor yang dapat meningkat- kan risiko penularan HIV pada situasi bencana

d. Sikap masyarakat terhadap ODHA

Pemberian KIE tentang HIV dan AIDS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat da- pat meningkatkan pengetahuan masya- rakat tentang HIV dan AIDS, mengurangi stigma serta diskriminasi pada ODHA.

Ketika merencanakan program pence- gahan dan penularan HIV pada situasi

bencana, pengelola program harus mem- pertimbangkan: 1) Kearifan lokal yang mendukung program pencegahan HIV dan AIDS, misalnya: budaya berkumpul sebagai media untuk penyebaran infor- masi 2) Ketersediaan dan akses pelayan- an Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP) bagi ODHA, termasuk putus obat, kapan memulai kembali atau melanjut- kan pengobatan ARV 3) Stigma dan dis- kriminasi terhadap ODHA dan anggota keluarganya.

Kondisi fasilitas pelayanan kesehatan yang rusak dan tidak tersedianya alat dan bahan yang memadai menyulitkan penerapan kewaspadaan standar

(37)

Contoh Pengalaman dari Beberapa Daerah di Indonesia

• Saat bencana gempa, seorang petugas kesehatan di desa menerima be- berapa korban gempa yang luka-luka. Dia hanya memiliki satu set alat untuk menjahit luka pasien. Petugas kesehatan terpaksa menangani se- mua pasien dengan alat yang sama tanpa melakukan sterilisasi

• Hal ini juga terjadi di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit yang menangani korban dengan menggunakan alat jahit luka yang tidak steril, karena banyaknya korban yang datang dan memerlukan pertolongan se- gera. Jika salah satu pasien itu positif HIV, maka risiko untuk menularkan

ke pasien yang lain sangat besar!!

4. Kesehatan Maternal dan Neonatal Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi. Kondisi ini akan lebih buruk bila terjadi pada kondisi bencana, karena ter- ganggunya sistem pelayanan kesehatan.

Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumen- tasi, sehingga data yang digunakan sebagai rujukan adalah Angka Kematian Ibu pada situasi normal.

Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20%

ibu hamil akan mengalami komplikasi se- lama kehamilan atau persalinan. Sekitar lebih dari 500.000 kematian ibu terjadi setiap tahun dengan 99% nya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2012), Angka Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000 kelahiran hidup. Kematian bayi sangat di- pengaruhi oleh proses persalinan. Sekitar 130 juta bayi di dunia lahir setiap tahun

(38)

dan 4 juta diantaranya meninggal dunia da- lam empat minggu pertama kehidupannya (periode neonatal). Angka Kematian Bayi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012).

Sebagian besar kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kematian bayi baru la- hir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas. Dari analisa penyebab kematian Ibu

(SP, 2010) diperoleh bahwa 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan se- gera setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah 1) Hipertensi dalam Kehamilan (32%), 2) Komplikasi puerper- um (31%), 3) Perdarahan (20%), 4) Abortus (4%), 5) Perdarahan Antepartum (3%), 6) Partus macet/lama (1%), 7) Kelainan amni- on (2%), 8) lain lain (7%).

PENYEBAB KEMATIAN IBU

20

% PBB

32

%HDK Lain-lain

7

%

Kelainan Amnion

2

%

Komplikasi Puerperium

31

%

Partus Lama

1

%

Abortus

4

%

3

% APB Sumber: SP 2010

(39)

Sedangkan kematian bayi sebagian besar disebabkan oleh masalah neonatal (BBLR, asfiksia dan infeksi) yang sebenarnya da- pat dihindari penyebabnya. Mengingat ke- matian bayi mempunyai hubungan erat de- ngan mutu penanganan ibu, maka proses

bersalin dan perawatan bayi harus dilaku- kan dalam sistem terpadu. Sebagian besar kematian ibu dan bayi sebenarnya dapat dicegah apabila ditangani oleh petugas te- rampil dengan sumber daya yang memadai ditingkat fasilitas pelayanan kesehatan.

PENYEBAB KEMATIAN BAYI

Masalah Neonatal

Tetanus

Diare

Pneumonia Kelainan Kongenital Meningitis

Tidak diketahui penyebabnya

46.2

%

3.7

%

4.5

%

5.7

%

12.7

%

15

%

1.7

%

Sumber : Riskesdas 2007

(40)

Pelayanan kesehatan maternal dan neona- tal pada tanggap darurat krisis kesehatan utamanya ditujukan untuk mengenali tan- da bahaya serta penanganan kegawatda- ruratan melalui tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan oleh tenaga kese- hatan terampil untuk menangani kompli- kasi maternal pada periode kehamilan, persalinan dan nifas dan pada neonatal.

5. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dan Terintegrasi kedalam Pelayanan Kesehatan Dasar

Pada situasi bencana, mungkin beberapa tempat yang menyediakan kesehatan re- produksi komprehensif tidak berfungsi seperti sedia kala karena bangunan dan peralatan rusak. Koordinator kesehatan reproduksi harus merencanakan bagaima- na pelayanan kesehatan reproduksi akan diberikan pada masyarakat selama tang- gap darurat dan pasca krisis kesehatan.

Penanganan kesehatan reproduksi pada situasi bencana disediakan melalui pela- yanan kesehatan bergerak (mobile clinic).

Apabila sumber daya manusia di tempat tersebut juga menjadi korban, rencanakan

rotasi atau bantuan dukungan dari wilayah terdekat untuk membantu pelayanan ke- sehatan reproduksi komprehensif.

Pelayanan kesehatan reproduksi kompre- hensif dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan dasar harus direncanakan se- jak awal tanggap darurat krisis kesehatan termasuk merencanakan tempat, sumber daya manusia, peralatan, obat-obatan, es- timasi kebutuhan dana dan kegiatan lain- nya sehingga layanan dapat terus tersedia seperti pada situasi normal.

(41)
(42)
(43)

BAB III PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI

PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan segera pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk menyelamatkan jiwa khususnya pada kelompok perempu- an dan remaja perempuan. Jika kesehat- an reproduksi diabaikan, akan memiliki konsekuensi sebagai berikut: 1) Kematian maternal dan neonatal, 2) Kekerasan sek- sual dan komplikasi lanjutan, 3) Infeksi menular seksual (IMS), 4) Kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, 5) Penyebaran HIV. Keluarga beren- cana bukan merupakan bagian dari PPAM kesehatan reproduksi, namun pelayanan kontrasepsi dibutuhkan untuk memasti- kan kesinambungan dalam penggunaan

alat dan obat kontrasepsi (alokon) pada pasangan usia subur dalam mencegah ter- jadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

Pelayanan kesehatan reproduksi harus tersedia dalam kondisi apapun baik pada kondisi normal maupun pada situasi ben- cana. Pada bencana berskala besar, bia- sanya terjadi keterbatasan jumlah tenaga maupun sarana dan prasarana (alat dan bahan) kesehatan. Oleh karena itu inter- vensi pelayanan kesehatan reproduksi difokuskan pada tindakan penyelamatan jiwa melalui penerapan PPAM yang me- rupakan pelayanan minimal yang harus tersedia. Sedangkan pada bencana ber- skala kecil, biasanya tenaga dan sarana

(44)

kesehatan masih tersedia cukup sehingga diharapkan semua pelayanan kesehatan reproduksi tetap dapat dilaksanakan.

Pada bencana akan selalu ada kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi. Untuk itu diperlukan ketersediaan informasi yang mendukung, agar pelayanan kesehatan re- produksi dapat dilaksanakan di pengung- sian. Beberapa informasi dasar yang harus dikumpulkan meliputi data demografi dan kesehatan penduduk yang terkena dam- pak. Informasi tersebut bisa diperoleh dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan organisasi atau lembaga yang bekerja di wilayah bencana tersebut. Selain itu di- butuhkan juga informasi tentang kondisi fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga ke- sehatan, ketersediaan alat kesehatan dan

obat serta penyusunan rencana program.

Jika pada awal tanggap darurat krisis kese- hatan, sulit mendapatkan data sasaran ke- sehatan reproduksi seperti jumlah Wanita Usia Subur (WUS), ibu hamil, pria yang aktif secara seksual dan lain sebagainya, maka data tersebut dapat diestimasi seca- ra statistik dari jumlah pengungsi.

Bab ini menjelaskan tentang Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) kese- hatan reproduksi dan yang harus dilaku- kan oleh koordinator kesehatan repro- duksi pada situasi bencana. Koordinator kesehatan reproduksi harus memiliki ke- mampuan melakukan koordinasi, mempu- nyai pengetahuan dasar pelayanan kese- hatan reproduksi dan dapat memastikan PPAM kesehatan reproduksi tersedia se- suai standar.

• Intervensi kesehatan reproduksi pada respon penanggulangan bencana adalah melalui penerapan PPAM kesehatan reproduksi

• PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dan dapat diterapkan pada semua jenis bencana, baik benca- na alam maupun non alam

(45)

TUJUAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI MELIPUTI:

1. MENGIDENTIFIKASI koordinator PPAM kesehatan reproduksi:

a. Menetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi b. Melaksanakan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan mene-

tapkan penanggung jawab pelaksana di setiap komponen PPAM (SGBV, HIV, Maternal dan Neonatal serta Logistik)

c. Melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, keterse- diaan sumberdayaserta logistik pada pertemuan koordinasi

2. MENCEGAH DAN MENANGANI kekerasan seksual:

a. Melakukan perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak, terutama pada perempuan dan anak-anak

b. Menyediakan pelayanan medis dan dukungan psikososial bagi pe- nyintas perkosaan

c. Memastikan masyarakat mengetahui informasi tersedianya pela- yanan medis, psikososial, rujukan perlindungan dan bantuan hukum d. Memastikan adanya jejaring untuk pencegahan dan penanganan

kekerasan seksual

3. MENGURANGI penularan HIV:

a. Memastikan tersedianya transfusi darah yang aman

b. Memfasilitasi dan menekankan penerapan kewaspadaan standar c. Memastikan ketersediaan kondom

(46)

4. MENCEGAH meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal:

a. Memastikan adanya tempat khusus untuk bersalin di beberapa tempat seperti pos kesehatan, di lokasi pengungsian atau di tem- pat lain yang sesuai

b. Memastikan tersedianya pelayanan persalinan normal dan kega- watdaruratan maternal dan neonatal (PONED dan PONEK) di fasi- litas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

c. Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan puskesmas ke ru- mah sakit

d. Tersedianya perlengkapan persalinan yang diberikan pada ibu ha- mil yang akan melahirkan dalam waktu dekat

e. Memastikan masyarakat mengetahui adanya layanan pertolongan persalinan dan kegawatdaruratan maternal dan neonatal

5. MERENCANAKAN pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi stabil.

Mendukung lembaga/organisasi untuk:

a. Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi berda- sarkan estimasi sasaran

b. Mengumpulkan data riil sasaran dan data cakupan pelayanan c. Mengidentifikasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyeleng-

garakan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif d. Menilai kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan pela-

yanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan merencana- kan pelatihan

(47)

BAGAN TUJUAN PPAM KESEHATAN REPRODUKSI

RH Kit 3 RH Kit 9 RH Kit 7

RH Kit 5 RH Kit 4

RH Kit 1 Standar RH Kit 12

Kewaspadaan Kit 1-12

Menurunkan kematian, kesakitan dan kecacatan pada populasi yang terkena dampak krisis (pengungsi, pengungsi internal, populasi setempat)

Sasaran

Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi berdasarkan estimasi sasaran

Mengumpulkan data riil sasaran dan data cakupan pelayanan Mengidentifikasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyeleng- garakan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif Menilai kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan meren- canakan pelatihan

Melakukan perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak, terutama perempuan dan anak-anak

Menyediakan pelayanan medis dan dukungan psikososial bagi penyintas perkosaan

Memastikan masyarakat mengetahui informasi tersedianya pelayanan medis, psikososial, rujukan perlindungan dan bantuan hukum

Memastikan adanya jejaring untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual

Memastikan tersedianya transfusi darah yang aman Memfasilitasi dan menekankan penerapan

kewaspadaan standar

Memastikan tersedianya kondom Memastikan adanya tempat khusus untuk bersalin di beberapa tempat

seperti pos kesehatan, di lokasi pengungsian atau di tempat lain yang sesuai

Memastikan tersedianya pelayanan persalinan normal dan kegawatdaru- ratan maternal dan neonatal (PONED dan PONEK) di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan komu- nikasi dari masyarakat ke puskesmas dan puskesmas kerumah sakit Tersedianya perlengkapan persalinan yang diberikan pada ibu hamil yang akan melahirkan dalam waktu dekat

Memastikan masyarakat mengetahui adanya layanan pertolongan persal- inan dan kegawatdaruratan maternal dan neonatal

Tujuan 2

Tujuan 3 Tujuan 4

Tujuan 5

MERENCANAKAN pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi stabil. Mendukung lembaga/organisasi untuk:

Mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal:

Mencegah dan menangani kekerasanseksual:

Mengurangi penularan HIV:

a.

Menetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi.

Melaksanakan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan menetapkan penanggung jawab pelaksana di setiap komponen PPAM (SGBV, HIV, Maternal dan Neonatal serta logistik)

Melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, ketersediaan sumber daya serta logistik pada pertemuan koordinasi Mengidentifikasi koordinator PPAM kesehatan reproduksi:

a.

b.

c.

RH Kit 0

Tujuan 1

a.

b.

c.

a.

b.

c.

d.

b.

c.

d.

a.

b.

c.

d.

e.

catatan:

bagan ini bersambung

(48)
(49)

3.1 MENGIDENTIFIKASI KOORDINATOR PPAM KESEHATAN REPRODUKSI

Pada tanggap darurat krisis kesehatan, harus ditetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kesehatan repro- duksi menjadi prioritas pelayanan. Koordinator kesehatan reproduksi adalah seseorang yang mempunyai tanggung jawab dalam penanganan kesehatan reproduksi. Koordinator kesehatan reproduksi di tingkat provinsi dan kabu- paten/kota berasal dari Dinas Kesehatan setempat dari program Kesehatan Reproduksi atau Kesehatan Ibu dan Anak serta mengetahui tentang PPAM kesehatan reproduksi.

Dalam melaksanakan tugasnya koordinator harus melakukan rapat koordina- si untuk mendukung dan menetapkan penanggung jawab di setiap komponen PPAM kesehatan reproduksi (SGBV, HIV, maternal dan neonatal, serta logis- tik) serta melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, keterse- diaan sumber daya serta logistik pada pertemuan koordinasi.

Tugas koordinator kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan:

(50)

Langkah langkah:

a. Mengidentifikasi lembaga dan organisasi yang bergerak di bidang Kesehatan Reproduksi di wilayah bencana

b. Melakukan rapat koordinasi dengan lembaga dan organisasi yang ber- gerak di bidang Kesehatan Reproduksi untuk menentukan penang- gung jawab komponen PPAM sesuai dengan bidang kerjanya serta memperoleh data dari PPKK

c. Mengenalkan/mensosialisasikan PPAM kesehatan reproduksi dan me- nyusun rencana kerja

d. Melakukan pertemuan rutin dengan lintas program/lintas sektor ke- sehatan reproduksi dan organisasi terkait untuk menyelenggarakan PPAM kesehatan reproduksi sesegera mungkin

e. Melaporkan kegiatan rutin untuk disampaikan kepada anggota mau- pun lembaga atau sektor terkait lainnya

f. Memastikan terdapat pelayanan kesehatan reproduksi pada tenda pengungsian

g. Mengkoordinir ketersediaan dan distribusi logistik kesehatan reproduksi

h. Menghadiri pertemuan dan berkoordinasi dengan PPKK maupun BNPB

(51)

3.1.1 Pengorganisasian

Koordinator kesehatan reproduksi adalah ketua dari tim siaga kesehatan reproduksi yang berada di bawah tim penanggulangan bencana bidang kesehatan dan bertang- gung jawab kepada koordinator tim pe- nanggulangan krisis kesehatan di setiap jenjang administrasi. Tim siaga kesehatan reproduksi dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten pada situasi pra bencana untuk

menyusun dan melaksanakan rencana ke- siapsiagaan serta melaksanakan kompo- nen PPAM kesehatan reproduksi pada saat bencana. Tim siaga ini terdiri dari penang- gung jawab komponen kekerasan berbasis gender, pencegahan penularan HIV, kese- hatan maternal dan neonatal serta logistik.

Berikut adalah struktur organisasi tim sia- ga kesehatan reproduksi:

Diskusi dengan seorang ibu di tempat pengungsian – Banjir Jakarta 2013

(52)

Struktur dan Mekanisme Koordinasi Kesehatan Reproduksi pada Penanggulangan Krisis Kesehatan

Menkes

Sekjen

Direktorat Bina Kesehatan Ibu

Tim Siaga Kesehatan Reproduksi (Koordinator)

Penanggung Jawab Komponen Penanganan

Kekerasan Berbasis Gender (anggota)

Penanggung Jawab Komponen Pencegahan

Penularan HIV (anggota)

Penanggung Jawab Komponen Maternal

dan Neonatal (anggota)

Penanggung Jawab Komponen Logistik

(anggota) PPKK

(53)

3.1.2 Prinsip Dasar

1. Penanggulangan krisis kesehatan di- laksanakan secara berjenjang dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan kemampuan peme- rintah daerah

2. Dalam hal terjadi krisis kesehatan, maka tanggung jawab pertama pe- nanganan kesehatan reproduksi ada pada tim kesehatan reproduksi di ting- kat Kabupaten/Kota

3. Apabila masalah kesehatan reproduk- si yang timbul tidak dapat tertangani, tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Kabupaten/Kota melaporkan ke tim siaga kesehatan reproduksi di tingkat Provinsi dan jika tidak tertangani, tim siaga kesehatan reproduksi di tingkat Provinsi akan melaporkan ke tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Pusat 4. Pelaksanaan kegiatan tim siaga kese-

hatan reproduksi terintegrasi dengan tim penanggulangan bencana bidang kesehatan

5. Tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Pusat melakukan monitoring dan eva- luasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Provinsi serta dapat melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan

6. Tim siaga kesehatan reproduksi ting- kat Provinsi melakukan monitoring dan evaluasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Kabupaten/Kota serta dapat melakukan intervensi sesu- ai dengan kebutuhan

7. Apabila tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi be- lum terbentuk, maka tanggung jawab berada pada Dinas Kesehatan Kabu- paten/Kota/Provinsi yaitu unit yang bertanggung jawab untuk Kesehatan Reproduksi/Kesehatan Ibu dan Anak.

Di tingkat Pusat, tim siaga kesehatan reproduksi berada di bawah Direktorat Bina Kesehatan Ibu.

(54)

3.2 MENCEGAH DAN MENANGANI

KEKERASAN SEKSUAL

Kondisi bencana dan pengungsian dapat menyebabkan meningkatnya risiko keke- rasan seksual pada perempuan dan anak.

Kasus kekerasan seksual terjadi karena kondisi di lokasi bencana yang tidak me- madai, seperti: tenda dan toilet yang tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, lokasi sumber air bersih yang jauh dari pengungsian, penerangan yang kurang me- madai, tidak adanya sistim ronda maupun keamanan di pengungsian dan lain-lain.

Koordinator kesehatan reproduksi ha- rus membahas masalah kekerasan sek- sual didalam rapat koordinasi kesehatan

bersama dengan penanggung jawab kom- ponen GBV dan tim kesehatan reproduksi lainnya. Pada situasi bencana, pelayanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah sebagai berikut:

Rapat Koordinasi dengan sektor dan NGO internasional dipimpin oleh Koordinator Kesehatan Reproduksi – Gempa Padang 2009

(55)

Langkah langkah:

a. Melakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempat- kan kelompok rentan di pengungsian dan memastikan satu keluarga berada da- lam tenda yang sama. Perempuan yang menjadi kepala keluarga dan anak yang terpisah dari keluarga dikumpulkan di dalam satu tenda

b. Memastikan terdapat pelayanan kesehatan reproduksi pada tenda pengungsian c. Menempatkan MCK laki-laki dan perempuan secara terpisah di tempat yang

aman dengan penerangan yang cukup. Pastikan bahwa pintu MCK dapat di kun- ci dari dalam

d. Melakukan koordinasi dengan penanggung jawab keamanan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual

e. Melibatkan lembaga-lembaga/organisasi yang bergerak di bidang pemberda- yaan perempuan dan perempuan di pengungsian dalam pencegahan dan pena- nganan kekerasan seksual

f. Menginformasikan adanya pelayanan bagi penyintas perkosaan dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam. Informasi dapat diberikan melalui leaflet, selebaran, radio, dll

g. Memastikan adanya petugas kompeten untuk penanganan kasus kekerasan seksual

h. Memastikan tersedianya pelayanan medis dan psikososial ada di organisasi/lem- baga yang terlibat dalam respon bencana serta memastikan adanya mekanisme rujukan, perlindungan dan hukum yang terkoordinasi untuk penyintas

i. Menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan seksual bagi pasangan sua- mi istri yang sah, sesuai dengan budaya setempat atau kearifan lokal

(56)

Toilet yang aman: terpisah antara laki-laki dan perempuan dan bisa dikunci - barak pengungsian Merapi dan pengungisan korban banjir Wassior

Toilet yang tidak aman: tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, tidak ada penerangan, tidak bisa dikunci

(57)

3.2.1 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Koordinator Kesehatan Reproduksi Dalam Pelayanan Klinis Untuk Penyintas Perkosaan

Saat menyiapkan tempat pelayanan klinis, koordinator kesehatan reproduksi harus berkoordinasi dengan pelaksana/petugas pelayanan kesehatan reproduksi untuk memastikan:

a. Tersedianya tempat konsultasi yang menjamin privasi dan kerahasiaan pe- nyintas perkosaan

b. Tersedianya protokol yang jelas serta peralatan dan logistik yang memadai c. Bahwa pelayanan dan mekanisme ru-

jukan ke rumah sakit tersedia 24 jam sehari/7 hari seminggu

d. Pemberian informasi tentang keterse- diaan pelayanan. Informasi berisi ten- tang pelayanan yang tersedia, kapan harus mengakses pelayanan dan lokasi.

Gunakan jalur komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (misalnya melalui bidan, kader kesehat- an, tokoh masyarakat, pesan di radio atau selebaran berisi informasi di toilet perempuan)

e. Petugas pemberi pelayanan yang kom- peten dalam menangani penyintas perkosaan

Pelayanan yang diberikan oleh petugas ke- sehatan reproduksi meliputi:

a. Memberikan konseling dan dukungan kepada penyintas

b. Melakukan anamnesa dan pemeriksa- an fisik

c. Mencatat dan mengumpulkan bukti- bukti forensik

d. Menjaga kerahasiaan

e. Memastikan tersedianya obat-obatan yang diberikan pada penyintas, seperti:

1) Kontrasepsi darurat 2) Pencegahan IMS

3) Profilaksis pasca-pajanan untuk mencegah penularan HIV

4) Obat perawatan luka dan pencegah- an tetanus

5) Pencegahan Hepatitis B

f. Merujuk untuk pelayanan lebih lan- jut, misalnya kesehatan, psikologis dan sosial

(58)

3.2.2 Pil Kontrasepsi Darurat

Pil kontrasepsi darurat adalah pil yang da- pat mencegah kehamilan yang tidak dii- nginkan jika digunakan dalam waktu 72 jam (sampai 3 hari) dari saat terjadinya perko- saan. Pil kontrasepsi darurat dapat diberi- kan bila status kehamilan belum jelas dan tes kehamilan tidak tersedia, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pil kontrasepsi darurat dapat merugikan pe- rempuan atau membahayakan kehamilan jika sudah ada sebelumnya.

Aturan penggunaan pil kontrasepsi daru- rat adalah sebagai berikut:

a. Kontrasepsi darurat harus diberikan segera, sebelum 72 jam setelah per- kosaan karena keefektifannya akan menurun seiring dengan waktu. Jika pil kontrasepsi darurat kemasan tidak tersedia, maka kontrasepsi darurat da- pat diberikan dengan menggunakan pil kontrasepsi oral biasa

b. Beri petunjuk kepada penyintas perko- saan tentang cara penggunaan pil, efek

samping yang mungkin timbul dan efek yang mungkin terjadi terhadap men- struasi berikutnya

c. Apabila penyintas perkosaan ingin me- lakukan hubungan seks dalam waktu dekat sebaiknya menggunakan kondom d. Jelaskan kepada penyintas perkosaan

bahwa ada risiko penggunaan pil tidak berhasil. Jadwal menstruasi harusnya terjadi sesuai siklus normal tetapi da- pat seminggu lebih awal atau beberapa hari terlambat. Jika tidak menstruasi dalam waktu satu minggu setelah per- kiraan, penyintas harus kembali untuk melakukan tes kehamilan dan konse- ling. Jelaskan kepada penyintas bahwa bercak-bercak atau pendarahan sedikit adalah hal biasa bila menggunakan le- vonorgestrel. Sehingga jangan salah me- ngira bahwa itu menstruasi normal e. Efek samping penggunaan: Sekitar

50% pengguna kontrasepsi darurat melaporkan rasa mual. Untuk mengu- rangi rasa mual, pil dapat dikonsumsi bersama makanan. Jika muntah terjadi

(59)

dalam waktu dua jam setelah minum obat, ulangi dosisnya. Bila masih terja- di muntah setelah pemberian obat anti muntah, maka pil kontrasepsi darurat dapat diberikan lewat vagina dengan dosis yang sama

f. Pil kontrasepsi darurat tidak akan efek- tif dalam kasus kehamilan yang sudah terjadi. Tidak ada kontraindikasi medis lain untuk penggunaan pil kontrasepsi darurat

ATURAN PENGGUNAAN PIL KONTRASEPSI DARURAT

a. Levonorgestrel: 1.5 mg Levonorgestrel dalam dosis tunggal (ini adalah sediaan yang direkomendasikan karena lebih efektif dengan efek sam- ping yang lebih sedikit); atau

b. Kalau pilihan pertama tidak tersedia dapat menggunakan pil KB yang ada di puskemas/klinik dengan menggunakan pil kombinasi estrogen - progestogen (metode Yuzpe): 30 mikrogram Etinil Estradiol ditambah 0.15 mg Levonorgestrel 4 tablet, diminum secepat mungkin,diikuti dengan dosis yang sama12 jam kemudian

3.2.3 Perawatan untuk Dugaan Infeksi Menular Seksual (IMS) Pemberian antibiotik kepada penyintas

perkosaan sebagai pengobatan terhadap dugaan Gonorea, infeksi Klamidia, Sifilis dan Trikomoniasis atau Chancroid.

Berikan paket pengobatan yang paling singkat yang tersedia sesuai protokol.

Sebagai contoh, jika penyintas perkosaan datang dalam waktu 30 hari setelah keja- dian, maka 400 mg Cefixime ditambah 1g Azithromisin secara oral merupakan peng- obatan yang cukup untuk dugaan Gonorea, infeksi Klamidia dan Sifilis inkubasi.

(60)

Perempuan yang sedang hamil atau yang memiliki alergi tidak boleh minum antibio- tik tertentu, dan lakukan modifikasi peng- obatan yang sesuai.

Pemeriksaan untuk dugaan IMS dapat di- mulai pada hari yang sama dengan pem- berian kontrasepsi darurat dan profilaksis paska pajanan (PPP) untuk mencegah pe- nularan HIV. Informasikan mengenai efek samping dan cara menanggulanginya.

Berikan vaksin Hepatitis B dalam wak- tu 14 hari setelah penyerangan kepada

penyintas, kecuali bila penyintas perkosa- an telah divaksinasi lengkap. Berikan seba- nyak tiga dosis dengan dosis kedua diberi- kan empat minggu setelah dosis pertama dan dosis ketiga delapan minggu setelah dosis kedua.

Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom pada sa- rana pelayanan kesehatan yang tidak me- miliki fasilitas laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana.

3.2.4 Profilaksis Paska Pajanan (PPP) untuk Mencegah Penularan HIV Profilaksis paska pajanan diberikan kepa-

da penyintas perkosaan untuk mengurangi risiko penularan HIV. Profilaksis paling optimal diberikan sebelum 4 jam dan mak- simal dalam 48-72 jam setelah kejadian perkosaan.

Beberapa hal tentang PPP :

a. Rejimen yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + Lopinavir/

Ritonavir.

AZT = ZDV (Zidovudine) EFV = Efavirenz

3TC = Lamividine

(61)

ARV untuk PPP diberikan selama 1 bulan

b. Monitoring efek samping dan tes HIV secara berkala, pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP

c. Jika korban menderita Hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mence- gah terjadinya hepatic flare

Pelayanan bagi penyintas kekerasan seksual:

a. Lakukan penilaian risiko terpapar HIV sebelum memberikan PPP. Periksalah riwayat kejadian (termasuk apakah ada lebih dari satu penyerang), penetrasi vagina atau anal dan jenis luka yang ada b. Lakukan test HIV segera kepada pe- nyintas perkosaan. Apabila hasilnya negatif, PPP dapat mulai diberikan.

Apabila hasilnya positif, kemungkinan infeksi telah terjadi sebelum peristiwa perkosaan

c. Lakukan penatalaksanaan ARV bagi pe- nyintas dengan hasil tes positif sesuai

dengan Pedoman Nasional Tatalaksana ARV

d. Ulangi tes HIV pada 3, 6 dan 12 bulan kemudian, bila hasilnya negatif

Penting untuk diketahui:

a. Kehamilan bukan merupakan kontrain- dikasi untuk PPP

b. Saat konseling, informasikan tentang efek samping obat yang umum seperti rasa lelah, mual dan gejala seperti flu.

Efek samping ini bersifat sementara dan dapat dikurangi dengan pemberian obat simtomatik

c. Obat PPP dapat diberikan untuk 28 hari penuh bagi penyintas yang tidak dapat kembali ke tempat pelayanan de- ngan alasan apapun atau yang diperki- rakan dalam waktu lama tetap tinggal di pengungsian

(62)

3.2.5 Perawatan luka dan pencegahan tetanus Pada kasus perkosaan, selain mengalami trauma psikis penyintas juga mengalami trauma fisik. Perawatan yang diberikan mengikuti prosedur standar operasional yang berlaku. Sangat penting untuk mem- berikan injeksi Tetanus Toxoid pada kasus dengan luka terbuka mengingat keber- sihan lingkungan yang tidak mendukung pada situasi bencana. Pada perawatan luka maka bersihkan setiap luka robek, luka dan lecet dan jahitlah luka yang bersih dalam

waktu 24 jam. Jangan menjahit luka yang kotor. Pertimbangkan pemberian antibio- tik yang sesuai dan penghilang rasa sakit jika ada luka kotor yang besar. Berikan pro- filaksis tetanus jika ada luka robek pada kulit atau mukosa dan penyintas belum divaksinasi terhadap tetanus atau status vaksinasi tidak jelas. Sarankan penyintas untuk menyelesaikan jadwal vaksinasi (do- sis kedua pada empat minggu, dosis ketiga pada enam bulan sampai satu tahun).

3.2.6 Rujukan untuk penanganan lebih lanjut bagi penyintas GBV Dengan persetujuan penyintas atau atas

permintaannya, tawarkan rujukan ke:

a. Rumah sakit bila ada komplikasi yang mengancam jiwa atau komplikasi yang tidak dapat ditangani di puskesmas b. Jasa perlindungan atau pelayanan sosi-

al jika penyintas tidak memiliki tempat yang aman untuk pergi setelah mening- galkan puskesmas

c. Pelayanan psikososial, apabila tersedia, dapat juga dengan menghubungi pe- nanggung jawab komponen GBV atau menggunakan layanan yang berasal dari inisiatif masyarakat

Korban kekerasan seksual selain terjadi pada perempuan banyak juga terjadi pada anak-anak. Korban kekerasan terhadap anak lebih sering tidak dilaporkan kepa- da pihak berwajib dibandingkan dengan korban kekerasan terhadap perempuan,

(63)

terutama apabila pelaku kekerasan adalah orang tua atau walinya sendiri. Karena itu peran pemberi pelayanan dalam menge- nali korban kekerasan terhadap anak sa- ngat penting.

Gejala-gejala fisik dari penganiayaan emosional seringkali tidak sejelas gejala

penganiyaan lainnya. Penampilan anak pada umumnya tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya.

Pemeriksaan fisik pada penyintas anak sama seperti pada pemeriksaan orang dewasa, namun harus ada pendamping yang dipercaya anak berada di ruang pemeriksaan.

3.3 MENGURANGI PENULARAN HIV

Pada tanggap darurat krisis kesehatan ke- butuhan darah akan meningkat dengan ba- nyaknya korban luka berat dan ringan yang membutuhkan darah. Transfusi darah yang rasional dan aman sangat penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi (TTI/

Transfusion-Transmissible Infection) seper- ti Hepatitis B, Hepatitis C dan Sifilis. Jika darah tercemar HIV ditransfusikan, maka penularan HIV kepada penerima hampir 100%. Selain itu kerentanan terhadap pe- nularan HIV juga sering disebabkan oleh ketidakpatuhan petugas terhadap standar kewaspadaan.

Koordinator kesehatan reproduksi harus bekerjasama dengan organisasi/lemba- ga yang menangani kesehatan khususnya yang bergerak di bidang HIV dan AIDS untuk mengurangi penularan HIV sejak permulaan respon bencana. Hal-hal yang harus dilakukan koordinator kesehatan reproduksi dalam kaitannya dengan pen- cegahan penularan HIV adalah sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Tanggap Darurat Krisis Kesehatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan,

Tanggap Darurat Krisis Kesehatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan,

PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa pada

Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi

• Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan1.

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang

Yang dimaksud dengan tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang

Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan dan