• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual

BAB III PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)

3.2. Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual

KEKERASAN SEKSUAL

Kondisi bencana dan pengungsian dapat menyebabkan meningkatnya risiko keke-rasan seksual pada perempuan dan anak.

Kasus kekerasan seksual terjadi karena kondisi di lokasi bencana yang tidak me-madai, seperti: tenda dan toilet yang tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, lokasi sumber air bersih yang jauh dari pengungsian, penerangan yang kurang me-madai, tidak adanya sistim ronda maupun keamanan di pengungsian dan lain-lain.

Koordinator kesehatan reproduksi ha-rus membahas masalah kekerasan sek-sual didalam rapat koordinasi kesehatan

bersama dengan penanggung jawab kom-ponen GBV dan tim kesehatan reproduksi lainnya. Pada situasi bencana, pelayanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah sebagai berikut:

Rapat Koordinasi dengan sektor dan NGO internasional dipimpin oleh Koordinator Kesehatan Reproduksi – Gempa Padang 2009

Langkah langkah:

a. Melakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempat-kan kelompok rentan di pengungsian dan memastimenempat-kan satu keluarga berada da-lam tenda yang sama. Perempuan yang menjadi kepala keluarga dan anak yang terpisah dari keluarga dikumpulkan di dalam satu tenda

b. Memastikan terdapat pelayanan kesehatan reproduksi pada tenda pengungsian c. Menempatkan MCK laki-laki dan perempuan secara terpisah di tempat yang

aman dengan penerangan yang cukup. Pastikan bahwa pintu MCK dapat di kun-ci dari dalam

d. Melakukan koordinasi dengan penanggung jawab keamanan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual

e. Melibatkan lembaga-lembaga/organisasi yang bergerak di bidang pemberda-yaan perempuan dan perempuan di pengungsian dalam pencegahan dan pena-nganan kekerasan seksual

f. Menginformasikan adanya pelayanan bagi penyintas perkosaan dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam. Informasi dapat diberikan melalui leaflet, selebaran, radio, dll

g. Memastikan adanya petugas kompeten untuk penanganan kasus kekerasan seksual

h. Memastikan tersedianya pelayanan medis dan psikososial ada di organisasi/lem-baga yang terlibat dalam respon bencana serta memastikan adanya mekanisme rujukan, perlindungan dan hukum yang terkoordinasi untuk penyintas

i. Menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan seksual bagi pasangan sua-mi istri yang sah, sesuai dengan budaya setempat atau kearifan lokal

Toilet yang aman: terpisah antara laki-laki dan perempuan dan bisa dikunci - barak pengungsian Merapi dan pengungisan korban banjir Wassior

Toilet yang tidak aman: tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, tidak ada penerangan, tidak bisa dikunci

3.2.1 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Koordinator Kesehatan Reproduksi Dalam Pelayanan Klinis Untuk Penyintas Perkosaan

Saat menyiapkan tempat pelayanan klinis, koordinator kesehatan reproduksi harus berkoordinasi dengan pelaksana/petugas pelayanan kesehatan reproduksi untuk memastikan:

a. Tersedianya tempat konsultasi yang menjamin privasi dan kerahasiaan pe-nyintas perkosaan

b. Tersedianya protokol yang jelas serta peralatan dan logistik yang memadai c. Bahwa pelayanan dan mekanisme

ru-jukan ke rumah sakit tersedia 24 jam sehari/7 hari seminggu

d. Pemberian informasi tentang keterse-diaan pelayanan. Informasi berisi ten-tang pelayanan yang tersedia, kapan harus mengakses pelayanan dan lokasi.

Gunakan jalur komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (misalnya melalui bidan, kader kesehat-an, tokoh masyarakat, pesan di radio atau selebaran berisi informasi di toilet perempuan)

e. Petugas pemberi pelayanan yang kom-peten dalam menangani penyintas perkosaan

Pelayanan yang diberikan oleh petugas ke-sehatan reproduksi meliputi:

a. Memberikan konseling dan dukungan kepada penyintas

b. Melakukan anamnesa dan pemeriksa-an fisik

c. Mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti forensik

d. Menjaga kerahasiaan

e. Memastikan tersedianya obat-obatan yang diberikan pada penyintas, seperti:

1) Kontrasepsi darurat 2) Pencegahan IMS

3) Profilaksis pasca-pajanan untuk mencegah penularan HIV

4) Obat perawatan luka dan pencegah-an tetpencegah-anus

5) Pencegahan Hepatitis B

f. Merujuk untuk pelayanan lebih lan-jut, misalnya kesehatan, psikologis dan sosial

3.2.2 Pil Kontrasepsi Darurat

Pil kontrasepsi darurat adalah pil yang da-pat mencegah kehamilan yang tidak dii-nginkan jika digunakan dalam waktu 72 jam (sampai 3 hari) dari saat terjadinya perko-saan. Pil kontrasepsi darurat dapat diberi-kan bila status kehamilan belum jelas dan tes kehamilan tidak tersedia, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pil kontrasepsi darurat dapat merugikan pe-rempuan atau membahayakan kehamilan jika sudah ada sebelumnya.

Aturan penggunaan pil kontrasepsi daru-rat adalah sebagai berikut:

a. Kontrasepsi darurat harus diberikan segera, sebelum 72 jam setelah per-kosaan karena keefektifannya akan menurun seiring dengan waktu. Jika pil kontrasepsi darurat kemasan tidak tersedia, maka kontrasepsi darurat da-pat diberikan dengan menggunakan pil kontrasepsi oral biasa

b. Beri petunjuk kepada penyintas perko-saan tentang cara penggunaan pil, efek

samping yang mungkin timbul dan efek yang mungkin terjadi terhadap men-struasi berikutnya

c. Apabila penyintas perkosaan ingin me-lakukan hubungan seks dalam waktu dekat sebaiknya menggunakan kondom d. Jelaskan kepada penyintas perkosaan

bahwa ada risiko penggunaan pil tidak berhasil. Jadwal menstruasi harusnya terjadi sesuai siklus normal tetapi da-pat seminggu lebih awal atau beberapa hari terlambat. Jika tidak menstruasi dalam waktu satu minggu setelah per-kiraan, penyintas harus kembali untuk melakukan tes kehamilan dan konse-ling. Jelaskan kepada penyintas bahwa bercak-bercak atau pendarahan sedikit adalah hal biasa bila menggunakan le-vonorgestrel. Sehingga jangan salah me-ngira bahwa itu menstruasi normal e. Efek samping penggunaan: Sekitar

50% pengguna kontrasepsi darurat melaporkan rasa mual. Untuk mengu-rangi rasa mual, pil dapat dikonsumsi bersama makanan. Jika muntah terjadi

dalam waktu dua jam setelah minum obat, ulangi dosisnya. Bila masih terja-di muntah setelah pemberian obat anti muntah, maka pil kontrasepsi darurat dapat diberikan lewat vagina dengan dosis yang sama

f. Pil kontrasepsi darurat tidak akan efek-tif dalam kasus kehamilan yang sudah terjadi. Tidak ada kontraindikasi medis lain untuk penggunaan pil kontrasepsi darurat

ATURAN PENGGUNAAN PIL KONTRASEPSI DARURAT

a. Levonorgestrel: 1.5 mg Levonorgestrel dalam dosis tunggal (ini adalah sediaan yang direkomendasikan karena lebih efektif dengan efek sam-ping yang lebih sedikit); atau

b. Kalau pilihan pertama tidak tersedia dapat menggunakan pil KB yang ada di puskemas/klinik dengan menggunakan pil kombinasi estrogen - progestogen (metode Yuzpe): 30 mikrogram Etinil Estradiol ditambah 0.15 mg Levonorgestrel 4 tablet, diminum secepat mungkin,diikuti dengan dosis yang sama12 jam kemudian

3.2.3 Perawatan untuk Dugaan Infeksi Menular Seksual (IMS) Pemberian antibiotik kepada penyintas

perkosaan sebagai pengobatan terhadap dugaan Gonorea, infeksi Klamidia, Sifilis dan Trikomoniasis atau Chancroid.

Berikan paket pengobatan yang paling singkat yang tersedia sesuai protokol.

Sebagai contoh, jika penyintas perkosaan datang dalam waktu 30 hari setelah keja-dian, maka 400 mg Cefixime ditambah 1g Azithromisin secara oral merupakan peng-obatan yang cukup untuk dugaan Gonorea, infeksi Klamidia dan Sifilis inkubasi.

Perempuan yang sedang hamil atau yang memiliki alergi tidak boleh minum antibio-tik tertentu, dan lakukan modifikasi peng-obatan yang sesuai.

Pemeriksaan untuk dugaan IMS dapat di-mulai pada hari yang sama dengan pem-berian kontrasepsi darurat dan profilaksis paska pajanan (PPP) untuk mencegah pe-nularan HIV. Informasikan mengenai efek samping dan cara menanggulanginya.

Berikan vaksin Hepatitis B dalam wak-tu 14 hari setelah penyerangan kepada

penyintas, kecuali bila penyintas perkosa-an telah divaksinasi lengkap. Berikperkosa-an seba-nyak tiga dosis dengan dosis kedua diberi-kan empat minggu setelah dosis pertama dan dosis ketiga delapan minggu setelah dosis kedua.

Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom pada sa-rana pelayanan kesehatan yang tidak me-miliki fasilitas laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana.

3.2.4 Profilaksis Paska Pajanan (PPP) untuk Mencegah Penularan HIV Profilaksis paska pajanan diberikan

kepa-da penyintas perkosaan untuk mengurangi risiko penularan HIV. Profilaksis paling optimal diberikan sebelum 4 jam dan mak-simal dalam 48-72 jam setelah kejadian perkosaan.

Beberapa hal tentang PPP :

a. Rejimen yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + Lopinavir/

Ritonavir.

AZT = ZDV (Zidovudine) EFV = Efavirenz

3TC = Lamividine

ARV untuk PPP diberikan selama 1 bulan

b. Monitoring efek samping dan tes HIV secara berkala, pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP

c. Jika korban menderita Hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mence-gah terjadinya hepatic flare

Pelayanan bagi penyintas kekerasan seksual:

a. Lakukan penilaian risiko terpapar HIV sebelum memberikan PPP. Periksalah riwayat kejadian (termasuk apakah ada lebih dari satu penyerang), penetrasi vagina atau anal dan jenis luka yang ada b. Lakukan test HIV segera kepada pe-nyintas perkosaan. Apabila hasilnya negatif, PPP dapat mulai diberikan.

Apabila hasilnya positif, kemungkinan infeksi telah terjadi sebelum peristiwa perkosaan

c. Lakukan penatalaksanaan ARV bagi pe-nyintas dengan hasil tes positif sesuai

dengan Pedoman Nasional Tatalaksana ARV

d. Ulangi tes HIV pada 3, 6 dan 12 bulan kemudian, bila hasilnya negatif

Penting untuk diketahui:

a. Kehamilan bukan merupakan kontrain-dikasi untuk PPP

b. Saat konseling, informasikan tentang efek samping obat yang umum seperti rasa lelah, mual dan gejala seperti flu.

Efek samping ini bersifat sementara dan dapat dikurangi dengan pemberian obat simtomatik

c. Obat PPP dapat diberikan untuk 28 hari penuh bagi penyintas yang tidak dapat kembali ke tempat pelayanan de-ngan alasan apapun atau yang diperki-rakan dalam waktu lama tetap tinggal di pengungsian

3.2.5 Perawatan luka dan pencegahan tetanus Pada kasus perkosaan, selain mengalami trauma psikis penyintas juga mengalami trauma fisik. Perawatan yang diberikan mengikuti prosedur standar operasional yang berlaku. Sangat penting untuk mem-berikan injeksi Tetanus Toxoid pada kasus dengan luka terbuka mengingat keber-sihan lingkungan yang tidak mendukung pada situasi bencana. Pada perawatan luka maka bersihkan setiap luka robek, luka dan lecet dan jahitlah luka yang bersih dalam

waktu 24 jam. Jangan menjahit luka yang kotor. Pertimbangkan pemberian antibio-tik yang sesuai dan penghilang rasa sakit jika ada luka kotor yang besar. Berikan pro-filaksis tetanus jika ada luka robek pada kulit atau mukosa dan penyintas belum divaksinasi terhadap tetanus atau status vaksinasi tidak jelas. Sarankan penyintas untuk menyelesaikan jadwal vaksinasi (do-sis kedua pada empat minggu, do(do-sis ketiga pada enam bulan sampai satu tahun).

3.2.6 Rujukan untuk penanganan lebih lanjut bagi penyintas GBV Dengan persetujuan penyintas atau atas

permintaannya, tawarkan rujukan ke:

a. Rumah sakit bila ada komplikasi yang mengancam jiwa atau komplikasi yang tidak dapat ditangani di puskesmas b. Jasa perlindungan atau pelayanan

sosi-al jika penyintas tidak memiliki tempat yang aman untuk pergi setelah mening-galkan puskesmas

c. Pelayanan psikososial, apabila tersedia, dapat juga dengan menghubungi pe-nanggung jawab komponen GBV atau menggunakan layanan yang berasal dari inisiatif masyarakat

Korban kekerasan seksual selain terjadi pada perempuan banyak juga terjadi pada anak-anak. Korban kekerasan terhadap anak lebih sering tidak dilaporkan kepa-da pihak berwajib dibandingkan dengan korban kekerasan terhadap perempuan,

terutama apabila pelaku kekerasan adalah orang tua atau walinya sendiri. Karena itu peran pemberi pelayanan dalam menge-nali korban kekerasan terhadap anak sa-ngat penting.

Gejala-gejala fisik dari penganiayaan emosional seringkali tidak sejelas gejala

penganiyaan lainnya. Penampilan anak pada umumnya tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya.

Pemeriksaan fisik pada penyintas anak sama seperti pada pemeriksaan orang dewasa, namun harus ada pendamping yang dipercaya anak berada di ruang pemeriksaan.