• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

BAB II KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN, KONSEP DASAR

2.3. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia, seperti hak asasi manusia lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, penduduk yang terkena dampak bencana harus memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memungkinkan setiap individu dapat be-bas dari masalah kesehatan reproduksi.

Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak tersedia karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan

pertolongan. Pada saat bencana, bila pem-berian pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan sesegera mungkin, dapat mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya kekerasan seksual serta men-cegah penularan infeksi HIV. Pelayanan kesehatan reproduksi akan selalu dibu-tuhkan dalam setiap situasi dan harus se-lalu tersedia. Dengan mengintegrasikan pelayanan kesehatan reproduksi ke dalam setiap respon penanggulangan bencana di bidang kesehatan, diharapkan kebutuhan pelayanan tersebut dapat terpenuhi.

KESEHATAN REPRODUKSI ADALAH KOMPONEN PENTING PADA PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN

Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan dilak-sanakan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi yang diselenggarakan sesegera mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap

darurat krisis kesehatan untuk men-cegah dampak lanjut krisis kesehatan.

Sedangkan pada tahap prakrisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan, pelayanan ke-sehatan reproduksi dilaksanakan melalui

pelayanan kesehatan reproduksi kompre-hensif pada situasi normal.

Penerapan pelayanan kesehatan repro-duksi berdasarkan tahapan krisis keseha-tan dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini:

Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

Tahap Bencana Kegiatan

Prakrisis kesehatan

Pembentukan tim kesehatan reproduksi, Pelatihan PPAM, Advokasi, Sosialisasi, Penyusunan Kebijakan, Penyusunan Pedoman, dll

Tanggap darurat krisis kesehatan

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi

Pascakrisis kesehatan Perencanaan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Perbaikan fasilitas PONED dan PONEK, dll

Untuk mewujudkan ketersediaan pelayan-an kesehatpelayan-an reproduksi ypelayan-ang berkuali-tas terutama pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinasi lintas program dan sektor terkait serta keterlibatan masya-rakat di setiap tahap pelayanan tersebut sangat diperlukan, yaitu mulai dari penilai-an, perencanapenilai-an, pelaksanapenilai-an, monitoring dan evaluasi.

Paska persalinan di tenda pengungsian – Tsunami Aceh 2004

Meskipun sampai saat ini belum ada data dan laporan berapa jumlah ibu hamil di wi-layah bencana di Indonesia, namun peng-alaman respon bencana sebelumnya me-nunjukkan bahwa dalam situasi bencana, selalu ada ibu yang melahirkan atau meng-alami komplikasi kehamilan seperti kasus seorang Ibu yang melahirkan ketika gempa di Padang pada bulan Oktober 2009 dan

ibu yang melahirkan saat terjadi letusan gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010.

Di Padang, ibu harus diangkut dengan mo-bil bak terbuka untuk mencapai tempat bidan ketika gempa terjadi. Bidan meno-long ibu di luar rumah dengan peralatan seadanya. Di Yogyakarta, ibu melahirkan di mobil pada saat proses evakuasi sedang berlangsung.

Melahirkan saat gempa Padang 2009 Melahirkan saat evakuasi Gunung Merapi 2010

Pelayanan kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan difokus-kan pada beberapa hal di bawah ini:

1. Koordinasi Kesehatan Reproduksi

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada

tanggap darurat krisis kesehatan per-lu dikoordinir oleh seorang koordinator kesehatan reproduksi. Koordinator ini berperan penting untuk memastikan ke-tersediaan pelayanan dan menghindari kegiatan yang tidak efektif, efisien dan tumpang tindih. Akibat dari ketiadaan

koordinator kesehatan reproduksi di la-pangan dapat menyebabkan pengham-buran sumber daya manusia dan material yang tidak diperlukan. Contoh kasus: tidak adanya koordinator kesehatan reproduksi sesaat setelah gempa di salah satu daerah.

Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang seharusnya menolong ke-gawatdaruratan kebidanan berganti tugas mengarahkan mobil parkir masuk karena banyaknya pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut.

Keberadaan koordinator kesehatan re-produksi diperlukan sejak awal tanggap darurat krisis kesehatan. Adakalanya pe-nunjukan koordinator PPAM kesehatan reproduksi yang telah disiapkan pada ta-hap prakrisis menjadi korban dari bencana itu sendiri yang menyebabkan tidak mung-kin untuk melaksanakan tugasnya sesege-ra mungkin. Untuk itu dapat ditunjuk ko-ordinator kesehatan reproduksi lain yang berasal dari satu wilayah atau dari wilayah terdekat atau apabila diperlukan dapat berasal dari pemerintah pusat.

2. Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence/GBV)

Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) rawan terjadi pada kondisi yang tidak stabil seperti pada situasi ben-cana, termasuk konflik, perang dan benca-na alam. GBV berhubungan dengan status perempuan yang dianggap lebih rendah dalam suatu masyarakat sehingga rentan mengalami tindak kekerasan. Namun de-mikian, kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki dan anak laki-laki dapat juga menjadi penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan sek-sual terutama ketika mereka mengalami penyiksaan dan/atau penahanan.

Ada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan fisik, kekeras-an psikis, kekeraskekeras-an seksual, Kekeraskekeras-an Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan ekonomi. Pada situasi bencana, interven-si GBV difokuskan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Sexual Gender Based Violence/SGBV). Namun pada umumnya kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi bencana jarang dilaporkan.

Contoh Kasus Kekerasan Berbasis Gender pada Situasi Bencana di Indonesia

• Selama konflik di Aceh 1989-1998: 20 kasus perkosaan dan ke-kerasan seksual oleh oknum militer, petugas keamanan dan ma-syarakat umum (Laporan Komnas Perempuan, 2002)

• 3 kasus perkosaan di pengungsian pasca gempa di Padang ta-hun 2009 (Laporan Program Pencegahan dan Respon GBV Pasca Gempa Padang, UNFPA Indonesia)

• 4 kasus kekerasan seksual pengungsi Aceh pasca tsunami (Catatan Kekerasan terhadap Perempuan, Tahun 2006, Komnas Perempuan)

• 97 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan oleh 10 Community Support Center (CSC) selama program respon Tsunami, 80% diantaranya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), (Final Project Report, UNFPA Indonesia 2005-2006)

• Komnas Perempuan mencatat dalam situasi konflik di seluruh Indonesia tahun 1965-2009 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, meliputi: a) kekerasan seksual sebanyak 1511 kasus, b) kekerasan non seksual sebanyak 302.642 kasus

Pada situasi bencana terjadi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender karena:

a. Sistem perlindungan sosial terganggu:

keluarga yang terpisah, sistem keaman-an di lingkungkeaman-an tempat tinggal ykeaman-ang ti-dak berjalan

b. Lemahnya aturan keamanan dan kese-lamatan pada saat terjadi konflik c. Pengaturan tempat pengungsian dapat

juga meningkatkan risiko terjadinya ke-kerasan seksual, misalnya pengaturan

tenda, penempatan toilet dan fasilitas di tempat pengungsi yang tidak aman, mekanisme distribusi bantuan yang ti-dak memperhatikan kebutuhan kelom-pok rentan dll

d. Hilangnya pendapatan sehingga mem-pengaruhi stabilitas ekonomi rumah tangga

e. Tidak terpenuhinya kebutuhan seksual selama tinggal di pengungsian dalam jangka waktu yang lama

Kondisi pengungsi di daerah bencana

3. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Pada situasi bencana, risiko terhadap penularan IMS dan HIV bisa meningkat

disebabkan karena kekerasan seksual, pe-kerja dengan mobilitas tinggi, transaksi seks, ketiadaan informasi dan akses kon-dom, berkurangnya kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, dll.

Bencana dapat memicu situasi yang kom-pleks seperti terjadinya konflik, ketidak stabilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang dapat meningkatkan ke-rentanan dan risiko terhadap penularan HIV, melalui:

a. Rusaknya infrastruktur dan minimnya peralatan kesehatan menyebabkan su-litnya penerapan kewaspadaan stan-dar. Beberapa kasus di situasi bencana, tenaga kesehatan menggunakan alat--alat medis yang tidak steril pada saat melakukan pertolongan kepada korban b. Terganggunya sistem dukungan sosial

yang dapat meningkatkan kekerasan seksual (perkosaan) dan pelecehan sek-sual di pengungsian

c. Perpindahan penduduk ke daerah de-ngan prevalensi HIV yang lebih tinggi yang memungkinkan terjadinya risiko penularan HIV antara pengungsi de-ngan penduduk setempat

Faktor yang mempengaruhi penyebar-an HIV pada situasi bencpenyebar-ana spenyebar-angatlah

kompleks dan saling berkaitan, termasuk prevalansi HIV di wilayah asalnya dan tem-pat pengungsian, tingkat interaksi antara pengungsi dan masyarakat sekitarnya, la-manya pengungsian dan lokasi pengung-sian. Pengungsi yang tinggal dan berbaur dengan masyarakat perkotaan memiliki risiko berbeda dengan pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian.

Mengintegrasikan upaya pencegahan HIV pada situasi bencana ke dalam strategi pe-nyuluhan yang berhubungan dengan po-pulasi dan kondisi bencana merupakan hal yang sangat penting. Upaya komunikasi pada respon awal difokuskan pada pembe-rian informasi kepada penduduk tentang tempat pelayanan dasar yang dapat diak-ses. Perlu dipertimbangkan karakteristik populasi sesegera mungkin, agar informasi tentang HIV sesuai dengan kebutuhan ma-syarakat, misalnya:

a. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang keliru tentang HIV di masyarakat b. Perilaku berisiko dalam penularan HIV

c. Faktor-faktor yang dapat meningkat-kan risiko penularan HIV pada situasi bencana

d. Sikap masyarakat terhadap ODHA

Pemberian KIE tentang HIV dan AIDS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat da-pat meningkatkan pengetahuan masya-rakat tentang HIV dan AIDS, mengurangi stigma serta diskriminasi pada ODHA.

Ketika merencanakan program pence-gahan dan penularan HIV pada situasi

bencana, pengelola program harus mem-pertimbangkan: 1) Kearifan lokal yang mendukung program pencegahan HIV dan AIDS, misalnya: budaya berkumpul sebagai media untuk penyebaran infor-masi 2) Ketersediaan dan akses pelayan-an Perawatpelayan-an Dukungpelayan-an dpelayan-an Pengobatpelayan-an (PDP) bagi ODHA, termasuk putus obat, kapan memulai kembali atau melanjut-kan pengobatan ARV 3) Stigma dan dis-kriminasi terhadap ODHA dan anggota keluarganya.

Kondisi fasilitas pelayanan kesehatan yang rusak dan tidak tersedianya alat dan bahan yang memadai menyulitkan penerapan kewaspadaan standar

Contoh Pengalaman dari Beberapa Daerah di Indonesia

• Saat bencana gempa, seorang petugas kesehatan di desa menerima be-berapa korban gempa yang luka-luka. Dia hanya memiliki satu set alat untuk menjahit luka pasien. Petugas kesehatan terpaksa menangani se-mua pasien dengan alat yang sama tanpa melakukan sterilisasi

• Hal ini juga terjadi di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit yang menangani korban dengan menggunakan alat jahit luka yang tidak steril, karena banyaknya korban yang datang dan memerlukan pertolongan se-gera. Jika salah satu pasien itu positif HIV, maka risiko untuk menularkan

ke pasien yang lain sangat besar!!

4. Kesehatan Maternal dan Neonatal Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi. Kondisi ini akan lebih buruk bila terjadi pada kondisi bencana, karena ter-ganggunya sistem pelayanan kesehatan.

Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumen-tasi, sehingga data yang digunakan sebagai rujukan adalah Angka Kematian Ibu pada situasi normal.

Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20%

ibu hamil akan mengalami komplikasi se-lama kehamilan atau persalinan. Sekitar lebih dari 500.000 kematian ibu terjadi setiap tahun dengan 99% nya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2012), Angka Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000 kelahiran hidup. Kematian bayi sangat di-pengaruhi oleh proses persalinan. Sekitar 130 juta bayi di dunia lahir setiap tahun

dan 4 juta diantaranya meninggal dunia da-lam empat minggu pertama kehidupannya (periode neonatal). Angka Kematian Bayi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012).

Sebagian besar kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kematian bayi baru la-hir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas. Dari analisa penyebab kematian Ibu

(SP, 2010) diperoleh bahwa 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan se-gera setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah 1) Hipertensi dalam Kehamilan (32%), 2) Komplikasi puerper-um (31%), 3) Perdarahan (20%), 4) Abortus (4%), 5) Perdarahan Antepartum (3%), 6) Partus macet/lama (1%), 7) Kelainan amni-on (2%), 8) lain lain (7%).

PENYEBAB KEMATIAN IBU

20

% PBB

32

%HDK Lain-lain

7

%

Kelainan Amnion

2

%

Komplikasi Puerperium

31

%

Partus Lama

1

%

Abortus

4

%

3

% APB Sumber: SP 2010

Sedangkan kematian bayi sebagian besar disebabkan oleh masalah neonatal (BBLR, asfiksia dan infeksi) yang sebenarnya da-pat dihindari penyebabnya. Mengingat ke-matian bayi mempunyai hubungan erat de-ngan mutu penade-nganan ibu, maka proses

bersalin dan perawatan bayi harus dilaku-kan dalam sistem terpadu. Sebagian besar kematian ibu dan bayi sebenarnya dapat dicegah apabila ditangani oleh petugas te-rampil dengan sumber daya yang memadai ditingkat fasilitas pelayanan kesehatan.

PENYEBAB KEMATIAN BAYI

Masalah Neonatal

Tetanus

Diare

Pneumonia Kelainan Kongenital Meningitis

Tidak diketahui penyebabnya

46.2

%

3.7

%

4.5

%

5.7

%

12.7

%

15

%

1.7

%

Sumber : Riskesdas 2007

Pelayanan kesehatan maternal dan neona-tal pada tanggap darurat krisis kesehatan utamanya ditujukan untuk mengenali tan-da bahaya serta penanganan kegawattan-da- kegawatda-ruratan melalui tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan oleh tenaga kese-hatan terampil untuk menangani kompli-kasi maternal pada periode kehamilan, persalinan dan nifas dan pada neonatal.

5. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dan Terintegrasi kedalam Pelayanan Kesehatan Dasar

Pada situasi bencana, mungkin beberapa tempat yang menyediakan kesehatan re-produksi komprehensif tidak berfungsi seperti sedia kala karena bangunan dan peralatan rusak. Koordinator kesehatan reproduksi harus merencanakan bagaima-na pelayabagaima-nan kesehatan reproduksi akan diberikan pada masyarakat selama tang-gap darurat dan pasca krisis kesehatan.

Penanganan kesehatan reproduksi pada situasi bencana disediakan melalui pela-yanan kesehatan bergerak (mobile clinic).

Apabila sumber daya manusia di tempat tersebut juga menjadi korban, rencanakan

rotasi atau bantuan dukungan dari wilayah terdekat untuk membantu pelayanan ke-sehatan reproduksi komprehensif.

Pelayanan kesehatan reproduksi kompre-hensif dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan dasar harus direncanakan se-jak awal tanggap darurat krisis kesehatan termasuk merencanakan tempat, sumber daya manusia, peralatan, obat-obatan, es-timasi kebutuhan dana dan kegiatan lain-nya sehingga layanan dapat terus tersedia seperti pada situasi normal.

BAB III PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI

PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan segera pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk menyelamatkan jiwa khususnya pada kelompok perempu-an dperempu-an remaja perempuperempu-an. Jika kesehat-an reproduksi diabaikkesehat-an, akkesehat-an memiliki konsekuensi sebagai berikut: 1) Kematian maternal dan neonatal, 2) Kekerasan sek-sual dan komplikasi lanjutan, 3) Infeksi menular seksual (IMS), 4) Kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, 5) Penyebaran HIV. Keluarga beren-cana bukan merupakan bagian dari PPAM kesehatan reproduksi, namun pelayanan kontrasepsi dibutuhkan untuk memasti-kan kesinambungan dalam penggunaan

alat dan obat kontrasepsi (alokon) pada pasangan usia subur dalam mencegah ter-jadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

Pelayanan kesehatan reproduksi harus tersedia dalam kondisi apapun baik pada kondisi normal maupun pada situasi ben-cana. Pada bencana berskala besar, bia-sanya terjadi keterbatasan jumlah tenaga maupun sarana dan prasarana (alat dan bahan) kesehatan. Oleh karena itu inter-vensi pelayanan kesehatan reproduksi difokuskan pada tindakan penyelamatan jiwa melalui penerapan PPAM yang me-rupakan pelayanan minimal yang harus tersedia. Sedangkan pada bencana ber-skala kecil, biasanya tenaga dan sarana

kesehatan masih tersedia cukup sehingga diharapkan semua pelayanan kesehatan reproduksi tetap dapat dilaksanakan.

Pada bencana akan selalu ada kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi. Untuk itu diperlukan ketersediaan informasi yang mendukung, agar pelayanan kesehatan re-produksi dapat dilaksanakan di pengung-sian. Beberapa informasi dasar yang harus dikumpulkan meliputi data demografi dan kesehatan penduduk yang terkena dam-pak. Informasi tersebut bisa diperoleh dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan organisasi atau lembaga yang bekerja di wilayah bencana tersebut. Selain itu di-butuhkan juga informasi tentang kondisi fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga ke-sehatan, ketersediaan alat kesehatan dan

obat serta penyusunan rencana program.

Jika pada awal tanggap darurat krisis kese-hatan, sulit mendapatkan data sasaran ke-sehatan reproduksi seperti jumlah Wanita Usia Subur (WUS), ibu hamil, pria yang aktif secara seksual dan lain sebagainya, maka data tersebut dapat diestimasi seca-ra statistik dari jumlah pengungsi.

Bab ini menjelaskan tentang Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) kese-hatan reproduksi dan yang harus dilaku-kan oleh koordinator kesehatan repro-duksi pada situasi bencana. Koordinator kesehatan reproduksi harus memiliki ke-mampuan melakukan koordinasi, mempu-nyai pengetahuan dasar pelayanan kese-hatan reproduksi dan dapat memastikan PPAM kesehatan reproduksi tersedia se-suai standar.

• Intervensi kesehatan reproduksi pada respon penanggulangan bencana adalah melalui penerapan PPAM kesehatan reproduksi

• PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dan dapat diterapkan pada semua jenis bencana, baik benca-na alam maupun non alam

TUJUAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI MELIPUTI:

1. MENGIDENTIFIKASI koordinator PPAM kesehatan reproduksi:

a. Menetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi b. Melaksanakan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan

mene-tapkan penanggung jawab pelaksana di setiap komponen PPAM (SGBV, HIV, Maternal dan Neonatal serta Logistik)

c. Melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, keterse-diaan sumberdayaserta logistik pada pertemuan koordinasi

2. MENCEGAH DAN MENANGANI kekerasan seksual:

a. Melakukan perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak, terutama pada perempuan dan anak-anak

b. Menyediakan pelayanan medis dan dukungan psikososial bagi pe-nyintas perkosaan

c. Memastikan masyarakat mengetahui informasi tersedianya pela-yanan medis, psikososial, rujukan perlindungan dan bantuan hukum d. Memastikan adanya jejaring untuk pencegahan dan penanganan

kekerasan seksual

3. MENGURANGI penularan HIV:

a. Memastikan tersedianya transfusi darah yang aman

b. Memfasilitasi dan menekankan penerapan kewaspadaan standar c. Memastikan ketersediaan kondom

4. MENCEGAH meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal:

a. Memastikan adanya tempat khusus untuk bersalin di beberapa tempat seperti pos kesehatan, di lokasi pengungsian atau di tem-pat lain yang sesuai

b. Memastikan tersedianya pelayanan persalinan normal dan kega-watdaruratan maternal dan neonatal (PONED dan PONEK) di fasi-litas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

c. Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan puskesmas ke ru-mah sakit

d. Tersedianya perlengkapan persalinan yang diberikan pada ibu ha-mil yang akan melahirkan dalam waktu dekat

e. Memastikan masyarakat mengetahui adanya layanan pertolongan persalinan dan kegawatdaruratan maternal dan neonatal

5. MERENCANAKAN pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi stabil.

Mendukung lembaga/organisasi untuk:

a. Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi berda-sarkan estimasi sasaran

b. Mengumpulkan data riil sasaran dan data cakupan pelayanan c. Mengidentifikasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk

menyeleng-garakan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif d. Menilai kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan

pela-yanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan merencana-kan pelatihan

BAGAN TUJUAN PPAM KESEHATAN REPRODUKSI

kesakitan dan kecacatan pada populasi yang terkena dampak krisis (pengungsi, pengungsi internal, populasi setempat)

Sasaran

Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi berdasarkan estimasi sasaran

Mengumpulkan data riil sasaran dan data cakupan pelayanan Mengidentifikasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyeleng-garakan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif Menilai kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan meren-canakan pelatihan

Melakukan perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak, terutama perempuan dan anak-anak

Menyediakan pelayanan medis dan dukungan psikososial bagi penyintas perkosaan

Memastikan masyarakat mengetahui informasi tersedianya pelayanan medis, psikososial, rujukan perlindungan dan bantuan hukum

Memastikan adanya jejaring untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual

Memastikan tersedianya transfusi darah yang aman Memfasilitasi dan menekankan penerapan

kewaspadaan standar

Memastikan tersedianya kondom Memastikan adanya tempat khusus untuk bersalin di beberapa tempat

seperti pos kesehatan, di lokasi pengungsian atau di tempat lain yang sesuai

Memastikan tersedianya pelayanan persalinan normal dan kegawatdaru-ratan maternal dan neonatal (PONED dan PONEK) di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan komu-nikasi dari masyarakat ke puskesmas dan puskesmas kerumah sakit Tersedianya perlengkapan persalinan yang diberikan pada ibu hamil yang akan melahirkan dalam waktu dekat

Memastikan masyarakat mengetahui adanya layanan pertolongan persal-inan dan kegawatdaruratan maternal dan neonatal

Tujuan 2

Tujuan 3 Tujuan 4

Tujuan 5

MERENCANAKAN pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi stabil. Mendukung lembaga/organisasi untuk:

Mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal:

Mencegah dan menangani kekerasanseksual:

Mengurangi penularan HIV:

a.

Menetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi.

Melaksanakan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan menetapkan penanggung jawab pelaksana di setiap komponen PPAM (SGBV, HIV, Maternal dan Neonatal serta logistik)

Melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, ketersediaan sumber daya serta logistik pada pertemuan koordinasi Mengidentifikasi koordinator PPAM kesehatan reproduksi:

a.

3.1 MENGIDENTIFIKASI KOORDINATOR PPAM KESEHATAN REPRODUKSI

Pada tanggap darurat krisis kesehatan, harus ditetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kesehatan repro-duksi menjadi prioritas pelayanan. Koordinator kesehatan reprorepro-duksi adalah seseorang yang mempunyai tanggung jawab dalam penanganan kesehatan reproduksi. Koordinator kesehatan reproduksi di tingkat provinsi dan kabu-paten/kota berasal dari Dinas Kesehatan setempat dari program Kesehatan

Pada tanggap darurat krisis kesehatan, harus ditetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kesehatan repro-duksi menjadi prioritas pelayanan. Koordinator kesehatan reprorepro-duksi adalah seseorang yang mempunyai tanggung jawab dalam penanganan kesehatan reproduksi. Koordinator kesehatan reproduksi di tingkat provinsi dan kabu-paten/kota berasal dari Dinas Kesehatan setempat dari program Kesehatan