• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia (HAM) di Indonesia

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga

e. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran f. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang

g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723)

h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

i. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no.

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

j. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan k. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran

Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637)

l. Peraturan Pemerintah nomor 21Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

m. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

n. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi kemen-terian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kemenkemen-terian Negara o. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 1144/MENKES/Per/VIII/2010 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan

p. Peraturan Menteri Kesehatan no 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan

q. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 066/MENKES/SK/II/2006 tentang Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana

BAB II

KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN, KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI, DAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN

2.1 KONSEP DASAR BENCANA DAN KRISIS KESEHATAN

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan meng-ganggu kehidupan masyarakat yang dise-babkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa ma-nusia, kerusakan lingkungan, kerugian har-ta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana).

Upaya penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap:

1. Prabencana

- Situasi tidak terjadi bencana, kegi-atannya berupa pencegahan dan mitigasi.

- Situasi dimana dinyatakan adanya potensi terjadi bencana, kegiatan-nya berupa kesiapsiagaan

2. Tanggap darurat terdiri dari kegiatan tanggap darurat

3. Pasca bencana, terdiri dari pemulihan dan rekonstruksi

Penentuan masa tanggap darurat dite-tapkan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Nasional Pe-nanggulangan Bencana maupun Badan

Penanggulangan Bencana Daerah. Tahap-an situasi bencTahap-ana dapat digambarkTahap-an da-lam suatu siklus seperti di bawah ini:

SIKLUS BENCANA

Pra Bencana Tanggap Darurat Pasca Bencana

Pencegahan/

mitigasi

Pencegahan/

mitigasi Tanggap Darurat

Kesiapsiagaan

Pemulihan Rekonstruksi Kejadian/Krisis

Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan

Setiap tahap penanggulangan bencana ti-dak dapat dibatasi secara tegas. Artinya bahwa upaya pra bencana harus terle-bih dahulu dilaksanakan sebelum me-langkah pada tahap tanggap darurat dan

dilanjutkan ke tahap berikutnya, yakni pe-mulihan. Siklus ini harus dipahami bahwa pada setiap waktu, semua tahapan ben-cana dapat dilaksanakan secara bersama-an pada satu tahap tertentu dengbersama-an porsi

yang berbeda. Sebagai contoh, pada tahap pemulihan kegiatan utamanya berupa pe-mulihan, tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi dapat juga dilakukan untuk meng-antisipasi bencana yang akan datang.

Pada setiap bencana dapat timbul krisis kesehatan. Penyelenggaraan penanggu-langan krisis kesehatan ditetapkan me-lalui Permenkes No 64 tahun 2013 ten-tang Penanggulangan Krisis Kesehatan.

Penyelenggaran pananggulangan krisis kesehatan tersebut mengikuti siklus pe-nanggulangan bencana seperti dijelaskan di atas, dengan penyesuaian pada tahapan bencana yang meliputi tahap prakrisis ke-sehatan, tanggap darurat krisis keke-sehatan, dan pascakrisis kesehatan dengan pene-kanan pada upaya mencegah kejadian kri-sis kesehatan yang lebih parah atau buruk dengan memperhatikan aspek pengurang-an risiko bencpengurang-ana.

Tahapan dalam krisis kesehatan:

1. Prakrisis kesehatan merupakan se-rangkaian kegiatan yang dilakukan

sebelum terjadi bencana atau pada si-tuasi terdapat potensi terjadinya ben-cana yang meliputi kegiatan perenca-naan penanggulangan krisis kesehatan, pengurangan risiko krisis kesehatan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia dan penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggu-langan krisis kesehatan, kesiapsiagaan dan mitigasi kesehatan

2. Tanggap darurat krisis kesehatan ada-lah serangkaian kegiatan yang dilaku-kan dengan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk memperkecil ri-siko dan menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan, yang meliputi kegiat-an penyelamatkegiat-an dkegiat-an evakuasi korbkegiat-an, pemenuhan kebutuhan dasar, pelin-dungan dan pemulihan korban, prasara-na serta fasilitas pelayaprasara-nan kesehatan 3. Pascakrisis kesehatan merupakan

se-rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera untuk memperbaiki, memulihkan, dan/atau membangun kembali prasarana dan fasilitas pela-yanan kesehatan

Bencana Tsunami di Aceh Tahun 2004 Gempa di Padang Tahun 2009

2.2 KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI

Menurut UU No 36 tahun 2009 tentang ke-sehatan pasal 71 ayat 1, keke-sehatan repro-duksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduk-si, fungsi serta prosesnya baik pada laki-laki maupun perempuan.

Dengan pengertian tersebut maka kesehat-an reproduksi mempunyai rukesehat-ang lingkup yang sangat luas, yang mencakup keseluruh-an siklus hidup mkeseluruh-anusia mulai sejak konsepsi hingga lanjut usia. Laki-laki dan perempuan

memiliki hak yang sama terhadap akses dan pelayanan kesehatan reproduksi. Oleh ka-rena itu, untuk dapat memenuhi hak repro-duksi setiap individu, maka pelayanan kese-hatan reproduksi harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terpadu, disesuai-kan dengan usia individu dengan memper-hatikan kesetaraan dan keadilan gender.

2.3 KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN

Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia, seperti hak asasi manusia lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, penduduk yang terkena dampak bencana harus memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memungkinkan setiap individu dapat be-bas dari masalah kesehatan reproduksi.

Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak tersedia karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan

pertolongan. Pada saat bencana, bila pem-berian pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan sesegera mungkin, dapat mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya kekerasan seksual serta men-cegah penularan infeksi HIV. Pelayanan kesehatan reproduksi akan selalu dibu-tuhkan dalam setiap situasi dan harus se-lalu tersedia. Dengan mengintegrasikan pelayanan kesehatan reproduksi ke dalam setiap respon penanggulangan bencana di bidang kesehatan, diharapkan kebutuhan pelayanan tersebut dapat terpenuhi.

KESEHATAN REPRODUKSI ADALAH KOMPONEN PENTING PADA PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN

Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan dilak-sanakan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi yang diselenggarakan sesegera mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap

darurat krisis kesehatan untuk men-cegah dampak lanjut krisis kesehatan.

Sedangkan pada tahap prakrisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan, pelayanan ke-sehatan reproduksi dilaksanakan melalui

pelayanan kesehatan reproduksi kompre-hensif pada situasi normal.

Penerapan pelayanan kesehatan repro-duksi berdasarkan tahapan krisis keseha-tan dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini:

Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

Tahap Bencana Kegiatan

Prakrisis kesehatan

Pembentukan tim kesehatan reproduksi, Pelatihan PPAM, Advokasi, Sosialisasi, Penyusunan Kebijakan, Penyusunan Pedoman, dll

Tanggap darurat krisis kesehatan

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi

Pascakrisis kesehatan Perencanaan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Perbaikan fasilitas PONED dan PONEK, dll

Untuk mewujudkan ketersediaan pelayan-an kesehatpelayan-an reproduksi ypelayan-ang berkuali-tas terutama pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinasi lintas program dan sektor terkait serta keterlibatan masya-rakat di setiap tahap pelayanan tersebut sangat diperlukan, yaitu mulai dari penilai-an, perencanapenilai-an, pelaksanapenilai-an, monitoring dan evaluasi.

Paska persalinan di tenda pengungsian – Tsunami Aceh 2004

Meskipun sampai saat ini belum ada data dan laporan berapa jumlah ibu hamil di wi-layah bencana di Indonesia, namun peng-alaman respon bencana sebelumnya me-nunjukkan bahwa dalam situasi bencana, selalu ada ibu yang melahirkan atau meng-alami komplikasi kehamilan seperti kasus seorang Ibu yang melahirkan ketika gempa di Padang pada bulan Oktober 2009 dan

ibu yang melahirkan saat terjadi letusan gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010.

Di Padang, ibu harus diangkut dengan mo-bil bak terbuka untuk mencapai tempat bidan ketika gempa terjadi. Bidan meno-long ibu di luar rumah dengan peralatan seadanya. Di Yogyakarta, ibu melahirkan di mobil pada saat proses evakuasi sedang berlangsung.

Melahirkan saat gempa Padang 2009 Melahirkan saat evakuasi Gunung Merapi 2010

Pelayanan kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan difokus-kan pada beberapa hal di bawah ini:

1. Koordinasi Kesehatan Reproduksi

Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada

tanggap darurat krisis kesehatan per-lu dikoordinir oleh seorang koordinator kesehatan reproduksi. Koordinator ini berperan penting untuk memastikan ke-tersediaan pelayanan dan menghindari kegiatan yang tidak efektif, efisien dan tumpang tindih. Akibat dari ketiadaan

koordinator kesehatan reproduksi di la-pangan dapat menyebabkan pengham-buran sumber daya manusia dan material yang tidak diperlukan. Contoh kasus: tidak adanya koordinator kesehatan reproduksi sesaat setelah gempa di salah satu daerah.

Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang seharusnya menolong ke-gawatdaruratan kebidanan berganti tugas mengarahkan mobil parkir masuk karena banyaknya pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut.

Keberadaan koordinator kesehatan re-produksi diperlukan sejak awal tanggap darurat krisis kesehatan. Adakalanya pe-nunjukan koordinator PPAM kesehatan reproduksi yang telah disiapkan pada ta-hap prakrisis menjadi korban dari bencana itu sendiri yang menyebabkan tidak mung-kin untuk melaksanakan tugasnya sesege-ra mungkin. Untuk itu dapat ditunjuk ko-ordinator kesehatan reproduksi lain yang berasal dari satu wilayah atau dari wilayah terdekat atau apabila diperlukan dapat berasal dari pemerintah pusat.

2. Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence/GBV)

Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) rawan terjadi pada kondisi yang tidak stabil seperti pada situasi ben-cana, termasuk konflik, perang dan benca-na alam. GBV berhubungan dengan status perempuan yang dianggap lebih rendah dalam suatu masyarakat sehingga rentan mengalami tindak kekerasan. Namun de-mikian, kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki dan anak laki-laki dapat juga menjadi penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan sek-sual terutama ketika mereka mengalami penyiksaan dan/atau penahanan.

Ada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan fisik, kekeras-an psikis, kekeraskekeras-an seksual, Kekeraskekeras-an Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan ekonomi. Pada situasi bencana, interven-si GBV difokuskan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Sexual Gender Based Violence/SGBV). Namun pada umumnya kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi bencana jarang dilaporkan.

Contoh Kasus Kekerasan Berbasis Gender pada Situasi Bencana di Indonesia

• Selama konflik di Aceh 1989-1998: 20 kasus perkosaan dan ke-kerasan seksual oleh oknum militer, petugas keamanan dan ma-syarakat umum (Laporan Komnas Perempuan, 2002)

• 3 kasus perkosaan di pengungsian pasca gempa di Padang ta-hun 2009 (Laporan Program Pencegahan dan Respon GBV Pasca Gempa Padang, UNFPA Indonesia)

• 4 kasus kekerasan seksual pengungsi Aceh pasca tsunami (Catatan Kekerasan terhadap Perempuan, Tahun 2006, Komnas Perempuan)

• 97 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan oleh 10 Community Support Center (CSC) selama program respon Tsunami, 80% diantaranya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), (Final Project Report, UNFPA Indonesia 2005-2006)

• Komnas Perempuan mencatat dalam situasi konflik di seluruh Indonesia tahun 1965-2009 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, meliputi: a) kekerasan seksual sebanyak 1511 kasus, b) kekerasan non seksual sebanyak 302.642 kasus

Pada situasi bencana terjadi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender karena:

a. Sistem perlindungan sosial terganggu:

keluarga yang terpisah, sistem keaman-an di lingkungkeaman-an tempat tinggal ykeaman-ang ti-dak berjalan

b. Lemahnya aturan keamanan dan kese-lamatan pada saat terjadi konflik c. Pengaturan tempat pengungsian dapat

juga meningkatkan risiko terjadinya ke-kerasan seksual, misalnya pengaturan

tenda, penempatan toilet dan fasilitas di tempat pengungsi yang tidak aman, mekanisme distribusi bantuan yang ti-dak memperhatikan kebutuhan kelom-pok rentan dll

d. Hilangnya pendapatan sehingga mem-pengaruhi stabilitas ekonomi rumah tangga

e. Tidak terpenuhinya kebutuhan seksual selama tinggal di pengungsian dalam jangka waktu yang lama

Kondisi pengungsi di daerah bencana

3. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Pada situasi bencana, risiko terhadap penularan IMS dan HIV bisa meningkat

disebabkan karena kekerasan seksual, pe-kerja dengan mobilitas tinggi, transaksi seks, ketiadaan informasi dan akses kon-dom, berkurangnya kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, dll.

Bencana dapat memicu situasi yang kom-pleks seperti terjadinya konflik, ketidak stabilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang dapat meningkatkan ke-rentanan dan risiko terhadap penularan HIV, melalui:

a. Rusaknya infrastruktur dan minimnya peralatan kesehatan menyebabkan su-litnya penerapan kewaspadaan stan-dar. Beberapa kasus di situasi bencana, tenaga kesehatan menggunakan alat--alat medis yang tidak steril pada saat melakukan pertolongan kepada korban b. Terganggunya sistem dukungan sosial

yang dapat meningkatkan kekerasan seksual (perkosaan) dan pelecehan sek-sual di pengungsian

c. Perpindahan penduduk ke daerah de-ngan prevalensi HIV yang lebih tinggi yang memungkinkan terjadinya risiko penularan HIV antara pengungsi de-ngan penduduk setempat

Faktor yang mempengaruhi penyebar-an HIV pada situasi bencpenyebar-ana spenyebar-angatlah

kompleks dan saling berkaitan, termasuk prevalansi HIV di wilayah asalnya dan tem-pat pengungsian, tingkat interaksi antara pengungsi dan masyarakat sekitarnya, la-manya pengungsian dan lokasi pengung-sian. Pengungsi yang tinggal dan berbaur dengan masyarakat perkotaan memiliki risiko berbeda dengan pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian.

Mengintegrasikan upaya pencegahan HIV pada situasi bencana ke dalam strategi pe-nyuluhan yang berhubungan dengan po-pulasi dan kondisi bencana merupakan hal yang sangat penting. Upaya komunikasi pada respon awal difokuskan pada pembe-rian informasi kepada penduduk tentang tempat pelayanan dasar yang dapat diak-ses. Perlu dipertimbangkan karakteristik populasi sesegera mungkin, agar informasi tentang HIV sesuai dengan kebutuhan ma-syarakat, misalnya:

a. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang keliru tentang HIV di masyarakat b. Perilaku berisiko dalam penularan HIV

c. Faktor-faktor yang dapat meningkat-kan risiko penularan HIV pada situasi bencana

d. Sikap masyarakat terhadap ODHA

Pemberian KIE tentang HIV dan AIDS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat da-pat meningkatkan pengetahuan masya-rakat tentang HIV dan AIDS, mengurangi stigma serta diskriminasi pada ODHA.

Ketika merencanakan program pence-gahan dan penularan HIV pada situasi

bencana, pengelola program harus mem-pertimbangkan: 1) Kearifan lokal yang mendukung program pencegahan HIV dan AIDS, misalnya: budaya berkumpul sebagai media untuk penyebaran infor-masi 2) Ketersediaan dan akses pelayan-an Perawatpelayan-an Dukungpelayan-an dpelayan-an Pengobatpelayan-an (PDP) bagi ODHA, termasuk putus obat, kapan memulai kembali atau melanjut-kan pengobatan ARV 3) Stigma dan dis-kriminasi terhadap ODHA dan anggota keluarganya.

Kondisi fasilitas pelayanan kesehatan yang rusak dan tidak tersedianya alat dan bahan yang memadai menyulitkan penerapan kewaspadaan standar

Contoh Pengalaman dari Beberapa Daerah di Indonesia

• Saat bencana gempa, seorang petugas kesehatan di desa menerima be-berapa korban gempa yang luka-luka. Dia hanya memiliki satu set alat untuk menjahit luka pasien. Petugas kesehatan terpaksa menangani se-mua pasien dengan alat yang sama tanpa melakukan sterilisasi

• Hal ini juga terjadi di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit yang menangani korban dengan menggunakan alat jahit luka yang tidak steril, karena banyaknya korban yang datang dan memerlukan pertolongan se-gera. Jika salah satu pasien itu positif HIV, maka risiko untuk menularkan

ke pasien yang lain sangat besar!!

4. Kesehatan Maternal dan Neonatal Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi. Kondisi ini akan lebih buruk bila terjadi pada kondisi bencana, karena ter-ganggunya sistem pelayanan kesehatan.

Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumen-tasi, sehingga data yang digunakan sebagai rujukan adalah Angka Kematian Ibu pada situasi normal.

Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20%

ibu hamil akan mengalami komplikasi se-lama kehamilan atau persalinan. Sekitar lebih dari 500.000 kematian ibu terjadi setiap tahun dengan 99% nya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2012), Angka Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000 kelahiran hidup. Kematian bayi sangat di-pengaruhi oleh proses persalinan. Sekitar 130 juta bayi di dunia lahir setiap tahun

dan 4 juta diantaranya meninggal dunia da-lam empat minggu pertama kehidupannya (periode neonatal). Angka Kematian Bayi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012).

Sebagian besar kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kematian bayi baru la-hir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas. Dari analisa penyebab kematian Ibu

(SP, 2010) diperoleh bahwa 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan se-gera setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah 1) Hipertensi dalam Kehamilan (32%), 2) Komplikasi puerper-um (31%), 3) Perdarahan (20%), 4) Abortus (4%), 5) Perdarahan Antepartum (3%), 6) Partus macet/lama (1%), 7) Kelainan amni-on (2%), 8) lain lain (7%).

PENYEBAB KEMATIAN IBU

20

% PBB

32

%HDK Lain-lain

7

%

Kelainan Amnion

2

%

Komplikasi Puerperium

31

%

Partus Lama

1

%

Abortus

4

%

3

% APB Sumber: SP 2010

Sedangkan kematian bayi sebagian besar disebabkan oleh masalah neonatal (BBLR, asfiksia dan infeksi) yang sebenarnya da-pat dihindari penyebabnya. Mengingat ke-matian bayi mempunyai hubungan erat de-ngan mutu penade-nganan ibu, maka proses

bersalin dan perawatan bayi harus dilaku-kan dalam sistem terpadu. Sebagian besar kematian ibu dan bayi sebenarnya dapat dicegah apabila ditangani oleh petugas te-rampil dengan sumber daya yang memadai ditingkat fasilitas pelayanan kesehatan.

PENYEBAB KEMATIAN BAYI

Masalah Neonatal

Tetanus

Diare

Pneumonia Kelainan Kongenital Meningitis

Tidak diketahui penyebabnya

46.2

%

3.7

%

4.5

%

5.7

%

12.7

%

15

%

1.7

%

Sumber : Riskesdas 2007

Pelayanan kesehatan maternal dan neona-tal pada tanggap darurat krisis kesehatan utamanya ditujukan untuk mengenali tan-da bahaya serta penanganan kegawattan-da- kegawatda-ruratan melalui tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan oleh tenaga kese-hatan terampil untuk menangani kompli-kasi maternal pada periode kehamilan, persalinan dan nifas dan pada neonatal.

5. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dan Terintegrasi kedalam Pelayanan Kesehatan Dasar

Pada situasi bencana, mungkin beberapa tempat yang menyediakan kesehatan re-produksi komprehensif tidak berfungsi seperti sedia kala karena bangunan dan peralatan rusak. Koordinator kesehatan reproduksi harus merencanakan bagaima-na pelayabagaima-nan kesehatan reproduksi akan diberikan pada masyarakat selama tang-gap darurat dan pasca krisis kesehatan.

Penanganan kesehatan reproduksi pada situasi bencana disediakan melalui pela-yanan kesehatan bergerak (mobile clinic).

Apabila sumber daya manusia di tempat tersebut juga menjadi korban, rencanakan

rotasi atau bantuan dukungan dari wilayah terdekat untuk membantu pelayanan ke-sehatan reproduksi komprehensif.

Pelayanan kesehatan reproduksi kompre-hensif dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan dasar harus direncanakan se-jak awal tanggap darurat krisis kesehatan termasuk merencanakan tempat, sumber daya manusia, peralatan, obat-obatan, es-timasi kebutuhan dana dan kegiatan lain-nya sehingga layanan dapat terus tersedia seperti pada situasi normal.

BAB III PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI

PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan segera pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk menyelamatkan jiwa khususnya pada kelompok perempu-an dperempu-an remaja perempuperempu-an. Jika kesehat-an reproduksi diabaikkesehat-an, akkesehat-an memiliki konsekuensi sebagai berikut: 1) Kematian maternal dan neonatal, 2) Kekerasan sek-sual dan komplikasi lanjutan, 3) Infeksi menular seksual (IMS), 4) Kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, 5) Penyebaran HIV. Keluarga beren-cana bukan merupakan bagian dari PPAM kesehatan reproduksi, namun pelayanan kontrasepsi dibutuhkan untuk memasti-kan kesinambungan dalam penggunaan

alat dan obat kontrasepsi (alokon) pada pasangan usia subur dalam mencegah ter-jadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

Pelayanan kesehatan reproduksi harus tersedia dalam kondisi apapun baik pada kondisi normal maupun pada situasi ben-cana. Pada bencana berskala besar, bia-sanya terjadi keterbatasan jumlah tenaga maupun sarana dan prasarana (alat dan bahan) kesehatan. Oleh karena itu inter-vensi pelayanan kesehatan reproduksi difokuskan pada tindakan penyelamatan jiwa melalui penerapan PPAM yang me-rupakan pelayanan minimal yang harus tersedia. Sedangkan pada bencana ber-skala kecil, biasanya tenaga dan sarana

kesehatan masih tersedia cukup sehingga diharapkan semua pelayanan kesehatan reproduksi tetap dapat dilaksanakan.

Pada bencana akan selalu ada kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi. Untuk itu diperlukan ketersediaan informasi yang mendukung, agar pelayanan kesehatan re-produksi dapat dilaksanakan di pengung-sian. Beberapa informasi dasar yang harus dikumpulkan meliputi data demografi dan kesehatan penduduk yang terkena dam-pak. Informasi tersebut bisa diperoleh dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan,

Pada bencana akan selalu ada kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi. Untuk itu diperlukan ketersediaan informasi yang mendukung, agar pelayanan kesehatan re-produksi dapat dilaksanakan di pengung-sian. Beberapa informasi dasar yang harus dikumpulkan meliputi data demografi dan kesehatan penduduk yang terkena dam-pak. Informasi tersebut bisa diperoleh dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan,