BAB 1
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia umumnya menganut suatu agama tertentu, sesuai
dengan bunyi sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Masyarakat beragama memiliki belief terhadap Tuhan, yang salah satunya adalah
dengan menjalankan ajaran Tuhan dan percaya padaNya, mereka akan di
tempatkan di surga/nirwarna setelah meninggal dunia. Namun, apabila melanggar
perintah Tuhan dan tidak percaya padaNya semasa hidup, maka tidak akan
ditempatkan di surga. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Dr. Umar
Sulaiman al-Asyqar (2003), seorang ulama, dalam bukunya yang berjudul Calon
Penghuni Surga-Calon Penghuni Neraka, sebagai berikut :
“Surga adalah anugerah yang telah disiapkan oleh Allah SWT bagi para kekasih-Nya (para aulia’) dan orang-orang yang taat kepada Nya. Surga disempurnakan dengan nikmat dan kesenangan, di mana tidak terdapat kekurangan apapun dan dan tidak ada yang dapat mengganggu kemurniannya”.
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa untuk mencapai surga,individu yang beragama
harus melakukan ajaran yang berorientasi pada Tuhan sebagai pengarah dalam
menjalani hidup.
Di sisi lain, ternyata di dalam masyarakat Indonesia juga terdapat individu
yang tidak percaya pada Tuhan yg disebut dengan Ateis dan paham yang mereka
anut disebut dengan Ateisme. Le Poidevin (dalam Cliteur, 2009) mengatakan
namun secara tegas dan sadar menolak keberadaan pencipta semesta dalam bentuk
apapun. Di Indonesia, Ateis merupakan kaum minoritas. Sebuah survei yang
dilakukan BBC pada tahun 2004 di banyak negara dan salah satunya dilakukan di
Indonesia mengenai persentase masyarakat yang tidak percaya pada Tuhan,
menunjukkan bahwa kurang dari 2% masyarakat Indonesia tidak percaya pada
Tuhan (Zuckerman, 2007). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 adalah
217.854.000 jiwa (BPS, 2004), berarti jumlah penduduk Indonesia yang tidak
percaya pada Tuhan adalah sebanyak 4.357.080 jiwa pada tahun 2004. Meskipun
data ini tidak secara tegas menjadi indikator jumlah penganut Ateisme di
Indonesia, namun hal ini menunjukkan adanya potensi Ateisme berkembang di
Indonesia.
Banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi Ateis. Beberapa
diantaranya adalah penderitaan, melihat tindakan buruk yang dilakukan oleh umat
beragama,terintimidasi secara intelektual, dan sebagainya, seperti yang
diungkapkan oleh Thompson (2004) dalam bukunya yang berjudul The Many
Faces, Causes of Unbelief. Penderitaan dapat menimbulkan rasa kecewa terhadap
Tuhan karena menganggap tidak mendapat apa yang seharusnya didapatkan
sebagai pemeluk agama yang telah melakukan kewajiban agama. Hal tersebut
dialami oleh Roy (bukan nama sebenarnya) yang diungkapkan dalam kutipan
wawancara berikut :
Perkembangan internet yang semakin pesat, semakin mempermudah
seseorang mendapatkan informasi apapun, seperti sains. Seseorang dapat beralih
menjadi Ateis ketika ia mendapat informasi mengenai sains yang menantang
belief yang selama ini ia percayai mengenai Tuhan, namun ternyata bila
dipikirkan, sains adalah hal yang lebih masuk akal. Hal ini dialami oleh Alex
(bukan nama sebenarnya), yang tertuang dalam kutipan wawancara berikut :
“Kisah penciptaan salah satunya. Kalo dipikir-pikir, ga masuk akal juga sih. Kalo diapain dari sains, ga masuk akal..karna kan…gimana ya, Adam dan Hawa selalu dibilang hidup 6000 tahun yang lalu dari Alkitab. Trus kubaca baca, ada Dinosaurs 2 juta tahun yang lalu. Trus kurasa, ah ga masuk akal Alkitab ini karna ga ada bukti” (Komunikasi Personal, Oktober 2015).
Ketidaksesuaian antara kebaikan yang diajarkan oleh agama dengan
kenyataan yang terjadi di dunia, seperti perang antar agama, tindakan anarkis oleh
kelompok agama, dapat membuat seseorang mempertanyakan ajaran agama
tersebut dan bingung terhadap pengamalan agama yang dilakukan oleh pemeluk
agama karena ternyata, meskipun telah ditanamkan kebaikan sejak dini, ternyata
pemeluk agama masih dapat melakukan tindak kejahatan, seperti yang
diungkapkan Roy (bukan nama sebenarnya), sebagai berikut :
Penderitaan, intimidasi secara intelektual oleh sains, ketidaksesuaian
antara pengajaran agama dan kenyataan, membuat seseorang menganggap agama
adalah sia-sia sehingga ia beralih menjadi Ateis karena tidak menemukan bukti
kasat mata mengenai keberadaan Tuhan. Ia tidak menerima pernyataan bahwa segala sesuatu tentang Tuhan adalah hal di luar logika manusia. Hal ini
diungkapkan oleh Bram (bukan nama sebenarnya) dalam kutipan wawancara
berikut :
“…Bahkan hanya dari galaksi ini aja, Bumi tu ga nampak saking kecilnya dan di tempat yang kecil itu, ada makhluk-makhluknya, makhluk itu diperhatikannya masing-masing, satu satu. Dia peduli dengan apa yang kita makan, apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukan seks, posisinya dan Dia menghukum setiap perilaku yang jahat bahkan pikiran-pikiran pribadi kita pun ditelitinya satu satu. Menurut aku ga masuk akal. Dari logika itu juga, Tuhan ga masuk akal, apa Dia peduli kita sholat apa enggak” (Komunikasi personal, Agustus 2015).
Individu Ateis memang tidak percaya pada Tuhan, namun bukan berarti
mereka tidak menganut nilai-nilai positif dalam hidup. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikatakan Robinson dalam bukunya yang berjudul “An Atheist Values”
(1964), yaitu seorang Ateis dapat memiliki nilai berupa personal goods, seperti
keindahan, kebenaran, akal, cinta serta nilai berupa political goods, seperti
demokrasi, toleransi, perdamaian, kebebasan, kesetaraan hak. Berikut merupakan
kutipan wawancara mengenai nilai hubungan sosial dengan sesama sesama yang
dimiliki seorang individu Ateis :
juga… ya aku rasa kolektif, emang gabisa sendirilah hidup sama orang, sama sekitar” (Komunikasi Personal, November, 2014).
Individu Ateis memang memiliki nilai-nilai positif dalam hidupnya. Meski
demikian, tetap saja terdapat pandangan negatif masyarakat yang melekat pada
mereka. Mereka umumnya digambarkan sebagai orang yang liberal secara politik
(mendukung hak kaum gay dan aborsi), membenci agama dan umat beragama,
serta menginjak hak orang lain utuk bebas beragama. Individu Ateis juga
dianggap sebagai orang yang depresi, sedih, tidak bermoral, tidak menghargai
orang lain, pemarah, arogan dan lain-lain (Vjack, 2009). Gervais, et.al (2011) juga
menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki rasa percaya (distrust) terhadap
Ateis serta mendeskripsikan sifat untrustworthy sebagai representatif perilaku
Ateis, contohnya ialah ketika ada individu yang mencuri uang dan masyarakat
memiliki kesempatan minim untuk mendeteksi hal tersebut, maka masyarakat
akan menganggap bahwa pelakunya adalah seorang Ateis atau rapist, masyarakat
tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara Ateis dengan rapist.
Melekatnya pandangannegatifpada dirinya, dapat membuat seorang Ateis enggan
untuk mengungkapkan identitasnya pada keluarganya. Hal ini dapat terlihat dari
kutipan wawancara berikut :
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa dalam menyikapi pandangan negatif tersebut,
individu Ateis memilih untuk tidak memberitahukan identitas pada keluarganya,
hanya memberitahu pada kalangan tertentu saja.
Adanya pandangan negatif masyarakat, tidak membuat individu Ateis
berhenti untuk meraih tujuan hidup. Steve Bloor, seorang Ateis dalam blognya
menyatakan bahwa ia tidak memiliki tujuan hidup yang berorientasi pada Tuhan
karena baginya, tujuan hidup adalah memilih pengalaman hidup sendiri dengan
mengandalkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan bakat dan keahlian
tanpa mengharapkan berkat ataupun hukuman dari Tuhan (Steve Bloor, 2013).
Tujuan hidup tanpa orientasi pada Tuhan, juga dinyatakan oleh Roy (bukan nama
sebenarnya) kepada peneliti sebagai berikut :
“…di tiap agama itu ada golden rulenya, ada aturan yang paling umum gitu.. kalo kau mau diharga, hargailah orang lain, itu golden
rulenya siapa ya.. Islam apa Kristen, aku lupa. Yang kaya gitu,
masa’ peradaban manusia dari dia cave man sampe ke manusia yang sekarang masa’ gabisa sampe ke titik itu loh, ke titik sampe berbuat baiklah kalo mau dibuat baik sama orang, masa’ itu harus ada embel-embel dibuat sama agama, itu agama yang buat, itu agama yang diturunkan dari…itu Tuhan yang bisikkan ke manusia” (Komunikasi personal, Juli 2015).
“Kalo bisa aku pengen buat apa ya..aku pengen buat gini, kalo dibilang dari dulu, aku pengen merangkak, aku pengen merangkak dari nol sampe aku duduk di atas suatu yang tinggi, aku pengen kaya buat usaha, aku pengen di perusahaan kecil, aku buat di jadi besar. Aku pengen..apa ya..dari yang nol jadi suatu yang besar, kenapa ya karna balek lagi di awal, aku pengen buat sesuatu yang berguna” (Komunikasi personal, Juli 2015).
Memiliki tujuan hidup merupakan salah satu ciri kebermaknaan hidup.
ciri-ciri kebermaknaan hidup adalah memiliki tujuan hidup, kepuasan hidup,
kebebasan memilih, gairah hidup, dan tanggung jawab. Individu` yang memiliki
kebermaknaan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka
pendek maupun jangka panjang. Makna hidup merupakan hal yang dianggap
penting dan bersifat unik serta personal, tergantung sudut pandang mana yang
digunakan (Bastaman, 1996). Hal ini berarti, apa yang merupakan makna hidup
bagi seseorang bisa berbeda pada orang lain sekalipun berada dalam situasi dan
kondisi yang sama, begitu juga dengan individu yang menjalankan hidup sebagai
seorang Ateis dan individu yang menjalankan hidup sebagai orang beragama.
Keunikan dalam memaknai hidup, terdapat dalam individu Ateis dan
individu beragama. Individu beragama meyakini adanya after life sehingga
memaknai hidup sebagai persiapan menghadapi hal tersebut melalui ajaran agama
yang mereka lakukan, misalnya ibadah. Bastaman (1996) menyatakan bahwa
ibadah merupakan salah satu komponen untuk menemukan makna hidup karena
ibadah yang khidmat akan menimbukan perasaan seolah-olaa mendapat
bimbingan dalam melakukan berbagai hal. Selain itu, menjalani hidup sesuai
tuntunan agama akan memberikan penghayatan bahagia dan bermakna bagi
individu
Ibadah memang dapat memberikan makna bagi hidup seseorang. Namun
nyatanya, meski tidak melakukan ibadah atas dasar percaya pada Tuhan, individu
Ateis tetap dapat membuat hidupnya bermakna. Bagi mereka, hidup adalah suatu
hal yang hanya terjadi sekali sehingga harus dinikmati tanpa harus khawatir akan
diungkapkan oleh Billy Joel, seorang penyanyi yang merupakan Ateis dalam
kutipan lirik lagunya berjudul “Only Good Die Young”, sebagai berikut :
“They say there's a heaven for those who will wait. Some say it's better but
I say it ain't. I'd rather laugh with the sinners than cry with the saints. The
sinners are much more fun. You know that only the good die young”.
Dalam menjalani dan memaknai hidupnya, individu Ateis tidak lagi
percaya akan keberadaan Tuhan dan ajaran agama karena menganggap hal
tersebut tidak masuk akal serta tidak memiliki bukti nyata. Hal ini dikarenakan
mereka mengandalkan logika dalam hidupnya. Bagi mereka, suatu hal dapat
disebut sebagai kebenaran apabila dapat dijelaskan melalui logika. Hal tersebut
diungkapkan oleh Bram (bukan nama sebenarnya) dalam kutipan wawancara
berikut :
“Jadi..seolah-olah apa yang kita percayai itu yang jadi benar, kan ga kayak gitu caranya, apa yang benar itu yang kita percayai kan gitu harusnya… mempercayai sebanyak mungkin yang benar dan membuang sebanyak mungkin yang tidak benar, jadi caranya itu ya dengan melihat bukti. baru menggunakan logika” (Agustus, 2015).
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa, meskipun individu Ateis
memiliki tantangan eksternal berupa pandangan negatif masyarakat, hal ini tidak
membuat mereka gentar untuk menjalani hidup sesuai identitasnya. Selain itu,
meskipun individu pada umumnya berpegang pada ajaran agama untuk memaknai
hidupnya, namun nyatanya, individu Ateis tetap bisa memaknai hidup tanpa
berdasar pada ajaran agama. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk
meneliti kehidupan yang dijalani individu Ateis berkaitan dengan makna hidup
1.2. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran makna hidup pada individu Ateis?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami gambaran makna hidup
yang dialami oleh individu Ateis .
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai penambah wawasan
keilmuan terhadap wacana paham Ateis dan gambaran makna hidup yang
mereka miliki sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih baik serta sebagai
bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai Ateis
dangambaran makna hidup.
2. Manfaat Praktis
Bagi partisipan, diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu dalam
memberikan informasi mengenai gambaran makna hidup milik mereka yang
sedang dijalani serta apa yang dapat dilakukan untuk mencapai kebahagiaan
dalam hidupnya. Kemudian, bagi masyarakat, diharapkan hasil penelitian ini
dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman terhadap gambaran makna hidup
yang dijalani oleh individu Ateis yang tidak selalu berkonotasi negatif sehingga
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika pembagian
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang ,asalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi uraian tentang landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
tentang Ateisdan teori makna hidup.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya
pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan
data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian
serta metode analisis data.
BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil
Bab ini berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di
dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, hasil wawancara,
serta rangkuman analisis hasil penelitian antar partisipan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi
maupun saran untuk penelitian lanjutan, yang berhubungan dengan hasil