• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna Hidup

2.1.1 Definisi Makna Hidup

Istilah makna hidup tertuang ke dalam teori tentang logoterapi yang

dikemukakan oleh Viktor Frankl. Logoterapi berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“logos” yang berarti makna dan rohani serta “terapi” yang berarti penyembuhan.

Logoterapi menganggap bahwa makna hidup dan hasrat untuk hidup bermakna

(the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia untuk meraih kehidupan

bermakna (the meaningful life) yang diinginkan (Bastaman, 2007).

Makna hidup merupakan hal-hal yang terdapat pada keadaan yang

menyenangkan maupun tidak menyenangkan serta dianggap penting atau khusus

sehingga layak untuk dijadikan tujuan hidup, apabila berhasil dipenuhi, akan

menimbulkan perasaan bahagia bagi individu tersebut ( Bastaman, 2007). Makna

hidup bersifat unik dan personal, tergantung sudut pandang mana yang digunakan

oleh individu. Makna hidup juga dapat berubah sewaktu-waktu, maka, yang

terpenting bukanlah makna dalam hidup secara hidup, melainkan makna spesifik

yang terdapat dalam kejadian hidup tertentu (Frankl, 1984).

(2)

Individu harus memiliki komitmen untuk menjawab tantangan hidup agar

dapat mencapai makna hidupnya. Apabila makna berhasil ditemukan baik dari

pengalaman hidup yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, maka,

individu akan merasa berguna, berharga serta berarti (meaningful). Namun, bila

tidak berhasil ditemukan, hidup akan terasa tidak bermakna (meaningless)

(Bastaman, 2007).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup

merupakan hal yang bersifat unik, personal, situasional serta penting yang

terdapat dalam pengalaman hidup yang menyenangkan maupun tidak

menyenangkan sehingga dijadikan tujuan hidup, yang apabila berhasil dicapai

akan membuat hidup terasa bermakna.

2.1.2 Sumber Makna Hidup

Frankl (dalam Kimble & Ellor, 2000) mengemukakan bahwa makna hidup

dapat bersumber dari apa yang kita berikan (creative values), apa yang kita ambil

dari dunia (experience values) serta tindakan yang diambil terhadap takdir yang

ada dalam hidup (attidutional values). Bastaman (2007) memaparkan nilai-nilai

tersebut lebih lanjut, yaitu :

a. Creative Values

Makna dalam hidup dapat ditemukan melalui pekerjaan, seperti,

menciptakan, berkarya ataupun melaksanakan tugas dan kewajiban dengan

tekun dan bertanggungjawab. Makna hidup tidak terletak pada pekerjaan

karena pekerjaan hanyalah sarana yang memberikan kesempatan untuk

(3)

menemukan makna hidup, melainkan, makna hidup terletak pada individu

bersangkutan yang mencintai pekerjaannya.

b. Experiental Value

Keyakinan dan penghayatan terhadap suatu nilai, seperti kebenaran,

kebajikan, keindahan, keimanan dan cinta kasih dapat menjadikan

seesorang merasa hidupnya berarti. Nilai seperti cinta kasih membuat

seseorang merasa hidupnya berarti karena dengan mencintai dan dicintai,

seesorang akan merasakan kebahagiaan.

c. Attidutional Values

Sikap yang diambil dalam menghadapi sebuah keadaan, seperti sikap

menerima dengan ikhlas,tabah, sabar dan berani terhadap hal-hal tragis

ataupun penderitaan mampu memuat seseorang melihat makna dan

hikmah dari kejadian tersebut. Dalam hal ini, yang diubah ialah sikap,

bukan keadaan. Arti hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun jika

dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya.

2.1.3 Karakteristik Makna Hidup

Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup memiliki beberapa sifat

khusus, yaitu :

a. Unik, Pribadi dan Temporer

Suatu hal yang diangap penting oleh seseorang, belum tentu penting bagi

orang lain. Makna hidup seseorang bersifat khusus dan berbeda satu sama

lain. Selain itu, makna hidup dapat berubah dari waktu ke waktu.

(4)

b. Spesifik dan Nyata

Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata

sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan

idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan

filosofis yang kreatif.

c. Memberi Pedoman dan Arah

Makna hidup harus dicari dan ditemukan sendiri sehingga individu akan

menyadari tanggungjawab untuk memenuhi tujuan hidupnya. Makna

hidup memberikan “tantangan” bagi individu untuk memenuhinya

sehingga akan membuat kegiatan dalam hidup menjadi lebih terarah.

2.1.4 Filosofi Makna Hidup

Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan tiga filosofi dari kebermaknaan

hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:

a. Kebebasan berkehendak (freedom of will)

Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas.

Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap

terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya,

namun harus diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang

menjadi kesewenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia

adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya

(sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang datang dari dalam

dirinya (biologis dan psikologis).

(5)

b. Kehendak hidup bermakna (the will to meaning)

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk

menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya, keluarga, dan

lingkungan sekitarnya yang mampu memotivasi manusia untuk bekerja,

berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya agar hidupnya

berharga dan dihayati secara bermakna, hingga akhirnya akan

menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kehidupan.

c. Makna hidup (meaning of life

Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan

didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup

tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan

sendiri. Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal

yang ingin dicapai dan dipenuhi dalam hidup.

2.1.5 Tahapan Pencapaian Makna Hidup

Proses keberhasilan seseorang dalam mencapai makna hidup adalah urutan

pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan

hidup tak bermakna menjadi bermakna. Bastaman (1996) menguraikan tahapan

tersebut, yaitu:

a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)

Individu merasakan emosi negatif dan menghayati hidup tidak bermakna

karena mengalami peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak

menyenangkan.

(6)

b. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)

Muncul kesadaran dalam diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih

baik lagi. Munculnya kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya

perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari

seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau

peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya

selama ini.

c. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan

hidup)

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting

dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Hal-hal

yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa nilai-nilai

kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan

keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap „yakni

menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak

menyenangkan tersebut.

d. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan

makna hidup)

Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar

membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang

lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat,

kemampuan dan keterampilan.

(7)

e. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)

Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan

mengembangkan penghayatan hidup bermakna sehingga individu

merasakan kebahagiaan dalam hidupnya

2.1.6 Komponen yang Mempengaruhi Keberhasilan Meraih Kehidupan Bermakna

Menurut Bastaman (1996), terdapat beberapa komponen yang menentukan

berhasilnya pencapaian hidup bermakna, yaitu :

a. Pemahaman Diri (Self Insight)

Pemahaman pribadi pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami

beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang. Misalnya

seperti mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta kondisi

lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan sekarang

serta memahami kebutuhan yang mendasari keinginan-keinginan tersebut,

merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa

yang akan datang serta menyusun rencana yang realistis untuk

mencapainya.

b. Bertindak Positif

Tindakan positif menekankan pada tindakan nyata yang mencerminkan

pikiran dan sikap yang baik dan positif. Untuk menerapkan metode

bertindak positif, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu memilih

tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan secara wajar tanpa

(8)

terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan fleksibel dari yang

berlangsung selama beberapa detik hingga jangka panjang yang

berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai benar-benar diinginkan

dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan dari lingkungan

terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada kemungkinan untuk

bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai tindakan berpura-pura

namun jika dilakukan secara konsisten, serius dan dihayati akan menjadi

kebiasaan.

c. Pengakraban hubungan

Pengakraban hubungan menganjurkan agar seseorang membina

hubungan yang akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga,

teman ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi

yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan membutuhkan

orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri

sendiri. Seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi

dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

d. Pendalaman Tri-nilai

Pendalaman Tri-nilai berarti nilai-nilai yang menjadi sumber makna hidup

(creative value, experiential value, dan attitudinal value) yang dimiliki,

dipahami dan dimengerti agar dapat menemukan makna hidup dan

menetapkan tujuan hidup yang ingin diraih serta melakukan kegiatan yang

mengarah kepada pemenuhan tujuan hidup.

(9)

e. Ibadah

Beribadah berarti menjalankan ibadah secara khidmat agar menimbulkan

perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta menimbulkan perasaan

seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindseakan-akan-tindseakan-akan penting.

2.2 Ateis

2.2.1 Definisi Ateis

Le Poidevin (dalam Cliteur, 2009) mengatakan bahwa Ateis adalah orang

yang menolak keberadaan pencipta semesta, bukan semata-mata hanya hidup

tanpa mengacu pada pencipta tetapi juga memilik kesadaran dan posisi yang

tegas. Mereka mengangap bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah irasional

sehingga harus ditolak. Sesorang yang memiliki ketiadaan belief teistik yang

disebabkan oleh adanya kesadaran untuk menolak hal tersebut yang dilakukan

dengan sengaja diistilahkan sebagai Ateis eksplisit oleh Smith (2003). Gora

(1979) menyatakan bahwa Ateis menganut paham Ateisme yang mengutamakan

kebebasan individu, meamahami realita dengan membedakan iman dan

kenyataan. Ateis menggunakan imajinasi dengan bebas untuk mendapatkan

pengetahuan tidak langsung, membentuk opini, memformulasi teori, tetapi tetap

membuka pikiran seluas-luasnya. Berdasarkan pengertian tersebut, seorang Ateis

mengenal adanya kepercayaan terhadap Tuhan, namun mereka memilih untuk

tidak percaya, tidak hidup berdasarkan Tuhan karena memilih menggunakan akal

mereka.

(10)

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya,

Ateis adalah individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan dalam

bentuk apapun sehingga memahami realita berdasarkan akal mereka, melalui

kenyataan yang terjadi,bukan berdasarkan iman pada Tuhan dalam bentuk apapun.

2.2.2 Faktor yang Dapat Menyebabkan Individu Menjadi Ateis

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang beralih dari Teis

menjadi Ateis. Thompson (2004) dalam bukunya yang berjudul The Many Faces,

Causes of Unbelief mengungkapkan beberapa penyebab tersebut, diantaranya:

a. Orangtua dan Cara Asuh

Sedari dini, individu tentu banyak berinteraksi secara sosial dengan orang

lain, namun yang paling mempengaruhinya adalah melalui orangtua. Di

masa kanak-kanak, pikiran dan otak anak merupakan spons yang dapat

menyerap apa saja yang diberikan oleh orangtuanya. Bila sedari dini anak

diberikan disiplin, contoh panutan yang baik serta instruksi dalam hal

keagamaan yang dapat menumbuhkan iman anak, tentu hal tersebut akan

melekat pada diri anak dan ia akan melakukan dan mengimani agamanya

dengan baik, sesuai ajaran orangtuanya. Namun, bila yang didapatkan

anak adalah kurang diterapkannya kedisiplinan, kurangnya instruksi dan

lemahnya contoh panutan dalam beragama, hingga rasa kecewa terhadap

orangtua, hal tersebut dapat melemahkan iman anak sehingga anak

menjadi tidak percaya, skeptis maupun menolak Tuhan.

(11)

b. Perkembangan Sains

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini manusia hidup di era perkembangan

sains dan ilmu pengetahuan yang semakin maju, mulai dari perkembangan

alat komunikasi hingga transportasi. Penelitian-penelitian dalam bidang

kesehatan, pendidikan juga meningkat dengan pesat. Namun sayangnya,

karena kemajuan yang begitu hebat, sains sangat dipuja dan dianggap

sakral bagi sebagian orang sehingga menganggap bahwa hal baik yang

mereka nikmati, seperti obat penyakit, transportasi merupakan hasil

pemikiran manusia, bukan dari Tuhan. Hal tersebut dikarenakan mereka

mendapatkan sensasi kekuasaan, merasa bangga pada diri sendiri karena

telah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang semakin canggih yang

berasal dari pikiran dan kerja keras mereka sehingga menolak pengajaran

agama yang menekankan bahwa kebenaran mutlak adalah milik Tuhan.

c. Intimidasi secara Intelektual

Pada masa sekarang ini, sangat banyak individu yang dulunya mengetahui

apa yang mereka percaya dan memahami alasan mereka mempercayai hal

tersebut, mulai bingung dan melemah imannya karena terintimidasi secara

intelektual. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami disonansi kognitif

ketika dihadapkan pada informasi baru yang berlawanan dengan

keyakinan yang mereka anggap benar, misalnya karena bertemu dengan

orang yang tidak percaya pada Tuhan disertai dengan berbagai alasan,

seperti argumen bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh mayoritas, yang

berarti meskipun lebih banyak orang yang percaya pada agama daripada

(12)

yang tidak, bukan berarti, mayoritas tersebutlah yang benar, serta

alasan-alasan lainnya. Hal ini dapat membuat seseorang yang yakin pada

agamanya, menganggap bahwa informasi baru tersebut lebih masuk akal

sehingga mempengaruhi kegoyahan iman bahkan keputusan untuk tidak

percaya lagi.

d. Kejahatan, Rasa Sakit dan Penderitaan

Seseorang dapat meninggalkan imannya ketika mengalami kejahatan, rasa

sakit dan penderitaan dalam hidupnya sendiri maupun orang-orang

terdekatnya. Hal ini dikarenakan mereka menganggap jika Tuhan adalah

pencipta segala hal, berarti hal-hal buruk yang mereka alami dalam hidup

juga berasal dari Tuhan serta jika semua rencana indah telah dirancang

oleh Tuhan kepada umatnya, berarti yang merancang penderitaan hebat

dalam hidup juga adalah Tuhan. Mereka meragukan kekuasaan Tuhan

yang selalu dikatakan baik dan berkuasa, namun tidak menunjukkan

kebaikan-Nya ketika umatnya mendapat penderitaan. Meskipun mereka

pada awalnya, mencoba mempertahankan iman, namun rasa sakit hati dan

kecewa dapat membuat seseorang kehilangan imannya.

e. Kemunafikan, Ketidakadilan dan Tindakan Buruk oleh Orang Beragama.

Walaupun sulit dipercaya, namun, kesalahan tindakan yang dilakukan oleh

umat beragama dapat mendorong orang lain untuk beralih menjadi tidak

percaya akan agama. Banyak hal-hal buruk seperti korupsi, pemerkosaan,

pembunuhan yang dilakukan oleh orangberagama bahkan orang yang

duduk di sebuah instansi agama. Banyak juga orang yang demi melakukan

(13)

hal yang menurutnya dapat menyenangkan hati Tuhan, malah

menimbulkan ketidakdilan, misalnya saja perang antar agama serta bom

bunuh diri. Padahal seharusnya, orang-orang beragama hidup dalam

kebaikan sesuai Golden Rule yang terdapat pada setiap agama. Hal

tersebut dapat membuat seseorang menjadi ragu akan sistem sebuah

agama bahkan Tuhan yang berada di balik sistem tersebut serta

menganggap bahwa umat beragama adalah munafik sehingga

ketidakpercayaan akan agama dan Tuhan pun muncul

2.2.3 Tahapan Individu Menjadi Ateis

Menurut Julie Krueger (2014), terdapat lima tahapan proses yang

membuat seseorang menjadi Ateis, yaitu :

a. Detachment

Terdapat dua hal yang dapat terjadi pada proses ini, yaitu individu tidak

menanam atau melemahnya identitas agama secara emosi dalam dirinya

karena menganggap bahwa ajaran agama tidak masuk akal meskipun

mereka telah diajari hal keagamaan sedari kecil oleh lingkungannya. Yang

kedua ialah tidak ada atau melemahnya ikatan sosial dengan komunitas

agama, seperti keluarga, teman kelompok agamanya yang membuat a

sehingga hanya dapat memisahkan diri dari agama secara emosional saja.

Kurang tertanamnya agama secara emosional dan tidak adanya ikatan

sosial dengan komunitas agama menyebabkan individu mempertanyakan

kebenaran praktik dan belief terhadap agama.

(14)

b. Doubt

Pada tahap ini, individu sudah mengetahui apa yang membuat mereka

tidak nyaman, tidak puas terhadap identitas agama yang dimiliki. Mereka

sudah mengetahui mengapa mereka skeptis, menitikberatkan pada

kejadian atau informasi tertentu yang mereka dapatkan untuk memvalidasi

dan membenarkan skeptisme tersebut. Hal ini dikarenakan individu telah

melakukan riset independen atau berinteraksi dengan orang-orang yang

memiliki pemikiran yang sama. Sumber keraguan biasanya adalah

kurangnya bukti ilmiah, pandangan institusi agama yang konservatif serta

kitab suci yang dianggap sudah kuno dan tidak sempurna, mereka

menganggap bahwa umat beragama menjadikan agama sebagai alat

pembenaran untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya juga dilarang oleh

agama, misalnya melakukan kekerasan kepada umat agama lain atas nama

membela agama mereka sendiri. Tahap ini berakar pada logika dan alasan,

menganggap bahwa isi kitab suci bertentangan dengan kenyataan yang ada

dan tidak memiliki bukti. Ketidakpuasan pada tahap detachment berganti

dengan kepercayaan diri bahwa mereka bukan lagi bagian dari identitas

agamanya terdahulu.

c. Dissociation

Pada tahap ini, individu mulai menjauhkan diri dari identitas agama

terdahulu, baik melalui belief maupun praktek agama yang familiar dengan

mereka dengan tidak lagi melakukan aktifitas-aktifitas keagamaan.

Individu tidak lagi memikirkan diri mereka berdasarkan identitas agama

(15)

sebelumnya. Namun, tidak semua orang langsung dapat mengadopsi

identitas Ateis tersebut. Sebelum mereka dapat mempertimbangkan untuk

mengadopsi identitas Ateis-nya, mereka harus melewati tahap Transition

terlebih dahulu.

d. Transition

Pada tahap ini, individu mencoba alternatif identitas yang menjembatani

pemisah antara identitas Teistik dan Ateis. Seringnya, individu ragu untuk

mengakui identitas Ateis-nya, untuk meninggalkan imannya karena masih

ingin terhindar dari label negatif ketika mereka mengadopsi identitas Ateis

tersebut. Individu mencoba mencari keyakinan atau filosofi baru yang

tidak memiliki kesalahan-kesalahan yang menurut mereka dimiliki oleh

agama. Tahap ini akan berakhir ketika individu sadar bahwa mereka lebih

cocok untuk mengadopsi identitas yang lain.

e. Declaration

Individu pada tahap ini sudah tidak lagi menganut agama dan menyangkal

imannya karena telah mengakui sudut pandang berbeda, misalnya

sekularisme yang dimilikinya. Mereka sadar, mereka tidak lagi percaya

pada kuasa yang lebih tinggi dalam bentuk apapun. Mereka menemukan

identitas yang cocok dengan belief mereka. Pada tahap ini, individu akan

terbuka mengenai identitas mereka, meskipun nantinya timbul beragam

konsekuensi, baik reaksi positif maupun negatif dari lingkungan. Tahap ini

memerlukan waktu tercapai karena seseorang tidak memutuskan begitu

(16)

saja bahwa Tuhan itu tidak ada, butuh waktu untuk mendapat kesimpulan

demikian.

(17)

Keterangan Simbol : atau = menuju ke atau meraih

nilai tertinggi yang ingin diwujudkan.

Parallel system: memiliki beberapa

nilai yang sejalan

Will to Meaning

Tahap Realisasi Makna Kegiatan yang terarah, komitmen dan pemenuhan makna

Tahap Penerimaan Diri Pemahaman diri dan pengubahan sikap dari (-) menjadi (+): muncul kesadaran untuk

mengubah kondisi diri menjadi lebih baik

Tahap Penemuan Makna Menyadari adanya hal-hal berharga atau penting yang ditetapkan sebagai tujuan

hidup, seperti Creative value,Experiential value, andAttitudinal value

Searching for meaning Eksternal

Internal

Tahap Derita Emosi dan pikiran negatif: kecewa, gelisah, takut, rasa bersalah,

ragu

Beralih Menjadi Ateis

Freedom of Will

Referensi

Dokumen terkait

Ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus mempunyai kebermaknaan hidup dan optimisme yang tinggi sehingga seorang ibu dapat mengisi kehidupannya dengan penuh

Berdasarkan fakta-fakta, literatur dan survei awal yang telah dipaparkan di atas, maka akan dilakukan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran makna hidup

Penelitian ini telah membuktikan bahwa makna hidup itu adalah sesuatu yang berharga yang dapat membawa seseorang ke sebuah kehidupan yang lebih baik.. Makna hidup

Sebab tujuan hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi individu telah menjadi bagian dirinya, sehingga individu akan dapat mengarahkan hidupnya dengan penuh kesadaran

Pada Konselor Adiksi Tahap penerimaan diri Tahap penemuan makna hidup Tahap realisasi makna Penghayatan hidup bermakna Keterangan: : Akibat : Tahapan Tahap

Hasil penelitian menunjukkan kebermaknaan hidup subjek 1 didapatkannya setelah memiliki anak, subjek menjadi lebih bersemangat dalam hidup karena memiliki harapan untuk

Penelitian ini perlu dilakukan juga karena dapat menjadi salah satu cara pencarian makna hidup bagi penghafal Al-Qur’an sekaligus sebagai mahasiswa yang mengalami berbagai

Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup akan menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna meaningless, hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak