• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIL (PSK)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh

WEILLON CHAIDIR

101301123

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)

Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)

Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRAK

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui

experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya

creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.

(4)

Meaningful Life on Sex Worker

Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRACT

So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi berkat, kekuatan, dan kasih-Nya yang melimpah dalam penyelesaian skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU, 2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen

pembimbing penelitian ini,

3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog dan Ibu Juliana Saragih, M.Psi., psikolog selaku dosen penguji dalam penelitian ini,

4. Kedua responden yang telah bersedia membantu dan menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga semua harapannya dikabulkan oleh Tuhan, 5. Kedua orang tua yang selalu memberi kasih sayang, perhatian, semangat,

dukungan materi, serta doa yang tiada henti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan,

6. Seluruh murid-murid peneliti yang turut memberikan doa dan menyemangati terkhusus selama mengerjakan skripsi ini,

7. Kent International (kursus Bahasa Asing) terutama Miss Rohani yang juga memberikan doa, dan memberi perhatian selama penyelesaian skripsi ini, 8. Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU

(6)

Vivian, Johan, Dede, Wieny, Shella, Lili, dan Anggun yang telah memberi dukungan dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini,

9. Seluruh teman-teman KMB USU (Keluarga Mahasiswa Buddhis USU) yang juga turut menyemangati dan berdoa agar diberi kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf jika ada kesalahan yang ditemukan pada skripsi ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati semua pembaca. Terima kasih.

Medan, 4 November 2014

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---i

DAFTAR ISI ---iii

BAB I PENDAHULUAN --- 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH --- 1

B. RUMUSAN PERMASALAHAN --- 16

C. TUJUAN PENELITIAN --- 17

D. MANFAAT PENELITIAN --- 17

E. SISTEMATIKA PENULISAN--- 19

BAB II LANDASAN TEORI --- 20

A. MAKNA HIDUP --- 20

I. DEFINISI --- 20

II. KARAKTERISTIK MAKNA HIDUP --- 21

III. SUMBER-SUMBER MAKNA HIDUP --- 22

IV. ASPEK-ASPEK MAKNA HIDUP --- 25

V. TAHAPAN PENCAPAIAN MAKNA HIDUP --- 27

VI. KOMPONEN YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN MERAIH HIDUP BERMAKNA --- 28

VII. HIDUP BERMAKNA --- 32

B. PEKERJA SEKS KOMERSIL --- 34

1. DEFINISI --- 34

2. ALASAN MENJADI PSK --- 35

C. PARADIGMA BERPIKIR --- 37

(8)

A. PENDEKATAN KUALITATIF --- 38

B. RESPONDEN PENELITIAN --- 39

C. METODE PENGAMBILAN DATA --- 40

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA --- 40

E. PRODESUR PENELITIAN --- 41

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN --- 48

A. HASIL ANALISA DATA --- 48

I. RESPONDEN #1 --- 48

I.1. IDENTITAS DIRI ---48

I.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---49

I.3. HASIL OBSERVASI ---49

I.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---55

I.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---72

I.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---73

I.7. REKAPITULASI DATA RESPONDEN ---75

II. RESPONDEN #2 ---81

II.1. IDENTITAS DIRI ---81

II.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---81

II.3. HASIL OBSERVASI ---82

II.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---87

II.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN --105

II.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---106

(9)

III. ANALISA INTER RESPONDEN ---114

B. PEMBAHASAN ---118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ---133

A. KESIMPULAN ---133

B. SARAN ---136

B.1. SARAN PENELITIAN LANJUTAN ---136

B.2. SARAN PRAKTIS ---136

DAFTAR PUSTAKA ---139

LAMPIRAN ---141

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman wawancara ---142

(10)

Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)

Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRAK

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui

experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya

creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.

(11)

Meaningful Life on Sex Worker

Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja

ABSTRACT

So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan

berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan

berharga di mata Tuhan (Frankl, 1984). Setiap orang pasti menginginkan bagi

dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan

diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan

segala kegiatannya. Dan setiap orang juga pasti mendambakan dapat menjadi

orang yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, serta menjadi orang yang

mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dan apa yang paling baik

bagi dirinya dan lingkungannya (Bastaman, 2006).

Manusia hidup di dunia ini memiliki makna hidup tersendiri yang sifatnya

unik dan personal (Frankl, 1984). Makna hidup mempunyai arti yang berbeda

pada setiap individu tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya dan

mengartikannya (Frankl, 1984). Setiap individu mempunyai keinginan untuk

meraih hidup bermakna, seperti yang dikemukakan Frankl (dalam Bastaman,

2006), bahwa dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun

kehidupan ini selalu mempunyai makna, di mana hidup secara bermakna

merupakan motivasi utama setiap orang. Dalam batas-batas tertentu manusia

memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menemukan

(13)

tidak dapat dipisahkan (Frankl dalam Bastaman, 2006). Ketika seseorang

menemukan makna hidup maka ia akan menentukan tujuan hidup yang pada

akhirnya akan membuat segala kegiatan menjadi lebih terarah (Bastaman, 2006).

Kebermaknaan hidup merupakan perasaan subjektif bahwa segala sesuatu

yang terjadi pada diri subjek mempunyai dasar kokoh dan penuh arti atau dengan

kata lain subjek merasa bahwa dirinya benar, beres dan tepat (Erikson dalam

Cremers, 1989). Benar, beres dan tepat dalam mengambil tindakan atau keputusan

baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun orang lain akan

menimbulkan rasa penuh makna. Rasa penuh makna tersebut tercapai ketika

subjek merasa telah menyesuaikan diri secara memadai dengan tata nilai yang

menjadi kerangka orientasi hidupnya (Koeswara, 1992). Bastaman (2006)

mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan

kehidupan yang penuh gairah dan optimis, terarah, dan bertujuan, mampu

beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri dan apabila

dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tabah dan menyadari bahwa ada

hikmah di balik penderitaan (Bastaman, 2006).

Berdasarkan fenomena yang dialami manusia di atas, kebermaknaan hidup

dapat diraih atau dicapai oleh setiap umat manusia, termasuk wanita yang memilih

bekerja sebagai pekerja seks komersil. PSK sendiri menunjuk pada sesosok

perempuan penjaja seks yang merupakan prostitusi, membiarkan diri berbuat

cabul dan melakukan perzinaan secara bebas (Kartono, 2005). Para wanita yang

menjadi pelacur dengan menjual diri melakukan hubungan seks dengan lelaki liar

(14)

menjadi PSK dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal; kondisi

keuangan keluarga yang memburuk, terbukanya peluang, tekanan yang datang

dari teman pergaulan, atau dijual oleh keluarga sendiri, sedangkan faktor internal;

sakit hati karena pasangan, sebagai sarana penyaluran nafsu, memiliki keinginan

untuk cepat kaya, atau tidak memiliki kompetensi (Vansenbeeck, 2001). Akan

tetapi, walaupun dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal, para PSK

memiliki kebebasan memilih lapangan pekerjaan yang tersedia yang tidak

mengharuskan mereka untuk terjun dalam dunia prostitusi (Koentjoro, 1996).

Namun, pada kenyataannya PSK tidak menyadari kehidupan yang dijalani dan

tidak siap menerima penderitaan tak terelakan yang dialami (Frankl, 1984)

sehingga mereka berusaha mengatasinya dengan memilih hidup sebagai PSK

adalah solusinya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengakuan PSK berikut ini:

“Yaa masuk kerja sini karna laki-laki...sakit hati, disiksa terus sama suamiku...karna gak tahan aku cerai setelah melahirkan 2 hari.. jadi PSK karna kebutuhan ekonomi gak cukup…karna lakiku aku jadi seperti ini...aku tak mikir panjang…mumpung bisa dapet duit untuk membiayai sekolah adik-adikku…”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“Masuk jadi PSK karna dikenalin teman…putusin masuk sini karna aku merasa tertekan berada dalam keluarga…bapakku sendiri tak peduli sama aku…seperti tak ada aku dalam keluarga…mau jam berapa pulang pun gak pernah ditanyai.. sepertinya saya tak pernah dianggap anak oleh keluarga.. sebelumnya kerja di pabrik roti, tapi karna terbakar tutup..aku tak punya kerjaan..jadi untuk menghidupi anakku..aku terpaksa kerja di sini...”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

(15)

menafkahi anak dan ibuku..jadi temanku kenalin pelacuran ini..saya tidak mikir panjang..jadi aku kerjalah di sini..walau jijik, tapi demi bertahan hidup…mau gimana tak punya keahlian khusus juga...”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa kebanyakan alasan

perempuan menjadi pekerja seks komersil karena dipaksa oleh kondisi

lingkungan, adanya kekecewaan karena percintaan gagal, kurangnya kesempatan

kerja di pasar kerja, atau adanya kebutuhan yang mendesak untuk mendapatkan

pendapatan agar bisa membiayai diri sendiri dan keluarga. Ini semua terkait

dengan tuntutan hidup, yakni faktor ekonomilah yang menjadi alasan utama

seseorang bersedia melakukan apapun termasuk menjadi PSK, sekalipun itu

adalah perbuatan yang “rendah” atau “hina” di mata masyarakat umum dan

agama.

Wanita yang telah masuk dalam dunia prostitusi, ada yang merasa nyaman

ataupun tidak nyaman atas pilihan yang mereka jalani sebagai pekerja seks

komersil. Bagi wanita yang tidak nyaman berada di dalam dunia prostitusi, akan

mempengaruhi kondisi psikologis mereka sebab mereka merasa bersalah, malu,

marah, dan jijik. Walaupun mereka mengetahui benar apa yang mereka lakukan,

namun untuk bertahan hidup mereka memilih jalan hidup mereka di dunia

prostitusi (Koentjoro, 2004). Beberapa pengakuan PSK dalam menjalani

pekerjaannya juga merasa tidak nyaman, terpaksa, menyesal, dan bersalah pada

keluarga, antara lain:

(16)

melepaskan segalanya..kalo punya modal cukup pingin cepat-cepat keluar...tapi saat ini aku masih butuh duit tuk bertahan hidup..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“Aku merasa terpaksa kerja di sini..kalo bukan karna tak memiliki ketrampilan khusus..ditambah dengan biaya hidup semakin mahal dan untuk menenangkan hati yang masih terbayang suami yang kucintai menganiaya diriku… aku harus berbohong pada ibu dan anak.. bersalah dan menyesal melanda hingga saat ini..”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“aku di sini karna bisa dapet duit dan bisa membiayai keluargaku.. kalo bisa keluar dan dapat pekerjaan yang lebih baik.. aku juga memilih keluar.. di sini aku sempat merasa lebih tenang..karna merasa teman-teman di sini rata-rata alasannya sama karna laki-laki dan keadaan ekonomi yang krisis..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa perempuan yang masuk

dalam prostitusi merasa tidak nyaman dan terpaksa menekuninya karena

semata-mata ingin bertahan hidup. Selain itu, mereka juga tidak memiliki keterampilan

khusus yang dapat memberikan penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan

keluarga. Hal lain yang turut memicu mereka memilih jalan hidup sebagai PSK

karena mantan suami mereka yang menganiaya, menyakiti, dan mengecewakan

mereka. Mereka yang dulu mungkin pernah mengalami kehidupan bermakna,

tetapi pada saat suatu peristiwa tragis menimpa diri mereka, maka seakan-akan

hidup mereka hampa dan tidak bermakna lagi karena berpegang teguh pada suatu

nilai tunggal, yaitu keutuhan keluarga.

Bagi wanita yang menjadi PSK karena terpaksa, cepat atau lambat akan

(17)

tahu bahwa apa yang dilakukan adalah perbuatan yang tercela dan tidak dapat

diterima di kalangan agama manapun (Koentjoro, 1996). Meskipun disadari,

mereka tetap tidak dapat menghentikan pekerjaannya demi kelangsungan

hidupnya. Di satu sisi rasa bersalah tersebut terus menghantui, sementara di sisi

lain mereka harus memikirkan kelangsungan hidupnya. Sangat sulit untuk

menyeimbangkan dua tekanan yang kekuatannya berlawanan. Semakin lama

tekanan tersebut terjadi, maka batin para PSK akan semakin tepuruk, dan akhirnya

bisa mengakibatkan jiwa mereka terganggu. Hal tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan Erbe Sentanu (dalam Quantum Ikhlas, 2009), yang intinya

membahas tentang negative feeling yang dialami manusia ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang bertentangan atau berlawanan antara hati dan pikirannya.

Koentjoro (1996) juga mengemukakan bahwa wanita pekerja seks

komersial selalu mengalami konflik dalam dirinya, baik konflik kepentingan

antara rasa membutuhkan uang dan perasaan berdosa, atau juga yang berkaitan

dengan karena adanya perasaan tidak aman akan statusnya sebagai pekerja seks

komersial dalam masyarakat.

Menurut Hutabarat (2004) dalam penelitiannya ditemukan bahwa adanya

keinginan untuk tidak diasingkan dari lingkungan menyebabkan wanita pekerja

seks komersil menutupi statusnya sebagai wanita pekerja seks komersil dengan

berpura-pura menjadi anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan

lingkungan sekitar tetap terjaga. Selain berpura-pura menjadi masyarakat biasa,

(18)

statusnya terbuka seluruh keluarganya akan didiskriminasi oleh masyarakat. Hal

ini dapat dilihat dari pengakuan dari beberapa PSK berikut ini:

“yaa keluargaku gak tau kalo aku kerja di tempat ini..aku terpaksa bohong lah.. yang mereka tau aku kerja di café… klo sempat keluarga tau yaa terpaksalah aku keluar, malu pada mereka dan pasti jadi ocehan masyarakat sekitar..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“aku gak bisa jujur pada mereka…karna itu akan berimbas pada anakku…masa depan anakku pasti tak bisa menerima kalo mamanya seorang pelacur…mereka dibesarkan dari duit haram ini…rasa menyesal dan bersalah terus menghantui hingga saat ini, namun untuk bertahan hidup.. aku harus bersabar..”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“kalo statusku ketahuan, aku malu pada keluargaku di kampung.. dan orang-orang kampung pasti mendiskriminasi keluargaku… tapi kalo keluargaku yang disini..mau aku pulang pagi…pulang tengah malam…mereka tak peduli... hidup ato gaknya diriku tak dipedulikan lagi... dan yang paling penting sekarang di Medan..aku hanya mengkhawatirkan anakku...dia tak boleh bernasib sama denganku… (Komunikasi personal, 4 April 2014)

Berdasarkan pengakuan di atas, maka diketahui bahwa wanita pekerja seks

komersil mengetahui konsekuensi yang akan diterima, namun mereka tetap berada

di dalam karena keterpaksaan; terpaksa disetujui suami, ditelantarkan suami atau

ditinggal suami sehingga berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan anak, dan

orang tua, sebagaimana pengakuan para PSK bahwa sebenarnya jika mereka

memiliki keterampilan dan ekonomi yang cukup, maka mereka tidak ingin terus

bertahan sebagai pekerja seks komersil.

Secara umum, masyarakat menolak keberadaan wanita pekerja seks

(19)

Masyarakat cenderung menghina, mencela, dan mengolok-olok keberadaan

mereka. Mereka didiskriminasi oleh masyarakat karena para pekerja seks komersil

dianggap orang yang tidak bermoral karena bertentangan dengan nilai-nilai

kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat (Koentjoro, 1996). Hal ini tidak hanya

berdampak pada wanita pekerja seks komersil, akan tetapi seluruh keluarganya

akan mendapat perlakuan diskriminasi dan mempermalukan keluarga sendiri.

(Koentjoro, 1996).

Tidak mendapatkan social support dari siapapun menyebabkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang kemudian semakin menjauhkan diri mereka

dari masyarakat umum seperti masuk dalam suatu lokalisasi. Akibat penolakan

dan sikap negatif masyarakat serta label-label yang diberikan kepada para PSK,

mereka semakin menarik diri, mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian

sosial dan pengembangan diri. Sikap masyarakat yang demikian dapat

menimbulkan masalah psikologis bagi kaum wanita pekerja seks komersil

(Koentjoro, 1996).

Fenomena yang dialami PSK ini, memberikan gambaran mengenai

bagaimana PSK hidup di bawah tekanan yang diperolehnya dari lingkungan

sekitar, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, serta harus

menerima berbagai macam stereotipe negatif yang ditujukan pada PSK. PSK yang

secara sadar maupun tidak sadar juga ingin diakui selayaknya manusia yang

memiliki kebutuhan dasar serta keinginan seperti manusia lain pada umunya, yaitu

manusia pasti ingin hidup bahagia sehingga apapun yang dilakukan pada akhirnya

(20)

Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa PSK adalah manusia

yang hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih

empatik (Koentjoro, 1996). Pada dasarnya PSK memiliki kehidupan PSK sama

dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan mereka adalah justifikasi

masyarakat itu sendiri terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang

terpinggirkan Kartono, 2005). Hidup dengan penuh tekanan memperoleh

stereotype negatif, diskriminasi, dan justifikasi masyarakat, ada beberapa PSK yang tidak sanggup menahan semuanya, namun ada juga yang memilih bertahan

dan melanjutkan kehidupan sebagai PSK. Beberapa PSK yang bertahan inilah

yang menarik perhatian peneliti akan bagaimana mereka memaknai hidup mereka

sebagai seorang PSK. Para wanita yang memilih menjadi PSK juga ingin seperti

manusia lainnya, ingin hidup mereka bermakna, mempunyai suatu kebutuhan

yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna

hidup. Penghayatan akan kehidupan bagi mereka yang bertahan dan rela hidup

sebagai seorang PSKlah menjadi hal yang unik, spesifik, dan personal yang dapat

dikatakan seseorang dapat menyadari makna hidup dibalik penderitaan yang

dialami atau Meaning in Suffering (Frankl, 1994). Frankl (2004) mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan

yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan pada

sutuasi tertentu. Apabila seseorang berhasil memaknai hidupnya, maka

kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan

menimbulkan penghayatan bahagia (Bastaman, 2006). Adanya kebutuhan akan

(21)

seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya

(Bastaman, 2006). Seperti halnya dalam beberapa pengakuan PSK berikut:

“Seandainya aku punya keterampilan dan modal yang cukup, aku ingin membuka usaha…jika beruntung aku ingin ada pria yang sungguh-sungguh tulus mencintaiku apa adanya...aku ingin seperti wanita lain yang memiliki keluarga yang harmonis..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

“berada di sini memang bisa mengurangi tekanan yang aku rasakan di keluargaku yang di Medan..karna mereka sama sekali tidak ngomong, tidak peduli dan menganggapku tak ada di keluarga itu.. sikap dan perilaku mereka seakan mendiskriminasi.. aku memilih tak pulang jika mau..tapi karna aku masih punya anak..aku harus mengurus mereka..kalo aku tak ada..anakku pasti gak dipedulikan.. jika aku punya modal cukup, aku bisa hidup sendiri dengan anakku..kalo Tuhan masih memberiku kesempatan, aku ingin ada seseorang bisa memberiku kebahagiaan seperti wanita lainnya..”

(Komunikasi Personal, 4 April 2014)

“Walau harus berbohong…tidak lagi menjadi beban pikiranku..yang penting aku tak harus mengemis, mencuri ato merampok untuk makan 3 kali sehari… nyesel sih nyesel.. merasa bersalah juga… aku tak penting sama ada pasangan ato tidak..yang penting aku punya modal buat beli rumah sendiri agar keluargaku semua bisa hidup bersama..itu sudah cukup.. karna smapi sekarang aku masih tidak bisa percaya sama namanya laki-laki..”

(Komunikasi personal, 27 Maret

2014)

Berdasarkan pengakuan di atas, maka perlu diketahui bahwa proses

penemuan makna hidup bukanlah suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK,

perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup

mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta

(22)

lepas dari hal-hal yang diinginkan selama menjalani kehidupan serta

kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai makna hidup yang dimulai dengan pikiran

yang tenang dan kesadaran untuk meraih makna hidupnya (Bastaman, 2006).

Dalam proses penemuan makna hidup, dituntut adanya keaktifan dan

tanggung jawab PSK untuk memenuhinya. Makna hidup yang dicari tidak hanya

ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan

pada saat mengalami penderitaan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan

Frankl (2004) bahwa adanya nilai-nilai yang harus dipahami manusia agar dapat

menemukan makna hidup, yaitu creative value mengacu pada pekerjaan yang ditekuni dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya, experiental value mengacu pada pengalaman yang telah dilalui dan hikmah yang dapat diambil, dan attitudinal value mengacu pada ketabahan dalam menerima segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dihindarkan (Frankl, 2004).

Dengan kesabaran dan ketabahan, PSK akan dapat menemukan makna

hidup mereka atas pilihan dan tanggung jawab yang mereka pikul sampai saat ini

yang akan berdampak di masa mendatang. Berhasil atau tidaknya mengambil

hikmah dari pengalaman yang dialami dengan penuh kesabaran dan ketabahan

serta tanggung jawab yang dipikul mereka turut menentukan apakah menemukan

insight atas kehidupan mereka sendiri serta tercapainya penghayatan hidup bermakna atau penghayatan hidup tidak bermakna. (Frankl, 2004).

Berdasarkan teori Frankl, Bastaman (2006) mengajukan suatu proposisi

mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam

(23)

bermakna (meaningfull). Tahapan tersebut diawali dengan individu mengalami peristiwa tragis atau berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan dalam

hidupnya sehingga beranggapan bahwa hidupnya tidak bermakna, tahap ini dsebut

tahap derita. Wanita yang memilih bekerja sebagai PSK, hidupnya benar-benar

berubah menjadi tidak menyenangkan atau bahkan lebih menderita dari kehidupan

sebelumnya dan masih menganggap hidup mereka tidak bermakna. Hal ini dapat

dilihat dari beberapa pengakuan berikut ini:

“bertemu dengan laki-laki yang gak bertanggung jawab adalah nasibku..aku berkorban demi suami ketika dia jatuh..dan gak membalas ketulusanku.. dan malah menyiksa diriku.. aku cerai dan bawa kedua anakku agar gak mempengaruhi perkembangannya yang masih kecil..kebahagiaan serasa sudah terampas..dan aku gak bisa lagi percaya pada laki-laki pada saat itu..karna laki-lakilah aku jadi pelacur..menyimpan rasa sakit sendirian dan menjadi lonte untuk menghibur diri…”

(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)

“tamat sekolah aku ke Malaysia dengan tujuan untuk menggapai cita-cita dan mendapatkan pasangan yang bisa membuatku bahagia..tapi malah bertemu lelaki bejat tak bertanggung jawab.. aku hamil sudah 7 bulan..dia tega menendang aku hingga jatuh...syukurlah aku gak keguguran..aku ninggalin dia barulah aku cari kerja di café, tempat karoke dan terakhir di perlontean ini..”

(Komunikasi personal, 4 April 2014)

Apabila PSK sanggup bertahan, menerima segala konsekuensi, serta sadar

bahwa inilah jalan yang mereka pilih, maka mereka akan beranjak ke tahap

selanjutnya yaitu tahap penerimaan diri. Pada tahap ini, muncul kesadaran diri

untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Munculnya kesadaran dalam

diri PSK dapat melalui perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat

(24)

lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya

selama ini. PSK yang berhasil mencapai tahap ini akan lebih memahami diri dan

hidupnya sehingga mengubah sikap terhadap apa yang dialaminya (Bastaman,

1996).

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting

dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup, individu telah

berhasil mencapai tahap penemuan makna hidup. Pada tahap inilah individu menyadari nilai-nilai yang sangat penting dalam hidup, antara lain creative value, experiential value, dan attitudinal value. Nilai-nilai yang dianggap berhaga dan penting bagi PSK membuat mereka menentukan tujuan hidup mereka ke depan

(Bastaman, 1996).

Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan berusaha direalisasikan ketika

para PSK mendapat dukungan dan bersemangat serta berkomitmen untuk

melakukan kegiatan yang lebih terarah (Warren, 2002). Pada tahap ini, muncul

keinginan dan kehendak untuk memenuhi tujuan hidup (will to meaning) sehingga PSK berusaha merealisasikan apa yang menjadi makna hidup bagi dirinya.

Bastaman menyebut tahap ini sebagai tahap realisasi makna. Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan diusahakan dan diupayakan semaksimal mungkin serta

berkomitmen penuh untuk melaksanakannya hingga tujuan hidupnya tercapai

(Bastaman, 1996). Berkaitan dengan hal realisasi makna, manusia terbagi dalam

dua kelompok besar, yaitu kelompok orang yang masih mencari makna hidup dan

(25)

Kelompok orang yang masih dalam pencarian makna hidup terdiri dari

orang yang aktif dalam mencari makna hidup mereka dan orang yang terhambat

dalam pencarian makna hidup mereka (Frankl, 1984). Bagi mereka yang aktif

dalam pencarian makna hidup, tentu tidak akan kebingungan dan mempersepsi

kehidupan mereka secara positif sehingga tidak akan mengalami kehampaan

hidup (Lukas, 1985). Namun, bagi mereka yang terhambat dalam pencarian

makna hidup, kehidupan ini dirasakan dangat membingungkan dan

mempersepsikannya secara negatif. Mereka pada dasarnya sedang mencari tujuan

hidup untuk dipenuhi, mendambakan suatu ideologi untuk diyakini dan

menginginkan adanya kewajiban sosial yang dapat mereka jalani dengan penuh

gairah, karena sadar bahwa mereka sebenarnya mengalami kehampaan hidup.

Mereka yang terhambat dalam pencarian makna hidup disebut juga manusia

dalam keraguan / people in doubt (Lukas, 1985).

Dalam hal ini, manusia yang sudah menemukan makna hidup juga

dibedakan antara orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang

piramidal dengan orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang paralel

(Kratochvil, 1968). Orang – orang yang mendapatkan rasa aman dalam sistem

nilai paralel adalah merka yang sekaligus memiliki beberapa nilai yang bobotnya

sama kuat dan sama-sama bermakna dalam hidup mereka. Contohnya: seseorang

yang sekaligus mencintai pekerjaan dan keluarganya, mempunyai teman-teman

dan lingkungan pergaulan yang menyenangkan, dan dia pun tidak melupakan

hobi-hobinya serta mendapatkan keimanan dalam agama yang diyakininya.

(26)

waktu bersamaan mengorientasikan seseorang untuk memenuhi makna hidupnya

dan jika tidak terpenuhinya satu nilai tertentu akan lebih mudah digantikan oleh

nilai-nilai lainnya yang setara sehingga dia tidak akan pernah merasa bingung dan

kehilangan orientasi dalam hidupnya (Kratochvil, 1968).

Adapun orang-orang yang mendapatkan rasa aman melalui nilai-nilai yang

piramidal adalah mereka yang semata-mata mengorientasikan diri pada nilai

tunggal yang dianggapnya tertinggi, sedangkan nilai-nilai lainya ditempatkan pada

peringkat yang jauh lebih rendah atau bahkan diabaikan. Dengan demikian, sistem

nilai mereka secara keseluruhan seakan-akan membentuk piramidal tunggal.

Contohnya: seseorang yang menemukan makna hidupnya semata-mata dari

pekerjaannya dan mengabaikan kegiatan-kegiatan lainya; seorang ibu yang

membaktikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anaknya, tetapi

mengabaikan kepentingan sendiri dan hal-hal lainnya, atau seorang rohaniawan

yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berdoa dan mengisolasi diri

dari tugas-tugas kemasyarakatan (Kratochvil, 1968). Mereka yang pernah

mengorientasikan diri untuk memenuhi nilai-nilai tunggal tersebut, dan pernah

pula berhasil menjalani kehidupan yang bermakna, tetapi waktu nilai-nilai

tersebut gagal dipenuhi, maka nilai-nilai lainnya tidak lagi berarti sehubungan

dengan suatu peristiwa tragis tertentu yang mereka alami. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka manusia yang berorientasi pada sistem nilai piramidal disebut

manusia dalam keputusasaan / people in despair (Lukas, 1986).

Berhasilnya merealisasikan tujuan hidupnya, akan timbul perubahan

(27)

dengan kebahagiaan sebagai hasil dari upaya mereka merealisasikan tujuan hidup

mereka (Bastaman, 1996). Namun, ketidakberhasilan menghayati makna hidup

biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang

ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan

absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis yang apabila berlangsung secara intensif dan

berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi sejenis gangguan

neurosis yang ditemukan Frankl (Crumbaugh dalam Bastaman, 1996).

Berdasarkan fenomena di atas, adanya beberapa PSK selama menjalani

kehidupan sadar akan pandangan negatif yang diperoleh dari lingkungan sekitar,

tetapi beberapa diantaranya masih tetap mampu mempertahankan apa yang

dipercayai, diyakini, dihayati dan sebagian dari mereka juga tetap menjalankan

kehidupan dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat ataupun opini

dari orang-orang yang memandang negatif dirinya. Hal inilah yang membuat

peneliti tertarik untuk meneliti kehidupan yang dijalani PSK dalam proses

pencarian makna hidup.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Peneliti hendak memahami kebermaknaan hidup PSK dengan menjawab

pertanyaan penelitian berikut: Bagaimana dinamika yang dialami PSK dalam

(28)

C.TUJUAN PENELITIAN

C.1. Tujuan teoritis

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami dinamika

kehidupan PSK dalam proses pencarian dan penemuan makna hidup.

Dengan menelusuri kehidupan PSK, mulai dari latar belakang, value yang dimiliki, kualitas diri, serta motivasi menjadi PSK akan mampu

menjelaskan bagaimana PSK menghayati kehidupannya.

C.2. Tujuan praktis

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memahami dan

mengerti pentingnya kehidupan diri sendiri, apapun pilihan yang

dihadapkan pada PSK pasti memiliki maknanya bila setiap PSK mampu

mengambil hikmah dari pengalaman yang dilalui dan berani menghadapi

tantangan hidup untuk meraih hidup yang bermakna.

D. MANFAAT PENELITIAN

D.1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini, akan mempermudah untuk mendalami

(29)

D.2. Manfaat praktis

Dengan adanya penelitian ini akan memberi manfaat pada:

1. PSK

Memberi semangat dan motivasi bagi para PSK bahwa selama

mereka masih hidup, maka hidup mereka pasti bermakna ketika

mampu menyadari hikmah dibalik segala pengalaman yang

telah dialami dan menemukan makna dalam hidup mereka.

2. Keluarga

- Memberi dukungan dan semangat pada PSK agar mereka

merasa masih dibutuhkan dan dicintai yang akan membuat

mereka berani menyusun rencana hidup ke depan, tidak lagi

terikat dengan masa lalu sehingga mampu menemukan

makna hidup dan menetapkan tujuan hidupnya.

- Memberikan motivasi bagi mereka untuk mempelajari

keterampilan baru agar dapat hidup lebih baik dan memiliki

tujuan hidup ke depan.

- Semakin mendekatkan diri pada Tuhan bahwa dengan

bimbingan dan perlindungannya akan memberikan

kekuatan bagi para PSK untuk menghadapi tantangan

(30)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian

terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan

pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,

responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan

(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. MAKNA HIDUP

A.I. Definisi Makna Hidup

Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang

dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut

logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata”logos” yang artinya makna

(meaning) atau rohani (spiritually), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui

adanya dimensi kerohanian pada manusia selain dimensi jiwa dan raga,

serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life)

yang didambakan (Sahakian dalam Bastaman, 1972).

Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan

berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan

tujuan hidup (Bastaman, 1996). Makna hidup bila berhasil ditemukan dan

dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu

yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari

keputusasaan (Bastaman, 1996). Makna hidup dapat ditemukan dalam

kehidupan itu sendiri, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak

(32)

dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti

(meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007)

Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat

dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat

berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh

siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri

sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus

menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya.

Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada

dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya

(Koeswara, 1992).

Berdasarkan beberapa pengertian makna hidup, maka dapat

disimpulkan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat

penting dan berharga serta diyakini benar dan memberikan nilai khusus

bagi diri sehingga menjadikannya sebagai tujuan hidup yang apabila dapat

dipenuhi, maka kehidupan akan terasa bermakna, namun jika tidak

terpenuhi, maka kehidupan akan terasa tidak bermakna.

(33)

A.II. Karakteristik Makna Hidup

Menurut Bastaman (1996), untuk mendapatkan gambaran lebih jelas

mengenai makna hidup perlu diungkapkan mengenai karakteristik makna

hidup, yaitu:

1) Unik dan Personal

Bagi seseorang sesuatu yang dianggap berarti belum tentu juga

berarti bagi orang lain. Bahkan sesuatu dianggap penting dan berarti bagi

seseorang pada saat ini, belum tentu sama pentingnya di waktu yang lain.

Dalam hal ini, makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi

dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain dan mungkin

dapat berubah setiap waktu.

2) Spesifik dan Konkrit

Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan

nyata sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan

tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil

renungan filosofis yang kreatif.

3) Memberi Pedoman dan Arah

Makna hidup sifatnya memberikan pedoman dan arah terhadap

kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan

menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Jika makna

hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan

(34)

membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan seseorang menjadi lebih

terarah.

A.III. Sumber-Sumber Makna Hidup

Menurut Frankl (1984), nilai-nilai yang memungkinkan seseorang

menemukan makna hidupnya, antara lain:

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)

Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh

logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan

“melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan

keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk

mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman

2007). Tingkah laku konkrit: Pemahaman Diri artinya individu

mengenali beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupannya,

yaitu mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta kondisi

lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan

sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari

keinginan-keinginan tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal

yang diinginkan untuk masa yang akan datang serta menyusun

(35)

b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values)

Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil

dari dunia ini” (what we take from the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan

menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain

dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat

menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam

kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang

akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang

membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007). Tingkah laku

konkrit: Pengakraban hubungan artinya membina hubungan yang

akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga, teman

ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi

yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan

membutuhkan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa

mementingkan diri sendiri. Seseorang akan merasa dirinya

berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi

orang lain. Tingkah laku konkrit lain: Ibadah artinya menjalankan

ibadah secara khidmat agar menimbulkan perasaan tenteram,

mantap dan tabah, serta menimbulkan perasaan seakan-akan

mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting

(36)

c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)

Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan

terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang

tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan

keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan

itu. Tingkah laku konkrit: Bertindak Positif artinya menekankan pada

tindakan nyata yang mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan

positif. Memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan

secara wajar tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan

fleksibel dari yang berlangsung selama beberapa detik hingga jangka

panjang yang berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai

benar-benar diinginkan dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan

dari lingkungan terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada

kemungkinan untuk bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai

tindakan berpura-pura namun jika dilakukan secara konsisten, serius

dan dihayati akan menjadi kebiasaan.

A.IV. Aspek-aspek Makna Hidup

Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan

(37)

• Kebebasan berkehendak

Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan

yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi

biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus diimbangi

dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. Kualitas

diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak

dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang

datang dari dalam dirinya (biologis dan psikologis).

• Kehendak hidup bermakna

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk

menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya, keluarga, dan lingkungan

sekitarnya yang mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan

melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati

secara bermakna, hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan

dalam menjalani kehidupan

• Makna hidup

Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan

didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak

dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.

Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin

(38)

A.V. Tahapan Pencapaian Makna Hidup

Proses keberhasilan seseorang dalam mencapai makna hidup adalah urutan

pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan

hidup tak bermakna menjadi bermakna. Proses keberhasilan merupakan suatu

konstruksi teoritis dimana realitasnya tidak mungkin mengikuti suatu urutan

tertentu secara tepat. Bastaman (1996) menguraikan tahapan dalam penemuan

makna hidup berdasarkan urutannya, yaitu:

a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)

Individu merasakan emosi negatif dan menghayati hidup tidak

bermakna, karena mengalami peristiwa tragis atau kondisi hidup yang

tidak menyenangkan dalam hidup.

a. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)

Muncul kesadaran dalam diri untuk mengubah kondisi diri menjadi

lebih baik lagi. Munculnya kesadaran diri ini disebabkan banyak hal,

misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat

pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari

pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara

dramatis mengubah hidupnya selama ini.

b. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan

tujuan hidup)

(39)

Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa

nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti

penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap

yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang

tidak menyenangkan tersebut.

c. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan

makna hidup)

Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara

sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan

nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan

bakat, kemampuan dan keterampilan.

d. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)

Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan

mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan

sebagai hasil sampingnya.

A.VI. Komponen yang mempengaruhi Keberhasilan Meraih Hidup Bermakna

Menurut Bastaman (1996) ada beberapa komponen / kualitas diri yang

diperlukan individu untuk meraih hidup bermakna, yaitu:

1. Pemahaman Pribadi

Pemahaman pribadi pada dasarnya membantu memperluas dan

(40)

Misalnya seperti mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta

kondisi lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan

sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari keinginan-keinginan

tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan

untuk masa yang akan datang serta menyusun rencana yang realistis untuk

mencapainya.

Dalam hal pemahaman diri, konsep Locus of Control (Rotter dalam Schultz, 1954) dapat menjelaskan pemahaman pribadi seorang individu

dalam memahami diri sendiri, kondisi lingkungan serta hal-hal yang

mendasari keinginannya, yakni: Internal Locus of Control dan External Locus of Control. Individu yang memiliki Internal Locus of Control

memahami bahwa dengan kemampuan dan usaha sendiri dia dapat

mengubah hidupnya menjadi lebih baik atau lebih buruk, dengan

demikian, dia memiliki kontrol penuh atas kehidupannya sendiri sehingga

dapat menyusun rencana hidup yang nyata dan memiliki keyakinan dapat

mencapainya. Berbeda dengan individu yang memiliki External Locus of Control, mereka yang tidak yakin dengan kemampuan sendiri dan memahami bahwa hidup mereka ditentukan oleh nasib, hal-hal baik yang

terjadi karena kebetulan atau bantuan orang lain, hal-hal buruk karena

memang nasib dan takdir mereka sehingga mereka cenderung takut dan

ragu untuk berubah karena tidak memiliki kontrol atas hidupnya sendiri.

(41)

2. Bertindak Positif

Tindakan positif menekankan pada tindakan nyata yang

mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan positif. Untuk menerapkan

metode bertindak positif, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu

memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan secara wajar

tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan fleksibel dari yang

berlangsung selama beberapa detik hingga jangka panjang yang

berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai benar-benar diinginkan

dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan dari lingkungan

terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada kemungkinan untuk

bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai tindakan berpura-pura

namun jika dilakukan secara konsisten, serius dan dihayati akan menjadi

kebiasaan.

Dalam hal bertindak positif haruslah diawali dengan adanya sikap

yang positif pada hal yang positif sehingga kecenderungan individu untuk

bertindak positif semakin besar dan kuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui

konsep social learning, yang terdiri dari behavior potential, expectancy, reinforcement value, dan psychological situation (Rotter dalam Schultz, 1954). Ke-4 konsep di atas berhubungan satu sama lain sehingga membuat

seseorang bertindak positif atau negatif. Expectancy berperan sebagai harapan dan keinginan individu, reinforcement value berperan dalam hal bobot nilai yang akan diperoleh jika harapan dan keinginan tersebut

(42)

sehingga menentukan behavior potential individu untuk mewujudkan harapannya atau menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang diawali

dengan changing attitude. Changing attitude yang positif dan internal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal yang positif dan mengarah pada

pemenuhan tujuan, sedangkan changing attitude yang eksternal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal di luar diri yang sifatnya untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tanpa berusaha untuk

menghadapinya.

3. Pengakraban hubungan

Pengakraban hubungan menganjurkan agar seseorang membina

hubungan yang akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga,

teman ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi

yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan membutuhkan

orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri

sendiri. Seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi

dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dalam hal pengakraban hubungan,

konsep positive regard (Rogers dalam Schultz, 1995), terutama mengenai

unconditional positive regard dan conditional positive regard. Individu yang memperoleh unconditional positive regard dari orang tua atau orang-orang terdekat akan senantiasa merasa dibutuhkan dan dicintai dalam

menjalankan segala aktivitas dan kegiatannya, namun individu yang

(43)

berperilaku yang sesuai dan menghindari perilaku yang tidak sesuai agar

memperoleh cinta dan kasih dari orang tua atau orang terdekatnya.

4. Pendalaman Tri-nilai

Pendalaman Tri-nilai berarti nilai-nilai yang menjadi sumber

makna hidup (creative value, experiential value, dan attitudinal value)

yang dimiliki, dipahami dan dimengerti agar dapat menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup yang ingin diraih serta melakukan

kegiatan yang mengarah kepada pemenuhan tujuan hidup.

5. Ibadah

Beribadah berarti menjalankan ibadah secara khidmat agar

menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta menimbulkan

perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan

tindakan-tindakan penting.

A.VII. Hidup Bermakna

Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan

penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam

menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang

maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut

akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007). Menurut Schultz (1991)

kehidupan baru terasa bermakna dan mengandung suatu arti ketika berhadapan

(44)

menghayati hidup bermakna akan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan

penuh gairah dan semangat serta jauh dari perasaan hampa, walaupun dalam

situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997).

Frankl (Bastaman, 2005) mengemukakan bahwa orang yang menemukan

kebermaknaan hidupnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kehidupannya penuh semangat atau optimis

2) Memiliki tujuan hidup jelas yang berorientasi pada masa depan

3) Memiliki kebebasan memilih tindakan mereka

4) Bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya dan kontrol diri yang sadar

5) Kegiatan yang mereka lakukan lebih terarah

6) Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya

7) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

8) Luwes dalam bergaul tetapi tidak sampai terbawa-bawa atau kehilangan

identitas diri

9) Dapat menemukan arti kehidupan yang cocok

10)Tabah apabila dihadapkan pada suatu penderitaan dan menyadari bahwa

ada hikmah dibalik penderitaan

11)Komitmen terhadap pekerjaan

12)Mampu memberi dan menerima cinta

13)Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman atau

(45)

B. Pekerja Seks Komersil

B.I. Definisi

Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran

(Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur

adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka,

gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu

kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks,

adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal.

Selain pelacur, muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial

(PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004).

Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik

tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan

memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan

yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik

tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).

Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS

(wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang

melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat.

Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri

Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur

dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah

(46)

Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan

memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti

pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih

spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan

bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan

bahwa melacur merupakan pekerjaan.

Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan

bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin

wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan

seks kepada kaum laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan

dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.

B.II. Alasan menjadi PSK

Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat

sembilan alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang

perempuan/wanita menjadiseorang pelacur, adalah:

1) Materialisme

Materialism atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan

sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan.

(47)

jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat

mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

2) Modelling

Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil

mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur

sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

3) Dukungan Orang tua;

Support dari orang tua dan suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.

4) Faktor ekonomi; keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari mengakibatkan individu mencari segala cara untuk mendapatkan uang

yang banyak dalam waktu singkat agar dapat bertahan hidup.

5) Pendapatan dan pendidikan rendah

6) Tidak memiliki keterampilan

7) Pengangguran

8) Kesenangan; memilih menjadi PSK adalah untuk mencari sensasi /

kesenangan. Dengan kata lain, mencoba hal-hal yang ingin diketahui dan

merasa ketagihan hingga timbul kesenangan dan kenikmatan.

9) Pelampiasan; yang dimaksud biasanya adalah rasa sakit hati terhadap

(48)

C. PARADIGMA BERPIKIR

Tahap Kehidupan Bermakna (Meaning of Life)

Terpenuhi Tidak Terpenuhi

Pyramidal system: menetapkan satu nilai tertinggi yang ingin diwujudkan.

Parallel system: memiliki beberapa alternatif nilai yang setara

Will to Meaning

Tahap realisasi makna Kegiatan yang terarah, komitmen dan pemenuhan makna

Tahap Penerimaan Diri Pemahaman diri dan pengubahan sikap dari (-) => (+): muncul kesadaran untuk

mengubah kondisi diri menjadi lebih baik

Tahap penemuan makna

Menyadari adanya hal-hal berharga atau penting yang ditetapkan sebagai tujuan hidup, seperti Creative value,Experiential value, andAttitudinal value

Searching for meaning Eksternal

Internal

Tahap derita Emosi dan pikiran negatif: sedih, kesal, kecewa, cemas, takut,

rasa bersalah, tertekan, menderita, stress, pikiran bunuh diri. Pilihan Hidup

Pekerja Seks Komersil

KEHIDUPAN MANUSIA

Faktor Eksternal: Kesulitan memenuhi kebutuhan, pergaulan, masyarakat

Freedom of Will

Faktor Internal : (-) keterampilan, keinginan sendiri, mengobati luka hati

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif

dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas

serta mendalam berkaitan dengan bagaimana makna hidup pada PSK atas

segala masalah yang dialaminya.

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2009), dimana

melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti dapat memperoleh

pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga

dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut

mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal

yang turut mempengaruhi responden penelitian.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) juga mengatakan bahwa

salah satu kekuatan dari penelitian kualitatif adalah dapat memahami gejala

sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran

yang sesuai dengan diri responden dan bukan semata-mata penarikan

kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Dalam penelitian mengenai makna hidup pada PSK ini peneliti

menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, karena sesuai dengan

tujuan penelitian, peneliti perlu memahami kehidupan PSK secara spesifik,

(50)

39

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu,

yaitu:

a. Wanita Pekerja Seks Komersil

Hal ini sesuai dengan latar belakang penelitian dan rumusan

permasalahan yang ingin dijawab peneliti.

b. Usia berada pada masa dewasa

Hal ini didasarkan pada pendapat kepakaran yang mengemukakan

bahwa pada usia dewasa perkembangan kognitif dan psikososial

telah matang dan mereka akan mencari tujuan hidup serta mulai

menghayati kehidupan dengan lebih konkrit, detail, dan mendalam.

2. Jumlah Responden

Penelitian ini mengambil responden sebanyak 2 (dua) orang

dikarenakan peneliti ingin berfokus untuk mendalami responden

secara menyeluruh dan tidak banyaknya responden yang bersedia jika

dimintai keterangan mengenai keadaannya sebagai PSK dan

(51)

40

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih dengan kriteria yang ditentukan berdasarkan fenomena penelitian, dan berfokus untuk mendalami

kasus mendalam dan menyeluruh (Patton, dalam Poerwandari, 2009).

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data melalui

wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (guided interview)

sebagai alat utama penelitian.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan adalah handphone atau telepon genggam.

b. Lembar observasi yang dilampirkan secara umum

Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yang

menggunakan teknik narasi.

c. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui

perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan

Referensi

Dokumen terkait

Nem az volt a kérdés, hogy adott diagnózis vagy terápia helytálló-e vagy sem, hanem az, hogy az adott diagnózis, terápia, vagy az orvos más értelmez ı eljárásai mit

Dalam penelitian ini, penulis menjawab dua rumusan masalah yaitu (1) jenis onomatope apa saja yang digunakan dalam media sosial twitter (2) tipe makna apakah

Hutan mangrove yang berada di Kabupaten Serang menurut luasannya tahun 2014, yang terletak di Pantai Tirtayasa, Lontar, Tanjung Pontang, Pulau Dua, Pulau

“ …Kalau di Kabupaten Parigi Moutong ini saya liat potensi dana ada dan bisa… Potensi dana bisa dari berbagai sumber misalnya subsidi silang antara yang kaya dan miskin dan hal ini

Peneliti menyimpulkan bahwa Koran Tempo melakukan pembingkaian berita berdasarkan ideologi yang dimiliki oleh Koran Tempo , sebagai media yang independen Koran Tempo

“ ANALISIS PENGARUH OPINI AUDIT WAJAR TANPA PENGECUALIAN DAN KETEPATAN WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG GO

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pertama, apakah penyebab terjadinya anomaly sistem pemerintahan presidensial pasca amandemen Undang Undang Dasar 1945?; Kedua,

Dari satu kisah diatas dapat dilihat bahwa pendidikan formal (sekolah) adalah hal yang penting tetapi pendidikan dalam keluarga jauh lebih penting karena menjadi landasan awal