KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIL (PSK)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
oleh
WEILLON CHAIDIR
101301123
FAKULTAS PSIKOLOGI
Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)
Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja
ABSTRAK
Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui
experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya
creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.
Meaningful Life on Sex Worker
Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja
ABSTRACT
So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi berkat, kekuatan, dan kasih-Nya yang melimpah dalam penyelesaian skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.
Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU, 2. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen
pembimbing penelitian ini,
3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog dan Ibu Juliana Saragih, M.Psi., psikolog selaku dosen penguji dalam penelitian ini,
4. Kedua responden yang telah bersedia membantu dan menjadi responden dalam penelitian ini. Semoga semua harapannya dikabulkan oleh Tuhan, 5. Kedua orang tua yang selalu memberi kasih sayang, perhatian, semangat,
dukungan materi, serta doa yang tiada henti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga selalu diberkati oleh Tuhan,
6. Seluruh murid-murid peneliti yang turut memberikan doa dan menyemangati terkhusus selama mengerjakan skripsi ini,
7. Kent International (kursus Bahasa Asing) terutama Miss Rohani yang juga memberikan doa, dan memberi perhatian selama penyelesaian skripsi ini, 8. Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU
Vivian, Johan, Dede, Wieny, Shella, Lili, dan Anggun yang telah memberi dukungan dan kritik dalam menyelesaikan skripsi ini,
9. Seluruh teman-teman KMB USU (Keluarga Mahasiswa Buddhis USU) yang juga turut menyemangati dan berdoa agar diberi kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan mohon maaf jika ada kesalahan yang ditemukan pada skripsi ini. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati semua pembaca. Terima kasih.
Medan, 4 November 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ---i
DAFTAR ISI ---iii
BAB I PENDAHULUAN --- 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH --- 1
B. RUMUSAN PERMASALAHAN --- 16
C. TUJUAN PENELITIAN --- 17
D. MANFAAT PENELITIAN --- 17
E. SISTEMATIKA PENULISAN--- 19
BAB II LANDASAN TEORI --- 20
A. MAKNA HIDUP --- 20
I. DEFINISI --- 20
II. KARAKTERISTIK MAKNA HIDUP --- 21
III. SUMBER-SUMBER MAKNA HIDUP --- 22
IV. ASPEK-ASPEK MAKNA HIDUP --- 25
V. TAHAPAN PENCAPAIAN MAKNA HIDUP --- 27
VI. KOMPONEN YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN MERAIH HIDUP BERMAKNA --- 28
VII. HIDUP BERMAKNA --- 32
B. PEKERJA SEKS KOMERSIL --- 34
1. DEFINISI --- 34
2. ALASAN MENJADI PSK --- 35
C. PARADIGMA BERPIKIR --- 37
A. PENDEKATAN KUALITATIF --- 38
B. RESPONDEN PENELITIAN --- 39
C. METODE PENGAMBILAN DATA --- 40
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA --- 40
E. PRODESUR PENELITIAN --- 41
BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN --- 48
A. HASIL ANALISA DATA --- 48
I. RESPONDEN #1 --- 48
I.1. IDENTITAS DIRI ---48
I.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---49
I.3. HASIL OBSERVASI ---49
I.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---55
I.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---72
I.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---73
I.7. REKAPITULASI DATA RESPONDEN ---75
II. RESPONDEN #2 ---81
II.1. IDENTITAS DIRI ---81
II.2. JADWAL PENGUMPULAN DATA ---81
II.3. HASIL OBSERVASI ---82
II.4. KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN ---87
II.5. GAMBARAN KEBERMAKNAAN HIDUP RESPONDEN --105
II.6. DINAMIKA KEHIDUPAN YANG DIJALANI RESPONDEN ---106
III. ANALISA INTER RESPONDEN ---114
B. PEMBAHASAN ---118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ---133
A. KESIMPULAN ---133
B. SARAN ---136
B.1. SARAN PENELITIAN LANJUTAN ---136
B.2. SARAN PRAKTIS ---136
DAFTAR PUSTAKA ---139
LAMPIRAN ---141
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman wawancara ---142
Kebermaknaan Hidup pada Pekerja Seks Komersil (PSK)
Weillon Chaidir dan Josetta Maria R. Tuapattinaja
ABSTRAK
Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa pelacur adalah makhluk hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mau mengenal mereka dengan lebih empatik. Pada dasarnya pelacur memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan adalah justifikasi masyarakat terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang terpinggirkan. Setiap manusia bahkan PSK sekalipun menginginkan kehidupan yang bermakna sehingga apapun hal yang dilakukan pada akhirnya adalah untuk menjalani kehidupan yang dirasakan penting, berharga, dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika kehidupan yang dijalani PSK dalam proses pencarian makna hidup melalui tahapan pencapaian kebermaknaan hidup Frankl (dalam Bastaman, 2006), yakni: tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan jumlah responden sebanyak 2 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika pencarian makna hidup pada responden 1 berawal dari tahap derita. Dalam menjalani kehidupan sebagai PSK memperoleh social support dan melakukan vicarious learning sehingga mampu mencapai tahap penerimaan diri yang kemudian menuju ke tahap penemuan makna hidupnya setelah menyadari adanya hal yang penting dan berharga. Pada tahap realisasi makna, responden 1 menetapkan tujuan hidupnya melalui
experiential value dan attitudinal value yang dimiliki. Dalam usaha menumbuhkan semangat dan komitmen, dia menggunakan parallel system dalam perwujudannya, dan pada akhirnya mencapai tahap kehidupan bermakna dan merasakan kebahagiaan. Sedangkan responden 2 yang juga pada awalnya berada pada tahap derita, akan tetapi responden belajar dari kegagalannya dan memilih untuk menerima keadaan diri, namun ketika responden 2 mulai sadar bahwa ada hal yang penting dan berharga pada tahap penemuan makna dengan dimilikinya
creative value malah muncul perasaan ragu-ragu dan takut untuk mengambil langkah ke depan yang pada akhirnya membuat responden 2 mempertanyakan tujuan hidupnya, dan kembali ke tahap derita.
Meaningful Life on Sex Worker
Weillon Chaidir and Josetta Maria R. Tuapattinaja
ABSTRACT
So far, people always assume that prostitutes are despicable creatures and bad, without trying to get to know them more empathetically. Basically prostitutes have the same life with the community at large, the difference is the public justification of those who regard it as marginalized citizens. Every human being even prostitutes want a meaningful life so that anything they done in the end is to live a life that is considered important, valuable, and happy. This research aims to understand the dynamics lives of sex worker in the process of finding the meaning of life through the achievement of the stage of meaningfulness life from Frankl (in Bastaman, 2006), namely: the stage of suffering, self-acceptance stage, meaning discovery stage, the stage of realization of meaning, and the stage of meaningful life. This research used a phenomenological qualitative approach with the number of the respondents as many as 2 respondents obtained based on certain criteria. The result showed that the dynamics of searching for meaning of life on the 1st respondent started from the stage of suffering. In her life as a prostitute, she obtain social support and perform vicarious learning so as to reach the stage of self-acceptance and then headed to the discovery meaning of his life after the discovery phrase aware that there are important and valuable. At the stage of realization of meaning, 1st respondent set a goal of her life through experiential value and attitudinal value owned. In an effort to foster the spirit and commitment, she uses a parallel system to realize it, and finally reached the stage of meaningful life and be happy. While the 2nd respondent that was also originally located at the stage of suffering, but she learnt from the failure and choose to accept the state of being, but when 2nd respondent began to realize that there are things that are important and valuable in the discovery phrase of her meaning with creative value owned, feelings of doubts and fear appear to be an obstacle to take a step forward, which in turn make the 2nd respondent question her purpose of life, and return to the stage of suffering.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan
berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan
berharga di mata Tuhan (Frankl, 1984). Setiap orang pasti menginginkan bagi
dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan
diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan
segala kegiatannya. Dan setiap orang juga pasti mendambakan dapat menjadi
orang yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, serta menjadi orang yang
mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dan apa yang paling baik
bagi dirinya dan lingkungannya (Bastaman, 2006).
Manusia hidup di dunia ini memiliki makna hidup tersendiri yang sifatnya
unik dan personal (Frankl, 1984). Makna hidup mempunyai arti yang berbeda
pada setiap individu tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya dan
mengartikannya (Frankl, 1984). Setiap individu mempunyai keinginan untuk
meraih hidup bermakna, seperti yang dikemukakan Frankl (dalam Bastaman,
2006), bahwa dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun
kehidupan ini selalu mempunyai makna, di mana hidup secara bermakna
merupakan motivasi utama setiap orang. Dalam batas-batas tertentu manusia
memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menemukan
tidak dapat dipisahkan (Frankl dalam Bastaman, 2006). Ketika seseorang
menemukan makna hidup maka ia akan menentukan tujuan hidup yang pada
akhirnya akan membuat segala kegiatan menjadi lebih terarah (Bastaman, 2006).
Kebermaknaan hidup merupakan perasaan subjektif bahwa segala sesuatu
yang terjadi pada diri subjek mempunyai dasar kokoh dan penuh arti atau dengan
kata lain subjek merasa bahwa dirinya benar, beres dan tepat (Erikson dalam
Cremers, 1989). Benar, beres dan tepat dalam mengambil tindakan atau keputusan
baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun orang lain akan
menimbulkan rasa penuh makna. Rasa penuh makna tersebut tercapai ketika
subjek merasa telah menyesuaikan diri secara memadai dengan tata nilai yang
menjadi kerangka orientasi hidupnya (Koeswara, 1992). Bastaman (2006)
mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya bermakna menunjukkan
kehidupan yang penuh gairah dan optimis, terarah, dan bertujuan, mampu
beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri dan apabila
dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tabah dan menyadari bahwa ada
hikmah di balik penderitaan (Bastaman, 2006).
Berdasarkan fenomena yang dialami manusia di atas, kebermaknaan hidup
dapat diraih atau dicapai oleh setiap umat manusia, termasuk wanita yang memilih
bekerja sebagai pekerja seks komersil. PSK sendiri menunjuk pada sesosok
perempuan penjaja seks yang merupakan prostitusi, membiarkan diri berbuat
cabul dan melakukan perzinaan secara bebas (Kartono, 2005). Para wanita yang
menjadi pelacur dengan menjual diri melakukan hubungan seks dengan lelaki liar
menjadi PSK dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal; kondisi
keuangan keluarga yang memburuk, terbukanya peluang, tekanan yang datang
dari teman pergaulan, atau dijual oleh keluarga sendiri, sedangkan faktor internal;
sakit hati karena pasangan, sebagai sarana penyaluran nafsu, memiliki keinginan
untuk cepat kaya, atau tidak memiliki kompetensi (Vansenbeeck, 2001). Akan
tetapi, walaupun dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal, para PSK
memiliki kebebasan memilih lapangan pekerjaan yang tersedia yang tidak
mengharuskan mereka untuk terjun dalam dunia prostitusi (Koentjoro, 1996).
Namun, pada kenyataannya PSK tidak menyadari kehidupan yang dijalani dan
tidak siap menerima penderitaan tak terelakan yang dialami (Frankl, 1984)
sehingga mereka berusaha mengatasinya dengan memilih hidup sebagai PSK
adalah solusinya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pengakuan PSK berikut ini:
“Yaa masuk kerja sini karna laki-laki...sakit hati, disiksa terus sama suamiku...karna gak tahan aku cerai setelah melahirkan 2 hari.. jadi PSK karna kebutuhan ekonomi gak cukup…karna lakiku aku jadi seperti ini...aku tak mikir panjang…mumpung bisa dapet duit untuk membiayai sekolah adik-adikku…”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
“Masuk jadi PSK karna dikenalin teman…putusin masuk sini karna aku merasa tertekan berada dalam keluarga…bapakku sendiri tak peduli sama aku…seperti tak ada aku dalam keluarga…mau jam berapa pulang pun gak pernah ditanyai.. sepertinya saya tak pernah dianggap anak oleh keluarga.. sebelumnya kerja di pabrik roti, tapi karna terbakar tutup..aku tak punya kerjaan..jadi untuk menghidupi anakku..aku terpaksa kerja di sini...”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
menafkahi anak dan ibuku..jadi temanku kenalin pelacuran ini..saya tidak mikir panjang..jadi aku kerjalah di sini..walau jijik, tapi demi bertahan hidup…mau gimana tak punya keahlian khusus juga...”
(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)
Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa kebanyakan alasan
perempuan menjadi pekerja seks komersil karena dipaksa oleh kondisi
lingkungan, adanya kekecewaan karena percintaan gagal, kurangnya kesempatan
kerja di pasar kerja, atau adanya kebutuhan yang mendesak untuk mendapatkan
pendapatan agar bisa membiayai diri sendiri dan keluarga. Ini semua terkait
dengan tuntutan hidup, yakni faktor ekonomilah yang menjadi alasan utama
seseorang bersedia melakukan apapun termasuk menjadi PSK, sekalipun itu
adalah perbuatan yang “rendah” atau “hina” di mata masyarakat umum dan
agama.
Wanita yang telah masuk dalam dunia prostitusi, ada yang merasa nyaman
ataupun tidak nyaman atas pilihan yang mereka jalani sebagai pekerja seks
komersil. Bagi wanita yang tidak nyaman berada di dalam dunia prostitusi, akan
mempengaruhi kondisi psikologis mereka sebab mereka merasa bersalah, malu,
marah, dan jijik. Walaupun mereka mengetahui benar apa yang mereka lakukan,
namun untuk bertahan hidup mereka memilih jalan hidup mereka di dunia
prostitusi (Koentjoro, 2004). Beberapa pengakuan PSK dalam menjalani
pekerjaannya juga merasa tidak nyaman, terpaksa, menyesal, dan bersalah pada
keluarga, antara lain:
melepaskan segalanya..kalo punya modal cukup pingin cepat-cepat keluar...tapi saat ini aku masih butuh duit tuk bertahan hidup..”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
“Aku merasa terpaksa kerja di sini..kalo bukan karna tak memiliki ketrampilan khusus..ditambah dengan biaya hidup semakin mahal dan untuk menenangkan hati yang masih terbayang suami yang kucintai menganiaya diriku… aku harus berbohong pada ibu dan anak.. bersalah dan menyesal melanda hingga saat ini..”
(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)
“aku di sini karna bisa dapet duit dan bisa membiayai keluargaku.. kalo bisa keluar dan dapat pekerjaan yang lebih baik.. aku juga memilih keluar.. di sini aku sempat merasa lebih tenang..karna merasa teman-teman di sini rata-rata alasannya sama karna laki-laki dan keadaan ekonomi yang krisis..”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
Beberapa pengakuan di atas menunjukkan bahwa perempuan yang masuk
dalam prostitusi merasa tidak nyaman dan terpaksa menekuninya karena
semata-mata ingin bertahan hidup. Selain itu, mereka juga tidak memiliki keterampilan
khusus yang dapat memberikan penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan
keluarga. Hal lain yang turut memicu mereka memilih jalan hidup sebagai PSK
karena mantan suami mereka yang menganiaya, menyakiti, dan mengecewakan
mereka. Mereka yang dulu mungkin pernah mengalami kehidupan bermakna,
tetapi pada saat suatu peristiwa tragis menimpa diri mereka, maka seakan-akan
hidup mereka hampa dan tidak bermakna lagi karena berpegang teguh pada suatu
nilai tunggal, yaitu keutuhan keluarga.
Bagi wanita yang menjadi PSK karena terpaksa, cepat atau lambat akan
tahu bahwa apa yang dilakukan adalah perbuatan yang tercela dan tidak dapat
diterima di kalangan agama manapun (Koentjoro, 1996). Meskipun disadari,
mereka tetap tidak dapat menghentikan pekerjaannya demi kelangsungan
hidupnya. Di satu sisi rasa bersalah tersebut terus menghantui, sementara di sisi
lain mereka harus memikirkan kelangsungan hidupnya. Sangat sulit untuk
menyeimbangkan dua tekanan yang kekuatannya berlawanan. Semakin lama
tekanan tersebut terjadi, maka batin para PSK akan semakin tepuruk, dan akhirnya
bisa mengakibatkan jiwa mereka terganggu. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan Erbe Sentanu (dalam Quantum Ikhlas, 2009), yang intinya
membahas tentang negative feeling yang dialami manusia ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang bertentangan atau berlawanan antara hati dan pikirannya.
Koentjoro (1996) juga mengemukakan bahwa wanita pekerja seks
komersial selalu mengalami konflik dalam dirinya, baik konflik kepentingan
antara rasa membutuhkan uang dan perasaan berdosa, atau juga yang berkaitan
dengan karena adanya perasaan tidak aman akan statusnya sebagai pekerja seks
komersial dalam masyarakat.
Menurut Hutabarat (2004) dalam penelitiannya ditemukan bahwa adanya
keinginan untuk tidak diasingkan dari lingkungan menyebabkan wanita pekerja
seks komersil menutupi statusnya sebagai wanita pekerja seks komersil dengan
berpura-pura menjadi anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan
lingkungan sekitar tetap terjaga. Selain berpura-pura menjadi masyarakat biasa,
statusnya terbuka seluruh keluarganya akan didiskriminasi oleh masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dari pengakuan dari beberapa PSK berikut ini:
“yaa keluargaku gak tau kalo aku kerja di tempat ini..aku terpaksa bohong lah.. yang mereka tau aku kerja di café… klo sempat keluarga tau yaa terpaksalah aku keluar, malu pada mereka dan pasti jadi ocehan masyarakat sekitar..”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
“aku gak bisa jujur pada mereka…karna itu akan berimbas pada anakku…masa depan anakku pasti tak bisa menerima kalo mamanya seorang pelacur…mereka dibesarkan dari duit haram ini…rasa menyesal dan bersalah terus menghantui hingga saat ini, namun untuk bertahan hidup.. aku harus bersabar..”
(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)
“kalo statusku ketahuan, aku malu pada keluargaku di kampung.. dan orang-orang kampung pasti mendiskriminasi keluargaku… tapi kalo keluargaku yang disini..mau aku pulang pagi…pulang tengah malam…mereka tak peduli... hidup ato gaknya diriku tak dipedulikan lagi... dan yang paling penting sekarang di Medan..aku hanya mengkhawatirkan anakku...dia tak boleh bernasib sama denganku… (Komunikasi personal, 4 April 2014)
Berdasarkan pengakuan di atas, maka diketahui bahwa wanita pekerja seks
komersil mengetahui konsekuensi yang akan diterima, namun mereka tetap berada
di dalam karena keterpaksaan; terpaksa disetujui suami, ditelantarkan suami atau
ditinggal suami sehingga berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan anak, dan
orang tua, sebagaimana pengakuan para PSK bahwa sebenarnya jika mereka
memiliki keterampilan dan ekonomi yang cukup, maka mereka tidak ingin terus
bertahan sebagai pekerja seks komersil.
Secara umum, masyarakat menolak keberadaan wanita pekerja seks
Masyarakat cenderung menghina, mencela, dan mengolok-olok keberadaan
mereka. Mereka didiskriminasi oleh masyarakat karena para pekerja seks komersil
dianggap orang yang tidak bermoral karena bertentangan dengan nilai-nilai
kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat (Koentjoro, 1996). Hal ini tidak hanya
berdampak pada wanita pekerja seks komersil, akan tetapi seluruh keluarganya
akan mendapat perlakuan diskriminasi dan mempermalukan keluarga sendiri.
(Koentjoro, 1996).
Tidak mendapatkan social support dari siapapun menyebabkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang kemudian semakin menjauhkan diri mereka
dari masyarakat umum seperti masuk dalam suatu lokalisasi. Akibat penolakan
dan sikap negatif masyarakat serta label-label yang diberikan kepada para PSK,
mereka semakin menarik diri, mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian
sosial dan pengembangan diri. Sikap masyarakat yang demikian dapat
menimbulkan masalah psikologis bagi kaum wanita pekerja seks komersil
(Koentjoro, 1996).
Fenomena yang dialami PSK ini, memberikan gambaran mengenai
bagaimana PSK hidup di bawah tekanan yang diperolehnya dari lingkungan
sekitar, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, serta harus
menerima berbagai macam stereotipe negatif yang ditujukan pada PSK. PSK yang
secara sadar maupun tidak sadar juga ingin diakui selayaknya manusia yang
memiliki kebutuhan dasar serta keinginan seperti manusia lain pada umunya, yaitu
manusia pasti ingin hidup bahagia sehingga apapun yang dilakukan pada akhirnya
Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa PSK adalah manusia
yang hina dan buruk, tanpa berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih
empatik (Koentjoro, 1996). Pada dasarnya PSK memiliki kehidupan PSK sama
dengan masyarakat pada umumnya, yang membedakan mereka adalah justifikasi
masyarakat itu sendiri terhadap mereka yang menganggapnya sebagai warga yang
terpinggirkan Kartono, 2005). Hidup dengan penuh tekanan memperoleh
stereotype negatif, diskriminasi, dan justifikasi masyarakat, ada beberapa PSK yang tidak sanggup menahan semuanya, namun ada juga yang memilih bertahan
dan melanjutkan kehidupan sebagai PSK. Beberapa PSK yang bertahan inilah
yang menarik perhatian peneliti akan bagaimana mereka memaknai hidup mereka
sebagai seorang PSK. Para wanita yang memilih menjadi PSK juga ingin seperti
manusia lainnya, ingin hidup mereka bermakna, mempunyai suatu kebutuhan
yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna
hidup. Penghayatan akan kehidupan bagi mereka yang bertahan dan rela hidup
sebagai seorang PSKlah menjadi hal yang unik, spesifik, dan personal yang dapat
dikatakan seseorang dapat menyadari makna hidup dibalik penderitaan yang
dialami atau Meaning in Suffering (Frankl, 1994). Frankl (2004) mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan
yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan pada
sutuasi tertentu. Apabila seseorang berhasil memaknai hidupnya, maka
kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan
menimbulkan penghayatan bahagia (Bastaman, 2006). Adanya kebutuhan akan
seakan-akan menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya
(Bastaman, 2006). Seperti halnya dalam beberapa pengakuan PSK berikut:
“Seandainya aku punya keterampilan dan modal yang cukup, aku ingin membuka usaha…jika beruntung aku ingin ada pria yang sungguh-sungguh tulus mencintaiku apa adanya...aku ingin seperti wanita lain yang memiliki keluarga yang harmonis..”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
“berada di sini memang bisa mengurangi tekanan yang aku rasakan di keluargaku yang di Medan..karna mereka sama sekali tidak ngomong, tidak peduli dan menganggapku tak ada di keluarga itu.. sikap dan perilaku mereka seakan mendiskriminasi.. aku memilih tak pulang jika mau..tapi karna aku masih punya anak..aku harus mengurus mereka..kalo aku tak ada..anakku pasti gak dipedulikan.. jika aku punya modal cukup, aku bisa hidup sendiri dengan anakku..kalo Tuhan masih memberiku kesempatan, aku ingin ada seseorang bisa memberiku kebahagiaan seperti wanita lainnya..”
(Komunikasi Personal, 4 April 2014)
“Walau harus berbohong…tidak lagi menjadi beban pikiranku..yang penting aku tak harus mengemis, mencuri ato merampok untuk makan 3 kali sehari… nyesel sih nyesel.. merasa bersalah juga… aku tak penting sama ada pasangan ato tidak..yang penting aku punya modal buat beli rumah sendiri agar keluargaku semua bisa hidup bersama..itu sudah cukup.. karna smapi sekarang aku masih tidak bisa percaya sama namanya laki-laki..”
(Komunikasi personal, 27 Maret
2014)
Berdasarkan pengakuan di atas, maka perlu diketahui bahwa proses
penemuan makna hidup bukanlah suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK,
perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup
mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta
lepas dari hal-hal yang diinginkan selama menjalani kehidupan serta
kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai makna hidup yang dimulai dengan pikiran
yang tenang dan kesadaran untuk meraih makna hidupnya (Bastaman, 2006).
Dalam proses penemuan makna hidup, dituntut adanya keaktifan dan
tanggung jawab PSK untuk memenuhinya. Makna hidup yang dicari tidak hanya
ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan
pada saat mengalami penderitaan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Frankl (2004) bahwa adanya nilai-nilai yang harus dipahami manusia agar dapat
menemukan makna hidup, yaitu creative value mengacu pada pekerjaan yang ditekuni dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya, experiental value mengacu pada pengalaman yang telah dilalui dan hikmah yang dapat diambil, dan attitudinal value mengacu pada ketabahan dalam menerima segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dihindarkan (Frankl, 2004).
Dengan kesabaran dan ketabahan, PSK akan dapat menemukan makna
hidup mereka atas pilihan dan tanggung jawab yang mereka pikul sampai saat ini
yang akan berdampak di masa mendatang. Berhasil atau tidaknya mengambil
hikmah dari pengalaman yang dialami dengan penuh kesabaran dan ketabahan
serta tanggung jawab yang dipikul mereka turut menentukan apakah menemukan
insight atas kehidupan mereka sendiri serta tercapainya penghayatan hidup bermakna atau penghayatan hidup tidak bermakna. (Frankl, 2004).
Berdasarkan teori Frankl, Bastaman (2006) mengajukan suatu proposisi
mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam
bermakna (meaningfull). Tahapan tersebut diawali dengan individu mengalami peristiwa tragis atau berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan dalam
hidupnya sehingga beranggapan bahwa hidupnya tidak bermakna, tahap ini dsebut
tahap derita. Wanita yang memilih bekerja sebagai PSK, hidupnya benar-benar
berubah menjadi tidak menyenangkan atau bahkan lebih menderita dari kehidupan
sebelumnya dan masih menganggap hidup mereka tidak bermakna. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa pengakuan berikut ini:
“bertemu dengan laki-laki yang gak bertanggung jawab adalah nasibku..aku berkorban demi suami ketika dia jatuh..dan gak membalas ketulusanku.. dan malah menyiksa diriku.. aku cerai dan bawa kedua anakku agar gak mempengaruhi perkembangannya yang masih kecil..kebahagiaan serasa sudah terampas..dan aku gak bisa lagi percaya pada laki-laki pada saat itu..karna laki-lakilah aku jadi pelacur..menyimpan rasa sakit sendirian dan menjadi lonte untuk menghibur diri…”
(Komunikasi personal, 27 Maret 2014)
“tamat sekolah aku ke Malaysia dengan tujuan untuk menggapai cita-cita dan mendapatkan pasangan yang bisa membuatku bahagia..tapi malah bertemu lelaki bejat tak bertanggung jawab.. aku hamil sudah 7 bulan..dia tega menendang aku hingga jatuh...syukurlah aku gak keguguran..aku ninggalin dia barulah aku cari kerja di café, tempat karoke dan terakhir di perlontean ini..”
(Komunikasi personal, 4 April 2014)
Apabila PSK sanggup bertahan, menerima segala konsekuensi, serta sadar
bahwa inilah jalan yang mereka pilih, maka mereka akan beranjak ke tahap
selanjutnya yaitu tahap penerimaan diri. Pada tahap ini, muncul kesadaran diri
untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Munculnya kesadaran dalam
diri PSK dapat melalui perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat
lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya
selama ini. PSK yang berhasil mencapai tahap ini akan lebih memahami diri dan
hidupnya sehingga mengubah sikap terhadap apa yang dialaminya (Bastaman,
1996).
Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting
dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup, individu telah
berhasil mencapai tahap penemuan makna hidup. Pada tahap inilah individu menyadari nilai-nilai yang sangat penting dalam hidup, antara lain creative value, experiential value, dan attitudinal value. Nilai-nilai yang dianggap berhaga dan penting bagi PSK membuat mereka menentukan tujuan hidup mereka ke depan
(Bastaman, 1996).
Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan berusaha direalisasikan ketika
para PSK mendapat dukungan dan bersemangat serta berkomitmen untuk
melakukan kegiatan yang lebih terarah (Warren, 2002). Pada tahap ini, muncul
keinginan dan kehendak untuk memenuhi tujuan hidup (will to meaning) sehingga PSK berusaha merealisasikan apa yang menjadi makna hidup bagi dirinya.
Bastaman menyebut tahap ini sebagai tahap realisasi makna. Tujuan hidup yang telah ditetapkan akan diusahakan dan diupayakan semaksimal mungkin serta
berkomitmen penuh untuk melaksanakannya hingga tujuan hidupnya tercapai
(Bastaman, 1996). Berkaitan dengan hal realisasi makna, manusia terbagi dalam
dua kelompok besar, yaitu kelompok orang yang masih mencari makna hidup dan
Kelompok orang yang masih dalam pencarian makna hidup terdiri dari
orang yang aktif dalam mencari makna hidup mereka dan orang yang terhambat
dalam pencarian makna hidup mereka (Frankl, 1984). Bagi mereka yang aktif
dalam pencarian makna hidup, tentu tidak akan kebingungan dan mempersepsi
kehidupan mereka secara positif sehingga tidak akan mengalami kehampaan
hidup (Lukas, 1985). Namun, bagi mereka yang terhambat dalam pencarian
makna hidup, kehidupan ini dirasakan dangat membingungkan dan
mempersepsikannya secara negatif. Mereka pada dasarnya sedang mencari tujuan
hidup untuk dipenuhi, mendambakan suatu ideologi untuk diyakini dan
menginginkan adanya kewajiban sosial yang dapat mereka jalani dengan penuh
gairah, karena sadar bahwa mereka sebenarnya mengalami kehampaan hidup.
Mereka yang terhambat dalam pencarian makna hidup disebut juga manusia
dalam keraguan / people in doubt (Lukas, 1985).
Dalam hal ini, manusia yang sudah menemukan makna hidup juga
dibedakan antara orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang
piramidal dengan orang yang mengorientasikan diri pada sistem nilai yang paralel
(Kratochvil, 1968). Orang – orang yang mendapatkan rasa aman dalam sistem
nilai paralel adalah merka yang sekaligus memiliki beberapa nilai yang bobotnya
sama kuat dan sama-sama bermakna dalam hidup mereka. Contohnya: seseorang
yang sekaligus mencintai pekerjaan dan keluarganya, mempunyai teman-teman
dan lingkungan pergaulan yang menyenangkan, dan dia pun tidak melupakan
hobi-hobinya serta mendapatkan keimanan dalam agama yang diyakininya.
waktu bersamaan mengorientasikan seseorang untuk memenuhi makna hidupnya
dan jika tidak terpenuhinya satu nilai tertentu akan lebih mudah digantikan oleh
nilai-nilai lainnya yang setara sehingga dia tidak akan pernah merasa bingung dan
kehilangan orientasi dalam hidupnya (Kratochvil, 1968).
Adapun orang-orang yang mendapatkan rasa aman melalui nilai-nilai yang
piramidal adalah mereka yang semata-mata mengorientasikan diri pada nilai
tunggal yang dianggapnya tertinggi, sedangkan nilai-nilai lainya ditempatkan pada
peringkat yang jauh lebih rendah atau bahkan diabaikan. Dengan demikian, sistem
nilai mereka secara keseluruhan seakan-akan membentuk piramidal tunggal.
Contohnya: seseorang yang menemukan makna hidupnya semata-mata dari
pekerjaannya dan mengabaikan kegiatan-kegiatan lainya; seorang ibu yang
membaktikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anaknya, tetapi
mengabaikan kepentingan sendiri dan hal-hal lainnya, atau seorang rohaniawan
yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berdoa dan mengisolasi diri
dari tugas-tugas kemasyarakatan (Kratochvil, 1968). Mereka yang pernah
mengorientasikan diri untuk memenuhi nilai-nilai tunggal tersebut, dan pernah
pula berhasil menjalani kehidupan yang bermakna, tetapi waktu nilai-nilai
tersebut gagal dipenuhi, maka nilai-nilai lainnya tidak lagi berarti sehubungan
dengan suatu peristiwa tragis tertentu yang mereka alami. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka manusia yang berorientasi pada sistem nilai piramidal disebut
manusia dalam keputusasaan / people in despair (Lukas, 1986).
Berhasilnya merealisasikan tujuan hidupnya, akan timbul perubahan
dengan kebahagiaan sebagai hasil dari upaya mereka merealisasikan tujuan hidup
mereka (Bastaman, 1996). Namun, ketidakberhasilan menghayati makna hidup
biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang
ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan
absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis yang apabila berlangsung secara intensif dan
berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi sejenis gangguan
neurosis yang ditemukan Frankl (Crumbaugh dalam Bastaman, 1996).
Berdasarkan fenomena di atas, adanya beberapa PSK selama menjalani
kehidupan sadar akan pandangan negatif yang diperoleh dari lingkungan sekitar,
tetapi beberapa diantaranya masih tetap mampu mempertahankan apa yang
dipercayai, diyakini, dihayati dan sebagian dari mereka juga tetap menjalankan
kehidupan dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat ataupun opini
dari orang-orang yang memandang negatif dirinya. Hal inilah yang membuat
peneliti tertarik untuk meneliti kehidupan yang dijalani PSK dalam proses
pencarian makna hidup.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Peneliti hendak memahami kebermaknaan hidup PSK dengan menjawab
pertanyaan penelitian berikut: Bagaimana dinamika yang dialami PSK dalam
C.TUJUAN PENELITIAN
C.1. Tujuan teoritis
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memahami dinamika
kehidupan PSK dalam proses pencarian dan penemuan makna hidup.
Dengan menelusuri kehidupan PSK, mulai dari latar belakang, value yang dimiliki, kualitas diri, serta motivasi menjadi PSK akan mampu
menjelaskan bagaimana PSK menghayati kehidupannya.
C.2. Tujuan praktis
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memahami dan
mengerti pentingnya kehidupan diri sendiri, apapun pilihan yang
dihadapkan pada PSK pasti memiliki maknanya bila setiap PSK mampu
mengambil hikmah dari pengalaman yang dilalui dan berani menghadapi
tantangan hidup untuk meraih hidup yang bermakna.
D. MANFAAT PENELITIAN
D.1. Manfaat teoritis
Dengan adanya penelitian ini, akan mempermudah untuk mendalami
D.2. Manfaat praktis
Dengan adanya penelitian ini akan memberi manfaat pada:
1. PSK
Memberi semangat dan motivasi bagi para PSK bahwa selama
mereka masih hidup, maka hidup mereka pasti bermakna ketika
mampu menyadari hikmah dibalik segala pengalaman yang
telah dialami dan menemukan makna dalam hidup mereka.
2. Keluarga
- Memberi dukungan dan semangat pada PSK agar mereka
merasa masih dibutuhkan dan dicintai yang akan membuat
mereka berani menyusun rencana hidup ke depan, tidak lagi
terikat dengan masa lalu sehingga mampu menemukan
makna hidup dan menetapkan tujuan hidupnya.
- Memberikan motivasi bagi mereka untuk mempelajari
keterampilan baru agar dapat hidup lebih baik dan memiliki
tujuan hidup ke depan.
- Semakin mendekatkan diri pada Tuhan bahwa dengan
bimbingan dan perlindungannya akan memberikan
kekuatan bagi para PSK untuk menghadapi tantangan
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan
pembuatan paradigma penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,
responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. MAKNA HIDUP
A.I. Definisi Makna Hidup
Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang
dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut
logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata”logos” yang artinya makna
(meaning) atau rohani (spiritually), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui
adanya dimensi kerohanian pada manusia selain dimensi jiwa dan raga,
serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life)
yang didambakan (Sahakian dalam Bastaman, 1972).
Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan
berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan
tujuan hidup (Bastaman, 1996). Makna hidup bila berhasil ditemukan dan
dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu
yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari
keputusasaan (Bastaman, 1996). Makna hidup dapat ditemukan dalam
kehidupan itu sendiri, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak
dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti
(meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007)
Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat
dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat
berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh
siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri
sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus
menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya.
Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada
dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya
(Koeswara, 1992).
Berdasarkan beberapa pengertian makna hidup, maka dapat
disimpulkan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat
penting dan berharga serta diyakini benar dan memberikan nilai khusus
bagi diri sehingga menjadikannya sebagai tujuan hidup yang apabila dapat
dipenuhi, maka kehidupan akan terasa bermakna, namun jika tidak
terpenuhi, maka kehidupan akan terasa tidak bermakna.
A.II. Karakteristik Makna Hidup
Menurut Bastaman (1996), untuk mendapatkan gambaran lebih jelas
mengenai makna hidup perlu diungkapkan mengenai karakteristik makna
hidup, yaitu:
1) Unik dan Personal
Bagi seseorang sesuatu yang dianggap berarti belum tentu juga
berarti bagi orang lain. Bahkan sesuatu dianggap penting dan berarti bagi
seseorang pada saat ini, belum tentu sama pentingnya di waktu yang lain.
Dalam hal ini, makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi
dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain dan mungkin
dapat berubah setiap waktu.
2) Spesifik dan Konkrit
Makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan
nyata sehari-hari. Makna hidup tidak selalu harus dikaitkan dengan
tujuan-tujuan idealistis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil
renungan filosofis yang kreatif.
3) Memberi Pedoman dan Arah
Makna hidup sifatnya memberikan pedoman dan arah terhadap
kegiatankegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan
menantang dan mengundang seseorang untuk memenuhinya. Jika makna
hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan
membuat kegiatan-kegiatan yang dilakukan seseorang menjadi lebih
terarah.
A.III. Sumber-Sumber Makna Hidup
Menurut Frankl (1984), nilai-nilai yang memungkinkan seseorang
menemukan makna hidupnya, antara lain:
a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)
Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh
logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan
“melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan
keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk
mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman
2007). Tingkah laku konkrit: Pemahaman Diri artinya individu
mengenali beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupannya,
yaitu mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta kondisi
lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan
sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari
keinginan-keinginan tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal
yang diinginkan untuk masa yang akan datang serta menyusun
b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values)
Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil
dari dunia ini” (what we take from the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan
menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain
dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat
menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam
kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang
akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang
membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007). Tingkah laku
konkrit: Pengakraban hubungan artinya membina hubungan yang
akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga, teman
ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi
yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan
membutuhkan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa
mementingkan diri sendiri. Seseorang akan merasa dirinya
berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain. Tingkah laku konkrit lain: Ibadah artinya menjalankan
ibadah secara khidmat agar menimbulkan perasaan tenteram,
mantap dan tabah, serta menimbulkan perasaan seakan-akan
mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting
c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)
Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan
terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang
tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan
keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan
itu. Tingkah laku konkrit: Bertindak Positif artinya menekankan pada
tindakan nyata yang mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan
positif. Memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan
secara wajar tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan
fleksibel dari yang berlangsung selama beberapa detik hingga jangka
panjang yang berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai
benar-benar diinginkan dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan
dari lingkungan terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada
kemungkinan untuk bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai
tindakan berpura-pura namun jika dilakukan secara konsisten, serius
dan dihayati akan menjadi kebiasaan.
A.IV. Aspek-aspek Makna Hidup
Frankl (Bastaman, 1996) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan
• Kebebasan berkehendak
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan
yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi
biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus diimbangi
dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. Kualitas
diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak
dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang
datang dari dalam dirinya (biologis dan psikologis).
• Kehendak hidup bermakna
Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk
menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya, keluarga, dan lingkungan
sekitarnya yang mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan
melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati
secara bermakna, hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan
dalam menjalani kehidupan
• Makna hidup
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.
Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin
A.V. Tahapan Pencapaian Makna Hidup
Proses keberhasilan seseorang dalam mencapai makna hidup adalah urutan
pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan
hidup tak bermakna menjadi bermakna. Proses keberhasilan merupakan suatu
konstruksi teoritis dimana realitasnya tidak mungkin mengikuti suatu urutan
tertentu secara tepat. Bastaman (1996) menguraikan tahapan dalam penemuan
makna hidup berdasarkan urutannya, yaitu:
a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)
Individu merasakan emosi negatif dan menghayati hidup tidak
bermakna, karena mengalami peristiwa tragis atau kondisi hidup yang
tidak menyenangkan dalam hidup.
a. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)
Muncul kesadaran dalam diri untuk mengubah kondisi diri menjadi
lebih baik lagi. Munculnya kesadaran diri ini disebabkan banyak hal,
misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat
pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari
pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara
dramatis mengubah hidupnya selama ini.
b. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan
tujuan hidup)
Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa
nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti
penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap
yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang
tidak menyenangkan tersebut.
c. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan
makna hidup)
Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara
sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan
nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan
bakat, kemampuan dan keterampilan.
d. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)
Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan
mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan
sebagai hasil sampingnya.
A.VI. Komponen yang mempengaruhi Keberhasilan Meraih Hidup Bermakna
Menurut Bastaman (1996) ada beberapa komponen / kualitas diri yang
diperlukan individu untuk meraih hidup bermakna, yaitu:
1. Pemahaman Pribadi
Pemahaman pribadi pada dasarnya membantu memperluas dan
Misalnya seperti mengenali keunggulan dan kelemahan pribadi serta
kondisi lingkungannya, menyadari keinginan masa kecil, masa muda dan
sekarang serta memahami kebutuhan yang mendasari keinginan-keinginan
tersebut, merumuskan dengan jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan
untuk masa yang akan datang serta menyusun rencana yang realistis untuk
mencapainya.
Dalam hal pemahaman diri, konsep Locus of Control (Rotter dalam Schultz, 1954) dapat menjelaskan pemahaman pribadi seorang individu
dalam memahami diri sendiri, kondisi lingkungan serta hal-hal yang
mendasari keinginannya, yakni: Internal Locus of Control dan External Locus of Control. Individu yang memiliki Internal Locus of Control
memahami bahwa dengan kemampuan dan usaha sendiri dia dapat
mengubah hidupnya menjadi lebih baik atau lebih buruk, dengan
demikian, dia memiliki kontrol penuh atas kehidupannya sendiri sehingga
dapat menyusun rencana hidup yang nyata dan memiliki keyakinan dapat
mencapainya. Berbeda dengan individu yang memiliki External Locus of Control, mereka yang tidak yakin dengan kemampuan sendiri dan memahami bahwa hidup mereka ditentukan oleh nasib, hal-hal baik yang
terjadi karena kebetulan atau bantuan orang lain, hal-hal buruk karena
memang nasib dan takdir mereka sehingga mereka cenderung takut dan
ragu untuk berubah karena tidak memiliki kontrol atas hidupnya sendiri.
2. Bertindak Positif
Tindakan positif menekankan pada tindakan nyata yang
mencerminkan pikiran dan sikap yang baik dan positif. Untuk menerapkan
metode bertindak positif, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu
memilih tindakan nyata yang benar-benar dapat dilakukan secara wajar
tanpa terlalu memaksakan diri, waktu yang digunakan fleksibel dari yang
berlangsung selama beberapa detik hingga jangka panjang yang
berkesinambungan, citra diri yang akan dicapai benar-benar diinginkan
dan realistis, memperhatikan reaksi-reaksi spontan dari lingkungan
terhadap usaha untuk bertindak positif, dan ada kemungkinan untuk
bertindak positif pada awalnya dirasakan sebagai tindakan berpura-pura
namun jika dilakukan secara konsisten, serius dan dihayati akan menjadi
kebiasaan.
Dalam hal bertindak positif haruslah diawali dengan adanya sikap
yang positif pada hal yang positif sehingga kecenderungan individu untuk
bertindak positif semakin besar dan kuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui
konsep social learning, yang terdiri dari behavior potential, expectancy, reinforcement value, dan psychological situation (Rotter dalam Schultz, 1954). Ke-4 konsep di atas berhubungan satu sama lain sehingga membuat
seseorang bertindak positif atau negatif. Expectancy berperan sebagai harapan dan keinginan individu, reinforcement value berperan dalam hal bobot nilai yang akan diperoleh jika harapan dan keinginan tersebut
sehingga menentukan behavior potential individu untuk mewujudkan harapannya atau menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang diawali
dengan changing attitude. Changing attitude yang positif dan internal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal yang positif dan mengarah pada
pemenuhan tujuan, sedangkan changing attitude yang eksternal akan mengarahkan perilaku ke hal-hal di luar diri yang sifatnya untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tanpa berusaha untuk
menghadapinya.
3. Pengakraban hubungan
Pengakraban hubungan menganjurkan agar seseorang membina
hubungan yang akrab dengan orang tertentu seperti anggota keluarga,
teman ataupun rekan kerja. Hal ini penting sebab dalam hubungan pribadi
yang akrab seseorang merasa benar-benar dibutuhkan dan membutuhkan
orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri
sendiri. Seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Dalam hal pengakraban hubungan,
konsep positive regard (Rogers dalam Schultz, 1995), terutama mengenai
unconditional positive regard dan conditional positive regard. Individu yang memperoleh unconditional positive regard dari orang tua atau orang-orang terdekat akan senantiasa merasa dibutuhkan dan dicintai dalam
menjalankan segala aktivitas dan kegiatannya, namun individu yang
berperilaku yang sesuai dan menghindari perilaku yang tidak sesuai agar
memperoleh cinta dan kasih dari orang tua atau orang terdekatnya.
4. Pendalaman Tri-nilai
Pendalaman Tri-nilai berarti nilai-nilai yang menjadi sumber
makna hidup (creative value, experiential value, dan attitudinal value)
yang dimiliki, dipahami dan dimengerti agar dapat menemukan makna hidup dan menetapkan tujuan hidup yang ingin diraih serta melakukan
kegiatan yang mengarah kepada pemenuhan tujuan hidup.
5. Ibadah
Beribadah berarti menjalankan ibadah secara khidmat agar
menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta menimbulkan
perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan
tindakan-tindakan penting.
A.VII. Hidup Bermakna
Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan
penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut
akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007). Menurut Schultz (1991)
kehidupan baru terasa bermakna dan mengandung suatu arti ketika berhadapan
menghayati hidup bermakna akan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan
penuh gairah dan semangat serta jauh dari perasaan hampa, walaupun dalam
situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997).
Frankl (Bastaman, 2005) mengemukakan bahwa orang yang menemukan
kebermaknaan hidupnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kehidupannya penuh semangat atau optimis
2) Memiliki tujuan hidup jelas yang berorientasi pada masa depan
3) Memiliki kebebasan memilih tindakan mereka
4) Bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya dan kontrol diri yang sadar
5) Kegiatan yang mereka lakukan lebih terarah
6) Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya
7) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
8) Luwes dalam bergaul tetapi tidak sampai terbawa-bawa atau kehilangan
identitas diri
9) Dapat menemukan arti kehidupan yang cocok
10)Tabah apabila dihadapkan pada suatu penderitaan dan menyadari bahwa
ada hikmah dibalik penderitaan
11)Komitmen terhadap pekerjaan
12)Mampu memberi dan menerima cinta
13)Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman atau
B. Pekerja Seks Komersil
B.I. Definisi
Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran
(Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur
adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka,
gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu
kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks,
adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal.
Selain pelacur, muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial
(PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004).
Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik
tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan
memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan
yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik
tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).
Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS
(wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang
melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat.
Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri
Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur
dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah
Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan
memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti
pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih
spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan
bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan
bahwa melacur merupakan pekerjaan.
Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan
bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin
wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan
seks kepada kaum laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan
dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.
B.II. Alasan menjadi PSK
Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat
sembilan alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang
perempuan/wanita menjadiseorang pelacur, adalah:
1) Materialisme
Materialism atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan
sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan.
jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat
mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.
2) Modelling
Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil
mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur
sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.
3) Dukungan Orang tua;
Support dari orang tua dan suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.
4) Faktor ekonomi; keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari mengakibatkan individu mencari segala cara untuk mendapatkan uang
yang banyak dalam waktu singkat agar dapat bertahan hidup.
5) Pendapatan dan pendidikan rendah
6) Tidak memiliki keterampilan
7) Pengangguran
8) Kesenangan; memilih menjadi PSK adalah untuk mencari sensasi /
kesenangan. Dengan kata lain, mencoba hal-hal yang ingin diketahui dan
merasa ketagihan hingga timbul kesenangan dan kenikmatan.
9) Pelampiasan; yang dimaksud biasanya adalah rasa sakit hati terhadap
C. PARADIGMA BERPIKIR
Tahap Kehidupan Bermakna (Meaning of Life)
Terpenuhi Tidak Terpenuhi
Pyramidal system: menetapkan satu nilai tertinggi yang ingin diwujudkan.
Parallel system: memiliki beberapa alternatif nilai yang setara
Will to Meaning
Tahap realisasi makna Kegiatan yang terarah, komitmen dan pemenuhan makna
Tahap Penerimaan Diri Pemahaman diri dan pengubahan sikap dari (-) => (+): muncul kesadaran untuk
mengubah kondisi diri menjadi lebih baik
Tahap penemuan makna
Menyadari adanya hal-hal berharga atau penting yang ditetapkan sebagai tujuan hidup, seperti Creative value,Experiential value, andAttitudinal value
Searching for meaning Eksternal
Internal
Tahap derita Emosi dan pikiran negatif: sedih, kesal, kecewa, cemas, takut,
rasa bersalah, tertekan, menderita, stress, pikiran bunuh diri. Pilihan Hidup
Pekerja Seks Komersil
KEHIDUPAN MANUSIA
Faktor Eksternal: Kesulitan memenuhi kebutuhan, pergaulan, masyarakat
Freedom of Will
Faktor Internal : (-) keterampilan, keinginan sendiri, mengobati luka hati
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas
serta mendalam berkaitan dengan bagaimana makna hidup pada PSK atas
segala masalah yang dialaminya.
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2009), dimana
melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti dapat memperoleh
pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga
dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut
mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal
yang turut mempengaruhi responden penelitian.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) juga mengatakan bahwa
salah satu kekuatan dari penelitian kualitatif adalah dapat memahami gejala
sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran
yang sesuai dengan diri responden dan bukan semata-mata penarikan
kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Dalam penelitian mengenai makna hidup pada PSK ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, karena sesuai dengan
tujuan penelitian, peneliti perlu memahami kehidupan PSK secara spesifik,
39
B. RESPONDEN PENELITIAN
1. Karakteristik Responden
Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu,
yaitu:
a. Wanita Pekerja Seks Komersil
Hal ini sesuai dengan latar belakang penelitian dan rumusan
permasalahan yang ingin dijawab peneliti.
b. Usia berada pada masa dewasa
Hal ini didasarkan pada pendapat kepakaran yang mengemukakan
bahwa pada usia dewasa perkembangan kognitif dan psikososial
telah matang dan mereka akan mencari tujuan hidup serta mulai
menghayati kehidupan dengan lebih konkrit, detail, dan mendalam.
2. Jumlah Responden
Penelitian ini mengambil responden sebanyak 2 (dua) orang
dikarenakan peneliti ingin berfokus untuk mendalami responden
secara menyeluruh dan tidak banyaknya responden yang bersedia jika
dimintai keterangan mengenai keadaannya sebagai PSK dan
40
3. Prosedur Pengambilan Responden
Prosedur pengambilan responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih dengan kriteria yang ditentukan berdasarkan fenomena penelitian, dan berfokus untuk mendalami
kasus mendalam dan menyeluruh (Patton, dalam Poerwandari, 2009).
C. METODE PENGAMBILAN DATA
Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data melalui
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (guided interview)
sebagai alat utama penelitian.
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan adalah handphone atau telepon genggam.
b. Lembar observasi yang dilampirkan secara umum
Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yang
menggunakan teknik narasi.
c. Alat tulis dan kertas untuk mencatat
Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui
perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan