“EFEKTIVITAS PENGAPLIKASIAN STRATEGI
DYNAMIC ASSET
ALLOCATION
PADA
EMERGING MARKET
DI ASIA TENGGARA”
Indra Karya Marcello Kewo
Indra.kewo@gmail.com
, +62 81 218 697 885
Magister Manajemen Eksekutif Muda Angkatan 8
PPM School of Management
ABSTRAK
Pengalokasian aset merupakan proses yang penting, juga sebagai awal dalam
proses investasi. Tiap-tiap kelas aset dalam suatu investasi sangat dipengaruhi oleh
situasi atau keadaan pasar, sehingga dapat menyebabkan kelas aset tertentu
menjadi lebih unggul dibanding aset lainnya.
Dynamic asset allocation
adalah
sebuah strategi pengalokasian aset yang dapat diterapkan pada kondisi pasar yang
berubah-ubah. Oleh karena itu yang menjadi pokok permasalahan dalam karya tulis
ini yaitu apakah strategi ini efektif jika diterapkan pada pasar modal di negara
emerging market
di Asia Tenggara? Apakah terdapat perbedaan perolehan
return
yang signifikan dari masing-masing strategi
dynamic asset allocation
? Strategi
alokasi aset mana yang ideal diterapkan di negara-negara
emerging market
Asia
Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, plus Singapura)? Hasil studi ini
menunjukkan bahwa penerapan strategi
dynamic asset allocation
di satu sisi
mengurangi jumlah imbal hasil namun di sisi lain mampu mengurangi risiko yang
akibat volatilitas pasar modal. Berdasarkan uji Wilcoxon Signed-Rank Test
ditemukan bahwa tidak ada perbedaan nyata perolehan
return
antara strategi
buy
and hold
dan strategi
constant mix
(p-value > 0,05), ada perbedaan nyata perolehan
return
antara strategi
buy and hold
dan strategi
Constant Proportion Portfolio
Insurance
(CPPI) (p-value < 0,05), dan ada perbedaan nyata perolehan
return
antara strategi
constant mix
dan CPPI (p-value < 0,05). Berdasarkan evaluasi
reward-to-volatility
ditemukan bahwa strategi
constant mix
lebih ideal diterapkan
untuk Indonesia dan Filipina, sedangkan untuk Malaysia, Thailand dan Singapura
strategi CPPI lebih ideal.
Kata Kunci: Investasi; alokasi aset;
dynamic asset allocation
;
emerging market
1. Latar Belakang
Menurut Bodie et al proses investasi terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu (1) alokasi aset
“process of deciding how to distribute an investor’s wealth among di
fferent countries
and asset classes for investment purpose”
(Reilly & Brown, 1999). Aset-aset dalam
sebuah portofolio pada umumnya terdiri dari aset bebas risiko
(risk free asset)
dan
aset berisiko
(risky asset)
atau sesuai dengan teori Modern Portfolio dari Harry
Markowitz (1952) yaitu pada dasarnya risiko sebuah investasi dapat disebar dengan
menggabungkan aset yang memiliki korelasi negatif.
Menurut Richard C. Marton,
risk free asset
dalam keadaan ekonomi tertentu dapat
memberikan
return
yang lebih baik dibandingkan dengan
risky asset
dan sebaliknya
yaitu pada saat pasar mengalami
downturn
,
risk free asset
yang diwakili dengan
bond
memberikan
return
yang lebih baik dibanding dengan
risky asset
yang diwakili
dengan
stock
(Marston, 2011). Jika saja seorang investor ataupun
fund manager
mampu melakukan strategi alokasi aset yang tepat pada masa-masa
downturn
ataupun
upturn
dengan disiplin maka harapannya dapat meningkatkan nilai dari
investasi.
Dynamic Asset Allocation Strategies
Andre F. Perold dan William F. Sharpe memperkenalkan sebuah strategi alokasi
aset taktis yaitu dynamic asset allocation strategies (Perold & Sharpe, 1988).
Disebut taktis karena lewat strategi ini investor dapat mengatur komposisi
investasinya terlebih pembagian dana di setiap kelas aset menyesuaikan dengan
keadaan pasar atau market. Terdapat 4 (empat) strategi dalam dynamic asset
allocation yaitu (1)
buy and hold
, (2)
constant mix
, (3)
constant-proportion portfolio
insurance (CPPI)
, dan (4)
option-based portfolio insurance
(OBPI).
Masing-masing
strategi memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai kondisi pasar, namun untuk
investor jangka panjang disebutkan dapat menggunakan strategi
constant-proportion
strategies
(
buy and hold
,
constant mix
,
constant proportion portfolio insurance
)
dengan alasan bahwa strategi-strategi ini dapat diterapkan dalam jangka panjang
atau
perpetuity
.
Dynamic Asset Allocation Strategies
&
Emerging Market
Asia Tenggara
Apakah strategi
dynamic asset allocation
dapat diaplikasikan oleh investor atau
fund
manager
di Indonesia maupun negara-negara berkembang Asia Tenggara sehingga
mampu memaksimalkan
value
dari investasi? Pada Gambar 1 berikut dapat dilihat
tren pertumbuhan indeks harga saham untuk negara
emerging markets
dunia juga
Asia Tenggara serta beberapa indeks dari negara maju. Data yang diambil adalah
sejak tahun 2003 hingga akhir tahun 2013. Pertumbuhan tertinggi yang berasal dari
negara
emerging market
Asia Tenggara dihasilkan oleh Indonesia yaitu sebesar
1000,34%, kemudian disusul oleh Filipina 457,38%, Thailand 250,99%, dan
Malaysia 180,84%.
Gambar 1. Pertumbuhan Indeks Pasar Modal Negara Emerging Market
Selama tahun 2003 hingga 2013 keadaan ekonomi dunia diwarnai dengan beberapa
kejadian besar yang menyebabkan baik tekanan maupun stimulus positif pada pasar
saham dunia, termasuk juga negara anggota
emerging market
Asia Tenggara.
Bagaimana penerapan strategi
dynamic asset allocation
pada
emerging market
saat
keadaan pasar atau market mengalami penurunan
(downturn)
atau kenaikan
(upturn)
, bagaimana strategi ini mengakomodasi volatilitas pasar modal pada
saat-saat tersebut?
Karya tulis ini akan menganalisis 3 (tiga) rumusan masalah, (1) bagaimana
efektifitas penerapan strategi
dynamic asset allocation
untuk pasar saham di
negara-negara
emerging market
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand,
plus
Singapura), (2) apakah terdapat perbedaan yang signifikan atas
return
yang
dihasilkan oleh masing-masing strategi, serta (3) strategi alokasi aset mana yang
lebih baik diterapkan oleh seorang investor atau
fund manager
di negara-negara
tersebut.
1.1 Tujuan Penelitian & Batasan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
a. Menganalisis efektifitas penerapan strategi
dynamic asset allocation
untuk
pasar saham di negara
emerging market
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia,
Filipina, Thailand, plus Singapura).
b. Mengetahui apakah ada perbedaan perolehan
return
yang signifikan dari
masing-masing strategi
dynamic asset allocation
.
c. Mengidentifikasi strategi alokasi aset yang ideal untuk masing-masing negara
emerging market
Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan
Singapura).
a. Strategi
dynamic asset allocation
yang digunakan adalah
buy and hold
,
constant mix
,
constant-proportion portfolio insurance
(CPPI).
b. Data menggunakan data indeks pasar modal bulanan selama tahun
2003-2013 untuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Dengan
asumsi tidak ada pembagian dividen selama jangka waktu tersebut sehingga
pengukuran murni hanya berdasarkan pergerakan indeks.
c. Penelitian menggunakan asumsi penyesuaian strategi dilakukan tiap bulan,
tidak ada batasan
(threshold)
keuntungan atau kerugian tertentu dari
pergerakan harga saham, tidak ada biaya transaksi, tidak ada biaya pajak
dan tidak ada kegiatan
lending
dan
borrowing
selama periode penelitian.
d. Jangka waktu investasi adalah perpetuitas (perpetuity).
2. Dynamic Asset Allocation
Perold & Sharpe dalam jurnalnya mencoba membahas mengenai
dynamic strategy
dari alokasi asset yaitu bahwa
dynamic strategy
terdiri dari 4 (empat) yaitu (1)
buy
and hold
, (2)
constant mix
, (3)
constant proportion portfolio insurance
(CPPI), dan (4)
option-based portfolio insurance
(Perold & Sharpe, 1988).
a.
Buy and Hold
. Definisi
buy and hold
adalah strategi pasif atau “do nothing
strategy” yaitu dengan mengalokasikan investasi ke kelas aset tertentu tanpa
memperdulikan perubahan nilai aset. Apapun yang terjadi pada pasar, tidak ada
penyesuain terhadap bobot aset dalam portofolio . Penerapan strategi
buy and
hold
dijelaskan lewat simulasi berikut.
Seorang investor memiliki dana untuk investasi sebesar 1000, kemudian
memutuskan untuk menginvestasikan dananya di
stock
dan
bond
dengan
proporsi yang sama yaitu 50/50.
Tabel 1 Strategi Buy and Hold
Saat terjadi kenaikkan sebesar 5% di pasar saham pada periode ke-2 maka nilai
investasi saham akan bertumbuh menjadi 525 (500 ditambah pertumbuhunan
5%) sedangkan nilai
bond
tetap, otomatis presentase antara
stock
dan
bond
berubah menjadi 51/50. Sedangkan pada saat periode 2 dimana nilai pasar
saham mengalami penurunan sebesar 3% maka nilai investasi akan berkurang
dari 525 menjadi 509,25, nilai
bond
masih tetap, sehingga presentase
stock
/
bond
kembali ke angka 50/50. Jika diperhatikan perubahan-perubahan
yang terjadi baik kenaikan maupun penurunan secara kumulatif menghasilkan
imbal hasil sebesar 0,96 %.
Period Change in Stock Stock Bond % in Stock Investment Value Change in
Investment Value Cumulative
0 - 500 500 50% 1000
1 5% 525 500 51% 1025 2,50%
Dari contoh diatas terlihat bahwa strategi
buy
and
hold
selalu mengikuti arah
pergerakan atau perubahan indeks, tanpa melalukan kegiatan apapun saat
pasar saham mengalami kenaikkan ataupun penurunan.
b.
Constant Mix
. Berbeda dengan strategi
buy and hold
, strategi
constant mix
dikatakan sebagai strategi “
do something”
atau
“dynamic”
dimana penerapan
strategi ini terjadi sebagai bentuk respon atas perubahan
market
. Ketika nilai
suatu aset berubah, maka diperlukan tindakan baik membeli atau menjual aset
agar komposisi aset portofolio berada dalam komposisi yang diinginkan. Dengan
asumsi yang sama dengan contoh pada bagian sebelumnya yaitu investor
memiliki dana sebesar 1000 dan memutuskan untuk berinvestasi lewat
stock
dan
bond
dengan bobot 50/50. Inti dari
constant mix
adalah menjaga
keseimbangan proporsi pembobotan aset dari perubahan yang terjadi di pasar.
Tabel berikut menjelaskan prosesnya.
Tabel 2 Strategi Constant Mix
Saat terjadi kenaikan pada periode 1 sebesar 5%, investasi pada
stock
akan
menjadi sebesar 525, dengan proporosi menjadi 51/50. Oleh karena strategi ini
bertujuan untuk menjaga keseimbangan proporsi aset, maka diperlukan aktivitas
rebalancing
yaitu menjual sebagaian aset di
stock
dan menambahkannya ke
dalam
bond
sehingga pembobotannya tetap seimbang, sehingga nilai investasi
di
stock
menjadi 512,50 dan nilai di
bond
menajadi 512,50. Begitu pun saat
terjadi penurunan di pasar, seperti yang terjadi pada periode 2 dimana nilai
pasar saham terkoreksi sebesar 3%, nilai
stock
akan berkurang sehingga
diperlukan penambahan dari nilai
bond
dengan cara menjual sebagian
bond
untuk ditambahkan ke dalam
stock
. Dengan strategi ini tampak bahwa ketika
harga saham naik, dilakukan aksi jual dan berlaku sebaliknya
(sale stock as they
rise in value)
, adapun dengan strategi ini secara kumulatif perolehan imbal hasil
investor adalah sebesar 1%.
c.
Constant Proportion Portfolio Insurance
(CPPI). Strategi CPPI diaplikasikan
berdasarkan bentuk berikut:
Dollar in Stocks=m (Assets-Floor)
Untuk mengimplementasikan strategi CPPI investor atau
fund manager
terlebih
dahulu menentukan nilai
multiplier
(m) dan
floor
yang adalah batas toleransi
berkurangnya nilai portfolio. Sebagai contoh pada Tabel 3, seorang investor
memiliki dana sebesar 1000, asumsi angka
multiplier
adalah 2 dan nilai floor
Period Change in Stock Stock Bond % in Stock Investment Value Change in
Investment Value Cumulative
0 - 500 500 50% 1000
1 5% 525 500 51% 1025
Rebalancing 512,50 512,50 50% 1025 2,50%
2 -3% 497,125 512,50 49% 1009,625
sebesar 600. Maka dengan menggunakan persamaan di atas jumlah aset yang
dialokasikan di
stock
adalah 800 (800 = 2*(1000-600)), sehingga jumlah alokasi
di
bond
sebesar 200 atau perbandingannya 80/20. Pada periode 1 ketika terjadi
kenaikan sebesar 5% di pasar saham nilai investasi di
stock
akan berubah
menjadi 880 dan nilai total investasi menjadi 1040. Kegiatan
rebalancing
pada
periode ini menggunakan kembali persamaan di atas sehingga nilai investasi
pada
stock
menjadi 880 (880 = 2*(1040-600)). Begitu pun pada periode 3 saat
terjadi penurunan pada pasar saham. Ketika terjadi penurunan nilai investasi
setelah
rebalancing
akan berubah menjadi 507,20 (507,20 = 2*(1013,6-600)).
Hasil kumulatif dari imbal hasil selama periode ini adalah sebesar 1,46 %. Dapat
diperhatikan pengaplikasian strategi ini bahwa ketika terjadi kenaikkan harga
investor akan membeli lebih banyak saham, dan akan menjual banyak saat
terjadi penurunan
(sells stocks as they fall and buys stocks as they rise).
Tabel 3 Strategi Constant Proportion Portfolio Insurance
d.
Option-based portfolio insurance
(OBPI). Strategi OBPI diaplikasikan dengan
pertama-tama menentukan
investment horizon
dan nilai
floor
yang diinginkan.
Menurut Perold & Sharpe pola pergerakan pasar adalah faktor yang sangat
menentukan dari keberhasilan dari
dynamic strategy
serta preferensi risiko dari
investor dalam hal ini mengenai keputusan alokasi aset; seberapa banyak aset
yang dialokasikan di
risk free aset
dan
risky asset
.
2.1 Penelitian terdahulu
Landasan pemikiran dari strategi
dynamic asset allocation
ini berasal dari karya
ilmiah yang dibahas oleh Andre Perold dan William Sharpe tahun 1985. Model
strategi
dynamic asset allocation
itu kemudian diangkat oleh penulis dalam tulisan
ini. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang mencoba menjelaskan tentang
dynamic strategies for asset allocation
yang juga menjadi pendukung dalam
kerangka pemahaman karya tulis ini yaitu apa yang dikemukakan oleh Ibboston &
Kaplan bahwa faktor yang mempengaruhi variabilitas imbal hasil dari penerapan
strategi
dynamic asset allocation
adalah
asset allocation policies
, yang dimaksud
adalah kebijakan untuk menentukan pembobotan untuk kelas-kelas aset
(weight of
asset class)
. Hasil yang didapatkan dari penelitian mereka adalah
asset allocation
policies
menjelaskan sebesar 90% atas variabilitas return investasi (Ibboston &
Kaplan, 2000). Perusahaan asset management asal Amerika Serikat, BNY Mellon
Asset Management lewat hasil riset di tahun 2012 mengemukakan bahwa dengan
2*(Asset-600)
Period Change in Stock Stock Bond % in Stock Investment Value Change in
Investment Value Cumulative
0 - 800 200 80% 1000
1 5% 840 200 81% 1040
Rebalancing 880,00 160,00 85% 1040 4,00%
2 -3% 853,6 160,00 84% 1013,6
Dynamic Strategic Asset Allocation
Kondisi Pasar (Market Conditions) Negara-Negara
Berkembang Alokasi Aset
Efektifitas Strategi
(Outperfom/Underperform)
pengaplikasian
strategi
dynamic
asset
allocation
memungkinan
investor
menyesuaikan diri dengan keadaan atau informasi baru yang tersedia saat itu,
seperti menyesuaikan ekspektasi
return
, tingkat risiko, ataupun korelasi dari
aset-aset dalam portofolio investasi (Mellon Capital Management Corporation Research
Team, 2012).
Beberapa penelitian mencoba mengukur mengenai kefektifan dari strategi
dynamic
asset allocation
dibandingkan dengan strategi pasif
(buy and hold)
. Penelitian yang
dilakukan oleh Putu Riska Komala dengan mengukur kefektifan antara strategi
rebalancing
dan strategi tanpa
rebalancing
(buy and hold)
pada pada kombinasi
Reksa Dana Saham dan Reksa Dana Pendapatan tetap tahun 2003-2009 di
Indonesia menunjukkan bahwa secara statistik strategi
rebalancing
aktif tidak dapat
meningkatkan imbal hasil (Putri, 2010). Dari penelitian yang dikemukakan oleh Dichtl
et. al untuk negara Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman dengan menggunakan data
sejak tahun 1982-2011 ditemukan bahwa strategi
rebalancing
outperform
dibandingkan dengan
buy and hold
meskipun bedasarkan statistik perolehan imbal
hasil dari
dynamic asset allocation
tidak memiliki perbedaan nyata dibanding
buy
and hold
(Dichtl, Drobetz, & Wambach, 2012).
3. Kerangka Konseptual & Hipotesis
Gambar 2 Kerangka Konseptual
Alokasi aset. Bagian ini adalah tahap penentuan alokasi jumlah aset terhadap
risk
free asset
dan
risky asset
. Dalam penulisan ini, untuk kelas aset bebas risiko yang
dipilih sebagai aset adalah uang kas dalam bentuk deposito karena sifat likuditasnya
sedangkan aset berisiko yang dipilih adalah saham yang dihitung lewat indeks harga
saham. Karakterisktik risiko dalam alokasi aset adalah model
conservative for
growth
dengan penyesuaian proporsi 60/40 (60% saham, 40% uang kas/deposito).
Dynamic Strategi Asset Allocation
. Setelah penentuan alokasi aset, pada tahap ini
indeks saham emerging market di Asia Tenggara dalam hal ini Indonesia, Malaysia,
Filipina, Thailand serta Singapura. Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya
yaitu bahwa untuk tujuan jangka panjang (
perpetuity
) disebutkan strategi
buy and
hold, constant mix
, dan CPPI adalah yang paling dapat diterapkan, maka dipilihlah
ketiga strategi tersebut untuk pengukuran kefektifan penerapannya di negara-negara
emerging market
Asia Tenggara.
Rebalancing
akibat perubahan harga dilakukan
berdasarkan
calendar basis
yakni pada setiap akhir bulan selama tahun 2003-2013
untuk semua negara.
Kondisi Pasar
(Market Conditions)
Negara-Negara Berkembang. Pada tahap ini
dilakukan simulasi penerapan dari ketiga strategi
dynamic asset allocation
untuk 5
(lima) negara
emerging market
Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina
dan Thailand serta Singapura. Dalam simulasi selama periode penelitian
diasumsikan penyesuaian strategi dilakukan tiap bulan, tidak ada batasan
(
threshold
) keuntungan atau kerugian tertentu dari pergerakan harga saham, tidak
ada biaya transaksi, tidak ada biaya pajak dan tidak ada kegiatan lending dan
borrowing selama periode penelitian.
Efektifitas Strategi. Dalam tahap ini dilakukan pengukuran efektifitas dan analisis
penerapan strategi
dynamic asset allocation
. Pengukuran efektifitas menggunakan
pengujian statistik yang akan dijelaskan dalam bagian lain pada bab ini.
4. Pembahasan
4.1 Analisis Potensi Imbal Hasil Emerging Market
Return & GDP Emerging Market
Fenomena
emerging market
yang memiliki potensi imbal hasil dan pertumbuhan
yang tinggi telah menarik perhatian dunia investasi. Menurut Robert Marston
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat ditranslasikan menjadi pertambahan pada
return
pasar saham (Marston, 2011). Gambar IV-1 berikut menunjukkan
perbandingan antara pertumbuhan GDP negara
emerging market
dengan
expected
Gambar 3 Stock Market Expected Return & GDP Growth
Gambar 3 terbagi menjadi 4 (empat) kuadran yang dibagi berdasarkan rata-rata
pertumbuhan GDP sebesar 2,74% dan rata-rata
expected return
pasar saham
negara
emerging market
untuk tahun 2013 sebesar 13,11% . Negara-negara yang
memiliki pertumbuhan GDP yang tinggi serta
expected return
di atas rata-ratanya
tergambar pada Kuadaran I, negara-negara itu adalah Indonesia, India, Filipina,
Chile, dan Korea. Kuadran II adalah kelompok negara yang memiliki
expected return
pasar saham yang tinggi namun pertumbuhan GDP lebih rendah dibanding rata-rata.
Negara tersebut adalah Rusia, Mexico, Brasil, dan Thailand. Kuadaran III adalah
kelompok negara dengan hasil dibawah rata-rata baik pertumbuhan GDP maupun
expected return
pasar saham. Negara-negara yang termasuk pada kuadran ini
adalah Afrika Selatan, Hungaria, Yunani, dan Republik Ceko. Kuadran IV adalah
untuk kelompok negara yang memiki pertumbuhan GDP yang tinggi namun dengan
peroleah expected return pasar saham yang di bawah rata-rata
emerging market
antara lain China, Peru, Malaysia, dan Turki.
Secara umum negara-negara
emerging market
berada pada Kuadarn I dan II
dengan perolehan
expected return
dan lebih tinggi dibanding rata-rata. Hubungan
antara GDP dan
return
pasar saham memang tidak secara kuat berpengaruh
menurut hasil riset dari
Schroder Investment Management
namun beberapa hal
menarik yaitu bahwa meskipun korelasi antara GDP dan
return
pasar saham tidak
stabil, ekspektasi pertumbuhan GDP di masa yang akan datang secara signifikan
berpengaruh pada
return
pasar saham
1.
Risk-Return Emerging Market
Dikarenakan negara emerging market sangat rentan dengan faktor-faktor eksternal
yang dapat menyebabkan arus modal keluar yang sangat besar oleh karena itu
negara
emerging market
memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding dengan
negara-negara maju dan lebih rentan terhadap krisis
2. Dari sisi risiko investasi dibandingkan
1
(Wade, Keith; May, Anja, 2013)
2
dengan perolehan
expected return
pasar saham negara
emerging market
dapat
digambarkan seperti pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4 Risk-Return Map Emerging Markets (Sumber: Diolah)
Gambar 4 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran berdasarkan rata-rata risiko yang
dihitung lewat standar deviasi sebesar 7,10% dan rata-rata
expected return
sebesar
1,09%. Kuadran I adalah kelompok negara dengan tingkat risiko di atas rata-rata
dan
expected return
yang juga berada di atas rata-rata
emerging market
.
Negara-negara yang termasuk dalam kuadran ini antara lain Rusia, India, dan Hungaria.
Kuadran II adalah kelompok negara dengan risiko yang lebih rendah dari rata-rata
dan
expected return
yang tinggi. Negara-negara yang termasuk dalam kelompok ini
adalah Indonesia, Mexico, Filipina, Brazil, Thailand, Chile, dan Korea. Kuadran III
adalah kelompok negara dengan tingkat risiko yang lebih rendah dari rata-rata
dengan
expected return
yang berada di bawah rata-rata negara
emerging market
.
Negara-negara yang termasuk dalam kelompok ini adalah Malaysia, Taiwan, dan
Republik Ceko. Sedangkan Kuadran IV adalah kelompok negara dengan tingkat
risiko yang tinggi dan expected return yang rendah, seperti Turki, Afrika Selatan,
Yunani, China, dan Peru.
Dari gambar di atas terlihat bahwa
risk-return emerging market
sangat bervariasi
dan cenderung mayoritas berada pada Kuadran I dimana tingkat risiko masih berada
di level bawah rata-rata sedangkan
expected return
tergolong tinggi di atas
rata-rata.
4.2 Analisis Potensi Pasar Modal Emerging Market Asia Tenggara
Berdasarkan dari pembahasan sebelumnya lewat perbandingan
expected return
dan pertumbuhan GDP Indonesia dan Filipina tampak sebagai negara dengan
expected return
yang paling tinggi serta dengan pertumbuhan GDP tertinggi
lainnya dengan tingkat
return
yang tinggi di atas rata-rata. Gambar 5 berikut
menunjukkan grafik indeks pasar modal masing-masing negara tersebut.
Gambar 5 Indeks Pasar Modal Negara Emerging Market Asia Tenggara (Sumber: Diolah)
Gambar di atas menunjukkan indeks pasar modal negara-negara
emerging market
Asia Tenggara untuk periode 2003 hingga 2013, termasuk Singapura sebagai
representasi dari negara maju. Informasi grafik di atas juga menampilkan indeks
S&P 500 dan MSCI World Index sebagai pembanding untuk menunjukkan
pergerakan indeks negara
emerging market
dibanding indeks negara maju dan
indeks pasar modal dunia. Tampak bahwa dari periode tahun 2003 hingga akhir
2013 semua indeks memperlihatkan pergerakan dengan volatilitasnya
masing-masing. Tabel 4 berikut merangkum informasi indeks dari gambar di atas.
Tabel 4 Ringkasan Informasi Indeks Pasar Modal
Negara Emerging Market Asia Tenggara (Sumber: Diolah)
Selama periode 2003 hingga 2013 keseluruhan indeks sempat menyentuh level
tertinggi maupun terendahnya. Rata-rata indeks menyentuh level terendahnya pada
periode akhir di tahun 2008, dimana pada masa itu terjadi krisis
subprime mortgage
di Amerika dan efeknya menyebar ke semua negara termasuk negara-negara
emerging market
Asia Tenggara. Pada pertengahan tahun 2009, semua indeks
Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapore S&P 500 MSCI World Index
Index on December 31, 2013 4.274,18 1.866,96 5.889,83 1.298,71 3.167,43 1.848,36 408,55
High 5.068,63 1.866,96 7.070,99 1.597,86 3.706,23 1.848,36 427,63
Low 1.241,54 863,61 1.825,09 401,84 1.746,47 735,09 180,20
Return Until End of
December 31, 2013
Since Market Peak -15,67% 0,00% -16,70% -18,72% -14,54% 0,00% -4,46%
Since Market Low 244,26% 116,18% 222,71% 223,19% 81,36% 151,45% 126,72%
Slope to MSCI World Index 1,026 0,503 0,697 0,933 0,926 0,849 1
kembali mengalami penguatan hingga awal tahun 2013. Hal ini disebabkan karena
adanya kebijakan
Quantitative Easing
(QE)
3dari The Fed Amerika Serikat.
Semenjak dari posisi terendahnya hingga akhir 2013 Indonesia mencatat perolehan
return
yang paling besar yaitu 244,26% kemudian diikuti oleh Thailand (223,19%)
Filipina (222,71%), S&P 500 (151,45%), MSCI World Index (126,72%), Malaysia
(116,18%), dan Singapura (81,36%). Sebaliknya dari semenjak dari posisi
tertingginya dibandingkan dengan akhir 2013 indeks Thailand mencatat koreksi yang
paling dalam yaitu -18,72% diikuti oleh Filipina (-16,70%), Indonesia (-15,67%),
Singapura (-14,54%), dan MSCI World Index (-4,46%). Sementara itu indeks
Malaysia dan dan S&P 500 tidak mengalami perubahan atau 0,00%.
Ukuran volatilitas atau kecenderungan suatu indeks atau saham dalam merespon
perubahan market diukur lewat
Slope to MSCI World Index
dan
Slope to S&P 500
.
Ukuran volatilitas ini merupakan koefesien regresi dari pergerakan indeks MSCI dan
S&P 500 terhadap indeks harga saham gabungan. Jika ditinjau dari sisi maka indeks
Indonesia tergolong lebih volatil dibandingkan indeks negara
emerging market
Asia
Tenggara lainnya baik terhadap MSCI World Index maupun S&P 500. Singapura,
Thailand, dan Filipina masih tergolong volatil yaitu dengan angka
slope
antara
0,697-0,933, sementara Malaysia memiliki
slope
yang paling rendah dibandingkan
dengan negara-negara sesama
emerging market
asia tenggara.
Tabel 5 berikut menampilkan informasi statistik lainnya yaitu hubungan korelasi
antara masing-masing indeks.
Tabel 5 Korelasi Antar Indeks Emerging Market Asia Tenggara (Sumber: Diolah)
Correlation Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapore S&P 500 MSCI World Index
Indonesia 1 0,629 0,659 0,704 0,749 0,630 0,713
Malaysia 0,629 1 0,493 0,534 0,684 0,539 0,605
Filipina 0,659 0,493 1 0,560 0,647 0,543 0,565
Thailand 0,704 0,534 0,560 1 0,647 0,568 0,673
Singapore 0,749 0,684 0,647 0,647 1 0,732 0,816
S&P 500 0,630 0,539 0,543 0,568 0,732 1 0,957
MSCI World Index 0,713 0,605 0,565 0,673 0,816 0,957 1
Dari informasi tabel di atas tampak bahwa nilai korelasi antara indeks suatu negara
dengan yang lain tergolong sedang yakni berkisar antara 0,5 hingga 0,75. Indonesia
cenderung memiliki korelasi menuju kuat dengan Singapura, Thailand, dan MSCI
World Index. Malaysia dan Filipina memiiki korelasi yang sedang dengan semua
indeks dan Singapura memiliki korelasi yang menuju kuat dengan S&P 500 dan
MSCI World Index.
Pasar modal di
emerging market
masih memberikan peluang yang cukup baik untuk
investasi. Meskipun sempat terpuruk karena beberapa kejadian yang melanda
perekonomian dunia, namun kembali lagi pasar modal
emerging market
menjukkan
3
pemulihan yang cukup signifikan dalam jangka panjang. Volatilitas beberapa negara
emerging market
masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan indeks negara
maju dan indeks pasar modal dunia, namun selain tingginya nilai koefisien regresi
atau
slope
dari beberapa negara
emerging market
, namun negara-negara tersebut
mampu memberikan
return
yang besar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
negara-negara
emerging market
memilliki potensi pertumbuhan jangka panjang
yang sangat besar meskipun masih rapuh terhadap peristiwa-peristiwa dunia yang
dapat berakibat pada menurunnya kinerja pasar modal negara-negara tersebut.
4.3 Analisis Keadaan Ekonomi Emerging Market Berdasarkan Siklus Pasar
Volatilitas pergerakan indeks di pasar modal
emerging market
dipengaruhi oleh
banyak hal baik dari kondisi perekonomian dunia maupun kondisi ekonomi negara
itu sendiri. Hasil riset dari Amundi Asset Management (2013) membagi periode 2003
hingga 2013 menjadi 4 (empat) periode berdasarkan siklus pasar
(market cycle)
yang berdampak pada pasar modal dunia yaitu (1)
Bullishnes and Historically Low
Volatility
(Januari 2004-November 2007), (2)
Liquidity Trap
(Desember 2007-Maret
2009), (3)
Benefit of Quantitative Easing
(April 2009-Juli 2011), dan (4)
Greek Debt
Crisis
(Agustus 2011-Oktober 2012). Gambar 6 berikut menunjukkan keempat
pembagian siklus pasar terhadap indeks negara
emerging market
.
Gambar 6 Siklus Pasar Terhadap Indeks Negara Emerging Market (Sumber: Diolah)
Bullish ess & Historically Low
Volatility Li uidity T ap QE Poli y
Januari 2004 –
Gambar 7 Indikator Makro Ekonomi Indonesia Periode 2003-2013 (Sumber: Diolah)
Bullish ess & Historcally Low
Volatility Li uidity T ap QE Poli y
Januari 2004 –
Bullish ess & Historcally Low
Volatility Li uidity T ap QE Poli y
Januari 2004 –
Gambar 9. Indikator Makro Ekonomi Filipina Periode 2003-2013
Bullish ess & Historcally Low
Volatility Li uidity T ap QE Poli y
Januari 2004 –
Bullish ess & Historcally Low
Volatility Li uidity T ap QE Poli y
Januari 2004 –
Gambar 11. Indikator Makro Ekonomi Singapura Periode 2003-2013 (Sumber: Diolah)
4.4 Analisis Efektifitas Penerapan Strategi Dynamic Asset Allocation Pada
Emerging Market Asia Tenggara
Tabel 6. Rangkuman Perolahan Return , Strandar Deviasi, dan Median dari Strategi Dynamic Asset Allocation
Deskriptif Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapura
100% Stock
Arithmatic Mean 1,82% 0,86% 1,48% 1,17% 0,66%
Geometric Mean 1,57% 0,79% 1,31% 0,96% 0,68%
St. Deviation 6,73% 3,89% 5,78% 6,48% 5,31%
Median 2,78% 1,15% 2,07% 1,95% 1,43%
B&H 60/40
Arithmatic Mean 1,47% 0,65% 1,14% 0,61% 0,56%
Geometric Mean 1,32% 0,24% 1,05% 0,49% 0,48%
St. Deviation 5,29% 2,62% 4,30% 4,84% 3,90%
Median 2,28% 0,84% 1,68% 1,54% 1,09%
Cons. Mix (60/40)
Arithmatic Mean 1,36% 0,61% 1,02% 0,78% 0,51%
Geometric Mean 1,27% 0,59% 0,96% 0,70% 0,46%
St. Deviation 4,05% 2,33% 3,47% 3,88% 3,19%
Median 1,95% 0,79% 1,38% 1,27% 0,87%
CPPI
Arithmatic Mean 1,75% 0,84% 1,45% 1,07% 0,79%
Geometric Mean 1,53% 0,76% 1,29% 0,88% 0,65%
St. Deviation 6,51% 3,83% 5,71% 6,06% 5,22%
Median 2,70% 1,15% 2,06% 1,81% 1,42%
Pengujian Hipotesis
Menurut Perold dan Sharpe (1988) masing-masing strategi memiliki karakteristiknya
masing-masing dimana keunggulan dari satu strategi dibanding yang lain terletak
pada kondisi pasar saham. Berangkat dari itu maka akan diukur secara statistik
apakah ada perbedaan perolehan
return
antara penerapan masing-masing strategi
dynamic asset allocation
. Rumusan hipotesis dan langkah-langkah pengujian
hipotesis adalah sebagai berikut:
a. Perumusan Hipotesis
Rumusah Hipotesis 1:
H0: Tidak ada perbedaan nyata antara
return
strategi
buy and hold
dan strategi
constant mix.
H1: Ada perbedaan nyata antara
return
strategi
buy and hold
dan strategi
constant mix.
Rumusan Hipotesis 2:
H0: Tidak ada perbedaan nyata antara
return
strategi
buy and hold
dan strategi
CPPI.
H1: Ada perbedaan nyata antara
return
strategi
buy and hold
dan strategi CPPI
Rumusan Hipotesis 3.
H0: Tidak ada perbedaan nyata antara
return
strategi
constant mix
dan strategi
CPPI.
H1: Ada perbedaan nyata antara
return
strategi
constant mix
dan strategi CPPI.
b. Tingkat Signifikansi
Pengujian statistik dilakukan dengan Uji Wilcoxon Signed-Rank Test, dengan
variabelnya adalah perbedaan peolehan
return
dari tiap-tiap penerapan strategi
dynamic asset allocation
.
Tabel 7. Perolehan Return Strategi Dynamic Asset Allocation
Buy_and_Hold Constant_Mix CPPI
Indonesia 1,47 1,36 1,75
Malaysia 0,65 0,61 0,84
Filipina 1,14 1,02 1,45
Thailand 0,61 0,78 1,07
Singapura 0,56 0,51 0,79
Sumber: Diolah
d. Kriteria Keputusan.
H0 diterima, apabila p-value < 0,05.
e. Pengujian Hasil
Tabel 8. Uji Statistik Wilcoxon Signed Ranks Test
Test Statisticsa
Constant_Mix - Buy_and_Hold
CPPI - Buy_and_Hold
CPPI - Constant_Mix
Z -,674b -2,023c -2,023c
Asymp. Sig. (2-tailed) ,500 ,043 ,043 a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks. c. Based on negative ranks.
Sumber: SPSS, diolah
Dari perhitungan statistik dengan uji Wilcoxon, maka
-
Hipotesis 1. Nilai p-value (Asymp. Sig) < 0,05, H0 diterima yaitu bahwa tidak ada
perbedaan nyata antara
return
strategi
buy and hold
dan strategi
constant mix
.
-
Hipotesis 2. Nilai p-value (Asymp. Sig) < 0,05, H1 diterima yaitu bahwa ada
perbedaan nyata antara
return
strategy
buy and hold
dan strategi CPPI.
-
Hipotesis 3. Nilai p-value (Asymp. Sig) < 0,05, H1 diterima yaitu bahwa ada
perbedaan nyata antara
return
strategi
constant mix
dan strategi CPPI.
4.5 Analisis Strategi Alokasi Aset Ideal Untuk Masing-Masing Negara
Emerging Market
Jika diasumsikan bahwa tiap-tiap negara adalah sebagai sebuah portoflio, maka
dapat ditentukan strategi manakah yang layak diimplementasikan atau dipilih dari
ketiga strategi
dynamic asset allocation
tersebut. Evaluasi portofolio kali ini akan
menggunakan
reward to volatility ratio
atau sharpe ratio untuk mengukur seberapa
unggul
trade off
dari
risk premium
dan risiko yang diukur dari standar deviasi dari
tiap-tiap portofolio dari strategi
dynamic asset allocation
. Adapun rumus untuk
menghitung sharpe ratio adalah
hasil adalah
return
aritmatik dari tiap-tiap negara berdasarkan tiap-tiap strategi
dynamic asset allocation
yang telah disajikan dalam informasi tabel di bagian
sebelumnya, tingkat suku bunga aset bebas risiko adalah
US Treasury Bill rates
periode 1 tahun di tahun 2013
4yang dihitung tingkat suku bunga per bulan secara
proporsional yaitu sebesar 0,28%, standar deviasi adalah standar deviasi dari
tiap-tiap negara negara berdasarkan strategi dynamic asset allocation. Hasil perhitungan
sharpe ratio dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Perhitungan Sharpe Ratio
Rf = 0,28% Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapura
B&H 60/40
Arithmatic Mean 1,47% 0,65% 1,14% 0,61% 0,56% St. Deviation 5,29% 2,62% 4,30% 4,84% 3,90%
Sharpe Ratio 22,53% 13,92% 20,02% 6,89% 7,16%
Constant mix
(60/40)
Arithmatic Mean 1,36% 0,61% 1,02% 0,78% 0,51% St. Deviation 4,05% 2,33% 3,47% 3,88% 3,19%
Sharpe Ratio 26,65% 14,27% 21,35% 12,77% 7,11%
CPPI
Arithmatic Mean 1,75% 0,84% 1,45% 1,07% 0,79%
St. Deviation 6,51% 3,83% 5,71% 6,06% 5,22%
Sharpe Ratio 22,62% 14,56% 20,51% 13,09% 9,83%
Karena sharpe ratio mengukur
trade off
antara
risk premium
dengan tingkat risiko
suatu portofolio atau aset, maka semakin besar nilai sharpe ratio menunjukkan
semakin baik kinerja portofolio atau aset. Dari hasil perhitungan di atas terlihat
bahwa tiap-tiap negara memiliki keunggulan dari penerapan strategi
dynamic asset
allocation
-nya masing-masing. Indonesia dan Filipina dengan strategi
constant mix
memiliki nilai sharpe ratio yang lebih tinggi dibanding dengan strategi yang lain,
sedangkan Malaysia, Thailand, dan Singapura lebih unggul dengan srategi
constant
proportion portfolio insurance
(CPPI)
5. Kesimpulan
Dari sisi ekspektasi imbal hasil dan tingkat risiko terlihat adanya
trade off
yaitu
negara dengan tingkat ekspektasi imbal hasil yang tinggi menawarkan risiko yang
lebih tinggi pula. Namun, jika dilihat dari segi korelasi secara rata-rata indeks negara
emerging market
Asia Tenggara memiliki korelasi cenderung menguat dengan
volatilitasnya masing-masing. Seperti yang dikemukakan oleh Bekaert & Harvey
(2003) negara
emerging market
memiliki
contagion effect
atau saling keterkaitan
dengan negara-negara berkembang lain. Oleh karena itu apabila terjadi krisis,
indeks negara-negara berkembang dapat bergerak secara searah dan hal ini harus
menjadi perhatian dari investor.
4