• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Theosofi dan Kaum Adat di Minangkabau

Penganut Theosofi di Minangkabau menolak penegakkan syariat yang dianggap ancaman terhadap adat istiadat Minangkabau. Padahal syariat yang ingin ditegakkan ketika itu hanyalah ingin menghapus adat istiadat yang bertentangan

dengan akidah Islam .

Oleh: Artawijaya

Gerakan Theosofi tak hanya ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat,

organisasi kebatinan Yahudi ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka

yang dididik di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial, elit setempat yang

memiliki kedekatan dengan Belanda, dan para penganut tarekat. Nama-nama elit

nasional yang berasal dari Sumatera Barat, seperti Mohammad Yamin, Bahder

Djohan, Mohammad Amir, dan lain-lain yang kebanyakan tergabung dalam Jong

Sumatranen Bond (Perhimpunan Pemuda Sumatera), adalah para anggota Theosofi .

Selain itu, para penganut tarekat juga menganggap Theosofi sama dengan tasawuf,

sebagaimana anggapan ini juga pernah hinggap pada Haji Agoes Salim yang sempat

menjadi anggota Theosofi dan kemudian keluar dari keanggotaan setelah mengetahui

tujuan sesungguhnya dari Theosofi yang tidak sejalan dengan Islam. Haji Agoes

Salim bahkan pernah menerjemahkan buku berjudul "Kitab Theosofi" yang ditulis

(2)

Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut Theosofi di Minangkabau juga memiliki

kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka juga terlibat dalam permusuhan

dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang menginginkan ajaran Islam bersih

dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat yang bukan berasal dari Islam atau yang

bertentangan dengan Islam. Di Sumatera Barat, tokoh kaum adat yang menginginkan

tradisi tetap berada di atas hukum syariat, adalah mereka yang tercatat sebagai

penganut organisasi Theosofi. Sedangkan mereka yang menginginkan tradisi

Minangkabau bersih dari unsur-unsur bid'ah, khurafat, dan takhayul yang berasal dari

tradisi di luar Islam, disebut sebagai kaum muda Islam. Namun, kaum adat menyebut

mereka yang ingin mengadakan pemurnian ajaran Islam ini dengan sebutan

"Kelompok Paderi" atau "penganut Wahabi ."

Dalam sejarah tercatat, mereka yang dituduh sebagai pewaris gerakan Paderi dan

pembawa paham Wahabi, serta penentang kelompok adat adalah Syaikh Abdul Karim

Amrullah (ayah dari Buya Hamka), Haji Miskin, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil

Djambek, dan Syekh Achmad Khatib. Mereka sendiri tidak pernah menyebut dirinya

sebagai kelompok Wahabi dan tak pernah juga menyatakan dirinya sebagai pewaris

gerakan Paderi. Semua label itu diberikan oleh kaum adat, yang pada masa lalu

khawatir bahwa adat istiadat, tradisi dan budaya Minangkabau tergerus dengan syariat

Islam. Namun begitu, kelompok yang dituduh sebagai penganut Wahabi berhasil

menjadikan Minangkabau sebagai wilayah yang kental dengan nuansa syariat Islam,

dengan semboyannya yang terkenal hingga kini: Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah

(3)

Siapa tokoh penganut Theosofi di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang

juga penganut Theosofi adalah Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi,

Sutan Maharadja juga dikenal sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh.Datuk Sutan

Maharadja yang bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit

Air, Solok, Sumatera Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah elit yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan

ayahnya dengan pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer,

Sutan Maharadja dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam .

Ayah Sutan Maharadja bernama Datuk Bandaro. Sosok sang ayah dikenal sangat

memusushi ulama dan menjunjung tinggi adat istiadat. Datuk Bandaro

mengkhawatirkan sepak terjang para ulama yang berusaha memurnikan ajaran Islam

dari tradisi dan adat istiadat di luar Islam, sebagai pewaris gerakan Paderi atau

penganut Wahabi yang ingin menghapuskan adat dan tradisi Minangkabau. Padahal,

apa yang dilakukan para ulama ketika itu, sekadar membersihkan Minangkabau dari

adat dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Para ulama ketika itu dengan tegas

menyatakan bahwa Islam yang merupakan jati diri rakyat Minangkabau harus bersih

dari adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi

Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

.

Datuk Sutan Maharadja terinspirasi dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipelopori oleh seorang Yahudi Dunamah anggota Freemason, Mustafa Kemal At-Taturk. Karena terinspirasi dengan revolusi yang terjadi di Turki,

(4)

kelestarian adat istiadat Minangkabau dan menjauhkannya dari pengaruh Kesultanan

Aceh, yang pada masa lalu sangat menjalin hubungan erat dengan Khilafah

Utsmaniyah di Turki. Oleh para pendukungnya, Sutan Maharadja kemudian mendapat

gelar "Datuk Bangkit" karena usahanya untuk membangkitkan kembali adat istiadat

Aceh, yang menurutnya pada masa lalu sudah tercemar oleh pengaruh kesultanan

Aceh .

Datuk Sutan Maharadja selalu menyatakan dirinya sebagai penganut Theosofi. Ia juga

menegaskan pentingnya pendidikan Barat dan perlunya menjaga keteguhan adat

istiadat Minangkabau dari pengaruh luar, khususnya Aceh yang berjuluk "Serambi

Makkah." Untuk melawan gerakan kaum muda yang ia sebut sebagai pewaris

"Kelompok Paderi dan Wahabi" ia dan beberapa bangsawan Minangkabau kemudian

mendirikan Sarikat Adat Alam Minangkabau (SAAM) pada 1916 .

Untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan mengkonter pemahaman yang ia sebut

sebagai "Wahabi", Sutan Maharadja kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat kabar ini menulis, "Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda,

red)". Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya juga sangat jelas

mendukung pemerintah Hindia Belanda .

Sutan Maharadja menyerang kelompok kaum muda lewat tulisan-tulisannya di surat

kabar yang ia pimpin. Ia dengan tegas menolak upaya kaum muda dengan

(5)

ini sampai membuat Haji Abdullah Ahmad, tokoh Islam yang disebut Wahabi oleh

Sutan Maharadja, menyebut kelompok kaum adat, terutama Sutan Maharadja sendiri,

sebagai orang yang "Tak tentu agamanya dan tak tentu adatnya ".

Selain Sutan Maharadja, tokoh kelompok Sarikat Alam Adat Minangkabau (SAAM)

yang menjadi anggota Theosofi adalah Abdul Karim. Di samping menolak

penegakkan syariat Islam ala Wahabi yang dianggap bisa menghancurkan adat istiadat

Minangkabau , pada masa lalu SAAM juga menolak pelajaran Islam masuk dalam

sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka khawatir, pelajaran agama Islam yang

masuk ke sekolah-sekolah adalah pelajaran yang mengadopsi pemahaman Wahabi

yang bisa menjadi ancaman bagi adat istiadat masyarakat Minangkabau .

Untuk menolak pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat kemudian

membuat artikel di Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 28 Oktober 1918. Mereka menulis,"Relakah orang-orang Theosofi seperti Engku A Karim dan lain-lain bila

anak kemenakan beliau itu akan dapat pelajaran agama Islam di sekolah, yaitu kalau

yang diajarkan agama Islam itu hanya fekah (fikih) atau hukum syara' saja? Kecuali

kalau yang akan diajarkan di sekolah itu ialah pelajaran yang perbaikan hati,

pensucian hati, supaya berhati suci dan berhati mulia. Sedang sekolah-sekolah agama

Islam yang diadakan sekarang kalau cuma namanya saja yang sekolah agama Islam,

padahal yang diajarkan melainkan hukum syara' atau fikih saja. Pendeknya, yang

diajarkan adalah Arabich Cultuur (Kultur Arab) ".

Selain memuat penolakan terhadap pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum

(6)

bahwa sekolah Adabiah yang dikelola oleh Haji Abdullah Ahmad memungut biaya

yang sangat mahal kepada anak-anak didiknya. Kemudian, dengan bahasa yang

sangat menjilat kaum adat meminta kepada pemerintah Belanda untuk membangun

sekolah HIS (Holland Inlands School) lainnya di Minangkabau .

Pada masa lalu, di Minangkabau kelompok yang disebut pewaris Kelompok Paderi

dan penganut paham Wahabi memang menolak keberadaan Theosofi dan

kelompok-kelompok tarekat lainnya yang dianggap berseberangan dengan akidah Islam. Untuk

membantah kelompok kaum muda yang disebut Wahabi, Sutan Maharadja kemudian

membuat sebuah tulisan di Oetoesan Melayoe pada 11 Juni 1917 dengan judul "Theosofie dan SAAM (Sarikat Alam Adat Minangkabau". Ia menulis, "...sepanjang

kata murid Haji Abdullah Ahmad itu, Theosofi dikatakan sebagai agama baru.

Dikatakan agama baru oleh murid Haji Abdullah Ahmad, karena pada gurunya tak ada

ilmu tasauf dan tidaklah ia tahu bahwa ilmu tasauf itu bukanlah agama baru,

melainkan sudah sejak dari zaman Nabi Adam. Theo itu artinya "Allah". Sofie itu

artinya ilmu. Jadi Theosofie itu ilmu Allah, ma'rifatullah..." demikian tulis Sutan

Maharadja .

Tokoh Minangkabau, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut Buya

Hamka, memiliki pandangan yang berbeda dengan Datuk Sutan Maharadja terkait

dengan Theosofi. Hamka yang juga sering dicap sebagai Wahabi mengatakan,

Theosofi bisa masuk ke dalam kelompok shabi'un, orang yang keluar dari agama Nasrani, atau keluar dari agama Islam, kemudian membuat agama sendiri. Kelompok

sa'biun/sa'biin mempercayai bintang-bintang dan ilmu-ilmu okultisme, seperti sihir, tenung, ramalan nasib, dan lain-lain

(7)

Dalam Tafsir Al-Azhar yang menjadi karya besarnya, Buya Hamka menulis ,

" Menilik pada pokok ambilan bahasa ini, maka

penulis tafsir ini (Buya Hamka, red) berpendapat bahwasanya

gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di

zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh

Annie Besant dan Madame Blavatsky di India beberapa

puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi'in

ini. Sebab, maksud gerakan Theosofi ialah hendak

mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segala

agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka

tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan

hendak mempertemukan intisari segala agama, memperdalam

rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala

agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.

Pada pendapat saya, meskipun dalam tafsir-tafsir lama tidak

ditemukan pendapat seperti ini, Theosofi adalah semacam

Shabi'in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam yang agung di Hindutan yang terkenal itupun

mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu

membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (Agama Tuhan).

Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api

Suci Iran dalam istana di Agra, dan beliau suruh

(8)

dan beliau bertekun ibadat di bulan puasa. Dan inipun

semacam shabi'in

".

1

(

Terkait dengan istilah Wahabi yang seringkali digunakan oleh Kaum Adat, dalam

buku "Perbendaharaan Lama", Buya Hamka menulis ,

" Gerakan agama Islam yang militan langsung dari

Mekkah, hendak menggerakkan kemajuan agama

Islam dan membangkitkan semangat tauhid di alam

Mingakabau. Belanda yang lebih tahu dari pada orang

Minangkabau sendiri apa artinya Islam murni.

Belanda yang selalu mendapat advis dari ahli-ahli

orientalis tentang semangat Islam, melihat bahwa

Gerakan Islam yang timbul di Padang darat itu akan

sangat berbahaya bagi rencananya menaklukkan

seluruh Sumatera. Belanda telah mengetahui bahwa

Gerakan Wahabi di Tanah Arab, yang telah menjalar

ke Minangkabau itu, bisa membakar hangus segala

rencana penjajahan. Bukan saja di Minangkabau,

bahkan di seluruh Sumatera, bahkan di seluruh

Nusantara ini. Dipertubi-tubikanlah propaganda halus

ke pedalaman Minangkabau, di kalangan ninik-ninik

mamak dalam nagari-nagari dan ke dalam keluarga

kerajaan sendiri bahwa Gerakan Wahabi atau Paderi

yang berbahaya itu tidak dapat dibendung kalau

1

(9)

hanya oleh kekuatan adat. Sebab benteng

Minangkabau selama ini adalah adatnya.

Minangkabau tidak mempunyai persediaan senjata

yang lengkap, dan tidak pula mempunyai tentara

besar. Bertambah maju Gerakan Wahabi dari Mekkah

ini, akan bertambah habis pamor Daulat Kebesaran

Tuanku Ninik Mamak Nan Gadang Besar bertuah..."

demikian propaganda Belanda, sebagaimana ditulis

Hamka. Karena itu, meletuslah Perang Paderi, yang

diantaranya dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, yang

berhadapan dengan Belanda dan kaum pemangku

adat .

Lalu, benarkah Theosofi itu tasauf dan ilmu mengenal Allah sebagaimana pernyataan

Datuk Sutan Maharadja? Dalam buku The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan, Theosofi adalah the wisdom religion (agama kebijaksanaan) yang berusaha

mempersatukan agama-agama dalam sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan

nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang

dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak

para gentiles/goyim (non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki

kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang

(10)

Theosofi mempunyai menyatukan agama-agama dalam sebuah puncak persaudaraan

universal, yang pada ujungnya justru menihilkan sama sekali agama-agama yang ada.

Karena, masing-masing orang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar, dan

masing-masing orang harus mengakui bahwa semua agama sama, menuju pada yang

sama, dan mengabdi pada kemanusiaan. Theosofi adalah perkumpulan sinkretisme

yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama kemanusiaan,

agama budi, agama kemerdekaan, agama universal dan lain-lain. Dan, atas nama

"menjaga kearifan lokal masa lalu" kelompok Theosofi pada masa lalu juga berusaha

menjadikan nilai-nilai tradisi berada di atas agama. Jadi, agama tak boleh

mengalahkan tradisi. Inilah yang juga menjadi sikap Datuk Sutan Maharadja, yang

berusaha mati-matian untuk menjaga agar adat istiadat dan tradisi tak terhapus oleh

ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara .'

Jika Sutan Maharadja memang anggota Theosofi sejati, tentu ia sangat tahu siapa saja

pendiri Theosofi, apa latarbelakangnya, dan bagaimana ajaran-ajarannya. Jika ia

sudah tahu tapi masih menjadi penganut Theosofi, maka bisa dipastikan ia tak lain

adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial, yang pada masa lalu banyak dari

elit-elitnya adalah anggota Theosofi dan Freemason. Sebagai aliran kebatinan Yahudi

yang memiliki banyak pemahaman sesat seperti pluralisme agama, kesatuan wujud

hamba dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti), kesatuan Tuhan bagi semua agama-agama yang ada, tentu Theosofi sangat berbahaya bagi masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Bertepatan dengan tanggal 26 Februari 1990 berdasarkan kesepakatan bersama Direksi PNP/PTP I - XXIX tanggal 26 Februari 1990 yang kemudian disetujui oleh

Maka dari itu, sangat diperlukan adanya peningkatan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan dalam rangka meningkatkan taraf

Akan tetapi menurut pengamatan di beberapa program studi Pendidikan Bahasa Arab maupun sastra Arab, dan jurusan Terjemah bahwa (1) pengajaran bahasa Arab masih banyak

Agar respon dari siswa tetap ada dalam proses belajar mengajar, guru dapat melakukan pindah gilir terhadap pertanyaan yang diajukan, misalnya pertanyaan yang diajukan pada salah

Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan usahatani,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pengaruh Faktor

Tujuan sekolah merupakan penjabaran dari misi, Tujuan sekolah merupakan penjabaran dari misi, oleh karena itu tujuan harus selaras dengan visi. oleh karena itu tujuan harus

Tetapi, bagi para pengusaha yang bisnisnya bergantung kepada pemerintah, pilkada merupakan momentum untuk “mengamankan” keberlangsungan usaha mereka dengan cara