• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulang (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulang (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir

dan Laut

Oleh : Septian Julifar Syamsul Huda SKM

Dewasa   ini   sumberdaya   alam   dan   lingkungan   telah   menjadi   barang   langka   akibat   tingkat ekstraksi yang berlebihan (over­exploitation) dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati   ia   secara   ekonomi   dapat   meningkatkan   nilai   jual,   namun   di   sisi   lain   juga   bias menimbulkan   ancaman   kerugian   ekologi   yang   jauh   lebih   besar,   seperti   hilangnya   lahan, langkanya   air   bersih,   banjir,   longsor,   dan   sebagainya.   Kegagalan   pengelolaan   SDA   dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang   ada.   Kegagalan   kebijakan   (lag   of   policy)   terindikasi   terjadi   akibat   adanya   kesalahan justifikasi para policy maker

(2)

sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada   pihak­pihak   yang   berkepentingan   dan   berkewajiban   mengelola   dan   melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk bargaining position masyarakat   sebagai   pengelola   lokal   dan   pemanfaat   SDA   dan   lingkungan.   Misalnya   saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang   perdulinya   publik   swasta   untuk   melakukan   internalsasi   eksternalitas   dari   kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik­pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari   proses   ekstrasi   minyak   yang   tersembunyi,   dan   sebagainya.   Ketiga   adanya   kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan   oleh   kurangnya   perhatian   pemerintah   dalam   menanggapi   persoalan   lingkungan. Kegagalan   pemerintah   (lag   of   government)   terjadi   akibat   kurangnya   kepedulian   pemerintah untuk  mencari  alternatif  pemecahan  persoalan  lingkungan  yang  dihadapi  secara  menyeluruh dengan   melibatkan   segenap   komponen   terkait   (stakeholders).   Dalam   hal   ini,   seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang   terkoordinasi.   Dampaknya,   proses   penciptaan   co­existence   antar   variabel   lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan tanggul­tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis. 

Pentingnya Mengelola Lingkungan Pesisir dan Laut 

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat­sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses­proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan  PEsisir  Terpadu,  wilayah pesisir  didefinisikan sebagai  wilayah  peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Kedua definisi wilayah pesisir tersebut di atas secara  umum  memberikan  gambaran  besar,  betapa  kompleksitas aktivitas ekonomi  dan ekologi terjadi di wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman,   perhubungan,   dan   sebagainya   memberikan   tekanan   yang   cukup   besar   terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir dan laut. 

(3)
(4)

keinginan, tujuan serta aspirasinya. Lebih lanjut Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa PBM menyangkut   pula   pemberian   tanggung   jawab   kepada   masyarakat   sehingga   mereka   dapat mengambil   keputusan   yang  pada   akhirnya   menentukan   dan  berpengaruh   pada   kesejahteraan hidup   mereka.   Jadi,   dapat   disimpulkan   bahwa   pengelolaan   yang   berbasis   masyarakat (PBM/CBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di suatu tempat dimana   masyarakat   lokal   di   tempat   tersebut   terlibat   secara   aktif   dalam   proses   pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil­hasilnya. Lebih lanjut Carter (1996) mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan kebutuhan­kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Namun demikian, dalam perkembangannya konsep pengelolaan berbasis masyarakat (CBM) mengalami perubahan dengan dikembangkannya satu konsep yang disebut “CO­Managemen”. Dalam konsep “Co­Management” ini pengelolaan lingkungan pesisir dan   laut   tidak   hanya   melibatkan   unsur   masyarakat   lokal   saja   tapi   juga   melibatkan   unsur pemerintah.   Hal   tersebut   dilakukan   untuk   mengurangi   adanya   tumpang   tindih   kepentingan pemanfaatan   di   wilayah   pesisir   dan   lautan.   Perlu   ditegaskan   bahwa   dalam   konsep   Co­ Management, masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga praktek­praktek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang masih murni oleh masyarakat (CBM) menjadi embrio dari penerapan konsep Co­Management tersebut. Bahkan secara lebih tegas Gawell (1984) dalam White et al (1994) menyatakan bahwa tidak ada  pengelolaan sumberdaya alam dan  lingkungan yang  berhasil  (dalam  studi Gawell adalah ekosistem terumbu karang) tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (the users) dari sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Selanjutnya Pomeroy and Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co­Management akan berbeda­beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, maka Co­management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh permasalahan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Penerapan Co­management yang baik dan sukses memerlukan waktu, biaya dan upaya bertahun­ tahun. Pomeroy dan Williams (1994) mengemukakan sembilan kunci kesuksesan dari model Co­ Management, yaitu (i) batas­batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii) kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) manfaat harus lebih besar dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan, (vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. 

(5)

masyarakat juga mempunyai tanggung jawab dan turut berperanserta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. 

Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat 

(6)

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat, seperti apakah kelembagaan lokal   tersebut   sejalan   dengan   tujuan   dari   partisipasi   lokal   ?   apakah   pembuatan   keputusan dilakukan   secara   demokratis,   menjunjung   tinggi   persamaan   dan   mempunyai   peran   dan kepemilikan yang seimbang serta menganut konsep keberlanjutan sumberdaya (Konservatif) ? Jika pertanyaan­pertanyaan tersebut tidak lengkap terjawab, maka perlu dilakukan upaya untuk membuat kesepakatan baru secara bersama yang bersifat melembaga dan atau mentransformasi kesepakatan lokal yang telah ada. Upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis   masyarakat   sebaiknya   dilakukan   dengan   meminjam   petunjuk   teknis   pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) yang diajukan COREMAP (1997). 

Persiapan 

Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu (i) sosialisasi rencana   kegiatan   dengan   masyarakat   dan   kelembagaan   lokal   yang   ada,   (ii) pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan (iii) penguatan kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru. 

Perencanaan 

Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut berbasis masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu (i) proses perencanaannya berasal dari   dalam   dan   bukan   dimulai   dari   luar,   (ii)   merupakan   perencanaan   partisipatif,   termasuk keikutsertaan   masyarakat   lokal,   (iii)   berorientasi   pada   tindakan   (aksi)   berdasarkan   tingkat kesiapannya,  (iv)   memiliki   tujuan   dan  luaran   yang  jelas,  (v)  memiliki  kerangka   kerja   yang fleksibel bagi pengambalian keputusan, (vi) bersifat terpadu, dan (vii) meliputi proses­proses untuk pemantauan dan evaluasi. 

Persiapan 

Sosial Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus   dipersiapkan   secara   sosial   agar   dapat   (i)   mengutarakan   aspirasi   serta   pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu­isu lokal yang merupakan aturan­aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi   yang   diusulkan   yang   dianggap   dapat   berfungsi   sebagai   jalan   keluar   untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (iii) berperanserta dalam perencanaan

dan   pengimplementasian   rencana   tersebut.   

Penyadaran Masyarakat 

Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu (i) penyadaran tentang nilai­nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta manfaat penanggulangan kerusakan lingkungan,   (ii)   penyadaran   tentang   konservasi,   dan   (iii)   penyadaran   tentang   keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana. 

Analisis Kebutuhan 

(7)

memerlukan tindak lanjut, (v) identifikasi pemanfaatan kebutuhan­kebutuhan yang diinginkan di masa depan, (vi) identifikasi kendala­kendala yang dapat menghalangi implementasi yang efektif dari rencana­rencana tersebut, dan (vii) identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan. 

Pelatihan Keterampilan Dasar 

Pelatihan keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, yaitu (i) pelatihan mengenai perencanaan upaya penanggulangan kerusakan, (ii) keterampilan   tentang   dasar­dasar   manajemen   organisasi,   (iii)   peranserta   masyarakat   dalam pemantauan dan pengawasan, (iv) pelatihan dasar tentang pengamatan sumberdaya, (v) pelatihan pemantauan kondisi sosial ekonomi dan ekologi, dan (vi) orientasi mengenai pengawasan dan pelaksanaan   ketentuan­ketentuan   yang   berkaitan   dengan   upaya   penanggulangan   kerusakan lingkungan dan pelestarian sumberdaya. 

Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan 

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiarto (1976) definisi wilayah pesisir yang di gunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan,

Ruang lingkup wilayah pesisir meliputi ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terpengaruh lautan, masih ditambah

Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan (seperti pasang surut, percikan air gelombang, intrusi air laut dan angin

Wilayah pesisir ( coastal area ) merupakan bentang lahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut yang ditandai dengan terbentuknya zona pecah gelombang ke arah

Menurut Bengen (2004), kompleksitas yang tinggi di wilayah pesisir dikarenakan (1) Penentuan wilayah pesisir baik kearah darat maupun kearah laut sangat bervariasi

Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir  wilayah pesisir  sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem

Wilayah pesisir didefenisikan sebagai suatu wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah daerah yang tergenang air maupun yang

Pengertian daerah pesisir menurut UU no. 27 tahun 2007 adalah daerah peralihan antara darat dan laut sampai 12 mil laut ke arah laut dan sebatas kecamatan pesisir ke arah