• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Cosmopolitan Globalisasi dan Masa D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desa Cosmopolitan Globalisasi dan Masa D"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Menjaga Kekayaan Desa Sebagai Amanah Konstitusi

Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bukan hanya sebuah kata-kata. Pasal tersebut diciptakan melalui pertimbangan yang dalam, karena sumber daya alam adalah anugerah dari tuhan yang maha esa. Oleh karena itu, konstitusi sebagai buah perjuangan para pendiri bangsa lebih dari sekedar sebuah simbol belaka karena kemerdekaan tidaklah diraih dengan cuma-cuma.

Konstitusi tidak lain merupakan sebuah janji yang tentunya menjadi tugas para generasi selanjutnya. Dengan kata lain perjuangan kemerdekaan Indonesia tidaklah sebaiknya berhenti pada tahun 1945.

Akan tetapi, fenomena yang dihadapi Indonesia kekinian rupanya bertolak belakang dengan amanah Konstitusi Indonesia 1945 pasal 33. Bahkan dalam era pasca reformasi, kata pembangunan hanyalah menjadi mantra. Jika disimak pembangunan desa pasca reformasi tidak lagi dilandasi oleh kontrol yang kuat dari negara. Melainkan pembangunan kini menjadi sangat bergantung pada investasi asing oleh organisasi internasional dan sektor swasta. Bahkan pasca krisis 2008, ketika banyak negara mulai mengembalikan lagi kontrol pemerintah yang ketat dalam menjaga kekayaanya, Indonesia justru mempersilahkan swasta asing untuk menguasai aset negara. Bahkan banyak sekali undang-undang dan peraturan pemerintah yang menganut ketentuan rezim pasar bebas. Undang Undang yang tak ubahnya sebagai bentuk “izin” negara untuk melegalisasi eksploitasi kekayaan alam.

“Lalu siapakah yang mampu untuk mengingatkan kembali kepada

(2)

masyarakat, mulai dari gerakan protes rakyat atas kenaikan BBM, hingga nasionalisasi beberapa perusahaan multinasional. Sebuah gerakan yang menunjukkan hasrat rakyat yang begitu menggelora untuk beralih posisi dari sekedar penonton menjadi sang aktor. Namun ironi ketika drama pergerakan tersebut justru hanya menjadi “commercial break” yang muncul sekilas lalu hilang seketika. Kini, rakyat sedang menyaksikkan adegan dimana Negara dan korporasi berduet dalam teater kekuasaan.

Oleh karenanya, kemerdekaan tidak hanya sekedar dirayakan namun juga diisi oleh pembangunan. Namun kata pembangunan di Republik Indonesia bermakna ganda. Entah mengapa kata pembangunan hingga kini tidak bisa dihilangkan dengan mudahnya. Di satu sisi, pembangunan disikapi dengan

sukacita. Di sisi lain, pembangunan menyisakan trauma yang tentunya belum bisa dilupakan begitu saja oleh masyarakat desa. Sebuah trauma yang mengingatkan bagaimana kondisi pada zaman orde baru yang pro pembangunan desa. Namun, Jargon pembangunan desa dengan segala infrastrukturnya ternyata adalah akses bagi korporasi untuk penyerapan sumber daya.

Para pendiri bangsa seperti Bung Hatta, sebetulnya telah membuat gagasan mengenai pembangunan desa. Gagasan-gagasan tersebut tertuang dalam karyanya yang berjudul Beberapa Fasal Ekonomi. Bung Hatta mengawali ulasannya

tentang pedesaan dengan membedah perbedaan antara desa dengan kota.

Menurutnya, perbedaan antara desa dengan kota di Indonesia terutama disebabkan oleh pengaruh kolonialisme Belanda. Secara detail, diungkapkan oleh Hatta, kemunculan kota dalam sejarah Nusantara merupakan dampak langsung dari kolonisasi Belanda. Hal ini berbeda dengan kemunculan kota dalam peradaban Eropa maupun peradaban-peradaban tua di dunia lainnya, yang disebabkan oleh kemajuan tenaga produktif masyarakat.1

Sementara di sisi lain, desa merupakan entitas sosial yang telah ada dalam masyarakat Nusantara jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang. Latar belakang sejarah yang berbeda ini menyebabkan perbedaan antara desa dengan kota di segala aspek makin tajam. Bahkan, perbedaan tersebut memiliki

(3)

kecenderungan ke arah kesenjangan setelah Indonesia merdeka. Kesenjangan itulah yang hingga kini membuat desa hanya menjadi penyedia bahan pangan serta sumber alam yang ekonomis bagi masyarakat kota.

Sementara, kota yang cepat mengalami modernisasi dari desa telah memiliki hubungan sosial produksi industrial yang didukung oleh alat produksi dengan kapasitas besar. Kapasitas produksi yang besar itu tentu membutuhkan pasar yang besar pula. Maka di sinilah peran masyarakat desa selaku konsumen atau pasar potensial, dibutuhkan oleh masyarakat kota. Sejak era kolonial, desa telah menjadi tujuan utama penjualan hasil produksi dari kota. Maka, kemiskinan yang terjadi di pedesaan akan membuat masyarakat kota kehilangan pasar. Di sinilah keterikatan antara rakyat desa dengan masyarakat kota terlihat erat. Tentunya, kemiskinan yang melanda pedesaan akan berdampak juga kepada pertumbuhan ekonomi kota. Hal ini mengantarkan kita pada konklusi sederhana, bahwasanya kemiskinan di pedesaan harus dientaskan, bukan hanya demi kesejahteraan masyarakat desa, melainkan juga masyarakat kota.

Sepanjang sejarahnya pencarian sumber daya alam memang menjadi titik sentral dalam perjalananan sejarah manusia pasca revolusi industri. Sebelumnya pada abad kedelapan belas Robert Malthus telah mengingatkan kita bahwasanya perkembangan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertumbuhan manusia. Robert Malthus menekankan bagaimana perkembangan sumber daya alam berada dalam deret hitung, sedangkan perkembangan manusia berlangsung secara deret ukur. Implikasinya pada suatu titik kulminasi, maka manusia akan mengalami kelangkaan sumber daya alam. Namun, perkembangan inovasi dan teknologi manusia modern membuat aktivitas ekonomi hingga kini masih berjalan dengan semestinya. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan inovasi manusia untuk mengatasi kelangkaan tersebut bukan berarti menunjukkan jika prediksi Malthus hanyalah dongeng. Ramalan Malthus hanya tertunda untuk beberapa saat

sebagaimana ramalan Karl Marx.2

Bahkan, ramalan Robert Malthus tersebut semakin menunjukkan gemanya dalam era krisis tahun 2008. Krisis energi kembali menjadi isu yang berkembang

(4)

pesat ditengah perkembangan akumulasi kapital ditambah dengan jumlah manusia yang juga semakin berkembang. Negara industri maju seperti Eropa dan Amerika Serikat memegang beban yang besar dalam kaitanya dengan upaya

mempertahankan industrialisasinya. Problem semakin bertambah ketika minyak dan sumber daya alam lainya sebagai penyokong kegiatan industri semakin hari semakin mahal karena faktor kelangkaan. Kelangkaan tersebut diperparah oleh instabilitas politik yang terjadi di negara penghasil sumber daya alam seperti Afrika Utara dan Arab. Terlebih lagi negara industri maju notabene bukan penghasil sumber daya alam dan mineral. Sehingga beberapa langkah strategis harus dipikirkan negara maju untuk menghadapi prediksi Malthusian yang mulai terlihat nyata dalam konteks kekinian.

Beberapa fenomena tersebut membuat penulis perlu untuk kembali pada dialektika materialisme Marx sebagai pisau analisis dalam karya sederhana ini. Bukan manusia yang menguasai materi, namun materi-lah yang menguasai manusia.3 Setidaknya ungkapan tersebut menunjukkan tidak selamanya sains, teknologi dan modernitas dapat melampaui materi sebagai aspek tak tergantikan dalam kehidupan manusia.4 Bahkan inovasi dan teknologi tersebut hanyalah bagian dari dilema yang sedang dihadapi manusia era industrilisasi. Dengan kata lain teknologi bukanlah subyek, melainkan hanyalah obyek dalam proses

dialektika materialisme. Terlebih lagi, perkembangan sumber daya alam

kontemporer tak lagi sanggup memuaskan perkembangan keserakahan manusia yang ternyata bahkan melebihi “deret ukur”.

Daya tahan sistem Kapitalisme yang masih bertahan hingga sekarang terhadap prediksi suram Marx dan kaum kiri menjadi sebuah misteri. Misteri tersebut berupaya dikupas oleh David Harvey yang menjelaskan adanya

kemampuan metafisika kapitalisme dalam mereproduksi ruang (reproduction of space). Akumulasi kapital tidak bisa lincah berakselerasi dalam ranah (Ruang tetap) spatial fix kedaulatan negara (sovereignity), sehingga kapitalisme

3 Lebowitz, Michael. A. Beyond Capital, Marx Political Economy of Working Class. New York: Palgrave Macmillian, 2003.

(5)

membutuhkan ruang tambahan yang disebut spatio temporal fix. 5 Kata Temporal dan fix dalam ruang tetap temporal (spatio temporal fix) perlu untuk dibaca dengan cukup kritis karena menggambarkan sebuah perpaduan kata yang saling meng-antagonismekan. Dimana logika “Geo” yang statis bertemu dengan logika politik yang dinamis dan transformatif. Dalam studi ilmu politik, spatio temporal fix merupakan bagian dari geopolitik dan geoekonomi.6 Namun dalam studi politik, aspek spatio (ruang) merupakan sesuatu yang dinamis.

Ekspansi perusahaan multinasional ke wilayah desa di Indonesia secara teoritik dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan spatio temporal fix

yang tak lain sebagai strategi dalam bertahan ditengah kondisi sumber daya alam yang semakin langka. Secara teoritik, Harvey merumuskan antitesa dari tesis Rosa Louxembourg yang menekankan bahwasanya proses produksi kontemporer terjebak dalam rendahnya konsumsi (underconsumption) dan kelebihan produksi (overproduction). Berdasarkan teori Harvey, maka yang menjadi dilema bagi perusahaan multinasional kontemporer justru sebaliknya, overproduction

sekaligus overconsumption karena kelangkaan bahan baku, namun di sisi lain permintaan pasar yang tinggi.

Spatio temporal fix merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang berhasrat melepaskan diri atas kontradiskinya dengan logika territorial.7 Sekalipun dalam beberapa kasus terjadi perselingkuhan antara keduanya, Namun dalam perjalananya juga senantiasa terjadi benturan antara logika territorial dan logika Kapital. Hal tersebut karena logika asal dari territorial (geo) adalah bersifat statis sedangkan logika kapital (political economy) bersifat dinamis. Sebagai contoh, bagaimana kegagalan infiltrasi AS ke Vietnam dan Irak secara Ekonomi

merupakan bukti sejarah bahwa tidak selamanya logika territorial dan logika kapital bisa berkerjasama. Spatio temporal fix inilah sesungguhnya wajah asli dari globalisasi yang acapkali kita dengungkan.

Teori spatio temporal fix menunjukkan sebuah posisi dilematis dalam perekonomian negara industri. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara juga

5 Harvey, David. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontenporer, terjemahan Nailil Printika, diterbitkan oleh Institute for Global Justice dan Insist, 2010.

6 Thuathail, Gerard O. Understanding critical geopolitics: Geopolitics and risk society, Journal of

strategic studies, vol 22, No.3, 1999. Pp. 107-124.

(6)

memiliki fungsi untuk menanggung dampak negatif dari eksplotasi alam. Tentu cukup menyulitkan bagi Indonesia untuk melakukan segregasi kepentingan dengan negara yang memiliki kepentingan nasional masing-masing. Terlebih lagi, banyak negara industri asing memiliki ambisi untuk mengamankan pasokan raw material sebagai antisipasi jangka panjang pasca krisis Global 2008. Sehingga sampai sejauh mana negara-negara pasca krisis 2008 sanggup mengatasi masalah kelangkaan SDA yang semakin hari semakin langka. Setidaknya hal tersebut merupakan problematisasi yang berupaya diungkap oleh tulisan sederhana ini.

Tanpa disadari meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi, komunikasi, informasi dan transportasi dalam era globalisasi telah mendorong akselerasi kapital semakin tanpa batas (borderless). 8 Jan. N Pieterse dalam tulisannya ”Neoliberal Globalization” menyatakan bahwa interdependensi dan integrasi ekonomi global yang berada didalam kerangka ekonomi pasar bebas merupakan suatu nilai yang mendasar dalam globalisasi. Dalam artikel “The Globalization of Production” yang ditulis oleh Eric Thun, menggambarkan perubahan aktivitas produksi pada era globalisasi menjelaskan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah negara dalam memutuskan suatu

kebijakan ditengah gencarnya penetrasi Multinational Corporation (MNC). Secara umum hal ini membawa pada globalisasi yang sifatnya lebih khusus dalam

ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan proses penyatuan aspek-aspek ekonomi dalam sebuah standar yang kemudian difragmentasikan ke seluruh dunia. Manfred Stegger menerjemahkan globalisasi sebagai “a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, and environmental

interconnections and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant”.9

Globalisasi secara perlahan akan membuat kedaulatan negara menjadi tersamarkan. Anggapan bahwa kedaulatan negara semakin samar seiring dengan menyebarnya MNC di seluruh dunia dikemukakan oleh Kenichi Ohmae dalam bukunya yakni The End of Nation State. Dalam perekonomian internasional,

8 Pieterse, Jan. N. “Neoliberal Globalization”, dalam Globalization or Empire?, London :Routledge. 2004.

(7)

globalisasi memiliki kajian spesifik ketika adanya rantai produksi MNC. Namun, anggapan mengenai usangnya negara merupakan fenomena yang sampai saat ini masih diperdebatkan. Hal tersebut kemudian dibantah oleh Kalvajit Singh dalam bukunya yakni Questioning Globalization. Singh berpendapat bahwa tidak semua negara mengalami powerless yang nantinya menjurus pada usangnya nation state

yang diakibatkan oleh aliran modal transnational yang dibawa oleh MNC.. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dalam model ekonomi berbasis pasar bebas sangat mutlak dibutuhkan.

Hubungan yang terjalin antara Negara dan MNC menunjukkan relasi saling ketergantungan diantara keduanya. MNC membutuhkan Negara sebagai tempat yang menyediakan keperluan-keperluan yang dibuthkan oleh MNC seperti infrastruktur dalam menyediakan jalur atau akses-akses komunikasi dan

transportasi dan juga menyediakan sumber daya manusia. Negara membutuhkan MNC sebagai sumber pemasukan negara dan mengentas pengangguran.

Sebaliknya, MNC juga membutuhkan Negara sebagai melalui jaminan keamanan dan perlindungan. Selain itu, MNC juga membutuhkan hukum Negara untuk dapat mengembangkan usahanya ke suatu Negara.10 Selain itu, penanaman pengaruh dari negara asal MNC terhadap cabang dari relokasi MNC menjadi tujuan dari agenda terselubung yakni perluasan wilayah negara atau imperialisme model baru. Bahkan perkembangan menunjukkan jika MNC terbentuk melalui merger dan akuisisi yang dilakukan dengan berbagai perusahaan lokal di berbagai negara berkembang

Oleh karena itu, Liberalisasi perdagangan menjadi syarat ketika MNC ingin berinvestasi guna mengakses pasar diluar negara asalnya. Namun ketika porsi relokasi rantai nilai harus terintegrasi dengan aktivitas global lainnya, maka fragmentasi rantai nilai membutuhkan adanya perendahan tarif atau pajak.

Implikasinya, kekayaan asset MNC tersebut justru mampu melebihi GDP sebuah negara. Sebagai contoh, jumlah karyawan perusahaan Exxon di luar negeri tiga kali lipat dibanding karyawan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Penjualan tahunan perusahaan General Motors lebih tinggi dari GNP Indonesia,

(8)

Turki, dan Yugoslavia. Bahkan diproyeksikan bahwa pada beberapa tahun kedepan sekitar tiga ratus perusahaan multinasional besar akan mengontrol delapan puluh persen aset manufaktur dunia. 11

Multinational Corporations (MNC) atau yang dikenal juga dengan perusahaan multinasional dapat didefinisikan menurut berbagai cara. MNC didefinisikan sebagai perusahaan yang beroperasi di dua atau lebih negara. MNC juga dianggap sebagai sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara yang berbeda yang bergabung melalui ikatan-ikatan strategi bersama. Pengertian lain menyebutkan MNC sebagai perusahaan yang fasilitas pengendalian produksinya dikontrol oleh dua negara atau lebih, dengan kantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.

Bagaimanapun juga MNC datang dengan dua sisi, seperti halnya

globalisasi, tidak semuanya buruk dan tidak semuanya baik. Sisi positifnya MNC datang sebagai agen pembawa transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Transfer teknologi ini sekaligus menjembatani pengetahuan negara maju dan negara berkembang. Menjamurnya MNC juga diakibatkan kebutuhan masyarakat yang kian beragam, dan MNC memanfaatkan kondisi tersebut dengan menyediakan kepada masyarakat ‘sesuatu’ yang mereka butuhkan. Sedangkan sisi buruknya, selain memiliki peran dalam mempengaruhi pembentukan kebijakan negara, bisnis dan korporasi adalah alat untuk mengejar keuntungan.

Buku The Multinational Corporation dari Joseph Stigiltz (2006), menyatakan setidaknya ada lima aspek penting yang harus dilakukan supaya pertumbuhan MNC tidak berdampak negatif. Pertama adalah, setiap korporasi diwajibkan untuk memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR). Program tersebut bertujuan untuk mendekatkan perusahaan dengan masyarakat di lingkungannya dan diharapkan akan dapat meningkatkan tujuan bersama. Contoh nyatanya adalah bagaimana perusahaan dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Yang kedua adalah, pembatasan power dari sebuah korporasi. Pembatasan diperlukan agar tidak muncul monopoli pasar. Hal ini mengingat bahwa semakin besar kekuatan ekonomi sebuah korporasi akan

(9)

semakin besar monopoli. Ketiga, adalah meningkatkan governance perusahaan, yaitu bagaimana perusahaan tidak hanya menjadi shareholders namun juga menjadi stakeholders bagi masyarakat dan karyawan perusahaan. Keempat adalah, pembentukan peraturan global untuk ekonomi. Peraturan yang sudah dibentuk juga dilengkapi dengan kerangka kerja legal secara internasional. Yang terakhir adalah pemberantasan korupsi dimana suatu MNC dapat rusak melalui praktek korupsi di dalam perusahaan. Weatherbee menyatakan korupsi terjadi di negara yang demokrasi lemah, hal ini terlihat dari tidak adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran.12

Secara historis, keberadaan perusahaan multinasional tidaklah baru. Sejarah membuktikan bahwa sejak abad ke-16 perusahaan multinasional sudah ada, misalnya The Dutch East India Company dan the Massachusetts Bay Company. Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia dijalankan atas nama

perusahaan multinasional VOC. Namun, keberadaan perusahaan mutinasional saat ini dengan yang dulu sangatlah berbeda. Terlihat dari segi kekuasaan yang

dimiliknya yang mana MNC zaman dahulu mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakannya sendiri dan bebas melakukan ekspansi ke teritorial lainnya karena sedikitnya jumlah MNC yang saling bersaing. Kini, pemerintah negara berkembang menggunakan ekspansi global MNC sebagai mesin

pertumbuhan ekonomi di negaranya.13 Sehingga kegiatan MNC kini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dan aturan-aturan terkait yang ditentukan oleh home country maupun host country. Hal tersebut semakin parah ketika pasca Perang Dunia II, PBB meliberalisasi perdagangan dunia. Kembali ke sejarah bahwa jauh sebelum para MNC menjamur, istilah tradisional bernama kongsi dagang menjadi populer dengan contoh yakni keberadaan VOC atau Verenigde Oost Indische Compagnie yang merupakan salah satu wujud aplikasi dari kata kongsi itu sendiri. VOC bisa dikatakan merupakan kongsi dagang yang terbesar dan yang kali pertama ada dalam sejarah dunia perdagangan Indonesia.14 Kongsi dagang pun

12 Weatherbee, Donald E., “Human Rights in Southeast Asia’s International Relations”, dalam

International Relations in Southeast Asia. Lanham: Rowman & Littlefield Publisher Inc, 2005.

13 Thun, Eric.“The Globalization of Production”, dalam John Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University Press, 2008.

(10)

kini telah memiliki istilah yang lebih terkesan elite, yaitu Multinational Cooporation (MNC).

Berkembangnyya MNC dimulai sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris serta kawasan Eropa lainnya yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor pendorong. Dua hal utama yang menjadi determinannya adalah theory of location dan principle of comparative advantage.15 Michael Billing menyebutkan bahwa munculnya terminologi globalisasi berkaitan dengan strategi pemasaran global. Dengan kata lain, globalisasi idrntik dengan perencanaan strategis dalam perusahaan transnasional yang dipelopori oleh Coca-Cola, Ford, dan Mc Donald. Sebuah perusahaan didalam menjalankan bisnisnya selalu ingin mencapai profit yang maksimal. Maka, Proses produksi akan ditempatkan di lokasi yang paling efisien yang dekat dengan sumber faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja murah dan sumber produksi lainnya. Selain itu, MNC berusaha untuk mengurangi biaya transportasi dengan memindahkan fasilitas ke tempat yang lebih dekat dengan pasar konsumen supaya tidak menelan biaya distribusi yang besar sekaligus berusaha untuk menghindari hambatan tarif. MNC dapat pindah ke negeri lain untuk menghindari regulasi pemerintah berupa peraturan perbankan, pembatasan mata uang, atau regulasi lingkungan.

Globalisasi menjadi elemen kunci pasar bebas terletak pada kemampuan MNC untuk menyelaraskan, mengintegrasikan, dan membuat produksinya secara fleksibel, melalui penggunaan teknologi komunikasi dan robotisasi produksi. Upaya rasionalisasi produksi dijalankan melalui integrasi elemen-elemen kegiatan ekonomi dengan modal swasta dalam skala dunia.16 Globalisasi sebagai wahana ekspansi perusahaan mutinasional dicitrakan dengan dua hal, yaitu: (1) globalisasi pemasaran dengan tujuan totalitas konsumsi potensial untuk satu produk di seluruh dunia dengan operasi skala global; dan (2) publisitas global, sebagai soft power perusahaan multinasional dalam menciptakan kebutuhan semu, serta internalisasi dan eksternalisasi suatu produk ke dunia.17

15 Gilpin, Robert. “The State and The Multinationals”, dalam Global Political Economy: Understanding The International Economic Order. Princeton: Princeton University Press, 2001.

16 Jary, David & Jary, Julia, Coolins Glossary οf Sociology Harper. Glaslow : Collins Manufacturing:. 1991.

(11)

Dalam dunia akademis sekalipun juga tidak jarang muncul perdebatan antara apakah negara atau korporasi yang harus menjadi aktor utama. IImu Ekonomi berpijak pada asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat alamiah masih menjadi paradigma utama ketika berbicara masalah pembangunan. Namun dengan mengedepankan peran korporasi sebagai aktor utama pembangunan, maka wajar tatkala banyak problem yang termarginalkan, salah satunya adalah sumber daya alam. Ternyata para ekonom lupa bahwa aktivitas transaksi dapat berjalan adil dalam sebuah koridor politik yang dinamakan negara yang memiliki otoritas menjaga sumber alam.18 Sehingga adalah hal yang sangat menguntungkan bagi negara yang memiliki kapasitas ketergantungan satu sama lain. Tidak ada aturan terkait tentang perekonomian internasional sehingga negara bebas melakukan kerjasama dengan negara-negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan profit dan benefit dari setiap unit perekonomian tersebut.

Kita bisa melihat terjadi kesenjangan antar negara dalam teori sistem dunia yang dikemukakan oleh Wallerstein. Negara digolongkan menjadi tiga klasifikasi berdasarkan pembagian kerja masing masing yakni Negara inti, pinggiran dan semi-pinggiran. Negara inti (core) adalah negara industri dengan sistem

pemerintahan demokrasi, pertumbuhan ekonomi tinggi ditunjang nilai investasi yang tinggi, impor bahan mentah dan ekspor manufaktur Sedangkan negara kategori pinggiran alias periperi adalah kebalikan dari karakteristik yang terdapat pada negara inti, yakni negara dengan perkembangan industri yang minim. Namun negara-negara yang berstatus periperi cukup banyak memiliki potensi sumber daya alam. 19

Berkaitan dengan teori sistem dunia dari Wallerstein, maka negara inti akan berupaya untuk memfokuskan kerjasama dengan langusng maupun tidak langsung mengeksploitasi potensi negara-negara dibawahnya. Negara core akan mengincar potensi sumber daya alam negara setempat sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Supaya surplus keuntungan yang diraih negara core lebih besar, maka pada negara semi-periperi, barang ekspor dan impor mencakup bahan mentah dan manufakturnya tetapi tingkat kesejahteraan, gaji, serta pelayanan

18 Arnsperger, Cristian. Critical Political Economy: Complexity, Rationality and the Logic of Post-Orthodox Pluralism (London: Routledge, 2008).

(12)

masyarakatnya sangat kurang. Kita dapat menunjuk bahwa negara-negara di Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia, semisal Jepang adalah negara core karena mengandalkan pada investasi. Sedangkan sisanya termasuk Indonesia dapat diglolongkan ke dalam semi-periperi atau periperi.

Cara yang paling canggih yang sering dilakukan korporasi adalah dengan memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, WTO dan World Bank. Atas nama globalisasi, IMF, WTO dan World Bank mengajukan tawaran

pembentukan pasar bebas yang dimuklai dari serangkaian hutang luar negeri. Sebuah skema yang pada akhirnya membuat negara berkembang akan mengalami ketergantungan Investasi. Selanjutnya, intervensi pemerintah dimarginalkan dan pelaku bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan menjadi domain negara. Oleh karena itu, Noreena Hertz menyebut gejala tersebut sebagai “silent take over” (pengambilalihan diam-diam). Dimana korporasi multinasional menjelma jadi institusi dominan yang kekuasaan yang mana pengaruhnya melebihi organisasi internasional.

Implikasinya, kepentingan yang menguntungkan negara investor selalu diorientasikan dalam perundingan Internasional macam WTO. Selanjutnya, hasil regulasi internasional tersebut diinfiltrasi kedalam birokrasi negara berkembang. Parahnya dalam era otonomi daerah maka tidak hanya dari pemerintah pusat saja, bahkan hingga unit birokrasi terkecil seperti kepala desa juga berpotensi ikut membiarkan eksplorasi alam. Jika hanya keuntungan uang dan sumber pekerjaan yang dicari maka sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan desa setempat terkait potensi sumber daya alamnya. SDA bahkan menjadi tidak dimanfaatkan oleh warga setempat melainkan untuk kepentingan segelinitir korporasi. Pada akhirnya masyarakat desanya hanya menjadi penonton karena tidak bisa

mengolahnya sendiri malah justru mendapat perlakuan yang kurang baik karena dianggap hanya mengganggu aktivitas korporasi.

(13)

merupakan bagian dari Indonesia yang dijamah pertamakali oleh Portugis pada tahun 1509, hingga kemudian berhasil diusir di tahun 1595. Spanyol, Inggris, dan Belanda merupakan Negara-negara Eropa selanjutnya yang menjamah Indonesia di sekitar abad 16-19. Bahkan Jepang sebagai Negara Asia pertama yang memiliki derajat setingkat kulit putih Eropa sempat tiga tahun lebih menikmati manisnya alam Indonesia.20 Namun ternyata kolonialisme juga dijalani dari persekutuan yang dilakukan oleh beberapa pribumi yang mendukung kolonialisme untuk kepentingan mereka sendiri. Faktor internal tersebutlah yang membuat Belanda dapat melakukan penjajahan dalam waktu yang relatif lama, yakni 350 tahun. Maka total selama 450 tahun hasil pertanian dan perkebunan desa Indonesia diangkut untuk kesejahteraan Negara lain.

Kini, konstelasi negara dan korporasi ternyata tidak selalu menjadi dilema, bahkan dalam beberapa adegan, terutama saat krisis terjadi, justru keduanya berkolaborasi bersama. Logika kedaulatan negara dalam era globalisasi semakin tidak mampu menahan akselerasi logika akumulasi kapital yang semakin sporadis. Sebaliknya, logika pasar bebas semakin membutuhkan institusi yang bisa

memberikan jaminan dan insentif ketika terguncang krisis. Implikasinya, paradoks terjadi ketika negara dan korporasi saling menyelamatkan, maka seringkali rakyat di pedesaan dengan terpaksa harus dilupakan dan dikorbankan.

Disinilah konstitusi 1945 menunjukkan bahwasanya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan. Namun, Indonesia bukanlah negara yang menutup diri dari kerjasama ekonomi dengan sesama negara lain. Hal tersebut dicontohkan Sukarno yang aktif menjalin kerjasama dengan negara negara berkembang lain sebagaimana tertuang dalam semangat Bandung spirit. Dengan kata lain, Indonesia berusaha untuk tidak terjebak dalam dikotomi antara ekonomi terbuka dan ekonomi tertutup. Memurnikan konstitusi pasal 33 menjadi perlu karena pada era kontemporer negara berpotensi berselingkuh dengan korporasi untuk mengkhianati rakyatnya. Dengan demikian, maka antisipasi perlu sebagai lampu kuning untuk pemerintah dalam menjaga desa di Indonesia.

(14)

1.2. Sejarah dan Potensi Desa Indonesia

Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya). Dalam hal ini, Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan spesifik bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.21 Sedangkan Sosiolog perdesaan asal AS, Paul

Landis mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisa. Untuk tujuan analisis statistik, maka desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Sedangkan untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab (gemmenischaaft) dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan

(15)

untuk tujuan analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian.22

Pembangunan sejatinya adalah sebuah proses sosial yang mengasumsikan ekonomi dapat mendorong keterbelakangan kearah kemajuan melalui terciptanya suatu yang dinamis sehingga mampu membangkitkan pertumbuhan secara berkesinambungan berupa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.23 Sulit dipungkiri, pertanian merupakan basis produksi paling mendasar untuk memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan primer menjadi sangat potensial dalam menjadi lahan akumulasi modal. Oleh karena itu pertanian yang semula merupakan salah satu kegiatan paling awal dikenal peradaban manusia yang juga merupakan budaya, kini menjelma menjadi industri yang berorientasi pada nilai materil yang secara tidak langsung mendistorsi nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Dengan begitu sektor pertanian bukan lagi terfokus dalam pemenuhan kebutuhan dasar dari manusia, tapi merupakan bussiness as usual. Sebagai contoh, pemerintahan Belanda pada tahun 1891 mencari tanaman baru pengganti tembakau yang menguntungkan di pasar Eropa yang dapat di tanam di Timur Pulau Sumatra. Pada saat itulah pertanian tembakau yang terkenal di tanah Deli tergantikan dengan pertanian sawit, teh, dan karet. Begitupula dengan pertanian tebu, kebutuhan akan gula yang besar di Eropa saat itu membuat belanda

menerapkan sistem yang sama sepertihalnya penanaman tembakau, sawit, teh, dan karet, mereka mendesak petani untuk mengganti tanaman yang ditanam petani dengan tanaman tebu.

Model tekanan militer untuk mengusai lahan-lahan potensial dan menguntungkan Negara sudah ditinggalkan. Modernisasi yang terjadi mulai menggeser model kolonialisasi yang bersifat militeristik terutama pasca kemerdekaan Indonesia dari Jepang 17 Agustus 1945. Model Multi National Corporation (MNC) dengan menggunakan motivasi ekonomi dan investasi menjadi sebuah strategi baru yang di gunakan untuk menyerap Sumber Daya Alam di Indonesia, sekaligus mengontrol jenis produksi. Teknologi di bidang

22.Landis, Paul. dalam Indrizal, Edi Memahami Konsep Pedesaan Dan Tipologi Desa Di Indonesia”, Undip press, 2006, hal 127.

(16)

pertanian mulai berkembang pesat, peralihan Indonesia sebagai negara pemasok produk pertanian dialihkan ke Negara-negara maju yang memiliki teknologi pertanian yang mumpuni. Kini potensi SDA jenis lain, seperti batu bara di

Kalimantan, mining di Sulawesi dan Papua, bahkan jawa yang dahulu merupakan repersentasi dari pertanian di indonesia, kini mulai tergerus oleh tambang-

tambang migas di Jawa Timur.

Sebagai contoh di Jawa Timur, Blok Cepu merupakan salah satu Blok yang terdapat di Jawa Timur dengan cadangan minyak mencapai 7,7 triliun kaki kubik minyak bumi, atau setara dengan 650 juta barel. Selain Blok Cepu di Jawa Timur juga terdapat lapangan minyak Sukowati yang dikelola secara Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Kabupaten Bojonegoro, yang masuk Blok Tuban. Lapangan migas mampu memproduksi minyak sekitar 43 ribu barel/hari (lihat tabel di bawah). Selain lapangan migas yang berada di Bojonegoro, di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di garap oleh PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP. Hingga saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90 juta. Kabupaten lain yang memiliki cadangan migas terdapat di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25 sumur CNG, 20 sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima sumur berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin. (lihat table di bawah) Selain berbagai Blok dan lapangan migas yang telah di paparkan di atas secara detail, terdapat pula potensi migas baru yang berada di Jawa Timur, yaitu Blok Nona. Blok Nona ini terdapat di berbagai kabupaten di Jawa Timur, seperti Kabupaten Bojonegoro, Jombang, Lamongan, dan Kota Surabaya.

Tabel. 1.1

Potensi Minyak dan Gas Di Jawa-Timur Berdasarkan Kabupaten

No Nama Kabupaten/Kota Potensi/ Kekayaan alam (MIGAS)

1 Kabupaten Blitar Blok Migas Nona

(17)

bumi, atau setara dengan 650 juta barel.

- Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur yang menerima DBH sektor minyak dan gas (migas) pada tahun 2012 sekitar Rp234 miliar, merupakan kabupaten justru sebelumnya menempati peringkat kemiskinan ke-5 di Jawa Timur pada 2008 yakni sekitar 576.927 jiwa. 24

- Blok Cepu, diperkirakan produksi minyak perharinya mencapai 160 ribu/barel.

- Selain Blok Cepu kabupaten Bojonegoro juga memiliki lapangan minyak Sukowati yang dikelola Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro, yang masuk Blok Tuban, mampu memproduksi minyak sekitar 43 ribu barel/hari.25

- selain blok cepu terdapat pula blok nona. Blok ini di garap oleh PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dengan PT SER.

3 Kabupaten Tuban - produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) JOB P-PEJ Blok

Tuban masih pada kisaran 35.000 Barel perhari (Bph). Target yang di patok sebesar 40.000 Barel per hari.26

- di tuban juga terdapat blok migas suci, blok ini di garap oleh PT Indelberg Indonesia Perkasa (IIP) dengan PT Pertamina EP. Hingga saat ini sudah di sediakan dana sebesar USD 20,90 juta.27

-blok tuban, dikelola Joint Operating Body Pertamina –Petro China East Java (JOBP-PEJ) dan penambangan tradisional milik Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PEP).

Di tuban juga termasuk blok cepu, namun sayangnya

24 http://www.bisnis.com/m/6-kabupaten-dbh-tertinggi-masih-jadi-dadaerah-miskin

25 “Pertamina Survei Seismik Potensi Migas Blok Nona”, dalam

http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/78264/pertamina-survei-seismik-potensi-migas-blok-nona, diakses 5 Oktober 2013 Pk 21.12.

26 “Puasa Pengeboran Blok Migas Tuban Jalan Terus”, dalam

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Jember/2013-07-08/177323/_Puasa,_Pengeboran_Blok_Migas_Tuban_Jalan_Terus, 6 Oktober 2013. Pk. 22.11

27 “Capitalinc Investment Anggarkan USD 15 Juta” dalam

(18)

Kabupaten Tuban tidak mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBS).28

4 Kabupaten Jombang Blok Migas Nona

5 Kabupaten Lamongan Blok Migas Nona

6 Kabupaten Siduarjo - Produksi gas dari lima sumur Kalidawir ditingkatkan dari semula lima juta kaki kubik per hari menjadi 10 juta kubik per hari. (2011).

- Di Sidoarjo, Lapindo memiliki sebanyak 25 sumur CNG, 20 sumur berada di Desa Wunut, Kecamatan Porong dan lima sumur berada di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin.

7 Kabupaten Gresik Blok Ujung Pangkah MIGAS

8 Kabupaten Bangkalan West Madura Offshore (blok Kangean) MIGAS. Produksi di blok ini menembus angka 20.00 Barel/ hari tahun 2013. (Suaramerdeka.com)

9 Kota Surabaya Blok Migas Nona

Sumber telah dihimpun pada catatan kaki yang tercantum masing-masing.

Dari data yang telah dipaparkan di dalam tabel diatas, dapat terlihat terdapat beberapa perusahaan multinasional yang juga ikut bergabung untuk mencicipi manisnya keuntungan migas Indonesia. Implikasinya, penguasaan sektor minyak dalam negeri hanya tersisa lima belas persen yang tentu di pegang oleh Pertamina sebagai wujud otoritas Pemerintah dalam bentuk perusahaan BUMN. Pengusaan minyak secara keseluruhan pada tahun 2010 di pegang oleh Chevron, dengan penguasaan minyak Indonesia sebesar 47 %. Selain Chevron, terdapat MNC lain yaitu TOTAL dengan pengusaan minyak Indonesia sebesar sembilan persen. Kmudian terdapat pula Conoco Philips dengan pengusaan minyak Indonesia sebesar delapan persen. Selain ketiga perusahaan tersebut,

28 “ Tuban Tak Dapat DBH Migas Blok Cepu” dalam

(19)

terdapat pula perusahaan multinasional lainnya yang erinvestasi dalam sektor minyak Indonesia, seperti Kodeco (2%), British Petroleum (2%), Medco (4%), CNOOC (5%), dan Petro China (7%).29 Sebaliknya,. PetroChina bukan hanya menggarap lapangan minyak Sukowati yang dikelola dengan cara Joint Operating Body (JOB) antara Pertamina dengan Petrochina East Java (PPEJ) di Bojonegoro, tetapi juga ikut menggarap eksplorasi migas di blok Cepu.

Dari gambar di atas, tampak terlihat Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu dari dua Provinsi di Indonesia yang memiliki sumberdaya minyak yang sangat melimpah setelah Sumatra Tengah yang memiliki 3.832,11 MMSTB. Selain Provinsi JawaTimur dan Sumatra Tengah, cadangan minyak di Indonesia tersebar di berbagai provinsi lainnya, seperti Aceh Sumatra Utara Sumatra Selatan Jawa Barat sebesar. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan cadangan minyaknya sebesar 670.00 MMSTB, untuk wilayah Sulawesi cadangan minyaknya sebesar 49.78 MMSTB. Selanjutnya di wilayah maluku terdapat 48.07 MMSTB, dan di Papua sebesar 94.93 MMSTB. Cadangan minyak yang cukup besar berada di pulau Natuna sebesar 383.35 MMSTB, Sedangkan Pada sektor gas alam, 75 % dari kekayaan gas Indonesia dikuasai bukan oleh perusahaanmilik negara, dimana 37 % dipegang oleh TOTAL, sisanya kemudian dibagi-bagi kepada Conoco Philips sebanyak 18 %, Exxon 9 %, Vico 6 %, Petro China 5 % dan beberapa perusahaan asing lainnya, sedangkan Pertamina sendiri hanya menguasai 15 persen sisanya. 30

Tabel 1.2.

Penguasaan Minyak Bumi 2012

29 Indonesia For Global Justice. “Anomaly kebijakan minyak nasional,” Free Trade Watch, Edisi Maret 2012.

(20)

Pertamina; 16.00%

Chevron; 47.00% Total; 9.00%

Conoco Philips; 8.00%

Petro China; 7.00% CNOOC; 5.00%

Kodeco; 2.00% British Petrolium; 2.00%

Sumber: Indonesia for Global Justice, ibid, 2012.

Dengan begitu, semakin banyak ditemukan potensi dan sumber migas di wilayah-wilayah lainnya akan secara langsung mempengaruhi pergeseran fungsi lahan pedesaan. Dari semula yang merupakan lahan pertanian masyarakat, menjadi lahan tambang yang dimiliki oleh Multi National Corporation (MNC). Kondisi pergeseran budaya pertanian juga dialami oleh provinsi lain di pulau Jawa, dengan alasan yang sedikit berbeda. Sebagai Contoh Jawa Tengah dan Jawa Barat pertaniannya mulai tergerus dengan sektor industri. Yang mana hal tersebut bukan terjadi karena tidak potensialnya lagi daerah-daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai sentral pertanian, namun sektor pertanian tidak lagi lebih

menguntungkan di bandingkan sektor industri. Selain itu untuk daerah daerah tertentu di Jawa Barat dan Jawa Timur, harga sumber daya manusia sangatlah murah sehingga kondisi ini dapat menjadi alasan ke dua mengapa investor asing lebih banyak menanamkan investasinya di sektor industri pada wilayah-wilah yang memiliki upah buruh murah.

(21)

yang merupakan hasil diskusi antara pihak buruh dan pengusaha. Namun pada kenyataannya, untuk wilayah-wilayah yang serikat buruhnya lemah, negosiasi menjadi timpang di antara mereka. Dengan berbagai cara pemerintah daerah mencoba menekan UMR hanya untuk mengundang investor atau sekedar mempertahankan investor.

Data yang disajikan oleh PHI dan Jamsostek mencakup upah buruh di beberapa daerah yang tergolong murah adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari hampir semua Provinsi di Indonesia yang menetapkan UMR berada di atas satu juta Rupiah, hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang menetapkan UMR nya berada di kisaran delapan ratus ribuan Rupiah. Data yang di sajikan di bawah menunjukan peningkatan UMR setiap tahunnya. Rata-rata UMR pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 sebesar Rp 745.709. pada tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 841.529, terus meningkat pada tahun 2010 menjadi Rupiah 908.824. Pada tahun 2011 rata-rata UMR di Indonesia menjadi Rp 988.829, pada tahun 2012 bertambah menjadi Rp 1.088.902, dan di tahun 2013 menjadi Rp 1.296.908.

Kenaikan rata-rata UMR di Indonesia nyatanya tidak sebanding lurus terhadap dua hal. Pertama pemerataan pendapatan melalui tingkat UMR yang relatif hamper sama pada setiap Provinsinya. Kedua, peningkatan rata-rata UMR di Indonesia hanya di signifikan di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur. Sedangakan di provinsi lain

peningkatan UMR tidak signifikan. Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DDI Yogyakarta. Peningkatan UMR pada 4 provinsi di pulau Jawa tidak signifikan dan cenderung sangat kecil, kisaran kenaikannya hanya sebesar kurang lebih Rp 100.000. Berikut adalah Data yang dikeluarkan oleh BKPM mendukung statement bahwa MNC mengincar SDM murah sebagai pekerja.

Tabel 1.2

Data Upah Minimum Regional Provinsi Se-Indonesia 2008-2013

NO Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(22)

3 Sumatera Barat 800.000 880.000 940.000 1.055.000 1.150.000 1.350.000 4 Riau 800.000 901.600 1.016.000 1.120.000 1.238.000 1.400.000 5 Jambi 724.000 800.000 900.000 1.028.000 1.142.500 1.300.000 6 Sumatera

Selatan

743.000 824.730 927.825 1.048.440 1.195.220 1.630.000

7 Bengkulu 690.000 735.000 780.000 815.000 930.000 1.200.000 8 Lampung 617.000 691.000 767.500 855.000 975.000 1.150.000 9 Bangka Belitung 813.000 850.000 910.000 1.024.000 1.110.000 1.265.000 10 Kepulauan Riau 833.000 892.000 925.000 975.000 1.015.000 1.365.087 11 DKI Jakarta 972.605 1.069.865 1.118.009 1.290.000 1.529.150 2.200.000 12 Jawa Barat 568.193 628.191 671.500 732.000 780.000 850.000 13 Jawa Tengah 547.000 575.000 660.000 675.000 765.000 830.000 14 D.I. Yogyakarta 586.000 700.000 745.694 808.000 892.660 947.114 15 Jawa Timur 500.000 570.000 630.000 705.000 745.000 866.250 16 Banten 837.000 917.500 955.300 1.000.000 1.042.000 1.170.000 17 Bali 682.650 760.000 829.316 890.000 967.500 1.181.000 18 Nusa Tenggara

Barat

730.000 832.500 890.775 950.000 1.000.000 1.100.000

19 Nusa Tenggara Timur

650.000 725.000 800.000 850.000 925.000 1.010.000

20 Kalimantan Barat

645.000 705.000 741.000 802.500 900.000 1.060.000

21 Kalimantan Tengah

765.868 873.089 986.590 1.134.580 1.327.459 1.553.127

22 Kalimantan

Selatan 825.000 930.000 1.024.500 1.126.000 1.225.000 1.337.500 23 Kalimantan

Timur

889.654 955.000 1.002.000 1.084.000 1.177.000 1.752.073

24 Sulawesi Utara 845.000 929.500 1.000.000 1.050.000 1.250.000 1.550.000 25 Sulawesi Tengah 670.000 720.000 777.500 827.500 885.000 995.000 26 Sulawesi Selatan 740.520 905.000 1.000.000 1.100.000 1.200.000 1.440.000 27 Sulawesi

Tenggara

700.000 770.000 860.000 930.000 1.032.300 1.125.207

28 Gorontalo 600.000 675.000 710.000 762.500 837.500 1.175.000 29 Sulawesi Barat 760.500 909.400 944.200 1.006.000 1.127.000 1.165.000 30 Maluku 700.000 775.000 840.000 900.000 975.000 1.275.000 31 Maluku Utara 700.000 770.000 847.000 889.350 960.498 1.200.622 32 Papua Barat 1.210.000 1.410.000 1.450.000 1.720.000 33 Papua 1.105.500 1.216.100 1.316.500 1.403.000 1.585.000 1.710.000

Rata - Rata : 745.709,22 841.529,55 908.824,52 988.829,39 1.088.902,64 1.296.908,48

(23)

Untuk merefleksikan tabel hasil perbandingan UMR menurut Provinsi di atas, maka kita patut melihat jumlah buruh yang menerima upah tersebut.

Walaupun jumlah pendapatan yang ditentukan pemerintah Provinsi yang menjadi sentra industri terbilang minim, namun jumlah buruh di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Dimulai Pada tahun 2008 per bulan Februari, jumlahnya sebesar 28.515.358 orang. Jumlah tersebut meningkat drastic pada tahun 2010 sebanyak 2.208.803 orang, menjadi 30.724.161 orang. Kemudian meningkat kembali di tahun 2011 menjadi 34.513.624 orang. Pada tahun 2012 jumlahnya kembali meningkat menjadi 38.135.062 orang.

Kondisi tersebut setidaknya menunjukan dua hal. Pertama, jumlah

populasi masyarakat Indonesia yang terus bertambah. Kedua, lapangan kerja yang cenderung tidak meningkat tajam. Kedua gambaran tersebut di bingkai manis dalam ketidak seimbangan laju populasi dengan peningkatan jumlah lapangan kerja yang disediakan. Selain itu, kondisi tersebut mencerminkan perkembangan industri yang tidak sebanding dengan tingkat pendapatan masyarakat di tengah melonjaknya harga-harga bahan pokok.

Tabel 1.3

Jumlah Pekerja Indonesia Menurut Status Pekerjaan

No. Status Pekerjaan Utama 2008 2009 2010 2011 2012

Februari Februari Februari Februari Februari

1 Berusaha Sendiri 20 081 133 20 810 300 20 456 735 21 149 311 19 543 475

2

Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak

Dibayar 21 599 782 21 636 761 21 922 813 21 308 835 20 367 416

3 Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar 2 979 406 2 968 481 3 016 154 3 594 568 3 930 591 4 Buruh/Karyawan/Pegawai 28 515 358 28 913 118 30 724 161 34 513 624 38 135 062

5 Pekerja Bebas di Pertanian 6 130 481 6 346 122 6 324 719 5 575 925 5 356 265

6 Pekerja Bebas di Non Pertanian 4 798 856 5 151 536 5 284 598 5 158 700 5 970 608

(24)

8 Tak Terjawab - - - -

-Total 102049 857 104 485 444 107 405 572 111 281 744 112 802 805

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. 31

Bertolak belakang dengan penurunan jumlah petani, jumlah buruh terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah petani terus menurun, pada tahun ketahun setidaknya pengurangan jumlah petani selama tahun 2008 sampai dengan 2012 sebanyak kurang lebih 400.000 orang. Jumlah masyarakat yang menjadi petani pada tahun 2010 sebanyak 6.324.719 orang, menurun menjadi 5.575.925 orang pada tahun 2011, dan kembali berkurang pada tahun 2012 menjadi 5.36.265 orang. Peningkatan jumlah buruh tersebut sering diartikan sebagai kesuksessan pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakatnya. Namun di sisi lain, kita dapat melihat arah kebijakan pendidikan di Indonesia yang sepertinya memang pencetak buruh. Bukan hal yang salah apabila sebuah Negara memilih Industri sebagai instrument untuk mengembangkan ekonominya. Namun distorsi yang terjadi di banyak Negara berkembang yang memilih instrumen Industri sebagai pengembang ekonominya adalah kesejahteraan buruhnya kurang diperhatikan. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak industri dari luar maupun dalam negeri yang kemudian mendirikan pabriknya di pada kawasan yang UMR-nya rendah.

Terlepas dari rendahnya upah buruh di daerah, hal yang tidak kalah penting adalah tergerusnya budaya lokal pertanian di Indonesia. Menjadi konsekuensi logis apabila pergeseran instrumen pengembangan ekonomi di Indonesia alhasil membuat matinya sektor pertanian setidaknya secara berlahan. Jawa Tengah dan Jawa Barat yang semula terkenal dengan berbagai produ pertaniannya, kini mulai meredup, seiring dengan beralih fungsinya lahan

pertanian menjadi lahan pabrik dengan mesin-mesin raksasanya. Selain alih fungsi lahan, terdapat pula alih fungsi tenaga kerja dari petani menjadi buruh pabrik.

Peralihan pekerjaan pada masyarakat desa menjadi sebuah dilematisasi tersendiri. Hanya karena prestise dengan menyandang status pegawai pabrik

31 Badan Pusat Statistik, dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?

(25)

masyarakat desa mulai beralih profesi, dan meninggalkan profesi lamanya sebagai petani. Kondisi tersebut banyak terjadi di kawasan-kawasan pedesaan yang masuk kategori Provinsi dengan upah buruh yang cukup rendah. Seperti di Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah yang terkenal dengan industri bulu mata dan rambut palsunya. Atau Jawa Barat yang banyak bertaburan industry otomotif dan berbagai alat berat lainnya.

Banyak dampak yang akan di timbulkan dari alih fungsi lahan dan alih fungsi tenaga kerja di desa, seperti kekurangan bahan pokok hasil pertanian, meningkatnya harga bahan pokok karena stok yang kurang, dan perubahan budaya yang secara tidak langsung dibawa dalam sistem industri. Bencana kekurangan kedelai, cabe, bawang, dan berbagai macam bahan pokok yang belakangan melanda Indonesia seharunya bukan hanya di lihat sebagai permainan kartel semata, tapi dapat pula di lihat dari pengalihan fungsi lahan dan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal tersebut secara langsung berakibat

berkurangnya pasokan bahan pokok dan menimbulkan kelangkaan yang kemudian meningkatkan harga pasaran. Pendekatan dalam memecahkan kelangkaan bahan pokok hasil pertanian juga seharusnya menggunakan pendekatan budaya

pertanian. Dengan mengembalikan fungsi lahan di desa ke semula, bukan hanya sekedar peningkatan jumlah kuota impor saja.

(26)

Geography is dead adalah istilah yang tepat ketika arus globalisasi membuat dunia menjadi lebih terbuka dan semakin datar. Geografi menjadi penyebutan yang kerap digunakan sebagai gambaran terhadap dunia dan isinya yaitu manusia dan alam. Semenjak geografi membagi dirinya kedalam dua hal yaitu manusia dan lingkungannya, maka ‘matinya geografi’ lebih disematkan kepada semakin ringkasnya urusan waktu dan semakin mampatnya jarak dalam geografis. Walapun secara nyata jarak dan kondisi geografis membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk mengalami perubahan.

Variabel kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi membuat pemahaman mengenai seluk beluk bentuk dunia mengalami perkembangan disetiap masanya. Proses kemajuan ini bisa berlangsung cepat dalam hitungan puluhan tahun maka akan ditemukan tonggak perubahan yang semakin

menegaskan bahwa dunia ini sudah menjadi tempat yang tidak berjarak dan semakin terkompresi. Saat ini dunia bisa juga disebut sebagai sebuah ruang transparan. Ruang transparan dimana interaksi dilakukan tidak lagi dalam pembagian yang ketat antara internasional, regional, nasional dan lokal. Ketika dunia ini menjadi ‘rumah bersama’ maka mobilitas bersanding dengan

konektivitas yang menjadikan kehidupan seperti mengantongi waktu disaku kanan dan mengantongi jarak disaku kiri. Semisal adalah seperti yang ditulis oleh Alvin Toffler dalam Future Shock, dikatakan bahwa evolusi dari teknologi komunikasi dan transportasi dan intensifnya mobilitas lalu lintas manusia memberikan efek kepada lokasi bukan lagi menjadi sumber utama bagi perbedaan.

Sejalan dengan ‘matinya geografi’ memberikan pengaruh pada kondisi yang diyakini sebagai menyusutnya atau mengecilnya dunia. Otomatis bayangan mengenai jarak menjadi lebih ‘pendek’ karena waktu tempuh semakin hari semakin singkat sejalan dengan perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi termutakhir. Seperti yang telah diidentifikasi oleh pemikiran geopolitik posmodern yang mengatakan bahwa : “We live in complicated and confusing times, in spaces traversed by global flows and warped by the intensity and speed of information technologies.”32 Beriringan dengan matinya geografi

(27)

maka globalisasi mengambil posisi untuk menjelaskan gambaran kondisi dunia dimana segala sesuatu di dunia ini terkait mobilitas dan konektivitas menjadi dua hal yang saling berdampingan. Penjelasan mengenai globalisasi bisa diuraikan dengan sangat panjang dan beragam. Namun ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi mengenai globalisasi terkait dengan masalah keruangan.

Seperti yang dikatakan diawal bahwa bumi sebagai ruang yang transparan, maka globalisasi dinilai sebagai pintu pembuka bagi sebuah kondisi dimana interakasi sosial bisa terjadi dengan lebih intensif karena jarak menjadi tidak lagi sebagai masalah33, terintegrasinya ekonomi dunia34, deteritorialisasi atau

tumbuhnya suprateritorial bagi relasi diantara manusia35, dan kompresi atau termampatkannya ruang dan waktu36. Globalisasi merupakan sebuah kondisi yang tidak bisa terelakkan. Sejarah manusia pun mencatat sejak kerajaan – kerajaan di Eropa Barat melakukan pelayaran internasional, pedagang – pedagang dari India dan Persia menggunakan jalur sutra, bumi ini perlahan – lahan mulai mengalami proses ‘keterbukaan’ dan globalisasilah yang menjadi wacana dominan semenjak proses untuk ‘membuka’ dunia ini beranjak kepada kondisi yang lebih lanjut dan membuat dunia bergerak laju yang sama.

Ada beberapa masalah yang kemudian teridentifikasi seiring dengan laju dunia yang terglobalisasi. Pertama, dalam konteks globalisasi mobilitas dan konektivitas sebagai sebuah kondisi yang tidak terelakkan dianggap sebagai situasi yang tercetus oleh perkembangan teknologi semata. Lebih daripada itu dari sisi ekonomi dunia globalisasi memberikan celah bagi beroperasinya sebuah pemeragaan kuasa imperial pasca kolonialisme. Kedua, yang dimaksud dengan ‘bumi yang datar’ karena gelombang globalisasi tidak menyentuh kepada yang bernama ‘lokal’ sehingga ‘lokal’ dimasukkan sebagai benteng terakhir pertahanan ketika efek buruk dari globalisasi mulai menjangkiti. Mudah saja untuk

33 Seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1990 : 21), seperti yang dikutip dari Anthony Mcgrew, Globalization and Global Politics dalam John Baylis, Steve Smith, Patricia Owens, The Globalization of World Politics : An Introdution to International Relations, 4th ed, New York :

Oxford University Press, 2008, hal 17.

(28)

menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah resep penyembuh bagi buruknya pengaruh globalisasi yang merangsek aspek sosial dan budaya masyarakat.

Jika dikatakan globalisasi memberikan celah bagi pemeragaan kuasa imperial pasca kolonialisme ini selaras dengan konstelasi ekonomi dunia ketika perluasan teritori mulai dibutuhkan. Masuk tahun 1980-an, istilah ‘emerging market’ mulai menggejala ketika perekonomian dunia membutuhkan stimulus untuk melakukan ekspansi. ‘Ekspansi’ secara teritori demi ‘emerging market’ yang berada dibelahan dunia ketiga dilakukan dengan menggandeng kebijakan pembangunan dalam kerangka neoliberal. Globalisasi diposisikan sebagai

pembukanya dan agenda pembangunan dalam kerangka neo-liberal digelontorkan kepada negara-negara yang dibidik bisa menjadi ‘emerging market’ dengan memberikan resep deregulasi serta privatisasi yang dibungkus melalui tata kelola

good governance.37Menurut teori ekonomi liberal kesejahteraan ekonomi bisa

dimaksimalkan jika dua dari faktor produksi yaitu modal dan buruh bisa

berpindah.38 Secara teori ini yang dikatakan sebagai pro – globalisasi atau hyper

globalization.

Terdapat tiga teori yang bisa menjelaskan pertalian antara globalisasi dengan pembangunan, yaitu hyperglobalist yang menilai bahwa globalisasi menjadi faktor penting untuk mendorong pembangunan. Kedua adalah

transformasionalist dengan argumentasi bahwa implikasi dari globalisasi terhadap pembangunan sangat bergantung kepada bagaimana pengaturannya. Ketiga adalah perspektif yang skeptis atau radical hyperglobalist yang menilai bahwa

globalisasi dan pembangunan merepresentasikan perpanjangan dari strategi imperial untuk mendominasi, seperti yang dijelaskan dalam tabel dibawah ini;39

Tabel 1.4. Klasifikasi Globalisasi.

37 Robert N. Gwyenne, Thomas Klak, Denis J.B.Shaw, Alternative Capitalism; Geographies of Emerging Region, hal 4.

38Ibid, hal 4.

(29)

Pro – globalization atau hyper globalization menilai globalisasi akan mendorong kepada denasionalisasi dimana perekonomian akan ditopang oleh jejaring produksi, perdagangan dan finansial.40 Sehingga berdasarkan penilaian pada pendukung globalisasi semenjak ekonomi ditopang oleh jejaring dan ini sejalan dengan perluasan teritori kepada emerging market untuk tujuan

memperkokoh infrastruktur jejaring, maka sebetulnya wilayah – wilayah didunia ini dibuka dan dihubungkan oleh proses globalisasi ini dan mereka bisa

berkompetisi untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan komparatif untuk pasar global.41 Bagi pendukung teori ini, baik wilayah miskin hingga maju masing – masing memiliki kesempatan untuk berkontribusi. Disini bisa dipahami bahwa pembangunan dengan semangat neo-liberal dilakukan untuk

mempersiapkan wilayah – wilayah ini untuk menopang jejaring produksi. Permasalahan selanjutnya adalah globalisasi tidak menyentuh secara langsung kepada ‘lokal’. Argumentasi bahwa globalisasi didorong oleh kemajuan teknologi yang menyebabkan penyusutan jarak lebih disebabkan oleh kemajuan teknologi bukan dikarenakan oleh manusia, sejarah maupun kebudayaan. Sehingga jika diperhatikan efek konvergensi yang dihasilkan dari globalisasi

40Opcit, Robert N. Gwyenne, et.al hal 17.

(30)

mengalami perbedaan pada masyarakat, lingkungan dan sosial ditingkat ‘lokal’.42 Perlu dicermati bahwa jika menempatkan ‘lokal’ sebagai sebuah arena dimana efek dari globalisasi tidak terjadi secara langsung maka sebenarnya efek

globalisasi lebih dirasakan oleh tingkatan yang lebih tinggi. Dalam buku ini yang dimaksud lokal adalah sama dengan desa.

Pemahaman mengenai desa dan globalisasi bisa diletakkan dalam perspektif yang berbeda. Tidak bertujuan untuk membenturkan wacana pro-globalisasi dan anti-pro-globalisasi. Pemahaman mengenai lokal – nasional – regional dan global bisa diletakkan dalam konteks keruangan. Jika dilihat melalui

perspektif ini globalisasi akan bermakna sebagai sebuah proses deteritorialisasi tatanan geopolitik.43 Deteritorialisasi diletakkan dalam sebuah pemahaman bahwa arus, lalu lintas, interaksi dan perpindahan dari material dan fisik yang menopang produksi ekonomi serta reproduksi sosial dilakukan dalam sebuah ruang (space).44 Secara alamiah desa adalah bagian dari representasi teritori negara sebagai kesatuan politik ditingkatan yang lebih mikro. Sehingga secara hirarkis, desa diletakkan sebagai bagian terkecil dari pemeragaan penguasaan teritorial didalam negara. Pengaturan teritori yang dilakukan secara hirarkis seperti ini menjadikan sentralitas penguasaan terletak pada pemerintah pusat yang disebut dengan

politico – administrative of territory.45 Dalam kerangka politico – administrative

of territory ‘pusat’ memperlakukan ‘daerah’ berdasarkan fungsinya secara administratif dan utilitasnya dalam melakukan kepemerintahan di tingkat mikro. Sentralitas terhadap posisi ‘pusat’ melahirkan sebuah perspektif yang menjadikan ia seperti sebuah mercusuar. Jadi ‘pusat’ menjadi tonggak dan melakukan

penglihatan terhadap wilayah sekitar. Implikasi dari posisi sudut pandang ini menjadikan ‘pusat’ dalam melihat keberagaman daerah secara populasi, potensi, kelemahan, permasalahan dan seterusnya membutuhkan metode yang bisa mencakup semua realitas di lingkungannya. Untuk menyajikan serangkaian

42Opcit, Murray, hal 9.

43Ibid, Tuathail, hal 18.

44 Seperti yang diterjemahkan dari Tuathail, Ibid, hal 18.

45 Jouni Hakli, Manufacturing Provinces : Theorizing the encounters between governmental and popular ‘geographs’ In Finland, dalam Gearoid O’ Tuathail and Simon Dalby, Rethinking

(31)

realitas di lapangan tersebut maka disajikanlah dalam sebuah bentuk visualisasi diatas kertas yaitu statistik dan peta.

Visualisasi atas kondisi nyata yang tertuang dalam bentuk statistik dan peta mengidentifikasikan dua hal, pertama keingintahuan terhadap kondisi di masyarakat tidak sebesar rasa ingin tahu terhadap ilmu pengetahuan. Maka dengan menggunakan visualisasi berdasarkan statistik dan peta ini menunjukkan teknologi dan kekuatan dari tata pemerintahan yang semakin berkembang. 46 Hanya mengandalkan pengetahuan yang tersaji berdasarkan visualisasi yang tertuang dalam peta dan statistik, sebuah kebijakan bisa dirumuskan dan diputuskan. Ini tidak mengherankan mengingat peta merupakan standarisasi proyeksi terhadap kondisi sosial dan dunia secara geografis sedangkan statistik merupakan hasil pengumpulan secara terarah dan tersentral yang dilakukan oleh organisasi dengan tujuan untuk menetapkan sebuah rutinitas dan keteraturan. Kedua, dengan mengandalkan kepadda visualisasi berbentuk peta dan hasil statistik maka segala sesuatunya mengenai kondisi dilapangan sudah tersajikan diatas kertas, dimana ‘kertas’ ini dimanfaatkan sebagai rujukan yang mendekati gambaran seutuhnya dari masyarakat dan geografi.47

Sebagai bagian dari politico – administrative of territory menjadikan posisi desa tidak memiliki ruang gerak yang leluasa. Ketidak leluasaan ini karena imajinasi terhadap ruang dilakukan secara monocular yaitu yang dilakukan oleh ‘pusat’. Ini menyebabkan desa bersifat pasif dan tidak memiliki imajinasi ruang yang bisa melampaui imajinasi ruang yang sudah dilakukan oleh pusat dalam bentuk penguasaan dan kontrol terhadap teritorinya. Dalam kaitannya dengan desa dalam menghadapi globalisasi, wacana yang muncul adalah serangkaian strategi untuk melindungi desa dalam menghadapi globalisasi atau yang bisa juga disebut sebagai anti-globalisasi.

Globalisasi diletakkan sebagai sebuah gelombang yang menerjang sehingga secara umum dipahami bahwa globalisasi memberikan efek positif dan negatif bagi siapa saja yang diterpa. Sepadan dengan penjelasan globalisasi bahwa

development geography48 bisa menjelaskan mengapa dibeberapa bagian belahan

46Ibid, Jouni Hakli, hal 134.

47Ibid, Jouni Hakli, hal 134.

(32)

dunia ada masyarakat yang hidup dengan kecukupan sedangkan dibelahan bumi yang lain ada masyarakat yang hidup dengan kekurangan bahkan sangat

kekurangan. Hal ini yang kemudian dijadikan inflitrasi bagi strategi pembangunan yang bisa masuk melenggang dengan menggandeng globalisasi sebagai

pembukanya. Bahwa globalisasi dinilai positif jika bisa membawa efek kebaikan bagi pembangunan masyarakat dan menimbulkan efek negatif jika ‘resep’

pembangunannya justru menggerus nilai, tatanan masyarakat disebuah komunitas tertentu dan membuat ketertingalan justru semakin mencolok.

Sampai disini keterhubungan antara deteritorialisasi tatanan geopolitik dengan politico administrative of territory lantas bersambung dengan desa dalam menghadapi globalisasi mulai menunjukkan titik persinggungan. Sejalan dengan semangat dari buku ini, memposisikan desa dalam menghadapi globalisasi tentunya bukan dalam rangka untuk semata – mata mencari solusi seperti apa untuk ‘mengeluarkan’ desa dari belitan globalisasi yang saat ini sudah menyatu dengan neo-liberalisme dan kapitalisme. Lebih daripada itu melalui buku ini desa bisa memiliki kesempatan untuk menunjukkan potensi dan memiliki keleluasaan untuk ikut aktif, tidak dalam konteks untuk menyemarakkan globalisasi dan wacana pembangunanan, tetapi ikut terlibat dan menunjukkan kuasanya dalam melakukan imajinasi terhadap ruang yang transparan.

Untuk mencapai pada pemahaman seperti yang ditawarkan diatas perlu untuk meletakkan desa keluar dari logika politico – administrative of territory.

Dengan semangat pengetahuan, ini perlu dilakuan agar perbedaan perspektif akan berujung kepada pemahaman yang lain dalam melihat permasalahan desa dan globalisasi. Ini sejalan dengan solusi yang ingin diberikan dalam buku ini yaitu antisipasi desa dalam menyongsong globalisasi. Jika desa diletakkan dalam pemahaman yang lain dari politico – administrative of territory, maka akan memiliki pemaknaan yang berbeda. Desa tidak diletakkan dalam kategori ‘unit’ dari sebuah himpunan dengan hirarki seperti negara, provinsi, kota dan unit terkecil adalah desa.

(33)

menjadi lebih singkat untuk menempuh semua jarak perdagangan. Lalu apa celah yang bisa dimanfaatkan Desa dari geography is dead ini?. Tidak bermaksud untuk oportunis, tetapi istilah celah menjadi bermakna peyoratif jika terlalu

pro-globalisasi adalah bahwa logika jejaring yang mulai masuk dan menyeruak dalam relasi pada era globalisasi sehingga walaupun tidak berhubungan langsung, logika network bisa menjadi sebersit solusi

Terlepas dari posisi administratif dan utilitasnya untuk menopang tata pemerintahan didalam sebuah negara, jika kemudian diposisikan dalam kerangka deteritorialisasi tatanan geopolitik seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya maka sebentuk tata pemerintahan dalam tingkatan yang lebih kecil pun berada didalam sebuah ruang yang transparant. Dunia bisa dipahami sebagai ruang yang

transparant dimana setiap subjek didalamnya memiliki keleluasaan untuk melakukan relasi. Ada dua hal yang menjadi terbatas dalam prinsip politico – administrative of territory, yaitu power (pemeragaan kekuatan) dan keleluasaan, sehingga dengan mengimajinasikan dunia sebagai ruang yang transparant maka pemeragaan kekuatan akan bisa dilakukan dengan keleluasaan dan fleksibilitas yang lebih besar.

Sebenarnya ada resiko yang besar dengan mengasumsikan bahwa dunia ini adalah ruang yang transparan dan setiap subjek didalamnya memiliki keleluasaan dalam hal melakukan imajinasi dan memperagakan kekuatannya. Resiko ketika menempatkan posisi lokal dalam sebuah ruang yang transparant bisa ditemukan jika melihat argumentasi Harvey yang membabat pemaknaan ruang. Menurut Harvey pemaknaan ruang yang dilakukan tidak dilepaskan dari kapitalisme. Harvey melalui argumentasi spatio-temporary fix menunjukkan bahwa dalam ruang yang transparant ini justru kapitalisme memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan reproduksi ruang sebagai solusi atas surplus kapital yang dialami.

(34)

spatio-temporary fix dengan bayangan bahwa dunia ini adalah sebuah ruang yang transparan. Sepertinya tidak ada celah yang tersedia bagi desa ‘lokal’ untuk keluar dari belitan ini. Semua pelosok bumi ini seperti dijejali dan sudah dipetak – petak demi menopang surplus kapital. Seperti yang juga ditulis didalam buku ini,

spatio temporal fix merupakan konsekuensi dari akumulasi kapital yang berhasrat melepaskan diri atas kontradiksinya dengan logika teritorial. Otomatis

keterpaduan antara logika teritorial dan logika kapital akan berujung kepada pemeragaan kekuasaan demi menopang sebuah imperium.

Sepertinya tidak ada celah bagi yang ‘lokal’ untuk keluar dari kondisi demikian. Mengikuti spatio-temporal fix yang dikemukakan oleh Harvey maka tidak ada ruang yang terbebas dari kepentingan sebagai solusi terhadap surplus kapital. Tetapi ada yang perlu digaris bawahi, perabaan terhadap relasi kuasa dalam logika spatio-temporal fix, merupakan sebentuk relasi kuasa yang hirarkis, bahwa imperium seperti awan hitam besar yang selalu menggelayuti diangkasa dan membayang – bayangi kehidupan dibawahnya. Karena jika dikembalikan lagi kepada pemaknaan bahwa yang ‘lokal’ atau desa merupakan unit dari sebuah struktur maka kembali lagi ‘lokal’ akan berposisi pasif, menunggu instruksi dan arahan dari pusat, sehingga terpaan yang kencang terhadap pusat akan menjadikan lokal sebagai jangkar untuk tetap menyangga dan kembali lagi bahwa kearifan lokal menjadi solusi akhir.

Sebagai penutup, penting kiranya untuk mendudukan permasalahan “desa versus globalisasi” tidak dalam sebentuk pertahanan semata dalam menghadapi terjangan yang ditimbulkan dari globalisasi. Sehingga yang dimunculkan

(35)

batas batas geografis bukanlah titik akhir tujuan mereka dalam mengartikulasikan subjektifitas eksternalnya. Bumi ini adalah ruang yang sudah dipersepsikan akan menjadi ruang pertarungan sengit.

BAB II

AKTOR-AKTOR GLOBAL DIBALIK PEMBANGUNAN DESA

II.1 Desa Sebagai Penopang Imperium Amerika

Imperium Amerika yang begitu megah ternyata berkembang dari Desa. Terbukti bahwa AS bukanlah siapa siapa tanpa adanya kekayaan alam desa yang menopangnya. Masuknya AS dalam desa di Indonesia diawali dari legalisasi rezim orde baru dengan Undang Undang Penanaman Modal tahun 1967.

Penetrasi investasi asing AS ke Indonesia diperkuat oleh pinjaman pertama yang diberikan AS kepada Indonesia sebesar 40 juta dollar. 49 Tak pelak, pinjaman tersebut menjadi pintu masuknya perusahaan AS di Indonesia sekaligus juga terkait dengan upaya membendung komunisme di Indonesia.

Secara perlahan dalam bidang tambang dan pengelolaan blok migas, Amerika Serikat menjadi salah satu pemain utama di dunia. Tentu masyarakat

49 Adam Scwars. Belajar dari krisis 86. 14 September 2010. diakses dalam

(36)

Desa di Indonesia sangat familiar dengan Freeport McMoran,yang awalnya hanyalah merupakan sebuah desa kecil di daerah tembagapura yang mempunyai potensi emas begitu besar. Akan tetapi pemerintah orde baru pada tahun 1967 dengan mudahnya memberikan kepada pihak AS. Sehingga pada akhitrnya PT. Freeport yang mengurusi semua hingga menjadi satu satunya perusahaan tambang yang mengelola lahan sebuah desa di Tembagapura, Mimika, provinsi Papua yang mana sanggup menghasilkan mencapai ratusan ribu ton biji mentah emas dan perak setiap harinya.

Tidak hanya Freeport, masih terdapat Newmont, perusahaan asal

Colorado, Amerika Serikat, yang mengelola beberapa tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Sebuah desa yang bernama Cakra Timur, Mataram dipantau oleh pihak Newmont untuk bisa diambil manfaat alamnya. Tahun lalu, setoran perusahaan ke pemerintah mencapai Rp 689 miliar dimana sudah

mencakup semua pajak, dari keuntungan total mereka.50 Jika dari NTT saja, pada 2012 pendapatan PT. Newmont mencapai USD 4,17 juta. Belum lagi sederet operator migas yang rata-rata kelas kakap sebagai mitra pemerintah menggelola blok migas. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia. Pihak AS mengetahui adanya nilai ekonomi tinggi sehingga membuat mereka mencoba melakukan berbagai cara untuk bisa mengambil lahan Desa di Indonesia.

Salah satu cara AS untuk masuk langsung kedalam desa adalah dengan beberapa program bantuan untuk Indonesia. Sejak tahun 2007 United State Agency for International Development (USAID) berupaya mengembangkan desa konservasi di 16 kawasan. Desa tersebut terletak di lima provinsi prioritas, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah/DI Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, dan Sumatera Utara. Desa konservasi merupakan salah satu program yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal PHKA telah berencana mengembangkan 132 Model Desa Konservasi (MDK) di sekitar 77 Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumberdaya Alam atau Balai Taman Nasional.

(37)

Desa konservasi sejatinya merupakan sebuah inisiatif USAID dalam upaya konservasi secara partisipatif. Sebagian besar desa konservasi tersebut terletak di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu, pengembangan model desa konservasi menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu, guna mendukung tata kelola kawasan hutan dan konservasi yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain pemilihan lokasi dengan pendekatan development pathways, pengembangan unit sekolah lapangan di desa-desa yang terletak di wilayah hulu dan dekat dengan kawasan konservasi. Selain itu, juga pengembangan rencana aksi dan penggalangan dukungan para pihak dalam implementasi rencana aksi konservasi.51 Inisiatif tersebut diasumsikan sangat penting dan relevan dengan kondisi kawasan konservasi di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi. Sebagian besar kawasan tersebut terancam rusak, karena beberapa faktor, seperti tuntutan

konversi lahan, perambahan, kebakaran hutan, illegal logging, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa langka, serta tuntutan kebutuhan hasil hutan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk.

Namun kini Imperium AS yang dulu begitu megah ternyata berpotensi runtuh jika tidak segera memulihkan kembal

Gambar

Tabel 1.3Jumlah Pekerja Indonesia Menurut Status Pekerjaan
Tabel 2.6. Nilai Penjualan Bibit dan Pupuk ( dalam US$ millions)
Gambar 3.1. Masterplan Percepatan Ekonomi Indonesia
Tabel 3.2. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Ditinjau Dari Sisi Produksitahun 2013 yang dimiliki oleh BAPPENAS
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hunian Berimbang adalah perumahan dan kawasan permukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara

Struktur umum sel prokariotik terdiri dari kapsul, dinding sel (membran luar dan peptidoglikan merupakan anggota karbohidrat), membran plasma, sitoplasma yang

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pada bangunan Perumahan Pondok Pasir Mas Palangka Raya teridentifikasi ada 9 (sembilan) macam kerusakan yang terjadi, yaitu: Kebocoran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komunikasi, motivasi kerja dan kinerja di PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Area Binjai.. Penelitian ini merupakan

Dari hasil penelitian tersebut dari 34 pasien konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan hasil angka harapan hidup dua tahun pasien Kanker Payudara

Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas buku saku akuntansi yang dikembangkan dalam kategori baik dengan rata-rata skor 3,67% dan buku saku akuntansi dinyatakan layak

 Selain investasi TI yang berat, banyak organisasi tidak menyadari nilai bisnis yang penting dari sistem mereka, karena mereka kurang atau gagal untuk menghargai aset

Hasil optimum tablet ibuprofen yang diperoleh dengan program optimasi Design Expert yaitu formula dengan konsentrasi amilum kulit pisang pada konsentrasi 3,08%,