• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Dandang Gendis 2.1.1 Sistematika tumbuhan - Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) Pada Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Dandang Gendis 2.1.1 Sistematika tumbuhan - Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) Pada Mencit"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Dandang Gendis 2.1.1 Sistematika tumbuhan

Tumbuhan dandang gendis memilki sistematika sebagai berikut (Akbar,

2010):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Solanales

Suku : Acanthaceae

Marga : Clinacanthus

Spesies : Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)

2.1.2 Nama lain

Tumbuhan dandang gendis memiliki sinonim Beleperone futgina

Hassk., dan Clinacanthus burmani Nees. Nama daerah, yaitu daun thailand, lidah ular, seribu bias (Sumatera), ki tajam (Jawa Barat), gendis (Jawa

(2)

2.1.3 Habitat

Tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) tumbuh pada daerah dataran rendah dan dapat digunakan sebagai pagar hidup

(Nainggolan, 2004).

2.1.4 Morfologi

Tumbuhan Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau memiliki batang berkayu, tegak lurus slindris, beruas dan berwarna hijau. Akar tunggang

berwarna putih dan kotor. Daun tunggal berhadapan, bentuk lanset, ujung

runcing, pangkal membulat, tepi beringgit, panjang 8-12 mm, lebar 4-6 cm,

pertulangan menyirip berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, panjang

± 1 cm, mahkota bunga berbentuk tabung, memanjang melebar, panjang ± 3,5

cm, berwarna merah muda. Benang sari coklat, putih berbentuk tabung, bakal

buah pipih, tiap ruas berisi 2 biji berwarna merah. Buah kotak, bulat

memanjang berwrna coklat. Biji kecil berwarna hitam (Anonim, 2005b).

2.1.5 Kandungan kimia

Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid/steroid, glikosida, tanin, saponin

dan flavonoid (Linda, 2007; Wirasty, 2004).

2.1.6 Khasiat dan penggunaannya

Pada sistem pengobatan Cina dan pengobatan tradisional lain

disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat seperti mengefektifkan fungsi

kelenjar tubuh, meningkatkan sirkulasi, peluruh air seni, penurun panas karena

(3)

antivirus (herpes dan zoster), antiinflamasi, antioksidan, antitoksin binatang

berbisa, obat luka bakar dan eksim (Nainggolan, 2004).

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan

asal dengan menggunakan pelarut (Syamsuni, 2006). Zat aktif yang terdapat

dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri,

alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Tujuan utama ekstraksi

ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat

yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu :

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan,

sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau campuran

simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, tuangi

dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari

cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari

(4)

biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan

dan saring (Ditjen POM, 1979).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut

perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan

terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan. Prosesnya terdiri

dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak

(Ditjen POM, 2000).

Prosedur perkolasi yaitu basahi 10 bagian simplisia atau campuran

simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian

cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama

3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap

kali di tekan hati-hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan

mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup

perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan

1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga

selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80

bagian perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat,

tambahkan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan

ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk, terlindung

(5)

c. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan

kembali ke labu (Ditjen POM, 2000).

d. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana

pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh

membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet,

setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi,

demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).

e. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontiniu pada temperatur

yang tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40º-50ºC (Ditjen POM, 2000). f. Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 2000). g. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

(6)

2.3 Toksikologi

Secara sederhana dan ringkas, Lu (1994) mendefinisikan toksikologi

sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan

terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Menurut Hodgson dan

Levi (2000) toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang

berhubungan erat dengan senyawa racun dimana racun yang dimaksud adalah

senyawa-senyawa yang menimbulkan efek merugikan tubuh bila dikonsumsi

baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

2.4 Paparan Umum Toksikologi

Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun

terhadap makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk

hidup mengalami paparan dengan toksikan. Berikutnya, setelah mengalami

absorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan

terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di

dalam diri makhluk hidup. Di tempat aksi ini kemudian terjadi interaksi antara

toksikan atau metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau

reseptor sehingga timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud

serta sifat tertentu. Ada dua kemungkinan toksikan masuk ke dalam tubuh,

yakni secara intravaskuler meliputi intravena, intrakardial, dan intraarteri dimana toksikan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah dan ekstravaskuler

meliputi peroral, intramuskular, intraperitonial, subkutan, dan inhalasi dimana

(7)

secara ekstravaskuler selanjutnya akan masuk ke dalam sirkulasi darah setelah melalui tahap absorpsi terlebih dahulu. Setelah toksikan berada dalam sirkulasi

darah maka toksikan akan mengalami distribusi ke tempat aksi (sel sasaran

atau reseptor) (Retnomurti, 2008).

2.5 Pengujian Toksisitas

Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering

mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai

dosis untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi

menjadi tiga kategori:

1. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang

sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24

jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan

memberikan bahan tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima

kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup

hewan, yaitu tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing.

3. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia

berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya

sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24

bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Lu, 1994).

Uji toksisitas tidak dirancang untuk menunjukkan bahwa bahan kimia

(8)

dihasilkan. FDA (Food and Drug Administration), EPA (Environmental Protection Agency), dan Organization for Economic Cooperation and

Development (OECD) telah menuliskan standar cara bekerja yang baik di

laboratorium (GLP) dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pedoman ini

diharapkan dapat mendukung pengenalan keamanan bahan kimia ke

masyarakat ketika uji toksisitas dilakukan (Casarett, 2008).

Prinsip pengujian toksikologi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Prinsip toksikologi (Casarett, 2008) Identifikasi bahan uji

Karakterisasi kimia

Tinjauan pustaka

Pengujian struktur / aktivitas

Pengujian hewan jangka pendek

Toksikologi genetik

in vitro

Toksisitas subkronik

Metabolisme

Oncogenesitas Toksisitas kronik

(9)

Suatu kerangka kerja umum bagaimana suatu bahan kimia baru

dievaluasi toksisitasnya ditunjukkan pada Gambar 2.1. Studi awal

membutuhkan evaluasi senyawa kimia untuk mengetahui kemurnian, stabilitas,

kelarutan, dan faktor-faktor fisikokimia lainnya yang dapat mempengaruhi

efektivitas senyawa uji. Kemudian struktur senyawa uji dibandingkan dengan

struktur senyawa yang telah ada untuk mengetahui informasi toksisitasnya.

Hubungan struktur aktivitas dapat ditinjau dari literatur toksikologi yang ada.

Setelah informasi dasar telah dievaluasi, senyawa uji dapat diberikan kepada

hewan untuk studi dosis toksisitas akut dan berulang (Casarett, 2008).

2.5.1 Uji toksisitas akut

Uji toksisitas akut secara umum merupakan uji yang pertama dilakukan.

Uji ini memberikan data pada toksisitas relatif yang meningkat dari dosis

tunggal hingga dosis berganda. Uji standar tersedia dalam pemberian secara

oral, dermal dan inhalasi (Gupta, et al., 2012). Parameter-parameter dasar

dalam pengujian toksisitas akut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Parameter dasar pengujian toksisitas akut

Spesies Tikus lebih disukai pada uji secara oral dan inhalasi, kelinci lebih disukai pada uji secara dermal

Umur Dewasa

Jumlah Hewan 5 setiap jenis kelamin per level dosis

Dosis Tiga level dosis yang direkomendasi, pemberian secara dosis tunggal selama 24 jam untuk uji oral dan dermal dan 4 jam untuk uji inhalasi

Waktu Pengamatan

14 hari

(Gupta, et al., 2012)

Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk

(10)

“dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik diharapkan akan membunuh

50% hewan coba”. Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang

mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk

tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama

(Lu, 1994). LD50 adalah dosis perkiraan bahwa ketika racun itu diberikan

langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di

bawah kondisi yang ditentukan dari tes atau LC50 merupakan konsentrasi

perkiraan, dalam lingkungan hewan yang terpapar, yang akan membunuh 50%

dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi,

2000).

Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya adalah

sebagai berikut:

Kategori LD50

Supertoksik 5 mg/kg atau kurang

Amat sangat toksik 5-50 mg/kg

Sangat toksik 50-500 mg/kg

Toksik sedang 0,5-5 g/kg

Toksik ringan 5-15 g/kg

Praktis tidak toksik >15 g/kg

2. Evaluasi dampak keracunan yang tidak disengaja; perencanaan penelitian

toksisitas subkronik dan kronik pada hewan, memberikan informasi

tentang mekanisme toksisitas, pengaruh umur, seks, faktor penjamu dan

faktor lingkungan lainnya dan variasi respons antarspesies dan antarstrain

(11)

Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara

jenis yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu yang satu dengan

individu yang lain dalam satu jenis. Beberapa faktor tersebut antara lain

(Retnomurti, 2008):

a. Spesies, strain dan keragaman individu

Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme

dan detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan

kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu zat.

b. Perbedaan jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang

disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina

mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga

menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan.

c. Umur

Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi

terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi

ginjal belum sempurna. Pada hewan yang tua kepekaan individu meningkat

karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.

d. Berat badan

Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan pada

berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat

memberikan nilai LD50 yang berbeda pula, semakin besar berat badan maka

(12)

e. Cara pemberian

Lethal dosis juga dapat dipengaruhi oleh cara pemberian. Pemberian

obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat

atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi

penyerapan di saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme

suatu zat di dalam tubuh.

f. Faktor lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara

lain temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan

temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.

g. Kesehatan hewan

Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu

toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan

lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang

berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat.

h. Diet

Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50.

Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan.

2.5.2 Uji toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik dilakukan dengan memberikan bahan

berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima hari seminggu, selama jangka waktu 10%

dari masa hidup hewan (Retnomurti, 2008). Uji toksisitas subkronis meneliti

(13)

(Hodgson dan Levi, 2000). Paparan subkronis dapat bertahan selama periode

waktu yang berbeda, tapi 90 hari adalah durasi uji yang paling umum. Tujuan

utama uji subkronik adalah untuk mencapai NOAEL (no-observed-adverse effect level) dan untuk mengidentifikasi lebih lanjut ciri organ tertentu atau organ yang terpapar senyawa uji setelah pemberian secara berulang. Studi

subkronik dapat dilakukan pada dua spesies (biasanya tikus dan anjing untuk

FDA; dan mencit untuk EPA) dengan rute pemberian yang lazim yaitu oral.

Setidaknya ada tiga dosis yang diberikan (dosis tinggi yang menghasilkan

toksisitas tetapi tidak menyebabkan lebih dari 10% korban jiwa, dosis rendah

yang tidak menghasilkan efek beracun jelas, dan dosis intermediate) dengan 10

sampai 20 tikus dan 4 sampai 6 anjing dari masing-masing jenis kelamin per

dosis (Casarett, 2008). Lama penelitian pada tikus biasanya 90 hari. Pada

anjing masa itu sering diperpanjang sampai enam bulan atau bahkan satu atau

dua tahun (Lu, 1994).

Pengamatan yang dilakukan dalam pengujian toksisitas subkronis

adalah pengamatan pada awal pemberian senyawa meliputi penampakan fisik

(kematian, membran mucus, kulit, dan lain sebagainya), konsumsi makanan,

berat badan, respon neurologi, kelakuan yang tidak normal, pernafasan, ECG,

EEG, hematologi, pemeriksaan darah, urin. Pengamatan pada akhir pengujian

meliputi nekropsi dan histologi (Hogson dan Levi, 2000).

2.5.3 Uji toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis menentukan toksisitas dari keberadaan bahan yang

(14)

tetapi memerlukan waktu yang lebih lama dan melibatkan kelompok yang

lebih besar dari hewan (Gupta, et al., 2012). Pada tikus, paparan kronik

biasanya 6 bulan sampai 2 tahun. Untuk hewan selain tikus biasanya selama

satu tahun tetapi mungkin lebih lama (Casarett, 2008).

Tujuan uji toksisitas kronik adalah menentukan sifat toksisitas zat kimia

dan menentukan NOAELnya. Protokol yang biasa digunakan pada pengujian

subkronik dan kronik melibatkan kelompok hewan mengandung jumlah yang

sama dari kedua jenis kelamin (jantan dan betina) menerima setidaknya tiga

tingkat dosis obat dan satu kelompok kontrol. Hewan-hewan ini diobservasi

setiap hari terhadap tanda-tanda klinis toksisitas. Berat badan dan konsumsi

makanan diukur secara berkala. Ada tiga parameter, yaitu tanda-tanda klinis,

berat badan, dan konsumsi makanan. Profil kimia hematologi dan serum

lengkap diukur setidaknya pada akhir pengujian (Gupta, et al., 2012).

2.6 Pengujian In Vivo

Pengujian secara in vivo adalah pengujian yang dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan untuk mengetahui metabolisme suatu senyawa

di dalam tubuh. Hewan percobaan yang digunakan pada percobaan secara in vivo harus dari jenis mamalia, karena hasilnya dapat diterapkan pada manusia. Ciri-ciri hewan mamalia adalah hewan yang menyusui anaknya, berambut,

berdarah panas, mempunyai empat ruang jantung, dan melahirkan anak

(15)

Mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis digunakan untuk

penelitian yang bersifat kuantitatif karena sifatnya yang mudah

berkembangbiak. Selain itu, dalam bidang peternakan mencit tidak

membutuhkan biaya yang mahal, efisien dalam waktu, dan kemampuan

reproduksi tinggi dengan waktu yang singkat (Hadriyanah, 2008). Sistem

taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Pribadi, 2008).

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya (Retnomurti, 2008):

Lama hidup : 1-2 tahun

Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama hamil : 19-21 hari

Umur dewasa : 35 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu

(16)

2.7 Hati

Hati adalah organ terbesar yang terdapat di dalam tubuh kita, letaknya

di rongga perut di sebelah kanan bawah diafragma. Hati berwarna merah tua

dan beratnya ± 1,5 kg. hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri.

Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma,

permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan yang disebut fisura

tranversus (Irianto, 2004). Fisura longitudinal memisahkan belahan kanan dan

kiri di bagian atas hati. Selanjutnya hati dibagi empat belahan, yaitu lobus

kanan, lobus kiri, lobus kaudata dan lobus kuadratus. Hati mempunyai dua

jenis peredaran darah, yaitu arteri hepatica dan vena porta (Syaifuddin, 2006).

Fungsi hati adalah sebagai berikut (Syaifuddin, 2006):

1. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu

tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam

jaringan.

2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu

dan urin.

3. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam sistem

retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.

5. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum,

dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.

(17)

2.8 Ginjal

Ginjal sering disebut buah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan

letaknya disebelah belakang rongga perut, kanan dan kiri rongga perut. Ginjal

kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah (Irianto, 2004).

Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang

melebar, korpuskulus renal, tubulus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus

distal. Tubulus dan duktus koligens, menampung urin yang dihasilkan oleh

nefron dan menghantarnya ke pelvis ranalis. Nefron dan duktus koligens

merupakan tubulus uriniferus sebagai satuan fungsional ginjal (Anggraini,

2008).

Fungsi ginjal adalah (Syaifuddin, 2006):

1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh.

2. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion

yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).

3. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin), zat-zat

toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing.

4. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.

5. Fungsi hormonal dan metabolisme.

2.9 Jantung

Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada (toraks),

di atas paru-paru (Irianto, 2004). Bentuk jantung menyerupai jantung pisang,

(18)

agak runcing disebut apeks kordis. Ukuran jantung lebih kurang sebesar

genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram (Syaifuddin,

2006). Jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan terluar disebut

epikardium, lapisan tengah disebut miokardium, lapisan terdalam disebut

Gambar

Gambar 2.1 Prinsip toksikologi (Casarett, 2008)
Tabel 2.1 Parameter dasar pengujian toksisitas akut

Referensi

Dokumen terkait

Ibadah kontemporer dapat dipahami sebagai kultur kaum muda masa kini, di mana mereka dibentuk menjadi murid yang semakin serupa dengan Kristus. Kul­ tur tersebut merupakan

Resistensi yang dilakukan ulun Lampung merupakan upaya untuk mewujudkan kembali bumi Lappung sebagaimana konsep sang bumi rua jurai , sekaligus untuk mengambil

Maka hipotesis kedua yang menyatakan bahwa “ Ada pengaruh yang signifikan kepu- asan pasien terhadap loyalitas pasien pada Rumah Sakit Umum Islam Yakssi Gemolong,

Karena kata-kata italics ini bukan aslinya, untuk amannya kita boleh saja menghilangkannya, maka kemudian ayat itu akan dibaca sebagai berikut: “Jadi hukum Taurat TELAH

Apabila aktiva tetap tidak digunakan lagi dan dijual, maka nilai tercatat dan akumulasi penyusutannya dikeluarkan dari laporan keuangan, dan keuntungan dan kerugian yang

Berkenaan dengan hal tersebut barangkali dengan kurikulum yang kontekstual siswa dapat lebih dibantu untuk belajar fisika dengan senang dan mudah, maka

Untuk masalah konduksi panas melalui dinding, model ini membahas tentang distribusi suhu terhadap ketebalan dinding dan merupakan fungsi linear.. Model konduksi panas

Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan tesis yang penulis susun