• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pelatihan SDM - Rancangan Sistem Pelatihan Untuk Peningkatan Kerja SDM Di PT. XYZ Deli Serdang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pelatihan SDM - Rancangan Sistem Pelatihan Untuk Peningkatan Kerja SDM Di PT. XYZ Deli Serdang."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Pelatihan SDM

Sinulingga, (2008: 16) mendefenisikan sistem ialah seperangkat elemen yang

saling bergantung atau berinteraksi satu dengan lain menurut pola tertentu dan

membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi di atas

menjelaskan karakteristik sebuah sistem sebagai seperangkat elemen yang

membentuk satu kesatuan (unity), semua elemen mempunyai hubungan fungsional

(functional relationship) dan kesatuan tujuan. Sekelompok benda yang terletak secara

acak dalam sebuah ruangan telah memenuhi syarat sebagai seperangkat elemen tetapi

tidak dapat disebut sebagai sistem karena antar benda tersebut tidak terjadi interaksi

atau tidak mempunyai hubungan fungsional dan tidak memiliki kesatuan tujuan.

Pelatihan sumber daya manusia menurut pendapat Dessler, (2003: 187)

Training is the process of teaching new employees the basic skills they need to

perform their jobs. Training refers to a planned effort to facilitate employees the

learning of job-related competencies.”

Kaswan, (2011: 2) mendefenisikan pelatihan adalah proses meningkatkan

pengetahuan, dan keterampilan karyawan. Pelatihan meliputi pengubahan sikap

sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaannya lebih efektif. Pelatihan menurut

Sikula, (1981: 227) yang dikutip Mangkunegara, (2003: 50) adalah suatu proses

(2)

terorganisasi, pegawai non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan

teknis dalam tujuan yang terbatas.

Pelatihan merupakan kegiatan dari perusahan/instansi yang bermaksud untuk

dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan, dan

pengetahuan dari pegawainya, sesuai dengan keinginan dari perusahaan/instansi yang

bersangkutan. Selain itu pelatihan juga bertujuan untuk memperbaiki penguasaan

berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan pekerjaan tertentu, terinci, dan rutin.

Pelatihan berisi desain program perencanaan untuk memperbaiki prestasi kerja dari

tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Perbaikan prestasi kerja, dalam

perputaran dinyatakan secara tidak langsung pada perubahan yang diukur pada

pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan perilaku sosial.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pelatihan merupakan

suatu proses pembelajaran pegawai secara terencana sesuai dengan kompetensi yang

dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya, dan didesain untuk meningkatkan kinerja

pegawai. Pelatihan berisi desain program perencanaan untuk memperbaiki prestasi

kerja dari tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Perbaikan prestasi kerja, dalam

perputaran dinyatakan secara tidak langsung pada perubahan yang diukur pada

pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan perilaku sosial.

Menurut Rivai, (2011: 214) pelatihan dengan pendekatan sistem melibatkan

beberapa sub sistem. Sub sistem ini meliputi identifikasi kebutuhan pelatihan,

penetapan sasaran, merancang program, pelaksanaan program, dan evaluasi program.

(3)

Gambar 2.1 Konsep Pelatihan dengan Pendekatan Sistem

Menurut Bernardin (2008:251) “ a needs assessment is a systematic,objective

determination of training needs that involves conducting three primary types of

analysis. The three analysis consist of an organizational analysis, a jobanalysis, and

a person analysis”. Ada beberapa gejala yang dapat diartikan sebagai sebuah

kebutuhan akan pelatihan, Nasution, (2005: 88) yaitu menurunnya produktivitas dan

kinerja karyawan, jumlah produk yang cacat cendrung meningkat, motivasi dan

loyalitas karyawan semakin menurun serta job target tidak dapat dicapai.

2.2 Tujuan dan Manfaat Pelatihan

Tujuan pelatihan ditinjau dari sisi individu karyawan, yaitu perubahan dalam

peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan dan pengembangan karir. Sedangkan

tujuan pelatihan untuk perusahaan adalah tercapainya kinerja yang maksimum 1.

Identifikasi Kebutuhan Pelatihan

2.

Penetapan Sasaran

3.

Merancang Program 4.

Pelaksanaan Program 5.

(4)

sebagai buah dari hasil pelatihan yang terjadi pada karyawan. Dalam hal ini, harus

ada keterkaitan antara input, output, outcome, dan impact dari pelatihan yaitu:

1. Faktor input terdiri dari karyawan peserta pelatih, bentuk dan materi

pelatihan, pelatih atau instruktur, tim pengelola, waktu dan tempat dan

fasilitas lain. Materi program disusun dari estimasi kebutuhan dan tujuan

pelatihan. Kebutuhan disini mungkin dalam bentuk pengajaran keahlian

khusus, menyajikan pengetahuan yang diperlukan, atau berusaha untuk

mempengaruhi sikap.

2. Faktor output terdiri dari jumlah kehadiran karyawan atau peserta

pelatihan, intensitas interaksi pelatihan, jumlah kehadiran pelatih, kepuasan

karyawan dan pelatih serta pengelola.

3. Faktor outcome meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan

karyawan.

4. Faktor impact terdiri dari peningkatan kinerja karyawan, pengembangan

karir karyawan, dan peningkatan kinerja perusahaan.

Adapun tujuan pelatihan menurut Mangkunegara, (2003: 52) adalah:

1. Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi.

2. Meningkatkan produktivitas kerja.

3. Meningkatkan kualitas kerja.

4. Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia.

(5)

6. Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara

maksimal.

7. Menghindarkan keusangan (obsolescence).

8. Meningkatkan perkembangan pribadi pegawai.

2.3 Langkah-langkah Merancang Sistem Pelatihan 2.3.1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan

Tahap pertama dalam melakukan pelatihan adalah menentukan adanya

kebutuhan pelatihan yang aktual. Suatu perusahaan akan melakukan pelatihan apabila

hal tersebut diharapkan dapat mendukung tujuan perusahaan. Keputusan pelaksanaan

pelatihan harus berdasarkan analisis kebutuhan, yang dilakukan dengan menganalisis

data yang tersedia di perusahaan. Menurut Bernardin dalam Veithzal (2008: 234)

analisis kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi gejala dan informasi

yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan atau kesenjangan

pengetahuan, keterampilan , dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi jabatan

tertentu dalam suatu perusahaan. Analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai

suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi

bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu

ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan

menjadi meningkat (Sulianti, 2005:18). Sejalan dengan pendapat Veitsal, menurut

(6)

proses mengidentifikasi gap atau kesenjangan yang menjadi tujuan dan merupakan

suatu cara untuk menetapkan tujuan dan standar evaluasi.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis

kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi kesenjangan antara tujuan yang

ditetapkan dengan hasil kerja karyawan, sehinggga perlu diperbaiki untuk

meningkatkan produktivitas kerja pegawai dan perusahaan. Tujuan kegiatan ini

adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk

menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya

diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi

gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar atau yang

diharapkan untuk dilakukan oleh pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan

pelatihan merupakan proses untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada tersebut,

dan melakukan analisis apakah kesenjangan tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan

melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan analisis kebutuhan pelatihan maka pihak

penyelenggara pelatihan (HRD atau Divisi Training) dapat memperkirakan

manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu pelatihan, baik bagi partisipan

sebagai individu maupun bagi perusahaan. Kesenjangan antara yang diharapkan

dengan kenyataan, tingkat kinerja karyawan, prestasi unit kerja, dan karakteristik dari

karyawan dapat menjadi tujuan diadakannya pelatihan. Faktor kesenjangan tersebut

harus diidentifikasi sebagai faktor penting, yang harus mendapat perhatian

(7)

Selain itu pelatihan akan berhasil jika proses mengisi kebutuhan pelatihan

yang benar. Pada dasarnya kebutuhan itu adalah untuk memenuhi kekurangan

pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar

yang bervariasi. Kebutuhan dapat digolongkan menjadi:

1. Kebutuhan memenuhi tuntutan sekarang.

Kebutuhan ini biasanya dapat dikenali dari prestasi karyawannya yang

tidak sesuai dengan standar hasil kerja yang dituntut pada jabatan itu.

Meskipun tidak selalu penyimpangan ini dapat dipecahkan dengan

pelatihan.

2. Memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya.

Pada tingkat hirarki manapun dalam perusahaan sering dilakukan rotasi

jabatan. Alasannya bermacam-macam, ada yang mengatakan untuk

mengatasi kejenuhan dan ada juga yang menyebutkan untuk membentuk

generalisasi.

3. Untuk memenuhi tuntutan perubahan.

Perubahan-perubahan baik intern (perubahan sistem, struktur organisasi)

maupun ekstern (perubahan teknologi, perubahan orientasi bisnis

perusahaan) sering memerlukan adanya tambahan pengetahuan baru.

Meskipun pada saat ini tidak ada persoalan antara kemampuan orangnya

dengan tuntutan jabatannya, tetapi dalam rangka menghadapi perubahan di

(8)

2.3.2 Penetapan Tujuan dan Sasaran Pelatihan

Tujuan adalah pernyataan formal yang jelas dari suatu hasil akhir yang

diharapkan, dan dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan yang terperinci dalam

suatu program. Dalam menetapkan tujuan terdapat beberapa hal yang harus menjadi

acuan agar tujuan yang ditetapkan jelas dan terukur. Acuan dalam menetapkan tujuan

tersebut adalah apa yang harus diketahui atau yang dapat dikerjakan oleh para peserta

pada akhir pelatihan, bagaimana peserta memperagakan hasil dari pelatihan, berbagai

standart yang diperlukan untuk mencapai tingkat kompetensi baru, hambatan yang

akan mengganggu upaya mewujudkan sasaran.

Pada dasarnya sasaran dan tujuan pelatihan dapat dibedakan dalam tiga jenis

kategori pokok yaitu:

1. Pengetahuan (cognitive), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan

aspek pengetahuan.

2. Keterampilan (psychomotor), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan

dengan aspek keterampilan.

3. Sikap (affective), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan

tingkah laku.

2.3.2.1 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia

(9)

indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum

pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman

dan potensi untuk menindaki yang melekat di benak seseorang. Pada umumnya,

pengetahuan memiliki kemampuan memprediksi sesuatu sebagai hasil pengenalan

atas suatu pola. Jika informasi dan data sekedar berkemampuan untuk

menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan

berkemampuan untuk mengarahkan tindakan (www.wikipedia.com).

Menurut Widayana, (2005:13) pengetahuan adalah informasi yang dilengkapi

dengan pemahaman pola hubungan dari informasi disertai pengalaman, baik individu

maupun kelompok dalam organisasi. Terdapat dua tipe pengetahuan yaitu

pengetahuan implisit dan pengetahuan ekspisit.

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang sebagian besar berada dalam

organisasi. Pengetahuan ini merupakan sesuatu yang diketahui dengan alami, namun

sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Pengetahuan implisit sangat sulit

untuk dipindahkan kepada orang lain, karena pengetahuan tersebut tersimpan pada

masing-masing pikiran (otak) indvidu dalam organisasi sesuai dengan

kompetensinya.

Dalam buku knowledge management yang dituliskan oleh widayana,

pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang

(10)

adalah sebuah buku petunjuk pengoperasian sebuah mesin atau penjelasan yang

diberikan oleh seorang instruktur dalam sebuah program latihan.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt

Behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Menurut Nonaka dalam Munir (2008: 26) pengetahuan ekspisit dan

pengetahuan implisit dapat diekspresikan dengan rumus sebagai berikut:

Pengetahuan = Pengetahuan Eksplisit + Pengetahuan Implisit…..….(2.1)

Pengetahuan eksplisit selanjutnya disebut sebagai pengetahuan yang dapat

diekspresikan dengan kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk

formula ilmiah, spesifikasi, prosedur operasi standar, bagan, manual-manual dan

sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke

individu lainnya secara formal dan sistematis. Di pihak lain pengetahuan implisit

merupakan pengetahuan yang terletak pada benak manusia, bersifat sangat personal

dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk dikomunikasikan atau

disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman

fisik, petunjuk praktis termasuk jenis pengetahuan ini.

Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman cendrung bersifat

terbatinkan, fisik dan subjektif. Dilain pihak, pengetahuan yang diperoleh melalui

(11)

Notoadmodjo (1993), berpendapat pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni:

a. Tahu (Know).

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang diterima.

b. Memahami (Comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis).

Analisis adalah suatu komponen untuk menjabarkan analisis atau suatu

objek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat

dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat bagan)

(12)

e. Sintesis (Synthesis).

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation).

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.

2.3.2.2 Keterampilan (Skill)

Menurut Gordon (1994: 55) keterampilan merupakan kemampuan untuk

mengoprasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Pengertian ini biasanya

cenderung pada aktivitas psikomotor. Iverson (2001:133) menambahkan bahwa

selain training yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan

juga membutuhkan kemampuan dasar (basic ability). Di sisi lain Robbins (2000:494)

menyatakan bahwa keterampilan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:

1. Kemampuan Dasar (Basic literacy skill).

Keahlian dasar merupakan keahlian seseorang yang pasti dan wajib

(13)

2. Kemampuan Teknikal (Technical skill).

Keahlian teknik merupakan keahlian seseorang dalam pengembangan

teknik yang dimiliki, seperti menghitung secara tepat, dan mengoprasikan

komputer.

3. Kemampuan Beriteraksi (Interpersonal skill).

Keahlian interpersonal merupakan kemampuan seseorang secara efektif

untuk berinteraksi dengan orang lain maupun dengan rekan kerja, seperti

pendengar yang baik, menyampaikan pendapat secara jelas dan bekerja

dalam satu tim.

4. Kemampuan Memecahkan Masalah (Problem solving).

Menyelesaikan masalah adalah proses aktivitas untuk menajamkan logika,

berargumentasi dan penyelesaian masalah serta kemampuan untuk

mengetahui penyebab, mengembangkan alternatif dan menganalisa serta

memilih penyelesaian yang baik.

Sedangkan keterampilan kerja yang dimiliki seseorang menurut Kost dan

Rosenweig (1998: 77) dapat dibagi sebagai berikut:

1. Technical Skill, terampil dan pakar dalam pekerjaan tertentu, berupa

metoda-metoda, proses-proses dan prosedur-prosedur atau teknik-teknik pelaksanaan

kerja.

2. Human Skill, yaitu kemampuan untuk kekerja sama secara efektif sebagai

anggota kelompok.

(14)

Keterampilan adalah hasil dari latihan berulang, yang dapat disebut perubahan

yang meningkat atau progresif oleh orang yang mempelajari keterampilan tadi

sebagai hasil dari aktivitas tertentu (Whiterington, 1991 : 22). Keterampilan dari kata

dasar terampil yang artinya cakap menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan

sedangkan keterampilan artinya kecakapan untuk menyelesaikan tugas (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1999).

Menurut Graeff, dkk (1996: 102), pelatihan keterampilan merupakan aktivitas

utama selama fase implementasi suatu program kesehatan. Selama implementasi

pelatihan bertujuan untuk membangun dan memelihara perilaku-perilaku yang sangat

penting dalam kelangsungan program, maka pelatihan tersebut akan mengarah

kepada perolehan keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan melaksanakan

tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang

tersedia. Ada 3 jenis kemampuan dasar bersifat manusia (human skill), kemampuan

teknik (technicall skill), dan kemampuan membuat konsep (conceptual skill).

Keterampilan teknik adalah kemampuan untuk menggunakan alat, prosedur, dan

teknik yang berhubungan dengan bidangnya. Keterampilan manusia adalah

kemampuan untuk dapat bekerja, mengerti, dan mengadakan motivasi kepada orang

lain. Keterampilan konsep adalah kemampuan untuk melakukan kerja sama dalam

pekerjaan dan pekerjaan itu dapat memberikan keterampilan.

Dalam proses pendidikan atau pelatihan, Notoatmodjo, (1993: 53)

(15)

Masih diperlukan kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap

menjadi praktek. Kondisi tersebut antara lain tersedianya fasilitas untuk belajar yaitu:

1. Peserta diberi kesempatan untuk melihat dan mendengar orang lain

melakukan keterampilan tersebut dan diberi kesempatan melakukan

sendiri.

2. Peserta diberi kesempatan untuk menguasai sub-sub komponen

keterampilan sebelum menguasai keterampilan secara keseluruhan.

3. Peserta harus melakukan sendiri keterampilan baru.

4. Pelatih mengevaluasi hasil keterampilan baru dan memberi umpan balik.

Menurut Green (1991), ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku atau

sikap seseorang, yaitu:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi

pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi individu.

b. Faktor-faktor penguat (enabling factors), meliputi sikap dan perilaku

petugas kesehatan dan orang lain disekitarnya.

c. Faktor-faktor pemungkin (reinforcing factors), seperti kebijakan teknis

kesehatan seperti adanya revitalisasi, ketersediaan sumberdaya kesehatan

yang ada.

Sedangkan pengetahuan seseorang sangat dipengaruhi oleh adanya

pengalaman dan juga informasi dari orang lain, buku dan media massa WHO (1992).

Menurut Notoatmodjo, (1995), pendidikan kader sangat berpengaruh terhadap

(16)

kader, bimbingan dan penyuluhan di lapangan. Ada 5 (lima) faktor yang dapat

diidentifikasi berpengaruh terhadap perilaku positif atau tindakan seseorang dalam

bentuk keterampilan seperti:

1. Faktor interpersonal atau individual, yaitu karakteristik seseorang yang

meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan dan ciri-ciri kepribadian.

2. Faktor interpersonal yaitu proses hubungan antar manusia dan

kelompok-kelompok utama yang berpengaruh seperti keluarga, teman yang

memberikan informasi.

3. Faktor institusional, yaitu undang-undang, peraturan dan kebijakan.

4. Faktor kelompok masyarakat, yaitu norma, standar formal maupun

informal dan organisasi masyarakat.

5. Faktor kebijakan publik, yaitu adanya kebijakan yang berhubungan dengan

tenaga kerja dan dikeluarkan oleh pemerintah berupa undang-undang yang

mendukung program tenaga kerja.

2.3.2.3 Sikap

Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif

terhadap suatu objek psikologis Azwar, (2005: 4). La Pierre mendefinisikan sikap

sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk

menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon

(17)

lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap

dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (Azwar, 2005: 5).

Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk

merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu.

Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan ciri khas perilaku seseorang dalam

hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap

merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau

tingkah laku.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku

terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif

dan konatif.

Sikap memiliki 3 komponen (Fisbein dan Ajzen, 1975) dalam (Azwar,

(2005: 8) yaitu:

a. Komponen Kognitif.

Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan

seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek

sikap.

b. Komponen Afektif.

Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah

emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum,

(18)

c. Komponen Konatif (Perilaku).

Komponen konatif atau komponen prilaku dalam struktur sikap

menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang

ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

2.3.3 Menyusun Materi Program

Materi program disusun dari estimasi kebutuhan dan tujuan pelatihan.

Kebutuhan dalam hal ini merupakan bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan

pengetahuan yang diperlukan, atau berusaha untuk mempengaruhi sikap. Apapun

materinya, program harus dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan peserta

pelatihan. Jika tujuan perusahaan tidak tercapai maka sumber daya menjadi sia-sia.

Peserta pelatihan harus melihat bahwa materi harus dapat menganalisis bahwa materi

pelatihan relevan dengan kebutuhan mereka atau motivasi mereka mungkin rendah.

Materi pokok yang akan disajikan dalam suatu pelatihan sangat bergantung

pada hasil analisis kebutuhan pelatihan. Proses pembelajaran pada umumnya, seperti

halnya dalam pelatihan yang mengajarkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, tidak

bisa terlepas dari proses kognitif. Dalam pendekatan pemrosesan informasi,

pengetahuan, sikap dan keterampilan, ketiganya merupakan wujud atau representasi

dari informasi yang dimasukkan, disimpan dan diolah dalam sistem kognitif manusia.

Anderson (dalam Matlin, 1998) melalui teori Adaptive Control of Thought (ACT),

membedakan pengetahuan manusia yang tersimpan dalam memori menjadi dua, yaitu

(19)

pengetahuan tentang fakta-fakta, hukum-hukum, pengetahuan prosedural adalah

pengetahuan tentang bagaimana cara melakukan suatu tindakan. Cara mengajarkan

kedua jenis pengetahuan tersebut dalam pelatihan berbeda, termasuk cara dalam

memberikan feedbacknya. Jika tujuan pelatihan untuk mengajarkan fakta-fakta dan

hukum-hukum (pengetahuan deklaratif), maka eksternal feedback lebih tepat dan

seharusnya diberikan secara bebas. Akan tetapi, apabila tujuan pelatihan untuk

mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu (pengetahuan prosedural), maka

feedback intrinsik relatif lebih penting.

Dalam merancang materi suatu pelatihan, perlu memperhatikan

prinsip-prinsip kerja sistem kognitif. Matlin (1998) menggambarkan adanya lima prinsip-prinsip

bagaimana sistem kognitif bekerja, yaitu: 1) proses kognitif adalah aktif, bukan pasif;

2) proses kognitif dapat ditandai secara efisien dan akurat; 3) proses kognitif

menangani informasi yang positif dengan lebih baik dibanding informasi yang

negatif; 4) proses kognitif saling berhubungan antara satu dengan yang lain, tidak

bekerja sendiri-sendiri; dan 5) kebanyakan proses kognitif berlangsung secara

top-down dan bottom-up sekaligus. Dengan mendasarkan pada bagaimana proses-proses

kognitif berlangsung, maka dalam merancang materi suatu pelatihan seharusnya: 1)

antara materi satu dengan yang lainnya harus dapat dihubungkan secara logis; 2)

materi-materi yang disajikan dalam bentuk positif (menggunakan kalimat-kalimat

positif, afirmatif), tidak menegasikan fakta-fakta; 3) penjelasan-penjelasan

(20)

Selain hal tersebut, perlu diperhatikan pula bagaimana agar materi (dalam

bentuk pengetahuan, informasi) dapat tersimpan dengan lebih baik dalam memori

sehingga konsekuensinya juga akan lebih mudah dipanggil kembali ketika diperlukan

(untuk diaplikasikan). Materi harus disampaikan dengan cara sedemikian rupa agar

menimbulkan recency effect, primacy effect, self-reference effect dan generation

effect.

Recency effect dan primacy effect berhubungan dengan urutan masuknya

informasi ke dalam sistem memori. Informasi yang disajikan di bagian awal sehingga

masuk terlebih dahulu ke dalam sistem memori, akan lebih mudah dipanggil kembali.

Ini yang disebut dengan primacy effect. Sebaliknya, informasi yang paling akhir

masuk merupakan informasi yang paling segar dalam ingatan sehingga juga lebih

mudah untuk dipanggil kembali, ini yang disebut dengan recency effect Matlin

(1998). Tata urutan penyajian materi atau informasi yang diberikan dalam suatu

pelatihan harus diatur sedemikian rupa agar dapat diperoleh kedua efek tersebut.

Pengaturan urutan tersebut dapat secara keseluruhan dalam suatu program pelatihan

maupun dalam potongan-potongan kecil yaitu bagian-bagian atau sesi pelatihan.

Self-reference effect dan generation effect berhubungan dengan isi materi dan

cara penyampaiannya. Informasi-informasi yang dihubungkan dengan diri sendiri

(peserta) akan lebih mudah untuk diingat kembali (self-reference effect) dan

informasi yang dibuat, dihasilkan dan disusun sendiri juga akan lebih mudah untuk

dingat (generation effect) (Matlin, 1998). Metode pembelajaran pengalaman

(21)

memori tersebut. Dalam experiential learning, materi pelatihan diberikan dalam

bentuk pengalaman-pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung, nyata

maupun simbolik, sehingga mereka mengalami sendiri akan sesuatu yang dipelajari.

Mereka kemudian merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan dari

padanya mereka membuat sendiri suatu konsep abstrak dari apa yang dipelajarinya.

Dengan demikian para peserta akan mendapatkan sekaligus self-reference effect dan

generation effect.

Materi yang satu dengan yang lainnya dalam suatu pelatihan, selain

mempertimbangkan efek-efek memori tersebut, dalam penyajiannya juga harus

diorganisasikan agar dapat saling dihubungkan dan mengikuti urutan yang logis.

Urutan tersebut dapat mengikuti pola-pola yang ada, bergantung pada isi materi dan

tujuan diberikannya materi tersebut. Pola-pola urutan (sequencing) yang dapat

digunakan misalnya time-sequencing (yaitu suatu pola penyajian materi berdasarkan

urutan waktu secara kronologis); spatial-sequencing (yaitu suatu pola yang

menunjukkan bagaimana sesuatu berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam ruang,

posisi dan orientasi visual); atau cause-effect sequence (yaitu suatu pola yang

menjelaskan terlebih dahulu alasan-alasan suatu kejadian, masalah atau isu, kemudian

mendiskusikan konsekuensi-konsekuensi, hasil-hasil dan akibat-akibatnya).

2.3.4 Memilih Metode Pelatihan

Idealnya pelatihan akan lebih efektif jika metode pelatihan disesuaikan

(22)

Metode yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan jenis pelatihan yang akan

dilaksanakan dan dapat dikembangkan oleh suatu perusahaan. Bahkan beberapa

pendekatan yang mengguakan sedikit prinsip belajar, seperti ceramah, adalah alat

berharga karena dapat memenuhi keperluan untuk tukar menukar keahlian atau

pengalaman. Misalnya ceramah menjadi cara terbaik untuk menyampaikan konten

akademik secara efektif, terutama bila kelas amat besar dan ruangan tidak

memungkinkan dengan pendekatan lain. Walaupun cara ini dapat mempengaruhi

metode yang dipakai, pengembangan SDM perlu mengenal seluruh teknik dan prinsip

belajar sebagai berikut:

1. Metode di dalam pekerjaan (on the job Training).

Metode ini menempatkan para trainee ke dalam situasi nyata, dimana

karyawan yang berpengalaman memperlihatkan atau membimbing para

karyawan baru yang diharapkan memberikan contoh-contoh pekerjaan

yang baik dan memperlihatkan penanganan suatu pekerjaan yang jelas dan

konkrit. Meliputi latihan orientasi, magang, pelatihan pada pekerjaan,

penugasan penelitian dan penilaian kinerja. Walaupun metode ini tampak

sederhana, apabila tidak ditangani dengan tepat, beberapa permasalan

mungkin timbul, seperti kerusakan mesin produksi, ketidakpuasan

konsumen, kesalahan melakukan filing dokumen dan lain-lain. Untuk

mencegah masalah ini instruktur harus dipilih secara selektif. Salah satu

pendekatan on job training yang sistematis adalah Job Instruction

(23)

pelatihan kepada supervisor, dan selanjutnya supervisor memberikan

pelatihan kepada pekerja. Kemudian pelatih menunjukkan pekerjaan untuk

memberi contoh pada peserta. Karena peserta diberi petunjuk pekerjaan,

pelatihan ditransfer kepada pekerja. Keuntungan dari metode pelatihan on

the job training yaitu:

a. Karyawan melakukan pekerjaan yang sesungguhnya bukan tugas yang

disimulasikan.

b. Karyawan mendapatkan instruksi-instruksi dari karyawan senior yang

berpengalaman yang telah melakukan tugas dengan baik.

c. Program ini sangat relevan dengan pekerjaan, membutuhkan biaya yang

relatif rendah dan memotivasi kinerja yang kuat.

2. Rotasi.

Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar mendapatkan

variasi kerja, para pengajar memindahkan para peserta pelatihan dari

tempat kerja yang satu ke tempat kerja lainnya. Setiap perpindahan

umumnya didahului dengan pelatihan dan pemberian instruksi kerja. Di

samping memberikan variasi kerja bagi karyawan, pelatihan silang turut

membantu perusahaan ketika ada karyawan yang cuti, tidak hadir,

perampingan atau terjadi pengunduran diri. Partisipasi para peserta dan

tingkat transfer pekerjaan yang tinggi ada beberapa manfaat belajar untuk

menghadapi rotasi kerja. Masing-masing program memberikan kesempatan

(24)

3. Magang.

Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih berpengalaman,

dan dapat ditambah dengan teknik off job training. Banyak pekerja

keterampilan tangan seperti tukang pipa dan kayu, dilatih melalui program

magang resmi. Asistensi dan kerja sambilan disamakan dengan magang

karena manggunakan partisipasi tingkat tinggi dari peserta dan memiliki

tingkat transfer tinggi kepada pekerjaan.

Latihan sama dengan magang karena latihan berusaha memberikan contoh

bagi peserta. Banyak perusahaan memakai modal latihan karena kurang

resmi dibanding magang. Latihan ditangani oleh supervisor atau manajer,

bukan departemen SDM. Kadang-kadang manajer atau profesional lain

berminat dan berperan sebagai mentor, memberikan keterampilan dan

nasehat dalam karier sekaligus.

4. Ceramah Kelas dan Presentasi Video.

Ceramah dan teknik lain dalam off job training lebih mengandalkan

komunikasi daripada memberikan model. Ceramah adalah pendekatan

terkenal karena menawarkan sisi ekonomis dan material organisasi, tetapi

partisipasi, umpan balik, transfer dan repetisi sangat rendah. Umpan balik

dan partisipasi dapat meningkat dengan adanya diskusi selama ceramah.

Televisi, film, slide dan film pendek sama dengan ceramah. Material

(25)

audiens. Pertumbuhan video didukung oleh penggunaan satelit bidang

rekayasa dan teknik lainnya.

5. Pelatihan Vestibule.

Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional rutin, beberapa

perusahaan menggunakan pelatihan vestibule. Wilayah atau vestibule

terpisah dibuat dengan peralatan yang sama dengan yang digunakan dalam

pekerjaan. Cara ini memungkinkan adanya transfer, repetisi, dan partisipasi

secara material perusahaan bermakna dan umpan balik.

6. Case Study.

Metode kasus adalah metode pelatihan yang menggunakan deskripsi

tertulis dari suatu permasalahan nyata yang dihadapi oleh perusahaan atau

perusahaan lain. Manajemen diminta mempelajari kasus untuk

mengidentifikasi dan menganalisis masalah, mengajukan solusi, memilih

solusi terbaik dan mengimplementasikan solusi tersebut. Peranan instruktur

adalah sebagai katalis dan fasilitator. Seorang instruktur yang baik adalah

instruktur yang dapat melibatkan setiap orang untuk mengambil bagian

dalam pengambilan keputusan.

7. Simulasi.

Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, simulasi

yang melibatkan simulator yang bersifat mekanik atau mesin yang

mengandalkan aspek-aspek utama dalam suatu situasi kerja. Simulasi

(26)

Metode pelatihan ini hampir sama dengan vestibule training, hanya saja

simulator tersebut lebih sering menyediakan umpan balik yang bersifat

instan dalam suatu kinerja. Kedua adalah simulasi komputer untuk tujuan

pelatihan dan pengembangan, metode ini sering berupa games atau

permainan. Para pemain membuat keputusan dan komputer menentukan

hasil yang terjadi sesuai dengan kondisi yang telah diprogramkan dalam

komputer.

2.4 Kinerja

Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance atau actual

performance dengan kata lain prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Definisi

kinerja karyawan sering diungkapkan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering

dihubungkan dengan produktivitas. Definisi kinerja karyawan menurut

Mangkunegara, (2000: 67) bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja

secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Simamora, dalam Mangkunegara, (2009: 9) mengemukakan bahwa

kinerja adalah proses dimana melalui mengevaluasi dan menilai kinerja karyawan.

Sejalan dengan itu Suryadi dalam Veithzal berpendapat kinerja adalah hasil

kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya dalam

(27)

Selanjutnya Gibson dan Donnelly dalam Veithzal mengatakan kinerja adalah

tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan

kemampuan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok yang telah

memberikan kontribusi bagi perusahaan dan kemudian perusahaan memberikan

penghargaan terhadap tugas yang diberikan kepada karyawan.

Menurut Veithzal, (2004: 309) bahwa kinerja merupakan perilaku nyata

yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan

sesuai dengan perannya dalam perusahaan dengan upaya untuk mencapai tujuannya.

Sulistiyani dan Rosidah (2003: 224) mengemukakan kinerja adalah catatan

outcome yang dihasilkan dari fungsi karyawan tertentu atau kegiatan yang

dilakukan selama periode tertentu.

Menurut John Whitmore dalam bukunya yang berjudul Coaching for

performance (1997: 104) mengatakan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang

dituntut dari seseorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu perencanaan

umum dan keterampilan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa kinerja

adalah atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai sumber

daya manusia persatuan periode waktu tertentu dalam melaksanakan tugas kerjanya

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya yang diakibatkan oleh

(28)

meningkatkan prestasinya, yang akan dinilai atasan, sehingga karyawan akan terus

berusaha untuk meningkatkan kinerja atau prestasinya, dan karyawan akan

mendapatkan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakannya. Dengan

adanya peningkatan kinerja karyawan akan dapat memantau perusahaan mencapai

tujuan dan memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat secara efektif dan

efisien.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Perusahaan dalam hal ini akan berbeda-beda dalam memandang faktor-faktor

kinerja karyawan, tapi pada dasarnya mereka sama bersandarkan pada teori-teori

atau pendapat para ahli, walaupun dari teori ini ada yang menggunakannya atau

sebaliknya.

Faktor yang menjadi sandaran dalam kinerja adalah yang dikemukakan oleh

Mangkunegara, (2000: 67) yaitu:

1. Kualitas kerja, yaitu menunjukkan hasil kerja yang dicapai dari segi

ketepatan, ketelitian dan kerapihan.

2. Kuantitas kerja, yaitu menunjukkan hasil kerja yang dicapai dari segi

keluaran atau hasil tugas-tugas rutinitas dan kecepatan dalam

menyelesaikan tugas tersebut.

3. Kerjasama, yaitu menyatakan kemampuan karyawan dalam berpartisipasi

(29)

2.6 Review Hasil Penelitian

Tabel 2.1 menjelaskan peneitian yang dilakukan Raharjo, (2008) dengan judul

“Analsis Pelaksanaan Pelatihan dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan

Bagian Penjualan Pada PT. X Jakarta menghasilkan bahwa pelaksanaan program

pelatihan karyawan dapat meningkatkan kinerja karyawan. Pada tahun 2001-2005

terjadi peningkatan produktivitas kerja karyawan sebesar 0,635%. Peningkatan

tersebut disebabkan mutu pelatihan yang semakin baik, dimana metode pelatihan

yang digunakan sudah sesuai dengan kegiatan perusahaan, pelatih ataupun

instrukturnya sudah berpengalaman dan benar-benar menguasai materi serta fasilitas

pelatihan sudah tersedia dengan baik.

Penelitian kedua oleh Antonella Cifalino dan Stifano Baraldi (2009) dengan

judul “Training Program and Performance Measurement, evidence from healthcare

organization”. Penelitian ini menyajikan dua jenis vara mengevaluasi pelatihan

secara operasional dan pendekatan strategis untuk menjawab pertanyaan apakan

kedua pendekatan itu benar-benar layak untuk mengukur kinerja pelatihan. Hasilnya

menunjukkan bahwa pendekatan tersebut mampu digunakan untuk mengukur

efektivitas pelatihan.

Dari kedua penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan

pelatihan jika dilakukan secara benar akan dapat meningkatkan kinerja sumber daya

manusia dan setiap kegiatan pelatihan yang telah dilakukan oleh perusahaan harus

melalui tahap evaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelatihan yang telah

(30)

2.6 Review Hasil Penelitian

Judul Penelitian Fokus Penelitian Metode Ukuran Performansi dan

Gambar

Gambar 2.1 Konsep Pelatihan dengan Pendekatan Sistem
Tabel 2. 2 Review Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan tersebut mengindikasikan sistem pengelolaan tenaga kerja masih belum efektif dalam memberikan output kepada perusahaan, sehingga perlu dilakukan analisis

Selain Rekrutmen, dalam rangka mendapatkan karyawan yang mempunyai prestasi kerja maksimal PT Sinarniaga Sejahtera juga melakukan proses pelatihan kerja yang meliputi

Setelah pelaksanaan pelatihan, selain diberikan pertanyaan dalam postest, responden (petani) juga dimintai untuk menilai terhadap materi untuk mengetahui sikap dan respon

Jaringan syaraf tiruan akan mentransformasikan informasi dalam bentuk bobot dari satu neuron ke neuron yang lainnya, informasi tersebut akan diproses oleh suatu fungsi perambatan

unsur yang sangat penting karena selain menunjukkan segala aksi yang dilakukan oleh gamer, gambar juga memperjelas situasi yang terjadi dalam suatu event dalam

Data link layer harus dapat menyimpan informasi ke dalam suatu paket yang dapat mengenali tujuan data atau alat lain yang akan menerima data.. Selain itu data link layer juga

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk perusahaan, dalam rangka pengelolaan sumber daya manusia yang lebih efektif guna meningkatkan

Selain terdapat prinsip desain yang menjadi penujang dalam membuat suatu desain yang baik, ada pula prinsip desain grafis yang setidaknya bisa menjadi acuan juga dalam