BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Pelatihan SDM
Sinulingga, (2008: 16) mendefenisikan sistem ialah seperangkat elemen yang
saling bergantung atau berinteraksi satu dengan lain menurut pola tertentu dan
membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi di atas
menjelaskan karakteristik sebuah sistem sebagai seperangkat elemen yang
membentuk satu kesatuan (unity), semua elemen mempunyai hubungan fungsional
(functional relationship) dan kesatuan tujuan. Sekelompok benda yang terletak secara
acak dalam sebuah ruangan telah memenuhi syarat sebagai seperangkat elemen tetapi
tidak dapat disebut sebagai sistem karena antar benda tersebut tidak terjadi interaksi
atau tidak mempunyai hubungan fungsional dan tidak memiliki kesatuan tujuan.
Pelatihan sumber daya manusia menurut pendapat Dessler, (2003: 187)
“Training is the process of teaching new employees the basic skills they need to
perform their jobs. Training refers to a planned effort to facilitate employees the
learning of job-related competencies.”
Kaswan, (2011: 2) mendefenisikan pelatihan adalah proses meningkatkan
pengetahuan, dan keterampilan karyawan. Pelatihan meliputi pengubahan sikap
sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaannya lebih efektif. Pelatihan menurut
Sikula, (1981: 227) yang dikutip Mangkunegara, (2003: 50) adalah suatu proses
terorganisasi, pegawai non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan
teknis dalam tujuan yang terbatas.
Pelatihan merupakan kegiatan dari perusahan/instansi yang bermaksud untuk
dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan, dan
pengetahuan dari pegawainya, sesuai dengan keinginan dari perusahaan/instansi yang
bersangkutan. Selain itu pelatihan juga bertujuan untuk memperbaiki penguasaan
berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan pekerjaan tertentu, terinci, dan rutin.
Pelatihan berisi desain program perencanaan untuk memperbaiki prestasi kerja dari
tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Perbaikan prestasi kerja, dalam
perputaran dinyatakan secara tidak langsung pada perubahan yang diukur pada
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan perilaku sosial.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pelatihan merupakan
suatu proses pembelajaran pegawai secara terencana sesuai dengan kompetensi yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya, dan didesain untuk meningkatkan kinerja
pegawai. Pelatihan berisi desain program perencanaan untuk memperbaiki prestasi
kerja dari tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Perbaikan prestasi kerja, dalam
perputaran dinyatakan secara tidak langsung pada perubahan yang diukur pada
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan perilaku sosial.
Menurut Rivai, (2011: 214) pelatihan dengan pendekatan sistem melibatkan
beberapa sub sistem. Sub sistem ini meliputi identifikasi kebutuhan pelatihan,
penetapan sasaran, merancang program, pelaksanaan program, dan evaluasi program.
Gambar 2.1 Konsep Pelatihan dengan Pendekatan Sistem
Menurut Bernardin (2008:251) “ a needs assessment is a systematic,objective
determination of training needs that involves conducting three primary types of
analysis. The three analysis consist of an organizational analysis, a jobanalysis, and
a person analysis”. Ada beberapa gejala yang dapat diartikan sebagai sebuah
kebutuhan akan pelatihan, Nasution, (2005: 88) yaitu menurunnya produktivitas dan
kinerja karyawan, jumlah produk yang cacat cendrung meningkat, motivasi dan
loyalitas karyawan semakin menurun serta job target tidak dapat dicapai.
2.2 Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Tujuan pelatihan ditinjau dari sisi individu karyawan, yaitu perubahan dalam
peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan dan pengembangan karir. Sedangkan
tujuan pelatihan untuk perusahaan adalah tercapainya kinerja yang maksimum 1.
Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
2.
Penetapan Sasaran
3.
Merancang Program 4.
Pelaksanaan Program 5.
sebagai buah dari hasil pelatihan yang terjadi pada karyawan. Dalam hal ini, harus
ada keterkaitan antara input, output, outcome, dan impact dari pelatihan yaitu:
1. Faktor input terdiri dari karyawan peserta pelatih, bentuk dan materi
pelatihan, pelatih atau instruktur, tim pengelola, waktu dan tempat dan
fasilitas lain. Materi program disusun dari estimasi kebutuhan dan tujuan
pelatihan. Kebutuhan disini mungkin dalam bentuk pengajaran keahlian
khusus, menyajikan pengetahuan yang diperlukan, atau berusaha untuk
mempengaruhi sikap.
2. Faktor output terdiri dari jumlah kehadiran karyawan atau peserta
pelatihan, intensitas interaksi pelatihan, jumlah kehadiran pelatih, kepuasan
karyawan dan pelatih serta pengelola.
3. Faktor outcome meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
karyawan.
4. Faktor impact terdiri dari peningkatan kinerja karyawan, pengembangan
karir karyawan, dan peningkatan kinerja perusahaan.
Adapun tujuan pelatihan menurut Mangkunegara, (2003: 52) adalah:
1. Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi.
2. Meningkatkan produktivitas kerja.
3. Meningkatkan kualitas kerja.
4. Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusia.
6. Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara
maksimal.
7. Menghindarkan keusangan (obsolescence).
8. Meningkatkan perkembangan pribadi pegawai.
2.3 Langkah-langkah Merancang Sistem Pelatihan 2.3.1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
Tahap pertama dalam melakukan pelatihan adalah menentukan adanya
kebutuhan pelatihan yang aktual. Suatu perusahaan akan melakukan pelatihan apabila
hal tersebut diharapkan dapat mendukung tujuan perusahaan. Keputusan pelaksanaan
pelatihan harus berdasarkan analisis kebutuhan, yang dilakukan dengan menganalisis
data yang tersedia di perusahaan. Menurut Bernardin dalam Veithzal (2008: 234)
analisis kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi gejala dan informasi
yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan atau kesenjangan
pengetahuan, keterampilan , dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi jabatan
tertentu dalam suatu perusahaan. Analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai
suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi
bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu
ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan
menjadi meningkat (Sulianti, 2005:18). Sejalan dengan pendapat Veitsal, menurut
proses mengidentifikasi gap atau kesenjangan yang menjadi tujuan dan merupakan
suatu cara untuk menetapkan tujuan dan standar evaluasi.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
kebutuhan pelatihan adalah proses mengidentifikasi kesenjangan antara tujuan yang
ditetapkan dengan hasil kerja karyawan, sehinggga perlu diperbaiki untuk
meningkatkan produktivitas kerja pegawai dan perusahaan. Tujuan kegiatan ini
adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk
menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya
diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi
gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar atau yang
diharapkan untuk dilakukan oleh pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan
pelatihan merupakan proses untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada tersebut,
dan melakukan analisis apakah kesenjangan tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan
melalui suatu pelatihan. Selain itu dengan analisis kebutuhan pelatihan maka pihak
penyelenggara pelatihan (HRD atau Divisi Training) dapat memperkirakan
manfaat-manfaat apa saja yang bisa didapatkan dari suatu pelatihan, baik bagi partisipan
sebagai individu maupun bagi perusahaan. Kesenjangan antara yang diharapkan
dengan kenyataan, tingkat kinerja karyawan, prestasi unit kerja, dan karakteristik dari
karyawan dapat menjadi tujuan diadakannya pelatihan. Faktor kesenjangan tersebut
harus diidentifikasi sebagai faktor penting, yang harus mendapat perhatian
Selain itu pelatihan akan berhasil jika proses mengisi kebutuhan pelatihan
yang benar. Pada dasarnya kebutuhan itu adalah untuk memenuhi kekurangan
pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar
yang bervariasi. Kebutuhan dapat digolongkan menjadi:
1. Kebutuhan memenuhi tuntutan sekarang.
Kebutuhan ini biasanya dapat dikenali dari prestasi karyawannya yang
tidak sesuai dengan standar hasil kerja yang dituntut pada jabatan itu.
Meskipun tidak selalu penyimpangan ini dapat dipecahkan dengan
pelatihan.
2. Memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya.
Pada tingkat hirarki manapun dalam perusahaan sering dilakukan rotasi
jabatan. Alasannya bermacam-macam, ada yang mengatakan untuk
mengatasi kejenuhan dan ada juga yang menyebutkan untuk membentuk
generalisasi.
3. Untuk memenuhi tuntutan perubahan.
Perubahan-perubahan baik intern (perubahan sistem, struktur organisasi)
maupun ekstern (perubahan teknologi, perubahan orientasi bisnis
perusahaan) sering memerlukan adanya tambahan pengetahuan baru.
Meskipun pada saat ini tidak ada persoalan antara kemampuan orangnya
dengan tuntutan jabatannya, tetapi dalam rangka menghadapi perubahan di
2.3.2 Penetapan Tujuan dan Sasaran Pelatihan
Tujuan adalah pernyataan formal yang jelas dari suatu hasil akhir yang
diharapkan, dan dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan yang terperinci dalam
suatu program. Dalam menetapkan tujuan terdapat beberapa hal yang harus menjadi
acuan agar tujuan yang ditetapkan jelas dan terukur. Acuan dalam menetapkan tujuan
tersebut adalah apa yang harus diketahui atau yang dapat dikerjakan oleh para peserta
pada akhir pelatihan, bagaimana peserta memperagakan hasil dari pelatihan, berbagai
standart yang diperlukan untuk mencapai tingkat kompetensi baru, hambatan yang
akan mengganggu upaya mewujudkan sasaran.
Pada dasarnya sasaran dan tujuan pelatihan dapat dibedakan dalam tiga jenis
kategori pokok yaitu:
1. Pengetahuan (cognitive), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan
aspek pengetahuan.
2. Keterampilan (psychomotor), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan
dengan aspek keterampilan.
3. Sikap (affective), yaitu sasaran pelatihan yang berkaitan dengan sikap dan
tingkah laku.
2.3.2.1 Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum
pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman
dan potensi untuk menindaki yang melekat di benak seseorang. Pada umumnya,
pengetahuan memiliki kemampuan memprediksi sesuatu sebagai hasil pengenalan
atas suatu pola. Jika informasi dan data sekedar berkemampuan untuk
menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan
berkemampuan untuk mengarahkan tindakan (www.wikipedia.com).
Menurut Widayana, (2005:13) pengetahuan adalah informasi yang dilengkapi
dengan pemahaman pola hubungan dari informasi disertai pengalaman, baik individu
maupun kelompok dalam organisasi. Terdapat dua tipe pengetahuan yaitu
pengetahuan implisit dan pengetahuan ekspisit.
Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang sebagian besar berada dalam
organisasi. Pengetahuan ini merupakan sesuatu yang diketahui dengan alami, namun
sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Pengetahuan implisit sangat sulit
untuk dipindahkan kepada orang lain, karena pengetahuan tersebut tersimpan pada
masing-masing pikiran (otak) indvidu dalam organisasi sesuai dengan
kompetensinya.
Dalam buku knowledge management yang dituliskan oleh widayana,
pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang
adalah sebuah buku petunjuk pengoperasian sebuah mesin atau penjelasan yang
diberikan oleh seorang instruktur dalam sebuah program latihan.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt
Behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
Menurut Nonaka dalam Munir (2008: 26) pengetahuan ekspisit dan
pengetahuan implisit dapat diekspresikan dengan rumus sebagai berikut:
Pengetahuan = Pengetahuan Eksplisit + Pengetahuan Implisit…..….(2.1)
Pengetahuan eksplisit selanjutnya disebut sebagai pengetahuan yang dapat
diekspresikan dengan kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk
formula ilmiah, spesifikasi, prosedur operasi standar, bagan, manual-manual dan
sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke
individu lainnya secara formal dan sistematis. Di pihak lain pengetahuan implisit
merupakan pengetahuan yang terletak pada benak manusia, bersifat sangat personal
dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk dikomunikasikan atau
disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman
fisik, petunjuk praktis termasuk jenis pengetahuan ini.
Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman cendrung bersifat
terbatinkan, fisik dan subjektif. Dilain pihak, pengetahuan yang diperoleh melalui
Notoadmodjo (1993), berpendapat pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni:
a. Tahu (Know).
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang diterima.
b. Memahami (Comprehension).
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis).
Analisis adalah suatu komponen untuk menjabarkan analisis atau suatu
objek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti menggambarkan (membuat bagan)
e. Sintesis (Synthesis).
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation).
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.
2.3.2.2 Keterampilan (Skill)
Menurut Gordon (1994: 55) keterampilan merupakan kemampuan untuk
mengoprasikan pekerjaan secara mudah dan cermat. Pengertian ini biasanya
cenderung pada aktivitas psikomotor. Iverson (2001:133) menambahkan bahwa
selain training yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan
juga membutuhkan kemampuan dasar (basic ability). Di sisi lain Robbins (2000:494)
menyatakan bahwa keterampilan dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:
1. Kemampuan Dasar (Basic literacy skill).
Keahlian dasar merupakan keahlian seseorang yang pasti dan wajib
2. Kemampuan Teknikal (Technical skill).
Keahlian teknik merupakan keahlian seseorang dalam pengembangan
teknik yang dimiliki, seperti menghitung secara tepat, dan mengoprasikan
komputer.
3. Kemampuan Beriteraksi (Interpersonal skill).
Keahlian interpersonal merupakan kemampuan seseorang secara efektif
untuk berinteraksi dengan orang lain maupun dengan rekan kerja, seperti
pendengar yang baik, menyampaikan pendapat secara jelas dan bekerja
dalam satu tim.
4. Kemampuan Memecahkan Masalah (Problem solving).
Menyelesaikan masalah adalah proses aktivitas untuk menajamkan logika,
berargumentasi dan penyelesaian masalah serta kemampuan untuk
mengetahui penyebab, mengembangkan alternatif dan menganalisa serta
memilih penyelesaian yang baik.
Sedangkan keterampilan kerja yang dimiliki seseorang menurut Kost dan
Rosenweig (1998: 77) dapat dibagi sebagai berikut:
1. Technical Skill, terampil dan pakar dalam pekerjaan tertentu, berupa
metoda-metoda, proses-proses dan prosedur-prosedur atau teknik-teknik pelaksanaan
kerja.
2. Human Skill, yaitu kemampuan untuk kekerja sama secara efektif sebagai
anggota kelompok.
Keterampilan adalah hasil dari latihan berulang, yang dapat disebut perubahan
yang meningkat atau progresif oleh orang yang mempelajari keterampilan tadi
sebagai hasil dari aktivitas tertentu (Whiterington, 1991 : 22). Keterampilan dari kata
dasar terampil yang artinya cakap menyelesaikan tugas, mampu dan cekatan
sedangkan keterampilan artinya kecakapan untuk menyelesaikan tugas (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1999).
Menurut Graeff, dkk (1996: 102), pelatihan keterampilan merupakan aktivitas
utama selama fase implementasi suatu program kesehatan. Selama implementasi
pelatihan bertujuan untuk membangun dan memelihara perilaku-perilaku yang sangat
penting dalam kelangsungan program, maka pelatihan tersebut akan mengarah
kepada perolehan keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan melaksanakan
tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang
tersedia. Ada 3 jenis kemampuan dasar bersifat manusia (human skill), kemampuan
teknik (technicall skill), dan kemampuan membuat konsep (conceptual skill).
Keterampilan teknik adalah kemampuan untuk menggunakan alat, prosedur, dan
teknik yang berhubungan dengan bidangnya. Keterampilan manusia adalah
kemampuan untuk dapat bekerja, mengerti, dan mengadakan motivasi kepada orang
lain. Keterampilan konsep adalah kemampuan untuk melakukan kerja sama dalam
pekerjaan dan pekerjaan itu dapat memberikan keterampilan.
Dalam proses pendidikan atau pelatihan, Notoatmodjo, (1993: 53)
Masih diperlukan kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap
menjadi praktek. Kondisi tersebut antara lain tersedianya fasilitas untuk belajar yaitu:
1. Peserta diberi kesempatan untuk melihat dan mendengar orang lain
melakukan keterampilan tersebut dan diberi kesempatan melakukan
sendiri.
2. Peserta diberi kesempatan untuk menguasai sub-sub komponen
keterampilan sebelum menguasai keterampilan secara keseluruhan.
3. Peserta harus melakukan sendiri keterampilan baru.
4. Pelatih mengevaluasi hasil keterampilan baru dan memberi umpan balik.
Menurut Green (1991), ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku atau
sikap seseorang, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi
pengetahuan, sikap, keyakinan dan persepsi individu.
b. Faktor-faktor penguat (enabling factors), meliputi sikap dan perilaku
petugas kesehatan dan orang lain disekitarnya.
c. Faktor-faktor pemungkin (reinforcing factors), seperti kebijakan teknis
kesehatan seperti adanya revitalisasi, ketersediaan sumberdaya kesehatan
yang ada.
Sedangkan pengetahuan seseorang sangat dipengaruhi oleh adanya
pengalaman dan juga informasi dari orang lain, buku dan media massa WHO (1992).
Menurut Notoatmodjo, (1995), pendidikan kader sangat berpengaruh terhadap
kader, bimbingan dan penyuluhan di lapangan. Ada 5 (lima) faktor yang dapat
diidentifikasi berpengaruh terhadap perilaku positif atau tindakan seseorang dalam
bentuk keterampilan seperti:
1. Faktor interpersonal atau individual, yaitu karakteristik seseorang yang
meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan dan ciri-ciri kepribadian.
2. Faktor interpersonal yaitu proses hubungan antar manusia dan
kelompok-kelompok utama yang berpengaruh seperti keluarga, teman yang
memberikan informasi.
3. Faktor institusional, yaitu undang-undang, peraturan dan kebijakan.
4. Faktor kelompok masyarakat, yaitu norma, standar formal maupun
informal dan organisasi masyarakat.
5. Faktor kebijakan publik, yaitu adanya kebijakan yang berhubungan dengan
tenaga kerja dan dikeluarkan oleh pemerintah berupa undang-undang yang
mendukung program tenaga kerja.
2.3.2.3 Sikap
Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
terhadap suatu objek psikologis Azwar, (2005: 4). La Pierre mendefinisikan sikap
sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon
lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap
dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (Azwar, 2005: 5).
Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu.
Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan ciri khas perilaku seseorang dalam
hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap
merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau
tingkah laku.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku
terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif
dan konatif.
Sikap memiliki 3 komponen (Fisbein dan Ajzen, 1975) dalam (Azwar,
(2005: 8) yaitu:
a. Komponen Kognitif.
Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan
seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek
sikap.
b. Komponen Afektif.
Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah
emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum,
c. Komponen Konatif (Perilaku).
Komponen konatif atau komponen prilaku dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
2.3.3 Menyusun Materi Program
Materi program disusun dari estimasi kebutuhan dan tujuan pelatihan.
Kebutuhan dalam hal ini merupakan bentuk pengajaran keahlian khusus, menyajikan
pengetahuan yang diperlukan, atau berusaha untuk mempengaruhi sikap. Apapun
materinya, program harus dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan peserta
pelatihan. Jika tujuan perusahaan tidak tercapai maka sumber daya menjadi sia-sia.
Peserta pelatihan harus melihat bahwa materi harus dapat menganalisis bahwa materi
pelatihan relevan dengan kebutuhan mereka atau motivasi mereka mungkin rendah.
Materi pokok yang akan disajikan dalam suatu pelatihan sangat bergantung
pada hasil analisis kebutuhan pelatihan. Proses pembelajaran pada umumnya, seperti
halnya dalam pelatihan yang mengajarkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, tidak
bisa terlepas dari proses kognitif. Dalam pendekatan pemrosesan informasi,
pengetahuan, sikap dan keterampilan, ketiganya merupakan wujud atau representasi
dari informasi yang dimasukkan, disimpan dan diolah dalam sistem kognitif manusia.
Anderson (dalam Matlin, 1998) melalui teori Adaptive Control of Thought (ACT),
membedakan pengetahuan manusia yang tersimpan dalam memori menjadi dua, yaitu
pengetahuan tentang fakta-fakta, hukum-hukum, pengetahuan prosedural adalah
pengetahuan tentang bagaimana cara melakukan suatu tindakan. Cara mengajarkan
kedua jenis pengetahuan tersebut dalam pelatihan berbeda, termasuk cara dalam
memberikan feedbacknya. Jika tujuan pelatihan untuk mengajarkan fakta-fakta dan
hukum-hukum (pengetahuan deklaratif), maka eksternal feedback lebih tepat dan
seharusnya diberikan secara bebas. Akan tetapi, apabila tujuan pelatihan untuk
mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu (pengetahuan prosedural), maka
feedback intrinsik relatif lebih penting.
Dalam merancang materi suatu pelatihan, perlu memperhatikan
prinsip-prinsip kerja sistem kognitif. Matlin (1998) menggambarkan adanya lima prinsip-prinsip
bagaimana sistem kognitif bekerja, yaitu: 1) proses kognitif adalah aktif, bukan pasif;
2) proses kognitif dapat ditandai secara efisien dan akurat; 3) proses kognitif
menangani informasi yang positif dengan lebih baik dibanding informasi yang
negatif; 4) proses kognitif saling berhubungan antara satu dengan yang lain, tidak
bekerja sendiri-sendiri; dan 5) kebanyakan proses kognitif berlangsung secara
top-down dan bottom-up sekaligus. Dengan mendasarkan pada bagaimana proses-proses
kognitif berlangsung, maka dalam merancang materi suatu pelatihan seharusnya: 1)
antara materi satu dengan yang lainnya harus dapat dihubungkan secara logis; 2)
materi-materi yang disajikan dalam bentuk positif (menggunakan kalimat-kalimat
positif, afirmatif), tidak menegasikan fakta-fakta; 3) penjelasan-penjelasan
Selain hal tersebut, perlu diperhatikan pula bagaimana agar materi (dalam
bentuk pengetahuan, informasi) dapat tersimpan dengan lebih baik dalam memori
sehingga konsekuensinya juga akan lebih mudah dipanggil kembali ketika diperlukan
(untuk diaplikasikan). Materi harus disampaikan dengan cara sedemikian rupa agar
menimbulkan recency effect, primacy effect, self-reference effect dan generation
effect.
Recency effect dan primacy effect berhubungan dengan urutan masuknya
informasi ke dalam sistem memori. Informasi yang disajikan di bagian awal sehingga
masuk terlebih dahulu ke dalam sistem memori, akan lebih mudah dipanggil kembali.
Ini yang disebut dengan primacy effect. Sebaliknya, informasi yang paling akhir
masuk merupakan informasi yang paling segar dalam ingatan sehingga juga lebih
mudah untuk dipanggil kembali, ini yang disebut dengan recency effect Matlin
(1998). Tata urutan penyajian materi atau informasi yang diberikan dalam suatu
pelatihan harus diatur sedemikian rupa agar dapat diperoleh kedua efek tersebut.
Pengaturan urutan tersebut dapat secara keseluruhan dalam suatu program pelatihan
maupun dalam potongan-potongan kecil yaitu bagian-bagian atau sesi pelatihan.
Self-reference effect dan generation effect berhubungan dengan isi materi dan
cara penyampaiannya. Informasi-informasi yang dihubungkan dengan diri sendiri
(peserta) akan lebih mudah untuk diingat kembali (self-reference effect) dan
informasi yang dibuat, dihasilkan dan disusun sendiri juga akan lebih mudah untuk
dingat (generation effect) (Matlin, 1998). Metode pembelajaran pengalaman
memori tersebut. Dalam experiential learning, materi pelatihan diberikan dalam
bentuk pengalaman-pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung, nyata
maupun simbolik, sehingga mereka mengalami sendiri akan sesuatu yang dipelajari.
Mereka kemudian merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan dari
padanya mereka membuat sendiri suatu konsep abstrak dari apa yang dipelajarinya.
Dengan demikian para peserta akan mendapatkan sekaligus self-reference effect dan
generation effect.
Materi yang satu dengan yang lainnya dalam suatu pelatihan, selain
mempertimbangkan efek-efek memori tersebut, dalam penyajiannya juga harus
diorganisasikan agar dapat saling dihubungkan dan mengikuti urutan yang logis.
Urutan tersebut dapat mengikuti pola-pola yang ada, bergantung pada isi materi dan
tujuan diberikannya materi tersebut. Pola-pola urutan (sequencing) yang dapat
digunakan misalnya time-sequencing (yaitu suatu pola penyajian materi berdasarkan
urutan waktu secara kronologis); spatial-sequencing (yaitu suatu pola yang
menunjukkan bagaimana sesuatu berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam ruang,
posisi dan orientasi visual); atau cause-effect sequence (yaitu suatu pola yang
menjelaskan terlebih dahulu alasan-alasan suatu kejadian, masalah atau isu, kemudian
mendiskusikan konsekuensi-konsekuensi, hasil-hasil dan akibat-akibatnya).
2.3.4 Memilih Metode Pelatihan
Idealnya pelatihan akan lebih efektif jika metode pelatihan disesuaikan
Metode yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan jenis pelatihan yang akan
dilaksanakan dan dapat dikembangkan oleh suatu perusahaan. Bahkan beberapa
pendekatan yang mengguakan sedikit prinsip belajar, seperti ceramah, adalah alat
berharga karena dapat memenuhi keperluan untuk tukar menukar keahlian atau
pengalaman. Misalnya ceramah menjadi cara terbaik untuk menyampaikan konten
akademik secara efektif, terutama bila kelas amat besar dan ruangan tidak
memungkinkan dengan pendekatan lain. Walaupun cara ini dapat mempengaruhi
metode yang dipakai, pengembangan SDM perlu mengenal seluruh teknik dan prinsip
belajar sebagai berikut:
1. Metode di dalam pekerjaan (on the job Training).
Metode ini menempatkan para trainee ke dalam situasi nyata, dimana
karyawan yang berpengalaman memperlihatkan atau membimbing para
karyawan baru yang diharapkan memberikan contoh-contoh pekerjaan
yang baik dan memperlihatkan penanganan suatu pekerjaan yang jelas dan
konkrit. Meliputi latihan orientasi, magang, pelatihan pada pekerjaan,
penugasan penelitian dan penilaian kinerja. Walaupun metode ini tampak
sederhana, apabila tidak ditangani dengan tepat, beberapa permasalan
mungkin timbul, seperti kerusakan mesin produksi, ketidakpuasan
konsumen, kesalahan melakukan filing dokumen dan lain-lain. Untuk
mencegah masalah ini instruktur harus dipilih secara selektif. Salah satu
pendekatan on job training yang sistematis adalah Job Instruction
pelatihan kepada supervisor, dan selanjutnya supervisor memberikan
pelatihan kepada pekerja. Kemudian pelatih menunjukkan pekerjaan untuk
memberi contoh pada peserta. Karena peserta diberi petunjuk pekerjaan,
pelatihan ditransfer kepada pekerja. Keuntungan dari metode pelatihan on
the job training yaitu:
a. Karyawan melakukan pekerjaan yang sesungguhnya bukan tugas yang
disimulasikan.
b. Karyawan mendapatkan instruksi-instruksi dari karyawan senior yang
berpengalaman yang telah melakukan tugas dengan baik.
c. Program ini sangat relevan dengan pekerjaan, membutuhkan biaya yang
relatif rendah dan memotivasi kinerja yang kuat.
2. Rotasi.
Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar mendapatkan
variasi kerja, para pengajar memindahkan para peserta pelatihan dari
tempat kerja yang satu ke tempat kerja lainnya. Setiap perpindahan
umumnya didahului dengan pelatihan dan pemberian instruksi kerja. Di
samping memberikan variasi kerja bagi karyawan, pelatihan silang turut
membantu perusahaan ketika ada karyawan yang cuti, tidak hadir,
perampingan atau terjadi pengunduran diri. Partisipasi para peserta dan
tingkat transfer pekerjaan yang tinggi ada beberapa manfaat belajar untuk
menghadapi rotasi kerja. Masing-masing program memberikan kesempatan
3. Magang.
Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih berpengalaman,
dan dapat ditambah dengan teknik off job training. Banyak pekerja
keterampilan tangan seperti tukang pipa dan kayu, dilatih melalui program
magang resmi. Asistensi dan kerja sambilan disamakan dengan magang
karena manggunakan partisipasi tingkat tinggi dari peserta dan memiliki
tingkat transfer tinggi kepada pekerjaan.
Latihan sama dengan magang karena latihan berusaha memberikan contoh
bagi peserta. Banyak perusahaan memakai modal latihan karena kurang
resmi dibanding magang. Latihan ditangani oleh supervisor atau manajer,
bukan departemen SDM. Kadang-kadang manajer atau profesional lain
berminat dan berperan sebagai mentor, memberikan keterampilan dan
nasehat dalam karier sekaligus.
4. Ceramah Kelas dan Presentasi Video.
Ceramah dan teknik lain dalam off job training lebih mengandalkan
komunikasi daripada memberikan model. Ceramah adalah pendekatan
terkenal karena menawarkan sisi ekonomis dan material organisasi, tetapi
partisipasi, umpan balik, transfer dan repetisi sangat rendah. Umpan balik
dan partisipasi dapat meningkat dengan adanya diskusi selama ceramah.
Televisi, film, slide dan film pendek sama dengan ceramah. Material
audiens. Pertumbuhan video didukung oleh penggunaan satelit bidang
rekayasa dan teknik lainnya.
5. Pelatihan Vestibule.
Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional rutin, beberapa
perusahaan menggunakan pelatihan vestibule. Wilayah atau vestibule
terpisah dibuat dengan peralatan yang sama dengan yang digunakan dalam
pekerjaan. Cara ini memungkinkan adanya transfer, repetisi, dan partisipasi
secara material perusahaan bermakna dan umpan balik.
6. Case Study.
Metode kasus adalah metode pelatihan yang menggunakan deskripsi
tertulis dari suatu permasalahan nyata yang dihadapi oleh perusahaan atau
perusahaan lain. Manajemen diminta mempelajari kasus untuk
mengidentifikasi dan menganalisis masalah, mengajukan solusi, memilih
solusi terbaik dan mengimplementasikan solusi tersebut. Peranan instruktur
adalah sebagai katalis dan fasilitator. Seorang instruktur yang baik adalah
instruktur yang dapat melibatkan setiap orang untuk mengambil bagian
dalam pengambilan keputusan.
7. Simulasi.
Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, simulasi
yang melibatkan simulator yang bersifat mekanik atau mesin yang
mengandalkan aspek-aspek utama dalam suatu situasi kerja. Simulasi
Metode pelatihan ini hampir sama dengan vestibule training, hanya saja
simulator tersebut lebih sering menyediakan umpan balik yang bersifat
instan dalam suatu kinerja. Kedua adalah simulasi komputer untuk tujuan
pelatihan dan pengembangan, metode ini sering berupa games atau
permainan. Para pemain membuat keputusan dan komputer menentukan
hasil yang terjadi sesuai dengan kondisi yang telah diprogramkan dalam
komputer.
2.4 Kinerja
Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata job performance atau actual
performance dengan kata lain prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Definisi
kinerja karyawan sering diungkapkan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering
dihubungkan dengan produktivitas. Definisi kinerja karyawan menurut
Mangkunegara, (2000: 67) bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Simamora, dalam Mangkunegara, (2009: 9) mengemukakan bahwa
kinerja adalah proses dimana melalui mengevaluasi dan menilai kinerja karyawan.
Sejalan dengan itu Suryadi dalam Veithzal berpendapat kinerja adalah hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya dalam
Selanjutnya Gibson dan Donnelly dalam Veithzal mengatakan kinerja adalah
tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan
kemampuan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok yang telah
memberikan kontribusi bagi perusahaan dan kemudian perusahaan memberikan
penghargaan terhadap tugas yang diberikan kepada karyawan.
Menurut Veithzal, (2004: 309) bahwa kinerja merupakan perilaku nyata
yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan
sesuai dengan perannya dalam perusahaan dengan upaya untuk mencapai tujuannya.
Sulistiyani dan Rosidah (2003: 224) mengemukakan kinerja adalah catatan
outcome yang dihasilkan dari fungsi karyawan tertentu atau kegiatan yang
dilakukan selama periode tertentu.
Menurut John Whitmore dalam bukunya yang berjudul Coaching for
performance (1997: 104) mengatakan kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang
dituntut dari seseorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu perencanaan
umum dan keterampilan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa kinerja
adalah atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai sumber
daya manusia persatuan periode waktu tertentu dalam melaksanakan tugas kerjanya
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya yang diakibatkan oleh
meningkatkan prestasinya, yang akan dinilai atasan, sehingga karyawan akan terus
berusaha untuk meningkatkan kinerja atau prestasinya, dan karyawan akan
mendapatkan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakannya. Dengan
adanya peningkatan kinerja karyawan akan dapat memantau perusahaan mencapai
tujuan dan memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat secara efektif dan
efisien.
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Perusahaan dalam hal ini akan berbeda-beda dalam memandang faktor-faktor
kinerja karyawan, tapi pada dasarnya mereka sama bersandarkan pada teori-teori
atau pendapat para ahli, walaupun dari teori ini ada yang menggunakannya atau
sebaliknya.
Faktor yang menjadi sandaran dalam kinerja adalah yang dikemukakan oleh
Mangkunegara, (2000: 67) yaitu:
1. Kualitas kerja, yaitu menunjukkan hasil kerja yang dicapai dari segi
ketepatan, ketelitian dan kerapihan.
2. Kuantitas kerja, yaitu menunjukkan hasil kerja yang dicapai dari segi
keluaran atau hasil tugas-tugas rutinitas dan kecepatan dalam
menyelesaikan tugas tersebut.
3. Kerjasama, yaitu menyatakan kemampuan karyawan dalam berpartisipasi
2.6 Review Hasil Penelitian
Tabel 2.1 menjelaskan peneitian yang dilakukan Raharjo, (2008) dengan judul
“Analsis Pelaksanaan Pelatihan dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan
Bagian Penjualan Pada PT. X Jakarta menghasilkan bahwa pelaksanaan program
pelatihan karyawan dapat meningkatkan kinerja karyawan. Pada tahun 2001-2005
terjadi peningkatan produktivitas kerja karyawan sebesar 0,635%. Peningkatan
tersebut disebabkan mutu pelatihan yang semakin baik, dimana metode pelatihan
yang digunakan sudah sesuai dengan kegiatan perusahaan, pelatih ataupun
instrukturnya sudah berpengalaman dan benar-benar menguasai materi serta fasilitas
pelatihan sudah tersedia dengan baik.
Penelitian kedua oleh Antonella Cifalino dan Stifano Baraldi (2009) dengan
judul “Training Program and Performance Measurement, evidence from healthcare
organization”. Penelitian ini menyajikan dua jenis vara mengevaluasi pelatihan
secara operasional dan pendekatan strategis untuk menjawab pertanyaan apakan
kedua pendekatan itu benar-benar layak untuk mengukur kinerja pelatihan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pendekatan tersebut mampu digunakan untuk mengukur
efektivitas pelatihan.
Dari kedua penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan
pelatihan jika dilakukan secara benar akan dapat meningkatkan kinerja sumber daya
manusia dan setiap kegiatan pelatihan yang telah dilakukan oleh perusahaan harus
melalui tahap evaluasi untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelatihan yang telah
2.6 Review Hasil Penelitian
Judul Penelitian Fokus Penelitian Metode Ukuran Performansi dan