LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT
HANIFA ZUHAIRA
26020216120017
OSEANOGRAFI A / KELOMPOK 4
ASISTEN:
RAYMUNDUS PUTRA SITUMORANG
26020214120004
BAYU EKO PRIYANTO
26020214120028
ANDRE RIVALDO
26020214190078
TRI YUNIARTI AMBARSARI
26020215120001
KHARISTINI RIZKI
26020215120030
MUHAMMAD SABABA ALHAQ
26020215120044
ANGGI TSAMARA AMIRAH
26020215120049
ARDHANA RESWARI UTAMI
26020215130091
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi merupakan salah satu cabang biologi. Yaitu ilmu pengetahuan tentang
hubungan antara organisme dan lingkungannya. Atau ilmu yang mempelajari
pengaruh faktor lingkungan terhadapn jasad hidup. Ada juga yang mengatakan
bahwa ekologi adalah suatu ilmu yangt mempelajari hubungan antara tumbuhan,
binatang, dan manusia dengan lingkungannya dimana mereka hidup, bagaimana
kehidupannya dan mengapa mereka ada disitu. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harafiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok
organisme terhadap lingkungannya. Ekologi hanya mempelajari apa yang ada dan
apa yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan.
Definisi ekologi sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang spektrum
hubungan timbal balik yang terjadi antara organisme dan lingkungannya serta
antara kelompok-kelompok organisme. Ekologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang organisme dalam rumahnya. Ekologi itu sendiri terbagi dalam
beberapa ekosistem, diantaranya yaitu pantai, muara, tambak, dan sungai.
Sifat-sifat dari masing-masing ekosistem tersebut misalnya dapat dilihat melalui
parameter fisika, kimia, dan biologi dan dapat diketahui dengan melaksanakan
suatu penelitian.
Pantai Blebak salah satunya terletak di daerah Sekulo, Kecamatan Mlonggo,
Jepara yang merupakan kawasan perairan yang masih bersih dan termasuk pantai
wisata. Mangrove, karang dan lamun dapat menjelaskan kondisi perairan tersebut
dan juga potensi wisata bahari maupun potensi wilayah pesisir Pantai Blebak. Oleh
karena itu perlu dilakukan identifikasi struktur komunitas mangrove, lamun, dan
karang di Pantai Blebak untuk mengetahui kondisi ekosistem yang ada di pantai
Pantai Blebak serta bagaimana interaksi biota-biota yang ada di dalam ekosistem
1.2 Tujuan
1.2.1 Ekosistem Mangrove
1. Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove
2. Mengetahui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan
metode sample plot.
3. Mengetahui keanekaragaman jenis mangrove.
1.2.2 Ekosistem Lamun
1. Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.
2. Mengetahui interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.
3. Mampu menganalisa faktor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada
ekosistem pada padang lamun.
1.2.3 Ekosistem Karang
1. Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,
Kecamatan Mlonggo, Jepara.
2. Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode
LIT (Line Intercept Transect).
1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum kali ini yaitu sebagai berikut :
1. Menambah informasi mengenai persebaran struktur komunitas ekosistem
padang lamun pada tiap zona pengamatan, jenis-jenis biota makrobentos yang
berasosiasi dengan ekosistem padang lamun.
2. Menambah informasi tentang ekosistem terumbu karang dan prosentase
tutupannya sehingga diharapkan mampu melestarikan ekosistem terumbu
karang.
3. Menambah informasi mengenai ekosistem mangrove, prosentase tutupan
mangrove, dan jenis-jenis biota makrobentos yang berasosiasi dengan
1.4 Peta Lokasi
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove2.1.1 Definisi Mangrove
Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk
menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan
pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun
komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove
digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata
mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Nybakken, 1992).
Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama
tumbuh pada tanah aluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang
dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon :
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Setyobudiandi, dkk. 2009).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari
atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub
tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat
di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat
pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia
merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu
Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah
ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki
karakteristik hidup di daerah pantai (Majid, 2016).
2.1.2 Habitat Mangrove
Menurut Soeroyo (1992), mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara
sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik
karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di
disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.
Mangrove tumbuh subur pada tempat dengan endapan lumpur yang
melimpah serta aliran air tawar yang cukup. Air payau bukan merupakan hal
yang wajib untuk pertumbuhan mangrove namun mangrove sangat baik
tumbuh di lingkungan tersebut. Mangrove juga dapat tumbuh di pantai
berpasir, pantai berbatu atau pantai berkarang dan pulau-pulau kecil. Pantai
mangrove berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur
dan pasir ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh
ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi di mana banyak
saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu jaringan kerja,
jalannya air tenang membatasi daerah pasang surut (Giesen, 2007).
2.1.3 Flora Fauna Mangrove
Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti
primata, reptillia dan burung. Satwa liar yang terdapat di ekosistem mangrove
merupakan perpaduan antara fauna ekosistem terestrial, peralihan dan perairan.
Satwa liar terestrial kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan Satwa
liar peralihan dan perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air
(Haris, 2014).
Pada ekosistem mangrove fauna laut didominasi oleh phylum mollusca (didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda) yang yang menempati substrat baik
yang keras maupun yang lunak terutama kerang dan berbagai jenis invertebrata
lainnya. Hewan yang termasuk dalam phylum mollusca dari classis Bivalvia dan gastropoda merupakan sumber daya hayati laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, penting dan memiliki keanekaragaman tinggi. Oleh karena itu
tingkat eksploitasi dewasa ini terus meningkat, namun dari segi lain bentuk
eksploitasi ini dapat mengancam kelestarian populasi mollusca atau jenis tertentu. Kawasan hutan mangrove terjadi penyusutan disadari atau tidak,
disengaja atau tidak, sejak beberapa tahun belakang hingga sekarang telah
berlangsung kerusakan ekosistem laut. Hal ini akan mengganggu kehidupan
2.1.4 Fungsi Utama Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik,
mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung
dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan
berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara
ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan
biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut (Haris, 2014).
Fungsi mangrove sangat besar terhadap kehidupan di daratan, di
antaranya menahan gelombang pasang, abrasi, dan intrusi air laut. Pentingnya
fungsi ini sering tidak disadari oleh masyarakat sekitar pantai, terbukti dengan
cara pemanfaatan mangrove yang kurang memperhatikan aspek konservasi.
Pemanfaatan hutan mangrove yang berhubungan langsung dengan
perekonomian masyarakat salah satunya adalah hasil tambak payau. Tambak
di Pantai Utara Jawa Tengah sebagian besar berada persis di belakang
mangrove. Tambak seperti ini disebut sebagai silvofishery, yaitu perpaduan
mangrove dan tambak yang mendasarkan pada fungsi mangrove sebagai
nursery ground (Poedjirahajoe, 2015).
Pada ekosistem mangrove komponen dasar rantai makanan adalah
seresah (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) yang jatuh dan
didekomposisi oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) menjadi zat hara/
nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga
maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagain
lagi dimanfaatkan oleh udang, kepiting sebagai makanan (Poedjirahajoe,
2015).
2.1.5 Substrat Ekosistem Mangrove
Menurut Giesen (2007), karakteristik substrat merupakan faktor
pembatas kehidupan mangrove. Jenis substrat sangat mempengaruhi susunan
jenis dan kerapatan vegetasi mangrove yang hidup di atasnya. Semakin cocok
vegetasi tersebut merapati area hidupnya. Beberapa jenis substrat diantaranya
adalah lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir, pasir berlumpur dan
pasir berbatu.
Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mangrove. Tekstur dan konsentrasi ion serta kandungan bahan organik pada
subtrat sedimen mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan misalnya jika
komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan lanau (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat (Darmadi, 2012).
Sebagian besar spesies mangrove tumbuh baik di tanah berlumpur, yaitu
pada daerah di mana lumpur terakumulasi, baik untuk perkembangan
Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Hutan yang didominasi oleh
Bruguiera sering bersubstrat tanah lumpur dalam. Spesies tertentu seperti R.
stylosa tumbuh baik pada substrat pasir dan bahkan dapat tumbuh di
pulau-pulau karang dengan substrat pecahan karang dan kerang. Bahkan, R. stylosa dan S. alba biasa tumbuh pada substrat berpasir dan bahkan pantai berbatu. Substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina. Di kondisi tertentu mangrove juga dapat tumbuh pada daerah pantai bergambut
misalnya di Florida, Amerika Serikat (Giesen, 2007).
2.1.6 Zona Ekosistem mangrove
Menurut Kordi (2012) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon
ke dalam enam zona, yaitu :
1. Zona perbatasan dengan daratan;
2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops; 3. Zona hutan Bruguiera;
4. Zona hutan Rhizophora;
5. Zona Avicennia yang menuju ke laut; dan 6. Zona Sonneratia.
Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di
kawasan pantai tertentu, yaitu : (1) gelombang, yang menentukan frekuensi
tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove;
tawar; (5) keterbukaan terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat
yang dapat dimanfaatkan (Alwidakdo, 2014).
Menurut Purnamabasuki dalam Ghufran dan Kordi (2012), pembagian
hutan bakau juga di bedakan berdasrkan struktur ekosistemnya, yang secara
garis besar dibagi menjadi tiga formasi), sebagai berikut :
1. Hutan Bakau Pantai, pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air
sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut kedarat dimulai dari
pertumbuhan Pedada diikuti oleh komunitas campuran Pedada, Api-api,
Bakau, selanjutnya komunitas murni Bakau dan akhirnya komunitas
campuran Lacang.
2. Hutan Bakau Mura, pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan
pengaruh air sungai. Hutan bakau muara dicirikan Bakau ditepian alur di
ikuti komunitas campuran Bakau-Lacang dan diakhiri dengan komunitas
murni Nipah.
3. Mangrove Sungai, pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan dari pada
air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara.
Pada tipe ini hutan bakau banyak ber asosiasi dengn komunitas tumbuhan
daratan.
2.1.7 Identifikasi Mangrove
Pengamatan di hutan tropis, vegetasi di habitat mangrove relatif lebih
mudah, karena terbatasnya jenis tumbuhan serta sifat perbungaannya yang
tidak terlalu musiman. Hal ini berarti bahwa hampir setiap saat dapat
ditemukan pohon yang memiliki bunga atau buah yang akan memudahkan
identifikasi jenis pohon. Lebih dari itu, tumbuhan pada habitat mangrove
tidaklah setinggi pohon-pohon di hutan hujan tropis. Meskipun demikian,
pengamatan pada habitat mangrove juga memiliki kesulitan tersendiri (Haris,
2014).
Sebagian besar bentuk pohonnya memiliki kesamaan, sehingga
pengamat harus memfokuskan perhatiannya pada perbedaan kulit kayu, tipe
akar serta bunga/buahnya. Jika waktu pengamatan tidak memungkinkan, perlu
dibuat koleksi tumbuhan, yakni dengan mengambil daun, bunga, dan buah dari
laboratorium dengan membuat catatan mengenai lokasi, tanggal, tipe
perakaran, dan habitat (Haris, 2014).
2.1.8 Metode Pengambilan Data Mangrove
Transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah
bentukkan atau beberapa bentukan. Transek juga dapat dipakai dalam studi
altituide dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Transek adalah jalur sempit meintang lahan yang akan dipelajari/diselidiki. Metode Transek
bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan
lingkungan serta untuk mengetahui hubungan vegeterasi yang ada disuatu
lahan secara cepat (Kordi, 2012).
Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah metode Line Transec dan belt transec. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan, atau untuk mengetahui jenis
vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Dalam hal ini, apabila vegetasi
sederhana maka garis yang digunakan semakin pendek (Kordi, 2012).
2.1.9 Faktor Eksternal dan Internal Pertumbuhan Mangrove
Menurut Alwidakdo (2014), menjelaskan bahwa faktor eksternal
pengaruh pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah: fisiografi pantai
(topografi), pasang (lama, durasi, rentang), gelombang dan arus, iklim (cahaya,
curah hujan, suhu, angin), salinitas, oksigen terlarut, tanah, dan hara sedangkan
faktor internal terkait dengan kemampuan genetika dan perkembangbiakan
tanaman serta aktivitas tanaman bakau sendiri seperti terkait dengan genetika
atau spesiesnya, kemampuan adaptasi, kemampuan perkawinan silang,
kemampuan mutasi dan modifikasi, serta kekmapuan melakukan penyebaran
dari jenis tanaman bakau atau faktor biologis tanaman ini biasanya secara rinci
dijelaskan oleh para ahli biologis.
Menurut Alwidakdo (2014), faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan
sebagai berikut:
a. Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan
mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal
ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas
untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin
luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan
mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon
mangrove untuk tumbuh.
b. Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove
yaitu lama pasang, durasi pasang, rentang pasang (tinggi pasang).
c. Gelombang dan Arus
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem
mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang
cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi
pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh
langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai rhizophora
terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai
untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh
tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan
padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertum-buhan mangrove.
d. Iklim
Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah
hujan, suhu dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah
cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan
struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah
tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang
tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan
mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan
sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Selain itu curah hujan
berpengaruh seperti jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi
perkembangan tumbuhan mangrove, curah hujan yang terjadi
mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Kemudian
suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi padasuhu 18-20oC dan jika
suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang, Rhizophora stylosa,
Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 o C.
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan
agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses
reproduksi tumbuhan mangrove.
e. Salinitas
Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar
antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca
panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari
salinitas air
2.1.10 Kondisi Mangrove di Patai Utara Jawa
Menurut Setyawan (2007), menjelaskan bahwa pantai utara Jawa Barat
merupakan lokasi yang sangat potensial untuk pertumbuhan mangrove.
Kawasan ini menjadi muara sekurang-kurangnya 15 sungai besar dan panjang,
seperti Citarum, Cimanuk, Ciujung, dan Cisadane, sehingga menjamin
terbentuk dataran lumpur yang cukup luas dan kontinyu. Kawasan ini telah
lama dikenal sebagai tempat persinggahan terbesar burung-burung air yang
bermigrasi dari daratan.
Mangrove di pantai utara Jawa Tengah juga terbentuk pada dataran
lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah
di banding pantai utara kedua propinsi tetangganya mengingat luasannya yang
jauh lebih sempit, akibat pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai
ini. Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove yang sangat
sangat menarik karena keadaan geomorfologinya mendukung terbentuknya
ekosistem yang dinamis . Sedimentasi yang tinggi dari sungai Citanduy,
Cikoneng/Cimeneng, dan sungai-sungai lain menyebabkan terbentuk daratan
baru yang di-dominasi tumbuhan pioner Avicennia dan Sonneratia, sedangkan
Rhizophora menempati bagian kecil yang airnya tetap mengalir (Setyawan,
2007).
Seluruh muara sungai di pantai selatan Jawa mulai dari teluk Pacitan
hingga muara sungai Donan dan Segara Anakan menemukan 29 spesies
mangrove, terdiri dari 9 spesies mayor, 2 spesies minor dan 18 spesies
tumbuhan asosiasi, dimana Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia
alba dan Nypa fruticans merupakan spesies yang paling sering
dite-mukan.Kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung
migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita), grajahan (Numentus spp),
dan cerek (Charadrius javanicum). Berdasarkan kondisi lingkungannya hu-tan
mangrove Segara Anakan dapat dikelompokkan dalam zona akresi, zona alami,
dan zona terpolusi minyak (Setyawan, 2007).
2.2 Lamun
2.2.1 Definisi Lamun
Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara
penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam
air adalah lamun. Lamun memiliki rizhoma, daun, dan akar sejati seperti halnya
tumbuhan di darat. Lamun adalah tumbuhan laut yang hidup pada ekosistem
padang lamun (Seagrass Bed) terutama di daerah tropis dan subtropis.
Komunitas lamun memegang peranan penting baik secara ekologis, maupun
biologis di daerah pantai dan estuaria. Disamping itu juga mendukung aktifitas
perikanan, komunitas kerang-kerangan dan biota avertebrata lainnya (Gosar
dan Haris, 2012).
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang
tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga
sampai kedalaman 40 meter, membentuk kelompok – kelompok kecil hingga
satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang terdiri 2 sampai 12 jenis lamun
yang tumbuh bersam-sama pada satu substrat. Lamun mempunyai sifat yaitu
mampu hidup di media air asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam,
mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik,
mempunyai kemampuan untuk berkembang biak secara generatif dalam
keadaan terbenam, dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam
keadaan stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Haris, 2012).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut serta beradaptasi secara penuh di perairan yang
salinitasnya cukup tinggi. Beberapa ahli juga mendefenisikan lamun (seagrass)
sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,
berimpang, berakar serta berkembang biak dengan biji dan tunas (Wirawan,
2014).
Padang lamun merupakan ekosistem laut dangkal yang didominasi oleh
vegetasi lamun. Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam
ekologi kawasan pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk
menjadi tempat mencari makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong,
ikan, echinodermata dan gastropoda. Peran lain adalah menjadi barrier
(penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang
berasal dari daratan (Poedjirahajoe, 2013).
2.2.2 Ekosistem Lamun
Menurut Dwintasari (2009), ekosistem lamun di Indonesia di jumpai
pada daerah pasang surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal).
Dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak
diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem terumbu karang dan mangrove.
Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi dengan mangrove dan
terumbu karang serta sebagai mata rantai dan penyangga (buffer) bagi kedua
ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien
dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampa kegiatan manusia.
Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta
dengan karang mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih,
beberapa jenis lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m
dan 40 m. Bila dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen
karbonat yang berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang
tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta fluktuasi salinitas ( Arifin, 2007).
Menurut Poedjirahajoe, (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan perubahan iklim (climate change), padang lamun menjadi salah satu ekosistem yang terkena dampak paling nyata. Padang lamun menghilang terutama di
bagian mulut muara sungai dan di perairan dangkal. Penyebab utama hal
tersebut adalah meningkatnya suhu, utamanya di beberapa tempat di habitat
perairan dangkal. Peningkatan suhu berpengaruh terhadap agihan (distribution)
dan proses reproduksi lamun. Selain suhu, faktor lain yang berpengaruh adalah
meningkatnya sedimentasi dan resuspensi sedimen akibat tingginya curah
hujan dan frekuensi banjir dari sungai. Padang lamun mempunyai agihan yang
sangat luas, karena dapat dijumpai di perairan tropis maupun sub-tropis.
2.2.3 Flora dan Fauna Lamun
Indonesia mempunyai luas padang lamun sekitar 30.000 Km2. Padang
lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya biota yang hidup
berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea, enchinodermata,
mamalia dan ikan. Padang lamun banyak di huni oleh ikan-ikan baik tinggal
menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau
melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali
ekosistem ini kurang mendapat perhatian (Kuriandewa, 2009).
Menurut Rappe (2010), menjelaskan bahwa identifikasi 7 karakteristik
utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun yaitu: (1)
Keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi
daripada yang berdekatan dengan substrat kosong, (2) Lamanya asosiasi
ikan-lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup, (3) Sebagian
besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang
ekonomi penting, (4) Zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan
utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan tumbuhan, pengurai dan
komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan
oleh ikan, (5) Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi
spesies terjadi di banyak padang lamun, (6) Hubungan yang kuat terjadi antara
padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi
spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada tipe (terumbu karang,
estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat, (7) Kumpulan ikan
dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga, walaupun dua habitat
itu berdekatan.
2.2.4 Zonasi Lamun
Sebaran zonasi lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis
maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal
berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan
membentuk padang lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun
yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya
tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum. Pada substrat berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang
berasosiasi tinggi (Feryatun, 2012).
Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah
yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal.
Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah perlindungan serta substrat
berpasir dan stabil. Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih
dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah
dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai
Berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh
menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai .
Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Fahruddin et al., 2017).
2.2.5 Kegunaan Ekosistem Lamun
Secara ekologis, lamun dapat berperan sebagai stabilisator sedimen
karena mampu melindungi terumbu karang dari sedimentasi dengan ciri khas
akar rizomanya. Padang lamun juga dapat berperan sebagai filtrasi air serta
pendukung utama kehidupan perikanan dan unggas air di pesisir pantai. Padang
lamun mampu mengambil nutrient melalui daun serta sistem akarnya, dan pada
umumnya di daerah tropis konsentrasi nutrient terlarut dalam air laut agak
rendah (sering di bawah batas yang dapat dideteksi), sementara konsentrasi air
poros dalam sedimen biasanya sangat tinggi. Pengambilan nutrient dari kolom
air oleh daun lamun dapat dianggap tidak terlalu penting jika dibandingkan
dengan pengambilan nutrien oleh akar dari sedimen (Tahril, 2011).
Salah satu komunitas penyusun ekosistem pesisir pantai yaitu padang
lamun, memiliki fungsi ekologis dan bernilai ekonomi, juga merupakan habitat
dengan biodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem lamun
antara lain sebagai tempat pembenihan berbagai jenis ikan, tempat berbagai
biota laut mencari makan, menghubungkan habitat darat dan habitat laut
lainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosi pesisir pantai, dll.
Padang lamun juga memiliki fungsi utama yang dapat dipertimbangkan yaitu
sebagai penyimpan karbon. Waktu pergantian komponen lamun yang relatif
lama, terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan kemampuan lamun
menyimpan kelebihan produksi karbon di dalam sedimen, serta kemampuan
akumulasi jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran padang lamun
dalam menyimpan cadangan karbon (carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih
saja. Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon
2.2.6 Identifikasi Lamun
Identifikasi di lapangan dilakukan dengan mengamati sampel secara
morfologis dan mencocokkannya dengan gambar/foto jenis lamun, kunci
identifikasi atau ciri yang diuraikan dalam buku acuan. Sedangkan di
laboratorium, dilakukanpengamatan secara morfologis dengan kaca pembesar
atau menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x
40. Mikroskop umumnya digunakan untuk mengamati ujung daun dan pola
urat daun yang menjadi ciri utama untuk mengidentifikasi beberapa jenis
lamun, khususnya marga Halodule dan Halophila.Buku yang dijadikan acuan untuk mengidentifikasi sampel adalah buku dari Den Hartog (Priosambodo, 2007).
2.2.7 Metode Pengambilan Data Lamun
Menurut Azkab (2008), sebaran lamun dilakukan pengamatan dengan
metode garis transek (transect line method) yang tegak lurus dari pinggir
pantai. Sebelum melaksanakan pengamatan transek, lebih dahulu dilakukan
pengamatan pengenalan lapangan pada daerah yang akan diteliti untuk
menentukan titik-titik transek. Pada transek tersebut ditarik meteran (rol meter)
yang biasanya sepanjang 50 meter atau 100 meter. Lamun yang dilalui meteran
tersebut dicatat jenisnya, komposisinya (tunggal atau campuran). Dicatat jarak
sebaran lamun, dicatat kedalaman air pada saat melakukan pengamatan.
Transek dilakukan tegak lurus dari pinggir pantai sampai ke daerah
yang tidak ditemukan lamun. Jarak transek satu dengan yang lainnya dan jarak
satu titik dengan titik lainnya pada satu transek tergantung pada luas yang
diamati atau diteliti. Jarak transek yang satu dengan yang lain terdapat 250
meter, 500 meter, 1000 meter atau 1500 meter. Sedangkan jarak titik yang satu
dengan titk yang lain pada satu transek dapat 25 meter atau 50 meter tergantung
lebar padang lamun yang diamati. Pada setiap titik diambil contoh dengan
menggunakan bingkai (frame) 25 x 25 cm sebanyak empat kali. Contoh lamun
diambil seluruhnya (akar, rimpang dan daun). Kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang biasanya di beri formalin dengan konsentrasi 5%.
Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium.
dapat juga dilakukan dengan pengambilan contoh secara acak sebanyak 10 kali
(25 x 25 cm). Untuk pengamatan tutupan (cover) lamun dilakukan transek
dengan jarak 10 meter yang paralel dengan transek yang lain (Azkab, 2008).
2.2.8 Faktor Lingkungan Pertumbuhan Lamun
Menurut (Wirawan, 2014), factor lingkungan pertumbuhan lamun
yaitu sebagi berikut :
a. Temperatur
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh
terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan distribusi lamun. Perubahan suhu mempengaruhi
metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada
kisaran suhu 25-30°C fotosintesis bersih pada lamun akan meningkat
dengan meningkatnya suhu. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun
berkisar antara 24-27°C.
b. Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10–40‰ dan nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap
salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur lamun. Lamun yang tua
dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh
terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan
pulih. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem padang
lamun adalah meningkatnya salinitas.
c. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan. Kecerahan dan
kekeruhan air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh jumlah cahaya
matahari yang masuk ke dalam perairan atau disebut juga dengan intensitas
cahaya matahari. Cahaya matahari di dalam air berfungsi terutama untuk
kegiatan asimilasi fitolankton dan tumbuhan lamun di dalam air, oleh karena
itu, daya tembus cahaya ke dalam air sangat menentukan tingkat kesuburan
I dan 0,62 meter pada sampling ke II) sehingga lamun dapat memanfaatkan
sinar matahari dengan sempurna.
d. Kedalaman
Faktor kedalaman suatu perairan tentunya akan sangat berpengaruh
terhadap kondisi suatu organisme. fluktuatif kedalaman suatu perairan
berpengaruh kepada nilai tekanan perairan, suhu air, kecerahan, nutrien dan
sebagainya. Kedalaman perairan lokasi penelitian di Pulau Parang pada
bulan September 2012 adalah 0,62 meter yang cenderung menurun
dibandingkan di bulan Juni (0,73 meter), hal ini tentunya didasari oleh faktor
pasang-surut perairan laut lokasi penelitian. Tidak ada gangguan bagi sinar
matahari untuk masuk ke perairan sehingga tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan lamun. Satusatunya faktor yang dapat menghalangi ekosistem
lamun untuk tertembus oleh cahaya matahari adalah adukan sedimen
disekitarnya, bukan dipengaruhi kedalaman.
e. Nutrien
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan
memiliki sifat stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna
senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi
ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus
nitrogen. Untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan dapat digunakan nitrat. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1–5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5–50 mg/L. Nitrat dapat diserap oleh lamun melalui akar dan daun. Rhizoma dan akar
lamun yang mati akan menambah kandungan nitrat dalam sedimen.
Kandungan nitrat dalam kandungan perairan laut rata-rata 25 ppm. Nitrat
juga dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolism dan
pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan
dalam jumlah yang kecil merupakan faktor pembatas bagi produktifitas
perairan. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), fosfat yang terkandung
dalam air laut baik bentuk terlarut maupun tersuspensi keduanya berada
dalam bentuk anorganik dan organik. Senyawa fosfat organik yang
terkandung dalam air laut umumnya berbentuk ion asam fosfat, H3PO4.
Kira-kira 10% dari fosfat anorganik, terdapat sebagai ion PO43- dan
sebagian besar (±90%) dalam bentuk HPO42-.
f. Substrat
Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun karena kedalaman substrat
berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal yaitu
pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta pemasok
nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama
untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun Lamun juga hidup
tergantung dari jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk
dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal
datar yang didominasi oleh lumpur halus. Banyaknya dinamika terhadap
kondisi lamun dan substrat yang terjadi dilokasi daerah sebong pereh, maka
perlu dilakukan kajian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat.
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun
di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan
karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur,
lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang, dan batu karang.
Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali
pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat
karang batu. Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan
sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan,
morfologi dan biomassa lamun. Data visual substrat diambil dari setiap titik
sampling yang meliputi: tipe substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur,
lumpur berpasir, pecahan karang, dan sebagainya). Pada masing-masing
garis transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari tiga (3) titik sampling
yang mewakili, sehingga diperoleh sembilan (9) sampel. Sampel substrat
dasar, secara umum pelaksanaan pengambilan sampel harus dilakukan
secara sistematis sesuai dengan ketersediaan waktu. Pengambilan sampel
dapat dilakukan dengan menggunakan sekop sebagai alat sampling.
2.2.9 Sebaran dan Jenis Lamun di Indonesia
Lamun di seluruh dunia, 12 jenis diantaranya dapat ditemukan di
Indonesia. Jumlah spesies yang rendah ini cukup mengejutkan, mengingat
jumlah spesies lamun di Filipina dan Australia (tropis) masing-masing
mencapai 16 dan 15 jenis, sehingga diperkirakan masih ada beberapa jenis
lamun lainnya yang diduga kuat berada di Indonesia namun belum pernah
dilaporkan akibat kurangnya aktifitas penelitian tentang biogeografi lamun.
Salah satu contoh adalah Halophila beccari. Jenis lamun yang tumbuh di
Singapura dan Malaysia ini, diduga kuat juga terdapat di Indonesia namun
keberadaannya belum pernah dilaporkan (Priosambodo,2007).
Beberapa jenis lamun seperti Halophila spinulosa dan Halophila
decipiens memiliki daerah sebaran yang sangat terbatas di Indonesia. Kedua
jenis lamun tersebut hidup di rataan terumbu yang dalam dengan kisaran
kedalaman 3 - 50 m.Penelitian yang lebih intensif dengan daerah yang lebih
luas dan peralatan yang lebih menunjang (SCUBA) perlu dilakukan untuk
memperoleh data yang lebih akurat tentang penyebaran jenis-jenis lamun di
Indonesia (Priosambodo, 2007).
2.3 Terumbu Karang 2.3.1 Definisi Karang
Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang.
Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam
jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang
menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu
adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan
karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di
karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang.
Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan
koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai
hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,karang merupakan
komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang
(coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22°C), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium
Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang
keras (Nybakken, 1986).
2.3.2 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut
karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Ekosistem
ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih, dan merupakan perairan
paling produktif di perairan laut tropis, serta memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi (Salam, 2013).
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang krusial di
perairan laut dangkal terutama wilayah pesisir karena memiliki potensi
berbagai jenis sumberdaya yang penting untuk kehidupan manusia. Oleh
karena itu menjadi penting untuk memastikan bahwa ekosistem pesisir ini
terbebas atau sesedikit mungkin mengalami pengaruh dari daratan yang dapat
menimbulkan kerusakan (Salam, 2013).
2.3.3 Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan (Life Form) Berdasarkan bentuknya karang dapat diklasifikasikan menjadi
Acropora dan non-Acropora. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri
atas menurut (Nyabaken, 1992) :
a. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan
bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan
b. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya
ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng
terumbu.
c. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak
terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama
mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat
berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup
cangkang.
d. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaranlembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau
melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang
terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
e. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga
pusat mulut.
f. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil
g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti
terbakar bila disentuh
h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.
2.3.4 Faktor Pertumbuhan Karang
Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang
tergantung dari beberapa parameter fisika menurut (Nyabaken, 1992),
yaitu :
a. Kecerahan atau cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang
berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan
bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentu terumbu
(CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat
berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kedalaman
maksimum membentuk terumbu karang adalah 40 meter. Lebih dari itu
cahaya sudah terlampau lemah
b. Suhu
Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang secara optimal
pada kisaran suhu perairan laut rata-rata antara 25-300 C (Nontji, 1987).
Namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies
tertentu dari jenis karang hermafitik untuk dapat berkembang dengan
baik. Karang hermafitik dapat bertahan pada suhu di bawah 200C
selama beberapa waktu, dan mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu
singkat Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran
terumbu karang, oleh karena itu terumbu karang tidak ditemui di daerah
dingin. Berdasarkan hasil penelitian laboratorium ternyata hewan koral
mengalami bleaching pada suhu320C secara terus menerus. Selain
itu bleaching juga bisa terjadi akibat pencemaran, peningkatan
turbiditas, penurunan salinitas
c. Salinitas
Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.
Hewan karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40.
Adanya aliran air tawar akan menyebabkan kematian. Itulah sebabnya
di pantai timur Sumatra, pantai selatan Kalimantan dan pantai selatan
Irian Jaya di mana banyak sungai-sungai besar bermuara, jarang
dijumpai terumbu karang
d. Sirkulasi arus dan sedimentasi
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai
makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses
pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang
penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan
dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari pertikel lumpur padat yang
dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat
menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak
negatif terhadap karang tetapi juga terhadap biota yang hidup
berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi
tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu
karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu.
2.3.5 Faktor Kerusakan Karang
Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan
perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, bahan
beracun sianida, penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan
jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi. Berdasarkan survey line transect
yang dilakukan oleh P3O LIPI, tutupan karang hidup di Indonesia hanya
tinggal 6,20% yang masih berada dalam kondisi sangat baik, 28,30% kondisi
rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak berat (Salam, 2013).
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang adalah
pencemaran dalam bentuk sedimentasi berupa limbah, lumpur atau pun pasir.
Sedimentasi merupakan proses masuknya partikel-partikel sedimen dalam
suatu lingkungan perairan kemudian mengendap di dasarnya. Dalam prosesnya
sedimentasi menurunkan tingkat kecerahan perairan serta menutupi permukaan
terumbu karang maupun padang lamun yang berakibat lanjut terdegradasinya
ekosistem tersebut. Sedimen akan menyulitkan algae zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis dan akhirnya mati atau meninggalkan karang. Dalam
kondisi seperti itulah bisa terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang yang
disebut sebagai pemutihan karang atau coral bleaching (Salam, 2013).
2.3.6 Ekologi Karang dengan Parameter Oseanografi
Sebagai suatu ekosistem, terumbu karang merupakan kelompok
organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentuk batuan gamping
(CaCO3) yang cukup kuat menahan gelombang laut. Terumbu karang
endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang filum
Cnidaria, kelas anthozoa, ordo Sclerectinia dengan sedikit tambahan alga
berkapur dengan organisme lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat
yang disebut terumbu. Terumbu karang merupakan suatu komunitas biologi
yang tumbuh pada dasar batu gamping yang resisten terhadap gelombang
sehingga mengurangi erosi di pantai (Ginoga, 2016).
Terumbu karang merupakan sumber makanan utama, menghasilkan
income dan resources bagi jutaan orang melalui peranannya dalam turisme,
perikanan, menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan
menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung pantai dan garis
pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan
aksi gelombangberdasarkan persentase tutupan karang kerasnya (Rudi, 2007).
2.3.7 Metode Pengambilan Data
Transek adalah jalur sempit meintang lahan yang akan
dipelajari/diselidiki. Metode Transek bertujuan untuk mengetahui hubungan
perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan serta untuk mengetahui
hubungan vegeterasi yang ada disuatu lahan secara cepat. Metode yang
digunakan untuk pengambilan data adalah metode Line Transec. Dalam metode ini garis – garis merupakan petak contoh (plot). Tanaman yang berada
tepat pada garis dicatat jenisnya dan beberapa kali dijumpai. (Siringoring,
2007).
Metode ini, sistem analisis melalui variable-variabel kerapatan,
kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai
penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi.
Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh
garis. Kerimbunan ditentukan berdasarkan panjang garis yang tertutup oleh
individu tumbuhan, dan dapat merupakan presentase perbandingan panjang
penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang
2.3.8 Penyakit Karang a. Penyakit Aspergillosis
Aspergillosis adalah suatu lesion atau luka/kerusakan lapisan luar yang diakibatkan oleh infeksi jamur pernah ditemukan terjadi pada karang
lunak, sea fans (gorgonian) dan sea whips. Penyakit ini disebabkan oleh jamur yang juga ada ditemukan di darat yaitu Aspergillosis sydowii
(Rahmi, 2012).
b. Penyakit Bacterial Bleaching
Bleaching disebabkan oleh infeksi bakteri spesial sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak mendukung, biasanya terjadi
ketika mengalami penurunan jumlah zooxanthellae akibat adanya racun yang dihasilkan oleh bakteri intraseluller. Dua jenis bakteri penyebab
terjadinya bleaching adalah Vibrio shiloiand V. patagonica. Berbeda dengan bleaching yang disebabkan oleh stress kondisi lingkungan dimana terjadi juga penurunan kandungan zooxanthellae, tapi kalau disebabkan oleh penyakit karang ini akan ditemukan bakteri Vibrio shiloiand V.
patagonica pada jaringan yang terdapat di karangnya (Rahmi, 2012).
c. Penyakit Black Band
Black band disease dicirikan dengan cincin gelap, atau band, yang dipisahkan dengan tisu karang sehat dari skeleton karang yang baru
terekspos. Selain itu Black band disease dicirikan dengan kerusakan
jaringan karang karena mikroba penyebab penyakit yang muncul berupa
garis gelap merah atau hitam bekas serangan mikroba. Bekas ini muncul
antara jaringan karang yang sehat dan bagian skeleton yang baru terekspos
atau diserang oleh penyakit. Warna garis bisa dari coklat kehitaman
sampai merah tergantung pada posisi vertikal dari populasi cyanobacterial yang berasosiasi dengan band. Posisi vertikal berdasarkan pada intensitas cahaya tergantung respon cahaya dari filamen cyanobacterial dan cahaya (karena pigmen cyanobacterialphycoerythrin) tergantung pada ketebalan dari band. Band bisa 1 mm tebalnya dan lebarnya dari 1 mm sampai 7 cm.
Kecepatan penyerangan mikroba pada koloni karang rata dari 3 mm
anoxic, sulfide-rich microenvironment berasosiasi dengan dasar dari band
(Rahmi, 2008).
d. Penyakit Dark Spots
Penyakit dark spots muncul berupa bagian berpigmen gelap (coklat atau unggu) dari jaringan karang. Penyebab penyakit (pathogen) belum diketahui. Jaringan karang tetap utuh, Meskipun sudah terjadi lesions dan kematian pada tisu tersebut dapat diamati pada bagian tengah spots. Belum diketahui pathogen penyebab dari dark spots disease yang memiliki ciri bagian pigmen yang gelap pada jaringan karang (Rahmi, 2012).
e. Penyakit White Band
White band disease dicirikan dengan kerusakan jaringan karang secara total, sangat jelas batasan antara bagian karang yang sehat dengan
yang terekspos atau diserang penyakit. Tandanya sedikit identik dengan
penyakit plague, dimana White band terjadi hanya pada karang acroporid,
sementara plague tidak ditemukan pada acroporids. Kehilangan
jaringan/tisu karang berawal dari dasar cabang pada koloni karang
kemudian terus menjalar ke ujung cabang. Bagian karang yang terserang
III.
MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Hari / tanggal : Senin, 26 Oktober 2017
Pukul : 08.00 – 15.00 WIB
Tempat : Pantai Blebak, Desa Blebak, Kecamatan Mlonggo
Jepara, Jawa Tengah
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Karang
Tabel 1.Alat dan Bahan pada Pratikum Karang
No Nama Gambar Fungsi
1. Roll Meter Sebagai pengukur transek
pada pengukuran tiap
ekosistem terumbu karang
2. Skin Dive Digunakan untuk
melaksanakan survei
3. Botol air minum atau
pelampung
Digunakan untuk penanda
pada setiap transeknya
4. Tali Tambang 5 meter Digunakan untuk
menghubungkan 2 botol
5. Kamera Digunakan untuk
dokumentasi
6. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat
data di lapangan
7. Papan Jalan Digunakan sebagai alas
dalam melakukan
pendataan
8. Bentuk Life Form
Karang
Digunakan untuk
3.2.2 Lamun
Tabel 2.Alat dan Bahan pada Pratikum Lamun
No Nama Gambar Fungsi
1. Pipa kecil 1 x 1 meter Untuk memetakan zona
pengamatan
2. Skin Dive Digunakan untuk
melaksanakan survei
3. Kamera Digunakan untuk
dokumentasi
4. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat
data di lapangan
5. Papan Jalan Digunakan sebagai alas
dalam melakukan
pendataan
6. Lamun Sebagai objek yang
7. Botol Kaca Digunakan sebagai tempat
herbarium sampel lamun
3.2.3 Mangrove
Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pratikum Mangrove
No. Nama Gambar Fungsi
1. Tali rafia Digunakan sebagai
penanda transek 10 x 10
meter, 5 x 5 meter dan 1 x
1 meter
2. Jangka Sorong Digunakan untuk
mengukur diameter batang
mangrove
3. Kamera Digunakan untuk
dokumentasi
4. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat
5. Papan Jalan Digunakan sebagai alas
dalam melakukan
pendataan
6. Modul Praktikum
Ekologi Laut
Digunakan untuk
mengidentifikasi
mangrove
3.3 Metode 3.3.1 Karang
3.3.1.1 Pemasangan Transek
1. Pelampung kuning pertama disiapkan dan dipasang sebagai titik 0 transek
2. Roll meter ditebar sepanjang 100 m dari titik 0 dan sejajar dengan garis pantai
3. Roll meter dibagi ke dalam 4 segmen 25 m, 50 m, 75 m, dan 100 m
4. Kemudian pelampung disiapkan dan dipasang pada titik 25 m, 50 m, 75 m, 100
m dengan mengaitkan pelampung dengan tali pada karang pada setiap titik
tersebut untuk menandai setiap segmen.
5. Pelampung dipasang dengan urutan warna kuning (0 m), merah (25 m), kuning
(50 m), kuning (75 m), dan merah (100 m).
3.3.1.2 Pengambilan data karang (dengan metode Line Intercept Transect)
1. Alat- alat pengambilan data disiapkan seperti papan jalan, laporan sementara
yang dicetak pada kertas newtop, pensil, dan alat snorkeling.
2. Laporan sementara diletakkan di papan jalan
3. Pengambilan data dilakukan dengan berenang mengamati tutupan karang yang
4. Data karang diambil sesuai dengan segmen yang telah ditentukan. Segmen 1:
kelompok 1,2 dan 3 , segmen 2: kelompok 4, 5, dan 6, segmen 3 : kelompok 7 ,
dan segmen 4 : kelompok 8 dan 9.
5. Semua yang berada di jalur transek yang diam ditulis pada laporan sementara.
3.3.2. Lamun
1 Metode yang digunakan dalam pengamatan ekosistem lamun adalah metode acak
atau metode random
2 Lokasi pengamatan ditentukan dan dicari koordinat lokasinya menggunakan GPS
3 Lokasi lain dibagi menjadi 3 transek dengan transek A di dekat pantai, transek B
lebih jauh sedikit dari pantai dan transek C paling jauh dari pantai
4 Pengamatan dan pendataan lamun dilakukan mulai dari jenis, jumlah maupun
makhluk hidup lain yang ada dalam transek, kemudain ditulis dalam laporan
sementara
5 Kemudian setiap stasiun bergeser sejauh sekitar 5-10 meter ke arah laut , sehingga
total stasiun ada 3 dengan 3 transek tiap stasiunnya
3.3.3. Mangrove
1. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah metode Sample Plot
2. Titik koordinat lokasi pengamatan ditentukan menggunakan GPS dan kemudian
dicatat
3. Mangrove yang ada di setiap plot didata,
4. Tinggi pohon dan vegetasi mangrove yang ada di setiap transek di hitung dan hitung
juga diameter pohon dengan menggunkan jangkasorong kemudian di tulis dalam
tabel form mangrove
5. Bila tinggi pohon lebih dari dada dan diameter pohon lebih dari 4 cm maka
dimasukkan kedalam Pohon bila salah satu tidak terpenuhi maka dimasukkan ke
dalam sapling
6. Sample yang ada pada transek 5 x 5 m (sapling) dipotong sebagian ranting yang sudah terdapat daun, bunga dan propagul
7. Bagian yang ada diamati seperti bentuk daun, tulang daun, buah, bunga, bentuk
propagul dan bentuk percabangan
8. Setelah diamati dengan menggunakan ciri-ciri yang ada maka dapat ditentukan
9. Setelah diidentifikasi maka dibuat herbarium kering yaitu dengan meletakkan
potongan ranting diatas kardus kemudian rekatkan dengan lakban bening
10.Diusahakan dalam merekatkan tidak ada rongga udara, agar herbarium lebih tahan
lama.
11.Fauna terestrial (serangga, burung, reptil, dsb.) dan fauna akuatik (kepiting, kerang,
ikan, dsb.) yang ditemukan dicatat pada setiap petak contoh (plot).
3.4 Diagram Alir 3.4.1 Karang
3.4.2 Lamun
Mulai
Lokasi data pengamatan
Pemasangan transek karang ditentukan
Pengambilan data karang dilakukan dengan metode Line Intercept
Data yang telah didapatkan dicatat dan diolah
Selesai
Mulai
Lokasi data pengamatan ditentukan
Pemasangan transek karang ditentukan
Pengambilan data lamun dengan menggunakan metode acak
Data yang telah didapatkan diamatai kemudian dicatat dan diolah
3.4.3 Mangrove
3.5 Peta Titik Pengambilan Sampel 3.5.1 Karang
Gambar 2. Peta Penelitian Karang
Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017 Mulai
Lokasi data pengamatan ditentukan
Pemasangan transek mangrove ditentukan
Sampel seedling, sampling, dan pohon diidentifikasi dan dihitung
Data yang telah didapatkan dicatat dan diolah
3.5.2 Lamun Transek A
Gambar 3. Peta Penelitian Lamun Transek A
Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017
Transek B
Gambar 4. Peta Penelitian Lamun Transek B
Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017
Transek C
Gambar 5. Peta Penelitian Lamun Transek C
3.5.3 Mangrove
Gambar 6. Peta Penelitian Karang
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Panjang Transek Life Form li
8384 DC 40
8422 CM 38
8440 DC 18
8500 DC 60
4.1.1.2. Total Panjang Transek
Tabel 5. Total Panjang Transek
SD 7760 44
4.1.1.4. Tabel Hasil Pengolahan Data
Tabel 7. Hasil Pengolahan Data
4.1.2 Lamun
4.1.2.1. Data Lamun Transek A
Tabel 8. Data Lamun Transek A Stasiun 1
STASIUN 1 : S 6°30’10.4” E 110°40'12.1"
A 29 23 36 27
B 24 35 35 25
C 37 28 29 18
D 30 25 29 12
TOTAL 442
Tabel 9. Data Lamun Transek A Stasiun 2
STASIUN 2 : 6°30'10.3" E 110°40'12.3"
A 60 62 48 50
B 55 49 55 60
C 67 59 55 66
D 68 58 55 45
TOTAL 912
Tabel 10. Data Lamun Transek A Stasiun 3
STASIUN 3 : S 6°30'9.4" E 110°40'13.1"
A 17 16 24 16
B 10 13 14 20
C 7 10 7 7
D 19 8 11 9
TOTAL 208
Transek B
Tabel 11. Data Lamun Transek B Stasiun 1
STASIUN 1 : S 6°30'10.3" E 110°40'12.5"
A 27 25 37 93
B 41 38 52 95
C 43 32 38 22
D 46 31 14 18
Tabel 12. Data Lamun Transek B Stasiun 2
STASIUN 2 : S 6°30'8.4" E 110°40'12.0"
A 27 54 43 40
B 34 42 32 38
C 35 48 40 41
D 45 47 50 45
TOTAL 661
Tabel 13. Data Lamun Transek B Stasiun 3
STASIUN 3 :
A 16 26 16 15
B 26 22 13 14
C 18 20 15 12
D 20 18 23 15
TOTAL 289
Transek C
Tabel 14. Data Lamun Transek C Stasiun 1
STASIUN 1 : S 6°30'9.4" E 110°40'15"
A 69 68 64 50
B 54 52 57 37
C 40 48 37 28
D 23 46 30 17
TOTAL 720
Tabel 15. Data Lamun Transek C Stasiun 2
STASIUN 2 : S 6°30'8.7" E 110°40'12.1"
A 26 26 16 15
B 26 22 13 14
C 18 20 15 12
D 20 18 23 5
TOTAL 289
Tabel 16. Data Lamun Transek C Stasiun 3
STASIUN 3 : S 6°30'8.3" E 110°40'11.3"
A 23 17 32 29
B 10 12 12 17
C 2 11 7 19
D 5 9 7 3
4.1.2.2. Data Kepadatan Lamun Transek A
Tabel 17. Data Kepadatan Lamun Transek A
Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia Hemprichii
A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4
D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4
Transek B
Tabel 18. Data Kepadatan Lamun Transek B
Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia Hemprichii
A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4
D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4
Transek C
Tabel 19. Data Kepadatan Lamun Transek C
Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia Hemprichii
A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4
C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4
D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4
4.1.2.3. Data Persentase Penutupan Lamun Transek A
Tabel 20. Data Presentase Penutupan Lamun Transek A
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3