• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT. pdf"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT

HANIFA ZUHAIRA

26020216120017

OSEANOGRAFI A / KELOMPOK 4

ASISTEN:

RAYMUNDUS PUTRA SITUMORANG

26020214120004

BAYU EKO PRIYANTO

26020214120028

ANDRE RIVALDO

26020214190078

TRI YUNIARTI AMBARSARI

26020215120001

KHARISTINI RIZKI

26020215120030

MUHAMMAD SABABA ALHAQ

26020215120044

ANGGI TSAMARA AMIRAH

26020215120049

ARDHANA RESWARI UTAMI

26020215130091

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekologi merupakan salah satu cabang biologi. Yaitu ilmu pengetahuan tentang

hubungan antara organisme dan lingkungannya. Atau ilmu yang mempelajari

pengaruh faktor lingkungan terhadapn jasad hidup. Ada juga yang mengatakan

bahwa ekologi adalah suatu ilmu yangt mempelajari hubungan antara tumbuhan,

binatang, dan manusia dengan lingkungannya dimana mereka hidup, bagaimana

kehidupannya dan mengapa mereka ada disitu. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harafiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok

organisme terhadap lingkungannya. Ekologi hanya mempelajari apa yang ada dan

apa yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan.

Definisi ekologi sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang spektrum

hubungan timbal balik yang terjadi antara organisme dan lingkungannya serta

antara kelompok-kelompok organisme. Ekologi adalah suatu ilmu yang

mempelajari tentang organisme dalam rumahnya. Ekologi itu sendiri terbagi dalam

beberapa ekosistem, diantaranya yaitu pantai, muara, tambak, dan sungai.

Sifat-sifat dari masing-masing ekosistem tersebut misalnya dapat dilihat melalui

parameter fisika, kimia, dan biologi dan dapat diketahui dengan melaksanakan

suatu penelitian.

Pantai Blebak salah satunya terletak di daerah Sekulo, Kecamatan Mlonggo,

Jepara yang merupakan kawasan perairan yang masih bersih dan termasuk pantai

wisata. Mangrove, karang dan lamun dapat menjelaskan kondisi perairan tersebut

dan juga potensi wisata bahari maupun potensi wilayah pesisir Pantai Blebak. Oleh

karena itu perlu dilakukan identifikasi struktur komunitas mangrove, lamun, dan

karang di Pantai Blebak untuk mengetahui kondisi ekosistem yang ada di pantai

Pantai Blebak serta bagaimana interaksi biota-biota yang ada di dalam ekosistem

(3)

1.2 Tujuan

1.2.1 Ekosistem Mangrove

1. Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove

2. Mengetahui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan

metode sample plot.

3. Mengetahui keanekaragaman jenis mangrove.

1.2.2 Ekosistem Lamun

1. Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.

2. Mengetahui interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.

3. Mampu menganalisa faktor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada

ekosistem pada padang lamun.

1.2.3 Ekosistem Karang

1. Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,

Kecamatan Mlonggo, Jepara.

2. Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode

LIT (Line Intercept Transect).

1.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum kali ini yaitu sebagai berikut :

1. Menambah informasi mengenai persebaran struktur komunitas ekosistem

padang lamun pada tiap zona pengamatan, jenis-jenis biota makrobentos yang

berasosiasi dengan ekosistem padang lamun.

2. Menambah informasi tentang ekosistem terumbu karang dan prosentase

tutupannya sehingga diharapkan mampu melestarikan ekosistem terumbu

karang.

3. Menambah informasi mengenai ekosistem mangrove, prosentase tutupan

mangrove, dan jenis-jenis biota makrobentos yang berasosiasi dengan

(4)

1.4 Peta Lokasi

(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1 Definisi Mangrove

Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan

bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk

menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan

pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun

komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove

digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata

mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Nybakken, 1992).

Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama

tumbuh pada tanah aluvial didaerah pantai dan sekitar muara sungai yang

dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon :

Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Setyobudiandi, dkk. 2009).

Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari

atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub

tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat

di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan

membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat

pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut,

hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia

merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu

Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah

ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki

karakteristik hidup di daerah pantai (Majid, 2016).

2.1.2 Habitat Mangrove

Menurut Soeroyo (1992), mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara

sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik

karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

(6)

disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.

Mangrove tumbuh subur pada tempat dengan endapan lumpur yang

melimpah serta aliran air tawar yang cukup. Air payau bukan merupakan hal

yang wajib untuk pertumbuhan mangrove namun mangrove sangat baik

tumbuh di lingkungan tersebut. Mangrove juga dapat tumbuh di pantai

berpasir, pantai berbatu atau pantai berkarang dan pulau-pulau kecil. Pantai

mangrove berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur

dan pasir ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh

ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi di mana banyak

saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu jaringan kerja,

jalannya air tenang membatasi daerah pasang surut (Giesen, 2007).

2.1.3 Flora Fauna Mangrove

Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti

primata, reptillia dan burung. Satwa liar yang terdapat di ekosistem mangrove

merupakan perpaduan antara fauna ekosistem terestrial, peralihan dan perairan.

Satwa liar terestrial kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan Satwa

liar peralihan dan perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air

(Haris, 2014).

Pada ekosistem mangrove fauna laut didominasi oleh phylum mollusca (didominasi oleh Bivalvia dan Gastropoda) yang yang menempati substrat baik

yang keras maupun yang lunak terutama kerang dan berbagai jenis invertebrata

lainnya. Hewan yang termasuk dalam phylum mollusca dari classis Bivalvia dan gastropoda merupakan sumber daya hayati laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, penting dan memiliki keanekaragaman tinggi. Oleh karena itu

tingkat eksploitasi dewasa ini terus meningkat, namun dari segi lain bentuk

eksploitasi ini dapat mengancam kelestarian populasi mollusca atau jenis tertentu. Kawasan hutan mangrove terjadi penyusutan disadari atau tidak,

disengaja atau tidak, sejak beberapa tahun belakang hingga sekarang telah

berlangsung kerusakan ekosistem laut. Hal ini akan mengganggu kehidupan

(7)

2.1.4 Fungsi Utama Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik,

mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung

dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan

berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara

ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan

biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur

hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut (Haris, 2014).

Fungsi mangrove sangat besar terhadap kehidupan di daratan, di

antaranya menahan gelombang pasang, abrasi, dan intrusi air laut. Pentingnya

fungsi ini sering tidak disadari oleh masyarakat sekitar pantai, terbukti dengan

cara pemanfaatan mangrove yang kurang memperhatikan aspek konservasi.

Pemanfaatan hutan mangrove yang berhubungan langsung dengan

perekonomian masyarakat salah satunya adalah hasil tambak payau. Tambak

di Pantai Utara Jawa Tengah sebagian besar berada persis di belakang

mangrove. Tambak seperti ini disebut sebagai silvofishery, yaitu perpaduan

mangrove dan tambak yang mendasarkan pada fungsi mangrove sebagai

nursery ground (Poedjirahajoe, 2015).

Pada ekosistem mangrove komponen dasar rantai makanan adalah

seresah (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) yang jatuh dan

didekomposisi oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) menjadi zat hara/

nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga

maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagain

lagi dimanfaatkan oleh udang, kepiting sebagai makanan (Poedjirahajoe,

2015).

2.1.5 Substrat Ekosistem Mangrove

Menurut Giesen (2007), karakteristik substrat merupakan faktor

pembatas kehidupan mangrove. Jenis substrat sangat mempengaruhi susunan

jenis dan kerapatan vegetasi mangrove yang hidup di atasnya. Semakin cocok

(8)

vegetasi tersebut merapati area hidupnya. Beberapa jenis substrat diantaranya

adalah lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir, pasir berlumpur dan

pasir berbatu.

Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan

mangrove. Tekstur dan konsentrasi ion serta kandungan bahan organik pada

subtrat sedimen mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan misalnya jika

komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan lanau (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat (Darmadi, 2012).

Sebagian besar spesies mangrove tumbuh baik di tanah berlumpur, yaitu

pada daerah di mana lumpur terakumulasi, baik untuk perkembangan

Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Hutan yang didominasi oleh

Bruguiera sering bersubstrat tanah lumpur dalam. Spesies tertentu seperti R.

stylosa tumbuh baik pada substrat pasir dan bahkan dapat tumbuh di

pulau-pulau karang dengan substrat pecahan karang dan kerang. Bahkan, R. stylosa dan S. alba biasa tumbuh pada substrat berpasir dan bahkan pantai berbatu. Substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina. Di kondisi tertentu mangrove juga dapat tumbuh pada daerah pantai bergambut

misalnya di Florida, Amerika Serikat (Giesen, 2007).

2.1.6 Zona Ekosistem mangrove

Menurut Kordi (2012) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon

ke dalam enam zona, yaitu :

1. Zona perbatasan dengan daratan;

2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops; 3. Zona hutan Bruguiera;

4. Zona hutan Rhizophora;

5. Zona Avicennia yang menuju ke laut; dan 6. Zona Sonneratia.

Terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di

kawasan pantai tertentu, yaitu : (1) gelombang, yang menentukan frekuensi

tergenang; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove;

(9)

tawar; (5) keterbukaan terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat

yang dapat dimanfaatkan (Alwidakdo, 2014).

Menurut Purnamabasuki dalam Ghufran dan Kordi (2012), pembagian

hutan bakau juga di bedakan berdasrkan struktur ekosistemnya, yang secara

garis besar dibagi menjadi tiga formasi), sebagai berikut :

1. Hutan Bakau Pantai, pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air

sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut kedarat dimulai dari

pertumbuhan Pedada diikuti oleh komunitas campuran Pedada, Api-api,

Bakau, selanjutnya komunitas murni Bakau dan akhirnya komunitas

campuran Lacang.

2. Hutan Bakau Mura, pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan

pengaruh air sungai. Hutan bakau muara dicirikan Bakau ditepian alur di

ikuti komunitas campuran Bakau-Lacang dan diakhiri dengan komunitas

murni Nipah.

3. Mangrove Sungai, pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan dari pada

air laut dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara.

Pada tipe ini hutan bakau banyak ber asosiasi dengn komunitas tumbuhan

daratan.

2.1.7 Identifikasi Mangrove

Pengamatan di hutan tropis, vegetasi di habitat mangrove relatif lebih

mudah, karena terbatasnya jenis tumbuhan serta sifat perbungaannya yang

tidak terlalu musiman. Hal ini berarti bahwa hampir setiap saat dapat

ditemukan pohon yang memiliki bunga atau buah yang akan memudahkan

identifikasi jenis pohon. Lebih dari itu, tumbuhan pada habitat mangrove

tidaklah setinggi pohon-pohon di hutan hujan tropis. Meskipun demikian,

pengamatan pada habitat mangrove juga memiliki kesulitan tersendiri (Haris,

2014).

Sebagian besar bentuk pohonnya memiliki kesamaan, sehingga

pengamat harus memfokuskan perhatiannya pada perbedaan kulit kayu, tipe

akar serta bunga/buahnya. Jika waktu pengamatan tidak memungkinkan, perlu

dibuat koleksi tumbuhan, yakni dengan mengambil daun, bunga, dan buah dari

(10)

laboratorium dengan membuat catatan mengenai lokasi, tanggal, tipe

perakaran, dan habitat (Haris, 2014).

2.1.8 Metode Pengambilan Data Mangrove

Transek merupakan garis sampling yang ditarik menyilang pada sebuah

bentukkan atau beberapa bentukan. Transek juga dapat dipakai dalam studi

altituide dan mengetahui perubahan komunitas yang ada. Transek adalah jalur sempit meintang lahan yang akan dipelajari/diselidiki. Metode Transek

bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan

lingkungan serta untuk mengetahui hubungan vegeterasi yang ada disuatu

lahan secara cepat (Kordi, 2012).

Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah metode Line Transec dan belt transec. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan, atau untuk mengetahui jenis

vegetasi yang ada di suatu lahan secara cepat. Dalam hal ini, apabila vegetasi

sederhana maka garis yang digunakan semakin pendek (Kordi, 2012).

2.1.9 Faktor Eksternal dan Internal Pertumbuhan Mangrove

Menurut Alwidakdo (2014), menjelaskan bahwa faktor eksternal

pengaruh pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah: fisiografi pantai

(topografi), pasang (lama, durasi, rentang), gelombang dan arus, iklim (cahaya,

curah hujan, suhu, angin), salinitas, oksigen terlarut, tanah, dan hara sedangkan

faktor internal terkait dengan kemampuan genetika dan perkembangbiakan

tanaman serta aktivitas tanaman bakau sendiri seperti terkait dengan genetika

atau spesiesnya, kemampuan adaptasi, kemampuan perkawinan silang,

kemampuan mutasi dan modifikasi, serta kekmapuan melakukan penyebaran

dari jenis tanaman bakau atau faktor biologis tanaman ini biasanya secara rinci

dijelaskan oleh para ahli biologis.

Menurut Alwidakdo (2014), faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan

sebagai berikut:

a. Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan

(11)

mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal

ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas

untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin

luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan

mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon

mangrove untuk tumbuh.

b. Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi

tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem

mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove

yaitu lama pasang, durasi pasang, rentang pasang (tinggi pasang).

c. Gelombang dan Arus

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem

mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang

cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi

pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh

langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai rhizophora

terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai

untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh

tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan

padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan

padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang

pertum-buhan mangrove.

d. Iklim

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah

hujan, suhu dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah

cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan

struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah

tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang

tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan

mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Laju pertumbuhan tahunan

(12)

sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Selain itu curah hujan

berpengaruh seperti jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi

perkembangan tumbuhan mangrove, curah hujan yang terjadi

mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Kemudian

suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).

Produksi daun baru Avicennia marina terjadi padasuhu 18-20oC dan jika

suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang, Rhizophora stylosa,

Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 o C.

Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan

agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses

reproduksi tumbuhan mangrove.

e. Salinitas

Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar

antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju

pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi

penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca

panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari

salinitas air

2.1.10 Kondisi Mangrove di Patai Utara Jawa

Menurut Setyawan (2007), menjelaskan bahwa pantai utara Jawa Barat

merupakan lokasi yang sangat potensial untuk pertumbuhan mangrove.

Kawasan ini menjadi muara sekurang-kurangnya 15 sungai besar dan panjang,

seperti Citarum, Cimanuk, Ciujung, dan Cisadane, sehingga menjamin

terbentuk dataran lumpur yang cukup luas dan kontinyu. Kawasan ini telah

lama dikenal sebagai tempat persinggahan terbesar burung-burung air yang

bermigrasi dari daratan.

Mangrove di pantai utara Jawa Tengah juga terbentuk pada dataran

lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah

di banding pantai utara kedua propinsi tetangganya mengingat luasannya yang

jauh lebih sempit, akibat pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai

ini. Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove yang sangat

(13)

sangat menarik karena keadaan geomorfologinya mendukung terbentuknya

ekosistem yang dinamis . Sedimentasi yang tinggi dari sungai Citanduy,

Cikoneng/Cimeneng, dan sungai-sungai lain menyebabkan terbentuk daratan

baru yang di-dominasi tumbuhan pioner Avicennia dan Sonneratia, sedangkan

Rhizophora menempati bagian kecil yang airnya tetap mengalir (Setyawan,

2007).

Seluruh muara sungai di pantai selatan Jawa mulai dari teluk Pacitan

hingga muara sungai Donan dan Segara Anakan menemukan 29 spesies

mangrove, terdiri dari 9 spesies mayor, 2 spesies minor dan 18 spesies

tumbuhan asosiasi, dimana Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia

alba dan Nypa fruticans merupakan spesies yang paling sering

dite-mukan.Kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung

migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita), grajahan (Numentus spp),

dan cerek (Charadrius javanicum). Berdasarkan kondisi lingkungannya hu-tan

mangrove Segara Anakan dapat dikelompokkan dalam zona akresi, zona alami,

dan zona terpolusi minyak (Setyawan, 2007).

2.2 Lamun

2.2.1 Definisi Lamun

Tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara

penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam

air adalah lamun. Lamun memiliki rizhoma, daun, dan akar sejati seperti halnya

tumbuhan di darat. Lamun adalah tumbuhan laut yang hidup pada ekosistem

padang lamun (Seagrass Bed) terutama di daerah tropis dan subtropis.

Komunitas lamun memegang peranan penting baik secara ekologis, maupun

biologis di daerah pantai dan estuaria. Disamping itu juga mendukung aktifitas

perikanan, komunitas kerang-kerangan dan biota avertebrata lainnya (Gosar

dan Haris, 2012).

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang

tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga

sampai kedalaman 40 meter, membentuk kelompok – kelompok kecil hingga

(14)

satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang terdiri 2 sampai 12 jenis lamun

yang tumbuh bersam-sama pada satu substrat. Lamun mempunyai sifat yaitu

mampu hidup di media air asin, berfungsi normal dalam keadaan terbenam,

mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang dengan baik,

mempunyai kemampuan untuk berkembang biak secara generatif dalam

keadaan terbenam, dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam

keadaan stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Haris, 2012).

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

terendam di dalam laut serta beradaptasi secara penuh di perairan yang

salinitasnya cukup tinggi. Beberapa ahli juga mendefenisikan lamun (seagrass)

sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,

berimpang, berakar serta berkembang biak dengan biji dan tunas (Wirawan,

2014).

Padang lamun merupakan ekosistem laut dangkal yang didominasi oleh

vegetasi lamun. Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam

ekologi kawasan pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk

menjadi tempat mencari makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong,

ikan, echinodermata dan gastropoda. Peran lain adalah menjadi barrier

(penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang

berasal dari daratan (Poedjirahajoe, 2013).

2.2.2 Ekosistem Lamun

Menurut Dwintasari (2009), ekosistem lamun di Indonesia di jumpai

pada daerah pasang surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal).

Dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak

diantara dua ekosistem penting yaitu ekosistem terumbu karang dan mangrove.

Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi dengan mangrove dan

terumbu karang serta sebagai mata rantai dan penyangga (buffer) bagi kedua

ekosistem tersebut. Interaksi ketiga kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien

dan zat organik melayang, ruaya hewan dan dampa kegiatan manusia.

Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta

(15)

dengan karang mati dengan kedalaman 4 m. Dalam perairan yang sangat jernih,

beberapa jenis lamun bahkan di temukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 m

dan 40 m. Bila dibandingkan dengan padang lamun yang tumbuh di sedimen

karbonat yang berasal dari patahan terumbu karang, maka padang lamun yang

tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor run off daratan yang berkaitan dengan kekeruhan, suplai nutrient pada musim hujan, serta fluktuasi salinitas ( Arifin, 2007).

Menurut Poedjirahajoe, (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan perubahan iklim (climate change), padang lamun menjadi salah satu ekosistem yang terkena dampak paling nyata. Padang lamun menghilang terutama di

bagian mulut muara sungai dan di perairan dangkal. Penyebab utama hal

tersebut adalah meningkatnya suhu, utamanya di beberapa tempat di habitat

perairan dangkal. Peningkatan suhu berpengaruh terhadap agihan (distribution)

dan proses reproduksi lamun. Selain suhu, faktor lain yang berpengaruh adalah

meningkatnya sedimentasi dan resuspensi sedimen akibat tingginya curah

hujan dan frekuensi banjir dari sungai. Padang lamun mempunyai agihan yang

sangat luas, karena dapat dijumpai di perairan tropis maupun sub-tropis.

2.2.3 Flora dan Fauna Lamun

Indonesia mempunyai luas padang lamun sekitar 30.000 Km2. Padang

lamun yang begitu luas memungkinkan banyaknya biota yang hidup

berasosiasi dengan lamun seperti alga, moluska, krustasea, enchinodermata,

mamalia dan ikan. Padang lamun banyak di huni oleh ikan-ikan baik tinggal

menetap, sementara maupun mengunjungi untuk mencari makan atau

melindungi diri dari pemangsa. Peranan lamun begitu besar namun sering kali

ekosistem ini kurang mendapat perhatian (Kuriandewa, 2009).

Menurut Rappe (2010), menjelaskan bahwa identifikasi 7 karakteristik

utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun yaitu: (1)

Keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi

daripada yang berdekatan dengan substrat kosong, (2) Lamanya asosiasi

ikan-lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup, (3) Sebagian

besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang

(16)

ekonomi penting, (4) Zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan

utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan tumbuhan, pengurai dan

komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan

oleh ikan, (5) Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi

spesies terjadi di banyak padang lamun, (6) Hubungan yang kuat terjadi antara

padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi

spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada tipe (terumbu karang,

estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat, (7) Kumpulan ikan

dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga, walaupun dua habitat

itu berdekatan.

2.2.4 Zonasi Lamun

Sebaran zonasi lamun dari pantai kearah tubir secara umum

berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis

maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa vegetasi tunggal

berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu jenis lamun dengan

membentuk padang lebat. Vegetasi campuran terdiri dua sampai 12 jenis lamun

yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang biasanya

tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum. Pada substrat berlumpur di daerah mangrove kearah laut sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang

berasosiasi tinggi (Feryatun, 2012).

Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk didaerah daerah

yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal.

Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah perlindungan serta substrat

berpasir dan stabil. Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih

dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan temperate atau daerah

dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi tergantung pada topografi pantai

(17)

Berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun yang tumbuh

menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah yang berada jauh pantai .

Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona daerah yang berada jauh pantai (Fahruddin et al., 2017).

2.2.5 Kegunaan Ekosistem Lamun

Secara ekologis, lamun dapat berperan sebagai stabilisator sedimen

karena mampu melindungi terumbu karang dari sedimentasi dengan ciri khas

akar rizomanya. Padang lamun juga dapat berperan sebagai filtrasi air serta

pendukung utama kehidupan perikanan dan unggas air di pesisir pantai. Padang

lamun mampu mengambil nutrient melalui daun serta sistem akarnya, dan pada

umumnya di daerah tropis konsentrasi nutrient terlarut dalam air laut agak

rendah (sering di bawah batas yang dapat dideteksi), sementara konsentrasi air

poros dalam sedimen biasanya sangat tinggi. Pengambilan nutrient dari kolom

air oleh daun lamun dapat dianggap tidak terlalu penting jika dibandingkan

dengan pengambilan nutrien oleh akar dari sedimen (Tahril, 2011).

Salah satu komunitas penyusun ekosistem pesisir pantai yaitu padang

lamun, memiliki fungsi ekologis dan bernilai ekonomi, juga merupakan habitat

dengan biodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem lamun

antara lain sebagai tempat pembenihan berbagai jenis ikan, tempat berbagai

biota laut mencari makan, menghubungkan habitat darat dan habitat laut

lainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosi pesisir pantai, dll.

Padang lamun juga memiliki fungsi utama yang dapat dipertimbangkan yaitu

sebagai penyimpan karbon. Waktu pergantian komponen lamun yang relatif

lama, terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan kemampuan lamun

menyimpan kelebihan produksi karbon di dalam sedimen, serta kemampuan

akumulasi jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran padang lamun

dalam menyimpan cadangan karbon (carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih

saja. Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon

(18)

2.2.6 Identifikasi Lamun

Identifikasi di lapangan dilakukan dengan mengamati sampel secara

morfologis dan mencocokkannya dengan gambar/foto jenis lamun, kunci

identifikasi atau ciri yang diuraikan dalam buku acuan. Sedangkan di

laboratorium, dilakukanpengamatan secara morfologis dengan kaca pembesar

atau menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x

40. Mikroskop umumnya digunakan untuk mengamati ujung daun dan pola

urat daun yang menjadi ciri utama untuk mengidentifikasi beberapa jenis

lamun, khususnya marga Halodule dan Halophila.Buku yang dijadikan acuan untuk mengidentifikasi sampel adalah buku dari Den Hartog (Priosambodo, 2007).

2.2.7 Metode Pengambilan Data Lamun

Menurut Azkab (2008), sebaran lamun dilakukan pengamatan dengan

metode garis transek (transect line method) yang tegak lurus dari pinggir

pantai. Sebelum melaksanakan pengamatan transek, lebih dahulu dilakukan

pengamatan pengenalan lapangan pada daerah yang akan diteliti untuk

menentukan titik-titik transek. Pada transek tersebut ditarik meteran (rol meter)

yang biasanya sepanjang 50 meter atau 100 meter. Lamun yang dilalui meteran

tersebut dicatat jenisnya, komposisinya (tunggal atau campuran). Dicatat jarak

sebaran lamun, dicatat kedalaman air pada saat melakukan pengamatan.

Transek dilakukan tegak lurus dari pinggir pantai sampai ke daerah

yang tidak ditemukan lamun. Jarak transek satu dengan yang lainnya dan jarak

satu titik dengan titik lainnya pada satu transek tergantung pada luas yang

diamati atau diteliti. Jarak transek yang satu dengan yang lain terdapat 250

meter, 500 meter, 1000 meter atau 1500 meter. Sedangkan jarak titik yang satu

dengan titk yang lain pada satu transek dapat 25 meter atau 50 meter tergantung

lebar padang lamun yang diamati. Pada setiap titik diambil contoh dengan

menggunakan bingkai (frame) 25 x 25 cm sebanyak empat kali. Contoh lamun

diambil seluruhnya (akar, rimpang dan daun). Kemudian dimasukkan ke dalam

kantong plastik yang biasanya di beri formalin dengan konsentrasi 5%.

Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium.

(19)

dapat juga dilakukan dengan pengambilan contoh secara acak sebanyak 10 kali

(25 x 25 cm). Untuk pengamatan tutupan (cover) lamun dilakukan transek

dengan jarak 10 meter yang paralel dengan transek yang lain (Azkab, 2008).

2.2.8 Faktor Lingkungan Pertumbuhan Lamun

Menurut (Wirawan, 2014), factor lingkungan pertumbuhan lamun

yaitu sebagi berikut :

a. Temperatur

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh

terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi

pertumbuhan dan distribusi lamun. Perubahan suhu mempengaruhi

metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada

kisaran suhu 25-30°C fotosintesis bersih pada lamun akan meningkat

dengan meningkatnya suhu. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun

berkisar antara 24-27°C.

b. Salinitas

Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10–40‰ dan nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap

salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur lamun. Lamun yang tua

dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh

terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan

pulih. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem padang

lamun adalah meningkatnya salinitas.

c. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan. Kecerahan dan

kekeruhan air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh jumlah cahaya

matahari yang masuk ke dalam perairan atau disebut juga dengan intensitas

cahaya matahari. Cahaya matahari di dalam air berfungsi terutama untuk

kegiatan asimilasi fitolankton dan tumbuhan lamun di dalam air, oleh karena

itu, daya tembus cahaya ke dalam air sangat menentukan tingkat kesuburan

(20)

I dan 0,62 meter pada sampling ke II) sehingga lamun dapat memanfaatkan

sinar matahari dengan sempurna.

d. Kedalaman

Faktor kedalaman suatu perairan tentunya akan sangat berpengaruh

terhadap kondisi suatu organisme. fluktuatif kedalaman suatu perairan

berpengaruh kepada nilai tekanan perairan, suhu air, kecerahan, nutrien dan

sebagainya. Kedalaman perairan lokasi penelitian di Pulau Parang pada

bulan September 2012 adalah 0,62 meter yang cenderung menurun

dibandingkan di bulan Juni (0,73 meter), hal ini tentunya didasari oleh faktor

pasang-surut perairan laut lokasi penelitian. Tidak ada gangguan bagi sinar

matahari untuk masuk ke perairan sehingga tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan lamun. Satusatunya faktor yang dapat menghalangi ekosistem

lamun untuk tertembus oleh cahaya matahari adalah adukan sedimen

disekitarnya, bukan dipengaruhi kedalaman.

e. Nutrien

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan

nutrien bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan

memiliki sifat stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna

senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi

ammonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus

nitrogen. Untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan dapat digunakan nitrat. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1–5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5–50 mg/L. Nitrat dapat diserap oleh lamun melalui akar dan daun. Rhizoma dan akar

lamun yang mati akan menambah kandungan nitrat dalam sedimen.

Kandungan nitrat dalam kandungan perairan laut rata-rata 25 ppm. Nitrat

juga dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.

Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolism dan

pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan

(21)

dalam jumlah yang kecil merupakan faktor pembatas bagi produktifitas

perairan. Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), fosfat yang terkandung

dalam air laut baik bentuk terlarut maupun tersuspensi keduanya berada

dalam bentuk anorganik dan organik. Senyawa fosfat organik yang

terkandung dalam air laut umumnya berbentuk ion asam fosfat, H3PO4.

Kira-kira 10% dari fosfat anorganik, terdapat sebagai ion PO43- dan

sebagian besar (±90%) dalam bentuk HPO42-.

f. Substrat

Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun karena kedalaman substrat

berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal yaitu

pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta pemasok

nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama

untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun Lamun juga hidup

tergantung dari jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk

dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal

datar yang didominasi oleh lumpur halus. Banyaknya dinamika terhadap

kondisi lamun dan substrat yang terjadi dilokasi daerah sebong pereh, maka

perlu dilakukan kajian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat.

Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun

di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan

karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur,

lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang, dan batu karang.

Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali

pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat

karang batu. Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan

sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan,

morfologi dan biomassa lamun. Data visual substrat diambil dari setiap titik

sampling yang meliputi: tipe substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur,

lumpur berpasir, pecahan karang, dan sebagainya). Pada masing-masing

garis transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari tiga (3) titik sampling

yang mewakili, sehingga diperoleh sembilan (9) sampel. Sampel substrat

(22)

dasar, secara umum pelaksanaan pengambilan sampel harus dilakukan

secara sistematis sesuai dengan ketersediaan waktu. Pengambilan sampel

dapat dilakukan dengan menggunakan sekop sebagai alat sampling.

2.2.9 Sebaran dan Jenis Lamun di Indonesia

Lamun di seluruh dunia, 12 jenis diantaranya dapat ditemukan di

Indonesia. Jumlah spesies yang rendah ini cukup mengejutkan, mengingat

jumlah spesies lamun di Filipina dan Australia (tropis) masing-masing

mencapai 16 dan 15 jenis, sehingga diperkirakan masih ada beberapa jenis

lamun lainnya yang diduga kuat berada di Indonesia namun belum pernah

dilaporkan akibat kurangnya aktifitas penelitian tentang biogeografi lamun.

Salah satu contoh adalah Halophila beccari. Jenis lamun yang tumbuh di

Singapura dan Malaysia ini, diduga kuat juga terdapat di Indonesia namun

keberadaannya belum pernah dilaporkan (Priosambodo,2007).

Beberapa jenis lamun seperti Halophila spinulosa dan Halophila

decipiens memiliki daerah sebaran yang sangat terbatas di Indonesia. Kedua

jenis lamun tersebut hidup di rataan terumbu yang dalam dengan kisaran

kedalaman 3 - 50 m.Penelitian yang lebih intensif dengan daerah yang lebih

luas dan peralatan yang lebih menunjang (SCUBA) perlu dilakukan untuk

memperoleh data yang lebih akurat tentang penyebaran jenis-jenis lamun di

Indonesia (Priosambodo, 2007).

2.3 Terumbu Karang 2.3.1 Definisi Karang

Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang.

Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam

jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang

menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu

adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan

karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di

(23)

karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang.

Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan

koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai

hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,karang merupakan

komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang

(coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22°C), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium

Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang

keras (Nybakken, 1986).

2.3.2 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut

karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Ekosistem

ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih, dan merupakan perairan

paling produktif di perairan laut tropis, serta memiliki keanekaragaman hayati

yang sangat tinggi (Salam, 2013).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang krusial di

perairan laut dangkal terutama wilayah pesisir karena memiliki potensi

berbagai jenis sumberdaya yang penting untuk kehidupan manusia. Oleh

karena itu menjadi penting untuk memastikan bahwa ekosistem pesisir ini

terbebas atau sesedikit mungkin mengalami pengaruh dari daratan yang dapat

menimbulkan kerusakan (Salam, 2013).

2.3.3 Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan (Life Form) Berdasarkan bentuknya karang dapat diklasifikasikan menjadi

Acropora dan non-Acropora. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri

atas menurut (Nyabaken, 1992) :

a. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan

bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.

Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan

(24)

b. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya

ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng

terumbu.

c. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak

terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama

mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat

berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup

cangkang.

d. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaranlembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau

melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang

terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

e. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga

pusat mulut.

f. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil

g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti

terbakar bila disentuh

h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

2.3.4 Faktor Pertumbuhan Karang

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang

tergantung dari beberapa parameter fisika menurut (Nyabaken, 1992),

yaitu :

a. Kecerahan atau cahaya

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang

berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya

(25)

Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan

bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentu terumbu

(CaCO3) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat

berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kedalaman

maksimum membentuk terumbu karang adalah 40 meter. Lebih dari itu

cahaya sudah terlampau lemah

b. Suhu

Suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang secara optimal

pada kisaran suhu perairan laut rata-rata antara 25-300 C (Nontji, 1987).

Namun suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies

tertentu dari jenis karang hermafitik untuk dapat berkembang dengan

baik. Karang hermafitik dapat bertahan pada suhu di bawah 200C

selama beberapa waktu, dan mentolerir suhu sampai 360C dalam waktu

singkat Suhu mempunyai peranan penting dalam membatasi sebaran

terumbu karang, oleh karena itu terumbu karang tidak ditemui di daerah

dingin. Berdasarkan hasil penelitian laboratorium ternyata hewan koral

mengalami bleaching pada suhu320C secara terus menerus. Selain

itu bleaching juga bisa terjadi akibat pencemaran, peningkatan

turbiditas, penurunan salinitas

c. Salinitas

Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.

Hewan karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40.

Adanya aliran air tawar akan menyebabkan kematian. Itulah sebabnya

di pantai timur Sumatra, pantai selatan Kalimantan dan pantai selatan

Irian Jaya di mana banyak sungai-sungai besar bermuara, jarang

dijumpai terumbu karang

d. Sirkulasi arus dan sedimentasi

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai

makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses

pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang

(26)

penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan

dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari pertikel lumpur padat yang

dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat

menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak

negatif terhadap karang tetapi juga terhadap biota yang hidup

berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi

tersebut dapat menutupi polip sehingga respirasi organisme terumbu

karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu.

2.3.5 Faktor Kerusakan Karang

Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan

perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, bahan

beracun sianida, penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan

jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi. Berdasarkan survey line transect

yang dilakukan oleh P3O LIPI, tutupan karang hidup di Indonesia hanya

tinggal 6,20% yang masih berada dalam kondisi sangat baik, 28,30% kondisi

rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak berat (Salam, 2013).

Salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang adalah

pencemaran dalam bentuk sedimentasi berupa limbah, lumpur atau pun pasir.

Sedimentasi merupakan proses masuknya partikel-partikel sedimen dalam

suatu lingkungan perairan kemudian mengendap di dasarnya. Dalam prosesnya

sedimentasi menurunkan tingkat kecerahan perairan serta menutupi permukaan

terumbu karang maupun padang lamun yang berakibat lanjut terdegradasinya

ekosistem tersebut. Sedimen akan menyulitkan algae zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis dan akhirnya mati atau meninggalkan karang. Dalam

kondisi seperti itulah bisa terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang yang

disebut sebagai pemutihan karang atau coral bleaching (Salam, 2013).

2.3.6 Ekologi Karang dengan Parameter Oseanografi

Sebagai suatu ekosistem, terumbu karang merupakan kelompok

organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentuk batuan gamping

(CaCO3) yang cukup kuat menahan gelombang laut. Terumbu karang

(27)

endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang filum

Cnidaria, kelas anthozoa, ordo Sclerectinia dengan sedikit tambahan alga

berkapur dengan organisme lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat

yang disebut terumbu. Terumbu karang merupakan suatu komunitas biologi

yang tumbuh pada dasar batu gamping yang resisten terhadap gelombang

sehingga mengurangi erosi di pantai (Ginoga, 2016).

Terumbu karang merupakan sumber makanan utama, menghasilkan

income dan resources bagi jutaan orang melalui peranannya dalam turisme,

perikanan, menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-obatan dan

menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung pantai dan garis

pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan

aksi gelombangberdasarkan persentase tutupan karang kerasnya (Rudi, 2007).

2.3.7 Metode Pengambilan Data

Transek adalah jalur sempit meintang lahan yang akan

dipelajari/diselidiki. Metode Transek bertujuan untuk mengetahui hubungan

perubahan vegetasi dan perubahan lingkungan serta untuk mengetahui

hubungan vegeterasi yang ada disuatu lahan secara cepat. Metode yang

digunakan untuk pengambilan data adalah metode Line Transec. Dalam metode ini garis – garis merupakan petak contoh (plot). Tanaman yang berada

tepat pada garis dicatat jenisnya dan beberapa kali dijumpai. (Siringoring,

2007).

Metode ini, sistem analisis melalui variable-variabel kerapatan,

kerimbunan, dan frekuensi yang selanjutnya menentukan INP (indeks nilai

penting) yang akan digunakan untuk memberi nama sebuah vegetasi.

Kerapatan dinyatakan sebagai jumlah individu sejenis yang terlewati oleh

garis. Kerimbunan ditentukan berdasarkan panjang garis yang tertutup oleh

individu tumbuhan, dan dapat merupakan presentase perbandingan panjang

penutupan garis yang terlewat oleh individu tumbuhan terhadap garis yang

(28)

2.3.8 Penyakit Karang a. Penyakit Aspergillosis

Aspergillosis adalah suatu lesion atau luka/kerusakan lapisan luar yang diakibatkan oleh infeksi jamur pernah ditemukan terjadi pada karang

lunak, sea fans (gorgonian) dan sea whips. Penyakit ini disebabkan oleh jamur yang juga ada ditemukan di darat yaitu Aspergillosis sydowii

(Rahmi, 2012).

b. Penyakit Bacterial Bleaching

Bleaching disebabkan oleh infeksi bakteri spesial sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak mendukung, biasanya terjadi

ketika mengalami penurunan jumlah zooxanthellae akibat adanya racun yang dihasilkan oleh bakteri intraseluller. Dua jenis bakteri penyebab

terjadinya bleaching adalah Vibrio shiloiand V. patagonica. Berbeda dengan bleaching yang disebabkan oleh stress kondisi lingkungan dimana terjadi juga penurunan kandungan zooxanthellae, tapi kalau disebabkan oleh penyakit karang ini akan ditemukan bakteri Vibrio shiloiand V.

patagonica pada jaringan yang terdapat di karangnya (Rahmi, 2012).

c. Penyakit Black Band

Black band disease dicirikan dengan cincin gelap, atau band, yang dipisahkan dengan tisu karang sehat dari skeleton karang yang baru

terekspos. Selain itu Black band disease dicirikan dengan kerusakan

jaringan karang karena mikroba penyebab penyakit yang muncul berupa

garis gelap merah atau hitam bekas serangan mikroba. Bekas ini muncul

antara jaringan karang yang sehat dan bagian skeleton yang baru terekspos

atau diserang oleh penyakit. Warna garis bisa dari coklat kehitaman

sampai merah tergantung pada posisi vertikal dari populasi cyanobacterial yang berasosiasi dengan band. Posisi vertikal berdasarkan pada intensitas cahaya tergantung respon cahaya dari filamen cyanobacterial dan cahaya (karena pigmen cyanobacterialphycoerythrin) tergantung pada ketebalan dari band. Band bisa 1 mm tebalnya dan lebarnya dari 1 mm sampai 7 cm.

Kecepatan penyerangan mikroba pada koloni karang rata dari 3 mm

(29)

anoxic, sulfide-rich microenvironment berasosiasi dengan dasar dari band

(Rahmi, 2008).

d. Penyakit Dark Spots

Penyakit dark spots muncul berupa bagian berpigmen gelap (coklat atau unggu) dari jaringan karang. Penyebab penyakit (pathogen) belum diketahui. Jaringan karang tetap utuh, Meskipun sudah terjadi lesions dan kematian pada tisu tersebut dapat diamati pada bagian tengah spots. Belum diketahui pathogen penyebab dari dark spots disease yang memiliki ciri bagian pigmen yang gelap pada jaringan karang (Rahmi, 2012).

e. Penyakit White Band

White band disease dicirikan dengan kerusakan jaringan karang secara total, sangat jelas batasan antara bagian karang yang sehat dengan

yang terekspos atau diserang penyakit. Tandanya sedikit identik dengan

penyakit plague, dimana White band terjadi hanya pada karang acroporid,

sementara plague tidak ditemukan pada acroporids. Kehilangan

jaringan/tisu karang berawal dari dasar cabang pada koloni karang

kemudian terus menjalar ke ujung cabang. Bagian karang yang terserang

(30)

III.

MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Hari / tanggal : Senin, 26 Oktober 2017

Pukul : 08.00 – 15.00 WIB

Tempat : Pantai Blebak, Desa Blebak, Kecamatan Mlonggo

Jepara, Jawa Tengah

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Karang

Tabel 1.Alat dan Bahan pada Pratikum Karang

No Nama Gambar Fungsi

1. Roll Meter Sebagai pengukur transek

pada pengukuran tiap

ekosistem terumbu karang

2. Skin Dive Digunakan untuk

melaksanakan survei

3. Botol air minum atau

pelampung

Digunakan untuk penanda

pada setiap transeknya

4. Tali Tambang 5 meter Digunakan untuk

menghubungkan 2 botol

(31)

5. Kamera Digunakan untuk

dokumentasi

6. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat

data di lapangan

7. Papan Jalan Digunakan sebagai alas

dalam melakukan

pendataan

8. Bentuk Life Form

Karang

Digunakan untuk

(32)

3.2.2 Lamun

Tabel 2.Alat dan Bahan pada Pratikum Lamun

No Nama Gambar Fungsi

1. Pipa kecil 1 x 1 meter Untuk memetakan zona

pengamatan

2. Skin Dive Digunakan untuk

melaksanakan survei

3. Kamera Digunakan untuk

dokumentasi

4. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat

data di lapangan

5. Papan Jalan Digunakan sebagai alas

dalam melakukan

pendataan

6. Lamun Sebagai objek yang

(33)

7. Botol Kaca Digunakan sebagai tempat

herbarium sampel lamun

3.2.3 Mangrove

Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pratikum Mangrove

No. Nama Gambar Fungsi

1. Tali rafia Digunakan sebagai

penanda transek 10 x 10

meter, 5 x 5 meter dan 1 x

1 meter

2. Jangka Sorong Digunakan untuk

mengukur diameter batang

mangrove

3. Kamera Digunakan untuk

dokumentasi

4. Alat Tulis Digunakan untuk mencatat

(34)

5. Papan Jalan Digunakan sebagai alas

dalam melakukan

pendataan

6. Modul Praktikum

Ekologi Laut

Digunakan untuk

mengidentifikasi

mangrove

3.3 Metode 3.3.1 Karang

3.3.1.1 Pemasangan Transek

1. Pelampung kuning pertama disiapkan dan dipasang sebagai titik 0 transek

2. Roll meter ditebar sepanjang 100 m dari titik 0 dan sejajar dengan garis pantai

3. Roll meter dibagi ke dalam 4 segmen 25 m, 50 m, 75 m, dan 100 m

4. Kemudian pelampung disiapkan dan dipasang pada titik 25 m, 50 m, 75 m, 100

m dengan mengaitkan pelampung dengan tali pada karang pada setiap titik

tersebut untuk menandai setiap segmen.

5. Pelampung dipasang dengan urutan warna kuning (0 m), merah (25 m), kuning

(50 m), kuning (75 m), dan merah (100 m).

3.3.1.2 Pengambilan data karang (dengan metode Line Intercept Transect)

1. Alat- alat pengambilan data disiapkan seperti papan jalan, laporan sementara

yang dicetak pada kertas newtop, pensil, dan alat snorkeling.

2. Laporan sementara diletakkan di papan jalan

3. Pengambilan data dilakukan dengan berenang mengamati tutupan karang yang

(35)

4. Data karang diambil sesuai dengan segmen yang telah ditentukan. Segmen 1:

kelompok 1,2 dan 3 , segmen 2: kelompok 4, 5, dan 6, segmen 3 : kelompok 7 ,

dan segmen 4 : kelompok 8 dan 9.

5. Semua yang berada di jalur transek yang diam ditulis pada laporan sementara.

3.3.2. Lamun

1 Metode yang digunakan dalam pengamatan ekosistem lamun adalah metode acak

atau metode random

2 Lokasi pengamatan ditentukan dan dicari koordinat lokasinya menggunakan GPS

3 Lokasi lain dibagi menjadi 3 transek dengan transek A di dekat pantai, transek B

lebih jauh sedikit dari pantai dan transek C paling jauh dari pantai

4 Pengamatan dan pendataan lamun dilakukan mulai dari jenis, jumlah maupun

makhluk hidup lain yang ada dalam transek, kemudain ditulis dalam laporan

sementara

5 Kemudian setiap stasiun bergeser sejauh sekitar 5-10 meter ke arah laut , sehingga

total stasiun ada 3 dengan 3 transek tiap stasiunnya

3.3.3. Mangrove

1. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah metode Sample Plot

2. Titik koordinat lokasi pengamatan ditentukan menggunakan GPS dan kemudian

dicatat

3. Mangrove yang ada di setiap plot didata,

4. Tinggi pohon dan vegetasi mangrove yang ada di setiap transek di hitung dan hitung

juga diameter pohon dengan menggunkan jangkasorong kemudian di tulis dalam

tabel form mangrove

5. Bila tinggi pohon lebih dari dada dan diameter pohon lebih dari 4 cm maka

dimasukkan kedalam Pohon bila salah satu tidak terpenuhi maka dimasukkan ke

dalam sapling

6. Sample yang ada pada transek 5 x 5 m (sapling) dipotong sebagian ranting yang sudah terdapat daun, bunga dan propagul

7. Bagian yang ada diamati seperti bentuk daun, tulang daun, buah, bunga, bentuk

propagul dan bentuk percabangan

8. Setelah diamati dengan menggunakan ciri-ciri yang ada maka dapat ditentukan

(36)

9. Setelah diidentifikasi maka dibuat herbarium kering yaitu dengan meletakkan

potongan ranting diatas kardus kemudian rekatkan dengan lakban bening

10.Diusahakan dalam merekatkan tidak ada rongga udara, agar herbarium lebih tahan

lama.

11.Fauna terestrial (serangga, burung, reptil, dsb.) dan fauna akuatik (kepiting, kerang,

ikan, dsb.) yang ditemukan dicatat pada setiap petak contoh (plot).

3.4 Diagram Alir 3.4.1 Karang

3.4.2 Lamun

Mulai

Lokasi data pengamatan

Pemasangan transek karang ditentukan

Pengambilan data karang dilakukan dengan metode Line Intercept

Data yang telah didapatkan dicatat dan diolah

Selesai

Mulai

Lokasi data pengamatan ditentukan

Pemasangan transek karang ditentukan

Pengambilan data lamun dengan menggunakan metode acak

Data yang telah didapatkan diamatai kemudian dicatat dan diolah

(37)

3.4.3 Mangrove

3.5 Peta Titik Pengambilan Sampel 3.5.1 Karang

Gambar 2. Peta Penelitian Karang

Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017 Mulai

Lokasi data pengamatan ditentukan

Pemasangan transek mangrove ditentukan

Sampel seedling, sampling, dan pohon diidentifikasi dan dihitung

Data yang telah didapatkan dicatat dan diolah

(38)

3.5.2 Lamun Transek A

Gambar 3. Peta Penelitian Lamun Transek A

Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017

Transek B

Gambar 4. Peta Penelitian Lamun Transek B

Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2017

Transek C

Gambar 5. Peta Penelitian Lamun Transek C

(39)

3.5.3 Mangrove

Gambar 6. Peta Penelitian Karang

(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Panjang Transek Life Form li

(41)
(42)
(43)
(44)

8384 DC 40

8422 CM 38

8440 DC 18

8500 DC 60

4.1.1.2. Total Panjang Transek

Tabel 5. Total Panjang Transek

(45)
(46)
(47)
(48)

SD 7760 44

4.1.1.4. Tabel Hasil Pengolahan Data

Tabel 7. Hasil Pengolahan Data

(49)

4.1.2 Lamun

4.1.2.1. Data Lamun Transek A

Tabel 8. Data Lamun Transek A Stasiun 1

STASIUN 1 : S 6°30’10.4” E 110°40'12.1"

A 29 23 36 27

B 24 35 35 25

C 37 28 29 18

D 30 25 29 12

TOTAL 442

Tabel 9. Data Lamun Transek A Stasiun 2

STASIUN 2 : 6°30'10.3" E 110°40'12.3"

A 60 62 48 50

B 55 49 55 60

C 67 59 55 66

D 68 58 55 45

TOTAL 912

Tabel 10. Data Lamun Transek A Stasiun 3

STASIUN 3 : S 6°30'9.4" E 110°40'13.1"

A 17 16 24 16

B 10 13 14 20

C 7 10 7 7

D 19 8 11 9

TOTAL 208

Transek B

Tabel 11. Data Lamun Transek B Stasiun 1

STASIUN 1 : S 6°30'10.3" E 110°40'12.5"

A 27 25 37 93

B 41 38 52 95

C 43 32 38 22

D 46 31 14 18

(50)

Tabel 12. Data Lamun Transek B Stasiun 2

STASIUN 2 : S 6°30'8.4" E 110°40'12.0"

A 27 54 43 40

B 34 42 32 38

C 35 48 40 41

D 45 47 50 45

TOTAL 661

Tabel 13. Data Lamun Transek B Stasiun 3

STASIUN 3 :

A 16 26 16 15

B 26 22 13 14

C 18 20 15 12

D 20 18 23 15

TOTAL 289

Transek C

Tabel 14. Data Lamun Transek C Stasiun 1

STASIUN 1 : S 6°30'9.4" E 110°40'15"

A 69 68 64 50

B 54 52 57 37

C 40 48 37 28

D 23 46 30 17

TOTAL 720

Tabel 15. Data Lamun Transek C Stasiun 2

STASIUN 2 : S 6°30'8.7" E 110°40'12.1"

A 26 26 16 15

B 26 22 13 14

C 18 20 15 12

D 20 18 23 5

TOTAL 289

Tabel 16. Data Lamun Transek C Stasiun 3

STASIUN 3 : S 6°30'8.3" E 110°40'11.3"

A 23 17 32 29

B 10 12 12 17

C 2 11 7 19

D 5 9 7 3

(51)

4.1.2.2. Data Kepadatan Lamun Transek A

Tabel 17. Data Kepadatan Lamun Transek A

Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

Thalassia Hemprichii

A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4

B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4

C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4

D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4

Transek B

Tabel 18. Data Kepadatan Lamun Transek B

Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

Thalassia Hemprichii

A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4

B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4

C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4

D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4

Transek C

Tabel 19. Data Kepadatan Lamun Transek C

Jenis STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

Thalassia Hemprichii

A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4

B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4 B1 B2 B3 B4

C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4 C1 C2 C3 C4

D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4 D1 D2 D3 D4

4.1.2.3. Data Persentase Penutupan Lamun Transek A

Tabel 20. Data Presentase Penutupan Lamun Transek A

JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

Gambar

Gambar 1. Peta Praktikum Ekologi Laut
Tabel 1. Alat dan Bahan pada Pratikum Karang
Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pratikum Lamun
Gambar Fungsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Keppres Nomor 23 tahun 1982 tentang budidaya faut dipmiran Indonesia p m l 3 disebutk-an bahwa Gubemur menetapkan perairan la& yang letahya di daerah pantai

Hasil ini juga terlihat dari tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan dekat daratan jika dibandingkan dengan daerah lepas pantai, ini menegaskan bahwa sebaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan life form karang di perairan Kampung Baru Lagoi, Kabupaten Bintan, pada zona reef flat memiliki tutupan lebih rendah

Hasil ini juga terlihat dari tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan dekat daratan jika dibandingkan dengan daerah lepas pantai, ini menegaskan bahwa sebaran

Penyebaran bambu laut di perairan Tanjung Tiram relatif sama yaitu pada setiap stasiun pengamatan baik pada dua stasiun kedalaman 7 m dengan kriteria kondisi karang

Hasil ini juga terlihat dari tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan dekat daratan jika dibandingkan dengan daerah lepas pantai, ini menegaskan bahwa sebaran

Tingkat pengusahaan sumberdaya ikan karang khususnya ikan kerapu dan sunu di perairan teluk Saleh sudah sangat tinggi, yang terlihat dari banyaknya ikan muda yang