TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Tumbuhan Obat-Obatan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat
yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Jika dilihat dari
keragaman floranya, cukup banyak jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
sebagai tanaman obat. Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), di hutan tropika Indonesia tumbuh sekitar 3.689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat.
Dari sejumlah tanaman obat tersebut menurut Ditjen POM, baru sebanyak 283
spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional.
Indonesia juga negara agraris yang memiliki areal pertanian dan
perkebunan yang luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat.
Hutan Indonesia yang begitu luas banyak menyimpan kekayaan alam yang
demikian besar, diantaranya berpeluang sebagai sumber obat tradisional. Hingga
saat ini di Indonesia terdapat 1.036 industri obat tradisional yang memiliki izin
usaha industri, terdiri dari 129 Industri Obat Tradisional (IOT) dan 907 Industri
Kecil Obat Tradisional (IKOT). Banyaknya lembaga penelitian obat-obatan bahan
alam merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat
tradisional (Depkes, R.I., 2007).
Menurut Supriadi (2001), potensi khasiat obat dari tumbuhan tingkat
tinggi yang ada di hutan dan kebun sangatlah besar. Industri obat tradisional dan
fitofarmaka telah memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan sebagai bahan baku
obat, antara lain untuk antikuman, demam, pelancar air seni, antidiare,
antimalaria, antitekanan darah tinggi dan sariawan.
Menurut Tamin dan Arbain (1995), setiap kelompok masyarakat ini memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka, seperti untuk obat-obatan,
peralatan rumah tangga, bermacam-macam anyaman, bahan pelengkap upacara
adat, disamping yang digunakan untuk kebutuhan sandang, pangan serta papan.
Bentuk susunan ramuan, komposisi dan proses pembuatan/pengolahan dilakukan
secara tradisional menurut cara suku masing-masing yang mereka terima secara
turun-temurun.
Tamin dan Arbain (1995) menyatakan istilah etnobotani dikemukakan pertama kalinya oleh Harshberger pada tahun 1895 dan didefenisikan sebagai
ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh
suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani adalah studi yang
mempelajari tentang hubungan antara tumbuhan dengan manusia. Dua bagian
besar dari etnobotani ini adalah terbagi dalam 2 kata yaitu ” etno”, studi tentang
manusia dan ”botani”, studi tentang tumbuhan. Jadi, etnobotani adalah studi yang
menganalisis hasil dari manipulasi materil tanaman asli dengan konteks budaya
dalam hal penggunaan tanaman atau dinyatakan bahwa etnobotani melihat dan
mengetahui bagaimana masyarakat memandang dunia tumbuhan, bekerjasama
dengan tumbuhan, atau memasukkan tumbuhan ke alam budaya dan agama
mereka. Menurut Balick and Cox (1996), masyarakat yang dimaksud adalah penduduk asli, yaitu orang-orang yang mengikuti tradisi atau kehidupan non
industrial pada suatu daerah dan kemudian diturunkan pada generasinya.
Ramuan tradisional adalah media pengobatan alamiah dengan memakai
tumbuhan sebagai bahan dasarnya. Media ini mungkin merupakan media
tradisi kuno. Itulah sebabnya obat-obatan atau ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan
tanaman disebut sebagai obat tradisional. Disebut obat karena ramuan tradisional
tersebut dibuat dari jenis tumbuhan dan tanaman dan diyakini dapat
menyembuhkan atau mengobati suatu penyakit (Dianawati dan Irawan, 2001). Selain digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan tradisional,
tumbuh-tumbuhan juga sudah sejak lama digunakan sebagai bahan baku obat-obatan
modern. Pada penyakit-penyakit tertentu, obat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan ini lebih ampuh dari obat yang berasal dari obat yang berasal
dari zat-zat kimia, misalnya digitalis dari tumbuhan Digital purpurea dan
Digital lanata yang ditemukan oleh Whitering pada tahun 1785 sebagai obat jantung, dan masih banyak lagi tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat
modern seperti Altropa belladonna. Epherdra vulgaris, Rauwolf serpentine dan sebagainya (ISFI, 1993).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat
dan canggih ternyata tidak mampu bergeser sepenuhnya dan mengesampingkan
begitu saja keberadaan dan peranan obat-obatan tradisional, tetapi saling
melengkapi. Diperkirakan di Indonesia terdapat 100.000 pengobatan tradisional
yang tersebar di 65.000 desa, seperti yang dilakukan oleh dukun, sinshe, tabib dan
sebagainya. Hal ini didasari kenyataan bahwa pengobatan tradisional dalam
keadaan tertentu cukup efektif dan efisien untuk menangani berbagai macam
penyakit dan derajat kesembuhannya cukup memuaskan bahkan kadang-kadang
menakjubkan (Manuputty, 1990).
Menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), hasil survei yang dilkukan oleh
1978 terhadap rumah-rumah tangga di Jawa dan Sumatera Selatan menunjukkan
bahwa 47,9% anggota rumah tangga memanfaatkan jamu (obat tradisional
Indonesia). Dalam suatu penelitian di Jawa dan Bali berdasar SKRT 1995, Jamal
dan Suhardi menunjukkan bahwa obat tradisional Indonesia digunakan oleh
30,7% anggota rumah tangga. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan metode dan
responden yang digunakan. Ditunjukkan bahwa 64,3% penggunaan obat trdisional
di Indonesia ditujukan untuk menjaga kesehatan.
Menurut Aliadi dan Roemantyo (1994), ada 3 kelompok masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan intensitas pemanfaatan tumbuhan obat. Kelompok
pertama, yaitu kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan
tradisional, kelompok kedua yaitu kelompok masyarakat yang menggunakan
pengobatan tradisional dalam skala keluarga, dan ketiga industri obat.
Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan
obat untuk kepentingan pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai
tumbuhan obat. Salah satu perbedaan dapat dilihat dari perbedaan ramuan yang
digunakan untuk mengobati penyakit yang sama. Semakin beragam ramuan yang
dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu, berarti peluang untuk
menyembuhkan suatu penyakit menjadi semakin besar, karena suatu ramuan
belum tentu cocok untuk masing-masing orang. Hal ini menunjukkan keragaman
pengetahuan yang dimiliki suku-suku bangsa tersebut. Keragaman pengetahuan
diatas merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus
dipelihara untuk dikembangkan (Aliadi dan Roemantyo, 1994).
Sudah sejak lama berbagai penduduk asli (etnis) yang hidup didaerah
memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dari hutan secara turun temurun untuk
berbagai macam penyakit. Menurut Supriadi (2001), dari berbagai penelitian
etnomedika yang dilakukan oleh peneliti Indonesia telah diketahui sebanyak 78
spesies tumbuhan yang digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit
malaria, 30 etnis memanfaatkan 133 spesies tumbuhan untuk mengobati penyakit
demam, 30 etnis memanfaatkan 110 spesies tumbuhan untuk mengobati gangguan
pencernaan, dan 27 etnis memanfaatkan 98 spesies tumbuhan untuk mengobati
penyakit kulit. Banyak pengetahuan tradisional tentang penggunaan tumbuhan
obat dari berbagai etnis telah dikembangkan oleh pengusaha industri jamu dan
farmasi.
Menurut Sulaksana dan Jayusman (2005), sampai sekarang alasan banyak orang mengkonsumsi tanaman obat yaitu karena pengobatan modern tidak bisa
menyembuhkan penyakitnya, ketakutan menjalankan operasi dan mahalnya biaya
pengobatan modern. Selain untuk pengobatan, tanaman obat juga bisa digunakan
untuk mencegah penyakit tertentu dan relatif tidak memberikan dampak negatif
bagi tubuh.
Pengertian dan Pengelompokan Tumbuhan Obat
Menurut Sulaksana dan Jayusman (2005), tanaman obat adalah suatu jenis tumbuhan atau tanaman yang sebagian atau seluruh bagian tanaman
berkhasiat menghilangkan atau menyembuhkan suatu penyakit dan keluhan rasa
sakit pada bagian tubuh manusia. Sedangkan menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), obat tradisional adalah obat yang telah terbukti digunakan oleh
sekelompok masyarakat secara turun temurun untuk memelihara kesehatan
merupakan aset nasional yang sampai saat ini masih dimanfaatkan sebagai usaha
pengobatan sendiri oleh masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.
Menurut (Zuhud dkk., 1994 dalam Rahayu 2005), tumbuhan obat dikelompokkan menjadi :
1. Tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan yang diketahui atau
dipercaya mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku
obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern, yaitu tumbuhan obat yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial, yaitu tumbuhan yang diduga mengandung
senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan secara
medis penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit diketahui.
Kandungan Tumbuhan Obat
Setiap jenis tumbuhan obat yang ada di darat maupun yang ada di lautan
menghasilkan beraneka ragam bahan-bahan kimia (Chemical prosfecting), jadi setiap jenis memiliki nilai-nilai kimiawi yang dapat diartikan bahwa
keaneragaman hayati merupakan laboratorium alam yang tersibuk di dunia,
dimana setiap detiknya menghasilkan satu atau lebih bahan kimia dari berbagai
tipe dan jenis yang berguna untuk menunjang kelangsungan hidup organisme
tersebut. Tipe dan jenis bahan kimia yang dihasilkan untuk setiap jenis tidaklah
sama tergantung pada jenis dari organisme atau kekerabatannya (taksa). Jadi
setiap tumbuhan menghasilkan bahan kimia alam yang spesifik tergantung dari
metabolit organisme tersebut, beberapa diantaranya dapat mempengaruhi fungsi
fisiolik manusia dan organisme lainnya, inilah yang disebut dengan
senyawa-senyawa aktif biologi (Biologically active compaunds) (Chairul, 2003).
Kandungan kimia pada tumbuhan berdasarkan cara terbentuk dan
fungsinya dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) metabolit
primer, merupakan senyawa organik yang ikut terlibat dalam proses metabolisme
makhluk hidup, seperti asam amino dan protein, karbohidrat, asam lemak,
lipid dan asam organik lainnya, 2) metabolit sekunder, merupakan hasil
sampingan proses metabolisme, seperti alkaloid, steroid/triterpenoid, flavanoid,
fenolik, kumarin, kuinon, lignin, dan glikosida. Fungsi metabolit sekunder
ini sangat bervariasi antara lain sebagai pelindung dan pertahanan diri
terhadap serangan dan gangguan yang ada disekitarnya, dan sebagai antibiotika.
Alkaloid sebagai metabolit sekunder mempunyai peranan penting dalam
kehidupan makhluk dan hasil detoksifikasi dari timbunan metabolit yang beracun
(Tamin dan Arbain, 1995).
Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang
berkhasiat sebagai obat. Komponen-komponen tersebut berupa senyawa-senyawa
golongan alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid dan saponin.
1. Alkaloid
Alkaloid sebagai senyawa yang bersifat basa, mengandung atom nitrogen
yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia
secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak bewarna, seringkali
bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal hanya sedikit yang berbentuk
cairan (misalnya: nikotin) pada suhu kamar. Secara umum, golongan senyawa
alkaloid mempunyai sifat – sifat sebagai berikut : a) biasanya merupakan kristal
tak bewarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut
organik seperti etanol, eter dan kloroform. b) Bersifat basa, pada umumnya
beberapa diantaranya rasanya pahit, bersifat racun, mempunyai efek fisiologis
secara optis aktif. Senyawa alkaloid banyak terkandung dalam akar, biji, kayu
maupun daun dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid dapat dipandang sebagai
hasil metabolisme dari tumbuhan atau dapat berguna sebagai cadangan bagi
biosintesis protein (Annaria, 2010).
Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan
hama, penguat tumbuh-tumbuhan dan pengatur kerja hormon. Alkaloid sangat
penting dalam industri farmasi karena kebanyakan alkaloid mempunyai efek
fisiologis (Annaria, 2010).
Menurut (Harborne, 1987) suku tumbuhan yang terdeteksi lebih dari 50
struktur alkaloid yaitu angiospermae yang sangat kaya akan basa, tetapi harus
diingat bahwa penyebaran alkaloid sangat tidak merata dan banyak tumbuhan
yang tidak mengandungnya sama sekali. Lewis (1977) menambahkan bahwa
alkaloid terdistribusi di sebagian besar tanaman tingkat tinggi, misalnya dari suku
Apocynaceae, Berberidaceae, Fabaceae, Papaveraceae, Ranunculaceae,
Rubiaceae, dan Solanaceae, sedangkan Lamiaceae, Rosaceae, dan Gymnospermae
kebanyakan tidak mengandung alkaloid.
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentan
perhidrofenantren. Sterol dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon
kelamin, asam empedu dan lain-lain). Sterol tertentu hanya terdapat pada
tumbuhan rendah tetapi kadang-kadang terdapat pada tumbuhan tinggi
(Harborne, 1987).
Menurut Harborne (1987), triterpenoid adalah senyawa yang kerangka
karbonnya berasal dari enam satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari
hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Triterpenoid berbentuk kristal, seringkali
bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dipilah menjadi
sekurang-kurangnya empat golongan senyawa yaitu : triterpen sebenarnya, steroid, saponin,
dan glikosida jantung. Triterpenoid terkenal karena rasanya yang pahit. Mereka
terutama terdapat dalam Rutaceae, Meliacea dan Simaroubaceae. Senyawa ini
berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba,
sedangkan menurut (Robinson, 1995), triterpenoid merupakan komponen aktif
dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit diabetes, gangguan
menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria.
3. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol
yang terbanyak di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab
terhadap zat warna ungu, merah, biru dan sebagian zat warna kuning dalam
tumbuhan. Berdasarkan strukturnya senyawa flavonoid merupakan turunan
senyawa induk “flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya
dan lazim ditemukan, yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula.
sebagai glikosida, dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa
senyawa tunggal. Disamping itu sering ditemukan campuran yang terdiri dari
flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat
fungsi : a) Sebagai pigmen warna. b) Fungsi patologi dan sitologi. c) Aktivitas
farmakologi. d) Dianggap berasal dari rutin (glikosida flavonol) yang digunakan
untuk menguatkan susunan kapiler, menurunkan permeabilitas dan fragilitas
pembuluh darah (Fessenden, 1986).
Menurut Fessenden (1986) menyatakan bahwa flavonoid dapat digunakan
sebagai obat karena mempunyai bermacam – macam bioaktivitas seperti
antiinflamasi, antikanker, antifertilitas, antiviral, antidiabetes, antidepresant,
diuretic dll. Flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang
digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati, sebagai
contoh silimirin dari Silybum marianum digunakan untuk melindungi membran sel hati dan menghambat sintesis prostaglandin, penghambatan reaksi hidroglisis
pada mikosom. Dalam makanan flavonoid dapat menurunkan agregasi platelet
dan mengurangi pembekuan darah. Pada kulit, flavonoid menghambat pendarahan
(Annaria, 2010). Sementara menurut Rahayu (2005) Secara farmakologi flavonoid
sebagai antiinflamasi, analgesik, anti tumor, anti HIV, antidiarrhoe, antihepatotix,
antifungal, antilypotic, anti-oxidant, vasodilator, immunostimultant dan anti
urcerogenic.
Kegunaan lain dari flavonoid antara lain; pertama terhadap tumbuhan,
yaitu sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan
ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya
tarik untuk melakukan penyerbukan (Annaria, 2010).
Flavoniod mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam,
sebagian besar merupakan pigmen berwarna kuning, dapat larut dalam air dan
pelarut organik, mudah terurai pada temperatur tinggi (Hart, 1990). Pada
tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga.
Sebagai pigmen bunga, flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga
penyerbuk bunga (Hart, 1990).
4. Saponin
Menurut Gunawan dan Mulyani (2004), saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi
terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah
merah lewat reaksi hemolosis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan
banyak digunakan sebagai racun ikan.
Menurut Harborne (1987), saponin adalah glikosida triterpena dan sterol
dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan
senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah.
Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu
memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin.
Dari segi ekonomi, saponin kadang-kadang menimbulkan racun pada ternak.
• Saponin bersifat menaikkan permeabilitas kertas saring. Dengan adanya
saponin, filter dengan pori yang cukup kecil untuk menahan partikel yang
berukuran tertentu akan dapat meloloskan partikel tersebut.
• Saponin bersifat dapat menimbulkan iritasi berbagai tingkat terhadap selaput
lendir (membran mukosa) pada mulut, perut dan usus.
• Saponin juga meningkatkan absorpsi senyawa-senyawa diuretikum (terutama
yang berbentuk garam) dan tampaknya juga merangsang ginjal untuk lebih
aktif. Hal ini mungkin menerangkan kenyataan bahwa saponin sangat sering
digunakan untuk rematik dalam pengobatan masyarakat.
Fitokimia Tumbuhan Obat
Menurut (Rahayu, 2005) fitokimia adalah studi mengenai
tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia yang bersifat aktif
farmakologis, merupakan penelitian dasar yang sangat penting untuk mengetahui
khasiat dan kegunaannya, yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia.
(Depkes, 2000) menambahkan ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan
kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
menggunakan pelarut tertentu.
Menurut Harborne (1987) ragam ekstraksi tergantung pada tekstur dan
kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang
diisolasi. Alkohol adalah pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi
pendahuluan.
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000),
yaitu :
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi
yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik,
sedangkan maserasi yang dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut
remaserasi.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses
perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstra) terus menerus sampai
diperoleh ekstrak.
Masyarakat Sekitar Hutan
Mayrakat sekitar hutan yang telah hidup secara turun-temurun dengan
lingkungan (masyarakat tradisonal) pada dasranya memiliki kemampuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Kemampuan ini diperoleh dari
pengetahuan empiris dan pengetahuan tradisional yang muncul sebagai bentuk
dari ketergantungan terhadap keberadaan hutan dalam berbagai bentuk, guna
memenuhi kebutuhan hidup (Dephut, 2006).
Masyarakat sekitar hutan sebenarnya memiliki potensi yang tinggi apabila
diberdayakan, tetapi dalam hal ini masyarakat harus dilibatkan dalam
pengelolaannya. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan mempunyai
prioritas utama dalam pengelolaan suatu hutan. Hasil penelitian menunjukkan
dapat dijadikan pelajaran bagi agroforestry saat ini. Usaha-usaha lainnya yang
secara turun-temurun, seprti penanaman rotan, buah-buahan, dan pengusahaan
madu (Arief, 2001).
Masyarakat yang memiliki akses yang mudah terhadap hutan akan
menguntungkan jika dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Masyarakat di sekitar
hutan harus diakui dan dihormati. Dalam banyak kawasan hutan terdapat
masyarakat yang hidupnya bergantung dari jasa dan barang di hutan. Masyarakat
dapat berburu, menangkap ikan, mengumpulkan makanan, obat, serta melakukan
agroforestri. Kebutuhan masyarakat yang penghidupannya bergantung pada hutan
harus dipadukan kedalam pengelolaan hutan lestari (Sugihen, 1996).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja,