• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers (1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).

2.1.2 Proses Putusan Inovasi

(2)

melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut.

Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.

Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti :

1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidakpastian yang besar?

2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari? 3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?

(3)

Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :

1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau

sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.

3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.

4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.

5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.

(4)

1. Knowledge (Pengetahuan)

Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:

a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

(5)

c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Centre for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:

a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang

juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.

c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.

d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.

2. Persuasion (Kepercayaan)

(6)

lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

3. Decision (Keputusan)

Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan

passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.

4. Implementation (Penerapan)

(7)

memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)

Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu.

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi

Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional. Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:

1. Umur

(8)

kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi. 3. Karakteristik Psikologi

Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.

Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari: 1. Keluarga

Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga.

2. Tetangga dan Lingkungan Sosial

(9)

dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi. 3. Kelompok Referensi

Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.

4. Budaya

Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang ada.

Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah: 1. Status Sosial

(10)

2. Sumber Informasi

Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi. Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu: a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

(11)

f. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.

2.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.

(12)

Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative. Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu kecenderungan jiwa atau perasaan yang relatif terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi.

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan - pertimbangan individu.

3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan daripada individu tersebut.

(13)

5. Praktek atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).

2.3. Bencana

2.3.1.Definisi Bencana

Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.

W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management” memberikan definisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai “sudden or great misfortune, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet material damage, loss, and distress” (Nunung, dkk, 2012).

(14)

which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own

resources” (Nunung, dkk, 2012).

2.4. Bencana Banjir

Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. Saat banjir terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah yang besar, muatan sedimen itu berasal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan atau perbukitan.

Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk. Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air. Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).

(15)

meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Mistra, 2007).

Menurut Dibyosaputro (1998) banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi di alam ini dimana air menggenangi lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.

Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:

1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase buatan manusia.

2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.

3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.

(16)

2.4.1. Faktor – faktor Penyebab Banjir

Menurut Margono (2005), faktor – faktor yang dapat menyebabkan banjir, antara lain:

1. Faktor Hujan

Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya. Terjadi atau tidaknya banjir justru sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari hujan yang telah terjadi di masa lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, ngarai, danau, cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian memperlihatkan secara jelas lokasi – lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.

2. Faktor DAS (Daerah Aliran Sungai)

(17)

Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resevoir reservoir alamiah, pembuatan resapan – resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara massal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran massal yang intensif dan terus menerus.

3. Faktor Kesalahan Pembangunan Alur Sungai

Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad 16 hingga akhir abad 20 di seluruh dunia adalah hampir sama; yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai. Sungai sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya pola ini adalah mengusahakan air banjir secepatnya di kuras ke hilir.

(18)

bahkan mungkin telah penuh dengan rumah–rumah penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau bahkan alirannya dapat berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat dengan cara ini pada hakekatnya merupaka penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian hilirnya. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River.

Implikasinya dalam penanggulangan banjir , justru sungai alamiah yang bermeander, bervegetasi lebat dan memiliki retensi alur tinggi ini, perlu di jaga kelestariannya karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi (Margono, 2005 ).

4. Faktor Pendangkalan

(19)

5. Faktor Tata Wilayah dan Pembangunan Sarana–Prasarana

Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah untuk konservasi air tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan persentase besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Demikian juga untuk areal perkebunan dan areal industri. Cara kolam konservasi ini sebenarnya merupakan koreaksi total terhadap cara lama yang berprinsip pada pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah atau drainase konvesional adalah upaya untuk mengalirkan air hujan secepatnya menuju sungai, cara ini sudah waktunya ditinggalkan, karena pengendalian banjir bukan berarti pengaturan wilayah.

(20)

Sehubungan dengan besarnya masalah banjir, kekeringan dan kerusakan lingkungan di Indonesia, maka keempat upaya ini sebaiknya dilakukan secara paralel, baik penanganan masalah teknis, ekologi dan sosial. ( Maryono, 2005 ).

2.4.2.Dampak Bencana Banjir

Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:

1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah penyakit yaitu pneumonia dan penduduk terisolasi.

2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan.

3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.

4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.

(21)

2.5. Daerah Rawan Bencana

Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).

2.6. Penyakit Pasca Bencana

Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan vektor penyebar penyakit yang merupakan beberapa potensi timbulnya beberapa penyakit menular yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa. Bencana selalu menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat baik secara langsung maupun mengakibatkan kerusakan/perubahan lingkungan. Masalah kesehatan akibat bencana harus dapat diminimalkan sehingga tidak menimbulkan bencana lain.

2.7. ISPA

2.7.1. Pengertian

(22)

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak dengan baik sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan di bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adeksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiration tract)

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolong pada ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

(23)

2.7.2. Klasifikasi Penyakit ISPA

Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke dalam (chest indrawling).

2. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya nafas cepat.

3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk, pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa nafas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.

Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :

1. Pneumonia berat : perlu diisolasi, dijumpai retraksi dinding dada pada bagian bawah atau nafas cepat. Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

2. Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :

(24)

2. Pneumonia : bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

3. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat(Rasmaliah, 2004).

2.7.3. Etiologi ISPA

Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-infulensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influensa merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulani, 2005).

2.7.4. Faktor Risiko ISPA

(25)

2.7.5. Tanda dan Gejala

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk, 1994). Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih besar dari 38,50

Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu (Suyudi, 2002):

C dan disertai nafas yang cepat (PD PERSI, 2002).

a. ISPA ringan bukan Pneumonia b. ISPA sedang, Pneumonia c. ISPA berat, Pneumonia barat

(26)

a. Gejala ISPA Ringan

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut :

1. Batuk

2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis)

3. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung 4. Panas atau demam, suhu badan lebih tinggi dari 370

Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Pukesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Pukesmas terdekat.

C atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas.

b. Gejala ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

1. Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.

2. Suhu lebih dari 390

3. Tenggorokan berwarna merah. C.

(27)

6. Pernafasan berbunyi seperti mendekur. 7. Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hait-hati karena jika anak menderita ISPA ringan, sedangkan badan anak panas lebih dari 39ºC, gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan petugas kesehatan.

c. Gejala ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:

1. Bibir atau kulit membiru

2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas 3. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun

4. Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah 5. Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah

6. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas 7. Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba 8. Tenggorokan berwarna merah

Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksgen dan infus.

2.7.6. Cara Penularan Penyakit ISPA

(28)

ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.

2.7.7. Pencegahan ISPA

Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah: 1. Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik

a. Bayi sampai usia dua tahun harus diberi ASI karena ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi.

b. Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.

c. Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat telur putih), karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.

d. Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mmineral dari sayuran dan buah-buahan.

(29)

2. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisiasi

Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria Cyber Minestries, 2011).

3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Suyudi, 2002). Ada beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi kejadian ISPA :

a. Kelembaban Ruangan

Hasil penelitian Cahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali. Tingkat kelembaban yang ideal adalah antara 30-60%.

b. Suhu Ruangan

(30)

18-30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

c. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2

1) Baik (≥10% dari luas lantai)

yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

2) Tidak baik (≤10% dari luas lantai) d. Kepadatan Hunian Rumah

Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Cahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.

4. Pengobatan segera

(31)

Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor resiko dapat dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia, termasuk disini ialah : a. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A. b. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah. c. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

polusi di dalam maupun di luar rumah (Depkes RI, 1992).

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penularan ISPA (Clements, 2009) antara lain :

1. Menjauhkan tangan untuk menyentuh mata, hidung, dan mulut. 2. Melakukan vaksinasi atau imunisasi.

3. Menutup mulut ketika batuk atau bersin.

4. Menghindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA. 5. Istirahat yang cukup.

6. Sering mencuci tangan akan mengurangi risiko berbagai macam penyakit termasuk penyakit ISPA

2.8. Landasan Teori

(32)

Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcement atau punishment kepada individu sehingga stimulus tersebut akan diinternalisasi dan menghasilkan perilaku yang diharapkan (Allender, 2001).

Green (1980) yang dikutip dalam (Notoatdmojo, 2007) menganalisis perilaku manusia dalam hal kesehatan yang dapat dilihat pada (Gambar 2.1), menyatakan bahwa dalam mencapai kualitas hidup yang baik (quality of life) dapat dicapai melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor perilaku dan gaya hidup (behaviour and lifestyle) serta lingkungan (environment). Paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah faktor perilaku dan gaya hidup serta lingkungan.

Gambar 2.1 Kerangka Kerja L.Green

(33)

Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan hanya meniru tokoh idolanya (Notoatdmojo, 2003).

Green (1980) mengembangkan teori yang menyatakan bahwa individu, masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu: faktor perilaku dan non perilaku. Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok, yaitu : faktor yang memudahkan (predisposing factor), faktor yang memungkinkan (enabling factor), faktor yang memperkuat (reinforcing factor) (Notoatdmojo, 2003).

Faktor predisposisi yaitu berupa jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, status pekerjaan, pengetahuan dan sikap. Faktor pemungkin meliputi sosio ekonomi, dana, sarana dan sebagainya. Faktor penguat berupa penyuluhan, tenaga penyuluhan, diskusi kelompok terarah (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenence).

yaitu perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.

(34)

yaitu usaha atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit atau kecelakaan. Perilaku ini mulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan tradisional maupun modern.

3. Perilaku kesehatan lingkungan.

yaitu bagaimana seseorang merespon lingkungannya, baik fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

Dalam proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku antara lain umur dan jenis kelamin. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu antara lain berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku adalah perlakuan dalam pelatihan seperti ceramah, tanya jawab, alat peraga, bermain peran, dinamika kelompok (Notoatmodjo, 2007).

(35)

daya manusia di sekitar individu yang selalu melakukan pengawasan terhadap pencegahan penyakit ISPA seperti tenaga kesehatan.

2.9. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan , maka kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) yang terdiri dari pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir merupakan variabel dependen (variabel terikat).

Umur

Pendidikan Sikap Pengetahuan

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Kerja L.Green
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Tujuan dari penulisan ini adalah membuat aplikasi yang dapat memberikan rekomendasi pemesanan iklan yang optimal, data yang saling terintegrasi, dan kalkulasi

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dapat diketahui bahwa air zamzam murni memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan air zamzam yang

Alur penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan segmentasi, tahapan pengukuran fitur dan

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena