commit to user
RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920
SKRIPSI
Oleh :
FREDYASTUTI ANDRYANA
K4407019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920
Oleh :
FREDYASTUTI ANDRYANA K4407019
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Se jarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ABSTRAK
Fredyastuti Andryana. RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret. 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, (2) Bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, (3) Peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, yaitu sebagai akibat adanya dominasi Barat beserta perubahan sosial dan ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dominasi Barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang menimbulkan kemunduran kekuasaan raja-raja Surakarta. Dengan adanya berbagai faktor yang ada, muncullah ketidakpuasan dari golongan besar masyarakat di abad XIX dan awal abad XX, maka banyak menimbulkan radikalisme masyarakat Muslim dengan ideologi Islam sebagai pengobar semangat rakyat untuk melawan kolonialisme. (2) Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya. Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam yang
memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang “kafir”,
commit to user
ABSTRACT
Fredyastuti Andryana. MUSLIM RADICALISM IN SURAKARTA 1850-1920. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University Surakarta, March. 2011.
The objective of research is to know: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920, (2) the ideology is became promoter of Islamic political in Surakarta, (3) the role of Islamic leaders in Muslim radicalism power in Surakarta 1850-1920.
This research uses historis method. The steps of historis method such as: heuristics, critics, interpretation, and historiography. The source of data is primary and secondary sources. The technique of collecting data was library study. The technique of analyzis data used was historical analysis. That gave priority to sharpness interpretation of the historical fact.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920 is namely as a result of western domination and its social and economic changes that followed, and the reorganization of Administration and Agrarian which creates conditions that tend to the people for social movements. The western domination of political power to enter the kingdom which cause deterioration of power of the kings of Surakarta. With a variety of factors that exist, came the dissatisfaction of a large class of rural society in the nineteenth century and early twentieth century, it causes a lot of ideological radicalism of the Muslim community with Islam as spirit of the people to fight colonialism. (2) Islam ideology is became Islam political promoter in Surakarta because religion has important function as legitimitation device. After the elite community has authority, they use religion symbol system to defend authority. The social religion community uses Islam ideology as activator
and collective activity, the action need Islam ideology for correction‟s purpose. It
uses to give inspiration and motivation for their community in Dutch power. Because of many pressures from colonial government, Islam ideology is able to give spirit for jihad‟s fight to face kafir, so that it causes social religion action to
colonial government. (3) The leader Islam leader‟s consists of leaders and
commit to user
MOTTO
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku.
(Filipi 4:13)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba
itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil.
(Mario Teguh)
Kita mengalami kegagalan supaya kita belajar
bangkit.
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada :
Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan
doa dan dukungannya kepadaku
Adikku Nia dan Dio, serta eyang putri terkasih
Saudara-saudariku KPA(Mz Qq, Nia, Uut, Nesia,
Mz Endra), yang selalu mendoakanku
Teman-teman Seperjuanganku Hiscom „07 (Wulan, Lele, Puji, Joko, Margi) Prodi Pendidikan Sejarah
Angkatan 2007 dan teman-teman yang lain, yang
sudah berbagi banyak hal denganku
Teman-temanku DEBRAIN (Kak Dindin, Irul, Bety,
Andre, Nora, Eri), yang senantiasa menyemangatiku
dan menemaniku
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena
atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui
permohonan penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang
telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Hermanu Jubagyo, selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan
dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah pula memberikan
masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama ini,
mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga semua mendapat
balasan dari Tuhan YME.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
commit to user
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ...….. ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9
1. Gerakan Islam ... 9
2. Radikalisme ... 12
3. Marginalisasi Masyarakat Islam... 16
4. Konflik ... 21
B. Kerangka Berfikir ... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26
B. Metode Penelitian... 26
C. Sumber Data ... 28
D. Teknik Pengumpulan Data ... 30
commit to user
F. Prosedur Penelitian ... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta Tahun 1850-1920 ... 38
1. Perubahan Sosial Dan Ekonomi Di Surakarta... 38
2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda ... 42
3. Reorganisasi Administrasi Dan Agraria... 51
B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam di Surakarta ... 56
1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta... 57
C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam... 61
1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ... 61
2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ... 66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 73
B. Implikasi ... 74
C. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Peta Vorstenlanden ... 82
Lampiran 2. Rapport Omtrent het gebeurde te ”Srikaton” op den 11den
en 12den October 1888 ... 83
lampiran 3. Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden
Residen van Surakarta ... 89
Lampiran 4. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 110
Lampiran 5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketidakpuasan masyarakat diutamakan pada pemikiran sektaris yang
sering mempunyai sifat mistik, atau dalam gerakan messianis atau millenaris,
yang bisa ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk melarikan diri dari kenyataan
yang menekan. Namun, sebagai anggota dari gerakan-gerakan ini, para pengikut
umumnya tunduk tanpa syarat pada keinginan pemimpin-pemimpin spiritual dari
para pengikut tersebut.
Agama, dalam hal pergerakan-pergerakan messianis atau millenaris,
boleh dikatakan merupakan lambang dari protes sosial. Menurut Clifford Geertz
(1992:5), agama dipahami sebagai sebuah simbol yang berlaku untuk
memunculkan motivasi yang kuat dan realistis bagi para pengikutnya. Agama
dengan simbol-simbol yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang
kekuasaan sebagai sumber legitimasi. Inilah yang mendorong elit penguasa untuk
mengambil berbagai simbol dalam agama, bukan untuk diimplementasikan da lam
kehidupannya bermasyarakat, melainkan untuk memberi legitimasi dalam
menjalankan dan melanggengkan kekuasaannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan yang dilakukan oleh para raja
Jawa merupakan gerakan yang utama dalam melawan pemerintah kolonial dengan
menggunakan para santri dan ulama sebagai kekuatan politik utama, dan aristokrat
yang disantrikan sebagai mediatornya. Sartono Kartodirdjo (1983:vii), membagi
aristokrat dalam dua orientasi politik yang berbeda, yakni aristokrat protagonis,
yaitu aristokrat yang memegang kepemimpinan serta melancarkan pembaharuan
dan mendukung pergerakan kebangsaan, dan aristokrat status quo, yaitu aristokrat
yang memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi mereka dan lebih
memihak pemerintah Belanda.
Anthony Giddens menjelaskan bahwa pelaku (the actor) direduksi menjadi
commit to user
sebagai agen pembawa perubahan yang rela berkorban untuk masyarakat luas
(Daniel Ross, 2005: 192). Dalam gerakan Islam, yang menjadi aktor atau pelaku
adalah aristokrat protagonis dan para ulama, yang berjuang demi kepentingan
rakyat pribumi dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dengan
demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok. Hubungan
keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai dan santri
yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Mus lim atau kaum
Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai sebuah
subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Dalam membangun sebuah
kekuatan seorang pemimpin, perlu dibangun jejaring dan komunikasi politik.
Pesantren digunakan sebagai wadah legitimasi politik para aristokrat Jawa, karena
dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat. Pesantren dilihat sebagai
institusi pelindung, karena pesantren dapat mencetak intelektual Islam yang
dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam
dalam tekanan pemerintah Belanda.
Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan
terbentuknya golongan sosio-kultural lainnya, yaitu abangan dan priyayi (Djoko
Suryo, 2005: 1167). Tradisi santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para
pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran
syariat agama, sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi kehidupan
sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi priyayi
lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi
Hindu-Jawa. Tradisi santri dan kepemimpinan kyai atau ulama merupakan unsur
kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika
kehidupan agama, sosial, dan politik dalam masyarakat Jawa. Kecenderungan ini
berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa
kolonial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain, karena tradisi santri dan kyai,
bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan juga menjadi basis
commit to user
Pada abad ke-19, yaitu setelah kerajaan-kerajaan Islam runtuh, tradisi
santri menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat pedesaan dalam melawan
kekuasaan kolonial Belanda. Santri memiliki peran dan kedudukan dalam proses
pembaharuan atau perubahan dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan,
kebudayaan, dan politik di masyarakat Jawa, dan kyai ditempatkan sebagai
pemegang peran sentral dalam proses perubahan da n pembaharuan. Dalam
gerakan sosial dan keagamaan pada masa kolonial menempatkan kepemimpinan
kyai dari tradisi pesantren sebagai pemegang peran dalam menggerakkan
pemberontakan dan protes-protes sosial rakyat pedesaan terhadap pemerintah
kolonial (Djoko Suryo, 2005: 1167).
Di Jawa, bangkitnya pemberontakan lokal secara periodik, di bawah
pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol keagamaan dengan
sebutan Ratu Adil dan yang menjadikan kekebalan pada pengikut-pengikutnya,
merupakan kesamaan umum dari gerakan millenaries, yang mengambil simbol
keagamaan untuk melegitimasi kekuatan pemimpin dan gerakannya (Taufik
Abdullah, 1974: 59 ).
Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkais sifatnya, oleh karena
organisasi, program, strategi, dan taktiknya yang masih terlalu sederhana apabila
dibandingkan dengan pergerakan sosial modern. Terbukti juga dari orientasi
tujuan yang kabur, partisipan yang tidak mempunyai gambaran bagaimana tata
masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan apabila perjua ngannya
mencapai kemenangan. Oleh sebab itu, gerakan yang terjadi dengan mudah
ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pergerakan semacam itu pada umumnya
abortif atau sangat pendek umurnya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 241).
Selama abad XIX, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin
dalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Gerakan Ratu Adil ini
pada umumnya, merupakan pernyataan ketidakpuasannya pada pemerintahan
kolonial Belanda. Sebagai gerakan rakyat yang merupakan penjelmaan dari suatu
protes sosial, mereka umumnya kurang emosional, karena mereka menganjurkan
suatu perubahan masyarakat dengan tiba-tiba secara tidak rasional dan ajaib.
commit to user
struktur yang baik. Protes sosial lahir bukan semata- mata karena spontanitas,
tetapi kemunculannya dibangun berdasarkan proses yang panjang.
Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi
kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber
kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil- hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan
Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten,
terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil
sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa,
namun di satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan
penduduk pribumi di Surakarta.
Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi
perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama
menyangkut sistem tanah lungguh. Sistem tanah lungguh biasanya diberikan
kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilkan
kontribusi dalam bentuk pajak in natura dari kelompok-kelompok tani yang
menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak
itu dilakukan oleh bekel yang mendapat hasil dalam bentuk komisi. Sistem tanah
lungguh yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui pajak in
natura telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula
maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan
pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja,
terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan
buruh tani (www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html).
Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang
biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat
Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya
pamor kekuasaan kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang
terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan
keraton.
Kesenjangan struktur sosial masyarakat yang ada kerap kali melahirkan
commit to user
mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat terhadap suatu kondisi yang ada,
maka besar kemungkinan ideologi yang digunakan oleh masyarakat adalah
radikalisasi. Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum tertindas.
Radikalisme kaum tertindas lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi
terhadap kondisi yang ada.
Selama abad XIX-XX di Indonesia terus menerus terjadi pemberontakan,
kerusuhan, brandal, yang semuanya itu mengoncangkan masyarakat dan
pemerintah. Gerakan- gerakan tersebut hampir setiap tahun terjadi di
daerah-daerah pedesaan diwujudkan sebagai tindakan yang bersifat agresif dan radikal.
Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak
dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan
dan pemberontakan pada dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan
sosial yang cepat, yang menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.
Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, di mana gerakan periferal
merupakan perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan- gerakan
ini bersifat lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari
protes-protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal
adalah perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan
dengan keraton. Gerakan- gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan
memiliki pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang
sifatnya menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan
periferal, para pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama,
sedangkan para pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana
sendiri yang menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben,
2002:491).
Munculnya gerakan Islam dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda
dan harus dihadapi dengan kewaspadaan. Pemerintah Belanda yakin bahwa
gerakan Islam akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai
basis kekuatan untuk memberontak. Oleh karena itu, pemerintah Belanda selalu
waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya
commit to user
Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik
politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam
melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Wabah pes baik di Surakarta
maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia
Belanda dalam penanganan pangan di Jawa. Untuk memberantas wabah tersebut,
pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi, dengan memperbaiki
rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata menimbulkan rasa tidak
senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan supaya seluruh Kota
Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi blok (Restu Gunawan, 2005:
987). Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga
gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja,
dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya
kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda.
Keraton dilihat oleh masyarakat sebagai tempat yang potensial untuk berlindung,
tetapi pada saat itu ternyata telah dimanfaatkankan oleh pemerintah Belanda untuk
menancapkan kekuasaannya di wilayah Vorstenlanden (Restu Gunawan, 2005:
986).
Gerakan perlawanan di abad ke-19, merupakan pendorong pergerakan
kebangsaan di abad ke-20. Kemudian, di abad ke-20 muncul tokoh-tokoh radikal
yang berjuang melawan tekanan pemerintah kolonial. Di garis depan perlawanan
terhadap pemerintah Belanda adalah dua anggota Insulinde cabang Solo, Haji
Miscbah, aktifis utama dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap
sebagai otak di balik gerakan yang sedang timbul di Surakarta (Restu Gunawan,
2005: 987). Cipto adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan
gubernemen untuk memberantas wabah pes. Dalam pidatonya, Cipto mengecam
pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kura ngnya tinjauan masa depan dan
karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi.
Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari
golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang
memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan
commit to user
lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong
orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian
loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan
Soeri Soeroto, 1982: 218). Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta
merupakan tempat keraton-keraton Jawa, selain Yoyakara, dan dianggap seba gai
tempat pusatnya tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan karena
semua kekuatan sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan
(Takashi Shiraishi, 1997: 16). Gerakan-gerakan ini memiliki pengaruh lokal dan
berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-protes
sosial-ekonomi yang konkret.
Dominasi politik kolonial Barat yang menimbulkan perubahan sosial telah
menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya pergolakan sosial. Perlawanan
terhadap penguasa asing dilancarkan, terutama dengan menggunakan
istilah-istilah keagamaan, yang didorong dengan bangkitnya semangat Islam di Jawa.
Tahun 1850 dipakai sebagai titik awal penelitian ini karena sekitar tahun tersebut
terdapat buku-buku dan selebaran-selebaran yang membangkitkan semangat
pan-Islam, yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial.
Sedangkan tahun 1920 dijadikan batasan dari judul karena merupakan tahun
berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial dan munculnya gerakan-gerakan yang
terorganisir melalui organisasi-organisasi yang berorientasi barat, sehingga dasar
motivasi gerakan telah berubah (Houben, 2002:486).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian tentang
gerakan politik Islam di Surakarta. Kajian tentang gerakan politik Islam tersebut
di bawah judul “RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA TAHUN 1850
-1920”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta
commit to user
2. Mengapa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di
Surakarta ?
3. Bagaimanakah peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang mendorong radikalisme Muslim di Surakarta
tahun 1850-1920
2. Untuk mengetahui bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan
politik Islam di Surakarta
3. Untuk mengetahui peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam
D. Manfaat
Penelitian ini meskipun sederhana, diharapkan dapat memberikan manfaat,
baik secara pribadi maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a) Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti
b) Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah
Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca
2. Manfaat Praktis
a) Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartisipasi dalam
mengkaji gerakan-gerakan Islam di Surakarta untuk mengetahui mana
yang benar dan yang belum terjangkau dalam penelitian ini
b) Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya, mengenai
Radikalisme Muslim Di Surakarta Tahun 1850-1920
c) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan IPS Program
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Gerakan Islam
Usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mengubah
suatu kondisi tertentu tanpa disadari merupakan suatu rangkaian aktivitas yang
bisa disebut sebagai suatu gerakan. Suatu gerakan selalu mendapat citra yang
buruk atau negatif di bawah seorang penguasa yang lalim dan despostis. Menurut
Robert Hill, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan
untuk memberikan reaksi atau respon terhadap kondisi tertentu yang terjadi da lam
masyarakat. Respon atau reaksi yang dimaksud adalah respon oleh pihak-pihak
tertentu dalam masyarakat yang ingin mendorong suatu perubahan (Robert Hill,
1998: 1-3). Henry A. Landsberger (1981:24) mendefinisikan gerakan sebagai
suatu reaksi kolektif terhadap kedudukan yang rendah atau reaksi terhadap
keadaan tidak adil.
Terjadinya suatu gerakan dapat bermakna sebagai bentuk perlawanan
terhadap penguasa yang menindas. Gerakan merupakan suatu kumpulan dari
keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Reaksi yang muncul pada
dasarnya menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang baru yang lebih baik
dan lebih bermakna. Pada intinya, gerakan dapat dipahami sebagai usaha untuk
mengubah suatu kondisi pada kondisi yang baru. Dalam kerangka kehidupan
masyarakat, maka gerakan dapat diartikan berbagai upaya yang dimaksudkan
untuk mengubah tatanan yang tidak adil, menuju sebuah tatanan baru yang lebih
member jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat
manusia (Robert Hill, 1998:5).
Suatu kelompok yang simpati terhadap pandangan sosial atau doktrin
tertentu yang menampakkan dirinya dalam perdebatan politik dan siap berperan
dalam kegiatan seperti demonstrasi atau pemberontakan dan lain- lain termasuk ke
dalam suatu gerakan, sehingga gerakan seperti ini sering kali disamakan dengan
commit to user
masyarakat terhadap penguasa. Gerakan yang timbul berusaha untuk melepaskan
diri dari kekuasaan dan keadaan yang tidak menyenangkan dari penguasa terhadap
pihak yang tertindas menyebabkan munculnya gerakan atau perlawanan terbuka
(Peter Burke, 2003:132).
Eric Hoffer (1988:ix) menyatakan bahwa gerakan lebih banyak digerakkan
oleh kaum frustasi yang fanatik. Anggota gerakan diidentifikasikan sebagai orang
yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam masyarakat
sampai kelompok minoritas yang tertekan. Berhasil tidaknya suatu gerakan sangat
tergantung pada kualitas dari kekuatan yang menghendaki perubahan. Kekuatan
yang menghendaki perubahan pada gilirannya harus mampu mengatasi mereka
yang tidak menghendaki perubahan (Robert Hill, 1998:14). Hal ini sejalan dengan
pendapat Eric Hoffer (1988:3) bahwa tujuan utama gerakan adalah suatu
perubahan. Kekuatan gerakan yang paling utama berasal dari kecenderungan para
pengikutnya untuk melakukaan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam
membentuk kekuatan ini, gerakan dipersatukan oleh kesamaan keyakinan,
fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya. Gerakan
mempunyai sifat sebagai berikut :
1) Arkais oleh karena orangnya, programnya, strategi dan taktiknya masih
sangat sederhana. Hal ini disebabkan gerakan tersebut tidak dapat
mengorganisasikan diri dengan baik dan tidak dapat merencanakan
program, strategi dan bentuknya.
2) Waktunya sangat pendek, hal ini sangat berhubungan dengan sifat yang
pertama yang menyebabkan gerakan ini mudah ditumpas oleh penguasa
yang ada
3) Scope atau wilayah terjadinya sangat sempit (lokal) dan erat kaitannya
dengan religiomagis (Sartono Kartodirdjo, 1973 :5)
Robert Hill (1998:55) melakukan pembagian gerakan dilihat dari sifat dan
tujuannya menjadi dua, yaitu:
1) Gerakan sebagai suatu reaksi spontan, penyebabnya tidak betul jelas, dan
menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata terhadap keadaan
commit to user
2) Gerakan sebagai langkah- langkah terorganisir dengan tujuan, strategi dan
cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar, dan didasarkan pada
analisis sosial yang kuat.
Menurut Awani Irewati, dkk (2001: 30-31) gerakan sosial- massa
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Daya dukung struktural di mana suatu gerakan sosial- massa akan mudah
terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi
untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan
berkesinambungan.
2) Adanya tekanan-tekanan struktural akan mempercepat orang untuk
melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk
melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan
3) Menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas. Informasi
tersebut akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial- massa
4) Karena emosi yang tidak terkendali
5) Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang
telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi
tindakan sosial secara drastis juga faktor kepemimp inan sangat
berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan
tindakan.
Kesimpulan dari beberapa konsep gerakan di atas yaitu pada dasarnya
gerakan adalah suatu reaksi atau protes terhadap keadaan yang tidak adil. Keadaan
seperti ini diciptakan oleh seorang penguasa terhadap lapisan masyarakat di
bawahnya.
Gerakan rakyat yang tampil dalam surat kabar dan jurnal, rapat dan
pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian
dan teater, serta pemberontakan, merupakan fenomena kebangkitan bumiputera.
Pada awal abad ke-20, kesadaran baru dan bahasa yang digunakan menjadi arti
penting utama dari pergerakan. Surakarta sebagai arena yang strategis bagi tujuan
pergerakan, karena merupakan satu-satunya pusat pergerakan dan semua kekuatan
commit to user
orang-orang Islam dengan pendidikan pesantren, para petani ikut bergabung
dalam pergerakan melawan kolonial. Seperti ketika PB IX yang melakukan
jejaring politik dengan ulama- ulama di pesantren untuk membangun kekuatan
massa dalam menghadapi hegemoni politik Belanda, serta dengan adanya
pendidikan memberikan pintu masuk bagi kaum intelektual dalam mencapai
kesetaraan dengan orang-orang Eropa, baik secara sosial, ekonomi, dan politik.
Pada abad 20, muncul SI yang memiliki tujuan untuk membuat anggota
perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan
tolong-menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Organisasi itu ditetapkan sebagai perkumpulan
kaum Muslim yang bekerja demi kemajuan, Islam menjadi tanda atau identitas
bagi bumiputera (Takashi Shiraishi, 1997: 57).
2. Radikalisme
Menurut Komaruddin (2002:212) bahwa radikalisme berasal dar i bahasa
Latin radix, yang berarti akar, kaki, atau dasar. Jadi, radikalisme berarti suatu
paham yang menginginkan pembaharuan atau perubahan sosial dan politik dengan
ekstrim dan drastik hingga ke akarnya.
Radikalisme merupakan gerakan- gerakan dari kaum pinggiran, karena
sebab-sebab tertentu. Mereka menggunakan cara-cara yang radikal, keras dan
secara tiba-tiba, baik itu mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari
gerakan itu.
Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah
gerakan-gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih
terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau
regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak
adil.
Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat sejumlah faktor penentu,
yaitu sebagai berikut (http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial) :
1) Structural Conduciveness (Kondisi Struktural), yaitu suatu struktur sosial
commit to user
economic pressure (tekanan ekonomi) dan the structure of the social and
politic situation (struktur keadaan sosial dan politik).
2) Structural Strain (Ketegangan Struktural), yaitu adanya ketegangan
struktural yang timbul. Terdiri dari extreme religious movement (gerakan
keagamaan yang ekstrem), race riots (rasisme), dan economic deprivation
(depresi ekonomi).
3) The Precipitating Factor (Faktor Pemercepat), yaitu faktor pencetus yang
berupa suatu dramatik, suatu peristiwa empirik.
4) Mobilization into action (Mobilisasi Untuk Mengadakan Aksi), yaitu suatu
mobilisasi untuk bertindak, dalam hal ini peranan seseorang amat
menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya
kerusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau
revolusi.
5) The Operation of Social Control (Kontrol Sosial), yaitu pengoperasian
kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu,
membelokkan, atau merintangi gerakan itu.
Definisi kekerasan dari New Oxford Dictionary adalah perilaku yang
melibatkan kekuatan fisik dan dimaksudkan untuk menyakiti, merusakan, atau
membunuh seseorang atau sesuatu. Menurut Colombijn (I Ngurah Suryawan,
2010: 20), mengkategorikan kekerasan menjadi 4 bagian :
1) Kekerasan oleh negara atau lembaga negara
2) Kekerasan oleh kelompok masyarakat
3) Kekerasan oleh kelompok jagoan dan milisi
4) Kekerasan oleh perorangan yang berkumpul untuk sementara dalam
kerumunan
Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata “violence”,
berasal dari bahasa Latin “violentia”, yang berarti force, kekerasan. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata kekerasan digunakan sebagai padanan “violence”, yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
commit to user
Menurut Dom Helder Camara yang mengemukakan mengenai teori spiral
kekerasan, di mana ada tiga bentuk kekerasan, yaitu: kekerasan yang bersifat
personal, institusional, dan struktural. Kekerasan yang bersifat personal
merupakan sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun
negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan
ekonomi. Ketidakadilan ini juga terjadi sebagai akibat dari upaya sekelompok elit,
yang mempertahankan kepentingan mereka, sehingga membuat kondisi kelompok
bawah hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia. Kondisi tersebut yang
mendorong munculnya kekerasan institusional, yaitu pemberontakan dan protes di
kalangan masyarakat sipil. Ketika kondisi tersebut telah terjadi, maka kemudian
penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus
menggunakan cara-cara kekerasan. Hal tersebut memunculkan kekerasan
struktural yaitu represi penguasa, di mana digunakan cara-cara kekerasan oleh
lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil. Represi negara yang
dilakukan akan memperparah kondisi ketidakadilan (I Ngurah Suryawan,
2010:92-93).
Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci, yaitu agar yang dikuasai mematuhi
penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai- nilai serta norma penguasa, melainkan juga harus
menyetujui dominasi kekuasaan mereka. Pengertian hegemoni menurut Gramsci
yaitu penguasaan oleh satu atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis dan bukan hubungan dominasi
dengan menggunakan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuatan sosial yaitu
dengan cara melalui perjuangan politik dan ideologi. Hegemoni tidak pernah
diperoleh begitu saja, tetapi harus selalu diperjuangkan. Hal ini jelas menuntut
kegigihan yang tinggi dari kelas penguasa untuk mempertahankan dan
memperkuat otoritas sosial dalam berbagai kekuatan sosial (Roger Simon,
2000:19-20).
Menurut Habermas yang dikutip oleh Zainuddin Maliki (2004: 25-26),
penguasa diberi hak oleh publik dalam menjalankan kekuasaan dan bahkan
commit to user
terjadi ketika seorang penguasa memaksakan kehendaknya pada pihak lain dengan
memberi pandangan bahwa tindakan itu benar. Penguasa membungkus kekerasan
dengan memanipulasi sentimen masyarakat dan memberikan justifikasi politik
dengan menggunakan ideologi tertentu.
Dalam kekerasan masyarakat terdapat juga faktor politik yang kemudian
mengakibatkan terjadinya kekerasan masyarakat berlatar politik. Pada dasarnya,
kekerasan masyarakat adalah kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat
akibat ketidakadilan, penindasan, represi yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Kekerasan politik terjadi karena diterapkannya sistem politik kekerasan di
masyarakat yang dipelopori oleh negara atau pemerintah ke dalam sistem
pelaksanaan pemerintahan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan politik dan
sistem pemerintahan yang diterapkan atau dianut oleh suatu negara. Di situ
sebenarnya terdapat kaitan langsung antara partisipasi, stabilitas, dan kekerasan (I
Ngurah Suryawan, 2010: 18).
Kekerasan politik sering dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk
psikologis. Kekerasan politik ini berbentuk indoktrinasi, ancaman, tekanan, dan
pembatasan informasi. Kekerasan oleh negara dan aparaturnya terjadi untuk
kepentingan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan ideologis negara.
Pemerintah menganggap dirinya mempunyai hak untuk menempuh cara kekerasan
apabila ada yang mengganggu integrasi dan ideologi bangsa. Ketika bermunculan
dokumen-dokumen yang didasari semangat keagamaan, yang kebanyakan dibuat
oleh para ulama di Surakarta, dokumen-dokumen tersebut berisi mengenai ajakan
untuk menggulingkan dan mengusir “orang-orang kafir” yang dipimpin oleh pemimpin yang berkharisma. Di Jawa, bangkit pemberontakan lokal yang
periodik, di bawah pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol Ratu
Adil. Selama abad ke-19, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin
mendalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa.
Pemberontakan-pemberontakan dengan menggunakan simbol keagamaan ini, pada umumnya
merupakan pernyataan dari ketidakpuasannya pada pemerintah ko lonial Belanda
commit to user
Gasasan politik sepenuhnya berpusat pada hubungan kekuasaan dan
kepentingan. Politik Islam merupakan Islam digunakan sebagai alat politik untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan, karena Islam dianggap dapat mengatasi
berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta dapat digunakan
untuk mendapatkan basis massa yang banyak (Hermanu, 2010: 81). Penggunaan
Islam sebagai alat politik adalah untuk menumbuhkan harapan dan semangat
masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi.
Menurut Snouck Hurgronje bahwa agama Islam mempunyai potensi
menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.
Pemikirannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang menjadi
landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”.
Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah
sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada
beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai
kalangan „modernis‟, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama
lain” (Aqib Suminto, 1986:11-12).
Gerakan politik Islam dapat dilakukan dengan kerja sama antara ulama,
kaum intelektual, dan pengusaha Muslim untuk menciptakan perubahan sosial,
ekonomi, dan politik. Selain itu, juga melalui tumbuhnya organisasi sosial dan
organisasi politik di Surakarta.
3. Marginalisasi Masyarakat Islam
a. Pengertian Marginalisasi
Marginalisasi disebut juga keterasingan. Masyarakat dengan peradaban
buatannya mengasingkan manusia dari hakikatnya yang alamiah. Untuk
mengakhiri keterasingan itu merupakan proses emansipasi: manusia harus
commit to user
Marx yang dikutip oleh Franz Magnis (1988:261) manusia mencari suatu realitas
khayalan dalam agama untuk mendapat pengakuan dan penghargaan, karena
keadaan masyarakat tidak mengizinkan individu untuk merealisasikan
kepercayaannya secara sungguh-sungguh.
Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses
menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang
munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah
keadaan yang terasing dari kehidupannya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah
hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartika nnya sebagai
modal. Konsep Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di
masanya. Hal ini tertulis dalam karyanya Das Kapital dan terbesit dalam
karya-karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi penggunaan kata
alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase kedua hidupnya. Hal ini
dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya, sebagai akibat dari
banyaknya para filsuf sejaman Marx yang menggunakan kata tersebut sebagai
konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang dimaksud o leh Marx (Anthony
Giddens, 1986:12).
Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk
Kapitalis, dan semakin miskin pula buruh akibat dari hasil eksploitasi kapitalis.
Artinya kapitalis menimbun banyak harta yang sebenarnya merupakan Nilai Lebih
barang yang telah diciptakan buruh. Karena buruh tidak memiliki kekuasaan
untuk menjual barang tersebut seperti layaknya yang dilakukan kapitalis, maka
kapitalis yang memiliki hak untuk menjual barang tersebut yang akan mendapat
nilai lebih tersebut. Jika nilai lebih ini diakumulasikan dengan apa yang di dapat
buruh (gaji), akan memunculkan variabel yang berbalik. Buruh akan menjadi
lebih murah atau tak berharga saat nilai lebih dari barang-barang yang dia buat
jauh lebih tinggi dan tidak sepadan dengan nilai yang ia dapat. Hal tersebut akan
memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi atau bisa
dibilang buruh dijadikan obyek dalam satuan modal di mata kapitalis, bukan
sebagai subyek atau pencipta benda. Pengendalian kapitalis terhadap apa yang
commit to user
akan memunculkan sebuah kekuatan eksternal yang memaksanya. Kekuatan
tersebut seakan-akan (bagi buruh) memusuhinya. Artinya, sebagai barang modal
milik kapitalis, buruh tak lain dianggap sebagai budak dan bisa dipakai oleh
kapitalis asal dalam batas-batas perjanjian atas buruh dan majikan yang
pro-keuntungan majikan dan bukan perjanjian yang seimbang, sering ini menjadi
sebagai perangkap kerja buat buruh karena buruh yang tak punya pilihan lain
selain menerima perjanjian tersebut. Dengan kata lain, produk kerja dari kaum
buruh tidak menjadi kepunyaannya dan bersifat eksternal.
Pandangan tentang alienisasi tak lepas dari kritik Karl Marx terhadap
Ludwig Feuerbach, seorang filsuf di eranya. Namun Marx berfikir justru lebih
konkrit dari pada Feuerbach. Ada beberapa dimensi utama dari pembaharuan
Marx tentang keterasingan (Anthony Giddens, 1986:14-15).
1. Buruh tidak mempunyai kuasa untuk memasarkan produk-produknya,
dikarenakan itu akan menjadi hak kapitalis, sehingga dia tidak akan menarik
keuntungan dari produk tersebut. Dalam prinsip ekonomi pasar bahwa produk
yang dipertukarkan akan diawasi oleh pasar. Bahkan buruh juga menjadi sebuah
komoditi yang diperjualkan di pasaran dan tidak bisa mengatur sendir i nasib
benda yang ia produksi.
2. Buruh terasing dengan pekerjaannya sendiri. Tugas kerja tidak memberi
kepuasan hati yang hakiki, yang mana buruh tidak diberi kesempatan untuk
mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan
eksternalnya.
3. Pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing secara langsung
dari percabangan-percabangan sosial. Dalam hal ini hubungan masyarakat
cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Uang meningkatkan
rasionalisasi pola hubungan sosial, karena ia menjadi standar abstrak dalam
pengertian bahwa sifat-sifat yang paling heterogen dapat dibandingkan dan
ditukarkan.
4. Manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan
ekspresi dan hasil hubunganya dan menjadi pembeda antara manusia dengan
commit to user
tingkat adaptasi pada alam, layaknya hewan. Padahal yang membedakan antara
keduanya adalah sikap kecakapan mereka dalam mengarungi hidup.
Dalam keagamaan, Marx menganggap bahwa keterasingan bisa diciptakan
dalam fase kepercayaan manusia atas fantasi ketuhanan mereka. Marx
menganggap bahwa agama adalah sebuah candu yang akan memberi pengaruh
fantasi akan hari depan sebagai sebuah harapan subsitusi kehidupannya saat ini.
Agama juga kadang-kadang sebagai alasan suatu gerakan eksploitasi masyarakat
yang menyudutkan gerakan buruh memihak hak-hak kerjanya. Memang beberapa
pemuka agama melakukan hal- hal tersebut, inilah yang membuat orang-orang
kepercayaan dan mengkhianati kepercayaan para buruh ini menjadi ular berkepala
dua guna mendapatkan keuntungan pribadinya. Namun, gerakan kaum agama
yang mendukung buruhpun juga terhitung. Merekalah yang mencoba untuk
mengembalikan pemikiran masyarakat dan dengan ajaran mereka, buruh atau
siapapun yang terbilang proletar tidak perlu mengkhawatirkan agama hanya akan
menjadi fantasi subsitusi mereka melainkan sebagai sebuah gerakan yang akan
membuat mereka lebih baik dan punya nilai lebih perundingan di hadapan
majikan (Anthony Giddens, 1986:12-16).
b. Pengertian Masyarakat Islam
Masyarakat adalah alat manusia yang sengaja diciptakan guna
mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk
mempertahankan hidup. Ada tiga alasan utama mengapa manusia bersatu untuk
hidup bersama dalam sebuah kelompok yang disebut masyarakat, antara lain (1)
alasan ekonomi, yaitu alasan untuk saling menolong secara ekonomis yang
hasil-hasilnya dibentengi oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
pembagian kerja, (2) alasan keamanan, oleh karena manusia berkumpul atau
berkelompok di kota-kota untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, (3)
alasan otoritas, karena kebutuhan otoritas manusia yang mampu mempertahankan
daerah-daerah perbatasannya (Zainal Abidin, 2002:33).
Masyarakat tidak lebih dari sekumpulan individu dan kelua rga. Upaya
commit to user
individu dengan harapan banyak orang yang mulai bergabung dengan kegiatan
mereka, kemudian situasi akan menjadi lebih baik. Menurut Salim Frederick
(2001:3) masyarakat terdiri atas individu yang di dalamnya terdapat tiga
komponen berikutnya, yang menentukan hubungan antar masing- masing individu
tersebut, yaitu :
1. Pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh yang diemban masyarakat
2. Perasaan-perasaan yang paling berpengaruh yang diemban oleh
masyarakat
3. Sistem pemerintahan yang berkuasa
Ketiga hal inilah yang membentuk ikatan umum antarindividu dalam
masyarakat. Masyarakat Islam adalah kelompok manusia yang mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan agama,
yakni agama Islam. Menurut Faisal Ismail yang dikutip oleh M. Dawam Rahardjo
(1985: 23) bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan Tuhan dengan cara
mewahyukannya kepada Nabi.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang taat dalam menerapkan ajaran
Islam, baik keyakinan dan ibadahnya, syariat dan sistemnya, akhlak dan
prilakunya, atau dengan kata lain masyrakat rabbani (berketuhanan), Insani
(berperikemanusiaan), berakhlak dan seimbang. Karena itu masyarakat Islam
adalah masyarakat yang taat, yang memiliki karakteristik dan sifat tersendiri dari
yang lainnya, masyarakat yang istimewa dari segi ideologinya, nilai- nilainya,
akhlaknya, undang-undangnya, sistem hidupnya, perilakunya dan adat istiadatnya
(http://www.al- ikhwan.net/karakteristik- masyarakat-
islam-dalam-surat-al-ahzab-kajian-tematik-257/).
Dalam kajian sosiologi, masyarakat Islam dibedakan dari segi identitas
keagamaan masyarakat serta tradisi agama Islam yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat (Zainal Abidin, 2002:47). Marginalisasi masyarakat disebabkan
oleh kepemilikan hak milik penguasa atas tanah dan tenaga kerja. Namun, pemilik
commit to user
Diskriminasi masyarakat Muslim terlihat dalam, keterbelakangan dan
kebodohan umat Muslim di hamper semua segi kehidupan, kondisi politik yang
dihadapi masyarakat Islam memaksa mereka berada dalam keterbelakangan,
sistem pendidikan yang diperoleh anaak-anak Muslim hanya mengandalkan pada
pendidikan non- formal (pesantren). Hal tersebut dikarenakan oleh :
1. Pemerintah kolonial memberikan monopoli penyelenggaraan pendidikan
formal kepada Zending dan Missi
2. Sekolah-sekolah umum yang dikelola Zending dan Missi lebih
mengutamakan anak-anak pangreh praja
3. Ketakutan pemerintah kolonial menganggap ideologi Islam berseberangan
dengan kepentingan kapitalisme Belanda
Akibat adanya tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial, maka terjadilah diskriminasi, yang
memunculkan gerakan perlawanan, yang menggunakan Islam sebagai landasan
dalam menghadapi pemerintah kolonial.
4. Konflik
a. Pengertian Konflik
Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang
antara keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan dan
berlawanan. Konflik sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Istilah konflik sering diartikan “suatu proses
pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan
norma dan nilai yang berlaku. Clinton F dalam Kartini Kartono (2005: 246)
mendefinisikan konflik sebagai interaksi yang antagonistis mencakup tingkah laku
lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus terkontrol,
tersembunyi, sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan perjuangan tidak
terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru hara, gerilya, dan perang.
Konflik pada dasarnya adalah usaha yang disengaja untuk menentang,
commit to user
yaitu, pertama, bentuk konflik teringan yaitu perbedaan pendapat dan jika dikelola
dengan baik akan memberikan manfaat pada masyarakat. Kedua, unjuk rasa
demonstrasi yang non-kekerasan, yang muncul apabila tidak dapat diselesaikan
dengan proses negosiasi. Ketiga, serangan bersenjata, merupakan bentuk konflik
yang tertinggi (Abu Ahmadi, 1975:93).
b. Faktor penyebab terjadinya konflik
1) Komunikasi, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang tidak
lengkap
2) Manusia dan pelakunya, gaya kepemimpinan, sistem nilai, ambisi
3) Adanya kepentingan yang bertentangan, terutama kepentingan ekonomi
dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan (Abu Ahmadi,
1975:93).
Melihat faktor penyebab tersebut, konflik dalam gerakan radikalisme di
Surakarta 1850-1920 ini disebabkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan,
terutama kepentingan ekonomi dan sosial. Pemerintah Belanda menerapkan
kebijakan-kebijakannya yang merugikan masyarakat pribumi baik bagi
masyarakat pedesaan maupun elit istana, sedangkan kehidupan masyarakat sangat
memprihatinkan dengan adanya eksploitasi oleh pemerintah kolonial.
c. Penyelesaian konflik
1) Konsolidasi, dengan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna
mencapai persetujuan bersama untuk berdamai
2) Mediasi, dengan menggunakan mediator
3) Arbitrasi, melalui pengadilan dengan seorang hakim sebagai pengambil
keputusan
4) Paksaan, dengan menggunakan paksaan fisik atau psikologis (Awani
Irewati, 2001:25)
Dalam penanganan gerakan radikal, ada beberapa penyelesaian yang
dilakukan secara paksaan, antara lain sebagai berikut (Suhartono, 1991: 92-93) :
1. Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan para pemimpin dan
pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa,
commit to user
2. Residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan
residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan.
3. Pemerintah kolonial ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan
dalam penyelesaian gerakan protes, dengan menumpas gerakan yang
radikal menggunakan pasukan bersenjata.
Pada tanggal 25 Desember 1868 di Solo, ada artikel yang menyebutkan
bahwa seorang anak yang buta, yang ayahnya seorang mantri mengaku dirinya
sebagai Imam Mahdi, kemudian J.P. Zoetelief menahan anak itu dan ayahnya.
Para ulama yang dirasa berpotensi melakukan suatu gerakan, dilakukan
penangkapan oleh polisi (Houben, 2002:457). Bentuk represi politik pun
diwujudkan dengan diberlakukannya sistem politik Beamtenstaat, yaitu struktur
birokrasi pemerintah kolonial diurusi oleh pegawai pemerintah, dan didukung
oleh dinas polisi rahasia untuk memapankan birokrasi itu sendiri, serta
mengisolasi gerakan perlawanan berlandaskan pada ideologi Islam (Hermanu,
2010:XIV). Sehingga aktivitas-aktivitas organisasi dan perkumpulan yang
dimotori oleh kaum intelektual dibatasi, bahkan diilegalkan untuk membuat suatu
organisasi, karena untuk membatasi aktivitas politik pribumi yang mengarah pada
commit to user
Keterangan :
Di wilayah Surakarta diterapkan sistem penyewaan tanah. Para pengusaha
swasta menyewa tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri, untuk ditanami
berbagai tanaman komersial yang sama dengan yang diperintahkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa. Keadaan tersebut telah
mengubah cara pemanfaatan faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja, serta
stratifikasi sosial di masyarakat Surakarta. Sementara itu, jumlah petani yang
tidak memiliki tanah menjadi semakin besar, dan monetisasi menjadi ciri penting
dalam ekonomi desa. Para penyewa juga memanfaatkan birokrasi lokal untuk
memudahkan mendapatkan tenaga kerja yang cukup dan murah (Houben,
2002:ix).
Keberadaan para pengusaha swasta itu ternyata tidak hanya berdampak
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi juga pada kehidupan politik. Para
pengusaha perkebunan itu menjadi kelompok pendukung utama kebijakan politik
ekspansif kolonial, karena sebagian dari para pengusaha perkebunan adalah para
bekas pejabat pemerintah kolonial beserta keluarganya, dan memungkinkan
mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan kebijakan penguasa
lokal yang dapat terus menguntungkan mereka. Kondisi tersebut semakin
diperburuk dengan semakin banyaknya para elite politik lokal di Surakarta yang
terjebak dalam hutang, sehingga semakin tergantung pada penyewa tanah.
Eksploitasi tanah dan tenaga kerja untuk pasar Eropa telah membuat masyarakat
di Surakarta menderita, dan penetrasi ekonomi, sosial, dan politik mengakibatkan
runtuhnya tata kehidupan tradisional dan kemiskinan struktural.
Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, gerakan periferal merupakan
perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan-gerakan ini bersifat
lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari
protes-protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal adalah
perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan
keraton. Gerakan-gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan memiliki
pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang sifatnya
commit to user
pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama, sedangkan para
pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana sendiri yang
menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben, 2002:491).
Di abad 19, gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme bersifat
messianis, di mana para pemimpin gerakan berperan besar dalam memprovokatori
pemberontakan, yang mengumandangkan untuk melawan kekafiran. Sedangkan di
awal abad 20, lebih bersifat politis, di mana muncul kaum inte lektual dan
organisasi politik, seperti SI dan Insulinde yang merupakan organisasi politik
kebangsaan yang berpengaruh besar.
Kaum intelektual merupakan semua orang yang mempunyai fungsi
sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi
sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan (Roger Simon, 2000:141).
Salah satunya adalah sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah
merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru yang didasarkan pada Islam.
Tujuan mereka adalah menciptakan suatu gerakan massa yang sadar politik, dan
kemudian bersama gerakan ini mengadakan konfrontasi dengan pemerintah
Hindia Belanda dari suatu posisi yang kuat, dan dengan demikian akan dapat
memaksakan konsesi-konsesi. Diharapkan melalui organisasi dan kebijakan yang
dibuat akan dapat menjadi pendorong rasa kebangsaan bagi rakyat pribumi. Di
Surakarta- lah muncul gerakan- gerakan radikal yang dipimpin baik ulama atau
bangsawan yang berseberangan dengan pemerintah, baik dari segi politik maupun
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul "Radikalisme Muslim Di Surakarta,
1850-1920", dilaksanakan penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui berbagai
sumber, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber yang digunakan untuk
melaksanakan penelitian ini terdapat di perpustakaan :
a. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
b. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c. Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
d. Rekso Pustaka Mangkunegaran.
e. Monumen Pers Surakarta.
Selain itu, juga menggunakan situs internet untuk menambah sumber guna
penelitian ini.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul
skripsi yaitu bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Adapun kegiatan
yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan
sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsaha n sumber, menetapkan
makna yang saling berhubungan dari fakta- fakta yang diperoleh dan terakhir
menyusun laporan hasil penelitian.
B. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara
atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah
commit to user
cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Gilbert J. Garraghan yang
dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode
penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan
mengajukan sintesis dari hasil- hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh
sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah- langkah
sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan
dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.
Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu
peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah melalui
langkah atau metode historis. Dengan demikian metode historis merupakan
langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Tujuan
penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan objektif (Sumadi S, 1992: 16).
Penyelidikan yang mempergunakan metode historis adalah penyelidikan
yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perspektif historis.
Metode historis merupakan sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan
penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk
menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami
kenyataan-kenyataan sejarah, malahan yang juga dapat berguna untuk memahami situasi
sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno S,
1982:132).
Pada umumnya metode historis berlangsung menurut pola sebagai berikut:
1) pengumpulan data, 2) penilaian data, 3) penafsiran data, 4) penyimpulan
(Winarno S, 1982:133). Penelitian dengan metode historis merupakan metode
kritis terhadap keadaan-keadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa
lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas