• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN MAZHAB HUKUM NON POSITIVISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN MAZHAB HUKUM NON POSITIVISTIK"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN MAZHAB HUKUM NON POSITIVISTIK

DALAM BIDANG HUKUM SUMBERDAYA ALAM

Pengalaman di Sumbar, Kalbar, Sulteng, Maluku dan Papua

Oleh: Hedar Laudjeng dan Rikardo Simarmata 1

Mendudukan Posisi Istilah “Mazhab Hukum’

Sebelum memasuki pembahasan substansi pemikiran mazhab hukum yang positivistik dan non positivistik serta penerapannya terhadap hukum sumberdaya alam, ada baiknya terlebih dahulu dilakukan semacam pendudukan posisi dan pengklarifikasian istilah mazhab hukum dalam khasanah disiplin hukum2. Ini dipandang perlu karena di kalangan

teoritisi hukum sendiri masih terdapat perbedaan dalam memahami dan menggunakan istilah tersebut.

Untuk memulai penemuan posisi dan klarifikasi tersebut, ada baiknya didahului dengan pemastian posisi ilmu hukum di dalam klasifikasi ilmu. Sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum tergolong ke dalam kelompok ilmu praktis yang normologis. Kelompok ini sering juga disebut dengan nama ilmu normatif. Ilmu lain yang masuk ke dalam kelompok ini diantaranya Etika, Teologi, Ilmu Teknis, Ilmu Kedokteran, Ilmu Manajemen dan Ilmu Komunikasi. Sebagai warga ilmu praktis, ilmu hukum berfungsi untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit. Dalam memerankan fungsi tersebut, ia harus terbuka untuk dipengaruhi oleh komunitas di luar ilmu dan nilai-nilai manusiawi. Ia harus bersedia menjadi medan tempat bertemu dan berinteraksinya berbagai ilmu untuk melahirkan konvergensi.

Namun, dibandingkan dengan ilmu lain dalam kelompok ilmu praktis, ilmu hukum memiliki kekhususan yakni, selain karena memiliki sejarah yang panjang sebagai sebuah ilmu, tetapi juga karena sifatnya yang berdampak langsung pada kehidupan manusia dan obyek telaahnya. Obyek telaah ilmu hukum berkenaan dengan tuntutan berprilaku tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh kehendak bebas melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.

Dengan kedudukan seperti itu obyek studi hukum tidak terelakkan dari kemungkinan menjadi ‘rebutan’ berbagai disiplin ilmiah yang menjadikan hukum sebagai pokok kajiannya. Situasi ini lah yang kemudian mendorong D.H.M. Meuwissen untuk melakukan sistematisasi terhadap semua disiplin ilmiah yang berobyekan hukum.3

Hasilnya adalah dua kelompok besar, yakni Ilmu Hukum Praktis dan Ilmu Hukum

1 Hedar Laudjeng adalah Direktur Yayasan Bantuan Hukum (YBH) ‘Bantaya’, Palu dan Rikardo

Simarmata adalah staff pada Program Hukum dan Masyarakat, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

2 Istilah ‘ilmu hukum’ sendiri memiliki makna ganda, yaitu Ilmu Hukum dan arti sempit dan Ilmu Hukum

(2)

Teoritis. Kelompok Ilmu Hukum Praktis menekuni kegiatan manusia dalam rangka mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit melalui pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum. Sedangkan kelompok ilmu hukum teoritis menekuni refleksi teoritis terhadap hukum. Selanjutnya, berdasarkan tataran analisis dan abstraksi, Meuwissen mengelompokkan disiplin hukum tersebut ke dalam tiga pembagian besar, yakni: 1) kelompok disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling rendah. Di kelompok ini terdapat Dogmatika Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. 2) kelompok disiplin hukum yang lebih abstrak. Satu-satunya disiplin hukum dalam kelompok ini adalah Teori Hukum. 3) kelompok disiplin hukum yang tataran abstraksinya paling tinggi. Satu-satunya penghuni kelompok ini adalah Filsafat Hukum. Jadi pengelompokkan tersebut membedakan antara dogmatika hukum (ilmu hukum dalam arti sempit), teori hukum dan filsafat hukum.

Kendati sudah ada beberapa usaha untuk mengelompokkan atau mensistematisasi disiplin ilmu tersebut, namun masih saja berlangsung kekacauan dalam menempatkan posisi pembeda antara ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Ini dibuktikan dengan praktek tumpang tindih dan replikasi defenisi dan pemakaian obyek kajian yang dilakukan oleh ketiga kelompok disiplin hukum tersebut. Antara ilmu hukum (dalam arti luas) dengan teori hukum misalnya. Ada pemikir yang berkesimpulan bahwa keduanya bersifat sinonim tetapi ada juga yang melihat hubungan keduanya lebih bersifat komplementer. Pemikir lain bahkan menyatakan bahwa ilmu hukum dan filsafat hukum adalah nama-nama untuk untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.4

Cara menganut yang dilakukan oleh sejumlah pemikir hukum tersebut, pada akhirnya mengaburkan batasan obyek antara kajian ilmu hukum, teori hukum dengan filsafat hukum.5 Barangkali itulah sebabnya, mengapa selama ini pembahasan tentang ketiganya

selalu disatukan dalam literatur yang sama. Literatur tentang Ilmu Hukum seringkali sekaligus juga berisikan pembahasan tentang Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Demikian juga sebaliknya.

3 Pengelompokkan atau pensistematisan disiplin ilmu yang menjadikan hukum sebagai obyek studi juga

dilakukan oleh beberapa pemikir ilmu hukum lainnya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto misalnya membaginya ke dalam: 1) Politik hukum, Filsafat Hukum, dan 3) ilmu hukum. Ilmu Hukum sendiri terbagi ke dalam ilmu tentang norma (normwissenschaft), ilmu pengertian hukum (kamphuysen/begriffenwissenschaft) dan ilmu tentang kenyataan hukum (tatsachenwissenschaft). Selanjutnya, ilmu tentang kenyataan hukum terbagi atas sejarah hukum, sosiologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan antropologi hukum. Darji Darmodihardjo, S.H., dan Shidarta,. “Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, PT. Gramedia Pusataka Utama, 1999, h. 18.19, dan H. Ridwan Syahrani, “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 1999, h. 2-3.

4 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Alumni, Bandung, 1986, h. 9, 339, dan Lili Rasjidi, “Dasar-Dasar

Filsafat Hukum”, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, h. 4.

5 Bukan hanya itu bahkan dalam perkara pemadananannya dengan bahasa Inggris pun berbeda. Satjipto

(3)

Kekacauan tersebut akhirnya melahirkan sejumlah akibat yang tidak terelakkan. Salah nya adalah dalam soal kategorisasi pemikiran-pemikiran besar mengenai hukum yang sudah mulai lahir sejak Zaman Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Abad Pencerahan hingga masa sekarang. Para teoritisi hukum berbeda pendapat dalam soal pengkategorian ini. Ada yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran tersebut masuk sebagai kategori Teori Hukum6 dan ada juga yang memasukkannya sebagai kategori Filsafat Hukum7,

Paradigma Hukum8 atau Mashab Hukum9. Namun anehnya, kendati para teoritisi hukum

tersebut memakai penamaan yang berbeda akan tetapi muatan dan pembagian yang ada dalam nama-nama tersebut relatif sama.

Penganut istilah atau kategori Teori Hukum mengartikan teori hukum sebagai disiplin Ilmu Hukum yang khusus mendalami persoalan hakekat dan hakiki dari hukum. Teori Hukum memikirkan hukum sampai jauh ke latar belakang hubungannya dengan dengan konsepsi tentang manusia, hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Itu sebabnya, Gustav Radbruch mengatakan bahwa teori hukum menjadikan nilai-nilai dan postulat-postulat hukum sebagai basisnya, bukan peraturan-peraturan hukum. Dengan begitu tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai pada landasan filosofisnya. Teori Hukum juga akan menjawab sejumlah pertanyaan pokok, yakni: 1) mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya; 2) bagaimana seharusnya hukum itu difahami; 3) apakah keadilan, bagaimana hukum yang adil, dan 4) apa yang menjadi tujuan hukum?

Sedangkan penganut istilah filsafat hukum mengatakan bahwa filsafat hukum adalah kategori disiplin ilmu hukum yang bertugas menjelajahi dan menemukan hakekat hukum dengan cara mencaritahu jawaban atas sejumlah pertanyaan kunci, yaitu: 1) apakah hukum itu sebenarnya; 2) apa sebabnya kita menaati hukum, dan 3) apa keadilan yang menjadi ukuran baik buruknya hukum. Dengan cara menjawab beberapa pertanyaan di atas, filsafat hukum berusaha membuat dunia etis yang ada di dalam hukum menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera. Filsafat hukum juga akan mencarikan sebuah ide hukum yang akan menjadi landasan etis bagi berlakunya hukum positif nasional.

Dengan penguraian muatan dua istilah itu saja sudah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari istilah-istilah yang berbeda tersebut. Hal yang serupa juga bisa ditemukan pada pembagian (periodesasi) pemikiran hukum tersebut. Baik pendukung yang memasukkan pemikiran tersebut sebagai kategori teori, filsafat, mashab atau pun paradigma sama-sama mengakui bahwa periodesasi pemikiran tersebut terdiri dari: 1) hukum alam; 2) positivisme hukum; 3) utilitarianisme; 4) mazhab sejarah; 5) sociological jurisprudence; 6) realisme hukum; dan 7) freirechslehre.10

6 Satjipto Rahardjo, Ibid., 224-246.

7 Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Ibid., 102-148, Lili Rasjidi, Ibid., 27-54, dan Theo Huijbers, “Filsafat

Hukum”, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. 22.

8 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, “Hukum Sebagai Sutau Sistem”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

h. 63-85.

9 H. Riduan Syahrani, Ibid., 33-59.

10 Semua literatur yang membahas dan membuat pembagian tersebut belum satupun yang memasukkan

(4)

Bila mengacu pada penjelasan di atas, maka posisi istilah 'mazhab hukum' adalah sebagai mata bahasan dalam disiplin filsafat hukum dan teori hukum. Ia diakui sebagai salah satu aliran pemikiran dalam filsafat hukum dan juga diakui dalam teori hukum. Sebenarnya ada kelebihan bila menggunakan istilah mashab hukum ketimbang istilah paradigma hukum, teori hukum atau filsafat hukum. Kalau yang dipakai adalah istilah filsafat hukum, maka bagi kelompok yang membedakan antara filsafat hukum dengan teori hukum, pemiran-pemikiran hukum tersebut tidak bisa dipakai sebagai mata bahasan teori hukum karena obyek bahasan keduanya berbeda. Demikian juga sebaliknya. Misalnya ada yang mengatakan bahwa filsafat hukum bertugas mempelajari hukum dari segi keuniversalannya (law as such) atau dengan kata lain bertugas mengungkapkan hakekat hukum dengan cara menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum. Sedangkan teori hukum, dari segi asal-usulnya saja, ditampilkan untuk menjawab kelesuan minat pada filsafat hukum yang dianggap terlalu abstrak dan spekulatif, sementara ilmu hukum (dogmatika hukum) dinilai terlalu konkrit dan terikat pada waktu dan tempat tertentu. Dengan demikian, teori hukum (rechtstheorie) berada diantara ilmu hukum dan filsafat hukum dan bertugas memeriksa unsur-unsur yang sama dalam hal bentuk pada semua sistem hukum. Masalah tersebut diantaranya mencakup: sifat hukum, hubungan antara hukum dengan negara dan hubungan antara hukum dengan masyarakat.11 Pemakaian

istilah ‘filsafat hukum’ baru tidak akan bermasalah bagi pemakai istilah ‘teori hukum’ bila dipandang tidak ada perbedaan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Demikian juga sebaliknya.

Sedangkan bila memakai istilah 'mazhab hukum' akan terhindar dari polemik tersebut. Bila kata 'mazhab' diartikan sebagai aliran pemikiran maka ia bisa sekaligus masuk ke dalam mata bahasan filsafat hukum dan teori hukum. Karena ‘aliran pemikiran’ berarti bisa berupa filsafat maupun teori. Dengan argumen seperti itulah tulisan ini lebih menyukai memakai istilah ‘mazhab hukum’.

Namun demikian, di tengah kekacauan pemakaian dan pembedaan tiga disiplin ilmu hukum tersebut harus diakui bahwa kajian terhadap hukum terus saja berkembang. Perkembangan ini, antara lain, terus didulum oleh dinamika ilmu pengetahuan secara umum dan krisis yang dialami oleh mazhab hukum sebelumnya (positivisme hukum). Perkembangan kajian tersebut tanpa disadari telah membahwa dua berkah. Pertama, kesangsian terhadap sifat keilmiahan ilmu hukum semakin mengecil hingga akhirnya mendapat pengakuan sebagai ilmu. Kedua, yang lebih penting adalah telah terjadi pergeseran revolusioner dalam cara memandang hukum. Ini tampak jelas pada munculnya sejumlah teori, filsafat atau mazhab hukum baru yang melakukan penolakan terhadap teori, filsafat atau mazhab hukum sebelumnya. Gelombang pembaharuan ini diperkuat dengan kajian-kajian empirik yang ditawarkan oleh disiplin ilmu sosiologi

agak aneh padahal apa yang dilakukan dan diperkenalkan oleh penganjur CLS serupa dengan apa yang dilakukan dan diperkenalkan oleh yang terdahulu, terutama dengan kelompok-kelompok yang melontarkan kritik terhadap faham positivisme hukum. Barangkali ini adalah akibat dari ketidaksepakatan mengenai pengelompokkan displin ilmu yang mempelajari hukum dan kekisruhan dalam membedakan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum.

11 Ilmu hukum (dogmatika hukum) sendiri bertugas mempelajari hukum positif atau hukum yang sah pada

(5)

hukum, antropologi hukum, sejarah hukum dan psikologi hukum. Hingga kini, penolakan ini masih terus berlangsung di tengah dominannya pengaruh penganjur mazhab positivisme hukum.

Apa sebenarnya ajaran dasar mazhab postivisme hukum serta kritik substansial apa saja yang dihujamkan oleh para penolak faham ini dan apa cara pandang baru yang ditawarkan oleh kaum penolak tersebut. Secara singkat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibeberkan pada bagian berikut tulisan ini.12

Gerakan Penolakan Terhadap Mazhab Positivisme Hukum

Pertama-tama yang harus disadari bahwa perkembangan mazhab hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan Filsafat Ilmu. Hampir semua mazhab hukum bisa ditemukan induknya pada aliran pemikiran dalam filsafat ilmu. Pandangan Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murni-nya (reine rechtslehre) berinduk kepada Neokantianisme. Positivisme (Analitik) Hukum oleh John Austin berinduk pada Positivisme Logikal. Pandangan positivisme hukum dari H.L.A. Hart berkaitan dengan ajaran Rasionalisme Kritis dari Karl Popper. Dan ajaran Popper ini pula yang mengilhami Hans Albert untuk mengembangkan Ilmu Hukum Empiris. Demikian juga mashab-mashab hukum yang lahir belakangan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan Filsafat Ilmu.

Mazhab positivisme hukum lahir sebagai penolakan terhadap mazhab hukum alam. Dengan menonjolkan-nonjolkan rasio, mazhab ini menuduh mazhab hukum alam terlalu idealistis. Karena terlalu mengagung-agungkan ide, hasil pemikiran mazhab hukum alam dituduh tidak memiliki dasar dan merupakan hasil penalaran yang palsu. Dengan berinduk kepada konsep filsafat positivisme, mazhab positivisme hukum kemudian merumuskan sejumlah premis dan postulat mengenai hukum. Dari hasil pengindukan tersebut lahirlah sejumlah pandangan dasar mashab ini, yakni: (1) suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang; (2) hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya. Dengan demikian ia harus dipisahkan dari bentuk materialnya; (3) isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.13

12 Kaum penolak ini berasal dari berbagai penganut disiplin ilmu hukum. Misalnya para pakar sosiologi

hukum dan politik hukum memperkenalkan konsep hukum represif dan hukum responsif dan para pakar antropologi hukum memperkenalkan konsep pluralisme hukum (legal pluralism). Konsep pluralisme hukum mulai berkembang dalam penelitian antropologi hukum pada sekitar dasawarsa 60-an. Perkembangan konsep ini disusul dengan diperkenalkannya istilah antropologi pluralisme hukum. Prinsip dasar studi antropologi pluralisme hukum ialah bahwa bentuk hukum manapun sama pentingnya dan harus diperlakukan sebagai hukum. Pandangan ini agaknya tidak berbeda jauh dengan pendangan terdahulu dari Cicero, salah seorang pemikir hukum Yunani, yang mengatakan: "Dimana ada masyarakat di situ ada hukum (Ibi Ius Ubi Societas). Lihat T.O. Ihromi, “Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai", Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, h. 6-8. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, marak dan beragamnya tawaran konsep ini tidak terlepas dari kondisi hukum yang menjadi rebutan kajian bagi beberapa disiplin hukum.

(6)

H.L.A. Hart, seorang pengikut positivisme hukum, membuat pencirian terhadap mashab ini, yakni: (1) dari segi asal-usul hukum hanyalah perintah dari penguasa (law is a command of the lawgivers). Di luar itu bukan merupakan hukum. Bahkan oleh penganut faham legisme, hukum diidentikkan dengan undang-undang14; (2) tidak ada hubungan

mutlak/penting antara hukum dan moral. Hukum harus dipisahkan dari moral. Hukum hanya mengurusi hal yang berlaku ada (das sain), sedangkan apa yang seharusnya bukan urusan hukum, melainkan urusan moral dan etika; (3) analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum harus dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis; dan (4) sistem hukum harus merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh dari alat-alat logika, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik dan moral.

Mazhab postivisme hukum sendiri bisa dibagi ke dalam dua aliran. Pertama, Aliran Hukum Positif Analitis (analytical jurisprudence). Aliran ini dipelopori oleh tokoh utamanya John Austin. Kedua, Aliran Hukum Murni (reine rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Austin memperkenalkan tiga faham pokok di seputar positivisme hukum. Pertama, dari segi sumber satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu negara. Austin sebenarnya masih mengakui sumber lain yang kedudukannya lebih rendah (subordinate sources). Akan tetapi pada akhirnya Austin menganggap bahwa sumber yang lebih rendah tersebut bukan merupakan sumber hukum. Menurut Austin hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir sedangkan perintah yang membebankan itu dikeluarkan oleh kelompok pemegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Kedua, dari segi sifat, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system). Sebagai sebuah obyek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai. Ketiga, dari segi persyaratan, hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hukum tetapi adalah moral positif.

Kelsen selanjutnya menajamkan sejumlah faham yang diperkenalkan oleh Austin dan penganut Hukum Positif Analitis lainnya. Dalam hal sifat hukum, Kelsen memberikan aksentuasi tambahan bahwa hukum bukan hanya harus dibersihkan dari anasir-anasir moral tapi juga dari anasir sosiologi, politik dan lain sebagainya. Menurutnya, hukum harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimana diajarkan oleh mazhab hukum alam dan juga dari persepsi hukum kebiasaan (unsur sosiologis) dan konsepsi-konsepsi keadilan sosial (unsur politis). Hukum juga harus bersifat anti ideologis. Ini untuk mencegah agar tidak ada pencampuradukan antara hukum dengan segala hal yang bersifat 'ideal' dan 'benar'. Hukum harus menolak setiap kepentingan politik. Karena gagasan Kelsen ini betul-betul hendak memisahkan unsur non hukum dari hukum, sehingga kemudian diberi nama dengan Teori Yang Murni Tentang Hukum.15

14 Tokoh-tokoh yang mendukung faham ini adalah Hans Kelsen, Goerge Jellinek dan Paul Laband. Lihat

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Ibid., h. 82.

(7)

Kalau mau dibuat penegasan maka para penganut mazhab positivisme hukum melihat hukum dari segi bentuk adalah undang-undang, dari segi isi adalah perintah penguasa dan dari segi persyaratan terdiri dari sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan. Jadi pembentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang bentuknya adalah (diidentikkan dengan) undang-undang serta dikenakan terhadap pihak yang dikuasai.

Dalam perkembangannya mazhab positivisme hukum mendapat dukungan dari mashab utilitarianisme. Pendukung utama mazhab ini adalah Jeremy Bentham, seorang pemikir hukum berkebangsaan Inggris. Sampai akhirnya, bermunculan sejumlah mazhab yang menolak faham mazhab positivisme hukum. Yang pertama kali melakukan kritik terhadap faham mazhab ini adalah penganut Aliran Sejarah Hukum yang dikomandoi oleh Friedrich Carl Von Savigny, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman. Pemikiran Savigny ini kemudian diteruskan oleh salah seorang muridnya yakni Pucta. Di Inggris, pemikiran Savigny dikembangkan oleh Henry Summer Maine. Kelompok ini mulai menyerang mazhab positivisme hukum dengan mengatakan bahwa hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk undang-undang namun hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum bukan hanya berbentuk undang-undang melainkan juga adat-istiadat dan doktrin hukum. Kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat yang nota bene terdiri dari kompleksitas unsur individu dan kelompok-kelompok masyarakat. Jadi dari segi sumber dan bentuk hukum, terdapat perbedaan yang tajam antara faham mazhab positivisme hukum dengan Aliran Sejarah.

Ketegangan yang tajam antara dua mazhab ini kemudian diredakan oleh mazhab Sociological Jurisprudence dengan mencoba mensintesakan faham-faham yang berkembang pada kedua mazhab tersebut. Tokoh-tokoh yang berada di balik mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Found. Intisari dari faham yang dikembangkan mazhab ini menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Rumusan tersebut menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.16

Dengan mencoba menemukan hubungan timbal balik antara hukum dengan masyarakat Pound kemudian menemukan konsep ‘hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat’ (law as a tool of social engineering)17. Berbeda dengan faham Aliran Sejarah yang

mengatakan bahwa hukum bukan diciptakan melainkan ditemukan maka konsep social

16 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Ibid., h. 83.

17 Tokoh lain pendukung faham ini adalah seorang hakim Amerika ternama bernama Benjamin Nathan

(8)

engineering by law ini mempercayai bahwa hukum bisa diciptakan untuk mendorong dan menciptakan perubahan.

Setelah Aliran Sejarah dan mazhab Sociological Jurisprudence, mazhab berikutnya yang juga menunjukan sikap penolakan terhadap asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh mazhab positivisme ialah mazhab realisme hukum (legal realism). Kendati dituduh lebih mengutamakan hal-hal praktis ketimbang hal-hal teoritik, namun mazhab ini memiliki beberapa pandangan dasar yang konseptual. Misalnya, mazhab ini mengatakan bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dipraktekkan dalam kenyataan. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dipraktekkan oleh para aparat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksana hukum. Seorang hakim agung Amerika, Oliver Wendell Holmes mengatakan bahwa yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang melainkan pertanyaan dan keputusan hakim. Adalah John Chipman Gray yang selanjutnya memperkuat konsep-konsep mazhab ini dengan mengatakan bahwa hukum bukanlah yang ada dalam kitab undang-undang melainkan apa yang berlaku dalam praktek. Ini lah yang kemudian membuat Gray percaya bahwa hukum bukan lagi closed logical system melainkan open logical system. Dengan demikian mazhab ini sesungguhnya melanjutkan kritik Aliran Sejarah dan mazhab Sociological Jurisprudence terhadap mazhab positivisme hukum dengan mengatakan bahwa sumber hukum satu-satunya bukan pemegang kekuasaan negara melainkan juga para pelaksana hukum, terutama para hakim. Kekuasaan membuat hukum bukanlah lagi mutlak ada di tangan pemegang kekuasaan politik namun juga berada di tangan para pelaksana hukum. Dari segi bentuk, hukum bukan lagi sebatas undang-undang namun juga meliputi putusan-putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan oleh pelaksana hukum.

Faham yang dikembangkan oleh mazhab realisme hukum kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh penganut faham Ajaran Hukum Bebas (freirechtslehre). Ajaran ini berkembang pesat di Jerman. Bila mazhab realisme hukum mengakui hakim sebagai salah satu pelaksana yang potensial menciptakan hukum maka Ajaran Hukum Bebas mengatakan bahwa tugas hakim adalah menciptakan hukum. Itulah sebabnya hakim harus diberi hak untuk melakukan penemuan hukum secara bebas. Tugas hakim bukanlah menerapkan undang-undang tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat diciptakan menurut norma yang diciptakan oleh hakim. Lebih jauh mazhab ini menuntut agar pengadilan berhak untuk mengubah hukum (peraturan perundangan) apabila ia melahirkan suatu malapetaka umum. Untuk mencapai itu, kelompok penganut faham ini menganjurkan agar pengadilan diberi wewenang untuk menguji keabsahan undang-undang (judicial review). Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan rumusan faham yang seperti itu, ajaran ini secara jelas menunjukkan penentangannya terhadap mazhab postivisme hukum.

(9)

khasanah pemikiran hukum. Padahal, sama dengan yang dilakukan oleh mazhab lain terhadap mazhab positivisme hukum, CLS juga menyerang keras faham yang dikembangkan oleh mazhab positivisme hukum. Lebih dari itu, kehadiran mereka bukan hanya untuk menawarkan alternatif baru dalam aliran pemikiran hukum namun juga menyangkut politik hukum yang pada akhirnya diharapkan bisa mendukung penciptaan masyarakat alternatif18. Tiga diantara pandangan dasar mazhab positivisme hukum atau

pemikiran hukum liberal (liberal legal thought) yang ditentang habis-habisan oleh CLS adalah konsep netralitas, kemurnian atau otonomi hukum dan formalisme. Namun berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, CLS menjadikan teori-teori kiri sebagai bahan inspirasi dengan cara mengembangkan metode berpikir eklektik.

Para pendukung CLS mengecam doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum dengan mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut tidak lebih dari mitos belaka. Dalam kenyataannya hukum tidak bekerja di dalam ruang hampa namun secara ketat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang subyektif. Mereka mengkritik konsep formalisme yang dituduh terlalu meyakini metode deduktif, mempercayai impersonalitas dalam pembuatan kebijakan hukum serta menganjurkan metode analisis yang mengekang diri dari kepentingan politis. Untuk keluar dari jebakan berpikir kaum positivis tersebut, CLS menawarkan agar pengkajian atau pemahaman terhadap hukum dilakukan dengan cara menghilangkan pemisahan antara doktrin hukum dengan teori sosial empiris. Tanpa cara pemahaman seperti itu pemikiran hukum akan terkungkung dalam permainan analogi-analogi murahan. Bukan hanya itu, cara tersebut juga akan menyelamatkan pemikiran hukum dari muslihat. Pendukung CLS percaya bahwa doktrin-doktrin hukum yang terus mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan ideologi, dan falsafah politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang carut-marut.19

Demikian paparan singkat gagasan pokok mazhab positivisme hukum serta gagasan-gagasan pokok mazhab-mazhab yang menentang atau menolaknya. Keseluruh mazhab hukum yang mentang tersebut mengalamatkan kritiknya tepat ke jantung konstruksi pemikiran mazhab postivisme hukum, yakni mengenai sumber atau asal hukum, bentuk hukum dan kaitan hukum dengan anasir-anasir non hukum. Selain untuk menunjukkan bahwa sumber hukum bukan hanya penguasa politik tertinggi, bentuk hukum bukan hanya undang-undang dan bahwa hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, mazhab-mazhab hukum tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat atau hakim juga bisa menjadi sumber hukum. Bagi mereka hukum adat juga bisa dikategorikan sebagai hukum yang memiliki daya laku di dalam masyarakat.

Namun kendatipun mazhab-mazhab hukum tersebut menyerang hal yang sama pada mazhab positivisme hukum akan tetapi masing-masing menggunakan landasan teoritis yang berbeda. Yang tampak jelas perbedaannya adalah CLS, yang menggunakan teori-teori kiri. Perbedaan ini tentu saja akan membawa dua implikasi. Pertama, perbedaan dalam menemukan kelemahan dan selubung utama mazhab positivisme hukum (dekonstruksi). Kedua, perbedaan pada solusi yang ditawarkan (rekonstruksi).

(10)

Pengalaman dalam mempraktekkan mazhab hukum non positivistik, yang akan dipaparkan dalam tulisan ini, bukan dengan cara memakai konsepsi-konsepsi salah satu mazhab hukum tersebut melainkan hanya meminjam semangat penolakan yang dipunyai oleh mazhab-mazhab tersebut. Dengan semangat tersebut dilakukanlah pemeriksaan terhadap asumsi-asumsi dasar mazhab postivisme hukum, di lapangan. Metode pemeriksaanya tidak dengan melakukan penelitian murni namun dengan melakukan diskusi-diskusi kritis hukum di beberapa kampung di lima propinsi di Indonesia. Dengan demikian penerapan atau pemeriksaan ini dilakukan dengan metode yang berbeda, yakni dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan kemudian secara bersama-sama pula memecahkan jalan keluarnya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan oleh mashab positivisme hukum. Hal lain yang membedakannya adalah bahwa penerapan dan pemeriksaan ini dilakukan dalam bidang hukum sumberdaya alam.

Pengalaman dari Sumbar20, Kalbar21, Sulteng22, Maluku23 dan Papua24.

Di seluruh lokasi tersebut telah dilangsungkan pendampingan yang cukup lama dan intensif. Artinya, para fasilitator diskusi-diskusi kritis tersebut, bukanlah orang baru bagi penduduk di lokasi-lokasi tersebut. Selama lebih kurang dua bulan masyarakat, dengan dibantu oleh fasilitator, melangsungkan serangkaian diskusi kritis yang memperbincangkan beberapa hal, yakni: 1) pengenalan (potensi) konflik pengelolaan dan pemilikan sumberdaya alam; 2) penggalian hukum adat yang berhubungan dengan pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam; 3) mendiskusikan secara kritis hukum positif yang sedang berlaku yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap

20 Lokasi persis yang dimaksud adalah tiga dusun yang terletak di Desa Madobak Kabupaten Mentawai,

Sumatera Barat. Tiga dusun tersebut masing-masing Dusun Rogdog, Dusun Ugai dan Dusun Madobak. Tempat-tempat ini berada dalam kawasan yang oleh masyarakat setempat dinamai Sarereiket. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Zulkifli Jailani: "Perbuatan Melawan Hukum Oleh Pemerintahan RI pada Masyarakat Adat Mentawai di Pulau Siberut (Studi Partisipatif dengan Orang Sarereiket)", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.

21 Lokasi persis yang dimaksud adalah Desa Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten

Ketapang, Kalimantan Barat. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan C. Kanyan: "Kedudukan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Alam pada Masyarakat Dayak Simpang", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.

22 Lokasi persis yang dimaksud adalah wilayah yang merupakan hunian Orang Pakava (To Pakava) di

Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah dan Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan. Sedangkan Boya (unit kesatuan komunitas terkecil bagi To Pakava) nya terdiri dari Ngovi, Bamba Apu, Duria Sulapa, Tosonde, Pangalambori, Pamboi, Kanini, Bavoaya dan Kapaku. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Hedar Laudjeng dan Ramlah, Mencari Ruang untuk Hak Adat Orang Pakava", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.

23 Lokasi persis yang dimaksud adalah beberapa dusun dan desa di Pulau Haruku, Kecamatan Pulau

Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Dusun tersebut adalah Dusun Pusaka, Dusun Dati, DesaHaruku, Sameth, Oma, Wasu'u dan Aboru. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Martje Palijama: "Dampak Eksplorasi Pertambangan di Pulau Haruku", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999

24 Lokasi persis yang dimaksud adalah beberapa kelompok masyarakat adat di sekitar kawasan Cagar Alam

(11)

wilayah adat mereka, termasuk sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya; 4) melihat kemungkinan sejumlah peluang dalam hukum positif yang bisa dipakai untuk memperjuangkan pengakuan hukum, dan 5) menyusun strategi advokasi bersama untuk memperjuangkan pengakuan hukum. Jadi, kegiatan ini bukan hanya untuk mengajak atau menyertakan masyarakat sekedar untuk mencoba memahami realitas (hukum) mereka dan realitas (hukum) di luar mereka, namun juga memikirkan cara untuk mengubah realitas (hukum) tersebut. Tentu saja dengan terlebih dahulu menemukenali kembali sistem hukum mereka serta mengenali dan memahami (dengan kritis) sistem hukum (norma dan kelembagaan) yang diciptakan dan dipelihara oleh negara. Selain di lima propinsi tersebut, kegiatan paralel juga dilangsungkan di propinsi Jawa Timur, NTT, Kaltim dan Sulut.

A. Metode dan Proses Diskusi

Kegiatan diskusi ini memakai metode dan proses yang sederhana dengan mengedepankan pendekatan kritis dan partisipatif. Dalam kegiatan ini tidak ada yang dijadikan obyek dan tidak ada yang diperlakukan sebagai pemain dominan. Fasilitator bukanlah orang luar yang bertugas untuk mengeksploitasi informasi dengan membawa sederetan postulat dan hipotesa. Dalam posisi ini, masyarakat bukanlah laboratorium sosial yang akan diutak-atik untuk semata-mata demi perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat dan fasilitator berposisi setara. Prediket fasilitator hanya sebatas fungsional, bukan menggambarkan pengkelasan. Dalam fungsi demikian, fasilitator bukan pula menjadi narasumber dominan melainkan, sama dengan anggota masyarakat lain, orang yang juga sedang belajar. Fasilitator bukanlah layaknya seorang penyuluh hukum yang berfungsi menjadi corong atau tukang penyampai hukum negara.25

Dengan demikian informasi dan pengetahuan digali secara bersama-sama. Pemahaman kopseptual dan sistematis terhadap informasi tersebut juga dilakukan secara bersama-sama tanpa berpretensi untuk memaksakan tersusunnya satu pemahaman tunggal. Dalam diskusi penggalian informasi tersebut fasilitator memiliki peran penting untuk membantu masyarakat mengingat kembali sistem hukum yang pernah dan sedang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakat dampingan. Tahapan ini penting karena, akibat pelumpuhan secara hukum, masyarakat kehilangan sistem hukumnya sehingga memaksa mereka untuk melupakan dan meninggalkannya dan digantikan dengan sistem hukum yang diperkenalkan dan dipaksakan oleh negara. Setelah berhasil menemukenali sistem hukum mereka dan sekaligus mengenali dan memahami sistem hukum negara, mereka selanjutnya merumuskan strategi advokasi untuk memperjuangkan pengakuan. Strategi advokasi ini menjadi kesepakatan bersama yang juga akan ditanggung dan diperjuangkan secara bersama-sama.

Kemudian, dengan bantuan fasilitator, semua informasi dan pengetahuan yang didapatkan dari rangkaian diskusi tersebut dicoba dituliskan. Setelah selesai, tulisan tersebut kemudian didikusikan ulang dengan masyarakat dampingan untuk memastikan bahwa

25 Prinsip dan pendekatan tersebut relatif bisa berlangsung baik di beberapa lokasi tersebut karena sudah

(12)

tidak ada distorsi dalam tulisan tersebut. Masukan atau koreksi dari hasil diskusi ini selanjutnya dijadikan bahan untuk menyempurnakan tulisan tersebut. Tulisan hasil penyempurnaan tersebut, sekali lagi, dikonfermasi ulang kepada masyarakat. Begitu seterusnya sampai masyarakat mengaggap bahwa tulisan tersebut sudah mencakup seluruh informasi dan pengetahuan yang muncul di dalam diskusi. Tulisan yang sudah mendapat persetujuan tersebut akhirnya memiliki dua fungsi, yakni: 1) menjadi dokumen tertulis yang menginformasikan asal-asul mereka, falsafah hubungan mereka dengan wilayahnya, sistem pengelolaan dan pemilikan atas sumberdaya alam, hukum positif yang berdampak kepada wilayah mereka, sejarah dan data konflik pengelolaan dan pemilikan sumberdaya alam antara mereka dengan pihak luar, pilihan hukum dan strategi advokasi pengakuan (recognition), dan 3) bahan atau materi untuk kegiatan advokasi pengakuan. 26

Melalui penggunaan metode dan proses seperti itu ditemukan sejumlah informasi atau fakta lapangan yang berbeda sama sekali dengan postulat, asumsi atau faham yang dikembangkan oleh mazhab positivisme. Metode dan proses ini sekaligus menemukan kepentingan-kepentingan ideologis-politik yang terselubung dalam sistem hukum (termasuk pelaksanaannya) yang hanya bisa ditemukan dengan menggunakan kajian kritis. Faham yang paling terbukti melakukan manipulasi adalah yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah penguasa politik (negara) dan satu-satunya bentuk hukum adalah undang-undang serta yang mempercayai bahwa hukum bersifat netral dan otonom dari pengaruh anasir-anasir non hukum. Lebih dari itu, kegiatan diskusi tersebut menemukan landasan falsafati yang dianut oleh masyarakat adat sehubungan dengan relasinya dengan sumberdaya alam. Landasan falsafati ini mendasari pembentukan sistem hukum mereka. Boleh dibilang bahwa landasan falsafati ini telah menjadi norma dasar (grundnorm) yang menjadi pondasi ideologis seluruh bangun sistem hukum mereka. Bagaimana persisnya falsafah, fakta atau informasi lapangan tersebut, akan berusaha dijawab oleh bagian berikut tulisan ini.

B. Realitas Tanding dari Sistem Hukum Masyarakat Adat

Dari rangkaian kegiatan diskusi di lokasi-lokasi tersebut didapatkan sejumlah informasi dan fakta yang dengan jelas menyimpang dari kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh mazhab postivisme hukum. Untuk keperluan pensistematisan, tulisan ini hanya menyajikan fakta dan informasi yang berkaiatan dengan tiga faham utama dalam mazhab positivisme hukum, yakni: 1) faham yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan politik (negara); 2) faham yang mengidentikan hukum dengan undang-undang, dan 3) faham yang meyakini bahwa (sistem) hukum (norma, kelembagaan dan pelaksanaan) terlepas sama sekali dari pengaruh anasir-anasir non hukum.

26 Nama awal yang diberikan kepada metode dan proses di atas ialah Penelitian Hukum

(13)

1. Hukum Itu Berada Dimana-Mana

Hukum ternyata bukan hanya milik penguasa politik (negara). Pada lokasi-lokasi diskusi tersebut dijumpai sistem hukum, khususnya yang mengatur tentang sumberdaya alam. Sistem itu, dalam kekuatan keberlakuan yang terbatas, tetap dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakanya.27 Bukti bahwa sistem ini masih ada bisa ditunjukkan dengan masih

adanya kelembagaan adat, aturan pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam serta aturan mengenai sanksi.

Masyarakat adat Dayak Simpakng misalnya, memiliki struktur pengurus lembaga adat yang terdiri dari Tamyatn Sasa, Rangkaya, Kanuroh, Patinggi, Pateh, Tamonggokng,

Singa, Ria dan Tantara Anum. Struktur ini masih ada hingga akhir dekade 50-an. Patinggi memiliki wewenang yang mencakup Kecamatan Simpang Hulu, Pateh memiliki kewenangan yang mencakup satu kedesaan dan Tamongokng memiliki kewenangan yang mencakup satu wilayah dusun atau kampung. Dalam prakteknya penyelesaian perkara adat tidak secara kaku mengikuti garis struktur di atas. Misalnya, seorang Pateh bisa saja menyelesaikan perkara yang berada di luar dusun kewenangannya.

Masyarakat Dayak Simpakng juga mengenal beberapa cara untuk memperolah hak atas tanah, yakni Nangarong, Abuh, Tukar-Samek, Pengaseh-Pengajeh dan Upah Laloh. Selain itu mereka juga mengenal beberapa jenis hak atas tanah, yakni Hak Tungal Gansal, Hak Tomu Turakng, Hak Buboh Ampboh dan Hak Rama Sadomokng. Hak Tomu Turankng diperoleh karena perkawinan. Hak Buboh Ampboh adalah hak bersama dalam satu keturunan (kampong tamawakng buah janah). Sedangkan hak Rama Sadomokng merupakan hak hak atas tanah atau hutan secara bersama masyarakat (perkuburan, rima magokng utant torunt-kawasan cadangan).

Masyarakat adat di Serereiket, Mentawai, mengenal unit sosial terkecil yang diberi nama

uma. Di dalam satu uma terdapat struktur lembaga adat yang terdiri atas: 1) sikebubet uma, yang berfungsi sebagai pemimpin uma; 2) sipangunan, yang berfungsi untuk melaksanakan putusan keluarga; 3) lalep, yang merupakan unit-unit keluarga inti dari uma, dan 4) sikauma, yang merupakan kumpulan semua anggota keluarga uma.

Menurut masyarakat Serereiket, tanah yang berada dalam kawasan mereka dibagi habis dalam kepemilikan uma-uma. Jadi di masyarakat ini tidak dikenal pemilikan atau penguasaan tanah komunal yang dimiliki bersama oleh beberapa uma. Setiap uma mengetahui dan menghormati batas wilayah masing-masing. Apabila seorang warga uma berburu di luar wilayah umanya tanpa seizin pemilik uma tersebut maka ia akan dikenai denda adat (tulou). Dalam masyarakat ini dikenal beberapa jenis kepemilikan atas tanah, yakni: 1) Polak Teteu, yakni harta bersama milik uma (keluarga) yang dimiliki oleh uma berdasarkan sejarah asal-usul keberadaan uma bersangkutan; 2) Lulut Punuteteu/Penundu, yakni kepemilikan atas tanah yang berasal dari perdamaian karena adanya sengketa antara dua uma atau lebih; 3) Sinake teteu yakni hak milik atas tanah yang diperoleh dari pembelian kepela uma untuk kepentingan anggota uma; 4) Alak

27 Dalam khasanah ilmu antropologi hukum bidang sosial yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan

(14)

panuteteu yakni hak milik yang diperoleh dari mas kawin, dan 5) Pangurau, yakni kepemilikan yang berasal dari pembayaran ganti rugi atas sengketa maupun karena sebab lain. Kelima jenis hak tersebut dimiliki secara bersama-sama dalam satu uma. Di samping itu, masyarakat serereiket juga mengenal hak kepemilikan secara pribadi, yakni: 1) Sineke, yakni hak milik yang diperoleh dari cara pembelian; 2) Tulou, yakni hak milik yang diperoleh berdasarkan pembayaran denda adat, dan 3) Pasailit, yakni hak milik yang diperoleh dengan cara pertukaran dari objek hak milik yang sama. Dari keseluruhan jenis hak kepemilikan tersebut, Polak Teteu adalah kepemilikan yang paling tinggi karena sifat penguasaanya yang komunal dan sifat kepemilikannya yang asli. Dari segi pengelolaan, mereka menata penggunaan tanah ke dalam jenis: 1) uma, yakni pusat pemukiman keluarga yang juga digunakan sebagai kawasan kebun pekarangan terutama untuk sayur-sayuran, pisang, tanaman obat-obatan, kelapa dan tanaman hias; 2) pugettekat, yakni kebun yang berada di pinggiran kawasan uma; 3) pusagut, yakni tanah yang diperuntukkan untuk menanam sagu; 4) Tinuggulu adalah kebun atau peladangan daur ulang yang selama ini dikenal sebagai sebagai ‘peladang berpindah’. Umumnya kawasan ini diolah dengan masa perputaran selama 5 sampai 20 tahun untuk sekali putaran dan 5) Leleu, yakni kawasan yang tidak boleh dijadikan peladangan oleh anggota uma. Kawasan ini dijadikan oleh seluruh anggota uma untuk sebagai tempat perburuan dan mengambil kayu.

Menurut Orang Pakava, seluruh sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya adalah hak Orang Pakava secara kolektif. Oleh sebab itu, pihak lain tidak berhak menguasai dan mengelola sumberdaya alam tersebut tanpa seizin mereka. Hak perorangan atas tanah umumnya diperoleh melalui pembukaan hutan yang tidak dihaki oleh seseorang atau melalui pewarisan. Dalam hal membuka hutan yang belum dihaki seseorang, terlebih dahulu harus memintai persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang terdekat dari hutan itu. Dalam segi pengelolaan, Orang Pakava menata penggunaan tanah ke dalam bentuk: 1) Ova yaitu bekas ladang yang ditumbuhi semak-semak; 2) Oma adalah ova yang sudah berkembang dan bercampur dengan pohon-pohon besar. Hutan disebut oma, bila hutan tersebut masih ditumbuhi pisang hutan (pisang monyet); 3) Kaore adalah oma yang sudah berkembang dan didominasi oleh pohon-pohon besar. Hutan baru bisa disebut kaore bila tidak lagi ditumbuhi pisang hutan; 4) Pangale adalah hutan yang lebih dekat dengan kaore. Hutan dapat dikatakan pangale kalau sudah terdapat rotan yang sudah dewasa (dapat dipanen), dan 5) Vana adalah hutan yang lebih dekat daripada pangale. Di dalam vana, sudah terdapat pohon-pohon damar yang produktif. Hak perorangan atas tanah berakhir bila: a) tanah tersebut tidak diolah dalam waktu cukup lama; b) orang yang berhak atas tanah itu tidak lagi menjadi anggota Boya (keluar) yang menguasai tersebut dan tinggal di Boya lain atau keluar dari wilayah adat Orang Pakava.

(15)

dua tanah tersebut dilakukan oleh Kepala Dati dan Kepala Pusaka. Sehingga segala aktivitas yang berhubungan langsung pada lokasi-lokasi Dati dan Pusaka harus melalui atas persetujuan dari Kepala Dati dan Kepala Pusaka setelah dirundingkan secara musyawarah untuk memperoleh suatu penguasaan yang mutlak guna menghindari pertengkaran-pertengkaran atas pengelolaan sumberdaya alam.

Di Deponsero Utara (Papua) unit persekutuan masyarakat terkecil bernama Seray. Seray terdiri dari beberapa keluarga yang terbentuk dari keluarga inti yang masih memiliki hubungan darah yang sangat kuat dan hidup di wilayah adat tertentu.

“Segala peraturan yang mengatur tentang hak-hak azasi tentang perkawinan, hukum atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, hukum orang dan keluarga telah terbentuk berdasarkan setiap peristiwa di dalam persekutaun Seray, sehingga lahirlah kesepakatan yang menjadi nilai dan norma hukum yang mengatur segala prilaku prilaku masyarakat adat antara orang dengan orang dan antara orang-orang dengan sumberdaya alam.”28

Dalam hal pengelolaan, Seray membagi tanah dan hutan ke dalam: 1) Yo/Baso yang merupakan kampung atau tempat pemukiman penduduk; 2) Emiyere/Emiseke yang difungsikan sebagai ladang buru yang dibuka dan ditinggalkan menjadi bekas ladang dan berfungsi juga sebagai tempat pembibitan tanaman jangka pendek; 3) Seke adalah kawasan hutan bekas ladang yang telah ditinggalkan cukup lama, sehingga pepohonan dan tanaman di dalamnya tumbuh sangat padat sehingga kembali menjadi hutan alam yang asli; 4) Osena adalah hutan alam yang terletak di puncak pegunungan Deponsero. Di tempat ini terdapat jenis keanekaragaman hayati dengan spesies endemik asli dan jenis-jenis anggrek serta kupu-kupu sebagai spesies asli. Sedangkan dalam sola pemilikan, Seray mengenal beberapa jenis hak atas tanah, yakni: 1) Eye Yoi, yakni hak utama yang dipegang oleh persekutuan terhadap tanah dan hutan; 2) Kaniperenadetero,

yakni hak turun-temurun yang bersifat terkuat dan tepenuh yang dipegang oleh perorangan; 3) Te te dan Te Seke, yakni hak menggunakan tanah untuk menanam tanaman pangan dan hanya untuk 2-3 kali panen; 4) Minsenseke, yakni hak atas tanah yang sama nilainya dengan Hak Kaniperenadetero tetapi dipegang oleh perempuan dan 5)

Kami Perena Detero, yakni hak atas tanah anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah. Hak Kaniperenadetero tidak dapat dipisahkan dari hak Eye Yoi atau hak persekutan bersama.

(16)

Cukilan-cukilan fakta dan informasi di atas dengan jelas menunjukkan bahwa di luar sistem hukum yang diperkenalkan dan dipaksakkan oleh negara, hidup dan berkembang juga sistem hukum yang diciptakan dan dianut oleh masyarakat-masyarakat seperti Uma, Seray atau Boya. Dalam bentuk sederhana ini dibuktikan dengan adanya sistem pengaturan dalam pengelolaan dan pemilikan atas sumberdaya alam di lokasi-lokasi tersebut. Sistem ini ditopang pula oleh lembaga adat yang diakui kewenangannya oleh anggota komunitas. Ketiga komponen ini, yakni pengaturan pengelolaan, pengaturan pemilikan dan lembaga adat dipastikan bekerja karena setiap pelanggaran atas aturan main yang disepakati dapat dikenakan hukuman, baik terhadap anggota komunitas maupun terhadap orang luar. Itulah realitas tanding dari komunitas-komunitas tersebut yang hendak menegaskan bahwa sumber hukum bukan hanya dari pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara.

2. Ide Hukum: Wawasan Manusia Tentang Alam

Di atas semua sistem pemilikan dan pengelolaan serta kelembagaan yang menopangnya, hidup sebuah falsafah mengenai hubungan manusia dengan alam. Falsafah ini kemudian menjadi inspirasi bahkan menjadi sumber norma untuk membuat kesepakatan sosial mengenai pemilikan, pengelolaan dan kelembagaan sumberdaya alam. Implikasi lainnya bahwa penyelesaian terhadap sengketa (yang melibatkan antar anggota atau dengan orang luar) pengambilan keputusannya mutlak mempertimbangkan falsafah dasar tersebut.

“Orang Pakava memandang sumberdaya alamnya sebagai subyek bukan sekedar obyek eksploitasi. Selain itu, Orang Pakava memandang hak mereka atas sumberdaya alam bersifat relatif. Artinya masih ada pihak lain yang juga berhak sama atau bahkan lebih daripada mereka, yaitu Viata. Viata adalah roh leluhur dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Diyakini oleh Orang Pakava bahwa Viata tinggal di hutan-hutan di dalam wilayah Orang Pakva yang sedang tidak diolah. Oleh sebab itu, sebelum membuka ladang, terlebih dahulu meminta persetujuan dari Viata dan meminta agar agar Viata yang tinggal di situ-untuk sementara-pindah ke tempat lain. Bilamana Viata menolak, maka mereka harus mencari tempat lain untuk dijadikan ladang.”29

Dalam bentuk selanjutnya, falsafah semacam itu diturunkan menjadi ide hukum (rechtsidea) yang akan menjadi norma hukum dasar bagi kepentingan penyusunan prinsip, asas dan aturan hukum adat. Ini jelas berbeda dengan falsafah yang mendasari mazhab positivisme hukum yang melihat manusia (individu) sebagai pusat alam atau subyek alam yang dengan demikian memiliki hak untuk mengeksploitasi alam tanpa

29 Hedar Laudjeng dan Ramlah dalam Ibid. Selain poin mengenai hubungan subyek-subyek antara manusia

(17)

terlebih dahulu memintai ‘persetujuannya’. Sementara bagi Orang Pakava, hubungan manusia dengan alam adalah hubungan subyek-subyek, bukan hubungan subyek-obyek. Itu sebabnya, alam (dalam hal ini tanah) juga memiliki hak, yakni hak untuk menolak dipakai terus-menerus sebagai ladang (hak untuk beristirahat). Mungkin, selain karena alasan ekologis, ini pulalah yang mendasari berlangsungnya siklus perladangan di banyak masyarakat adat.

3. Mitos Imunitas Hukum

Jika mazhab positivisme hukum mempercayai bahwa hukum memiliki struktur logika berpikir sendiri, yang sama sekali lepas dari anasir-anasir non hukum maka ketika sistem hukum negara berhadap-hadapan dengan sistem hukum komunitas-komunitas tersebut, mestinya yang terjadi bukanlah bentrokan atau konflik dimana sistem yang satu mematikan sistem hukum yang lain. Tetapi untuk menunjukkan bahwa sistem hukum yang diperkenalkan oleh negara (isi dan penerapannya) ternyata tidak kebal (imun) terhadap kepentingan subyektif politik dan ekonomi, berikut ini akan ditunjukkan sejumlah nukilan konflik di lokasi-lokasi tersebut.

Pertama, Konflik Status. Dari segi status lokasi-lokasi tersebut berada dalam pertengkaran antara masyarakat penghuninya dengan negara. Pastilah semua masyarakat pada lokasi-lokasi tersebut meyakini bahwa tanah dan sumberdaya alam tempat mereka tinggal adalah kepunyaan mereka. Tetapi oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Barat, Desa Semandang Kiri ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian Lahan Kering (PLK) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Wilayah masyarakat Serereiket ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas. Lima desa di Pulau Haruku ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung dan wilayah adat Seray-Seray di Deponsero Utara ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam. Kedua, Konflik Penguasaan dan Pengelolaan. Konflik status itulah yang akhirnya mendulum lahirnya konflik penguasaan dan pengelolaan karena negara kemudian melakukan tiga hal, yakni 1) bagi kawasan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan Cagar Alam diberlakukan sejumlah peraturan yang sifatnya menutup dan membatasi wilayah tersebut dari pemukiman dan kegiatan pemanfaatan, dan 2) di wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas atau Hutan Produksi (HP) akan diberikan izin HPH dan perkebunan kelapa sawit, dan 3) baik di kawan hutan lindung, cagar alam, HPT dan HP akan diberikan izin pertambangan. Masyarakat Serereikat berkonflik dengan empat pemegang HPH dan 2 pemegang izin perkebunan kelapa sawit. Orang Pakava di beberapa Boya yang disebutkan di atas pernah berkonflik dengan sebuah HPH bernama PT. Para Kawan dan saat ini berkonflik dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bernaung di bawah Astra Group, bernama PT. Pasangkayu. Sedangkan masyarakat Pulau Haruku sedang bersitegang dengan PT. Aneka Tambang, sebuah BUMN pertambangan.

(18)

memperkenalkan dan memaksakan keberlakuan organisasi atau lembaga yang diberi hak untuk mengontrol jalannya aturan dan perusahaan-perusahaan tersebut.

Contoh-contoh tersebut sudah cukup jelas membuktikan bahwa hukum yang diperkenalkan oleh negara ternyata tidak bebas dari pengaruh kepentingan ekonomi dan politik. Sistem hukum (aturan, kelembagaan dan pelaksanaan) yang diciptakan oleh negara di lokasi-lokasi tersebut bukan diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat setempat namun untuk menjaga tetap berlangsungnya kedaulatan politik negara dan demi lancarnya aktivitas sejumlah perusahaan tersebut. Kalau hukum negara tersebut memang dibuat untuk mensejahterakan masyarakat di lokasi-lokasi tersebut, pastilah tidak akan ada konflik dengan pihak-pihak luar, termasuk dengan aparatus negara.

C. Persyaratan Dasar Perubahan: Membangun Hukum SDA Berbasis Masyarakat Lalu, dengan pengungkapan dan penggambaran di atas, apa dan bagaimana seharusnya perubahan (sistem) hukum sumberdaya alam yang? Dan bagaimana proses perubahan tersebut harus dilakukan? Apa syarat-syarat dasar untuk melangsungkan perubahan tersebut yang bisa mengurangi atau bahkan mengelakkan terbentuknya sistem hukum yang lama?

Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat beberapa pandangan dasar yang melandasi kegiatan ini, yang sekaligus akan memberikan roh kepada proses perubahan ini. Proses ini harus dibangun di atas keyakinan bahwa masyarakat memiliki kemampuan atau potensi untuk mengatur dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Hanya dengan keyakinan seperti inilah keberpihakan terhadap keadilan dan masyarakat tertindas bisa dilangsungkan secara sejati. Dengan demikian, tokoh utama dalam proses perubahan tersebut adalah masyarakat itu sendiri, bukan orang luar yang berembel-embel sebagai agen perubahan.

Salah satu kunci utama proses perubahan ini adalah masyarakat yang kuat dan terorganisir. Inilah yang menjadi tugas utama pendampingan. Tanpa ini, proses perubahan akan berjalan lambat bahkan mungkin memunculkan friksi dan pembelokan arah perubahan.

(19)

Setelah berhasil merumuskan paket rumusan isi dan strategi advokasi, yang bertugas memperjuangkan (mengadvokasi) agar rumusan tersebut bisa dipenuhi oleh pemerintah adalah tetap masyarakat. Merekalah yang tetap merumuskan siasat dan taktik untuk memaksakan pengakuan negara atas mereka.

Itulah falsafah dan proses perubahan sistem hukum sumberdaya alam yang bisa dinamai

Referensi

Dokumen terkait

Keenam perubahan rasio ini dipilih karena pada penelitian-penelitian yang terdahulu telah menunjukkan bahwa perubahan rasio profitabilitas secara signifikan dalam digunakan

Pada gilirannya ke depan, jenis hubungan yang berkembang antara pemimpin dan karyawan akan berpengaruh terhadap berbagai faktor-faktor penting untuk individu dan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

juga mempunyai beberapa manfaat seperti yang dikemukakan oleh Nana Sudjana & Ahmad Rivai (2010: 2) berikut ini. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga

Memanfaatkan kegiatan apersepsi, inti, dan penutup pembelajaran untuk meningkatkan kecakapan literasi baca-tulis, numerasi, literasi digital, literasi finansial, literasi

Intrafood dilandasi oleh keperluan untuk memperoleh wawasan dan pengetahuan tentang teknologi pengolahan minuman serbuk khususnya minuman serbuk jahe serta

Apabila panas digunakan untuk mengolah suatu bahan pangan, maka kemampuan tahan panas mikroorganisme mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkat mikroorganisme

Analisis Hubungan Antara faktor Teknologi dengan Produksi Padi Sawah Diuji Dengan SPSS17.