Peran Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Islam (Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh Negara)
Dipublikasi pada Mei 18, 2012 oleh makro4d
Nama : Siti Qonita Luthfiyah
Nim : 1110082000149
Judul : Peran Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Islam (Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh Negara)
Alamat : Jl. Duren Bangka 002/002 No. 19 Jak-Sel
Jurusan : Akuntansi
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Universitas: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Dalam fiskal ekonomi islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
Beberapa hal penting dalam ekonomi islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a) Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintah muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang memiliki harta melebihi nisab dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
b) Tingkat bunga tidak berperan dalam system ekonomi islam.
c) Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil.
d) Ekonomi islam diupayakan untuk membantu ekonomi masyarakat muslim terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran islam.
e) Negara islam adalah Negara yang sejahtera, kesejahteraan meliputi aspek material dan spiritual.
f) Pada saat perang, islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tapi juga hartanya untuk menjaga agama.
B. Instrumen kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatanya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal ini tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan pendapatan, kedua: kebijakan belanja.
1. Kebijakan Pendapatan
a) Kebijakan Fiskal Pada masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menanamkan prinsip saling membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah, dalam waktu yang singkat Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatanya secara penuh. Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya; (2) merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam Negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi Negara; (6) menyusun system pertahanan madinah; (7) meletakan dasar-dasar sistem keuangan Negara. Bersamaan dengan persyariatan zakat, pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar, kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah, dalam satu riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.
Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat penggembalaan kuda-kuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas penjagaan baitul maal dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara ternak
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.
Seiring dengan perluasan kekusaan pemerintahan islam, maka pemasukan Ghonimah, fai’,
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang non-Muslim yan tinggal di negara yang memerangi Islam).
2. Kebijakan Belanja
Kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Quran dan Assunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut, antara lain sebagai berikut:
Timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
Menghindari Masyaqqah kesulitan dan madhorot harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
Madhorot individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madhorot dalam skala umum.
Pengorbanan individu dapat dikorbankan demi menghindarkan kerugian dan pengorbanan dalam skala umum
Kaidah ”Algiurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
Dan adapun tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam adalah sebagai berikut:
Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat. Pengeluaran sebagai alat Redistribusi kekayaan.
Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Secara lebih rinci Pembelanjaan Negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:
Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
Kaidah yang tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah dan mubah, atau dhoruroh, hajiyyat dan kamaliyyah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan belanja suatu negara (APBN). Kebijakan ini bersama kebijakan lainnya seperti: kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan perdagangan diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalnnya roda perekonomian. Maklum sistem ekonomi kapitalis sangat bergantung pada jalannya mekanisme pasar. Bila terjadi gangguan-gangguan terhadap jalnnya mekasinme pasar, maka diperlukan berbagai macam usaha untuk mengoreksi jalannya perekonomian, agar mekanisme pasar berjalan dengan sempurna. Dalam Islam kita mengenal konsep zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditentukan dalam syariah Islam.
Pembagian dalam kegiatan “wajib dan sukarela” ini khas didalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya dalam sistem ekonomi pasar.
Dalam sistem ekonomi pasar, disana tidak ada sektor sukarela. Tujuan utama dari kegiatan zakat -berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat dalam sistem ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada.
Dalam struktur ekonomi konvenisonal, unsur utama dari kebijakan fiskal adalah unsur-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan dengan variabel pengeluaran pemerintah. Tidak ada unsur zakat di dlaam data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena memamng kegitan zakat belum termasuk dalam catatan statistik resmi pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin mensucikan hartanya. Dengan demikian diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan dampak alokasi, distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah satu unsur kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi. Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Hal inilah yang membedakan kebajikan fiskal dalam Islam dengan kebajikan fiskal dalam sistem ekonomi pasar.
Didalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 disebutkan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S At-Taubah : 103).
Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti shadaqah dan lain-lain juga termaktub di dalam AL Qur’an :
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah : 261).
Dlam Qur’an diperkirakan terdapat 30 Ayat yang berkiatn dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya kegiatan berzakat setingkat dengan pentingnya shalat dalam Islam.
Kemudian, bukankah salah satu arti dari kata zakat adalah ‘berkembang’ ?? kalu pada saat ini dampaknya terhadapa kegiatan ekonomi di Indonesia masih kecil, maka ini tentunya disebabkan oleh beberapa hal. Pengeluaran zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan menjadi lebih merata tetapi belum optimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain yang melengkapi pengeluaran zakat tersebut seperti shadaqah, wakf sedemikian, sehingga dampaknya terhadap distribusi pendaptan menjadi optimal. Selain itu mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil,, karena zakat selama ini belum dikelola secara baik dan profesional di samping masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk berzakat secara benar.
C. Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh Negara
Dalam Islam, altruisme merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat Al-Hasyar (59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum Muhajirin meskipun kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.
Dalam perilaku filantropinya (giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai kepuasaannya (utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang peminta-minta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada beberapa anak yatim, atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum dengan berinfak secara pribadi dan langsung (direct giving) tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. Satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.
Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.
tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.
Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.
Upaya pengintegrasian zakat ke dalam kebijakan fiskal negara adalah dengan melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pelaksanaan zakat pada masa awal Islam. Pada masa awal Islam, zakat merupakan ’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Dalam perkembangannya, zakat mengalami kestatisan karena terlanjur dibakukan sehingga tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan perekonomian umat. Akibatnya, untuk pembiayaan kebutuhan negara ditariklah pajak dari masyarakat karena bersifat dinamis dan dapat diatur pelembagaannya oleh pemerintah sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang telah disusun pemerintah. Pengembalian zakat ke khittah awalnya ini dapat dilakukan dengan keberanian merumuskan kembali konsep zakat dalam Islam.
Dengan terintegrasinya zakat ke dalam kebijakan fiskal tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan kebijakan fiskal yang sama-sama menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi negara. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan pergeseran berbagai ketentuan dalam hukum zakat tradisional.
Pengaruh kebijakan fiskal lainnya adalah dalam hal tarif atau prosentase (rasio) dan nisab zakat menjadi tidak tetap (baku). Tarif yang ditetapkan mungkin saja berupa tarif proporsional, tarif agresif, dan trarif progresif sesuai dengan kebijakan fiskal yang akan dicapai oleh pemerintah. Sedangkan pengaruh terhadap sasaran pendistribusian zakat adalah perluasan makna asnaf delapan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60. perluasan makna tersebut bertujuan untuk terpenuhinya pengeluaran pemerintah dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.
dana zakat dapat digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan kesejahteraan ekonomi rakyat dan pengerian yang luas, pembangunan sektor industri yang secara langsung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, penyelenggaraan sentra-sentra pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran, pembangunan pemukiman rakyat tuna wisma atau gelandangan, jaminan hidup orang-orang yang cacat (defable), jompo, yatim piatu, dan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Di samping itu, dana zakat juga dapat digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga yang memerlukan, pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi rakyat, dan pengadaan sarana dan prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha menyejahterakan rakyat yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan.