Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian narkotika
yang hampir ada di setiap wilayah Indonesia. Masalah penyalahgunaan
narkotika tidak hanya terjadi di negara tertentu, melainkan merata
persebarannya. Kemajuan teknologi dan globalisasi dunia yang sedang
berlangsung justru mempermudah berbagai akses maupun jangkauan
peredaran Narkotika. Dampak berkembangnya peredaran dan bisnis
Narkotika di negara berkembang menyebabkan hancurnya sistem
perekonomian. Hal ini dikarenakan oleh bisnis Narkotika merupakan cara
yang efektif dalam menghasilkan uang.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan
perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini
dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau
disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan
akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, sistem kerja otak dan
fungsi vital organ tubuh lain tidak berfungsi normal.1
1 Adam Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, halaman 71.
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Narkotika
Golongan I yaitu Narkotika yang tidak boleh digunakan untuk layanan
kesehatan, hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia
laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa Tanaman Papaver
Somniferum L, Opium mentah, Opium masak (yang terdiri dari candu,
jicing, dan jicingko), Tanaman koka, Daun koka, Kokain mentah, Kokaina,
Tanaman ganja dan sejenisnya. Sedangkan narkotika Golongan II yaitu
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Sementara Narkotika Golongan III yaitu Narkotika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan.2
Banyak literatur yang telah mengulas tentang bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Adapun dampak
penyalahgunaan narkotika itu antara lain di bidang kesehatan yang
mengakibatkan gangguan pada sistem saraf, gangguan pada jantung dan
pembuluh darah, gangguan pada paru-paru, gangguan pada kulit, sering
sakit kepala, merusak sistem reproduksi, tertular penyakit, dan dapat
menimbulkan penyakit AIDS.3 Dampak pada bidang ekonomi antara lain
kerugian karena biaya konsumsi jenis narkoba, pengobatan dan
perawatan overdosis, Pengobatan karena sakit (HIV/AIDS, TB, hepatitis),
rehabilitasi dan detoksifikasi, Kecelakaan lalu lintas, urusan dengan
penegak hukum, penjara, waktu yang hilang karena aktivitasnya
terganggu, kematian akibat narkoba dan kerugian lainnya.4 Dan dampak
pada Bidang Sosiokultural yaitu penyalahgunaan narkotika yang semakin
bertambah dan apabila tidak dapat terkendali maka akan berpengaruh
pada kebiasaan dan berdampak pada dimensi kultural. Tingkah laku,
perilaku dan norma-norma masyarakat, lama kelamaan akan membudaya
sebagai suatu sub kultur yang membahayakan.5
Narkotika sebenarnya merupakan obat yang dibutuhkan dalam
pelayanan kesehatan manusia, narkotika disalahgunakan sehingga
mengakibatkan gangguan fisik, mental. Permasalahan Narkotika semakin
komplek dan menggurita, peredarannya bukan hanya berpusat di
kota-kota besar saja, tapi sudah merambah sampai ke pelosok desa serta
dapat menyerang kepada siapa saja dan di mana saja.6
Permasalahan penyalahgunaan narkotika yang terjadi hampir di
sepanjang negeri ini sebenarnya ingin menegaskan kembali bahwa
narkotika merupakan persoalan yang sangat serius. Dengan demikian
perlu ada penanganan yang sifatnya mendasar mengingat
3 BNN. 2012. Mahasiswa & Bahaya Narkotika. Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, halaman 14-15.
permasalahannya yang sudah mengakar, karena dari berbagai tindak
pidana yang ditimbulkan tidak hanya melibatkan pribadi saja tetapi
hubungan dengan antarpribadi. Secara teoritik, dari berbagai peristiwa
tindak pidana yang terjadi, analisis terhadap diri (self) atau personal dalam
masyarakat harus dilakukan secara holistik, oleh karena ia merupakan
sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan.7
Sebagai upaya pencegahan terhadap peredaran dan
penyalahgunaan narkotika, maka negara dan pemerintah membuat
sebuah hukum yang mengatur tentang bahaya dan peredaran narkotika.
Salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap maraknya kasus
narkotika yang terjadi di Indonesia adalah dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sebagai perubahan
atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Telah disebutkan dengan jelas dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bahwa
“Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, segala kegiatan penggunaan narkotika, baik itu
menanam, memelihara, menguasai, menyediakan, memiliki, atau
menyimpan, tetapi dalam penggunaannya bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan maupun kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka dengan jelas hal tersebut dilarang. Bagi
yang terbukti menyalahgunakan narkotika untuk kepentingan diri sendiri
7 Rahman, Nurlina. 2004. Tesis “Konsep Diri Pemakai Narkoba dalam Konteks
maupun untuk kepentingan orang lain, maka akan dikenai hukuman
pidana maupun denda.
Untuk dapat mengamalkan UU tersebut, melalui Peraturan
Presiden Nomor 23 Tahun 2010, dibentuklah Badan Narkotika Nasional
(BNN) sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementrian. Sebelumnya, BNN
merupakan Lembaga Non-Struktural yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti
dengan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007. Dengan dibentuknya
BNN diharapkan mampu menjalankan tugasnya yaitu melaksanakan
tugas pemerintahan dibidang pencegahan dan pemberantasan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan
pertanggungjawaban kepada presiden melalui koordinasi Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan tahunan BNN bahwa
jumlah kasus penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya mengalami
peningkatan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan data berikut ini:
Tabel 1.1
Penyalahgunaan Narkotika Tahun 2008-2014
Tahun Jumlah Pemakai
2008 3.362.527
2011 4.274.257
2014 4.022.702
Sumber : Laporan Tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) Tahun 2014
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah pemakai
penyalahgunaan narkotika pada tahun 2008 sebanyak 3.362.527
pemakai, sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi
4.274.257 pemakai atau bertambah sebesar 911.730 pemakai. Sementara
pada tahun 2014 jumlah pemakai penyalahgunaan narkotika sebesar
4.022.702 atau mengalami penurunan sebesar 251.555 pemakai. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada hasil peningkatan upaya
penanggulangan penyalahgunaan narkotika setelah dilakukan
program-program pemberantasan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika
setiap tahunnya.
Di samping gencarnya upaya BNN dalam penanggulangan
penyalahgunaan narkotika, Polri juga sangat berperan aktif dalam
penanggulangan peredaran gelap narkotika. Dengan semakin
merebaknya penyalahgunaan narkotika yang berdampak negatif pada
kehidupan masyarakat. Sehingga, untuk mengendalikan dan
mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat yang ideal (tertib, aman,
dan tentram) diperlukan peran Polri khususnya di daerah-daerah provinsi
dan kabupaten/kota.
Upaya penanggulangan Peredaran gelap narkotika oleh Polri telah
dilakukan khususnya di dalam kawasan hukum Kepolisian Resort Aceh
Timur. Berdasarkan data statistik di Kepolisian Resort Aceh Timur kasus
pemberantasan dan penanggulangan Peredaran gelap narkotika dari
tahun 2012 sampai 2015 dan yang kini sedang ditangani oleh Kepolisian
Tabel 1.2
Kasus Peredaaran Gelap Narkotika di Polres Aceh Timur
No Jenis Narkotika Tahun
2012 2013 2014 2015
1 Ganja 80 75 57 73
2 Sabu 47 55 54 58
Jumlah 127 130 111 131
Sumber: bag. Ops. Polres aceh timur
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2012
jumlah tersangka penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di
wilayah hukum Polres Aceh Timur sebesar 127 tersangka. Kemudian pada
tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 130 tersangka. Kemudian
pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 111 tersangka, dan data
terakhir pada tahun 2015 diketahui mengalami peningkatan yang sangat
signifikan menjadi 131 tersangka.
Berdasarkan pemaparan data di atas, dapat dipahami bahwa
Polres Aceh Timur belum berhasil menekan angka penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Tentu hal ini tidak lepas dari upaya yang telah
dilakukan oleh Polri khususnya di wilayah Polres Aceh Timur. Namun
meski angka tersebut telah dapat ditekan, bukan berarti permasalahan
peredaran gelap narkotika di wilayah Polres Aceh Timur telah selesai,
akan tetapi masih banyak kendala yang dihadapi dalam penanggulangan
peredaran gelap narkotika di wilayah tersebut. Salah satunya dalam kasus
peredaran gelap narkotika secara terorganisir. Tentu sangat perlu
dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai langkah dan upaya yang
tepat dan efesien untuk menanggulangi peredaran yang terorganisir
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mencermati
hal-hal yang mungkin timbul dari segala permasalahan di atas, sangat penting
dilakukan evaluasi terhadap peranan Polri dalam penanggulangan
peredaran gelap narkotika dan mengkajinya dalam sebuah karya ilmiah
(Tesis) dengan judul “Peranan Polri Dalam Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir (Studi Kasus di Polres Aceh Timur)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan untuk
memfokuskan penelitian ini maka disusun permasalahan yang akan dikaji
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Tentang Narkotika di Indonesia?
2. Bagaimana Strategi dan Kebijakan Kepolisian Resort Aceh Timur
dalam Menanggulangi Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir?
3. Bagaimana Efektivitas Kepolisian Resort Aceh Timur dalam
Menanggulangi Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir di Aceh
Timur?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan Tesis ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan hukum tentang
2. Untuk mengkaji dan menganalisis strategi dan kebijakan Kepolisian
Resort Aceh Timur dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika
secara terorganisir di Aceh Timur.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis epektifitas strategi dan kebijakan
Kepolisian Resort Aceh Timur dalam menanggulangi peredaran gelap
narkotika secara terorganisir di Aceh Timur.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat Indonesia pada umumnya bagi kalangan akademisi dan
mahasiswa serta penegak hukum pada khususnya baik secara teoritis
maupun secara praktis .
1. Secara Teoritis
a. Untuk memberikan sumbangsi pemikiran bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya tentang pengaturan hukum terhadap
peredaran gelap Narkotika terorganisir.
b. Untuk memberikan pemahaman atau masukan bagi penegak
hukum tentang strategi Kepolisian Resort Aceh Timur dalam
menanggulangi peredaran gelap narkotika di Aceh Timur .
2. Secara Peraktis
a. Untuk memberikan masukan bagi penegak hukum maupun
masyarakat tentang Strategi dan Kebijakan dalam Menanggulangi
Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir.
b. Untuk mengetahui secara ilmiah melalui hasil penelitian bagaimana
Epektifitas Kepolisian Resort Aceh Timur dalam menanggulangi
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang
dilakukan diperpustakaan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara Medan, dan sepanjang penglihatan dan sepengetahuan
penulis belum ada dijumpai hasil penelitian lain sebelumnya baik dalam
bentuk skripsi, tesis, maupun karya ilmiah lain yang objeknya, masalah
dan lokasinya sama dengan tesis yang sedang diteliti ini, oleh karena itu
penelitian ini asli bukan duplikasi baik dari segi lokasi, materi maupun
permasalahannya, sehingga dengan demikian dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kalau pun ada perumusan masalah
yang mirip tetapi lokasi yang menjadi objek kajian tidaklah sama seperti
halnya dalam penelitian ini “Peranan Polri Dalam Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir (Study Kasus di Polres Aceh Timur).
F. Kerangka Teori Dan Konsep 1. Kerangka Teori
“Teori” berasal dari kata ‘theoria’, yang dalam perkataan Romawi
berarti “perenungan”, suatu perkataan yang sesungguhnya berasal dari
kata ‘thea’. Di ungkapan Yunani ‘thea’ diartikan sebagai “cara pandang”
atau “hasil pandang” subjek. Cara atau hasil pandang tersebut
dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif
fenomena yang dijumpai di dalam pengalaman.8
Terdapat beberapa asas penting yang harus diperhatikan dalam hal
penegakan hukum pidana. Asas-asas tersebut merupakan prinsip-prinsip
hukum pidana yang menjadi pedoman, baik dalam menyusun peraturan
perundang-undangan maupun digunakan dalam penegakan hukum.
Adapun prinsip-prinsip hukum acara pidana yang tercantum dalam
KUHAP dan harus menjadi acuan dalam pelaksanaan serta penegakan
hukum pidana antara lain:
a. Prinsip peradilan berdasarkan “demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tertera dalam Pasal 4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana. Prinsip ini merupakan pencerminan bahwa
peradilan di Indonesia berpijak pada dasar keadilan yang
berdasarkan nilai-nilai religius, yang menjadi sendi kehidupan
manusia Indonesia pada umumnya.
b. Prinsip “larangan campur tangan pihak luar (pihak lain di luar
kekuasanaan kehakiman) terhadap dan dalam urusan peradilan”,
kecuali yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip hukum ini menyatakan
bahwa peradilan (pidana) di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
kemandirian sistem peradilan dan oleh karenanya, segala macam
campur tangan yang bisa mempengaruhi proses peradilan adalah
8 Herman Bakir. 2005. Kastil Teori Hukum. Jakarta: PT. Indeks Kelompok
tidak dibenarkan. Dalam tataran praktis, prinsip kemandirian
peradilan banyak mendapat ujian berat dan dalam wacana yang
berkembang, yang dilontarkan oleh banyak pakar dan pengamat
hukum, sehingga kemandirian sistem peradilan kita sangatlah
rentan.
c. Prinsip “kesamaan di muka hukum (equality before the law)”, di
mana prinsip hukum ini memberikan jaminan bahwa setiap
manusia diberlakukan sama pada saat di muka hukum. Prinsip ini
juga banyak mendapatkan tantangan di lapangan, karena
pelaksanaannya belum bisa sepenuhnya berjalan dengan ideal.
Keluhan para pencari keadilan tentang diskriminasi perlakuan
antara pelaku kejahatan yang satu dengan yang lain masih sering
tidak sama.
d. Prinsip “praduga tidak bersalah (presumption of innocence)”,
merupakan prinsip yang memberikan jaminan agar setiap orang
yang berurusan dengan peradilan, sejak disangka, ditangkap,
dituntut, serta dihadapkan di sidang pengadilan harus dianggap
tidak bersalah sampai dengan putusan Pengadilan menyatakan
demikian dan putusan itu telah berkekuatan hukum tetap.
e. Prinsip “pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi
manusia (HAM)”, di mana bantuan hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari prinsip jaminan atas perlindungan manusia
oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum dalam melaksanakan
tugasnya.9
9 Ilhami Bisri. 2012. Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi
Seiring dengan permasalahan hukum yang semakin kompleks saat
ini, maka penegakan hukum bukanlah merupakan tugas yang mudah.
Sama halnya dengan penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap
narkotika, mengingat peredaran narkotika saat ini dilakukan dengan
modus operandi tinggi dan canggih oleh para pelakunya akibat pesatnya
perkembangan IPTEK. Oleh karena itu, peredaran gelap narkotika saat ini
tidak hanya menjadi perhatian nasional, namun juga dunia internasional.
Dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika beserta
peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Republik
Indonesa Nomor 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika telah mengatur berbagai hal tentang larangan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Aturan hukum yang
dibuat tetaplah tidak berjalan efektif apabila dalam penegakan hukumnya
tidak didukung oleh komponen yang lainnya, baik itu komponen struktur
hukum budaya hukum maupun komponen lain yang dianggap
berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Dalam hal ini,
peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan untuk membahas
permasalahan yang telah dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun
teori-teori yang dimaksud yaitu sebagai berikut:
a. Teori Sistem Hukum
Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang
dikenal dengan three elements of legal system. Tiga unsur sistem hukum
1) Struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak
di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan
disiapkan dalam sistem, misalnya Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan.
2) Unsur substansi hukum (legal substance), yaitu hasil aktual yang
diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya putusan Hakim
berdasarkan undang-undang.
3) Unsur budaya hukum (legal culture), yaitu sikap publik atau
nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya
sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat.10
Terkait dengan sistem hukum tersebut, Otje Salman menyatakan
bahwa:
Perlu ada suatu mekanisme pengintegrasian hukum, bahwa pembangunan hukum harus mencakup tiga aspek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planing). Proses pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum
(law awareness) masyarakat.11
Kualitas keadilan tidak hanya berkaitan dengan kualitas ilmu hukum
dan ilmu lain, namun yang sangat diharapkan masyarakat adalah kualitas
tentang ilmu (pengetahuan) dan sikap tentang bagaimana menegakkan
keadilan itu sendiri.12 Mengenai konsistensi sistem hukum, dalam hal ini
10 Otje Salman dan Anton F. Susanto. 2004. Teori Hukum: Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT. Refika Aditama, halaman 153.
11 Ibid., halaman 154.
12 Barda Nawawi Arief. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Mukthie Fadjar mengemukakan bahwa dalam sistem hukum harus ada
ketentuan atau prinsip yang dianut untuk menentukan mana yang
dianggap sah berlaku, yang umumnya:
1) Jika ada pertentangan antara suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-perundang-undangan yang lain, maka
yang berlaku adalah:
a) Prinsip peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah (lex superior derogat legi inferiori), sehingga lalu dikenal
teori hierarki peraturan perundang-undangan (stuffen theorie). b) Prinsip peraturan perundang-undangan yang lebih baru
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih lama
(lex posteriori derogat legi priori).
c) Prinsip peraturan perundang-undangan yang lebih khusus
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum
(lex specialis derogat legi generali).
2) Jika ada pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat
atau hukum kebiasaan, maka jika undang-undang itu merupakan
hukum wajib, yang menang adalah undang, jika
undang-undang hanya merupakan hukum pelengkap, hukum adat atau
hukum kebiasaan yang menang.
3) Jika ada pertentangan antara hukum buatan Hakim dengan
undang-undang, maka menurut doktrin hukum Belanda, Hakim
harus selalu membuat putusan menurut undang-undang, putusan
Hakim hanya merupakan penafsiran undang-undang, sehingga
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Dalam
perkembangan sekarang, berlaku prinsip res judicata pro veritate
habetur (putusan Hakim harus dianggap benar). Lebih-lebih apabila
undang-undangnya bertentangan dengan konstitusi, maka di Korea
Selatan Hakim akan mengajukan judicial review undang-undang ke
Mahkamah Kostitusi lebih dahulu sebelum memutus pokok
perkaranya.13
b. Teori Efektivitas Hukum
Istilah teori efektifitas hukum berasal dari terjemahan bahasa
Inggiris, yaitu effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut
dengan effectiviteit van de juridische theorie, bahasa Jermannya, yaitu
wirksamkeit der rechtlichen theorie.14 Kemudian dalam bahasa Indonesia
kata efektivitas berasal dari kata “efektif” yang artinya berhasil atau
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Pada umumnya, efektvitas
sering dihubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan organisasi,
padahal suatu tujuan atau saran yang telah tercapai sesuai dengan
rencana dapat dikatakan efektif, tetapi belum tentu efisien. Efektivitas
merupakan gambaran tingkat keberhasilan atau keunggulan dalam
mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan adanya keterkaitan antara
nilai-nilai yang bervariasi.
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan
13 Mukthie Fadjar. 2013. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara
Press, halaman 5-6.
14 Salim HS., Dkk. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu saja, jika suatu aturan hukum
ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita
akan mengatakan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun
demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi
kita masih tetap dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya.15
Paul dan Dias sebagaimana dikutip dalam Derita Prapti Rahayu
mengemukakan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk
mengefektifkan hukum yaitu:
1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap
dan dipahami.
2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan hukum.
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya
mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,
melainkan juga cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa. 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan hukum itu berdaya kemampuan
yang efektif.16
Derita Prapti Rahayu juga mengemukakan bahwa agar suatu
hukum efektif dan dapat mencapai sasarannya, beberapa elemen dasar
dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik yaitu sebagai
berikut:
15 Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, halaman 375.
16 Derita Prapti Rahayu. 2014, Budaya Hukum Pancasila. Yogyakarta: Thafa
1) Aturan hukum harus lengkap dan up to date.
2) Penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan fair.
3) Penegakan hukum harus bekerja dengan sungguh-sungguh,
imajinatif, dan tidak memihak.
4) Budaya hukum dan kesadaran masyarakat harus mendukung
pelaksanaan hukum.17
Berbicara mengenai efektivitas hukum, Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip dalam Siswanto Sunarso berpendapat tentang efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.18
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Friedman sebagaimana
dikutip dalam Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa:
Pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance), dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktatan atau penyimpangan, dan pengelakan sebenarnya berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse), dan penyalahgunaan (misuse), hal tersebut adalah lazim di bidang hukum perikatan.19
Efektivitas hukum menurut Scholars sebagaimana dikutip oleh
Friedman dalam Siswanto Sunarso yaitu “pada umumnya dapat
dikelompokkan dalam teori tentang perilaku hukum yaitu aktualisasi
17 Ibid., halaman 39.
18 Siswanto Sunarso. 2011. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian
Sosiologi Hukum, Cet. IV. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, halaman 88.
kegiatan hukum”.20 Selanjutnya Siswanto Sunarso mengemukakan bahwa
“efektivitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektivitas
hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum
untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan
kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi
tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah
efektif”.21
c. Teori Penegakan Hukum
Fungsi integrasi hukum pada hakikatnya adalah menyelesaikan
konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara teratur.22 Penegakan
hukum sebagai bagian dari upaya pengintegrasian hukum tersebut saat ini
dihadapkan dengan berbagai persoalan-persoalan yang pelik. Demi
terwujudnya pembangunan hukum yang dicita-citakan, dibutuhkan
tindakan yang komprehensif dan sungguh-sungguh dalam melakukan
penegakan hukum.
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto sebagaimana dikutip dari tesis Dewi Bunga, yaitu terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
20 Ibid. 21 Ibid.
22 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.23 Dikutip
dari sumber yang sama, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, namun juga sebagai pelaksanaan
keputusan-keputusan Hakim.24 Wayne La Favre dalam Soerjono Soekanto
mengemukakan bahwa, “penegakan hukum sebagai suatu proses pada
hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi”.25
Joseph Goldstein sebagaimana dikutip oleh Sugeng Tiyarto
membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian yaitu:
1) Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total
ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi
secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup
aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu, mungkin
terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan
batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat
23 Dewi Bunga. 2011. Tesis “Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber
(Suatu Kajian Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional”. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, halaman 23.
24 Ibid., halaman 24.
25 Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup
yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
2) Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana
yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement.
Dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan
melakukan penegakan hukum secara maksimal.
3) Actual enforcement, di mana menurut Joseph Goldstein full
enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya
keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat,
investigasi, dana, dan sebagainya yang kesemunya mengakibatkan
keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement.26
Chambliis dan Seidman sebagaimana dikutip dalam Derita Prapti
Rahayu mengemukakan bahwa “ada beberapa unsur dalam penegakan
hukum yaitu meliputi unsur pembuatan UU, unsur penegakan hukum, dan
unsur lingkungan.27 Selanjutnya, Soerjono Soekanto dalam konsep
penegakan hukumnya mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yaitu sebagai sebagai berikut:
1) Faktor hukumnya sendiri.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
26 Sugeng Tiyarto. 2006. Tesis “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam
Rangka Penanggulangan Perjudian”. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, halaman 17.
5) Faktor kebudayaan, di mana dalam hal ini, kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayan dalam ruang lingkup sistem hukum (budaya hukum).28 Budaya hukum menunjukkan tradisi hukum
yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan, dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.29
Kelima faktor di atas merupakan esensi penegakan hukum
sekaligus sebagai tolak ukur efektivitas penegakan hukum. Bekerjanya
hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang
saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Bekerjanya hukum juga
dapat diartikan sebagai kegiatan penegakan hukum, karena pada
hakikatnya penegakan hukum merupakan suatu proses untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan. Berkenaan dengan
hal tersebut, pendapat Robert B. Seidman sebagaimana dikutip dari tesis
Heru Muljanto, yaitu sebagai berikut:
Tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang, selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya.30
d. Teori Penanggulangan Kejahatan
28 Soerjono Soekanto. Op.Cit., halaman 11.
29 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: CV. Mandar Maju, halaman 156.
30 Heru Muljanto. 2008. Tesis “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Selanjutnya, G.P.
Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1) Penerapan hukum pidana (criminal law application).
2) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment). 3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan
dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society
on crime and punishment/mass media).31
Selanjutnya Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa
secara garis besar dalam hal upaya penanggulangan kejahatan, dibagi
menjadi dua jalur yaitu, jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal (di
luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal
lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan atau
pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan atau penangkalan
serta pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.32
Mengenai konsep pencegahan kejahatan (crime prevention) itu
sendiri menurut The National Crime Prevention Instititut yaitu “defines
crime prevention as the anticipation, recognition, and appraisal of a crime
risk and initiation of some action to remove or reduce it (definisi
31 Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, halaman 45.
pencegahan kejahatan adalah proses antisipasi, identifikasi, dan estimasi
resiko akan terjadinya kejahatan dan melakukan inisiasi atau sejumlah
tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi kejahatan)”.33 Lain halnya
dengan Venstermark dan Blauvelt yang memiliki definisi lain tentang
konsep pencegahan kejahatan yaitu, “crime prevention means, practically
reducing the probality criminal activity (pencegahan kejahatan berarti
mengurangi kemungkinan atas terjadinya aksi kejahatan)”.34
Pengertian pencegahan kejahatan secara umum pada dasarnya
terdapat beberapa penataan sistem yang harus dilakukan yang bertujuan
agar dapat bekerja dengan baik, seperti pendekatan terpadu atau metoda,
hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang keduanya merupakan
subjek dari segala aktivitas pengamanan, serta situasi aman sebagai
objek pengamanan masyarakat. sedangkan pencegahan secara khusus
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian pencegahan
kejahatan pada umumnya, karena yang membedakan hanya pada cara
atau strategi yang digunakan, yang salah satunya adalah pencegahan
kejahatan dengan pendekatan situasional (situational crime prevention)
yang merupakan salah satu dari berbagai teori pencegahan yang
menggunakan strategi dalam menjelaskan suatu bentuk strategi
pencegahan yang diterapkan dalam suatu lingkungan atau kegiatan
33 Anonim. 2012. Konsep Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Pencurian
Dengan Kekerasan. Dikutip melalui http://www.library.upnvj.ac.id. diakses pada tanggal 03 Februari 2016.
34 Anonim. 2012. Konsep Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Pencurian
tertentu. Adapun pembagian strategi pencegahan kejahatan yang utama
menurut Muladi dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu:
1) Pencegahan primer (primary prevention), yaitu suatu strategi yang
dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk
mempengaruhi sebab dan akar kejahatan dengan target
masyarakat umum.
2) Pencegahan sekunder (secondary prevention), yaitu suatu strategi
dengan target calon-calon pelaku.
3) Pencegahan tersier (tertiary prevention), yaitu suatu strategi
dengan targetnya adalah mereka yang telah melakukan
kejahatan.35
e. Teori Kesadaran Hukum
Ewick dan Silbey dalam Achmad Ali mengemukakan bahwa
“kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan
persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran
hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku, dan bukan hukum
sebagai aturan, norma, atau asas”.36 Dengan kata lain, istilah kesadaran
hukum mengacu kepada cara-cara di mana orang-orang memaknakan
hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang
memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.
Kesadaran hukum dibagi menjadi dua macam:
1) Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum. 2) Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum.
35 Muladi. 2002. Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum. Bandung: The Habibi Center, halaman 156.
Soerjono Soekanto dalam Achmad Ali mengemukakan empat
indikator kesadaran hukum yang meliputi pengetahuan tentang hukum,
pemahaman tentang hukum, sikap terhadap hukum, dan perilaku
hukum.37 Dalam kenyataannya, seringnya kesadaran hukum yang dimiliki
oleh warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat
tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau peraturan
perundang-undangan, sehingga antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum tidak
persis sama meskipun sangat erat hubungannya dalam menentukan
efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di
dalam masyarakat.
f. Teori Ketaatan Hukum
Pendapat Weber sebagaimana dikutip oleh Hari Chand dalam tesis
Dewi Bunga yang sudah diterjemahkan, menyatakan bahwa motif dari
ketaatan mungkin banyak perbedaan jenisnya. Mereka sebagian besar
adalah kemanfaatan, etis atau subyektif konvensional, yaitu, terdiri dari
rasa takut ditolak oleh lingkungan. Menilik kebiasaan untuk menaati,
Weber menemukan bahwa itu adalah fakta psikologis primer meskipun
tidak mungkin untuk mengetahui pengalaman dari homo sapiens
(manusia) pertama.38
Mengenai kualitas ketaatan hukum, Achmad Ali membuat formulasi
dengan membagi tiga jenis-jenis ketaatan, yaitu sebagai berikut:
37 Ibid., halaman 301.
1) Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan terus
menerus.
2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati
semua aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak
lain menjadi rusak.
3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu
sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.39 2. Krangka Konsep
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi
suatu yang kongkrit, yang disebut dengan Operational Depenition,
pentingnya depenisi operasional adalah menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubious) dari suatu istilah yang
dipakai.
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional
diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu:
a. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian RI
Undang-undang yang membahas tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002
dalam Pasal 1 ayat (1). Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Kepolisian adalah segala hal-ihwal
yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayanan kepada
masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah
yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian Negara Indonesia dibagi menjadi beberapa Direktorat
yang membidangi bagian-bagian tertentu, salah satunya adalah Direktorat
Reserse Narkoba. Direktorat Reserse Narkoba bertugas
menyelenggarakan dan membina fungsi reserse narkoba, yang meliputi
kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika
dan obat berbahaya terorganisir serta penyuluhan dan pembinaan dalam
rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba.40
Adapun Fungsi Direktorat Reserse Narkoba tersebut adalah:41
40 “Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya” melaui http://www.metro.polri.go.id.
Diakses pada tanggal 02 Pebruari 2016 pukul 10.54 Wib.
41 “Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya” melalui http://www.metro.polri.go.id.
1) Membina fungsi penyelidikan/penyidikan tindak pidana narkoba dan
kejahatan terorganisir serta pencegahan/rehabilitasi korban
penyalahgunaan narkoba.
2) Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan/penyidikan tindak
pidana narkoba, dan kejahatan yang terorganisir dengan
memberikan pelayanan/perlindungan khusus kepada korban/pelaku
remaja, anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai
ketentuan hukum yang berlaku.
3) Penyelenggaraan pembinaan/penyuluhan dalam rangka
pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anggota Kepolisian Negara
Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anggota kepolisian
yang bertugas di bagian Direktorat Reserse Narkoba Polres Aceh Timur.
b. Pengertian Penanggulangan
Penanggulangan kejahatan berkaitan dengan upaya pencegahan
kejahatan. Secara umum penanggulangan kejahatan dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
adanya suatu tindak pidana kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan
salah satunya berupa pencegahan tindak pidana kejahatan, biasanya
dilakukan setelah melalui penelaahan terhadap terjadinya tindak
kejahatan.
Upaya pencegahan terjadinya tindak kejahatan dapat dilakukan
1) Mencari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, yang
dimulai dengan penelitian kejahatan atau kenakalan dalam
lingkungan remaja dan tentunya dalam berbagai pola kriminalitas
khusus, sehingga dengan penemuan yang menimbulkan kejahatan,
dapat memberi bahan untuk menyusun program penanggulangan
kejahatan yang di antaranya diarahkan kepada penggarapan
faktor-faktor yang bersangkutan.42
Dalam pencegahan kejahatan yang ditujukan pada
faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya kejahatan, atau dengan kata
lain yang ditujukan pada obyek yang menjadi sasaran
penanggulangan kejahatan terdapat 2 cara, yaitu:
a) Cara yang khusus yang sasaran penggarapannya terarah pada
satu faktor kriminogen.
b) Cara yang umum yang ditujukan kepada anggota masyarkat
secara keseluruhan dengan tujuan menebalkan iman dan
kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan.
2) Meningkatkan kemantapan pembinaan hukum dan aparat penegak
hukum dalam rangka Law Enforcermen yaitu suatu upaya dan
usaha untuk membina serta memelihara hukum yang berlaku dan
berkembang di dalam masyarakat serta meningkatkan kemampuan
dan kemantapan aparat penegak hukum yang akan menegakkan
hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Usaha mencegah kejahatan adalah bagian dari politik kriminal.
Politik kriminal ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.
1) Arti sempit, politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan
asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2) Arti luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi.
3) Arti paling luas, politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan
yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.43
Penegakan norma-norma sentral ini dapat diartikan sebagai
penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti
mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling
efektif dalam usaha penanggulangan tersebut.
Penanggulangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya
yang dilakukan Polri dalam menerapkan hukum pidana, pencegahan
tanpa pidana, dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat lewat
berbagai media tentang penyalahgunaan narkotika.
c. Tinjauan Umum Tentang Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Oleh
sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara
dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi
susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan ketergantungan.
Akibatnya, sistem kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain seperti
jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah
meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak
dikonsumsi (menjadi tidak teratur).44
Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang
berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang
berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata “narcissus” yang berarti
sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat
menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.45
M. Ridha Ma’roef membagi narkotika menjadi dua macam yaitu
narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori
narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja,
hashish, codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam
pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sintetis adalah
pengertian narkotika secara luas dan termasuk di dalamnya adalah
Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.46
44 Adam Chazawi. Op.Cit., halaman 71.
45 Hari Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
Bandung: Mandar Maju, halaman 35.
Dalam Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam
Pasal 6 ayat (1) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3
golongan, antara lain:
1) Narkotika Golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
Yang termasuk narkotika golongan I ada 26 macam. Yang
popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan
kokaina. Cannabis di Indonesia dikenal dengan nama ganja atau
biasa disebut anak muda jaman sekarang cimeng. Sedangkan
untuk Kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon
koka dan menjadi perangsang yang hebat. Jenis-jenis narkotika
golongan I seperti tersebut di atas dilarang untuk diproduksi
dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah
terbatas untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur pada Pasal 8
ayat 1 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu
“Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.”
Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat
besar farmasi tertentu maupun kepada lembaga ilmu pengetahuan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-undang No.35 tahun 2009
tentang Narkotika.
2) Narkotika Golongan II, narkotika golongan ini adalah narkotika yang
berkhasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Jenis narkotika golongan II yang paling populer digunakan
adalah jenis heroin yang merupakan keturunan dari morfin. Heroin
dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai
kandu ngan morfin dan banyak digunakan dalam pengobatan batuk
dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit disebut pelhipidinedan methafone. Heroin
dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.
3) Narkotika golongan III, yaitu sebagaimana yang dijelaskan dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang
Narkotika adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam
ketergantungan.
Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan narkotika
pengembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara
memproduksi dan menyalurkannya yang diatur dalam satu
ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu
narkotika golongan III yang sangat populer adalah kodein. Kodein
ini ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah
morfin.
Berdasarkan pemaparan di atas, yang dimaksud narkotika dalam
penelitian ini adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan penurunan
dan perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis khususnya
narkotika jenis Ganja dan Sabu.
d. Peredaran Gelap Narkotika
Dengan adanya perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pesatnya kemajuan komunikasi adalah merupakan
salah satu penyebab semakin mudahnya pendistribusian atau peredaran
narkoba hingga menjangkau sampai ke wilayah-wilayah terpencil di
seluruh Indonesia.
Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa “peredaran
gelap narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Suatu peredaran narkotika, meliputi setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan
maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Peredaran narkotika tersebut meliputi
penyaluran atau penyerahan. Sedangkan pengertian peredaran gelap
narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana narkotika.
Narkotika dalam bentuk obat dapat diedarkan setelah terdaftar
terlebih dahulu pada Departemen Kesehatan. Terhadap narkotika
golongan II dan III yang berupa bahan baku baik ilmiah maupun sintetis,
dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Departemen Kesehatan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dalam peredaran gelap narkotika dalam penelitian ini adalah setiap
kegiatan yang meliputi penyaluran atau penyerahan narkotika yang
dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana narkotika.
e. Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir
Peredaran gelap narkotika terorganisir adalah peredaran narkotika
secara melawan hukum sebagai suatu kejahatan yang dilakukan lebih dari
menyelenggarakan peredaran narkotika. Adapun ruang lingkup
penyelenggaraannya meliputi penyaluran atau penyerahan narkotika yang
dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai
tindak pidana narkotika.
Adapun maksud peredaran gelap narkotika terorganisir dalam
penelitian ini adalah peredaran narkotika yang dilakukan secara melawan
hukum berupa kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika berupa
Ganja dan Sabu yang dilakukan lebih dari satu orang atau lebih yang
mempunyai hubungan secara terorganisir dan berkelompok dalam
menjalankan perbuatan tindak pidana narkotika di wilayah hukum
Kepolisian Aceh Timur.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Sesuai dengan krasteristik perumusan masalah yang dibuat untuk
menganalisis secara hukum tentang Peranan Polri Dalam
Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir (Studi Kasus di
Polres Aceh Timur) yang bersifat deskritif yaitu suatu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat,
dengan metode pendekatan yang digunakan yaitu metode empiris, yang
merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum
yang terdiri dari kaidah hukum positif dan hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan sebelumnya di
atas, maka metode pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah
metode normatif empiris yang didukung fakta empiris untuk mendapatkan
data primer. Dimulai dengan cara menganalisa peraturan-peraturan
tentang peranan polri dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika
terorganisir untuk memperoleh data sekunder.
3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel a. Lokasi Penelitian
Berdasarkan judul yang dikaji dalam penelitian ini tentang peranan
polri dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika terorganisir, maka
penelitian ini dilakukan di Kepolisian Resort Aceh Timur Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam, Lokasi ini dipilih karena Kepolisian Daerah Aceh Timur
merupakan salah satu kepolisian yang sudah banyak menangkap pelaku
pengedar narkotika diwilayah aceh timur khusunya.
b. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri
yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau
mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan sifat atau ciri
yang sama. Adapun populasi penelitian ini mencakup seluruh proses
hukum terhadap pengedar narkotika yang ditangkap oleh Kepolisian
Resort Aceh Timur sejak tahun 2012 sampai tahun 2015, dan para pihak
yang terkait baik dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Memperhatikan banyaknya jumlah kasus Pengedar Narkotika yang
ditangkap oleh Kepolisian Aceh Timur, maka sampel penelitian ini dibatasi
yaitu Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir Jenis Ganja dan Sabu yang
di tangkap oleh Kepolisian Aceh Timur pada tahun 2012 sampai dengan
tahun 2015.
4. Alat Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dengan
mengumpulkan data primer dan data sekunder yaitu:
a. Data Primer
Adapun data perimer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
hasil studi lapangan berupa hasil wawancara dengan pihak terkait dalam
penelitian ini.
b. Data Sekunder
Adapun data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah berupa hasil riset kepustakan yang terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, seperti Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), dan sebagainya yang terkait dengan
2) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa
hasil penelitian para ahli, buku-buku, jurnal ilmiah, artikel bebas
dari internet dan sebagainya.
3) Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan hukum yang
mendukung, memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, bibliografi, dan sebagainya.
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini terdiri dari 2
(dua) tahapan, meliputi:
a. Tahapan penelitian lapangan, sebagai langkah awal dilakukan
dengan penelitian responden dam pengumpulan data primer,
pengumpulan data primer dengan cara wawancara berdasarkan
pedoman wawancara yang telah disusun dan disiapkan
sebelumnya, kemudian dilakukan juga pengumpulan data sekunder
yang ada pada lembaga hukum yang berkaitan dengan penelitian
ini.
b. Tahapan penelitian kepustakaan, penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurut data
kedalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar, sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
didasarkan oleh data47.
Analisis data dilakukan secara kualitatif normatif yakni analisis yang
dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistika dan
matematika artinya disajikan dalam bentuk uraian. Di mana hasil analisis
akan dipaparkan secara deskriptif, dengan harapan dapat
menggambarkan secara jelas mengenai Peranan Polri Dalam
Menanggulangi Peredaran Gelap Narkotika Terorganisir (Studi di
Kepolisian Aceh Timur) .
Langkah yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data
adalah analisis data, yaitu merupakan faktor penting dalam hal turut
menentukan kualitas dan hasil penelitian. Adapun metode yang
dipergunakan dalam suatu analisis tidak dapat dipisahkan dengan jenis
data yang dipergunakan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang
telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif pula. Analisis data kualitiatif
sebagai cara penjabaran data berdasarkan hasil temuan di lapangan dan
studi kepustakaan. Data yang diperoleh disusun dalam bentuk
penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data,
menghasilkan sajian data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang
47 Lexy, J, Moeleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila
kesimpulan dirasakan kurang akurat, maka perlu diadakan verifikasi
kembali dan peneliti kembali mengumpulkan data di lapangan. Dengan
penggunaan data kualitatif ini maka akan didapat gambaran yang lengkap
dan menyeluruh terhadap keadaan yang nyata sesuai dengan penelitian
yang dilakukan.
Pada proses induktif, proses berasal dari proposisi khusus (sebagai
hasil pengamatan dan berahir pada kesimpulan pengetahuan baru)
berupa asas umum. Sedangkan pada proses deduktif, bertolak dari suatu
proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berahir pada
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG NARKOTIKA DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Tahun 1976 merupakan titik penting dalam sejarah pengaturan
hukum terhadap narkotika di Indonesia. Karena pada tahun ini Indonesia
mulai memiliki undang-undang yang merupakan pembaharuan hukum
tentang narkotika yang telah diproses dan diolah sesuai dengan tuntutan
dan kondisi masa kini mengenai pengaturan penggunaan narkotika dan
ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban dan penetapan pidana bagi
siapa saja yang menyalahgunakan narkotika. Dengan kata lain tahun
1976 merupakan tahun penting bagi hukum narkotika Indonesia dengan
fakta kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Juli 1976.
Undang-undang narkotika ini terkandung warna hukum pidana
sebagai alat untuk prevensi umum dalam rangka penanggulangan
narkotika di Indonesia. Hai ini logis mengingat bahwa perjalanan dan
perjuangan untuk mendapatkan undang-undang narkotika nasional ini
dipengaruhi kuat oleh gangguan dan ancaman penyalahgunaan narkotika
di Indonesia yang semakin merajalela dengan sasaran korban para
remaja, sehingga penyalahgunaan narkotika ditempatkan sebagai
masalah nasional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini penting artinya bagi
penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Indonesia, terutama
apabila dikaji dari segi hukum dan perundangan karena memerlukan
jawaban yang bersifat pemaparan undang-undang yang berlaku sebelum
dan ketentuan yang berpengaruh dalam mempersiapkan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976. Di samping itu penting pula untuk diungkapkan
faktor-faktor non hukum yang mendorong diterbitkannya undang-undang
narkotika.48
Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang telah mengakibatkan
bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi
tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen
Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dianggap tidak
lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Di mana
narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan
ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan
yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan
pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan,
penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan
dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat
merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar
bagi perikehidupan manusia dan kehidupan Negara dibidang politik,
keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia,
maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika,
48 Soedjono Dirdjosisworo. 1987. Hukum Narkotika Indonesia. Bandung: