• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran pengulangan lafal hadha rabbi menurut Fakhruddin al-Razi dalam perspektif kaidah takrar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penafsiran pengulangan lafal hadha rabbi menurut Fakhruddin al-Razi dalam perspektif kaidah takrar."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

HADIYAH ROHMANIYAH

NIM: E33213101

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Hadiyah Rohmaniyah. E33213101. Penafsiran Pengulangan Lafal “Ha>dha> Rabbi>” Menurut Fakhruddi>n Al-Ra>zi> dalam Perspektif Kaidah Takra>r

Takra>r merupakan suatu kaidah untuk memahami firman-firman Allah

yang beredaksi mirip. Berangkat dari surat al-An’a>m ayat 76-78 terdapat

pengulangan lafal “hadha> rabbi>” sampai tiga kali menunjukkan ungkapan Ibrahim

kepada benda-benda langit, sekilas seakan Ibrahim mempertuhan selain Allah atau Ibrahim merasa bingung dalam mencari Tuhannya. Pengulangan lafal “hadha> rabbi>” ini masuk dalam kategori kaidah Takra>r kebahasaan, sehingga

perlu dikaji apa rahasia dibalik pengulangan kata “hadha> rabbi>” yang

diungkapkan oleh Ibrahim tersebut. Persoalan ini dijawab melalui tafsir Mafa>tih} al-Ghayb karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>.

Tulisan ini bermaksud untuk memahami lafal “ha>dha> rabbi>” yang

diungkapkan oleh Ibrahim tentang kebenaran-pencarian Tuhan dalam surat al- An’a>m ayat 76-78 serta penerapan kaidah takra>r oleh Fakhruddi>n al-Ra>zi dalam

tafsir Mafa>tih} al-Ghayb. Jenis penelitian ini berbasis kepustakaan (library

research). Untuk menjawab permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan

pendekatan bahasa, dengan menggunakan metodologi kualitatif dengan cara

deskriptif-analisis.

Melalui rumusan masalah di atas memberikan kesimpulan, pertama

Fakhruddi>n al Ra>zi menafsirkan perkataan Ibrahim tersebut; “hadha> rabi>”

bukanlah suatu bentuk keyakinan dan atau komitmennya dalam mencari

entitas/hakikat Tuhan semata, melainkan dengan kata istifham inkari (pertanyaan

menyangkal) itu, memberikan maksud tertentu, yakni apakah layak/pantas benda-benda langit untuk disembah selain Allah. Dengan demikian, sebenarnya

pencarian tuhan yang dilalui oleh Ibrahim tidaklah benar adanya. Kedua,

Penerapan dan pengulangan kata “hadha> rabbi>” oleh Ibrahim itu adalah ungkapan

penyangkalan pada kaumnya yang menyembah bintang, bulan dan matahari,

bahwasanya Ibrahim meminta pemahaman (istifham) dengan membawa kesan

ke-negasi-an/keingkaran. Sebagaimana diterapkan dengan kaidah takra>r yang

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAKSI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Telaah Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 10

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 10

2. Sumber Data Penelitian ... 11

3. Teknik Pengumpulan Data ... 12

(8)

b. Metode Analisis ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II. KAIDAH TAFSIR A. Awal Mula Munculnya Kaidah Takra>r ... 16

B. Pengertian Takra>r ... 19

C. Jenis-jenis Takra>r ... 22

D. Kaidah Takra>r ... 28

1. Kaidah Pertama ... 28

2. Kaidah Kedua ... 30

3. Kaidah Ketiga ... 33

4. Kaidah Keempat ... 34

5. Kaidah Kelima ... 35

6. Kaidah Keenam ... 36

7. Kaidah Ketujuh ... 38

E. Tujuan-tujuan Takra>r ... 39

BAB III. BIOGRAFI DAN TAFSIR FAKHRUDDI<N AL-RA<ZI< A. Riwayat Hidup Fakhruddi>n al-Ra>zi ... 45

B. Pendekatan Metode dan Corak Penafsirannya ... 50

C. Karya-karyanya ... 52

(9)

Pendapat Para Ulama’ Tentang

F. Metode Penyusunan Tafsir Mafa>tih} al-Ghayb ... 56

BAB IV. PENAFSIRAN DAN PENERAPAN LAFAL “HA<DHA< RABBI<”

DALAM PERSPEKTIF KAIDAH TAKRA<R

A. Penafsiran Lafal Ha>dha> Rabbi> dalam Surat al- An’am ayat 76-78 Menurut

Fakhruddi>n al-Ra>zi> tentang Pencarian Tuhan oleh Ibrahim ... 60

B. Penerapan Kaidah Takra>r pada Lafal Ha>dha> Rabbi> atas Surat

al-An’a>m Ayat 76-78 Menurut Fakhruddi>n al-Ra>zi> ... 89

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan

suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi

al-Qur‟an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada bacaan seperti al-Qur‟an

yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai pada kepada kesan yang

ditimbulkannya.1

Sebagaimana ungkapan Abdullah Darraz yang dikutip langsung dalam

bukunya Muhammad Chirzin yang berjudul Permata al-Qur’an:

“Ayat-ayat al-Qur‟an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan

cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya. Tidak mustahil, bila anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia

akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat.”2

Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur‟an merupakan petunjuk Allah SWT

mengenai apa yang dikehendaki-Nya. Manusia yang ingin bersikap dan berbuat sesuai dengan kehendak Allah, niscaya harus memahami maksud

petunjuk-petunjuk tersebut.3 Dengan jalan membaca al-Qur‟an dan menghayati maknanya.

1

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 1998), 3.

2

Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an (Yogyakarta: QIRTAS, 2003), V.

3

(11)

Al-Qur‟an saat dibaca sangat menakjubkan bagi para pendengarnya.

Selain itu, al-Qur‟an memiliki sejumlah kisah dan cerita, namun tidak bisa

dikategorikan sebagai sebuah cerita. Al-Qur‟an juga mengandung catatan-catatan

sejarah, namun tidak pula bisa disebut buku sejarah. Adapun aspek terpenting dalam hal ini adalah gaya bahasanya, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa

al-Qur‟an memiliki mutu sastra yang tinggi dan gaya bahasa yang indah.

Keindahan susunan dan gaya bahasanya itu merupakan salah satu mukjizat al-Qur‟an yang terletak pada segi fashahah dan balaghahnya, serta isinya yang

tiada bandingannya.4 Sudah banyak keyakinan bagi umat manusia bahwa setiap

Nabi yang diutus Allah untuk menyampaikan syariat yang dibawanya adalah dibekali dengan suatu mukjizat yang bertujuan untuk melumpuhkan bantahan dan mematahkan argumentasi orang-orang yang tidak percaya kepada Allah dan Nabi utusan-Nya. Serta untuk membuktikan bahwa agama yang dibawanya bukanlah merupakan hasil cipta karsanya sendiri, melainkan semata-mata dari Allah yang

harus disampaikan kepada umat manusia.5

Al-Qur‟an sebagai mukjizat yang terbesar mengandung kemukjizatan

dalam berbagai aspek yang menjadi bukti kebenarannya.6 Dalam ilmu Ulum

al-Qur‟an disebut i`jaz al-Qur‟an, adapun yang begitu berpengaruh pada awal

turunya al-Qur‟an adalah al-I’ja>z al-Lughawi yaitu i`jaz al-Qur‟an dari segi

4

Chirzin, Permata al-Qur’an, 32.

5

Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan al- Qur’an (Surabaya: PT bina ilmu,1991), 14.

6

(12)

bahasa.7 Terbukti saat al-Qur‟an diturunkan dengan menggunakan susunan bahasa yang sangat tinggi nilai kesusastraannya, bahasa yang dapat mengungguli segala

bentuk susunan bahasa kesusastraan apa pun.8 Bahasa yang unggul, jauh di atas

bahasa lainnya.9

Sebagaimana Nabi Muhammad saw ketika diutus di tengah-tengah kaum yang sangat fasih dalam berbahasa arab baik dari aspek balaghah, Syi`ir, khitabah. Maka sebagai Rasul yang membawa risalah kepada ahlu al-fasahah Nabi Muhammad saw dituntut untuk bisa menunjukkan kepada kaumnya bukti

kebenaran risalahnya, maka turunlah al-Qur‟an. al-Qur‟an pun datang dengan

mu‟jizat yang tak tertandingi, mereka pun mengakui hal tersebut dan tidak sedikit

dari mereka yang beriman hanya dengan mendengarkan dan merasakan

keindahan susunan al-Qur‟an. Lalu mereka yakin bahwa al-Qur‟an ini bukan

buatan nabi Muhammad saw, dan juga bukan syi`ir. Namun kesombonganlah

yang membuat mereka terus terseret dalam kesesatan.10

Susunan bahasa al-Qur‟an yang indah mempesona itu diterapkan secara

harmonis dengan isi dan maknanya, karena itu terdapat berbagai macam makna

yang tersirat dan yang tersurat dari lafal-lafal al-Qur‟an yang tersusun di dalam

setiap surat, yang terangkai dalam setiap ayatya.11 Maka tidak mudah bagi

seseorang untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena

7

Sayyid Khadar, al-Tikra>r al Us}lu>b fi> al-Lughah al-‘Arabiyyah (t.k.: Da>r al-Wafa, 2003), 06.

8

Charisma, Tiga Aspek, 15.

9

Awaliah Musgamy, “Pengaruh al-Qur‟an dan Hadis Terhadap Bahasa Arab”, Jurnal

al-Hikmah, Vol. XV No.1 (t.b, 2014), 38.

10

Khadar, al-Tikra>r al Us}lu>b, 06.

11

(13)

itu, dibutuhkan penafsiran yang mendalam agar makna yang terkandung dalam al-Qur‟an itu dapat dipahami.

Untuk memahami firman-firman Allah dalam al-Qur‟an dengan baik maka

dibutuhkan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan sebagai patokan, dalam ilmu

al-Qur‟an disebut Qawa>id al-Tafsi>r.12 Pengertiannya adalah prinsip-prinsip dasar

yang perlu diindahkan dalam usaha memahami makna yang diyakini benar dari

ayat-ayat-al-Qur’an.13 Selain itu, diperlukan penguasaan ilmu balaghah, yakni

ilmu yang membahas kaidah-kaidah yang berhubungan degan bahasa arab,

khususnya menyangkut uslub (gaya bahasa) atau pola penyusunan suatu kalimat

agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada audien, sehingga

pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan secara tepat.14

Sering ditemukan dalam al-Qur‟an bentuk kata dan kalimat yang berulang,

bahkan berulangnya bentuk ayat sekalipun. Berulang kata, kalimat dan ayat

tersebut merupakan gaya bahasa yang unik yang dimiliki al-Qur‟an. Gaya bahasa

seperti ini disebut uslub al-Takra>r.15 Tidak salah bila dikatakan bahwa gaya

bahasa pengulangan dalam al-Qur‟an merupakan satu bentuk uraian yang

mengandungi unsur i’jaz yang menunjukkan kepada kekuasaan Allah SWT yang

sudah tentunya berbeda daripada perkataan manusia.16

12Khalid Ibn „Uthman al

-Sabt, Qawa>id al-Tafsir (al-Jizah: al-Da>rr Ibn ‘Affan, 1999), 1.

Qawa>’id al-Tafsir (kaidah-kaidah penafsiran) didefinisikan sebagai aturan-aturan umum yang menyampaikan kepada dipahaminya makna al-Qur’an al-‘Azhi>m dan diketahuinya cara penggunaannya (aturan-aturan tersebut).

13

Salman Harun, “Perkembangan Saintifik Ilmu Qawa>’id al-Tafsi>r”, Journal of Qur’a>n

and Hadi>th, Vol.3, No. 1 (2014), 17.

14

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an; Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 273.

15Syafrijal, “Tafsir Lughowi”,

Jurnal al-Ta’lim, Jilid. 1 Nomor. 5 (Juli, 2013), 426. 16Syafrijal, “Tafsir Lughowi”,

(14)

Takra>r merupakan salah satu metode al-Qur‟an yang digunakan untuk

menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Qur‟an melalui bentuk

pengulangan-pengulangan kata, kalimat atau ayat. Adapun pengulangan dalam

al-Qur‟an mengandung unsur kisah, yang tentunya memiliki faidah dan hikmah.

Sebagaimana penjelesan Imam Qutaybah:

“Bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat,

tentunya keberagaman kabilah yang ada di komunitas arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka bisa jadi ibrah dari

berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum tertentu saja”.17

Ungkapan

tersebut menunjukkan betapa pentingnya kaidah takra>r, seakan tanpa adanya

takra>r dalam al-Qur‟an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan

menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa dikenang.

Sehingga ketika ia mengulang dan mengulang lagi kisahnya, pengulangan

itu seringkali disertai informasi tambahan. Tidak satu kisah pun dalam al-Qur‟an

yang diulang, kecuali dengan penambahan bahan-bahan baru. Dalam kisah yang berulang selalu ada sesuatu yang belum disinggung sebelumnya, atau penekanan

khusus sehubungan dengan konteks yang tengah disinggungnya.18

Dapat dikatakan pula bahwa pengulangan kisah dalam al-Qur‟an selalu

mengalami sedikit perubahan dan nuansa yang berbebeda. Hal itu menunjukkan

bahwa pengulangan yang disebutkan di dalam al-Qur‟an memiliki faedah dan

manfaat atau hikmah. Hikmah dari pengulangan ini diantaranya adalah sebagai

17Abu> Muhammad ‘Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Musyki>l al-Qur’a>n

( Kairo: Maktabah Dar al-Tura>ts, 2006), 250.

18

(15)

penegasan dalam perkataan, keindahan dalam berbahasa dan kecakapan retorika.19

Begitu juga dengan persoalan takra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam al-Qur’an

Sebagaimana pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur‟an tentang para nabi.

Setiap nabi yang diutus Allah selalu dibekali dengan mukjizat. Diantara fungsi mukjizat adalah meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap apa yang dibawa oleh nabi tersebut. Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan

perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi oleh tiap-tiap nabi.20

Dalam hal ini kisah nabi Ibrahim as menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang

dilaluinya, Sebagaimana dalam surat al-An‟am ayat 76-78,

َنِلِف ْْا بِحُأ ََ َلاَق َلَفَأ امَلَ ف يَِر اَذَ َلاَق اًبَكْوَك ىَأَر ُلْيللا ِهْيَلَع نَج امَلَ ف

ُ 67 َ

َرَمَقْلا ىَأَر امَلَ ف

ْهَ ي ََْ ْنِئَل َلاَق َلَفَأ امَلَ ف يَِر اَذَ َلاَق اًغِزاَب

َنيلاضلا ِمْوَقْلا َنِم نَنوُكَََ يَِر ِِِد

ُ 66 َ

ىَأَر امَلَ ف

َنوُكِرْشُت ا ِِ ٌءيِرَب يِِإ ِمْوَ قاَي َلاَق ْتَلَ فَأ امَلَ ف ُرَ بْكَأ اَذَ يَِر اَذَ َلاَق ًةَغِزاَب َسْمشلا

ُ 67 َ

Ketika malam telah menutupinya (menjadi gelap), dia (ibrahim) melihat

sebuat bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, “ Aku tidak suka yang tenggelam.” Kemudian, tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi

setelah bulan itu terbenam dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak

memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang

sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar,” maka tatkala ia terbenam, dia berkata,

“Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu

persekutukan.21

Pada ayat ini mengandung takra>r pada kata ha>dha> rabbi>. Ibnu Hashshar berkata: kadangkala satu ayat diturunkan secara berulang-ulang agar menjadi

19

Khadar, al-Tikra>r al Us}lu>b, 06.

20

Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007), 183.

21

(16)

peringatan dan nasehat bagi para manusia.22 Jika dilihat sepintas ayat di atas mengekspos bahwa nabi Ibrahim pernah mengalami masa-masa transisi dalam

proses mencari kebenaran tuhannya. Hal itu jelas terlihat dari perkataan ha>dha>

rabbi> ketika melihat bulan, bintang dan matahari. Namun persoalannya, benarkah

seorang nabi mengalami kebingungan mencari Tuhannya? Sedangkan nabi adalah

manusia yang terjaga (ma‟shum) dari perbuatan dosa besar apalagi syirik.

Bukankah ini merupakan hal yang kontradiktif? Maka, sangatlah irasional, seorang nabi melakukan kesyirikan. Lantas apa, sebenarnya rahasia dibalik ucapan nabi Ibrahim ha>dha> rabbi> sebagaimana termaktub dalam surat al-An’a>m diatas.

Dalam penelitian ini akan menjawab persoalan di atas dengan meggunakan kitab tafsir Mafati>h} al-Ghayb karya Fakhruddi>n al-Ra>zi> yang lebih

dikenal dengan tafsir al-Kabi>r. Sebagian ulama‟ menilai bahwa segala sesuatu ada

dalam kitab tersebut kecuali tafsir itu sendiri, bahkan kitab ini merupakan kitab

tafsir terpenting dari sejumlah tafsir bi al-Ra‟y. Karena keluasan dan kedalaman

bahasannya memberikan keluasan wawasan dalam memahami makna-makna kata

dalam artian yang sebenarnya, sedangkan penarikan maknanya al-Ra>zi> melaui

dengan memahami keterkaitan antar ayat dan surat sebelumnya, dalam ulumul

Qur’an disebut Munasabah. Hal ini sangat menarik dan tidak ada habisnya untuk

dibahas.

22

(17)

Oleh karena itu, pada kajian ilmiah ini akan membahas pengulangan

al-Qur‟an pada kata ha>dha> rabbi> dengan menggunakan teori takra>r melalui kitab

tafsirnya Fakhruddi>n al-Ra>zi> dalam kitab tafsir Mafa>tih{ al-Ghayb.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian ini adalah;

1. Bagaimanakah penafsiran lafal “ha>dha> rabbi>” dalam surat al- An’a>m

ayat 76-78 menurut Fakhruddi>n al Ra>zi> tentang pencarian Tuhan

oleh Ibrahim?

2. Bagaimanakah penerapan kaidah takra>r pada surat al- An’a>m ayat

76-78 menurut Fakhruddi>n al Ra>zi> dalam kitab tafsir Mafa>tih}

al-Ghayb?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan dan manfaat;

1. Tujuan Penelitian

a. Memahami lafal “ha>dha> rabbi>” yang diungkapkan oleh Ibrahim

tentang kebenaran pencarian Tuhan dalam surat al- An’a>m ayat

76-78 menurut Fakhruddi>n al-Ra>zi dalam kitab tafsir Mafa>tih}

(18)

b. Memahami penerapan kaidah takra>r pada surat al-An’am ayat

76-78 menurut Fakhruddi>n al-Ra>zi dalam kitab tafsir Mafa>tih}

al-Ghayb.

2. Manfaat Penelitian

a. Mengetahui rahasia dibalik kata ha>dha> rabbi> yang diucapkan

oleh nabi Ibrahim tentang pencarian Tuhannya.

b. Mengetahui kaidah takra>r kata ha>dha> rabbi> pada surat al- An’a>m

ayat 76-78 yang diterapkan oleh Fakhruddi>n al-Ra>zi dalam kitab

tafsir Mafa>tih} al-Ghayb.

c. Menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca, serta untuk

memperkaya kajian tentang takra>r dalam bidang ilmu al-Qur‟an

dan Tafsir.

D. Telaah Pustaka

Kajian ilmiah tentang takra>r bukanlah hal yang baru, begitu pula tentang

pemikiran Fahruddi>n al-Ra>zi> dalam kitab tafsir Mafa>tih} al-Ghayb. Berikut

literatur yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Ihsanuddin, Penerapan Kaidah Tikrar dan Hikmahnya dalam Surah

al-Shu’ara Prespektif Ahmad Musthafa al-Maraghi dan Muhammad Ali

as-Shabuni,23 penelitian ini dibatasi pada kajian takra>r pada kata Dzalik dalam

23

(19)

surat as-Syu‟ara serta menganalisis adanya perbedaan penafsiran pada dua

tokoh dalam memaknai kata Dzalik.

2. Muhammad Mujadid Syarif, Hikmah Tikrar dalam Surah ar-Rahman (Studi

komparatif tafsir al-Azhar dan al-Misbah).24 Skripsi ini mengungkapkan tentang penggunaan tikrar pada surat ar-Rahman serta menjelaskan hikmah yang terkandung dalam surat tersebut.

3. Nujaimatul Adzkiya’, Tafsir Surah ar-Rahma>n menurut Imam Fakhruddi>n al

Ra>zi> dalam Kitab Mafa>tih} al-Ghayb.25 Skripsi ini menguraikan betapa Allah

maha pengasih kepada hambanya sebagaimana nama dari surat ar-Rahman

serta melarang hambanya kufur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya.

Dari beberapa telaah pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian di atas. Walaupun demikian, tidak mengurangi keorisinilitas penelitian yag hendak diangkat dalam kajian ini. Persamaan dengan penelitian yang telah disebutkan adalah sama

penggunanaan teorinya, yakni teori takra>r. Sementara yang membedakan

penelitian ini adalah fokus pada surat al-An’a>m ayat 76-78 dan pemikiran

tokohnya yakni Fakhruddi>n ar-Ra>zi>.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

24

Skripsi Muhammad Mujadid Syarif, Hikmah Tikrar dalam Surah al-Rahman (Studi komparatif tafsir al-Azhar dan al-Misbah), No. 201543 TH, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015.

25Skripsi Nujaimatul Adzkiya‟, Tafsir Surah ar-Rahma>n menurut Imam Fakhruddi>n al

(20)

Jenis penelitian ini termasuk penelitian tekstual atau studi teks yang

berbasis kepustakaan (library research) murni. Yakni, penelitian yang

pengumpulan datanya dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, baik primer maupun sekunder yang mempunyai relevansi dengan penelitian. Penekanan pada penelitian ini membahas tentang penerapan

kaidah takra>r dan bukti kebenaran Ibrahim dalam pencarian Tuhan di dalam

surat al- An’am ayat 76-78 menurut Fakhruddi>n al-Ra>zi dalam kitab tafsir

Mafa>tih} Ghayb. Adapun pendekatan penelitian ini adalah linguistik

al-Qur’an dengan menggunakan metodologi kualitatif. Adapun langkah

(metode) yang dilakukan dalam penelitian ini adalah diskriptif analisis,

yakni memaparkan data fakta dan variable kemudian dianalisis secara

ilmiah. Dengan demikian penelitian pada data akan berisi kutipan langsung

maupun tidak langsung, guna memberikan gambaran penelitian tersebut.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data merupakan pokok utama dalam sebuah penelitian, untuk itu dalam menggali data-data yang diperlukan dalam penelitian, mencakup sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber data primer, yakni menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah: kitab Tafsi>r Mafa>tih}

al-Ghayb, Tafsi>r al-Qur’an al-Kari>m.

Sementara itu, data-data sekunder dikutip dari berbagai tulisan dan

selain karya-karya Fakhruddin al-Ra>zi> yang tersebar dalam format buku,

kitab-kitab, maupun artikel yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal atau

(21)

fi> al-lughah al-‘Arabiyyah karya Sayyid Khadar, Asra>r al-Tikra>r fi> al-Qur’a>n karya Mahmud al-Sayyid Syaikhun, Mukhtas}ar fi> Qawa>’id al-Tafsi>r karya

khalid ibn Utsma>n, Qawa>’id al-Tafsi>r jam’a>n wa Dira>sah karya khalid ibn

Utsma>n, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an karya Abd. Rahman Dahlan,

Tiga Aspek Kemukjizatan al- Qur’an karya Chadziq Charisma, Zubdah

al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n karya Muhammad al Maliki bin Alawi, Metode

Penafsiran al-Qur’an karya Nashruddin Baidan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkip, skripsi, jurnal, buku, dan sebagainya.26

Data-data tersebut lalu diklasifikasi berdasarkan relevansi dan sumbangannya terhadap kajian ini, karena banyak di antara bahan-bahan yang ada seperti tidak terkait, tetapi sebenarnya saling mendukung dan memberi informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian ini.

4. Teknik Pengolahan Data

a. Langkah-langkah Penyajian

Dari data yang telah diseleksi, maka data tersebut disajikan secara

sistematis dengan menggunakan teknik analisa isi (content analisis).

Pertama-tama penyajian dilakukan dengan mendeskripsikan apa yang

dimaksud takra>r , macam-macam, jenis-jenis, kaidah-kaidah dan tujuan

26

(22)

takra>r ini dipahami sedetail mungkin, serta yang mempunyai relevansi

dengan penafsiran Fakhruddi>n al-Ra>zi>, mengingat interpretasi

Fakhruddi>n al-Ra>zi> dalam penafsirannya telah mengungkap makna

kebahasaan, maka kajian di sini dengan dispesifikasikan pada lafal ha>dha>

rabbi> dalam surat al-An‟am ayat 76-78. Kemudian lafal ha>dha> rabbi> ini

diterapkan dengan menggunakan kaidah takra>r yang ada serta

dikelompokkan berdasarkan macam-macam, jenis-jenis, dan kaidahnya.

Setelah itu, maka dapat terungkap rahasia dibalik lafal ha>dha> rabbi>, serta kandungan ayat tersebut.

b. Metode Analisis

Data-data yang terkumpul baik berupa primer maupun sekunder telah banyak digunakan dalam penelitian ini secara intertekstual. Dengan demikian penjabarannya, pada bab pertama, berbicara pada tataran metodologis, maka merujuk pada buku-buku yang memberi kerangka metodologis penelitian ini. Menginjak bab dua, yakni kerangka teori,

pada bab ini pembahasan mulai masuk pada takra>rsecara umum sebagai

jembatan penyelesaian masalah. Buku-buku pada bab dua lebih banyak memuat rujukan buku sekunder. Begitu pula pada bab tiga, banyak memilih dan memilah-milah buku primer dan sekunder yang relevan

dalam mengungkap biografi serta metode penafsiran Fakhruddi>n al-Ra>zi>.

Memasuki pada bab empat, merupakan fokus pembahasan sebagai

(23)

Fakhruddi>n al-Ra>zi>. Bab lima sebagai penutup hanyalah menarik kesimpulan dari bab-bab sebelumya, tanpa memerlukan data apapun.

F. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini diperlukan sistematika pembahasan agar permasalahan dapat tersusun secara sistematis dan dapat tergambar hal-hal yang akan diahas. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:

Bab pertama sebagai pendahuluan, akan dikemukakan latar belakang kajian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian yang terdiri dari jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik analisis data, kemudian sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisikan kaidah tafsir, meliputi awal mula munculnya kaidah

takra>r, pengertian takra>r, pembagian takra>r, kaidah takra>r, dan tujuan takra>r .

Bab tiga, berisikan biografi dan tafsir Fakhruddi>n al-Ra>zi>, yang meliputi

riwayat hidup, pendekatan metode dan corak tafsir karya-karya, kondisi sosio

politik, pendapat para ulama’ tentang tafsir, serta metode penyusunan tafsir Mafa>tih} al-Ghayb.

Bab empat, sebagai analisis berisikan penafsiran dan penerapan lafal

ha>dha> rabbi> perspektif kaidah takra>r yang meliputi penafsiran lafal ha>dha> rabbi> dalam surat al- an‟am ayat 76-78 menurut fakhruddi>n al-ra>zi> tentang pencarian

tuhan oleh ibrahim dan penerapan kaidah takra>r pada lafal ha>dha> rabbi> atas surat

(24)

Akhirnya, Bab lima menutup seluruh rangkaian pembahasan pada

bab-bab sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dan masukan untuk kajian

(25)

BAB II

KAIDAH TAFSIR

A. Awal Mula Munculnya Kaidah Takra>r

Pengulangan lafal, ayat atau kalimat adalah salah satu gaya bahasa yang

sering sekali dijumpai dalam al-Qur‟an. Pengulangan ini baik dilakukan dalam

keadaan mengingatkan tentang suatu fakta, dalam hal ini gaya bahasa

pengulangan al-Qur‟an seringkali memuat kisah-kisah para nabi dan umat

terdahulu, selain itu memiliki banyak makna yang tersirat dibalik yang tersurat.

Hal ini mendapat perhatian tersendiri dikalangan para ulama‟, mufassir dan

akademisi hingga ia mengkajinya. Untuk dapat mengungkap makna yang tersirat

itu maka diperlukanlah Ulum al-Qur‟an yang terkait dengan kebahasaan yaitu

teori takra>r.

Sejarah pengkajian “Takra>r” dalam al-Qur‟an bermula sejak beratus-ratus tahun silam. Musuh-musuh Islam memang tak akan pernah kenyang menyerang

Islam dari berbagai sisinya; termasuk dalam ke-balaghah-an al-Qur‟an. Mereka

akan selalu mencari berbagai cara untuk menghancurkan al-Qur‟an, atau paling

tidak bagaimana agar al-Quran terlihat cacat dan tidak sempurna.1

1Muhammad H{asan Makhlu>f, )ةيغابلا هرارسأو( مركلا نآرقلا ي راركتلا

(26)

Takra>r pun sempat menjadi lahan basah mereka dalam menyerang

al-Qur‟an, sekaligus oleh para ilmuan dijadikan bahan perdebatan. Mereka mengira

pembahasan dan kata-kata yang berulang dalam al-Qur‟an merupakan sebuah aib,

selain itu pula bertolak belakang dari realitas metode al-Qur‟an itu sendiri yang

dalam penjelasanya terkesan singkat dan padat dalam mendiskripsikan sesuatu.

Akibatnya mereka meragukan I’jaz Quran dan menilai sistematika

al-Quran iu kacau. Bahkan mereka juga berani meremehkan kadar ke-balaghah-an

al-Qur‟an. Serangan itu datang bertubi-tubi termasuk dari orang kafir bertopeng

Islam ketimuran; Orientalis, yang juga sangat getol menyerang al-Qur‟an.

Sementara orang menolak hakikat yang menyatakan bahwa redaksi ayat-ayat

al-Qur‟an sangat indah dan tepat.2

Serangan yang sangat intens itu menghidupkan semangat ilmuwan muslim. Mereka berlomba-lomba membela Kitab Suci mereka. Saat itu pula

mereka mulai meneliti ‘sirr’ (rahasia) di balik “takra>r” dalam al-Qur‟an. Dalam

penelitian itu bukan aib yang ada, justru mereka menemukan tingkat balaghah

yang sangat tinggi dalam “takra>r”. Bahwa setiap lafal yang terulang itu memiliki

hubungan erat dengan lafal sebelumnya. Ulama-ulama muslim berjuang keras

untuk menyerang balik tuduhan adanya „aib‟ dalam “takra>r”; diantaranya adalah

Imam Ibnu Qutaybah.3

2

Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, (Bandung: PT Mizan, 1997), 263.

3

Ibn Qutaibah al-Dinauri (213-276 H/828-889 M) Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad-Dinauri. Alim, ahli fiqih, ahli sastra,

ahli bahasa, luas pengetahuannya, beliau termasuk ulama‟ besar Islam abad ke-tiga

(27)

Ibnu Qutaybah adalah orang yang pertama kali menyajikan sebuah

pembahasan yang menolak dakwaan para musuh Islam tentang “takra>r”. Dalam

kitabnya Takwi>l Musyki>l al-Qur’an beliau menerangkan sebuah bab khusus

tentang permasalahan “takra>r”.4

Dalam Takwi>l Musyki>l al-Qur’an nya Ibnu Qutaybah menerangkan latar

belakang keadaan yang saat itu terjadi serta mengatakan, “Aku bela al-Qur‟an, aku sertakan pula hujjah-hujjah yang terang benderang, juga bukti yang kuat. Aku akan buka apa yang menjadi samar bagi sekalian manusia. Maka aku karang kitab

ini yang berisikan takwil-takwil dari kemusykilan dalam al-Qur‟an. Jadi, ini

adalah peperangan yang akan terus berlanjut, dan tak akan berujung. Antara dua

kelompok: Kelompok tipu daya penyerang al-Qur‟an dan kelompok pembela

al-Qur‟an.5

Kemudian sekitar tahun 350-an muncul pula Imam al-Khat}abi>.6 Beliau

mengarang kitab Baya>n al-I’ja>z al-Qur’an yang berisikan tiga risalah tentang I‟jaz

al-Qur‟an, diantaranya menjelaskan tentang asra>r dari adanya ”takra>r” dalam al

-Qur‟an.

dan Bashrah saat itu tinggal. Beliau memiliki banyak karangan terutama dalam bidang bahasa dan sastra, diantaranya: Adab al-Katib, as-Syi’ru was-Syu’ara’, Alatul Kitabah

dan lain-lain. Lihat H{asan Makhlu>f, “)ةيغابلا هرارسأو( مركلا نآرقلا ي راركتلا ..., 29. 4Ibid.,

29. 5

Ibn Qutaibah,Ta’wi>l Mushkil al-Qur’an, (Kairo: Da>r al-Tura>th,1994), 232. 6

Memiliki nama lengkap Hamid bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khat}t}hab al-Basit}i>y. Berkunyah Abu Sulaiman, beliau adalah ahli fiqih, dan muhaddis. Tinggal di Bastin (salah satu daerah di Kabil). Beliau termasuk keturunan Zaid bin Khatthab (saudara Umar bin Khatthab). Beliau lahir di tahun 319 H/931 M dan wafat pada 388 H/998 M. Memiliki banyak karangan, diantaranya: Ma’alim as-Sunan Sharh} Sunan Abi> Dawud dua jilid,

Baya>n al-I’ja>z al-Qur’an dan lain-lain. Lihat H{asan Makhlu>f, “ هرارسأو( مركلا نآرقلا ي راركتلا

(28)

Sejak saat itu semakin bermunculanlah ulama‟-ulama‟ yang mengupas

pembahasan “takra>r” dalam al-Qur‟an, seperti: Imam Baqila>ni>, Qa>d}i> Abd

al-Jabba>r (w.415 H), hingga Imam al-Suyu>t}i>.

B. Pengertian Takra>r

Term takra>r dibentuk dari kata asal yaitu kaf, ra’ dan ra’, merupakan

bentuk masdar yang berarti: mengulang atau mengembalikan sesuatu

berulangkali,7 atau pengulangan secara makna dan lafal, definisi ringkasnya

takra>r sendiri ialah dilalah lafal yang maknanya itu muraddidan (diulang-ulang).8

Dari tiga huruf asal ini bisa terbentuk beraneka lafal dari masdar yang sama yakni

takri>ran, takriratan, takra>ran, tikra>ran.9

Lebih lanjut al-H}asani> dalam kamus Taj

al-„Arus telah menjelaskan takra>r dengan ungkapan sebagai berikut;

َت َرَرَك

ٌلاَعْفِت َلاَقَ ف ؟ ٍلاَعْفِتَو ٍلاَعْفَ ت َنَب اَم :ورمَع َِِ ُتلُق :رهِرََلا نيِعَس وبأ لاَق ,ًارَارْكَت ًارهِرْك

.ٌرَنْصَم ِحْتَفلاِب ٌلاَعْفَ ت ,ٌمسا

10

Maksudnya adalah dia melakukan sesuatu berulang-ulang, proses

pengulangan. Abu> Sa’i>d al-d}arari> berkata: aku bertanya kepada Abu Amr:

apa perbedaan antara taf’a>l dan tif’a>l ? Abu> ‘Amr menjawab tif’a>l adalah

kata nama, manakala taf’a>l fonem ta‟ dibacakan dengan bunyi fathah

merupakan kata dasar.

Menurut Ibn Manz}u>r dalam kamus Lisa>n al-‘Arab, Takra>r yang

bermaksud mengulangi dibentuk di atas acuan kata yang sama dengan “

َدَدَر

” yang

7Abu> al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya>

, Maqa>yis al-Lughah, Juz. V (Bairu>t: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arabi>, 2002 ), 126.

8‘Abd al-‘Azi>z ‘Ati>q, Fi> Bala>ghah al-‘Arabiyyah ‘Ilmu Ma’a>ni> (Bairu>t: Da>r al- Nahd}ah

al- ‘Arabiyyah, 2009), 191.

9

Muhammad Ma’s}u>m bin ‘Ali>,al- Amthilah al-Tas}ri>fiyyah(Surabaya: Indonesia, tt), 12.

10

Sayyid Muhammad Murtad}a al-Hasaini> al-Zubandi>, Ta>j al-‘Aru>s min Jawa>hir al-

(29)

bermaksud memulangkan. Dari sudut sintaksis ia boleh dipakai untuk kata kerja

transitif dan intransitif.11 Sedangkan menurut Ibrahim Anis dalam kamus Mu’jam

al-Wasi>t}, yakni

َرْخُأ

َنَعب

ًةَرَم

ُهَداَعَأ

:

ًارَارْكَتَو

,

ًارهِرْكت

َءْيَشلا

َرَرك

Maksudnya

َءْيَشلا َرَرك

ًارَارْكَتَو ,ًارهِرْكت

yakni bermaksud mengulanginya sekali selepas sekali.12

Demikian menurut Mahmud Yunus dalam Kamus Bahasa Arab Melayu

pula menyatakan

ًارَارْكَت ًارهِرْكَت َرَرَك

bermaksud “mengulang-ulang sesuatu, berbuat

berulang-ulang”.13 Sementara Al- Zamakhshari> menjelaskan bahwa takra>r adalah

kata kerja yang diterbitkan atas acuan kata “

لاَعْفَ ت

” karena merujuk pada

kekerapan ataupun melampaui banyaknya pengulangan.14 Artinya, lafal takra>r

adalah sima’i (ucapan yang didengar dari ulama’ nahwu, bukan hasil tata bahasa

Arab) yang diadopsi/diambil dari kata “

َرَرَك

” yang berfaedah melipatgandakan

suatu perbuatan yang diulang.

Sedangkan al-Zarkashi> juga dalam kitabnya al-Burha>n fi> ‘Ulum al-Qur’an

telah mengemukakan perkara yang sama dengan sedikit penambahan yaitu kata

راَر

ْكَت

” adalah mengikat acuan kata yang bersifat Sima’i> bukannya sesuatu yang

11

Muhammad bin Mukrim bin Manz}u>r al-Ifriqi>, Lisa>n al-‘Arab, Jilid 2 (Beiru>t: Da>r S{a>dir, t.t), 453.

12

Ibrahim Anis, Abdul Halim (dkk), Kamus al-Mu’jam al-Wasi>t}, Cet. 2 (Kairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, 1972), 782.

13

Mahmud Yunus, Kamus Mahmud Yunus Arab-Melayu (KBC: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,2006), 340.

(30)

berdasarkan kepada Qiya>si >(sesuai dengan bentuk asalnya). Menurut beliau, kata

itu berasal dari kata kerja “

َرَرَك

” yang berada di atas acuan kata “

َلَعَ ف

” walaupun

bagaimanapun fonem ya’ telah tertukar kepada alif, lalu menjadikan takri>r bertukar pada takra>r.15

Dari beberapa uraian pendapat ulama sebenarnya lafal takri>r, tikra>r dan

takra>r tidak ada perbedaan kecuali dalam penguapan lafal saja. karena ketiganya

memiliki maksud dan tujuan yang sama, yakni menyampaikan pesan secara lebih

berkesan dengan diulang berkali-kali. Namun penulis lebih memilih kata takra>r,

dengan dibaca fathah huruf ta‟ dan ra‟nya, karena takra>r adalah masdar yang

berarti asal kata “

َرَرَك

” atau istilahnya musytaqnya “

َرَرَك

” Dan secara tidak

langsung pendapat ini selaras dengan pendapat al-Zarkashi, bahwasanya fonem

ya’ telah tertukar dengan alif. Sementara tikra>r itu masuk pada isim yang berarti hanya lafal yang menunjukkan pengulangan.

Sedangkan secara terminologi takra>r ialah menghadirkan lafal

(kata/kalimat) yang kemudian diulang kembali sesuai dengan kehendak kata/lafal tersebut, baik lafal tersebut sesuai dengan maksudnya maupun tidak, dan atau

menghadirkan maknanya saja lalu mengulanginya kembali.16

Dari beberapa uraian tentang penjelasan takra>r di atas maka dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-takra>r fi> al-Qur’an adalah

15Ima>m Badruddin Muh}ammad bin ‘Abdullah al-Zarkashi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al

-Qur’an,Jilid 3 (Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1988), 12.

(31)

pengulangan kalimat atau ayat yang beredaksi mirip terulang dua kali atau lebih

dalam al-Qur‟an, baik itu terjadi pada lafalnya ataupun maknanya dengan tujuan

dan alasan tertentu.

C. Jenis-jenis Takra>r

Pada kajian ini akan membahas macam-macam Takra>r. Ima>m al-Khat}abi>

membagi takra>r pada dua jenis:

1. Takra>r al-Madhmu>m (pengulangan tercela), yaitu pengulangan “kata” yang

tidak memberikan faidah. Pengulangan “kata/ayat” semacam ini sia-sia

belaka, sementara di dalam al-Quran sedikitpun tidak mengandung “kata

-kata” demikian.

2. Takra>r al-Mamdu>h} (pengulangan terpuji), sesuatu yang tidak mungkin

dihindari, dan itu mustahil adanya, justru mengabaikan takra>r seperti ini akan

berdampak pada “persamaan” dengan pembuangan “kata”, oleh karenanya

takra>r jenis ini sangat diperlukan.17

Penulis akan meringkas jenis-jenis takra>r, dengan merujuk pada kitab

al-Qa>dhi ‘Abd al-Jabba>r, beliau menyimpulkan:

1. Pengulangan lafal sekaligus maknanya.

2. Pengulangan makna saja, bukan pada lafalnya, Jenis ini oleh Abd al-Jabba>r

disebutkan bervariatif.18

17H{asan Makhlu>f, )ةيغابلا هرارسأو( مركلا نآرقلا ي راركتلا

..., 65.

(32)

Maksud pengulangan lafal sekaligus maknanya adalah pengulangan

redaksi ayat di dalam al-Qur‟an baik terjadi pada huruf, kata atau kalimat serta

pengulangan makna yang terkandung dalam ayat tersebut.

Sedangkan yang dimaksud pengulangan makna saja, bukan pada lafalnya

adalah pengulangan redaksi ayat di dalam al-Qur‟an yang pengulangannya lebih

dititik beratkan kepada makna atau maksud dan tujuan pengulangan tersebut. Pengulangan makna ini biasanya memuat tentang kisah-kisah atau khabar-khabar.

Demikian pembagian yang telah disebutkan oleh al-Qa>dhi ‘Abd al-Jabba>r

ini sama persis dengan pembagian menurut Ibn al-Athi>r.

Ibn al-Jauzi> melalui karya-karyanya, ketika menilai jenis takra>r yang

pertama, ia melihat “perbedaan” yang tampak pada pengulangan ini.

1. Ketika dalam satu posisi ada kesesuaian, namun dalam posisi (ayat) lainnya,

terjadi sebaliknya. Jenis inilah akan menunjukkan pada kelemahan (ketidak sesuaian) pada ayat yang pertama, kasus seperti ini banyak ditemukan dalam

al-Qur‟an, sebagai bukti firman Allah;

19

ٌةَطِح اوُلوُقَو اًنَجُس َباَبْلا او ُلُخْداَو

Dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan Katakanlah: Bebaskanlah Kami dari dosa.

20

اًنَجُس َباَبْلا اوُلُخْداَو ٌةَطِح اوُلوُقَو

Dan katakanlah bebaskanlah Kami dari dosa Kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk.

19al-Qur’a>n, 2:58.

(33)

2. Mengalami tambahan dan pengurangan, contoh ayat dengan pengurangan,

seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah “

مِهْيَلَع ٌءاَوَس

”tanpa wawu.

Sedangkan contoh dalam surat Yasin “

مِهْيَلَع ٌءاَوَس َو

”. Ima>m al-Zarkashi>

memberi alasan bahwa kalimat yang terdapat dalam surat al-Baqarah

menjadi jumlah, yakni menjadi khabar dari isimnya Inna, sedangkan

dalam surat Yasin adalah menjadi jumlah yang menggunakan perantara

huruf “wawu”, yang disandarkan pada jumlah lainnya.21

3. Salah satu “lafal” ada yang diletakkan di awal dan ada pula diakhirkan (penulis; diacak bolak-balik), yaitu dekat dari awal seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah:

22

ْمِهييكَزُ ه َو َةَمْكِْْاَو َباَتِكْلا ُمُهُميلَعُ هَو َكِتاَهآ ْمِهْيَلَع وُلْ تَ ه

Yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka.

Dalam surat al-Jum‟ah:

23

َةَمْكِْْاَو َباَتِك ْلا ُمُهُم يلَعُ هَو ْمِهييكَزُ هَو ِهِتاَهآ ْمِهْيَلَع وُلْ تَ ه

Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan Hikmah (as Sunnah).

4. Lafalnya ada yang diberlakukan ma’rifat (spesifik) dan nakirah (general):

seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah:

21H{asan d}iya’uddin ‘Amr, Fuyu>n al-Afna>n fi> ‘Uyu>n ‘Ulum al-Qur’an Ibn al-Jauzi (Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>miyah, 1987), 198.

(34)

24

ّقَْْا َِْْغِب َنييِبَلا َنوُلُ تْقَ هَو

Dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Dalam surat Ali Imran tanpa Alif dan Lam, seperti firman Allah:

25

قَح َِْْغِب َنييِبَلا َن وُلُ تْقَ هَو

Dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar).

5. Lafalnya diberlakukan jamak (plural) dan mufrad (tunggal/singular):

seperti firman Allah swt dalam surat al-Baqarah:

26

ًةَدوُنْعَم اًماَهَأ ََِإ ُراَلا اََسَََ ْنَل اوُلاَقَو

Dan mereka berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali

beberapa hari saja”.

Sebagai bentuk jamaknya, firman Allah dalam surat al-Imran

27

ٍتاَدو ُنْعَم اًماَهَأ ََِإ ُراَلا اََسَََ ْنَل اوُلاَق

Mereka berkata, “Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali

beberapa hari saja”.

6. Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain: seperti firman Allah:

28

ا ُك َو َةََْْا َكُجْوَزَو َتْنَأ ْنُكْسا

Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga.

Dalam surat al-A‟raf, seperti firman Allah:

29

َاُك َف َةََْْا َكُجْوَزَو َتْنَأ ْنُكْسا

Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga.

24al-Qur’a>n, 2:61.

(35)

7. Mengganti susunan kata (kalimat) dengan kalimat yang lain, seperti firman Allah:

30

َنَءاَبآ ِهْيَلَع اَْ يَفْلَأ اَم ُعِبَتَ ن ْلَب

Tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.

Dalam surat Lukman, firman Allah swt:

31

ا َنَءاَبآ ِهْيَلَع اَنْنَجَو اَم ُعِبَتَ ن ْلَب

Tapi Kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.

8. Idgham (memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain), dan atau tidak meng-idghamkan, seperti firman Allah swt:

32

ََ نوُع َرَََتَ ه ْمُهَلَعَل

Agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.

Dan firman Allah dalam surat al-A‟raf

33

َنوُع َرَََه ْمُهَلَعَل

Agar mereka (tunduk dengan) merendahkan diri.

Ibn al-Jauzi> melalui karya ilmiahnya, ia memandang ayat tersebut, ibarat

(ungkapan) atau lafal yang di dalamnya sering diulang-ulang. Lazimnya

“lafal”nya diulang sekali, namun pada akhirnya bahkan diulang “seratus” kali.34

30al-Qur’a>n, 2:170.

31al-Qur’a>n, 31:21. 32al-Qur’a>n, 6:42. 33al-Qur’a>n, 7:94.

(36)

Selain pendapat tokoh di atas, Ima>m ibn Nuqaib sendiri membagi takra>r pada tiga bagian:

1. Baik lafal dan maknanya yang diulang-ulang selalu “sama/tunggal”, seperti

firman Allah:

َرَنَق َفْيَك َلِتُقَ ف

-

َُث

َرَنَق َفْيَك َلِتُق

35

Maka celakalah dia! bagaimana Dia menetapkan?, kemudian celakalah dia! Bagaimanakah Dia menetapkan?.

Dan jenis pembagian macam ini mudah dijumpai dalam kitab suci al-Quran, dan syair-syair Arab.

2. Baik lafal dan maknanya yang diulang-ulang selalu “beda”. diantaranya

firman Allah swt:

اَبْلا َلِطْبُ هَو َقَْْا َقِحُيِل , َنهِرِفاَكْلا َرِباَد َعَطْقَ هَو ِهِتاَمِلَكِب َقَْْا َقُِ ْنَأ ُهَللا ُنهِرُهَو

َلِط

36

Dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,

Maksud firman Allah “

َقَْْا َقُِ

” yang pertama berarti “menjelaskan

kehendak-Nya”, sementara dengan “

َقَْْا َقُِ

” yang kedua adalah untuk

memusnahkan orang kafir dan menolong orang yang beriman. Selain contoh

ini, masih banyak ditemukan dalam al-Qur‟an.

35al-Qur’a>n, 74:20.

(37)

3. Maknanya diulang-ulang, bukan lafalnya. Baik kedua maknanya berbeda, maupun tidak ada perbedaan. Baik salah satunya bersifat umum. Sebagaimana contoh: seperti firman Allah :

ِرَكُْمْلا ِنَع َنْوَهْ َ هَو ِفوُرْعَمْلاِب َنوُرُمْأَهَو ََِْْْا ََِإ َنوُعْنَه ٌةَمُأ ْمُكِْم ْنُكَتْلَو

37

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah

dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Ima>m al-Zarkashi> mengenai pembagian takra>r seperti ini, adalah menurut Ijtihad beliau sendiri, hingga ia sebutkan dalam karangannya secara

tertib dan merinci.38 Namun ada sebagian pendapat, bahwa Ima>m al-Zarkashi

menyetir ijtihadnya Ima>m al-Sayu>t}i>, hingga mempunyai pengaruh pada Ibn

al-Nuqaib.39

D. Kaidah Takra>r

1. Kaidah pertama:

َق ْن

َه ِر

ُد

يتلا

ْك َر

ُرا

ِل َ ت َع

ن

ِد

َ تما

َع َل

ُق

40

Takra>r terkadang perlu untuk diulang-ulang, karena variannya

muta’allaq (sesuatu yang menjadi kesinambungan pada lafal

sebelumnya).

Sebagian ayat atau jumlah yang diulang-ulang dalam sebagian surat yang berbeda-beda letaknya, itu ada sebagian ayat yang perlu untuk

37al-Qur’a>n, 3:104.

38Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah bin Baha>dir al-Zarkashy, al-Burha>n fi> ‘Ulum al

-Qur’an , ed. Muhammad Abu al-Fad}l Ibra>him (t.k.: ‘Isa> al-Ba>bi> al- H{alabi>, 1957), 133.

39‘Abd ar-Rah}man bin Kama>l Jalal al-Di>n al-Suyut}iy, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an(Kairo: Da>r al-Tura>th, 1985), 312.

40Kha>lid Ibn ‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r Jam’an wa Dira>satan (t.k.: Da>r Ibn

(38)

didahulukan, hingga menimbulkan kerumitan yang diduga oleh para pakar ulama bahwa jumlah atau ayat yang diulang-ulang mempunyai kesamaan baik dalam segi madlul dan atau tempat kembalinya dari ayat sebelumnya. Pendapat ini tidak dapat dibenarkan. Semua ayat atau jumlah dari beberapa ayat terdapat hubungan (korelasi) pada ayat sebelumnya.

Seperti firman Allah swt:

ِناَبيذَكُت اَمُكيبَر ِء ََآ ييَأِبَف

41, setiap satu ayat

mempunyai korelasi dengan ayat sebelumnya. Allah berdialog dengan makhluknya, dari golongan manusia maupun jin, Dia mengulang-ngulang kenikmatan yang ia ciptakan (berikan) kepada kedua golongan tersebut, di saat Allah menyebut ayat yang terpisah tentang kenikmatan, maka Ia memberi pemantapan diri, agar mereka mau bersyukur dan mengingat nikmat-nikmat-Nya yang tiada tara. Tampak jelas bahwa pengulangan ayat ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah berikan kepada hambanya, jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka setiap pengulangan ayat yang dimaksud, berkaitan erat dengan satu jenis nikmat

yang lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kaidah takra>r.42

Contoh lain dalam surat al-Mursalat:

َنِب

يذَكُمْلِل ٍذِئَمْوَ ه ٌلْهَو

ayat itu

disebut berulang-ulang dalam ayat 19 dan 24, sebanyak 10 kali. Di situ Allah swt menuturkan berbagai kisah, dan setiap kisah selalu dikaitkan dengan ayat tersebut yang menunjukkan bahwa celaan itu dimaksudkan kepada

41al-Qur’a>n, 55:13, 16, 18,...

(39)

orang yang berkaitan dengan kisah sebelumnya. Jadi, Seolah-olah Allah berfirman

ْةَصِقْلا ِهِذَِِ َنِبيذَكُمْلِل ٍذِئَمْوَ ه ٌلْهَو

”, padahal setiap kisah selalu berbeda

pemeran atau aktornya, dan Allah akan menetapkan ancaman pula bagi yang

berbohong. 43

Allah berfirman dalam surat al-Syu‟ara‟ “

ْمُُرَ ثْكَأ َناَك اَمَو ًةَه َْ َكِلَذ ِي َنِإ

َنِِمْؤُم

” ayat tersebut diulang-ulang sebanyak 8 kali, seringkali ayat tersebut

disebut, mengindikasikan salah satu dari ayat tersebut menyebut kisah para

nabi, dan ayat di atas mengandung—selain kisah nabi—beberapa tanda

kekuasaan Allah dan banyak siraman rohani.44

2. Kaidah kedua

هّللا ِبَاتِك ِي ْعَقَ ه َْل

اَجَتُم َْنَ ب ًاراَركت

ِنْهَرِو

45

Di dalam al-Qur’an (kitab Allah) tidak akan terjadi pengulangan di antara ayat yang berdekatan.

Maksud dari kata “

ِنْهَرِواَجَتُم

” dalam kaidah ini adalah pengulangan ayat

dengan lafal yang sama tanpa pemisah (fashil) diantara keduanya.

Sebagaimana firman Allah dalam surat al- Fatihah ayat 3

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

”.

Ibn Jarir berkomentar: dalam pembahasan ini (kita) tidak perlu

menguraikan sisi takra>r (pengulangan) lafadz tersebut, karena (kami) menilai

43

Ibid., 702-703.

44‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r ..., 703. 45

(40)

bahwa,

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

هلّلا ٍمْسِب

” adalah bukan ayat, yang perlu kita

perbincangkan di sini adalah “apa sisi tikrar (pengulangan) pada lafadz

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

dalam surat al-Fatihah?, pada hal Allah swt sudah menyebut

dalam kalimat

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

هلّلا ٍمْسِب

yang posisi salah satu dari dua ayat

saling bersandingan?” bahkan, dinilai kurang tepat pengakuan seseorang

dengan menyatakan,

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

هلّلا ٍمْسِب

adalah bagian ayat dari surat

al-fatihah. Karena kalau ayat tadi diduga sebagai pengulangan yang mempunyai satu makna dengan memakai satu kata tanpa pemisah diantara kedua ayat tersebut. Dan tidak pernah ditemukan dalam al-Quran terdapat dua ayat yang bersamaan diulang-ulang dengan satu lafadz dan satu makna tanpa ada pemisah di antara keduanya yang maknanya bertentangan. Mengulang ayat sebab kesempurnaanya dalam satu surat, yang disertai pemisah diantara kedua ayat tersebut terdapat firman Allah yang dijelaskan tanpa pengulangan kata dan maknanya, tiada pemisah antara firman Allah

ِميِحَرلا

ِنََْْرلا

dari

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

هلّلا ٍمْسِب

dan,

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

dari “

َْنِمَلاَعْلا يبَر ِهّل

ِل ُنْمََْْا

.

Sebagian pendapat, ayat

َْنِمَلاَعْلا يبَر ِهّلِل ُنْمََْْا

adalah pemisah dari

ayat sebelum dan sesudahnya. Sebagian kacamata ulama‟ lainnya

(41)

berkata: redaksi tersebut dengan disebut terakhir, tapi maknanya didahulukan, dengan bunyi

ِميِحَرلا ِنََْْرلا

ِهّلِل ُنْمََْْا

dan (ahli ta‟wil) menilai keshahihannya

apa yang mereka anggap benar, melalui bunyi ayat

ِنهينلا ِمْوَ ه ِكِلاَم

”, mereka

berkata, bahwa bunyi

ِنهينلا ِمْوَ ه ِكِلاَم

adalah bentuk pengajaran dari Allah

kepada hamba-Nya, atau Ia juga memiliki kerajaan/kekuasaan, sebagai

terdapat dalam qira‟ah (dibaca; ma>liki), dan juga dapat dibaca milki adalah

qira‟ah dari ulama yang membaca ma>liki”,mereka berkata, “demi dzat yang

maha sempurna, yang mempunyai kerajaan atau kepemilikan. bunyi ayat

يبَر

َنِمَلاَعْلا

”, adalah dzat yang terbaik dari kekuasaannya dari segala jenis

ciptaan-Nya, karena bersanding dengan keagungan serta keilahian sebagai bentuk pujian sepenuhnya kepada Ilahi Rabbi, yakni sifat rahman rahim-Nya.

Mereka menduga bahwa petunjuk al-rahma>n al-rahi>m maknanya

didahulukan mengakhirkan

َنِمَلاَعْلا يبَر

”, meskipun tampak redaksinya

diakhirkan. Lebih lanjut ia berkata: menilai ayat tersebut terletak di bagian pangkal, tetapi pada hakikatnya terletak dipenghujung (terakhir). Sementara makna yang terakhir itu terletak di pangkal ayat. Hal ini banyak ditemukan

dalam kalam Arab (syi‟ir), banyak sekali hitungannya, demikian kata Ibn

(42)

Sebagaimana Allah berfirman dalam kitab-Nya “

ىَلَع َلَزْ نَأ يِذَلا ِهَلِل ُنْمَْْا

اًجَوِع ُهَل ْلَعَْ َْلَو َباَتِكْلا ِهِنْبَع

-اًمييَ ق

46

bermakna,

ِهِنْبَع ىَلَع َلَزْ نَأ يِذَلا ِهَلِل ُنْمَْْا

اًجَوِع ُهَل ْلَعَْ َْلَو اًمييَ ق َباَتِكْلا

ini adalah dalil sebagai sanggahan bagi orang yang

tidak setuju dengan bunyi ayat

ِميِحَرلا ِنََْْرلا ِهَللا ِمْسِب

”.

3. Kaidah ketiga

ََا َْنَ ب ُفِلَاُ َ

نعَمْلا ِفَاِتْخَِ َّإ ظاَفْل

47

Tidak ada perbedaan lafal kecuali karena adanya perbedaan makna.

Allah berifiman: dalam surat al-Kafirun: 1-6.

َنوُرِفاَكْلا اَه هَأاَه ْلُق

( 1 )

َنوُنُبْعَ ت اَم ُنُبْعَأ ََ

( 2 )

ُنُبْعَأ اَم َنوُنِباَع ْمُتْ نَأ َََو

( 3 )

ٌنِباَع اَنَأ َََو

ُْتْنَبَع اَم

( 4 )

ُنُبْعَأ اَم َنوُنِباَع ْمُتْ نَأ َََو

( 5 )

ِنهِد ََِِو ْمُكُهِد ْمُكَل

( 7 )

Jika menelaah firman-Nya yang berbunyi

َنوُنُبْعَ ت اَم ُنُبْعَأ ََ

dengan

ُْتْنَبَع اَم ٌنِباَع اَنَأ َََو

Mempunyai perbedaan lafaL, tetapi tidak ada perbedaan

kecuali dalam maknanya saja.

Lafal “

َنوُنُبْعَ ت اَم ُنُبْعَأ ََ

” menggunakan bentuk mudhori’ yang

mengandung maksud bahwa Nabi Muhammad tidaklah menyembah berhala

pada waktu itu dan waktu yang akan datang. Sedangkan lafal “

اَم ٌنِباَع اَنَأ َََو

46al-Qur’a>n, 18:

1.

47‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r

(43)

ْنَبَع

ُْت

” menggunakan bentuk madhi mengandung maksud penegasan fi’il pada

masa lalu/lampau. Imam al-Zarkasy menjelaskan seperti demikian pula,

karena jika menggunakan fiil mudhori‟ maka menunjukkan sesuatu yang

berkelanjutan.48 Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebelum datangnya

islam kaum musyrikin menganut paham Pholiteisme (menyembah banyak

tuhan).49 Oleh karena itu, kedua redaksi ini menjelaskan sikap tegas Nabi saw

dalam menghadapi kaum musyrikin Mekkah, bahwa Nabi saw tidak menyembah apa yang mereka sembah (berhala), termasuk berhala yang telah

lebih dulu mereka sembah.50

4. Kaidah keempat

َعلا َ

ر

ُب

َت

ْك َر

ُرا

َشلا

ْي َء

ِي

ا

ِِ

ْس ِت

ْف َه

ِما

ِإ

ْس ِت

ْ ب َع

َل اًدا

ه

51

Mengulang-ngulang sesuatu dengan meminta penjelasan (istifham) adalah kebiasaan (tradisi) orang arab, karena hal itu dinilai jauh dari pemahaman oleh-nya, (supaya lebih paham) lagi.

Tradisi dari kalangan Arab ketika menganggap mustahil terjadinya sesuatu, maka mereka mengulang-ngulang dengan bentuk pertanyan (istifham), yakni tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung. Seperti

contoh anak kecil yang mustahil untuk pergi berjihad, dengan ungkapan “

َتْنَأ

؟ْنِاَُُ

/

apakah kamu (akan) berjihad?, dengan diulang-ulang kalam

48al-Zarkashi>, al-Burha>n..., 25. 49

Ibid., 705. 50

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: PUSTAKA BELAJAR, 2002), 87.

51‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r

(44)

nya, dengan “

؟ْنِاَُُ َتْنَأَأ

/

Apakah anda berjihad diri ?.52 Contoh pengulangan

dengan bentuk istifham ini menunjukkan mustahil terjadinya fi’il dan fa’il.

Penerapannya:

Sebagaimana firman Allah

53

َنوُجَرُْ ْمُكَنَأ اًماَظِعَو اًباَرُ ت ْمُتُْكَو ْم تِم اَذِإ ْمُكَنَأ ْمُكُنِعَهَأ

Apakah ia menjajikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?

Kalimat awal “

ْمُكَنَأ ْمُكُنِعَهَأ

” kemudian diikuti kalimat akhir “

ْمُكَنَأ

َنوُجَرُْ

” ini mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian. Jadi

maksud dari ayat ini adalah jawaban dari pengingkaran orang-orang kafir terhadap adanya hari akhir.

5. Kaidah kelima

َتلا

ْك َر

ُرا

َه ُن

ل

َع َل

ِِا ى

ْع ِت َ

ِءا

54

Pengulangan kata menunjukkan bentuk perhatian atas hal tersebut

Tiada diragukan kembali dengan pengulangan kalimat, akan

menimbulkan pada makna baru, sebagai bentuk “perhatiannya”, sebagai dasar

penguatan. Sebagaimana pengulangan sifat-sifat Allah menunjukkan atas

52

Ibid., 709. 53al-Qur’a>n, 23:35.

54‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r

(45)

perhatiannya dengan mengenal-Nya, pengulangan sejarah/kisah menunjukkan atas perhatian dengan pitutur, demikian pula pada ancaman dan janji Allah.

Penerapan ayat:

Sebagaimana firman Allah swt.

ْرِباَقَمْلا ُُتْرُز َََح

-

ْرُ ثاّكَتْلا ُمُكاَْلَا

" ayat 1-2

Artinya, bermegah-megahan dengan harta dan anak, kemudian mereka

mencegah dari bermegah-megahan, dengan mengucapkan “

َاَك

”, lantas Allah

mengancam mereka dengan lanjutan firman-Nya

َنْوُمَلْعَ ت َفْوَس

”, kemudian Ia

mengukuhkan dengan cegahan pertama dengan menggunakan kata cegahan

kedua

َاَك

”, hingga Allah mencegah dengan firmannya

َنْوُمَلْعَ ت َفْوَس

”,

kemudian mencegah dengan kata

َاَك

yang ketiga, kemudian Allah

mencegah mereka ketiga kalinya karena perhatiannya, serta

menakut-nakutinya dengan kedua kalinya.55

6. Kaidah keenam

ِفِرْعَما ِف َاِِِ ُد نَعَ تلا ىَلَع ْتَلَد ْتَرَرَكَت اَذِإ ُةَرِكَلا

56

Isim nakirah (bentuk umum) ketika diulang-ulang maka menunjukkan

banyaknya, berbeda dengan isim ma’rifat.

Ketika disebutkan kalimat isim dua kali, maka mempunyai 4 tingkah:

(1) keduanya kejadian dari isim ma’rifat, (2) keduanya kejadian dari isim

55‘Uthma>n al- Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r

, 711. 56Ibid.,

(46)

nakirah (3) yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifat , dan (4) pertama ma’rifat dan kedua nakirah.

Penerapan ayat:

a. Ma‟rifat kedua. Allah berifrman dalam surat al-Fatihah

َطاَريصلا اَنِنْا

َميِقَتْسُمْلا

”, ayat 6-7. Term

َطاَريصلا

adalah isim ma‟rifat yang

kemasukan Alif dan Lam, sedangkan kalimat

َتْمَعْ نَأ َنهِذَلا َطاَرِص

ْمِهْيَلَع

” juga isim ma‟rifat, karena

َطاَريصلا

menjadi (mawsuf/yang

disifati).

b. Nakirah keduanya. Sebagaimana bunyi ayat

ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذَلا ُهَللا

ًةَبْيَشَو اًفْعَض ٍةَوُ ق ِنْعَ ب ْنِم َلَعَج َُث ًةَوُ ق ٍفْعَض ِنْعَ ب ْنِم َلَعَج َُث ٍفْعَض

”, al-Rum:

45. Yang dimaksud dengan kata

ٍفْعَض

yang pertama adalah air

mani/debu, sedangkan yang kedua, berarti lemahnya janin,

sedangkan term

ٍفْعَض

yang ketiga berarti orang yang sudah tua.

c. Yang pertama Isim Nakirah, sementara yang kedua isim Ma‟rifat.

Sebagaimana bunyi

ٌبَكْوَك اَهَ نَأَك ُةَجاَج زلا ٍةَجاَجُز ِي ُحاَبْصِمْلا ٌحاَبْصِم اَهيِف

”,
(47)

pertama berbunyi

ٌحاَبْصِم

”, berupa isim nakirah, sedangkan

ُحاَبْصِمْلَا

berupa isim ma‟rifat, dengan ditandahi “al ma’rifat”,

demikian juga dengan lafadz

ُةَجاَج زلَا

”.

d. Yang pertama berupa isim ma‟rifat (لا), sedangkan lafadz yang

kedua berupa isim nakirah (tanpa لا). Mengenai pembagian ini,

penulis akan menjelaskan dengan wujudnya “qarinah”atau “tanda”.

Seperti contoh dalam al-Ru>m: 55.

اَم َنوُمِرْجُمْلا ُمِسْقُ ه ُةَعاَسلا ُموُقَ ت َمْوَ هَو

ٍةَعاَس َرْ يَغ اوُثِبَل

”, kata “

ةّعاَسلَا

” yang pertama berarti “hari akhir”,

sedangkan yang kedua berarti, “masa yang terbatas”. Demikian juga

dalam surat Gha>fir: 53-54.

َليِئاَرْسِإ ِنَب اَْ ثَرْوَأَو ىَنُْلا ىَسوُم اَْ يَ تآ ْنَقَلَو

ىَرْكِذَو ىًنُ * َباَتِكْلا

”, term “al-huda>” yang pertama berarti “semua

apa yang diberikan kepada musa, baik itu agama, mu‟jizat, maupun

syariat agama, sementara term “huda>” yang kedua berarti, nabi yang

memberi petunjuk, penjelas kebenaran. Kata yang ditunjuk kedua ini, qarinah-nya kembali pada ladfal ila al-kita>b”.

7. Kaidah ketujuh

ىَلَع َلَد ًاظْفَل َءاَزَْْا َو َطْرَشلا َذَََِا اَذِإ

ْةَماَخَفْلا

57

57Uthma>n al- Sabt,

Referensi

Dokumen terkait

4.3 Hasil Implementasi Metode Pembuatan simulasi manusia ketika berjalan yang telah diimplementasikan dengan metode forward kinematics dan inverse kinematics sebelumnya akan

Peta kesesuaian lahan tersebut dengan skala 1 : 50.000 didasarkan pada data hasil evaluasi lahan untuk berbagai komoditas pertanian, baik berupa data tabular

Jakarta ACC wajib mentransfer data penerbangan ke adjacent ATS unit terkait sesuai dengan LOA sesegera mungkin apabila flying time ke TCP kurang dari 30 (tiga puluh)

Pada gedung pertunjukan kebisingan dari luar bangunan menjadi faktor yang perlu diperhatikan sehingga nantinga bangunan Gedung pertunjukan berada pada bagian tengah bangunan

1) Memahami pengertian lembaga dan perbedaannya dengan organisasi. 2) Memahami pelbagai teori klasik dan kontemporer mengenai lembaga dan analisis kelembagaan. 3) Memahami

Selain dengan dialog-demokratis, hal yang harus dilakukan dalam pelaksanaan nilai-nilai tersebut untuk membina kepribadian anak dapat dilakukan melalui metode

Perkongsian maklumat sensitif seperti maklumat kutipan dan agihan zakat yang diamalkan oleh institusi zakat adalah baik kerana berupaya untuk mengelakkan persepsi

Penelitian ini akan mengembangkan perangkat pembelajaran SETS, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih dibandingkan dengan pembelajaran yang menerapkan