• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tuberkulosis 2.1.1 Definisi

Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh Micobacterium Tuberculosis, yang hampir dapat menyerang seluruh organ tubuh, tapi yang paling banyak adalah pada paru-paru yang ditandai dengan infiltrasi pulmoner, pembentukan granuloma disertai caseation (proses pengeringan dan pembentukan substansi mirip kasein), fibrosis, dan kavitasi. Setelah terpapar Micobacterium Tuberculosis, sekitar 5% pasien yang terinfeksi akan menderita TB dalam waktu 1 tahun, sedangkan pada sisanya, mikroorganisme menyebabkan infeksi laten (Padila, 2017).

Sistem imun penderita biasanya mengontrol basilus tuberkel dengan membunuhnya atau menutupinya dengan nodula kecil (tuberkel), basilus bisa dorman (berhenti berkembang) selama bertahun-tahun, kemudian aktif kembali dan menyebar. Insidennya paling tinggi pada orang yang tinggal dengan kepadatan penduduk tinggi, berventilasi buruk, dan tidak bersih. Orang yang beresiko lebih tinggi mengalami perkembangan penyakit atau pengaktifan penyakit dorman meliputi bayi, lansia, dan orang yang mengalami gangguan imun misalnya penderita acquired immunodeficiensy syndrome (AIDS), orang yang menjalani kemoterapi, atau resipien transplan yang diberi medikasi antirejeksi (Paramita, 2011).

(2)

2.1.2 Etiologi

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang dan tahan asam dengan panjang 2 - 4 μm dan lebar 0,2 - 0,5 μm. Selain itu terdapat kuman lain yang memberi infeksi yang sama yaitu mycrobacterium bovis, mycrobacterium kansasii, mycrobacterium intracellutare. Mycrobacterium tuberculosis merupakan oragnisme tahan asam (acid fast), yang berbentuk batang lurus atau agak melengkung dengan ujung membulat, tidak bergerak, tidak membentuk kapsul dan tidak membentuk spora. Mycrobacterium tuberculosis bersifat aerob obligat, karena itu pada penderita TB Paru bakteri ini selalu ditemukan di daerah lobus atau paru yang banyak udaranya (Paramita, 2011).

2.1.3 Patofisiologi

Kuman TB dapat menyerang semua bagian dan organ tubuh, tetapi tempat yang paling sering ditemukan adalah paru, nodus limfa, laring, pleura, ginjal, spina, tulang dan otak. TB ekstrapulmonal sering terjadi pada penderita HIV atau orang dengan immunosupresi dan anak kecil. Pada TB milier basil tuberculosis disebarkan ke seluruh bagian tubuh melalui aliran darah (Soedarto, 2017).

(3)

Pathway Tuberculosis

Gambar 2.1 Pathway Tuberkulosis

Kuman dibatukan/bersin (droplet nude inidinborne) Terisap organ sehat

Menetap/berkembang biak sitoplasma makroflag Membentuk sarang TB pneumonia kecil (sarang

primer/efek primer

Radang saluran pernafasan (limfangitis regional) Komplek Primer

Sembuh Sembuh dengan

bekas

Komplikasi TB sekunder Infeksi endogen

TB DWS (TB Post Primer) Sarang pneumonia kecil

Tuberkel

Resorpsi Meluas Meluas sembuh

Perkapuran Jaringan keju

Sembuh Meluas

Sarang pneumonia baru

Kavitas

Memadat/

bekas

Bersih

Tuberkuloma

(Padila, 2017)

(4)

2.1.4 Klasifikasi

Menurut American Thoracic Society (1974 dalam Padila 2017) klasidikasi TB antara lain : a. Kategori 0 : tidak terpapar atau terinfeksi, riwayat kontak negatif

b. Kategori I : terpapar TB tetapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat atau kontak negatif, tes tuberculin negatif

c. Kategori II : terinfeksi TB tetapi tidak sakit, tes tuberculin positif, radiologi dan sputum negatif

d. Kategori III : terinfeksi dan sputum terbukti positif/sakit

2.1.5 Proses Penularan

Sumber penularan utama adalah pasien TB BTA positif sendiri. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ketika penderita TB Paru aktif (BTA positif dan foto rontgen positif) batuk, bersin, berteriak atau bernyanyi, bakteri akan terbawa keluar dari paru- paru menuju udara. Bakteri ini akan berada di dalam gelembung cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat oleh mata karena memiliki diameter sebesar 1 - 5 µm. Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei. Droplet nuclei akan melewati mulut/saluran hidung, saluran pernafasan atas, bronkus kemudian menuju alveolus.

Setelah tubercle bacillus sampai di jaringan paru-paru, mereka akan mulai memperbanyak diri, lambat laun, mereka akan menyebar ke kelenjar limfe. Proses ini disebut sebagai primary TB infection. Ketika seseorang dikatakan penderita primary TB

(5)

infection, tubercle bacillus berada di tubuh orang tersebut. Seseorang dengan primary TB infection. Walaupun TB biasanya tidak ditularkan saat kontak singkat, namun siapa saja yang berbagi udara dengan penderita TB Paru pada tahap infeksius maka dia berisiko tinggi tertular(Kuswandi, Yasin, Kusumaningtyas, & Irianti, 2016).

Terdapat empat faktor penentu dalam penyebaran Mycobacterium Tuberculosis, yaitu :

a. Daya tahan tubuh seseorang rendah

b. Infectiousness (tingkat penularan) : tingkat penularan penderita TB Paru berhubungan langsung dengan jumlah tubercle bacillus yang dikeluarkan oleh penderita ke udara. Penderita dengan banyak tubercle bacillus bersifat lebih menular dibandingkan penderita dengan sedikit pengeluaran bacilli atau tanpa bacilli.

Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka semakin dapat menyebabkan penularan. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Karakteristik berikut akan mempengaruhi tingkat penularan :

- Faktor klinis : faktor klinis terdiri dari keberadaan batuk, khususnya batuk selama 3 minggu atau lebih; penyakit saluran nafas, khususnya yang berhubungan dengan laring (sangat menular), mulut dan hidung tidak ditutup ketika batuk, serta ketidaksesuaian/ kurangnya terapi.

- Prosedur : seseorang mengalami prosedur yang memicu batuk atau produksi aerosol (contohnya bronchoscopy, induksi sputum, pemberian obat bentuk aerosol).

(6)

- Radiografi dan laboratorium meliputi lubang atau rongga pada radiografi dada, kultur positif Mycobakterium Tuberculosis dan hasil positif dari AFB (Acid- Fast Bacilli) sputum smear.

c. Lingkungan : faktor lingkungan mempengaruhi konsentrasi dan meningkatkan penyebaran Mycobakterium Tuberculosis, yaitu :

- Konsentrasi droplet nuclei : semakin banyak droplet nuclei di udara, maka kemungkinan penyebaran Mycobakterium Tuberculosis semakin tinggi.

- Kepadatan hunian

- Ruangan paparan yang kecil dan tertutup atau kurang pencahayaan.

- Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya pelarutan/eliminasi droplet nuclei.

- Sirkulasi udara : sirkulasi kembali udara dengan kandungan droplet nuclei.

- Penanganan spesimen : jika prosedur penanganan spesimen tidak memadai, maka akan menghasilkan droplet nuclei.

- Tekanan udara : tekanan udara positif di dalam ruangan penderita dapat menyebabkan perpindahan Mycobacterium Tuberculosis menuju ruangan lain.

d. Kontak : durasi kontak dengan penderita TB menular, semakin lama kontak, maka risiko penularan semakin tinggi. Selain itu frekuensi kontak dengan penderita juga mempengaruhi, apabila semakin sering terjadi kontak dengan penderita, maka semakin tinggi risiko penularan TB.

(Kuswandi, Yasin, Kusumaningtyas, & Irianti, 2016)

(7)

2.1.6 Tanda dan Gejala Klinis

Infeksi awal, terkontrol biasanya tanpa gejala. Penyakit primer progresif mencakup demam, nyeri dada samar-samar, dan napas pendek. Reaktivasi TB, manifestasi yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat umumnya mempunyai perjalanan penyakit kronis dengan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan demam, batuk berdahak dan penurunan BB. Terkadang reaktivasi TB disertai dengan pneumothorax dan atau empyema tuberculosis, yang dapat menyebabkan dipsnea. Hemoptysis terjadi ketika ada kerusakan pembuluh darah paru atau bronkus. Tuberculosis milier mungkin sukar untuk didiagnosis, dengan demam, lesu, dan lebih dari sebuah rasa FOU (Fever of Unknown Origin) yaitu demam yang tidak diketahui alasannya dari penyakit pernapasan. Pasien dengan HIV dan TB mempunyai insiden penyakit di luar paru yang lebih tinggi dan memiliki muatan organisme yang lebih tinggi (Ringel, 2012).

Menurut Padila (2017) gejala umum TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam ringan, nyeri dada dan batuk darah. Gejala lain yaitu kelelahan, anorexia, penurunan BB.

a. Demam : subfebril menyerupai influenza

b. Batuk : batuk kering (non produktif) atau batuk produktif (sputum), dan hemaptoe

c. Sesak nafas : pada penyakit TB yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah ½ bagian paru-paru

d. Nyeri dada

e. Malaise : anoreksia/nafus makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat di malam hari.

(8)

Menurut Paramita (2011) tanda dan gejala saat pengaktifan kembali bakteri TB, antara lain :

a. Nyeri dada

b. Batuk yag menghasilkan sputum mukopurulen

c. Bunyi dedas krepitasi, bunyi napas bronkial, bunyi menciut, dan pectoriloquy (peningkatan resonasi) berbisik saat dilakukan auskultasi.

d. Bunyi pendek dan lemah di area yang diserang, yang mengindikasikan konsolidasi atau cairan pleura (saat dilakukan perkusi dada).

e. Hemoptysis (kadang-kadang)

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Paramita (2011) pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendeteksi penyakit TB, terdiri atas :

a. Darah : Leukosit sedikit meninggi dan LED meningkat

b. Sputum : BTA, pada BTA(+) ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman pada satu sediaan dengan kata lain 5.000 kuman dalam 1ml sputum.

c. Pewarnaan (stain) : Pewarnaan (stain) dan kultur (sputum cairan cerebrospinal, urin, drainase dari abses, atau cairan pleural) menunjukan basilus yang sensitif terhadap panas, non-motil, aerobic, dan acid fast (tak berubah warna saat dilakukan pewarnaan oleh larutan asam.

d. Tes Tubrkulin : Mantoux Tes (PPD), untuk mendeteksi paparan TB.

Derivative protein termurnikan kekuatan sedang atau 5 unit

(9)

tuberculin. Hasil uji dibaca dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Reaksi positif (indurasi lebih besar atau sama dengan 10mm, tergantung pada factor resiko) berkembang dalam waktu 2 sampai 10 minggu setelah infeksi pada TB aktif atau tidak aktif. Akan tetapi pada pasien yang menderita immunisupresi parah mungkin tidak pernah mengalami reaksi positif.

e. Roentgen : Foto PA, sinar X dada, menunjukan nodula lesi, infiltrasi berpetak (terutama di lobus atas), pembentukan rongga, jaringan parut, dan endapan kalsium. Akan tetapi uji ini mungkin tidak bisa membedakan TB aktif dengan TB tidak aktif.

f. Bronkoskopi : Bisa dilakukan jika pasien tidak bisa menghasilkan spesimen sputum yang mencukupi.

2.1.8 Penatalaksanaan

Tuberculosis diobati dengan menggunakan kombinasi lebih dari satu obat, yang diberikan dalam jangka panjang secara terus-menerus, tidak boleh terputus ditengah jadwal pengobatan. Pengobatan simpomatik diberikan untuk meredakan batuk, menghentikan perdarahan dan mengatasi keluhan lainya. Pengobatan suportif diberikan untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh penderita (Padila, 2017).

(10)

Di Indonesia klasifikasi yang dipakai berdasarkan DEPKES (2000 dalam Padila, 2017) adalah :

a. Kategori I : Panduan obat 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZE/4HR atau 2HRZE/6HE : obat tersebut diberikan pada penderita baru Y + TB paru BTA positif, penderita TB paru BTA negative rontgen positif yang sakit berat dan penderita TB ekstra paru berat.

b. Kategori II : panduan obat 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 : obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

c. Kategori III : panduan obat 2HRZ/4H3R3 : obat ini diberikan untuk penderita BTA negative fan rontgen positif sakit ringan, penderita ektra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudative uiteral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Adapun tambahan pengobatan untuk pasien TB atau obat sisipan yaitu diberikan bila pada akhir tahap intensif dari suatu pengobatan dengan kategori I atau II, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Padila, 2017).

(11)

2.1.8.1 Jenis-Jenis Obat TB Paru

Menurut Padila (2017) jenis-jenis obat TB Paru yang dipakai, anatar lain :

a. Obat primer, antara lain : Isoniazid (H), Rimfapisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin, Etambutol (E).

b. Obat Sekunder, antara lain : Ekonamid, Protionamid, Sikloserin, Kanamisin, PAS (Para Amino Salicyclyc Acid), Tiasetazon, Kapreomisin.

2.1.8.2 Pengobatan TB

Pengobata TB Paru ada 2 tahap menurut DEPKES (2000 dalam Padila 2017), antara lain:

a. Tahap intensif : penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap rifampisin. Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

b. Tahap lanjutan : pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebihpanjang dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.8.3 Panduan Obat : a. Panduan obat kategori 1

Tabel 2.1 Panduan Obat Kategori 1 Tahap Lama (H)/

day R/day Z/day F/day Jumlah hari X Menelan Obat

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 60

(12)

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 54

(Padila, 2017)

b. Panduan obat kategori 2

Tabel 2.2 Panduan Obat Kategori 2 Tahap Lama H

@300 mg

R

@450 mg

Z

@500 mg

E

@250 mg

E

@500 mg

Strep.

Injeksi Jumlah hari X Menelan Obat Intensif 2 bulan 1 bulan 1

1 1

1 3

3 3

3 -

- 0,5% 60

30

Lanjutan 5 Bulan 2 1 3 2 - 66

(Padila, 2017) c. Panduan obat kategori 3

Tabel 2.3 Panduan Obat Kategori 3 Tahap Lama H @300

mg R @450

mg P @500

mg Hari X Menelan Obat

Intensif 2 bulan 1 1 3 60

Lanjutan 3x

week 4 Bulan 2 1 1 54

d. OAT sisipan (HRZE)

Table 2.4 OAT Sisipan (HRZE) Tahap Lama H

@300 mg

R

@450 mg

Z

@500 mg

E day

@250 mg

Menelan X Hari Intensif

(dosis

harian) 1 Bulan 1 1 3 3 30

(Padila, 2017)

2.1.8.4 Kegagalan Pengobatan

Menurut Padila (2017) mengungkapkan penyebab dari kegagalan pengobatan antara lain :

(Padila, 2017)

(13)

a. Obat : Panduan obat tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya, dan terjadi resistensi obat.

b. Drop out : Kekurangan biaya pengobatan, merasa sudah sembuh, dan malas berobat.

c. Penyakit : Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat, ada penyakit lain yang menyertai, contohnya demam, alkoholisme, dll, dan ada gangguan imunologis.

2.1.8.5 Penanggulangan Khusus Pasien

Menurut Padila (2017) penanggulangan khusus untuk pasien dengan TB Paru, antara lain :

a. Terhadap penderita yang sudah berobat secara teratur yaitu dengan menilai kembali apakah panduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberian.

Melakukan pemeriksaan uji kepekaan/test resistensi kuman terhadap obat.

b. Terhadap penderita yang riwayat pengobatan tidak teratur yaitu dengan meneruskan pengobatan dalam ± 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis setiap bulan. Menilai ulang resistensi kuman terhadap obat, jangka resistensi terhadap obat, dan mengganti dengan panduan obat yang masih sensitif.

c. Pada penderita kambuh yang sudah menjalani pengobatan teratur dan adekuat sesuai rencana tetapi dalam kontrol ulang BTA (+) secara mikroskopik atau secara biakan tetap diberikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama, melakukan pemeriksaan BTA mikroskopik 3 kali, biakan dan resistensi,

(14)

melakukan rontgen paru sebagai evaluasi, mengidentifikasi adanya penyakit yang menyertai (demam, alkoholisme/steroid jangka lama), dan mengevaluasi ulang setiap bulannya, baik pengobatan, radiologis dan bakteriologis.

2.1.9 Pencegahan

Menurut Ringel (2012) pencegahan TB tergantung pada beberapa strategi, antara lain :

a. Identifikasi segera pasien dengan TB aktif

b. Kontak dengan pasien dilakukan skrining untuk melihat konversi uji kulit, mengidentifikasi individu yang mengalami infeksi laten baru.

c. Program skrinning dilakukan secara berkala pada populasi beresiko tinggi, untuk mengidentifikasi individu-individu yang mengalami perkembangan infeksi laten sejak skrinning terakhir.

d. Penyaringan juga dapat dilakukan pada pasien ketika memasuk kelompok beresiko tinggi.

Pencegahan lain menurut Soedarto (2017), antara lain :

a. Tuberkulosis dapat dicegah dengan melakukan imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin) yang dapat melindungi sekitar 80% infeksi alami, serta dapat mencegah terjadinya bentuk infeksi tuberculosis yang berat, misalnya meningitis dan tuberculosis milier.

b. Memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat terkait dengan pencegahan tuberculosis, mengkonsumsi susu sapi yang sudah dimasak dan bekerja dengan

(15)

hati-hati dilaboratorium pada waktu menangani hewan, terutama untuk hewan primate.

2.2 Konsep Penyebaran Infeksi 2.2.1 Kategori Penyakit Menular

Indonesia sebagai Negara tropis merupakan kawasan endemic berbagai penyakit menular, seperti TBC, malaria, filariasis, diare, dan sebagainya. Disamping itu Indonesia sebagai kawasan yang berkembang secara dinamis sejalan dengan era globalisasi, maka tak bisa menghindari masuknya berbagai penyakit infeksi baru seperti SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), avian, influenza, dan lain-lain. Menurut Achmadi (2014) mengungkapkan berdasarkan proses kejadiannya, maka penyakit menular dapat dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Penyakit menular endemik, untuk menggambarkan penyakit atau faktor resiko penyakit berkenaan, yang terdapat atau terjadi di Indonesia selama kurun waktu yang panjang. Penyakit ini sangat mengganggu indeks pembangunan manusia Indonesia, seperti diare, TBC, malaria, filariasis, hepatitis, dan sebagainya.

b. Penyakit yang berpotensi menjadi KLB, baik secara periodik yang dapat diprediksi dan diantisipasi serta pencegahannya. Misalnya DBD, kolera, serta penyakit infeksi baru.

2.2.2 Kejadian Infeksi Tuberculosis

Tuberculosis paru ditularkan melalui aerosol atau percikan dahak infeksius (droplet nuclei) yang terhirup masuk saluran napas. Penularan yang mudah inilah yang mendasari hasil survei yang dilakukan WHO di beberapa Negara menghasilkan

(16)

estimasi bahwa sepertiga penduduk dunia telah terpapar oleh tuberculosis. Meskipun hanya 10% dari mereka yang terpapar itu menjadi sakit, tetapi jumlahnya tetap besar dan resiko bagi 90% yang tidak sakit untuk menjadi sakit tetap ada (Mertaniasih, 2013).

Angka estimasi yang terpapar tetapi tidak sakit berjumlah 90%

menunjukan bahwa sistem imun seseorang sangat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit ini, dengan bertambahnya usia dan berbagai penyakit komorbid yang menyebabkan penurunan sistem imun akan menjadi ancaman bagi mereka yang terpapar tetapi belum menunjukkan gejala sakit, dalam perjalanan beresiko lebih besar untuk menjadi sakit tuberculosis (Mertaniasih, 2013).

Menurut Mertaniasih (2013) kondisi yang mempengaruhi infeksi dan reaktivasi tuberculosis, antara lain :

a. Penyakit komorbid : penyakit komorbid beresiko meningkatkan terjadinya tuberculosis, berkaitan dengan terjadinya supresi imunitas pasien. Sebelum munculnya HIV-AIDS silicosis merupakan resiko paling utama yang diketahui sebagai predisposisi bagi terjadinya tuberculosis.

b. Faktor social ekonomi : kemiskinan juga berpengaruh pada timbulnya penyakit tuberculosis, karena faktor perumahan yang kumuh atau mereka yang tidak mempunyai rumah.

(17)

2.2.3 Patogenesis Tuberculosis

2.3 Konsep Perilaku 2.3.1 Definisi

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Perilaku merupakan

Inhalasi Mycobakterium Tuberculosis Fogositosis oleh makrofag alveolus paru Kuman mati

Kuman tetap hidup Berkembangbiak Pembentukan fokus primer

Penyebaran limfogen Penyebaran hematogen

Kompleks primer ghon Terbentuk imunitas seluler

spesifik

Sakit TB

Komplikasi kompleks primer Komplikasi penyebaran hematogen

Komplikasi penyebaran limfogen

Meninggal

Infeksi

Imunitas

Sakit TB Sembuh

TB P R I M

E R

Imunitas turun, reaktivasi

Gambar 2.2 Patogenesis Tuberkulosis (Mertaniasih, 2013)

(18)

kegiatan atau aktifitas manusia baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati pihak luar, yang merupakan respon atau reaksi seseorang dari stimulus (rangsangan dari luar) (Waryana, 2016).

2.3.2 Klasifikasi Prilaku

Menurut Waryana (2016) mengemukakan bahwa dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2, antara lain : a. Perilaku Tertutup (Covert Behavoir) : respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap suatu stimulus masih terbatas pada perhatian, presepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada seseorang dalam menerima stimulus, dan belum diamati oleh orang lain.

b. Perilaku Terbuka (Overt Behavior) : respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka, respon tersebut sudah jelas dipraktekan, dengan mudah diamati dan dilihat oleh orang lain. Praktek (perilaku) manusia berasal dari dorongan dan usaha untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Praktek dapat terbagi dalam beberapa tingkat yaitu pertama presepsi merupakan tahap mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, kedua respon terpimpin yaitu apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan berdasarkan contoh, ketiga tahap mekanisme merupakan hal yang dapat dilakukan seseorang dengan benar dan otomatis sehingga menjadi kebiasaan, dan keempat adaptasi merupakan praktek atau tindakan sudah berkembang dengan baik, yaitu tindakan yang sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi tingkat kebenaran dari tindakan tersebut.

(19)

Perilaku merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan denga sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan. Menurut Waryana (2016) perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintanance) merupakan perilaku atau usaha individu dalam memelihara dan menjaga kesehatanagar tidak sakit dan udaha untuk penyembuhan bila sakit.

b. Perilaku pencarian atau penggunaan system dan fasilitas kesehatan yang disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).

c. Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu apabila seseorang merespon lingkunga, baik lingkungan fisik maupun social budaya dan sebagainya.

2.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Waryana (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang terdiri atas :

a. Faktor endogen, faktor yang berasal dari dalam diri individu yang mempengaruhi perilaku, antara lain:

- Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku yang spesifik, saling berbeda satu dengan lainnya.

- Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari, perilaku pada pria disebut maskulin sedangkan wanita disebut feminin.

- Sifat fisik, misalnya perilaku pada individu yang pendek dan gemuk berbeda dengan individu yang memiliki fisik tinggi dan kurus.

(20)

- Sifat kepribadian, perilaku individu tidak ada yang sama karena adanya perbedaan kepribadian yang dimiliki individu, yang dipengaruhi oleh aspek kehidupan seperti pengalaman, usia, watak, tabiat, sistem norma, nilai dan kepercayaan yang dianutnya.

- Bakat pembawaan, bakat merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan serta bergantung pada adanya kesempatan untuk pengembangan.

- Inteligensi merupakan kemampuan untuk mebuat kombinasi, dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa inteligensi sangat berpengaruh terhadap perilaku individu.

b. Faktor-faktor eksogen, faktor dari luar individu yang mempengaruhi perilaku, antara lain :

- Faktor lingkungan, menyangkut segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik fisik, biologis, maupun sosial yang sangat berpengaruh terhadap perilaku individu karena merupakan lahan perkembangan perilaku.

- Faktor pendidikan, proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok.

- Faktor agama, merupakan suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam konstruksi kepribadian seseorang yang mempengaruhi cara berpikir, bersikap, beraksi, dan berprilaku.

- Faktor sisial ekonomi, salah satu pengaruh terhadap perilaku individu.

- Faktor kebudayaan, hasil kebudayaan juga berpengaruh terhadap perilaku individu.

c. Faktor lain yang mempengaruhi perlaku, antara lain :

- Faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap individu terhadap kesehatan, misalnya tradisi dan kepercayaan individu terhadap hal-hal yang

(21)

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut individu, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

- Faktor-faktor pendukung yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat dan kemudahan untuk mencapainya.

- Faktor-faktor pendorong, mencakup sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas (kader), isi undang-undang, peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah terkait dengan kesehatan.

2.3.4 Domain Perilaku

Menurut Waryana (2016) dalam mengukur hasil, domain perilaku diukur dengan :

a. Pengetahuan (knowledge), pengetahuan didapatkan seserorang dari melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, antara lain :

- Faktor internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.

- Faktor eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.

- Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar misalnya strategi dan metode dalam pemebelajaran.

Terdapat enam tingkatan domain pengetahuan yaitu :

- Tahu (know) : diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

(22)

- Memahami (comprehension) : suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

- Aplikasi : sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.

- Analisis : suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan ada kaitannya dengan yang lain.

- Sintesa : menunjukan suatu kemampuan untuk meletakkan atau meghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.

- Evaluasi : berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi/objek.

b. Sikap (attitude) : merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Tiga komponen sikap, antara lain : - Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

- Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek - Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Tingkatan domain sikap, antara lain :

- Menerima (receiving) : bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

- Merespon (responding) : memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

- Menghargai (valuing) : mengajak orang lain untuk mngerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

(23)

- Bertanggung jawab (responsible) : bertanggung jawab atas semua hal yang telah dipilih dengan segala resikonya.

c. Praktik atau tindakan (practice) : suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support), praktek memiliki beberapa tindakan, antara lain :

- Presepsi (perception) : mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, hal tersebut merupakan praktek tingkat pertama.

- Respon terpimpin (guide response) : dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, merupakan praktek tingkat kedua.

- Mekanisme (mechanism) : apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar, secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka hal tersebut sudah mencapai tingkat ketiga.

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, tindakan tersebut sudah dapat dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Selain mewawancari juga dapat dilakukan observasi terhadap kegiatan responden. Menurut Waryana (2016) untuk mengadopsi suatu perilaku, diperlukan suatu proses yang berurutan, antar lain :

(24)

a. Kesadaran (awareness) : dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Tertarik (interest) : dimana seseorang mulai tertarik pada individu.

c. Evaluasi (evaluation) : menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

2.3.5 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku terjadi karena adanya motifasi. Motifasi dapat disefinisikan sebagai proses yang terjadi dalam diri, yang dapat menciptakan tujuan dan memberikan energi bagi perilaku seseorang. Motif merupakan dorongan bertindakan untuk memenuhi suatu kebutuhan, dirasakan sebagai kemauan, keinginan yang terwujud dalam bentuk perilaku yang nyata (Waryana, 2016).

Teori Maslow (teori herarki kebutuhan) sering digunakan untuk meramalkan perilaku orang dalam kelompok maupun organisasi, dan bagaiman memanipulasi atau membentuk perilaku tersebut dengan cara memenuhi kebutuhan. Terdapat dua asumsi dasar Maslow (dalam Waryana, 2016), antara lain :

a. Manusia selalu mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju.

b. Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok terlebih dahulu sebelum berusaha memenuhi kebutuhan lain, artinya kebutuhan dasar harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan tambahan yang lebih tinggi mulai mengendalikan perilaku seseorang.

(25)

2.3.6 Proses Perubahan Perilaku

Pembentukan perilaku merupakan bagian yang sangat penting dari usaha mengubah perilaku seseorang. Menurut Mubarak (2011) langkah-langkah mengubah perilaku, antara lain :

a. Individu tersebut menyadari yaitu proses identifikasi tentang bagian mana yang ingin diubah dan mengapa perubahan tersebut diinginkan. Dalam hal ini bahwa kesadaran harus datang dari keinginan bukan ketakutan.

b. Individu tersebut mau mengganti, setelah seseorang menyadari untuk mengubah perilakunya, maka proses selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengganti.

Mengganti merupakan proses melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasaan yang diyakini salah.

c. Individu tersebut harus mengintrospeksi proses penilaian mengenai yang sudah diraih dan apalagi yang perlu dilakukan.

d. Kesungguhan, menusia merupakan individu yang mempunyai sikap, kepribadian dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, sehingga perlu kesungguhan dari berbagai komponen masyarakat untuk ikut andil dalam mengubah perilaku.

e. Diawali dengan lingkungan keluarga, peran orang tua sangat membantu untuk menjelaskan serta memberikan contoh mengenai apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak.

f. Melalui pemberian penyuluhan, penyuluhan yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan budaya.

(26)

Menurut Mubarak (2011) proses perubahan perilaku mencakup lima fase, antara lain :

a. Fase pencarian (unfreezing phase) yaitu individu mulai mempertimbangkan penerimaan terhadap perubahan.

b. Fase diagnosis masalah (problem diagnosis phase) yaitu individu mulai mengidentifikasi segala sesuatu, baik yang mendukung maupun menentang perubahan.

c. Fase penentuan tujuan (goal setting phase) yaitu individu menentukan tujuan sesuai dengan perubahan yang diterimanya.

d. Fase tingkah laku (new behavior phase) yaitu individu mulai mencoba.

e. Fase pembekuan ulang (refreezing phase) yaitu tingkah laku individu yang permanen.

2.3.7 Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi sesuai dengan konsep yang digunakan dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Novita & Franciska, 2013) bentuk-bentuk perubahan perilaku dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu :

a. Perubahan alamiah (natural change) : perilaku manusia selalu berubah, sebagian perubahan disebabkan karena kejadian alamiah. Perubahan alamiah berarti perubahan tersebut terjadi karena seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya yaitu lingkingan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya.

(27)

b. Perubahan terencana (planned change) : perubahan perilaku karena sudah direncanakan oleh individu sendiri.

c. Kesediaan untuk berubah (readiness to change) : apabila terjadi suatu inovasi atau program pembangunan di dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku, maka yang sering terjadi yaitu ada sebagian orang yang cepat menerima inovasi atau perubahan perilaku tersebut dan ada juga yang lambat, hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki kesedian untuk berubah yang berbeda-beda meskipun kondisinya sama.

2.4 Konsep Keluarga 2.4.1 Definisi

Keluarga merupakan suatu kesatuan yang utuh yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. Para anggota keluarga biasanya hidup bersama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran sosial seperti suami-istri, ayah-ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara-saudari. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri (Harnilawati, 2013).

2.4.2 Struktur Keluarga

Menurut Harnilawati (2013) struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat. Struktur keluarga terdiri dari :

(28)

a. Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu tersusun melalui jalur garis ayah.

b. Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

c. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.

d. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.

e. Keluarga kawin adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan denga suami atau istri.

2.4.3 Tipe Keluarga

Menurut Friedman (dalam Ali, 2009) mengemukakan bahwa tipe keluarga terdiri dari beberapa macam, antara lain :

a. Nuclear Family (keluarga inti) : terdiri dari orang tua dan anak yang masih menjadi tanggungjawabnya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah dari sanak keluarga lainnya.

b. Extended family (keluarga besar) : satu keluarga yang terdiri dari satu atau dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu sama lain.

c. Single parent family : satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga (ayah/ibu) dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung kepadanya.

d. Nuclear dyed : keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak, tinggal dalam satu rumah yang sama.

(29)

e. Blended family : suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan pasangan, yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak hasil perkawinan terdahulu.

f. Three generation family : keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu kakek, nenek, bapak, ibu, dan anak dalam satu rumah.

g. Single adult living alone : bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu orang dewasa yang hidup dalam rumahnya.

h. Middle age atau elderly couple : keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya.

2.4.4 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (dalam Ali, 2009) mengemukakan keluarga dibagi menjadi beberapa fungsi, antara lain :

a. Fungsi afektif : berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan dengan baik, dan penuh rasa kasih sayang.

b. Fungsi sosialisasi : proses perkembangan dan perubahan yang dialalui individu menghasilkan interaksi sosial, dan individu tersebut melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga dan belajar disiplin, norma budaya, dan perilaku melalui interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan di dalam masyarakat.

c. Fungsi reproduksi : fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

(30)

d. Fungsi ekonomi : fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain.

e. Fungsi perawatan keluarga : keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan, dan asuhan kesehatan/keperawatan. Kemampuan keluarga melakukan asuhan keperawatan atau pemeliharaan kesehatan mempegaruhi status kesehatan. Tugas-tugas keluarga dalam memelihara kesehatan terdiri atas :

- Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga.

- Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat.

- Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit.

- Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

- Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan

Menurut Undang-Undang No.10 (1992 dalam Ali, 2009) membagi fungsi keluarga, antara lain :

a. Fungsi kagamaan : membina norma/ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga.

b. Fungsi budaya : membina tugas keluarga sebagai sarana untuk meneruskan norma budaya, masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan.

c. Fungsi cinta kasih : menumbuhkan potensi simbol cinta kasih sayang yang telah ada dianggota keluarga dalam simbol nyata, seperti ucapan dan tingkah laku secara optimal dan terus-menerus.

(31)

d. Fungsi perlindungan : memenuhi kebutuhan akan rasa aman di antara anggota keluarga, bebas dari rasa tidak aman yang tumbuh dari dalam maupun dari luar keluarga.

e. Fungsi sosialisasi : menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak yang pertama dan utama.

f. Fungsi pelestarian lingkungan : membina kesadaran dan praktik pelestarian lingkungan internal keluarga, membina kesadaran, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan hidup eksternal keluarga, membina kesadaran, sikap, dan perilaku pelestraian lingkungan hidup yang serasi, dan seimbang antara lingkungan keluarga dan lingkungan hidup sekitarnya.

2.4.5 Peran Keluarga

Menurut Ali (2009) mengemukakan bahwa peran keluarga terbagi atas tiga, yaitu :

a. Peran Formal : membentuk peran dasar sebagai suami istri yaitu sebagai provider, pengatur rumah tangga, perawatan anak, sosialisasi anak, rekreasi, persaudaraan, terapeutik, dan peran seksual.

b. Peran Informal : meliputi beberapa hal yaitu pengharmonis, inisiater-kontributor, pendamai (Compromizer), perawat keluarga, koordinator keluarga

c. Peran Perkawinan : Kebutuhan keluarga dalam membangun hubungan yang kuat dan kokoh serta anaka-anak terutama dapat mempengaruhi hubungan keluarga yang memuaskan.

(32)

2.4.6 Perilaku Kesehatan Keluarga

Menurut Harnilawati (2013) perilaku kesehatan keluarga terdiri atas :

a. Health Maintenance (perilaku pemeliharaan kesehatan) yaitu perilaku seseorang/keluarga untuk memelihara kesehatan, misalnya perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, perilaku mempertahankan nutrisi yang baik.

b. Health Seeking Behavior (perilaku pencarian dan penggunaan fasilitas kesehatan) yaitu perilaku seseorang/keluarga pada saat anggota keluarga sakit atau mengalami masalah kesehatan, dimulai dari saat mengobati sendiri sampai mencari pengobatan di layanan kesehatan.

c. Perilaku Kesehatan Lingkungan yaitu perilaku keluarga dalam melakukan hidup sehat, misalnya makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minuman keras, istirahat cukup, pengendalian stres, gaya hidup positif, dan perilaku saat sakit yaitu bagaimana respon terhadap penyakit/kondisi sakit, apakah memiliki pengetahuan dan persepsi yang tepat tentang sakit dan tindak lanjut apa yang harus dilakukan.

2.5 Faktor Penghambat Keluarga Untuk Mencegah Penularan TB Paru Faktor Penghambat Keluarga untuk mencegah penularan TB Paru antara lain:

2.5.1 Faktor Sosial Ekonomi Keluarga

Menurut penelitian Agustina dan Wahjuni (2017), didapatkan hasil bahwa sebagian besar keluarga penderita TB Paru baik yang tertular ataupun yang tidak tertular berada pada status sosial ekonomi kategori rendah. Status sosial ekonomi keluarga yang rendah akan mempengaruhi perilaku seseorang yang berada dalam

(33)

keluarga tersebut, dan akan mempengaruhi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupannya sehari-hari. Menurut WHO (2014) dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis menyatakan bahwa pasien yang miskin dengan kemampuan sosial ekonomi lemah akan lebih mudah terjangkit TB yaitu sebesar 90% penderita.

Derajat sosial ekonomi berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kejadian TB misalnya adanya gizi buruk, kondisi rumah atau tempat tinggal yang tidak sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang menurun karena ekonomi yang lemah. Kondisi sosial ekonomi yang rendah berhubungan dengan tingkat pendidikan, kondisi sanitasi lingkungan, status gizi dan kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pendapatan keluarga yang kurang dapat menyebabkan penurunan atau kurangnya kemampuan daya beli seseorang dalam memenuhi kebutuhan seperti sandang dan pangan keluarga. Sehingga apabila seseorang berstatus gizi buruk akan berdampak pada penurunan kekebalan tubuh dan hal tersebut dapat mempermudah terinfeksi bakteri TB Paru (Agustina & Wahjuni, 2017). Factor ekonomi merupakan salah satu factor penghambat dari proses pencegahan penularan TB Paru kejadiannya yaitu sekitar 72% keluarga dengan ekonomi rendah yang menghabat pencegahan penularan TB Paru (Richter et al., 2014).

2.5.2 Faktor Persepsi Keluarga

Menurut penelitian Sugiarto, Herdianti, dan Entianopa (2018) menyatakan bahwa persepsi dapat diartikan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu yang dapat kita tangkap melalui indera, dimana dalam penginderaan orang akan mengartikan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek yang dituju. Persepsi adalah proses akhir dari pengamatan

(34)

yang diawali oleh proses penginderaan yaitu diterimanya stimulus oleh alat indera kemudian dalam individu ada perhatian lalu diteruskan ke otak dan kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Hal ini penting bagi keluarga yang di dalamnya terdapat penderita TB Paru agar keluarga sebagai sasaran pelayanan keperawatan dapat melakukan fungsinya dengan baik karena keluarga dipandang sebagai sumber daya kritis untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan, keluarga sebagai satu kesatuan, terdapat hubungan yang kuat dalam keluarga dengan status kesehatan anggota keluarganya, keluarga sebagai tempat penemuan kasus dini, individu dipandang dalam konteks keluarga dan keluarga sebagai sumber dukungan sosial bagi anggota keluarga lainnya. Persepsi keluarga akan mempengaruhi terhadap proses pengobatan yang akan dilakukan penderita TB Paru, karena keluarga adalah salah satu penguat dari penderita TB Paru. Persepsi responden dikategorikan menjadi dua yakni tinggi dan rendah. Pada beberapa penelitian didapatkan kebanyakan orang memiliki persepsi rendah terhadap pencegahan penularan TB, hal ini disebabkan karena responden menganggap hanya dengan mengkonsumsi obat maka mereka tidak akan menularkan ke keluarga atau orang lain. Banyak persepsi lain dari masyarakat terkait penyaik TB Paru yaitu penyakit menular dan berbahaya yang mudah menular pada orang lain sehingga penderitanya harus dijauhi, selain itu masyarakat banyak yang beranggapan bahwa suatu penyakit jika tidak benar-benar mengganggu kegiatan sehari-hari tidak perlu diperiksakan dan akan baik-baik saja.

Kekeliruan terhadap memahami suatu penyakit masih banyak dialami masyarakat terutama masyarakat yang berada di daerah terpencil, kejadiannya yaitu sekitar 87,5%

masyarakat yang masih keliru terhadap penderita TB Paru sehingga menyebabkan penderita merasa terkucilkan (Sugiarto et al., 2018).

(35)

2.5.3 Faktor Dukungan Keluarga

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa dukungan keluarga sangat berperan penting dalam pencegahan penularan TB Paru. Hasil penelitian Gunawan dan Ina (2018) menunjukkan bahwa dukungan keluarga dalam melakukan pencegahan penularan TB, dimana keluarga dihadapkan dengan perasaan positif dan negatif dalam proses pencegahan. Hal ini sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Friedman (2013) menyatakan bahwa seseorang mempunyai perasaan sebagai akibat yang dialaminya atau yang dipersepsikannya, ditandai dengan keluhan-keluhan yang sering diungkapkan seperti senang, marah, emosi, takut, pasrah, gelisah, cemas dan lain sebagainya. Perasaan yang dialami oleh keluarga tergambar dari adanya respon yang ditimbulkan dari perasaan positif dan perasaan negatif yaitu adanya perasaan marah saat melakukan pencegahan penularan TB, perasaan takut tertular saat melakukan pencegahan TB dan perasaan malu saat melakukan pencegahan penularan TB, takut dikucilkan oleh orang-orang, seperti yang diungkapkan oleh partisipan dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan adanya peran keluarga dalam melakukan pencegahan penularan TB, hal ini sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Friedman (2013) bahwa keluarga memiliki tugas kesehatan yang aktif dimana salah satunya adalah mengenal masalah kesehatan. Keluarga yang tidak mengenal masalah kesehatan menunjukkan bahwa keluarga tersebut belum mampu tahu atau mengenal jika anggota keluarganya sakit. Tugas keluarga yang sudah diterapkan dalam keluarga tergambar dari suatu kegiatan yang sudah dilakukan yaitu mampu memberi perawatan, diantaranya mendampingi minum obat, menemani kontrol ke pelayanan kesehatan dan ada juga keluarga yang tidak mengenal masalah kesehatan yaitu cara penularan dan cara pencegahan seperti yang diungkapkan oleh partisipan dalam penelitian (E.S.Gunawan & Ina, 2018). Dukungan keluarga sangat berperan penting

(36)

dimana, keluarga merupakan tempat atau orang yang paling setring berkomunikasi dengan penderita TB Paru, namun masih banyak keluarga yang kurang memahami perannya, sehingga dalam meberikan dukungan masih sangat kurang, salah satunya dukungan informasi, dari jurnal ini dijelaskan bahwa dukungan keluarga dalam pemberi informasi dalam keluarganya masih kurang yaitu sekitar 52,94% (Arifin et al., 2019).

2.5.3.1 Macam-macam Dukungan Keluarga

Dalam buku Pujiastuti (2019), dukungan keluarga dibagi dalam beberapa macam, antara lain :

a. Dukungan Informasional

Dukungan informasional meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termaksud memberi solusi/saran/umpan balik tentang apa yang dilakukan. Keluarga berfungsi sebagai penyebar dan pemberi informasi.

b. Dukungan Penilaian

Dukungan penilaian merupakan dukungan yang terjadi apabila ada ekspresi penilaian yang positif. Keluarga akan merasa ada yang dapat diajak bicara tentang masalahnya, sebagai penyemangat, atau pemberi persetujuan terhadap ide/perasaannya.

c. Dukungan Intrumental

Dukungan instrumental meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dan material.

d. Dukungan Emosional

Dukungan Emosional yaitu memberikan rasa nyaman, merasa dicintai, memberikan semangat, empati, rasa percaya, perhatian

(37)

sehingga pasien merasa berharga. Keluarga merupakan tempat yang aman dan nyaman untuk beristirahat dan menenangkan pikiran.

(Pujiastuti, 2019)

2.5.4 Faktor Pengetahuan

Pengetahuan sangat penting untuk mencegah penularan TB Paru.

Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui cara penularan TB Paru dan bagaimana mengatasi penularan TB Paru. Dalam penelitian ini pengetahuan tentang teori kuman ditemukan sangat rendah, fakta bahwa informasi yang salah ini tetap ada menunjukkan bahwa pesan promosi kesehatan belum mengatasi kesalahpahaman ini. Pengetahuan merupakan domain kognitif yang memiliki 6 tingkatan. Pertama yaitu tahu artinya kemampuan seseorang mengingat suatu hal atau pelajaran yang telah didapatkan sebelumnya. Kedua yaitu paham artinya seseorang dapat menjelaskan atau mendeskripsikan suatu hal dengan benar. Ketiga yaitu aplikasi artinya seseorang dapat menerapkan dengan nyata sesuatu hal yang telah dipelajari. Keempat yaitu analisis artinya seseorang mampu menjelaskan secara rinci atau menghubungan antara hal- hal yang telah dipelajari. Kelima yaitu sintesis artinya seseorang mampu membentuk suatu hal baru dari hal yang sebelumnya sudah dipelajari.

Terakhir keenam yaitu evaluasi artinya seseorang mampu memberikan penilaian atas suatu hal. Sekitar 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin, kondisi tersebut erat hubungannya dengan tingkat pendidikan yang berpengaruh pada pengetahuan seseorang yang kurang. Pada penelitian ini didapatkan hasil

(38)

bahwa ada perbedaan pengetahuan pada keluarga kontak serumah dengan penderita TB Paru yaitu bahwa anggota keluarga yang tertular memiliki pengetahuan yang kurang mengenai cara pencegahan penularah TB Paru.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya suatu tindakan seseorang (over behavior) dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari atas pengetahuan (Laily, 2017).

2.6 Peran Keluarga dalam Pencegahan Penularan TB Paru

Dalam penelitian Masruroh, Rohmah dan Wicaksana (2015) peran keluarga dalam upaya pencegahan penularan TB Paru antara lain :

2.6.1 Memodifikasi Lingkungan

Menurut keluarga pencegahan penularan penyakit TB Paru sangat penting agar tidak terjadi penularan ke anggota keluarga lainnya. Tindakan yang dilakukan keluarga untuk mencegah penularan penyakit TB Paru ke anggota keluarga dengan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang meliputi menjemur alat tidur, membuka pintu dan jendela setiap pagi, agar udara dan sinar matahari bisa masuk sehingga sinar matahari langsung dapat mematikan kuman TB, makan makanan bergizi, tidak merokok dan minum-minuman keras, olahraga secara teratur, mencuci pakaian hingga bersih di air yang mengalir setelah selesai buang air besar di jamban/WC, sebelum dan sesudah makan, beristirahat cukup, jangan tukar menukar peralatan mandi.

(39)

2.6.2 Upaya Memutus Transmisi Penyakit

Hasil wawancara yang dilakukan mengenai keluarga dalam upaya memutus transmisi penyakit TB Paru yaitu dengan tidak membuang dahak disembarang tempat, pasien harus menggunakan tempat khusus dan tertutup, misalnya dengan menggunakan wadah/kaleng bertutup yang sudah diberi air sabun, atau dengan membuang dahak kelubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian. Beberapa cara batuk yang benar untuk mencegah terjadinya proses penularan yaitu :

a. Saat baruk atau bersin palingkan muka dari orang lain dan makanan.

b. Tutuplah hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan, jangan bertukar saputangan atau masker dengan orang lain.

c. Segera cuci tangan setelah menutup mulut dengan tangan ketika batuk, hindari batuk di tempat keramaian.

d. Pasien memakai penutup mulut dan hidung atau masker jika perlu.

2.6.3 Konsumsi Obat dan Kontrol Rutin ke Puskesmas

Penyakit TB merupakan penyakit dengan proses penyembuhan yang lama dan menimbulkan kebosanan bagi penderita, dimana penderita harus meminum obat secara rutin dan tepat waktu, karena jika tidak demikian maka proses penyembuhan akan mengalami hambatan atau pasien bisa mengalami TB MDR (Multi Drug Resistant). Dalam hal ini diperlukan peran keluarga yang sangat besar sebagai PMO (Pengawas Menelan Obat.) Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Untuk menjamin

(40)

kepatuhan penderita dalam menelan obat, perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) yaitu keluarga pasien itu sendiri. Selain meminum obat secara teratur, penderita juga harus melakukan kontrol ke layanan kesehatan secara rutin. Dalam hal ini keluarga memiliki peranan penting dalam segala aspek baik proses pengobatan secara fisik maupun pemberi dukungan secara emosionalnya.

(Masruroh et al., 2015)

Gambar

Gambar 2.1 Pathway Tuberkulosis
Tabel 2.1 Panduan Obat Kategori 1  Tahap  Lama  (H)/
Tabel 2.2 Panduan Obat Kategori 2  Tahap  Lama  H  @300 mg  R  @450mg  Z  @500mg  E  @250mg  E  @500mg  Strep
Gambar  2.2 Patogenesis Tuberkulosis  (Mertaniasih, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

sebagai Luka yang hancur pada extremitas sebagai Luka yang hancur pada extremitas atau anggota badan lain yang mengakibatkan atau anggota badan lain yang

Pertama, bahwa salah satu tujuan pendidikan jasmani adalah mengarahkan peserta didik pada pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis. Melalui aktivitas gerak yang

memiliki anak dengan autisme pada rentang usia dewasa awal tersebut,. maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang

Bagian MIS/IT akan menginput surat pesanan ke dalam sistem dan membuat laporan penjualan - Surat pesanan - Laporan penjualan Perjanjian jual beli Bagian marketing

Jl. Bandung Kiri, Kec. Bandung Kiri, Kec. e!berian inor!ed con/ent. elati+an ketera!#ilan re/u/ita/i /ecara reguler. ta dilati+ untuk !e!bantu dala! #engelolaan darurat

Ayam bekisar, kampung, bangkok, kate, dan G.varius memiliki waveform yang terdiri atas 2 elemen yaitu suara depan (I st waveform) dan suara belakang (2 nd waveform) yang

Sedangkan pada rasio Diameter gonad dengan Panjang tubuh terdapat nilai yang sama pada TKG III dan IV namun hal yang berbeda dapat dilihat pada Diameter Perut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis pengaruh dalam penerimaan pemerintah di Jawa Timur, untuk mengetahui variabel bebas mana yang berpengaruh paling