• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS USAHA BUDIDAYA JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) (Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRODUKTIVITAS USAHA BUDIDAYA JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) (Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS USAHA BUDIDAYA JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus)

(Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)

SKRIPSI

YULIA PURNAMA RAHMAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

Yulia Purnama Rahmawati. D14062760. 2010. Produktivitas Usaha Budidaya Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) (Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si

Produktivitas dalam usaha budidaya dibagi menjadi dua yaitu secara teknis dan ekonomis. Produksi jangkrik hingga saat ini masih belum dapat kontinyu dan berkembang secara optimal sehingga perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) produktivitas usaha budidaya jangkrik Kalung secara teknis dan ekonomis (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha budidaya jangkrik Kalung (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Penelitian dilaksanakan di masyarakat pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Tengah (Demak, Kudus, Purwodadi) dan Jawa Timur (Tulungagung, Kediri, Porong) selama dua minggu yaitu pada tanggal 3-12 Maret 2010. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penentuan wilayah penelitian dan jumlah sampel serta pengambilan data primer dan sekunder. Desain yang digunakan dalam penelitian adalah survai dan sampel dipilih secara purposive di setiap wilayah. Jumlah sampel pembudidaya jangkrik yang diambil dari tiap wilayah adalah satu orang pembudidaya yang terbesar dan terlama melakukan budidaya. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif meliputi penilaian produktivitas teknis usaha budidaya jangkrik, analisis pendapatan usaha budidaya jangkrik dan analisis R/C ratio.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata produksi hasil panen jangkrik Kalung yaitu Jawa Tengah sebesar 9,78 ton/tahun dan Jawa Timur sebesar 12,69 ton/tahun.

Produktivitas teknis di kedua provinsi tidak jauh berbeda, sedangkan produktivitas secara ekonomis berbeda. Analisis pendapatan usaha budidaya menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pembudidaya jangkrik Kalung di Jawa Tengah Rp 134.714.300,00 (72,21% dari penerimaan) dengan rata-rata penerimaan Rp 186.566.666,00 dan Jawa Timur Rp 149.899.333,00 (58,56% dari penerimaan) dengan rata-rata penerimaan Rp 255.960.000,00. Usaha budidaya jangkrik Kalung di kedua provinsi memiliki nilai R/C ratio rata-rata lebih dari satu yang berarti usaha budidaya jangkrik Kalung secara ekonomis menguntungkan dan layak untuk dijalankan. Nilai R/C ratio di Jawa Tengah (3,5) lebih tinggi dari Jawa Timur (2,6).

Nilai R/C ratio yang rendah di Jawa Timur disebabkan oleh faktor biaya pakan, perlengkapan (egg tray) dan kandang yang tinggi. Pembudidaya perlu memanfaatkan sumber daya lokal alternatif tanpa mengurangi produktivitas teknis budidaya di wilayah tersebut untuk meningkatkan pendapatan.

Kata-kata kunci: jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus), produktivitas, pendapatan, R/C ratio

(3)

ABSTRACT

Enterprises Productivity of Kalung Crickets (Gryllus bimaculatus) Cultivation (Case Study in Central Java an East Java)

Rahmawati, Y. P., H. C. H. Siregar, and L. Cyrilla ENSD

Most of the cricket farms are located in Central and East Java. The farms are not optimally developed and their cricket productions are not continued. Productivity can be categorized technically and economically. The research was conducted in order to analyze technical and economical of Kalung crickets cultivation and to analyze any factors that influence them. The research was conducted Central (Demak, Kudus, Purwodadi) and East Java (Tulungagung, Kediri, Porong) from March 3rd until March 12nd, 2010. The research consisted of two stages: (1) determination of research area and the number of samples and (2) data collection. This research use survey methodology and the samples were selected purposively based on enterprises scale and experience. The data (technical productivity, income and R/C ratio) were analyzed descriptively. The average crop production in Central and East Java were 9.78 and 12.69 tons/year respectively. Technical productivity in both provinces was not so different, in contrary to economical productivity. The average income in Central Java was IDR 134,714,300.00 or 72.21% from IDR 186,566,666.00 revenue, while in East Java was IDR 149,899,333.00 or 58.56% from IDR 255,960,000.00 revenue. The R/C ratios in both provinces were more than one which meant the enterprises were economically profitable and feasible. The value of R/C ratio in Central Java (3.5) was higher than East Java (2.6). Low R/C ratio value in East Java was caused by high cost in feed, equipment and cage. The farmers should utilize alternative local resources to increase revenue.

Keywords: Kalung crickets (Gryllus bimaculatus), productivity, income, R/C ratio

(4)

PRODUKTIVITAS USAHA BUDIDAYA JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus)

(Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)

YULIA PURNAMA RAHMAWATI D14062760

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(5)

Judul : Produktivitas Usaha Budidaya Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) (Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)

Nama : Yulia Purnama Rahmawati NIM : D14062760

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si) (Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si) NIP: 19620617 199003 2 001 NIP: 19630705 198803 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc) NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 5 Agustus 2010 Tanggal Lulus:

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Pelajar Yogyakarta pada tanggal 31 Juli 1985 tepatnya di Kota Perak Kotagede. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Rosyidi dan Ibu Badriyah.

Pendidikan yang ditempuh Penulis yaitu tahun 1991-1992 di TK ABA Masjid Perak Kotagede, tahun 1992-1998 di Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon Kotagede dan pada tahun 1998-2001 di SLTP Muhammadiyah VII Purbayan Kotagede. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di Madrasah Aliyah Annajah Bekasi tahun 2003 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2006 di Madrasah Aliyah Darunnajah Jakarta Selatan.

Penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah Departemen Agama (BUD DEPAG) pada tahun yang sama yaitu tahun 2006. Penulis juga aktif dalam berbagai kepengurusan, kepanitian, dan kegiatan yang terdapat di kampus seperti anggota Community of Santri Scholar of Ministry of Religius Affair (CSS MoRA IPB), pengurus Pengembangan Sumber Daya Manusia Asrama Putri Darmaga (PSDM APD) 2009, dan peserta Seminar Wirausaha Muda Mandiri 2010.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

“Produktivitas Usaha Budidaya Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) (Studi Kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur)”. Sholawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini adalah tugas akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian tugas akhir ini dilaksanakan di masyarakat pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Tengah (Demak, Kudus, Purwodadi) dan Jawa Timur (Tulungagung, Kediri, Porong) selama dua minggu yaitu dari tanggal 3-12 Maret 2010. Usaha budidaya jangkrik Kalung di kedua provinsi tersebut hingga saat ini belum kontinyu sehingga diperlukan informasi mengenai produktivitas secara teknis dan ekonomis serta faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitasnya.

Tak ada gading yang tak retak sehingga Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama insan-insan peternakan, khususnya pembudidaya jangkrik, dan siapapun yang membacanya.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) ... 3

Potensi dan Manfaat Jangkrik ... 4

Produktivitas Ternak ... 5

Faktor-faktor Produktivitas Jangkrik ... 6

Kualitas Telur dan Daya Tetas Telur ... 6

Pakan dan Minum ... 7

Kandang, Suhu, dan Kelembaban ... 7

Kepadatan dan Mortalitas ... 8

Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik ... 9

Analisis Pendapatan dan Penerimaan Usaha Budidaya Jangkrik .. 10

MATERI DAN METODE ... 11

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

Materi ... 11

Prosedur ... 11

Rancangan dan Analisis Data ... 11

Rancangan ... 11

Analisis Data ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 14

Karakteristik Pembudidaya Jangkrik Kalung ... 16

Teknik Budidaya Jangkrik Kalung ... 19

Produktivitas Teknis Usaha Budidaya Jangkrik Kalung ... 38

(9)

viii

Karakteristik Usaha Budidaya Jangkrik Kalung ... 39

Analisis Pendapatan dan Penerimaan Usaha Budidaya ... 42

Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

Kesimpulan ... 49

Saran ... 49

UCAPAN TERIMA KASIH ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 56

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Format Analisis Pendapatan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung ... 12

2. Keadaan Geografis Jawa Tengah dan Jawa Timur ... 14

3. Suhu dan Kelembaban Jawa Tengah dan Jawa Timur ... 15

4. Karakteristik Pembudidaya Jangkrik Kalung di Jawa Tengah dan Jawa Timur ... 17

5. Curahan Tenaga Kerja dalam Usaha Budidaya Jangkrik Kalung ... 19

6. Teknik Pemanenan dan Penetasan Telur Usaha Budidaya Jangkrik 21

7. Pemeliharaan Nimfa (Anak Jangkrik) dalam Usaha Jangkrik ... 25

8. Kandungan Nutrien Bahan Makanan Konsentrat (CP 511B dan CP B-82P) ... 29

9. Masalah dan Solusinya dalam Pemeliharaan Nimfa ... 32

10. Teknik Pemeliharaan Indukan Usaha Budidaya Jangkrik ... 34

11. Panen dan Pemasaran Hasil Usaha Budidaya Jangkrik ... 35

12. Strategi Pemasaran Usaha Budidaya Jangkrik Pembudidaya di Jawa Timur ... 36

13. Produktivitas Teknis Usaha Budidaya Jangkrik ... 39

14. Karakteristik Usaha Budidaya Jangkrik ... 40

15. Kenaikan Skala Kepemilikan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung .. 41

16. Rata-rata Biaya Usaha Budidaya Jangkrik Kalung di Jawa Tengah dan Jawa Timur ... 43

17. Analisis R/C Ratio UsahaTernak Konvensional dan Non Konvensional ... 46

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Telur Jangkrik Normal (A) dan Telur Jangkrik di Atas Media (B) .. 21 2. Media Tetas Pasir (A), Serbuk Gergaji (B), Telur Tanpa Media (C)

dan Metode Penetasan Telur (D) dalam Budidaya Jangkrik ... 22 3. Jenis Kandang yang Digunakan Pembudidaya di Jawa Tengah

(A, B, C) dan Jawa Timur (D, E, F) ... 24 4. Media Sembunyi yang Digunakan Pembudidaya Jawa Tengah

(A, B, C) dan Jawa Timur (D, E, F) ... 26 5. Kepadatan Jangkrik Kalung di Jawa Tengah (A, B, C) dan

Jawa Timur (D, E, F) ... 28 6. Pakan Hijauan yang Diberikan Pembudidaya di Jawa Tengah

(A, B, C) dan Jawa Timur (D, E, F) ... 30 7. Kandang dan Media Peneluran Indukan dalam Budidaya Jangkrik 33 8. Alat dan Kemasan dalam Pemanenan Jangkrik ... 36 9. Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung Melalui Peran

Pemerintah ... 47

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuesioner Penelitian ... 57 2. Satuan Teknis Budidaya Jangkrik ... 68 3. Rata-rata Total Biaya Usaha Budidaya Jangkrik Kalung Jawa

Tengah dan Jawa Timur ... 68 4. Rata-rata Analisis R/C Ratio Pembudidaya Jangkrik Kalung

Jawa Tengah dan Jawa Timur ... 69 5. Rincian Perhitungan Analisis Pendapatan dan R/C Ratio Per

Pembudidaya ... 69 6. Peta Wilayah Penelitian (Jawa Tengah dan Jawa Timur) ... 75

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Salah satu potensi sumber daya Indonesia adalah aneka jenis satwa. Satwa- satwa tersebut liar dan ada pula yang secara konvensional diternakkan. Satwa konvensional yang diternakkan adalah sapi, kerbau, domba, kambing dan unggas.

Selain itu, telah berkembang pula usaha budidaya satwa non-ternak seperti lebah, cacing, ulat sutera, jangkrik dan satwa harapan lain yang diambil manfaatnya secara komersial. Usaha budidaya satwa harapan ini memiliki kelebihan dari ternak konvensional yaitu modal kecil, tidak memerlukan lahan luas atau perawatan khusus, biaya operasional rendah serta prospek yang baik dalam pemasaran produknya.

Usaha budidaya satwa harapan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah satwa dari kelas insekta yaitu jangkrik. Jangkrik merupakan satwa harapan yang tidak asing karena suaranya yang khas selalu terdengar di malam hari. Potensi besar budidaya jangkrik yaitu sebagai sumber protein alternatif bagi ternak konvensional dan bagi manusia. Hasil penelitian Novianti (2003) memperlihatkan bahwa jangkrik memiliki kandungan protein yang tinggi (61,58%) dengan asam amino yang cukup lengkap. Kandungan protein tersebut bahkan mampu menjadi substitusi sebagian dari sumber bahan protein yang umum digunakan seperti tepung kedelai dan tepung ikan dalam pakan ternak.

Jenis jangkrik di Indonesia kurang lebih 123 jenis. Jenis jangkrik yang potensial dikembangkan dan biasa dibudidayakan adalah jangkrik Cliring (Gryllus mitratus), jangkrik Cendawang (Gryllus testaceus) dan jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus). Jangkrik Kalung memiliki kelebihan dibandingkan dengan jangkrik Cliring dan jangkrik Cendawang, yaitu pertumbuhan cepat, memiliki tubuh yang lunak sehingga disukai burung dan satwa-satwa piaraan pemakan serangga, suara nyaring serta lebih agresif sehingga dikenal sebagai jangkrik aduan. Jangkrik Kalung memiliki ciri-ciri fisik kulit dan sayap luar berwarna hitam atau agak kemerah- merahan, terdapat garis kuning sehingga menyerupai kalung pada bagian punggung (pangkal sayap luar) (Widyaningrum, 2001).

Potensi yang sangat besar dari jangkrik itulah yang menjadikan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur membudidayakan jangkrik sebagai suatu usaha sehingga daerah tersebut terkenal sebagai pusat usaha budidaya jangkrik.

(14)

2 Produktivitas usaha dapat digolongkan secara teknis dan ekonomis. Produktivitas secara teknis diformulasikan sebagai rasio output terhadap input melalui peningkatan produktivitas yang mengandung pengertian penambahan hasil dan perbaikan cara berproduksi, sedangkan secara ekonomis merupakan usaha memperoleh hasil sebesar-besarnya dengan pengorbanan sumber daya sekecil-kecilnya (Kurniawan, 2010). Produktivitas usaha budidaya jangkrik di masyarakat pembudidaya hingga saat ini masih belum dapat kontinyu dan berkembang secara optimal. Ketersediaan produksi jangkrik sebagai alternatif sumber protein hewani dapat terpenuhi dengan baik dan kontinyu sehingga mampu mencukupi kebutuhan protein hewan ternak serta manusia melalui peran para pembudidaya dan dukungan pemerintah.

Tujuan Penelitian

1) Produktivitas usaha budidaya jangkrik Kalung secara teknis dan ekonomis (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usaha budidaya jangkrik Kalung (Jawa Tengah dan Jawa Timur).

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus)

Jangkrik merupakan serangga atau insekta berukuran kecil sampai besar yang berkerabat dekat dengan belalang dan kecoa karena diklasifikasikan ke dalam ordo Orthoptera. Jangkrik juga merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nokturnal) dan berdarah dingin.

Klasifikasi jangkrik menurut Borror et al. (1992), adalah filum Arthopoda, kelas Hexapoda (Insecta), ordo Orthoptera, sub ordo Ensifera, famili Gryllidae (Jangkrik), sub famili Gryllinae (Jangkrik lapang/rumah), genus Gryllus, spesies Gryllus bimaculatus (Jangkrik Kalung), Gryllus mitratus (Jangkrik Cliring) dan Gryllus testaceus (Jangkrik Cendawang).

Morfologi tubuh jangkrik Kalung sama dengan jangkrik-jangkrik pada umumnya yaitu terdiri atas tiga bagian utama kepala, toraks (dada) dan abdomen (perut) serta setiap spesies jangkrik memiliki ukuran dan warna yang beragam (Borror et al., 1992).

Jangkrik merupakan serangga yang mengalami siklus metamorfosis sederhana (tak sempurna). Siklus hidup jangkrik dimulai dari telur menjadi jangkrik muda (nimfa) kemudian melewati beberapa kali stadium instar terlebih dahulu sebelum menjadi jangkrik dewasa (imago) (Borror et al., 1992).

Jangkrik di alam aslinya aktif di malam hari dari kegiatan makan, mengerik serta kawin, pada siang hari jangkrik mencari perlindungan di lorong/lubang, di bawah tumpukan daun-daun, di bawah kayu-kayu dan di bebatuan (Paimin, 1999).

Menurut Kumala (1999), suhu yang cocok untuk kehidupan jangkrik berkisar antara 26-33 oC dengan kelembaban antara 75%-80%. Bila suhu dan kelembaban udaranya sesuai dengan habitat aslinya maka jangkrik akan dapat hidup sehat, segar dan lincah.

Jenis jangkrik yang saat ini banyak dibudidayakan para pembudidaya secara intensif diantaranya jenis Kalung (G. bimaculatus), Cendawang (G. testaceus) dan Cliring (G. mitratus) (Paimin et al., 1999) yang masing-masing spesies memiliki ciri- ciri fisik yang berbeda (Widyaningrum, 2001). Jangkrik Kalung sangat potensial untuk dikembangkan (Paimin et al., 1999) karena memiliki ciri khas berupa garis kuning seperti kalung yang melingkari leher, ukuran badan kurang lebih 2-3 cm serta

(16)

4 memiliki tiga warna tubuh yaitu coklat kemerahan (jerabang), coklat kehitaman (jeliteng) dan hitam.

Jangkrik hidup di sawah, tegalan, tanah lapang dan perkebunan. Jangkrik umumnya dapat hidup dengan baik pada daerah yang bersuhu antara 20-32 oC dan kelembaban nisbi sekitar 65%-80% di Indonesia. Pada saat memasuki musim kemarau jangkrik hijrah mendekati sumber-sumber perairan, seperti rumput kaso atau ilalang di pinggir sungai. Suara kerikan jangkrik tidak jarang terdengar di pekarangan rumah pada malam hari, sedangkan bersembunyi di bawah batu-batuan, reruntuhan pohon atau dalam tanah pada siang hari (Paimin, 1999).

Potensi dan Manfaat Jangkrik

Potensi dan manfaat jangkrik telah sedikit diketahui oleh masyarakat yaitu sebagai pakan ikan, binatang kesayangan bahkan sebagai bahan pangan manusia di beberapa negara. Jangkrik berpotensi untuk dibudidayakan karena: (1) kadar protein jangkrik yang tinggi; (2) daya reproduksi tinggi dengan siklus hidup pendek dan (3) pemberian pakan mudah (De Foliart et al., 1982)

Produk jangkrik yang laku di pasaran adalah telur, clondo dan induk. Telur dan induk jangkrik memiliki sasaran pasar pembudidaya jangkrik, sedangkan clondo dijual kepada penggemar burung berkicau atau ikan arwana. Clondo sebagai pakan burung berkicau akan menjadikan kicauan burung bagus dan prima dan sebagai pakan ikan arwana menjadikan warna tubuh ikan lebih cemerlang (Paimin, 1999).

Selain tiga produk tersebut, terdapat juga tepung jangkrik yang digunakan sebagai pakan udang dan ikan lele (Paimin et al., 1999).

Jangkrik juga dikenal sebagai bahan pangan manusia di beberapa negara.

Jangkrik menurut Bodenheimer (1951) termasuk salah satu jenis serangga yang biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat di beberapa negara seperti India, Filipina, Thailand dan Indonesia. Serangga ini dikonsumsi bukan hanya dalam keadaaan darurat melainkan sebagai bahan makanan pelengkap sumber protein alternatif sepanjang tahun. Hal ini didukung dengan pernyataan De Foliart et al. (1982), bahwa jangkrik sangat berpotensi untuk dibudidayakan sebagai bahan pangan dan pakan karena memiliki palatabilitas dan kandungan protein yang tinggi.

(17)

5 Jangkrik dapat diolah menjadi tepung dan berpotensi sebagai sumber protein hewani alternatif karena mengandung nutrisi, terutama asam amino yang cukup lengkap sehingga mampu menggantikan sebagian tepung kedelai dan tepung ikan dalam campuran pakan ayam broiler. Kadar protein tepung jangkrik berdasarkan bahan basah berkisar antara 56,02%-61,58%. Bila dibandingkan dengan kadar protein bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh manusia memperlihatkan bahwa tepung hewan ini berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif bahan pangan sumber protein (Napitupulu, 2003). Hasil penelitian Novianti (2003) menunjukkan bahwa tepung jangkrik Kalung (G. bimaculatus) mengandung protein dan lemak yang cukup tinggi yaitu masing-masing berkisar antara 56,02%-74,5% dan 15,47%- 32,84%. Syaiful (2003) menyatakan bahwa asam linoleat merupakan asam lemak yang paling dominan pada tepung jangkrik, sangat penting bagi manusia dan hewan, terutama untuk mencegah dermatitis (pengeringan dan pengelupasan kulit) pada anak-anak.

Produktivitas Ternak

Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang ditentukan per satuan waktu (Simanjuntak, 1998). Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Reksohadiprodjo (1995) bahwa produktivitas adalah peningkatan proses produksi. Proses peningkatan produksi berarti perbandingan antara jumlah sumber daya yang dipergunakan (masukan) dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi (keluaran). Pengurangan dalam masukan dengan keluaran tetap atau kenaikan keluaran dengan masukan tetap merupakan peningkatan produktivitas.

Produktivitas usaha dapat digolongkan secara teknis dan ekonomis.

Produktivitas secara teknis diformulasikan sebagai rasio output terhadap input melalui peningkatan produktivitas yang mengandung pengertian penambahan hasil dan perbaikan cara berproduksi, sedangkan secara ekonomis merupakan usaha memperoleh hasil sebesar-besarnya dengan pengorbanan sumber daya sekecil- kecilnya (Kurniawan, 2010).

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Suhu, kelembaban udara dan curah hujan merupakan faktor yang penting karena berhubungan erat dengan iklim yang besar pengaruhnya terhadap produktivitas

(18)

6 ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terlihat pada saat suhu dan kelembaban udara meningkat yang menyebabkan suhu tubuh ternak meningkat dan menurunkan konsumsi makanan. Suhu tubuh yang naik karena cekaman menyebabkan depresi pada reproduksi yang dapat mengakibatkan kelahiran dan perkembangan anak prenatal menurun. Pengaruh secara tidak langsung meliputi kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia, perkandangan, penyakit dan manajemen. Bila ternak sulit beradaptasi terhadap lingkungannya maka produktivitas akan rendah (Williamson dan Payne, 1993).

Produktivitas yang berasal dari ternak dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.

Untuk memperoleh produksi yang optimal, kemampuan genetik populasi ternak harus diketahui dan mengusahakan faktor lingkungan optimal (Adjisoedarmo et al., 1985). Selain faktor fisik terdapat juga faktor ekonomi. Produktivitas dinilai secara ekonomis tidak dapat dilepaskan dari fungsi produksi yang merupakan konsep sistematis yang menghubungkan output dengan berbagai kombinasi input faktor produksi (Todaro dan Smith, 2006).

Faktor-faktor Produktivitas Usaha Budidaya Jangkrik Kualitas Telur dan Daya Tetas Telur

Telur jangkrik berbentuk bulat panjang berukuran tidak lebih dari 0,25 cm dan berwarna kuning muda yang mirip dengan hasil parutan kelapa. Telur yang bagus berwarna kuning bening dan mengkilat, telur yang embrionya tumbuh ditandai dengan warna kecoklatan mengkilat dan bening. Menjelang menetas, telur menjadi kusam dan ujungnya tampak berwarna hitam. Bagian atas telur terdapat tonjolan yang disebut operculum, yang merupakan tempat keluar nimfa dari dalam telur. Kulit telur jangkrik sangat liat dan kuat, berfungsi melindungi bagian dalam telur (Paimin et al., 1999).

Kualitas telur akan menurun jika kondisi lingkungan tidak sesuai atau telur infertil. Kondisi lingkungan yang menyebabkan penurunan kualitas telur tersebut adalah kekeringan yang lama sehingga menyebabkan kerusakan pada telur. Selain itu, lingkungan yang lembab secara labil juga dapat menurunkan kualitas telur karena kelembaban akan menyebabkan telur terserang penyakit atau ditumbuhi oleh jamur Semua telur yang bengkok atau hitam menandakan telur tersebut jelek (Paimin, 1999).

(19)

7 Media tetas jangkrik dapat berupa pasir, tanah, campuran pasir dan tanah, kapas dan kain. Kelembaban relatif yang dibutuhkan untuk penetasan telur berkisar antara 65%-80%, dengan suhu udara 26 oC (Paimin et al., 1999). Telur tidak menetas sekaligus melainkan secara bertahap (Sridadi dan Rachmanto, 1999). Waktu yang dibutuhkan telur jangkrik Kalung (G. bimaculatus) yang telah dikeluarkan sampai menetas adalah 15-17 hari sejak induk kawin sampai telur menetas (Rifadah, 2000).

Telur yang berkualitas baik memiliki daya tetas yang tinggi, yaitu di atas 95%, sedangkan yang berkualitas jelek daya tetasnya di bawah 50%. Daya tetas telur dipengaruhi oleh genetik dan kemampuan jantan membuahi sel telur (Widyaningrum, 2001).

Pakan dan Minum

Jangkrik tergolong hewan pemakan tumbuhan (herbivora) dan umumnya memakan dedaunan, sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak air. Hal ini disebabkan jangkrik tidak minum air seperti kebanyakan hewan. Makanan tersebut antara lain krokot, sawi, kol, bayam, daun singkong, wortel, gambas dan daun muda.

Jangkrik lebih menyukai bagian tanaman yang muda seperti daun dan pucuk tanaman (Paimin et al., 1999).

Jangkrik juga diberi pakan tambahan berupa konsentrat selain pakan hijauan yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan. Jangkrik yang diberi pakan buatan dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan jangkrik yang diberi tumbuh-tumbuhan saja (Praditya, 2003). Lumowo (2001) menyatakan bahwa, jangkrik yang diberi pakan tambahan pada kadar protein 20%-22% berproduksi lebih baik daripada yang diberi pakan tambahan pada kadar protein 16%-18%.

Kandang, Suhu dan Kelembaban

Kondisi kandang jangkrik diusahakan mendekati habitat di alam aslinya antara lain dengan menyediakan tempat persembunyian atau delikan. Persembunyian ini berfungsi untuk memperkecil resiko kanibalisme dan memperbesar ruang gerak.

Delikan berupa daun kering seperti daun jati, daun pisang atau daun keluwih (Paimin, 1999) .

Jangkrik dapat hidup di udara dingin atau panas, dalam kelembaban yang tinggi atau rendah, tetapi pada umumnya jangkrik lebih menyukai hidup di daerah bersuhu sekitar 20-32 oC pada kelembaban 65%-80% (Paimin et al., 1999). Jangkrik

(20)

8 rumah (Achetta domesticus) tumbuh lebih cepat pada suhu 28 oC dibandingkan jika dipelihara pada suhu 25 oC. Untuk jangkrik yang dipelihara dalam kandang, kelembaban udara dapat dijaga dengan cara menyemprot sekitar kandang dengan air bersih dengan menggunakan semprotan atau sprayer halus atau dengan meletakkan kapas atau kain lembab di dalam kandang (Booth dan Kiddell (2007). Menurut Bursell (1970), serangga yang hidup pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, akan cenderung menurunkan kadar air tubuhnya dengan cara mengurangi konsumsi pakan. Paimin (1999) juga menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara yang sesuai akan mendukung kehidupan jangkrik.

Kandang merupakan aspek yang penting dalam pemeliharaan jangkrik.

Peternakan jangkrik di Indonesia umumnya menggunakan kayu, tripleks, kardus, plastik atau bambu bekas sebagai bahan membuat kandang. Kandang jangkrik harus dikondisikan seperti habitat aslinya, yaitu lembab dan gelap. Umumnya kandang diletakkan di tempat yang dihindarkan dari sinar matahari langsung dan dilengkapi dengan tempat persembunyian berupa egg tray, daun pisang kering, karton bekas gulungan tissue, atau bahan-bahan lain yang berfungsi memberi kenyamanan dan menambah luas permukaan kandang. Selain tempat persembunyian, kandang juga dapat dilengkapi dengan tempat pakan atau minum serta tempat bertelur berupa pasir yang lembab untuk jangkrik dewasa. Sumber air untuk jangkrik dapat berupa spons atau kapas basah selain daun-daunan (Paimin, 1999). Menurut Fitriyani (2005), jangkrik yang dipelihara pada kandang bersekat memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kandang tanpa bersekat.

Kepadatan dan Mortalitas

Kepadatan pada pemeliharaan jangkrik sangat berkaitan erat dengan mortalitas. Semakin tinggi kepadatan semakin tinggi pula mortalitas. Jangkrik Kalung yang dipelihara dalam kandang berukuran 60x45x30 cm dengan kepadatan 500 ekor mengalami mortalitas sebesar 35% (Widyaningrum, 2001). Kandang yang terlalu padat dapat memacu kanibalisme serta memperlambat pertumbuhan dan perkembangan jangkrik (Clifford et al., 1977). Kebersihan kandang merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena kandang yang kotor akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jangkrik. Sisa pakan dan kotoran yang menumpuk dapat mengurangi kenyamanan dan menyebabkan penyakit. Kandang juga harus

(21)

9 dihindarkan dari pemangsa seperti cicak, semut, tikus dan hewan lain dengan cara menutup kandang dengan kasa atau meletakkan tatakan yang berisi minyak tanah atau oli bekas pada setiap kaki kandang.

Mortalitas jangkrik dibagi ke dalam beberapa fase adalah fase nimfa 45%- 86% dan pada fase imago sebesar 53,04% (Widyaningrum, 2001). Persentase mortalitas jangkrik Kalung pada fase pertumbuhan yaitu 89,35% (Herdiana, 2001).

Mortalitas juga disebabkan oleh beberapa faktor kesalahan dalam pemeliharaan, pemangsa dan penyakit (Erdian, 2005). Mortalitas yang tinggi dapat disebabkan oleh diare akibat mengkonsumsi air terlalu banyak, sehingga tubuh menjadi lunak dan mudah mati (Mansy, 2002). Perilaku jangkrik Kalung dewasa sangat agresif dan cenderung suka berkelahi sehingga tingkat mortalitas tinggi.

Pengembangan Usaha Budidaya Jangkrik

Faktor yang menentukan usaha peternakan dapat digolongkan atas dua macam, yaitu: (1) faktor teknis biologis (zoo teknis) yang meliputi pemuliaan ternak, pakan, perawatan, perkandangan dan pengendalian penyakit dan (2) faktor non teknis (bio-ekonomi dan sosial) yang meliputi keadaan sosial budaya, daya beli masyarakat, pemasaran, keadaan gizi masyarakat, prasarana dan sarana perhubungan (Basuki, 1985).

Indonesia memiliki potensi hijauan pakan untuk ternak herbivora seperti rumput di padang rumput, perkebunan maupun sisa hasil dan hasil ikutan tanaman pangan. Wilayah yang banyak menyediakan hijauan pakan dapat menampung populasi ternak (Prawiradiputra dan Purwantari, 1996).

Tiga faktor yang mempengaruhi daerah penyebaran ternak di Indonesia adalah (1) keadaan penduduk yang mencakup adat kebiasaan pengalaman, perkembangan dan tingkat pendidikan; (2) keadaan ekonomi meliputi tenaga kerja, modal, pemasaran dan pengolahan hasil ternak; (3) keadaaan alam yaitu geografis dan topografis (Atmadilaga, 1977).

Kebijakan pengembangan peternakan memperhatikan faktor-faktor esensial baik makro maupun mikro. Faktor makro merupakan faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan usaha, seperti kondisi perekonomian, ketersediaan lahan, ketersediaan pakan, jumlah penduduk, jumlah permintaan produk ternak, sedangkan

(22)

10 yang terkait dengan aspek zooteknis usaha peternakan meliputi feeding, breeding dan management (Mukson et al., 2005).

Analisis Pendapatan dan Penerimaan Usaha Budidaya Jangkrik

Tingkat keuntungan dalam pertanian dapat diukur dengan pendapatan usahatani yang umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan suatu usahatani dengan tujuan untuk membantu perbaikan pengelolaan usahatani. Analisis pendapatan bertujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan tepat menggambarkan keadaan yang akan datang (Hernanto, 1993). Penerimaan adalah hasil penjualan output yang diterima produsen (Boediono, 2000). Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total dan biaya-biayanya. Biaya dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel (Soekartawi, 1988).

Pendapatan menurut Rasyaf (2002) adalah sejumlah uang yang diperoleh setelah semua biaya variabel termasuk biaya tetap operasional tertutupi. Penerimaan total (Total Revenue/TR) adalah banyaknya produksi dikalikan dengan harga output (Py) dan biaya produksi (Total Cost/TC) yaitu total biaya variabel (Total Variabel Cost/TVC) ditambah dengan total biaya tetap (Total Fix Cost/TFC) dan TVC adalah banyaknya input (x) dikalikan dengan harga input (Px), maka persamaan keuntungan (π) menurut Widjaya (1998) dapat ditulis sebagai berikut:

π = TR-TC = TR-(TVC+TFC) π = Px.Y-(Px.X +TFC)

π = Py.Y-Px.X-TFC

Analisis pendapatan menurut Gittinger (1986), juga bertujuan untuk membantu perbaikan pengelolaan usaha tani ternak. Analisis pendapatan memerlukan dua ketentuan pokok yaitu penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan dapat berwujud tiga hal yaitu hasil penjualan produk, produk yang dikonsumsi dan kenaikan nilai inventaris ternak.

(23)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di masyarakat pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Tengah (Purwodadi, Demak, Kudus) dan Jawa Timur (Tulungagung, Kediri, Porong). Penelitian dilakukan selama dua minggu yaitu pada tanggal 3-12 Maret 2010. Pemilihan kedua daerah tersebut karena merupakan daerah yang menjadi pusat usaha budidaya jangkrik Kalung di Indonesia.

Materi

Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, termometer, kamera, dan kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data primer usaha budidaya jangkrik Kalung di masyarakat pembudidaya.

Prosedur

Penelitian dilaksanakan secara dua tahap. Tahap pertama adalah penentuan wilayah penelitian dan jumlah sampel. Tahap kedua adalah pengambilan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan menggunakan kuesioner melalui wawancara langsung dengan responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari data berbagai literatur dan dari dinas yang terkait yang berhubungan dengan penelitian.

Rancangan dan Analisis Data Rancangan

Desain yang digunakan dalam penelitian adalah survai. Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian untuk dianalisis secara deskriptif adalah karakteristik pembudidaya jangkrik (umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman budidaya, awal ketertarikan, motivasi budidaya), karakteristik teknik budidaya jangkrik (pemanenan dan penetasan telur, pemeliharaan nimfa, pemeliharaan indukan, panen dan pemasaran usaha budidaya), pemanenan dan pemasaran usaha budidaya, produktivitas usaha budidaya jangkrik, karakteristik usaha budidaya jangkrik (tipologi dan skala budidaya), analisis pendapatan dan penerimaan usaha budidaya serta analisis R/C ratio.

Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah pembudidaya jangkrik di wilayah Jawa Tengah (Demak, Kudus, Purwodadi) dan Jawa Timur (Tulungagung, Kediri, Porong). Sampel yang menjadi responden dipilih secara purposive di setiap

(24)

12 wilayah. Jumlah sampel pembudidaya jangkrik yang diambil tiap wilayah adalah satu orang. Sampel pembudidaya yang dipilih merupakan pembudidaya jangkrik yang terbesar dan paling lama melakukan budidaya karena lebih berpengalaman dan lebih mengetahui dinamika usaha budidaya jangkrik.

Analisis Data

Penilaian Produktivitas Teknis Usaha Budidaya. Produktivitas teknis usaha budidaya jangkrik Kalung serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dianalisis secara deskriptif. Hal-hal yang dianalisis meliputi; karakteristik pembudidaya jangkrik (umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman budidaya, awal ketertarikan, motivasi budidaya), karakteristik teknik budidaya jangkrik (pemanenan dan penetasan telur, pemeliharaan nimfa, pemeliharaan indukan, panen dan pemasaran usaha budidaya), produktivitas teknik usaha budidaya jangkrik, dan karakteristik usaha budidaya jangkrik (tipologi dan skala budidaya).

Analisis Pendapatan Usaha Budidaya Jangkrik. Analisis pendapatan bertujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan tepat menggambarkan keadaan yang akan datang (Hernanto, 1993). Analisis pendapatan usaha dilakukan dengan mempertimbangkan faktor dalam suatu usaha, antara lain penerimaan usahatani, biaya produksi (biaya variabel dan biaya tetap), marjin kotor, dan pendapatan usahatani. Format analisis pendapatan usaha budidaya jangkrik Kalung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Format Analisis Pendapatan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung

No. Keterangan Tunai Tidak Tunai Inventaris Total

………..(Rp)………..

1.

2.

3.

4.

5.

Penerimaan Usahatani Biaya Variabel

Marjin Kotor (1-2) Biaya Tetap

Pendapatan Usahatani (3-4)

Sumber: Soekartawi et al. (1986), dimodifikasi

(25)

13 Penerimaan tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total dan biaya-biayanya. Biaya dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel (Soekartawi et al., 1986).

Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya sewa atau bunga tanah yang berupa uang. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya berhubungan langsung dengan produksi, misalnya pengeluaran untuk bibit dan pupuk. Biaya marjinal adalah biaya tambahan yang dikeluarkan petani atau pengusaha untuk mendapatkan tambahan satu-satuan produk pada suatu tingkat produksi tertentu (Daniel, 2002).

Analisis R/C Ratio. Suatu usaha budidaya jangkrik yang dijalankan menguntungkan atau tidak dapat dianalisis berdasarkan perhitungan R/C Ratio, dengan rumus:

Total Penerimaan Usaha Budidaya R/C ratio =

Total Biaya Usaha Budidaya

Analisis R/C ratio adalah singkatan Revenue Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya. Secara teoritis bila R/C ratio lebih besar dari satu berarti usaha mendapat keuntungan; R/C ratio kurang dari satu berarti usaha mengalami kerugian dan R/C ratio sama dengan satu artinya usaha tidak untung dan tidak rugi (Soekartawi, 1995). Rasio penerimaan dan biaya merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keuntungan relatif dari suatu usaha berdasarkan perhitungan finansial, dengan seberapa besar setiap rupiah dari biaya yang dikeluarkan yang dapat memberikan penerimaan.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Keadaan Geografis

Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki karakteristik wilayah yang tidak jauh berbeda satu sama lain dengan memiliki keunggulan masing-masing. Hasil penelitian menginformasikan bahwa keadaan umum di kedua provinsi seperti iklim, curah hujan, musim hujan, suhu dan kelembaban tidak jauh berbeda. Keadaan umum Jawa Tengah dan Jawa Timur disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Keadaan Geografis Jawa Tengah dan Jawa Timur

Keterangan Jawa Tengaha Jawa Timurb

Iklim Tropis Tropis basah

Curah Hujan 2.000 mm/tahun 1.900 mm/tahun

Musim Hujan 195 hari 100 hari

Suhu 21-32 ºC 18-34,2 ºC

Kelembaban 60%-96% 66%-94%

Sumber: a) Badan Pusat Statistik, 2010

b) Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur, 2010

Iklim dan curah hujan di kedua provinsi tidak jauh berbeda, namun panjang musim hujan di Jawa Timur (100 hari) lebih rendah dari Jawa Tengah (195 hari).

Musim penghujan di Jawa Timur berlangsung antara bulan Oktober-April dan musim kemarau yang berlangsung selama bulan Mei-Oktober. Suhu dan kelembaban di kedua provinsi juga tidak jauh berbeda, namun suhu di Jawa Timur (18-34,2 ºC) lebih fluktuatif dibandingkan Jawa Tengah (21-32 ºC).

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah sekitar 32.451.600 jiwa. Empat puluh tujuh persen diantaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak di sektor pertanian (42,34%), diikuti dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%) (Badan Pusat Statistik, 2010). Jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Timur sebagian besar di sektor pertanian (46,18%), sisanya di sektor industri (22,32%), perdagangan (18,80%) dan sektor jasa (12,70%) (Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Timur, 2010 ).

(27)

15 Jawa Tengah dan Jawa Timur juga merupakan pusat pertanian secara luas yang meliputi bidang peternakan. Jenis ternak konvensional yang umumnya diternakkan di daerah tersebut adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, domba, ayam, itik dan kelinci. Jenis ternak non konvensional juga banyak dibudidayakan antara lain lebah, jangkrik, burung, cacing dan ulat sutera (Hendayana, 2003).

Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang berpotensi besar dalam usaha peternakan dengan didukung oleh sumber daya alam, salah satunya adalah usaha budidaya jangkrik Kalung. Jangkrik Kalung telah banyak dibudidayakan di daerah tersebut karena memiliki prospek yang menjanjikan. Tempat yang terkenal sebagai pusat usaha budidaya jangkrik Kalung di Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu daerah Demak, Kudus, Purwodadi (Jawa Tengah) dan daerah Tulungagung, Kediri, Porong (Jawa Timur).

Tabel 3. Suhu dan Kelembaban Jawa Tengah dan Jawa Timur

Keterangan Suhu (ºC) Kelembaban (%)

Jawa Tengah

Demaka 32 44

Kudusb 22-24 84

Purwodadic 26 73-94

Jawa Timur

Tulungagungd 21 73

Kedirie 20-34 70-84

Porongf 25-34 65-96

Sumber: a) Pemerintah Kabupaten Demak (2010); b) Pemerintah Kabupaten Kudus (2010); c) Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Grobogan (2010); d) Pemerintah Kabupaten Tulungagung (2010); e) Pemerintah Kabupaten Kediri (2010); f) Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (2010).

Fluktuasi suhu di keenam daerah penelitian tidak jauh berbeda dengan kisaran 21-34 ºC, sedangkan tingkat kelembaban berbeda dengan kisaran 44%-94% (Jawa Tengah) dan 65%-96% (Jawa Timur).

Kabupaten Demak berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah bagian Utara.

Kabupaten ini merupakan daerah agraris yang kebanyakan penduduknya hidup dari pertanian. Curah hujan antara 458-1.661 mm dengan musim hujan 96 hari. Musim kemarau pada bulan Juni-September dan musim penghujan bulan Desember-Maret (Pemerintah Kabupaten Demak, 2010). Kabupaten Kudus memiliki iklim tropis

(28)

16 dengan suhu sedang. Curah hujan kurang lebih 2.500 mm per tahun dengan musim hujan kurang lebih 132 hari per tahun. Suhu udara di Kabupaten Kudus rata-rata berkisar 22-24 °C dengan suhu udara terendah 17,5 °C yang terjadi di sekitar puncak Gunung Muria pada musim penghujan dan suhu udara tertinggi 33 °C terjadi pada dataran rendah pada musim kemarau (Pemerintah Kabupaten Kudus, 2010).

Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan ibukota Purwodadi. Bulan kering dan bulan basah di kabupaten ini sekitar enam bulan. Suhu minimal 26 ºC dengan kelembaban 73%-94% (Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Grobogan, 2010).

Kabupaten Tulungagung terletak 154 km Barat Daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Topografi Kabupaten Tulungagung serta wilayahnya memungkinkan kelangsungan usaha peternakan dengan kondisi tanah dan agroklimat yang sangat cocok untuk pertumbuhan rumput. Musim penghujan terjadi pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-Maret (Pemerintah Kabupaten Tulungagung, 2010). Kota Kediri berjarak kurang lebih 128 km dari Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Tipe iklim di Kabupaten Kediri adalah tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan jumlah bulan basah tujuh dan bulan kering lima (Pemerintah Kabupaten Kediri, 2010). Kecamatan Porong berada di sebelah Selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini beriklim topis dengan dua musim, musim kemarau pada bulan Juni sampai bulan Oktober dan musim hujan pada bulan Nopember sampai bulan Mei (Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, 2010).

Karakteristik Pembudidaya Jangkrik Kalung

Karakteristik pembudidaya jangkrik Kalung yang diamati meliputi umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pengalaman budidaya, awal ketertarikan budidaya dan motivasi budidaya. Karakteristik pembudidaya jangkrik Kalung di Jawa Tengah dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 4.

Rata-rata umur pembudidaya jangkrik Kalung daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu rentang umur 15-55 tahun (100%). Hal ini menunjukkan bahwa pembudidaya jangkrik Kalung daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah berada pada usia produktif. Usia produktif dalam usaha budidaya ternak sangat menentukan pengembangan usaha budidaya tersebut. Jumlah anggota keluarga berperan dalam membantu jalannya suatu usaha budidaya baik skala kecil maupun besar termasuk didalamnya jumlah tanggungan. Anggota keluarga dapat diberdayakan untuk

(29)

17 membantu usaha budidaya sekaligus dapat mengurangi biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga.

Tabel 4. Karakteristik Pembudidaya Jangkrik Kalung di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Profil Jawa Tengah Jawa Timur

(orang) (%) (orang) (%)

Umur (tahun)

< 15 15-55

> 55

0 0 0 0

3 100 3 100

0 0 0 0

Anggota Keluarga 2-3 orang

4-5 orang

0 0 2 66,67

3 100 1 33,33

Pendidikan

Tidak Tamat SD-SD Tamat SLTP-SLTA Diploma-Sarjana

3 100 1 33,33

0 0 2 66,67

0 0 0 0

Pengalaman Budidaya 2-5 (tahun)

6-10 (tahun) 11-15 (tahun)

3 100 1 33,33

0 0 1 33,33

0 0 1 33,33

Awal Tertarik Budidaya Inisiatif sendiri

Ajakan teman/saudara Coba-coba

0 0 3 100

1 33,33 0 0

2 66,67 0 0

Lainnya 0 0 0 0

Motivasi Budidaya Mudah dilakukan Untungnya besar Biaya kecil

3 100 3 100

0 0 2 66,67

0 0 0 0

Lainnya 0 0 0 0

Pelatihan Budidaya Pernah

Tidak Pernah

0 0 0 0

3 100 3 100

Rata-rata tingkat pendidikan pembudidaya jangkrik di Jawa Timur lebih tinggi (33,33% tamat Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat dan 66,67% SLTA) daripada Jawa Tengah (100% tamat Sekolah Dasar/Sekolah Rakyat), sehingga pembudidaya di Jawa Timur lebih kreatif dalam mencari peluang usaha. Hal ini terlihat dari awal

(30)

18 ketertarikan budidaya di Jawa Timur timbul atas inisiatif sendiri, sedangkan pembudidaya Jawa Tengah yang pendidikannya lebih rendah lebih didorong oleh ajakan orang lain ataupun mencoba-coba saja. Awal ketertarikan terhadap suatu usaha akan mempengaruhi perkembangan usaha. Usaha yang dilakukan dengan kehendak pribadi dari diri sendiri akan lebih optimal hasilnya dibandingkan dengan usaha yang dilakukan karena kehendak atau paksaan orang lain maupun karena ikut- ikutan.

Selain motivasi pembudidaya, usaha budidaya jangkrik Kalung di Jawa Timur juga didorong oleh alasan ekonomi yaitu untung yang besar (66,67% dari responden), sedangkan di Jawa Tengah lebih didorong oleh kemudahan berbudidaya (100% dari responden). Usaha yang dikembangkan dengan motivasi mendapatkan keuntungan yang besar akan lebih berpeluang maju. Tingkat pendidikan mempengaruhi manajemen pembudidaya termasuk strategi yang digunakan untuk kemajuan usaha budidaya. Tingkat pendidikan berbeda, namun pembudidaya di kedua provinsi sudah merasa puas dengan keuntungan yang diperoleh dari usaha budidaya jangkrik. Hal ini membuat mereka kurang termotivasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang budidaya jangkrik melalui pelatihan, padahal pelatihan tersebut penting untuk mengembangkan usaha budidaya jangkrik menjadi lebih baik melalui manajemen budidaya, penerapan teknologi, peningkatan produksi dan perluasan pemasaran.

Pengalaman merupakan guru terbaik. Pengalaman budidaya digambarkan dengan lama pembudidaya menggeluti usaha budidaya. Sebagian besar pembudidaya jangkrik di Jawa Timur sudah lebih berpengalaman dengan lama pembudidayaan lebih dari enam tahun (66,67%), sedangkan pembudidaya Jawa Tengah belum lama melakukan bisnis di bidang usaha budidaya yaitu di bawah lima tahun (100%).

Keahlian budidaya di kedua provinsi diperoleh melalui pengalaman. Baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembudidaya belum pernah mendapatkan pelatihan usaha budidaya jangkrik dari pihak manapun termasuk dinas terkait. Pembudidaya jangkrik Kalung melaksanakan usaha budidaya tidak berdasarkan panduan budidaya tetapi berdasarkan pengalaman dan kebiasaan yang terdapat di daerah tersebut (tradisional).

Hal ini sangat berpengaruh dalam pengembangan usaha budidaya jangkrik Kalung di kedua provinsi.

(31)

19 Teknik Budidaya Jangkrik Kalung

Usaha budidaya jangkrik Kalung dapat berkembang pesat jika didukung oleh sumber daya manusia berkualitas. Kualitas sumber daya manusia sangat berperan dalam manajemen budidaya. Manajemen budidaya yang baik dan tepat akan berdampak positif kepada peningkatan produktivitas hasil panen. Manajemen sangat banyak kaitannya, tidak hanya manajemen budidaya secara utama tetapi terdapat juga manajemen lingkungan, keuangan, dan pemasaran sebagai faktor pendukung.

Curahan tenaga kerja dalam usaha budidaya jangkrik Kalung di kedua provinsi diinformasikan pada Tabel 5.

Curahan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk mengelola suatu usaha atau dapat diartikan sebagai jumlah dan lama bekerja yang digunakan untuk pemeliharaan selama satu tahun yang meliputi HOK (Hari Orang Kerja).Curahan tenaga kerja yang tepat mampu mengoptimalkan kemampuan individu sekaligus mampu mengurangi biaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja dalam usaha budidaya jangkrik Kalung (skala 50 kotak) adalah dua orang. Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh pembudidaya di kedua provinsi lebih rendah daripada jumlah tenaga kerja menurut Paimin et al. (1999), yaitu satu orang tenaga kerja untuk 10 kotak jangkrik.

Tabel 5. Curahan Tenaga Kerja dalam Usaha Budidaya Jangkrik Kalung

Keterangan Curahan Tenaga Kerja Usaha Budidaya

Jumlah tenaga kerja Dua orang (skala 50 kotak)

Individu tenaga kerja Anggota keluarga (anak, saudara) dan luar keluarga (tetangga)

Waktu kerja Enam jam per hari dan fleksibel sesuai kondisi budidaya Tugas tenaga kerja Pemanenan telur jangkrik apabila terdapat pemeliharaan

indukan, penetasan, pemeliharaan nimfa (anak jangkrik), pemeliharaan induk, pengecekan hewan pemangsa (predator), pemanenan hingga pemasaran jangkrik

Para pembudidaya jangkrik Kalung memilih memanfaatkan anggota keluarga dalam aktivitas pemeliharaan seperti pemeliharaan indukan, penetasan, pemeliharaan nimfa dan pengecekan predator. Tenaga kerja dari luar keluarga dijadikan tenaga kerja dalam aktivitas periode pemanenan. Tahapan budidaya di kedua provinsi ini sudah sesuai dengan teknik budidaya jangkrik menurut Paimin et al., (1999).

(32)

20 Waktu kerja pembudidaya jangkrik lebih singkat (enam jam per hari) dan fleksibel sesuai dengan tahapan usaha budidaya dibandingkan waktu kerja usaha ternak lain. Pemakaian ukuran jam kerja menurut Soekartawi et al. (1986), yaitu delapan jam kerja dalam satu hari kerja atau sama dengan satu hari kerja pria (HKP).

Curahan tenaga kerja pada usaha peternakan domba dalam hasil penelitian Pujianto (2008) yaitu rata-rata 351,51 HKP/ST/tahun dan 262,14 HKP/ST/tahun. Curahan tenaga kerja dalam usaha peternakan lebih didominasi oleh tenaga kerja pria daripada tenaga kerja wanita dan anak-anak.

Pembudidaya jangkrik Kalung di kedua provinsi umumnya mengelola dan mengawasi usaha budidaya jangkrik Kalung mulai dari penetasan, pemeliharaan, pemanenan hingga pemasaran sehingga mereka mengetahui semua kondisi budidaya.

Pembudidaya yang perhatian terhadap usaha budidaya akan menghasilkan panen jangkrik yang lebih optimal.

Pemanenan dan Penetasan Telur

Telur jangkrik para pembudidaya biasanya berasal dari hasil budidaya sendiri dan sebagian kecil diperoleh dari pedagang telur jangkrik. Alasan pembudidaya yang memanen telur dari hasil budidaya indukan sendiri adalah untuk menghemat biaya produksi, menjaga kualitas telur dan dapat menambah penerimaan, sedangkan alasan pembudidaya yang memperoleh telur dari pedagang telur jangkrik adalah agar lebih efisien (tidak repot) dan dapat menghemat biaya produksi.

Teknik pemanenan maupun penetasan telur yang dilakukan pembudidaya sudah cukup sesuai dengan Paimin et al., (1999) (Tabel 6). Cara pemanenan telur dilakukan dengan menggunakan saringan atau ayakan untuk memisahkan telur dari pasir dan kotoran. Pemanenan ada yang dilakukan setiap hari tetapi ada juga yang secara berkala tiap empat hari sekali. Telur yang telah dipanen kemudian ditetaskan sebagai bibit budidaya jangkrik, sedangkan media peneluran disiapkan kembali di dalam kotak pemeliharaan indukan. Hal ini harus dilakukan karena kemungkinan belum semua induk melakukan peneluran. Pemeriksaan media peneluran dilakukan setiap 3-4 hari sekali.

(33)

21 Tabel 6. Teknik Pemanenan dan Penetasan Telur Usaha Budidaya Jangkrik

Keterangan Teknik Pemanenan dan Penetasan Telur Asal telur Hasil budidaya sendiri dan pedagang telur

Alat pemanenan Saringan atau ayakan Waktu pemanenan Berkala (1-4 hari sekali)

Ciri kualitas telur Warna putih kekuningan, bening, mengkilat, tidak kumal, bersih, terasa hangat, panjang 0,25-0,3 cm

Media tetas Kain, pasir, serbuk gergaji dan kombinasi dua media Permasalahan Telur dimakan predator (semut), telur kualitasnya jelek

(infertil), dan telur berjamur akibat kelembaban yang tinggi Solusi Penggunaan kapur anti semut, air, oli pada kaki kandang,

penggunaan penutup kandang, penggunaan telur berkualitas baik, pemberian pakan yang baik, menjaga kelembaban media tetas dan pengontrolan selama penetasan

Ciri-ciri kualitas telur jangkrik yang baik menurut para pembudidaya adalah telur berwarna putih kekuningan, bening, mengkilat, terlihat bersih, tidak kumal (kemrisik), dan terasa hangat bila dibungkus yang menandakan telur tidak mati. Ciri lain apabila satu telur berkualitas bagus maka semua telur juga berkualitas bagus dan yang terpenting telur tidak dicuci dengan air sabun. Kualitas telur usaha budidaya jangkrik di pembudidaya dapat dilihat pada Gambar 1.

(A) a (B)b

Gambar 1. Telur Jangkrik Normal (A) dan Telur Jangkrik di Atas Media (B) (Sumber: (a) CV Agro Jaya, 2010; (b) Ellen, 2009)

Ciri kualitas telur di atas sesuai dengan pernyataan Paimin et al. (1999), bahwa telur jangkrik yang bagus berwarna kuning bening dan mengkilat, embrio telur yang tumbuh ditandai dengan warna kecoklatan mengkilat dan bening. Telur berbentuk bulat panjang berukuran tidak lebih dari 0,25 cm dan berwarna kuning

(34)

22 muda mirip hasil parutan kelapa. Kualitas telur juga ditandai dengan persentase daya tetas telur dan panjang telur.

Secara keseluruhan daya tetas telur di pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup tinggi serta memiliki panjang sekitar 0,25-0,3 cm.

Menurut Widyaningrum (2001), telur yang berkualitas baik memiliki daya tetas yang tinggi yaitu di atas 95%, sedangkan yang berkualitas jelek di bawah 50%. Daya tetas telur dipengaruhi oleh genetik dan kemampuan jantan membuahi sel telur. Cara penetasan telur dilakukan dengan menggunakan media tetas dan diletakkan di kandang serta dijaga kelembabannya. Media tetas yang biasanya digunakan adalah kain dan kombinasi kain dengan pasir, namun terdapat pembudidaya yang menggunakan kombinasi kain dengan serbuk gergaji (Gambar 2). Hal terpenting dalam pemilihan media tetas adalah bahan yang digunakan halus sehingga tidak merusak telur dan mudah didapat.

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 2. Media Tetas Pasir (A), Serbuk Gergaji (B), Telur Tanpa Media (C) dan Metode Penetasan Telur (D) dalam Budidaya Jangkrik

Media tetas jangkrik menurut Paimin et al. (1999) dapat berupa pasir, tanah, campuran pasir dan tanah, kapas dan kain. Media tetas di kedua provinsi menggunakan media kain, pasir, dan serbuk gergaji. Kelembaban relatif yang

(35)

23 dibutuhkan untuk penetasan telur menurut Sukarno (1999) berkisar antara 65%-80%, dengan suhu udara 26 oC. Suhu di kedua provinsi yaitu 31,33-32,67 ºC dengan kelembaban antara 70% hingga 80%.

Gagal penetasan telur dapat terjadi dalam budidaya jangkrik. Hal ini disebabkan oleh kualitas telur yang kurang baik, kelembaban yang tidak sesuai dan banyaknya predator. Kendala yang dihadapi pembudidaya dalam penetasan telur jangkrik adalah telur dimakan predator (semut), telur kualitasnya jelek (infertil), dan telur berjamur akibat kelembaban yang tinggi. Solusi yang dilakukan oleh pembudidaya dalam menghadapi permasalahan pada penetasan telur antara lain penggunaan kapur anti semut, air, oli pada kaki kandang, penggunaan penutup kandang, penggunaan telur yang berkualitas baik, pemberian pakan yang baik, menjaga kelembaban media tetas dan pengontrolan selama penetasan.

Pemeliharaan Nimfa (Anak Jangkrik)

Ternak akan menghasilkan produktivitas yang tinggi apabila didukung oleh lingkungan kandang dan sekitar yang sesuai dengan habitatnya. Jangkrik memiliki suhu dan kelembaban tertentu seperti ternak lain untuk dapat tumbuh baik. Suhu dan kelembaban sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungan di suatu daerah dan sering menjadi kendala dalam usaha peternakan. Faktor mikroklimat ini dapat dikelola oleh manusia melalui manajemen lingkungan yang sesuai dengan jenis ternak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata suhu dan kelembaban di daerah pembudidaya jangkrik Kalung yaitu daerah Jawa Tengah suhu 32,67 oC dan kelembaban 70%, sedangkan daerah Jawa Timur suhu 31,33 oC dan kelembaban 80% (Tabel 7). Rata-rata suhu dan kelembaban daerah pembudidaya tersebut masih sesuai dalam kondisi lingkungan yang disukai oleh jangkrik. Menurut Sukarno (1999), jangkrik dapat hidup di udara dingin atau panas, dalam kelembaban yang tinggi atau rendah, tetapi pada umumnya jangkrik lebih menyukai hidup di daerah bersuhu sekitar 20-32 oC dengan kelembaban 65%-80%.

Kandang merupakan aspek penting dalam pemeliharaan jangkrik. Kandang yang umumnya digunakan pada pembudidaya jangkrik di Indonesia antara lain berbahan kayu, tripleks, kardus, plastik atau bambu bekas. Kandang yang nyaman mampu meningkatkan produktivitas jangkrik dengan didukung oleh faktor budidaya

(36)

24 yang lain. Pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Tengah menggunakan kandang berbahan bambu dan plastik, sedangkan pembudidaya jangkrik Kalung Jawa Timur menggunakan kandang berbahan kayu dan tripleks (Gambar 3).

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Gambar 3. Jenis Kandang (Kotak) yang Digunakan Pembudidaya di Jawa Tengah (A, B, C) dan Jawa Timur (D, E, F)

Penggunaan kedua jenis kandang memiliki alasan tersendiri di setiap daerah.

Pembudidaya jangkrik Jawa Tengah menggunakan kandang kombinasi plastik dan bambu sebagai kerangka karena alasan murah, gampang memasangnya, dan mudah dibersihkan. Sebaliknya pembudidaya jangkrik Jawa Timur menggunakan kandang kayu dan triplek karena alasan tahan lama meskipun biayanya cukup tinggi.

Kandang jangkrik berbahan plastik dan bambu lebih ekonomis, mudah dalam pemasangan dan pembersihan oleh pembudidaya, namun daya tahan kandang lebih cepat. Hasil wawancara dengan pembudidaya diperoleh informasi bahwa kandang plastik dan bambu memiliki daya tahan sampai dua tahun. Kandang yang telah berumur masa daya tahan dan tidak layak lagi maka akan dibuang dan dibakar oleh pemilik.

Sebaliknya pembudidaya jangkrik Jawa Timur menggunakan kandang kayu dan triplek karena alasan tahan lama meskipun biayanya cukup tinggi. Kandang dengan bahan-bahan tersebut rata-rata tahan digunakan sampai tujuh tahun dan biaya yang dikeluarkan lebih tinggi hingga sepuluh kali lipat dari kandang plastik dan

(37)

25 bambu. Daya tahan yang tinggi inilah yang menjadikan alasan pembudidaya jangkrik Jawa Timur menggunakan kandang jenis tripleks. Pembudidaya yang menggunakan kandang kayu dan triplek mendaur ulang kandang untuk bahan bakar rumah tangga maupun untuk hal lain.

Tabel 7. Pemeliharaan Nimfa (Anak Jangkrik) dalam Usaha Budidaya

Keterangan Jawa Tengah Jawa Timur

Rata-rata suhu 32,67 ºC 31,33 ºC

Rata-rata kelembaban 70% 80%

Kandang (kotak)

Bahan Plastik-bambu Tripleks-kayu

Ukuran 250x112x50 cm 230x112x58 cm

Daya tahan 2 tahun 7 tahun

Tipe Terbuka-tak bersusun Terbuka-tak bersusun dan

tertutup-bersusun

Media sembunyi Serasah Egg tray

Rata-rata daya tetas 68,09% 68,09%

Rata-rata mortalitas 31,91% 31,91%

Pakan

Konsentrat CP B-82P CP 511B

Hijauan Batang pisang, gambas,

waluh (labu siam), daun widuri

Batang pisang, gambas, daun puhung, daun kapuk duri, daun kol, rumput sawah, sawi, buah pepaya dan batang pepaya

Jumlah pemberian pakan Dua kali sehari dan ad libitum

Dua kali sehari dan ad libitum

Tipe kandang (kotak) jangkrik dibagi dua yaitu kandang terbuka-tertutup dan bersusun-tak bersusun. Pembudidaya Jawa Tengah (100%) menggunakan tipe kandang terbuka dan tak bersusun (satu kandang per rak), sedangkan 66,67%

pembudidaya Jawa Timur menggunakan kandang terbuka tak bersusun dan sisanya menggunakan kandang tertutup bersusun (3-4 kandang per rak). Pemilihan tipe kandang jangkrik lebih dikarenakan kemudahan dalam pemberian pakan dan minum, pemeliharaan, pemanenan, pembersihan kandang serta untuk pencegahan dari hewan pemangsa (predator).

Kekurangan kandang plastik dan bambu terletak sirkulasi udara yang kurang baik. Sirkulasi udara hanya diperoleh dari bagian atas kandang yang terbuka sehingga hal ini dapat berpengaruh kepada pertumbuhan dan hasil produksi jangkrik

(38)

26 selama pemeliharaan. Perawatan kandang secara baik dari pembudidaya akan dapat menjaga daya tahan kandang selama masa pemeliharaan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diletakkan jangkrik di tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung dan dilengkapi dengan tempat persembunyian.

Media sembunyi berfungsi untuk memberi kenyamanan, mencegah kanibalisme dan menambah luas permukaan kandang. Bahan yang digunakan berupa egg tray, daun pisang kering dan karton bekas gulungan tissue. Pembudidaya jangkrik Jawa Tengah umumnya mempergunakan media sembunyi berupa daun pisang kering (klaras) yang diperoleh dari mencari di areal ladang maupun pinggiran persawahan. Pembudidaya Jawa Timur lebih senang mempergunakan media sembunyi berupa egg tray yang diperoleh dengan membeli dari pedagang (Gambar 4).

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Gambar 4. Media Sembunyi yang Digunakan Pembudidaya Jawa Tengah (A, B, C) dan Jawa Timur (D, E, F)

Fungsi pemberian media sembunyi di atas sesuai dengan hasil penelitian Fitriyani (2005) yaitu jangkrik yang dipelihara pada kandang bersekat memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kandang tanpa bersekat. Kandang bersekat mampu mencegah kanibalisme jangkrik ketika kekurangan pakan dan minum, molting serta dapat menambah luas permukaan kandang. Pemberian media sembunyi dilakukan pada semua masa budidaya jangkrik yaitu masa penetasan telur, pemeliharaan nimfa hingga imago dan pemeliharaan indukan.

(39)

27 Pemberian media sembunyi juga difungsikan agar sesuai dengan habitat dan sifat jangkrik di alam. Jangkrik di alam aslinya menurut Paimin (1999) merupakan hewan yang aktif di malam hari. Siang hari jangkrik mencari perlindungan di lorong atau lubang, di bawah tumpukan daun-daun, di bawah kayu-kayu dan di bebatuan.

Kebersihan kandang merupakan hal penting untuk diperhatikan karena kandang yang kotor akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jangkrik. Sisa pakan dan kotoran yang menumpuk dapat mengurangi kenyamanan dan menyebabkan penyakit. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kebersihan kandang dijaga dengan baik. Pembudidaya selalu mengganti media sembunyi secara berkala dan penempatan pakan menggunakan alas.

Kandang juga harus dihindarkan dari pemangsa seperti cicak, semut, tikus dan hewan lain dengan cara menutup kandang dengan kasa, kain atau meletakkan tatakan yang berisi minyak tanah atau oli bekas pada setiap kaki kandang. Selain itu peternak juga menggunakan kapur anti semut, lampu dan minyak yang dioleskan pada dinding tempat usaha budidaya dalam upaya mencegah hewan pemangsa masuk dalam kandang jangkrik.

Kepadatan ternak dalam pemeliharaan jangkrik berkaitan erat dengan mortalitas ternak. Kepadatan ternak merupakan jumlah ternak yang dipelihara dalam satu kandang yang dihitung dengan satuan ekor/m2 (Paimin, 1999). Kepadatan jangkrik Kalung menurut hasil pengamatan sangat tinggi meskipun telah menggunakan media sembunyi untuk memperluas permukaan kandang dan menjaga kebutuhan pakan minum tetap terpenuhi. Hal ini dilihatkan pada persaingan yang tinggi karena perilaku alami jangkrik yang agresif. Kepadatan yang tinggi akan mengakibatkan mortalitas yang tinggi pula.

Rata-rata ukuran kandang di daerah Jawa Tengah 250x112x50 cm dan Jawa Timur 230x112x58 cm dengan jumlah jangkrik 4000 ekor per kandang, sehingga kepadatan di Jawa Tengah (420,17 ekor/m2) tidak terlalu berbeda dengan di Jawa Timur (443,10 ekor/m2). Kepadatan kandang di kedua provinsi lebih rendah dari kepadatan yang digunakan oleh Widyaningrum (2001) yaitu 460 ekor/m2 (500 ekor jangkrik dalam kandang berukuran 60x45x30 cm).

Gambar

Tabel 1.  Format Analisis Pendapatan Usaha Budidaya Jangkrik Kalung
Tabel 2.  Keadaan Geografis Jawa Tengah dan Jawa Timur
Tabel 3.  Suhu dan Kelembaban Jawa Tengah dan Jawa Timur
Tabel  4.    Karakteristik  Pembudidaya  Jangkrik  Kalung  di  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

a. Karakteristik responden, yaitu nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan, mata pencaharian atau pekerjaan lainnya. Informasi lahan, yaitu luas

Analisis ini dilakukan untuk menelaah pengaruh skema pembiayaan syariah, umur lembaga gapoktan, jumlah anggota, jumlah penyertaan modal, jumlah pembiayaan, pendidikan manajer

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang nyata antara karakteristik sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, masa keanggotaan dan jumlah tanggungan keluarga)

(umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, jumlah anggota keluarga, jumlah balita, luas lahan yang digarap, pendapatan keluarga) berpengaruh nyata atau

Untuk menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi yang meliputi umur petani, tingkat pendidikan, lama berusahatani, luas lahan, dan jumlah tanggungan keluarga terhadap

Regresi Tobit Pendidikan Faktor- faktor Pengeluaran RT untuk Pendidikan Beban Tanggungan Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Anak Masih Sekolah Jenjang Sekolah Anak

Pada perhitungan tingkat partisipasi ini, akan dianalisis kekuatan atau pengaruh dari karakteristik individu (yaitu ; umur, jumlah anggota keluarga, lama masa bermukim,

Berdasarkan dari kajian karakteristik sosial ekonomi konsumen beras (umur, tingkat pendidikan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, kondisi kesehatan) maka akan berpengaruh