• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

Suriadi

Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas [email protected]

Abstract

The implementation of character education-based curriculum development is implemented in learning activities, school culture development and learning activity centers, co-curricular and extracurricular activities as well as daily activities at home and in the community. In the same context, more broadly the planning for the development of cultural and national character education is formulated through three programs, namely: a self-development program; integration in subjects;

and school culture. From the program, there are several aspects that must be considered in the implementation process. 1) Character education is education that carves character (morals) through the process of knowing the good, loving the good, acting or doing the good, which is a process involving cognitive, emotional and physical aspects so that noble character can be engraved into a habit of the mind, heart and hands. . Is a process carried out to shape the personality of students towards certain behaviors that are expected so that they become habits embedded in their lives, 2) Character education and character-based curriculum development in principle have a fairly clear foundation, both in terms of prescriptive (ideal) and descriptive foundations. (logical-empirical), 3) Character-based curriculum development has at least two meanings, namely quantitative and qualitative. Quantitatively, the development of a character-based curriculum includes the internalization of character values into learning activities, the development of school culture and learning centers, co-curricular and extra-curricular activities as well as daily activities in the community. Qualitatively, all events both at school or in the community that have an influence on personality change include attitudes, knowledge and experiences of students in a better direction.

Keywords: Development, Curriculum, Character Education

Abstrak

Pelaksanaan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko- kurikuler dan ekstrakurikuler serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Pada konteks yang sama, secara lebih luas perencanaan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dirumuskan melalui tiga program, yaitu: program pengembangan diri; pengintegrasian dalam mata pelajaran; dan budaya sekolah. Dari program tersebut, terdapat beberapa aspek yang mesti diperhatikan dalam proses pelaksanaannya. 1) Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengukir karakter (akhlak) melalui proses knowing the good, loving the good, acting or doing the good yaitu proses melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart dan hands. Merupakan proses yang dilakukan untuk membentuk kepribadian peserta didik menuju perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan sehingga menjadi kebiasaan tertanam dalam kehidupannya, 2) Pendidikan karakter maupun pengembangan kurikulum berbasis karakter pada prinsipnya memiliki landasan yang cukup jelas, baik ditinjau dari landasan preskriptif (ideal) maupun deskriptif (logis-empiris), 3) Pengembangan kurikulum berbasis karakter setidaknya memiliki dua makna, yakni kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, pengembangan kurikulum berbasis karakter meliputi internalisasi nilai-nilai karakter ke dalam kegiatan pembelajaran, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler serta kegiatan keseharian dalam masyarakat. Secara kualitatif, semua peristiwa baik di sekolah atau di masyarakat yang memberikan pengaruh pada perubahan kepribadian meliputi sikap, pengetahuan dan pengalaman subyek didik ke arah yang lebih baik.

Kata Kunci: Pengembangan, Kurikulum, Pendidikan Karakter

(2)

Pendahuluan

Sejak 2500 yang lalu, Socrates berkata bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah membuat seseorang menjadi good and smart (Bernadib, 2002:42).

Sekitar 1400 tahun silam, Muhammad Saw. Sang Nabi terakhir juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak yaitu mengupayakan penbentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, Marthin Luther King mengatakan, “intelligence plus character, that is the true aim of education.” Bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan tak terhindarkan dari dunia pendidikan (Majid, 2011:2). Pakar pendidikan Indonesia seperti Fuad Hasan menambahkan bahwa pendidikan bermuara pada transmission of cultural values and social norms. Mardiatmadja menyebutkan pendidikan karakter adalah ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia.

Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa karakter menjadi core dalam pendidikan. Namun bagaimana realitas yang berlangsung sekarang? Sudah berhasilkah pendidikan yang telah dilakukan selama ini dalam rangka mencapai tujuannya mengubah manusia menjadi lebih baik dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan?

Sederet realitas yang mencoreng dunia pendidikan akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan, mulai dari praktik ketidakjujuran dalam pembelajaran seperti kecurangan dalam ujian, praktik bullying, tawuran antar pelajar hingga kasus asusila, kasus shabu Guru Besar dan Mahasiswa UNHAS Makasar, kasus pemalsuan ijazah, perjokian, plagiarism, yang menunjukkan etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat bekerja keras, keinginan memperoleh kesenangan hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialism, hedonism, menjadi gejala umum. Lembaga pendidikan yang selama ini diharapkan menjadi lini pertahanan akhir penjaga nilai-nilai etika dan kejujuran, justeru menyuburkan mental disorder pada generasi penerus.

Lalu kemana arah pendidikan menghadap, apakah seperti yang ditawarkan Marvin W. Berkowitz C. Bier yang mengemukakan sekolah harusnya fokus pada prestasi akademik (academic achievement) yang akhirnya mengabaikan pembentukan karakter.

Dalam laporan tahunan Education Partnership Character disebutkan bahwa pendidikan karakter bukan bagian dari opsi, tapi sebuah keharusan yang tak terhindarkan.

Setidaknya, beberapa fenomena sosial yang berkembang berikut ini sudah lebih dari cukup untuk mencanangkan pentingnya pendidikan karakter seperti, Indonesia

(3)

keagamaan, suku bangsa, bahasa maupun budaya (Maksum, Fuad & Biyanti, 2007:280).

Kondisi moral/akhlak generasi muda yang mengalami degradasi, hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas, aborsi, hamil di luar nikah, pembunuhan, peredaran narkoba dan miras, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno. Pengangguran terdidik yang menghawatirkan (lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, lulusan SMK tertinggi yakni 17,26 %, disusul tamatan SMA 14.31%, lulusan universitas 12,59%, serta Diploma I/II/III 11,21%. Tamatan SD ke bawah justru paling sedikit menganggur yakni 4,57% dan SMP 9,39%.

Pendidikan karakter secara massif terus selalu digaungkan, namun jika tidak diikuti dengan formula yang efesien efektif cenderung hanya menjadi retorika sosial dan politis.

Persoalan yang muncul setidaknya dapat dilihat dari dua aspek, yakni: Pertama, aspek kuantitatif, pendidikan karakter masih belum tersosialisasi dengan baik dan belum berpengaruh luas terhadap masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan, pendidikan karakter masih dianggap sebagai mata pelajaran yang parsial, karakter hanya diniscayakan pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan PKn, sehingga jika terjadi perilaku amoral, yang menanggung kegagalannya adalah guru kedua mata pelajaran tersebut dan kapling guru Bimbingan Konseling yang cukup menanganinya. Belum ada kesadaran massif.

Kedua, aspek kualitatif, baik dari sisi konsep maupun implementasinya masih banyak bagian yang perlu dibenahi. Secara konsep, pendidikan karakter kurang tersistematisasi dengan baik, terutama untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaannya di lapangan. Pendidikan karakter belum terintegrasi secara jelas di dalam kurikulum.

Persoalan tenaga pendidik yang sebagian besar belum memahami dengan baik konsep pendidikan karakter, yang berimplikasi pada proses internalisasi dalam pembelajaran,

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengembangan karakter melalui segmen pendidikan, merupakan salah satu langkah yang sangat strategis untuk mendukung upaya pembentukan dan pendidikan karakter, karena pendidikan merupakan sarana pembangun generasi yang cukup efektif untuk menanamkan segala bentuk nilai yang diperlukan. Melalui pendidikan yang dilaksanakan secara baik dan benar, diharapkan akan lahir manusia-manusia yang unggul dan berkualitas, dan komponen penentu keberhasilan pendidikan satu di antaranya adalah kurikulum. Hanya saja sudah menjadi stigma di masyarakat bahwa setiap ganti menteri-ganti kurikulum, selama ini pendidik dan peserta didik bukanlah penginisiasi kurikulum, tak lebih sebagai pengguna.

(4)

Namun menurut Mendikdasmen Anies Baswedan, kurikulum seharusnya disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun untuk sementara ini tidak perlu diganti, tapi dilakukan pengkajian untuk disempurnakan, salah satunya dengan mendengarkan aspirasi dari bawah.

Perihal serupa core problem kurikulum pendidikan di Indonesia adalah pada kontennya yang masih menitikberatkan domain kecerdasan kognisi. Hal tersebut dengan mudah diobservasi ketika kalender pendidikan sekolah dipenuhi oleh agenda ujian, mulai dari ulangan harian, ujian tengah dan akhir semester, hingga ujian nasional.

Ditambah beban tugas rumah, penilaian sebaya, latihan-latihan di buku LKS yang tidak jarang terpisah dan tak terkait dengan kehidupan nyata keseharian siswa.

Mencermati fenomena yang demikian, maka upaya pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter sangat perlu dilakukan. Adapun uraian dalam makalah ini, merupakan salah satu bentuk tawaran dalam rangka mengembangkan kurikulum berbasis pendidikan karakter yang fokus pada beberapa aspek kajian, yaitu: (1) Pengertian atau hakikat dari kurikulum berbasis pendidikan karakter; (2) Landasan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter yang terdiri dari landasan preskriptif dan deskriptif; (3) Upaya pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter di Indonesia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (4) Analisis kritis yang terkait dengan peluang, tantangan, serta rekomendasi yang dapat diberikan dalam proses pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter.

Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter 1. Pengertian Kurikulum.

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga, currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam Bahasa Arab, istilah

“kurikulum” diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai (Muhaimin, 2005). Hilda Taba mengemukakan kurikulum sebagai “a plan for learning”, yaitu rencana untuk pembelajaran.

(5)

Dalam pengertian sempit, kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran, sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah semua peristiwa atau kejadian yang memberikan pengaruh terhadap peserta didik baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Pengertian Karakter

Menurut Wynne (1991) di dalam buku yang berjudul pendidikan karakter solusi yang tepat untuk membangun bangsa, mengambil istilah karakter dari bahasa Yunani

"charassein" yang berarti "to mark" (menandai atau mengukir), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian karakter. Pertama, istilah karakter menunjukkan bagaimana bertingkah laku, apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, maka orang tersebut memanifestasikan karakter jelek, sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, maka orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan "personality". Seseorang bisa disebut "orang yang berkarakter" kalau tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral (Megawati, 2007:9).

Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan orang berkarakter baik.

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”.

Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain (Elmubarok, 2008:102).

Koesoema (2007:80) menyatakan “Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak, kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari

(6)

lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.” Selain itu juga Julian & Alfred (2007:115) menyatakan bahwa “aspek utama dari karakter manusia lebih merujuk kualitas intrisik semacam kejujuran, kebaikan hati, ketenangan, kesetiaan, bekerja keras, integritas, dan sejenisnya.” Maka Munir mendefinisikan karakter sebagai pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan (Munir, 2010:3).

Selanjutnya yang dimaksud pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengukir karakter (akhlak) melalui proses knowing the good, loving the good, acting or doing the good yaitu proses melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart dan hands (Faliyandra, 2021) Jadi pendidikan karakter merupakan proses yang dilakukan untuk membentuk kepribadian peserta didik menuju perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan sehingga menjadi kebiasaan tertanam dalam kehidupannya.

Jadi kurikulum berbasis pendidikan karakter adalah segala kesempatan belajar yang dipersiapkan untuk memberikan perubahan sikap, pengetahuan dan pengalaman dalam upaya menghasilkan lulusan dengan perilaku-perilaku baik yang menjadi kebiasaan yang tertanam dalam kepribadiannya secara kuantitatif maupun kualitatif.

3. Landasan Preskriptif Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter a. Landasan Religius

Pendidikan karakter dalam terminologi ajaran Islam lebih dekat padanannya dengan pendidikan akhlak, dan terkristalisasi dalam karakter pribadi Muhammad Saw. Al-Qur’an sebagai representasi pesan-pesan Allah untuk menjadi panduan umat manusia, sesungguhnya telah memberikan beberapa isyarat penting, baik secara eksplisit maupun implisit tentang panduan pendidikan karakter lewat pribadi agung Muhammad. Di antaranya yang termaktub dalam QS. Ahzab ayat 21:

وُس َر يِف ۡمُكَل َناَك ۡدَقَّل ا ٗريِثَك َ َّللَّٱ َرَكَذ َو َر ِخٓ ۡلۡٱ َم ۡوَيۡلٱ َو َ َّللَّٱ ْاوُج ۡرَي َناَك نَمِ ل ٞةَنَسَح ٌة َو ۡسُأ ِ َّللَّٱ ِل

٢١

Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa misi diutusnya Muhammad Rasulullah adalah untuk membentuk karakter mulia.

(7)

ُنْب ِديِعَس وُبَأ اَنَأَبْنَأ ُّىِناَهَبْصَلۡا َفُسوُي ُنْب ِدَّمَحُم وُبَأ اَن َرَبْخَأ ُّىِذو ُّرو ْرَمْلا ٍدْيَبُع ُنْب ُدَّمَحُم : ٍرْكَب وُبَأ اَنَثَّدَح ِ ىِبا َرْعَلۡا

َقْلا ِنَع َنَلاْجَع ُنْب ُدَّمَحُم ىِن َرَبْخَأ ٍدَّمَحُم ُنْب ِزي ِزَعْلا ُدْبَع اَنَثَّدَح ٍروُصْنَم ُنْب ُديِعَس اَنَثَّدَح ىِبَأ ْنَع ٍميِكَح ِنْب ِعاَقْع

ِبَأ ْنَع ٍحِلاَص ِ َّاللَّ ُلوُس َر َلاَق َلاَق ُهْنَع ُ َّاللَّ َى ِض َر َة َرْي َرُه ى

- ملسو هيلع الله ىلص -

َم ِراَكَم َمِ مَتُلۡ ُتْثِعُب اَمَّنِإ «:

ِ ىِد ْر َوا َرَّدلا ِنَع َىِوُر اَذَك .» ِقَلاْخَلۡا Artinya: Telah memberi khabar kepada kami Abu Muhammad bin Yusuf al- asbahani, telah bercerita kepada kami Abu sa’id bin bin A’rabiy, telah berkata kepada kami Abu Bakar: Muhammad bin ‘Ubaid al- Marwurrudy, telah berkata kepada kami Sa’id bin Manshur, berkata kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, telah memberi kabar kepada kami Muhammad bin ‘Ajlani hadits diriwayatkan dari Qa’qa’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairah RA. Rasulullah SAW. Berkata

”sesungguhnya aku diutus di dunia itu tak lain untuk menyempurnakan akhlak budi pekerti yang mulia”

Selain hadis Nabi di atas, ungkapan-ungkapan Lukman dengan sistematika nasehatnya yang dikemas dengan indah sebagai contoh budi pekerti mulia. Ia mulai mengemukakan nasehatnya dengan tauhid mengesakan Allah SWT, mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah (beribadah) dan menanamkan budi pekerti yang mulia. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT.:

ٞميِظَع ٌمۡلُظَل َك ۡرِ شلٱ َّنِإ ِِۖ َّللَّٱِب ۡك ِر ۡشُت َلَ َّيَنُبََٰي ۥُهُظِعَي َوُه َو ۦِهِنۡبِلِ ُن ََٰمۡقُل َلاَق ۡذِإ َو ١٣

Artinya: dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.

Diriwayatkan, Putra Lukman bertanya kepada ayahnya tentang biji-bijian yang jatuh didasar lautan, apakah Allah SWT akan mengetahuinya? Lukman menjawab, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

ۡوَأ ِت ََٰو ََٰمَّسلٱ يِف ۡوَأ ٍة َر ۡخَص يِف نُكَتَف ٖلَد ۡرَخ ۡنِ م ٖةَّبَح َلاَقۡثِم ُكَت نِإ ٓاَهَّنِإ َّيَنُبََٰي َ َّللَّٱ َّنِإ َُُّۚللَّٱ اَهِب ِتۡأَي ِض ۡرَ ۡلۡٱ يِف

ٞريِبَخ ٌفيِطَل ١٦

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).

Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha mengetahui.

Kemudian Lukman meneruskan wasiat kepada putra-putrinya untuk senantiasa memelihara dan memupuk rasa keimanan kepada Allah dengan senantiasa mengadakan komunikasi dengan Allah melalui ibadah shalat, mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar dan bersabar atas segala sesuatu yang menimpanya, sebagaimana dalam firman Allah SWT :

َكِلََٰذ َّنِإ َِۖكَباَصَأ ٓاَم َٰىَلَع ۡرِب ۡصٱ َو ِرَكنُمۡلٱ ِنَع َهۡنٱ َو ِفو ُرۡعَمۡلٱِب ۡرُمۡأ َو َة َٰوَلَّصلٱ ِمِقَأ َّيَنُبََٰي ِروُمُ ۡلۡٱ ِم ۡزَع ۡنِم

١٧

(8)

Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Lebih lanjut Lukman mengingatkan putra-putranya untuk menjaga, memelihara dan menampilkan akhlak yang mulia. Saling mengasihi diantara mereka, tidak sombong dan angkuh, apalagi sampai membuang muka. Hal ini digambarkan oleh firman-Nya:

َف ٖلاَت ۡخُم َّلُك ُّب ِحُي َلَ َ َّللَّٱ َّنِإ ِۖاًح َرَم ِض ۡرَ ۡلۡٱ يِف ِش ۡمَت َلَ َو ِساَّنلِل َكَّدَخ ۡرِ عَصُت َلَ َو ٖروُخ

١٨

Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Melalui ayat dan hadis di atas, memahamkan kepada pembaca bahwa pendidikan akhlak adalah core of education. Allah telah mencanangkan bahwa Muhammad adalah suri teladan dan model agung segenap umat manusia. Dengan demikian, puncak tujuan pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku peserta didik. Perilaku tersebut merupakan penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.

Pendidikan Islam yang berfalsafah al-Qur’an sebagai sumber utamanya, menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama penyusunan kurikulumnya.

Muhammad Fadhil al-Jamili mengemukakan bahwa al-Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan al- Qur’an dan ditambah dengan al-Hadits yang melengkapinya. Di dalam al-Qur’an dan Hadits ditemukan kerangka dasar dan dapat dijadikan sebagai pedoman dan penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Kerangka dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan al-Qur’an bahwa yang menjadi kurikulum ini (intra curiculer) pendidikan Islam adalah “Tauhid” dan harus dimantapkan sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah. Pemantapan kalimat tauhid sudah dimulai semenjak bayi

(9)

dilahirkan dengan memperdengarkan adzan dan iqomah terhadap bayi yang dilahirkan.

2. Kurikulum inti (Intra Curiculer) selanjutnya adalah perintah ‘Membaca’ ayat-ayat Allah yang meliputi 3 macam ayat yaitu: (1) ayat Allah yang berdasarkan wahyu. (2) ayat Allah yang ada pada diri manusia, dan (3) ayat Allah yang terdapat di dalam alam semesta di luar diri manusia. Firman Allah SWT:

َقَلَخ يِذَّلٱ َكِ ب َر ِم ۡسٱِب ۡأ َرۡقٱ ١

َلَع ۡنِم َن ََٰسنِ ۡلۡٱ َقَلَخ ٍق

٢ ُم َر ۡكَ ۡلۡٱ َكُّب َر َو ۡأ َر ۡقٱ ٣

ِمَلَقۡلٱِب َمَّلَع يِذَّلٱ ۡمَل اَم َن ََٰسنِ ۡلۡٱ َمَّلَع٤

ۡمَلۡعَي ٥ Artinya : “Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang maha Pemurah yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-Alaq: 1-5).

Ditinjau dari segi kurikulum sebenarnya firman Allah SWT itu merupakan bahan pokok pendidikan yang mencakup seluruh Ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia. Membaca selain melibatkan proses mental yang tinggi, pengenalan (cognition), ingatan (memory), pengamatan (perception), pengucapan (verbalization), pemikiran (reasoning), daya cipta (creativity), juga sekaligus merupakan bahan pendidikan itu sendiri (Langgulung, 2012:166). Mungkin taka ada satu kurikulum pendidikan di dunia ini yang tidak mencantumkan membaca sebagai materinya, bahkan umumnya membaca ini ditempatkan dari sekolah dasar, perguruan tinggi dengan berbagai variasi.

Kelima ayat tersebut pada dasarnya telah mencakup kerangka kurikulum pendidikan Islam yang wajib dijabarkan sebagai berikut:

1. Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Tekanan yang terkandung dalam ayat ini adalah kemampuan membaca yang dihubungkan dengan nama Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini erat hubungannya dengan ilmu naqli (perennial knowledge).

2. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Ayat tersebut mendorong manusia untuk mengintropeksi menyelidiki tentang dirinya dimulai dari proses kejadian dirinya. Manusia ditantang dan dirangsang untuk mengungkapkan hal itu mulai imaginasi maupun pengalamannya (acquired knowledge).

3. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Motifasi yang terkandung dalam ayat ini adalah agar manusia terdorong untuk

(10)

mengadakan eksplorasi alam dan sekitarnya dengan kemampuan membaca dan menulisnya (Muslihah, 2010:80-81).

Landasan Yuridis

Perhatian terhadap pendidikan karakter pada dasarnya juga menjadi perhatian pemerintah, dicanangkanlah beberapa regulasi berupa peraturan, di antaranya adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional yang mengamanatkan program penguatan metodologi dan kurikulum berdasarkan nilai- nilai budaya dan karakter bangsa. Terbitnya kebijakan ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari tugas dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diamanahkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 dan tujuan pendidikan nasional yang tercantum pada Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa kemudian diperjelas dengan diterbitkannya beberapa kebijakan, di antaranya melalui rumusan kebijakan nasional tentang “Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa (Pedoman Sekolah) Tahun 2010 dan untuk sekolah rintisan tahun 2011.

Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005- 2015, dimana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.” Sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Adapun landasan pengembangan kurikulum dapat ditemukan dalam UU No. 20 tahun 2003 bab X pasal 36 ayat 1 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk

(11)

jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

b. Landasan Filosofis

Berdasarkan analisis beberapa pakar seperti Thomas Lickona yang dirangkum oleh Howard, bahwa bangkitnya positivism yang menyatakan tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar dan salah telah menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia pendidikan. Begitu pun pemikiran relativitas moral dengan pandangannya bahwa semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter. Paham personalisme yang menyatakan bahwa setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, dan meningkatnya paham pluralism yang mempertanyakan nilai-nilai siapakah yang benar untuk diajarkan, semakin melengkapi alasan penolakan pendidikan karakter (Majid, 2012:3).

Humanisme sebagai suatu gerakan filsafat dan gerakan kebudayaan berkembang sebagai suatu bentuk reaksi terhadap dehumanisasi yang telah terjadi selama berabad-abad. Di dunia Eropa, praktek dehumanisasi sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa menjadi satu-satunya otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agama yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa.

Dalam konteks reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap kebebasan memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup didunia.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 18, yakni periode perkembangan ini dimasukan kedalam masa pencerahan (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu. Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai metode untuk mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan (Tjaya, 2004:22).

Pada abad 20 terjadi perkembangan filsafat humanisme yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan kontribusi

(12)

filsafat eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat pendidikan humanistik.

Pada konteks keindonesiaan, pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

Dari pesepektif falsafah dan nilai-nilai Pancasila, tujuan pendidikan berbasis karakter yang ingin dikembangkan sangat erat dengan nilai-nilai Pancasila.

Pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai transendensi dan nilai keagamaan yang kuat. Pada gilirannya tumbuh sifat kasih sayang dan toleran, saling menghargai dan menghormati karena merasa sesama makhluk. Kesadaran sebagai makhluk (hamba) juga akan menumbuhkan sifat jujur, karena merasa malu kepada Tuhan (Dimyanti

& Mudjiono, 2002). Pendidikan karakter yang berlandaskan nilai-nilai filosofis Pancasila ini juga sejalan dengan pemikiran filsafat humanisme.

4. Landasan Deskriptif Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter a. Landasan Historis

Secara historis, embrio pendidikan karakter telah ada jauh dari kata karakter itu sendiri dikenal, 2500 tahun yang lalu Socrates menyatakan tujuan dasar dari pendidikan adalah membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1400 tahun silam, Muhammad Saw. Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak yaitu mengupayakan penbentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble juga menggemakan kembali yang digaungkan Socrates dan Muhammad. Begitu juga dengan Marthin Luther King yang mengatakan,

“intelligence plus character, that is the true aim of education.” Bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan tak terhindarkan dari dunia pendidikan.

(13)

Terminologi pendidikan karakter mulai digaungkan lagi sejak tahun 1900-an.

Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, dengan bukunya the return of character education, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut, Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Majid, 2011:2).

Adapun di Indonesia, sejarah pendidikan karakter dimulai sejak zaman pra- kemerdekaan, dikenal dengan pengajaran budi pekerti yang menanamkan asas-asas moral etika dalam pergaulan sehari-hari. Setelah Indonesia merdeka, era demokrasi terpimpin Soekarna awal tahun 1960-an, pendidikan karakter dikampanyekan dengan hebat, national and character building (Majid, 2011:2). Pada Orde baru, indoktrinisasi itu berganti menjadi P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan di jaman reformasi, digulirkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang membidani lahirnya kembali pelajaran budi pekerti. Disambut kemendiknas yang mencanangkan visi pendidikan karakter pada tahun 2010-2014 dengan pembentukan dan pendidikan karakter (character building and character education). Pakar pendidikan Indonesia seperti Fuad Hasan menambahkan bahwa pendidikan bermuara pada transmission of cultural values and social norms.

Mardiatmadja menyebutkan pendidikan karakter adalah ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia.

Sejarah kurikulum itu sendiri telah mengalami perubahan berulang kali.

Secara ringkas dapat penulis deskripsikan sebagai berikut:

1) . Kurikulum 1947

Kurikulum 1947 diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, hanya meneruskan sistem yang pernah digunakan sebelumnya. Boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Pendidikan dilandasi atas semangat development conformism, bertujuan untuk membentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

2) . Kurikulum 1952

Kurikulum 1952 ini dikenal dengan Rentjana Pelajaran Terurai 1952.

Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Hal yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap

(14)

rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

3) . Kurikulum 1964

Kurikulum 1964 diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Ciri kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

4) . Kurikulum 1968

Pada kurikulum 1964 dilakukan perubahan struktur kurikulum dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bertujuan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

5) . Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi:

petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik, karena pendidik dibebani kesibukan menulis rincian mengenai apa yang akan dicapai dalam setiap kegiatan pembelajaran.

6) Kurikulum 1984

(15)

Kurikulum 1984 mengutamakan penerapan pendekatan proses (process skill approach), tetapi faktor pencapaiian tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar, mereka digiring untuk melakukan berbagai keterampilan proses (dari keterampilan proses dasar sampai kepada keterampilan proses terintegrasi) melalui “Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

7) . Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 dibuat sesuai dengan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap. Diharapkan dapat memberi kesempatan menerima materi pelajaran cukup banyak. Diikuti suplemen tahun 1999.

8) . Kurikulum 2004 (KBK)

Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Pembelajaran berorientasi kepada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal.

9) . Kurikulum 2006 (KTSP)

Pendidik lebih diberikan kebebasan merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi peserta didik serta kondisi di mana sekolah berada. Hal ini disebabkan oleh karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

10) Kurikulum 2013

Pada kurikulum mutakhir ini, berprinsip pada pendekatan saintifik dengan penilaian otentik. Pendekatan saintifik dan penilaian otentik, tidak hanya pada penilaian tingkat KD, tapi pada KI dan SKL. Melalui kurikulum 2013 diharapkan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud, mengembangakan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

(16)

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan tinjauan sejarah bagaimana pendidikan karakter dalam kurikulum, dapat dipahami bahwa substansi pendidikan itu termuat nilai-nilai moral, yang menjadi orientasi dan tujuan pendidikan. Dari waktu ke waktu perkembangan kurikulum mengacu pada arah perbaikan. Respons positif tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari unsur kebutuhan manusia terhadap adanya suatu konsep yang dapat menata dan membentuk karakter dalam kehidupan secara lebih baik dan lebih berarti.

b. Landasan Psikologis

Berdasarkan tinjauan psikologi, manusia memiliki kepribadian, yakni sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain, integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh seseorang (Kartono & Gulo, 1987:349).Manusia dapat diidentifikasi berdasarkan pengaruh yang didapatkan dengan beberapa pandangan, di antaranya aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dengan kepribadian yang dimiliki, maka sifat atau karakter yang dimiliki manusia berkembang dan bersinggungan dengan dunia empiris.

Saádudin mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti di antaranya tabiat, adat dan watak. Tabiat diartikan sebagai sifat dalam diri yang terbentuk tanpa dikehendaki atau diupayakan. Adat adalah sifat dalam diri yang diupayakan melalui latihan dan berdasarkan keinginan, sedangkan watak meliputi hal- hal yang menjadi tabiat dan adat (Majid, 2011:5).

Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian yaitu 1. Olah hati, berkenaan dengan perasaan dan sikap, keyakinan/keimana, 2. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis. 3. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, persiapan peniruan manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. 4. Olah rasa dan karsa, berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, pencitraan dan penciptaan.

(17)

Pendidikan karakter berpijak dari sumber nilai moral universal yang bersifat absolut yaitu agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak pada nilai keimanan kepada Tuhan yang Maha Segalanya. Di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

c. Landasan Sosio-Kultural

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak pernah lepas dari proses interaksi dengan segala komponen yang ada disekitarnya, termasuk dengan sesamanya.

Begitupun manusia sebagai makhluk yang berbudaya, maka budaya-budaya yang lahir dari setiap individu maupun komunitas yang ada, selalu muncul dengan berbagai bentuknya.

Secara sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dihubungkan dengan konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), (Jujur bertanggung jawab), Olah Pikir (intellectual development) (cerdas), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), (bersih, sehat, dan menarik), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development), (peduli dan kreatif).

Keempat proses psikososial tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur.

d. Landasan Geografis

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan jumlah ±13.000 pulau besar dan kecil serta jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa yang terdiri atas 300-an suku dengan hampir 200 bahasa yang digunakan (Tilaar, 2002:12), menjadikan pendidikan Indonesia kaya akan keunikan karakter. Begitupun dalam aspek keagamaan dan paham kepercayaan, di Indonesia menganut agama dan kepercayaan yang beragam, seperti

(18)

Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam kepercayaan dan aliran keyakinan lainnya, yang mengajarkan nilai-nilai karakter mulia. Fakta keragamaan pada titik tertentu merupakan wilayah yang sangat sensitif apabila tidak dikelola dengan baik, sifat primordialisme, terutama untuk kelompok masyarakat akar rumput (grass root), akan menimbulkan konflik isu SARA.

Berangkat dari berbagai landasan yang telah diuraikan, baik dari sisi landasan preskriptif maupun deskriptif, maka pelaksanaan pendidikan karakter merupakan muatan yang niscaya dan dengan sungguh-sungguh harus dapat diimplementasikan.

Dan demi sistematisnya upaya pelaksanaannya dalam dunia pendidikan, mesti bisa dimasukkan dalam kurikulum sebagai bahan pembelajaran.

B. Pengembangnan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter

Mengutip pendapat Audrey dan Howard Nichools, Oemar Hamalik mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extend to which these changes have taken place. “Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik ke arah perubahan yang diinginkan dan menilai hingga sejauh mana perubahan telah terjadi (Faliyandra, Salamah & Anggraini, 2021). Hakikat kurikulum sesungguhnya adalah segala rencana yang telah dirancang guru dalam tiap kesempatan belajar. Maka pengembangan kurikulum adalah upaya terus menerus tanpa henti, progress bergerak maju dari waktu ke waktu memberikan kesempatan- kesempatan belajar kepada peserta didik yang meliputi tujuan, metode dan materi, penilaian, dan feed back (Majid, 2011:8).

Pada fase pengembangan kurikulum, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah 1. Perumusan rasional

2. Perumusan visi, misi, dan tujuan 3. Penentuan struktur dan isi program 4. Pemilihan/pengorganisasian materi

5. Pengorganisasian kegiatan pembelajaran 6. Pemilihan sumber, dan sarana belajar 7. Penentuan cara mengukur hasil belajar

Konstelasi Pengembangan Kurikulum

KEBUTUHAN ASPIRASI ILMU

(19)

FILOSOFIS PSIKOLOGIS SOSIOLOGIS

TUJUAN PENDIDIKAN

Gambar Konstelasi Pengembangan Kurikulum

Internalisasi pendidikan karakter di sebuah sekolah sesungguhnya satu kesatuan dengan program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Diwujudkan melalui pembelajaran aktif di sekolah. Maka penanaman karakter tersebut dapat diimplementasikan dalam beberapa komponen kegiatan yaitu dalam kegiatan pembelajaran, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko- kurikuler dan ekstrakurikuler serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.

1. Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran dapat menggunakan pendekatan kontekstual, dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga). Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: pembelajaran berbasis masalah, kooperatif, berbasis proyek, dan pembelajaran berbasis kerja.

Strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

2. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar KURIKULUM

Gambar Siklus Kurikulum

(20)

Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:

a. Kegiatan Rutin

Kegiatan rutin seperti kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksanaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucap salam apabila bertemu guru dan teman.

b. Kegiatan Spontan

Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana, atau infak jumat.

c. Keteladanan

Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras.

d. Pengkondisian

Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas

3. Kegiatan Ko-Kurikuler dan atau Kegiatan Ekstrakurikuler

Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM

1. Integrasi dalam mata pelajaran yang ada

Mengembangkan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan

2. Mata pelajaran dalam Mulok

ƒDitetapkan oleh sekolah/daerah ƒKompetensi dikembangkan oleh sekolah/daerah

(21)

4. Kegiatan Keseharian di Rumah dan di Masyarakat

Agar pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara optimal, dikehendaki keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat, pendidikan karakter dapat diimplementasikan sebagaimana yang terdapat dalam Tabel di bawah ini.

5. Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran

Apabila pendidikan karakter diintegrasikan dalam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler maka memerlukan waktu sesuai kebutuhan dan karakteristiknya.

Untuk itu, penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan.

Pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter di satuan pendidikan mesti tertera secara jelas dalam dokumen kurikulum, dokumen I (naskah akademik sekolah) dan dokumen II (silabus dan rancana pelaksanaan pembelajaran).

Tahapan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter dapat penulis deskripsikan secara singkat mulai dari sosialisasi dan melakukan komitmen bersama antara pendidik, tendik dan komite, diikuti stakeholder. Dilanjutkan dengan melakukan analisis konteks kondisi sekolah dan penetapan nilai dan indikator keberhasilan, kemudian menyusun rencana aksi, membuat rencana dan program pelaksanaan, pengkondisian sarana dan iklim sekolah, serta penyiapan instrument penilaian.

Pelaksanaan rancangan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua pihak. Warga sekolah, orang tua, siswa dan masyarakat sekitar dan memberikan seluas-luasnya kesempatan dan iklim edukatif bagi tumbuhnya benih-benih karakter yang berkembang dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

C. Analisis Proses Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter

Pelaksanaan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter melalui pengintegrasian dalam mata pelajaran yang disisipkan pada silabus dan RPP secara konseptual sangat strategis, segenap pendidik berperan serta dan menjadikan dirinya sebagai sosok teladan serta mengajar sesuai dengan tujuan utuh pendidikan (Hasan,

3. Kegiatan

Pengembangan Diri

ƒPembudayaan & Pembiasaan oPengkondisian

oKegiatan rutin

oKegiatan spontanitas oKeteladanan

oKegiatan terprogram ƒEkstrakurik

uler

Pramuka; PMR; Kantin kejujuran UKS; KIR; Olah raga, Seni; OSIS ƒBimbingan Konseling

Pemberian layanan bagi anak yang mengalami masalah

(22)

2000:6), dan diharapkan tujuan internalisasi karakter lewat mata pelajaran berjalan secara terpadu.

Sehubungan dengan pembelajaran terpadu, Cohen menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif, yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Adapun pendidikan karakter yang diintegrasikan dengan semua mata pelajaran sasarannya adalah pada materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta pemaknaan pengalaman belajar para siswa (Degeng, 1989:78). Agar pembelajaran terpadu berjalan efektif dan sesuai dengan harapan, kejelian para guru sangat dituntut dalam upaya mengungkap nilai-nilai karakter, mengimprovisasi kaitan-kaitan koseptual intra atau antar mata pelajaran; serta penguasaan materi bidang- bidang studi yang perlu dikaitkan (Joni, 1996:102).Dengan demikian, penanaman nilai- nilai yang telah digariskan diharapkan dapat dicapai. Kelemahan pendidikan karakter yang diintegrasikan dengan semua mata pelajaran seperti ini adalah ketika para guru tidak memiliki kesiapan, pola ini tidak dapat berjalan sesuai harapan jika para guru tidak kompeten.

Pendidikan karakter melalui mata pelajaran mulok semisal PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) merupakan program yang sangat strategis baik dalam subject matter maupun pemberian dan penggalian nilai-nilai karakternya. Dalam pola ini guru dituntut mampu menyeleksi pengalaman belajar peserta didik yang disesuaikan dengan tujuan nilai karakter yang ingin dicapai, setiap pengalaman belajar mesti melibatkan peserta didik sehingga memuaskannya, mulai dari merancangannya hingga pelaksanaannya, satu pengalaman belajar kemungkinan mencapai tujuan yang berbeda-beda. Dan upaya untuk mempertahankan minat dan bakat peserta didik menjadi tantangan sendiri bagi pendidik dalam pola ini.

Pengembangan pendidikan karakter melalui pengembangan diri merupakan program yang dilaksanakan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, seperti kegiatan rutin sekolah, kegiatan yang bersifat spontan, keteladanan, dan pengkondisian.Mengupayakan proses pembiasaan dan penanaman nilai yang tidak hanya dilakukan pada jam pelajaran efektif tetapi juga di luar jam pelajaran. Hal ini dapat mengakselerasi penanaman nilai dan kesadaran anak, karena di luar jam efektif, kemerdekaan anak dalam membuat keputusan sikap lebih disadari, dalam iklim seperti

(23)

Kendala di lapangan kita temukan, bahwa “PD” mengalami reduksi pragmatis, pelaksanaannya menyempit tidak lebih dari ruang lingkup pembelajaran di kelas.

Begitupun program pengembangan diri yang seharusnya berlangsung pada setiap kegiatan dan waktu yang ada di sekolah, dalam implementasinya justru menjadi mata pelajaran tersendiri, sehingga menjadikan program pengembangan diri menjadi kaku dan tidak aplikatif. Proses pembiasaan yang menjadi semangat dari program pengembangan diri menjadi bias dalam pelaksanaannya. Faktor kesadaran, kepahaman, kesiapan dan kekakuan dari pihak yang melaksanakan pendidikan merupakan di antara penyebab hal ini terjadi, sehingga program pengembangan diri yang seharusnya menjadi proses pembiasaan bagi siswa menjadi bersifat formal dan keluar dari esensinya.

Pengembangan pendidikan karakter yang diupayakan melalui program budaya sekolah pada dasarnya merupakan langkah yang tepat. Karena budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama di antara seluruh unsur dan personil sekolah, baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.Zamroni menambahkan, budaya sekolah merupakan kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma, ritual, mitos yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah yang dipegang bersama oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi, dan siswa sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah (Zamroni, 2003:149). Nilai-nilai yang akan dikembangkan melalui program budaya sekolah sesungguhnya tidak hanya terkait denga siswa tetapi juga seluruh komponen yang ada di sekolah.

Namun perlu dicatat bahwa budaya sekolah tidak selalu bermakna positif. Menurut Mardapi, budaya sekolah terdiri atas beberapa unsur, yaitu: 1) budaya sekolah yang positif, yakni kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan; 2) budaya sekolah yang negatif, yakni kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan, misalnya siswa takut salah, siswa takut bertanya, dan siswa jarang melakukan kerja sama dalam memecahkan masalah; 3) budaya sekolah netral, yaitu kultur yang tidak berfokus pada satu sisi namun dapat memberikan konstribusi positif tehadap perkembangan peningkatan mutu pendidikan, seperti arisan keluarga sekolah, seragam guru, seragam siswa dan lain-lain (Mardapi, 2003:28). Untuk itu, perlu kehati- hatian dalam memanfaatkan budaya sekolah sebagai program pendidikan budaya dan

(24)

Dengan demikian, pendidikan karakter pada tingkatan institusi seharusnya mengarah pada pembentukan budaya sekolah yang benar-benar menyeluruh, yaitu nilai- nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Dengan demikian, sasaran program dari pengembangan pendidikan karakter adalah semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah.

Bentuk-bentuk pengembangan yang telah diuraikan di atas, tentu saja memerlukan usaha keras untuk dapat direalisasikan. Kerjasama di antara warga sekolah dan stakeholder sangat diperlukan agar pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter dapat tercapai secara maksimal sesuai harapan.

D. Simpulan

Dari uraian singkat mengenai pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengukir karakter (akhlak) melalui proses knowing the good, loving the good, acting or doing the good yaitu proses melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart dan hands. Merupakan proses yang dilakukan untuk membentuk kepribadian peserta didik menuju perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan sehingga menjadi kebiasaan tertanam dalam kehidupannya.

Kurikulum berbasis pendidikan karakter adalah segala kesempatan belajar yang dipersiapkan untuk memberikan perubahan sikap, pengetahuan dan pengalaman dalam upaya menghasilkan lulusan dengan perilaku-perilaku baik yang menjadi kebiasaan yang tertanam dalam kepribadiannya secara kuantitatif maupun kualitatif.

Pengembangan kurikulum adalah upaya terus menerus tanpa henti, progress bergerak maju dari waktu ke waktu memberikan kesempatan-kesempatan belajar kepada peserta didik yang meliputi tujuan, metode dan materi, penilaian, dan feedback.

2. Pendidikan karakter maupun pengembangan kurikulum berbasis karakter pada prinsipnya memiliki landasan yang cukup jelas, baik ditinjau dari landasan preskriptif (ideal) maupun deskriptif (logis-empiris).

(25)

3. Pengembangan kurikulum berbasis karakter setidaknya memiliki dua makna, yakni kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, pengembangan kurikulum berbasis karakter meliputi internalisasi nilai-nilai karakter ke dalam kegiatan pembelajaran, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler serta kegiatan keseharian dalam masyarakat. Secara kualitatif, semua peristiwa baik di sekolah atau di masyarakat yang memberikan pengaruh pada perubahan kepribadian meliputi sikap, pengetahuan dan pengalaman subyek didik ke arah yang lebih baik.

4. Pengembangan kurikulum berbasis karakter memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang karena memiliki landasan yang jelas dan sangat diperlukan sebagai kebutuhan masyarakat saat ini. Namun demikian, tantangan yang dihadapi tetap akan selalu ada, sehingga diperlukan upaya yang lebih keras dalam proses pengembangannya, terutama yang terkait dengan konsep pelaksanaannya di lapangan yang disandingkan dengan pembudayaan mulai tahap idiofact, sosiofact hingga artifact

DAFTAR PUSTAKA

Bernadib, I. (2002). Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Dimyati & Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran: Jakarta: PT Rineka Cipta, Jakarta.

Doni Koesoema, D. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, cet. I

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta

Faliyandra, F. (2021). Kompetensi Sikap Sosial di Madrasah Ibtidaiyah: Model Pembelajaran Sains Berbasis Kecerdasan Sosial. Madrosatuna: Journal of Islamic Elementary School, 5 (2), 79-91.

Faliyandra, F., Salamah, E. R., & Anggraini, A. E. (2021). CAN MOTIVATION AFFECT THE APPLICATION OF TIME TOKEN AREND ON AQIDAH AKHLAK LEARNING IN MADRASAH IBTIDAIYAH?. Proceedings of the International Conference on Social and Islamic Studies (SIS) 2021.

Hasan, S. H. (2000). Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000.

Julian, J. M., & Alfred, J. (2007). The Accelerated Learning for Personality: The Way to Self Actualization, Source Book, 2007.

Kartono, K., & Gulo, D. (1987) Kamus Psikologi, Bandung: Pionir Jaya.

Majid, A. (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Maksum, A., Nur Fuad, A. N., & Biyanti. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan:

Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikulturalisme, Malang: PuSAPoM

Mardapi, D. (2002). Pola Induk Sistem Pengujian Hasil KBM Berbasis Kemampuan Dasar SMU: Pedoman Umum, Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

(26)

Muhaimin. (2005). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Munir, A. (2010). Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pedagogia.

T. Raka Joni, Pembelajaran Terpadu, Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD, 1996.

Thomas, L. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991.

Tilaar, H.A.R. (2002). Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo

Tjaya, T. H. (2004). Humanisme dan Skolastisisme: Sebuah Debat, Yogyakarta: Kanisius Zamroni. (2003). Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Ha : μ A> μ B, there is a significant difference between the auditory learners who are taught vocabulary by using “Dora the Explorer” video series and the visual learners who

[r]

Setelah Anda mencicipi semua sampel, Anda diperbolehkan untuk mengulang sebanyak yang Anda perlukan...

Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap evaluasi kinerja jaringan irigasi Daerah Irigasi Gadungan Lambuk dapat disampaikan beberapa hal yaitu berdasarkan pengamatan di

Perkembangan teknologi dan informasi telah turut memajukan dunia perdagangan. Tidak hanya perusahaan nasional, kini telah banyak muncul perusahaan multinasional.

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W3, 2013 The Role of Geomatics in Hydrogeological Risk, 27 – 28

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai