• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA FIBRONEKTIN PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL YANG MENDAPAT ACETYLSALICYLIC ACID (ASA)

DOSIS RENDAH

TESIS

Oleh:

CUT MOURISA 107008005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(2)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA FIBRONEKTIN PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL YANG MENDAPAT ACETYLSALICYLIC ACID (ASA)

DOSIS RENDAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

CUT MOURISA 107008005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(3)

Judul Tesis : GAMBARAN HISTOPATOLOGI DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA

FIBRONEKTIN PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL YANG MENDAPAT ACETYLSALICYLIC ACID (ASA) DOSIS RENDAH

Nama Mahasiswa : Cut Mourisa No Induk Mahasiswa : 107008005 Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK)

Anggota

(dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA)

Ketua Program Studi

NIP. 19550807 198503 2 001 (dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D)

Dekan

NIP. 19540220 198011 1 001

(Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD,KGEH)

Tanggal lulus : 18 Juni 2014

(4)

Telah diuji pada tanggal :18 Juni 2014

__________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK Anggota : 1. dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA

2. dr. Makmur Sitepu, Sp.OG(K) 3. dr. Soekimin, Sp.PA

(5)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Gambaran histopatologi

dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban perempuan hamil yang mendapat acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah

Oleh:

Cut Mourisa 107008005

Medan, Juni 2014 Disetujui oleh :

Pembimbing I

Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK

Pembimbing II

dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA

(6)

ABSTRAK

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan dengan berbagai khasiat, diantaranya sebagai antitrombotik (pada dosis rendah yaitu 80-325mg) dengan indikasi pada penatalaksanaan strok, infark miokard, trombosis, sindrom antiphospholipid dan pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia selama kehamilan. Pemberian ASA jangka panjang pada perempuan hamil menyebabkan keadaan defisiensi vitamin C melalui mekanisme hambatan absorpsi, transpor, peningkatan ekskresi vitamin C, sehingga mengganggu sintesa protein (kolagen, fibronektin) pada matriks ekstraseluler (MES) selaput ketuban.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion-korion) dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban perempuan hamil yang mendapat ASA dosis rendah. Jenis penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan 81 subjek yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Sebanyak 27 subjek (kelompok kasus) mendapat ASA dosis rendah dan 54 subjek (kelompok kontrol) tanpa ASA dosis rendah. Pada saat persalinan dilakukan pengambilan selaput ketuban untuk diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan selaput ketuban pada kelompok kasus (85,18±15,98) lebih tipis dibandingkan kelompok kontrol (111,68±27,19) (p<0,05). Tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus (1,85±0,53) lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol (2,49±0,63) (p<0,05).

Pemberian ASA dosis rendah jangka panjang pada perempuan hamil terbukti menurunkan ketebalan selaput ketuban dan tampilan imunohitokimia fibronektin pada selaput ketuban.

Kata kunci : ASA dosis rendah, ketebalan selaput ketuban, tampilan imunohistokimia fibronektin

(7)

ABSTRACT

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin, a drug that is widely used, has a variety of properties. One such property permits an antithrombotic use (at low doses are 80- 325 mg) indicating treatment of stroke, myocardial infarction, thrombosis, antiphospholipid syndrome and prevention of pre-eclampsia and eclampsia during pregnancy. Long-term use of ASA during pregnancy causes vitamin C deficiency via a mechanism of disturbance absorption, distribution and increased excretion of vitamin C, thereby disrupting the synthesis of proteins (collagen, fibronectin) in the extracellular matrix (ECM) of fetal membranes. This study aims to determine histopathological changes in the structural overview (amnion- chorion layer thickness) and immunohistochemical appearance of fibronectin on the fetal membranes of pregnant women who receive low-dose ASA. This study follows a cross sectional design with 81 subjects selected using a consecutive sampling technique. A total of 27 subjects (cases) received low-dose ASA and 54 subjects (control group) without low-dose ASA. The fetal membranes were collected at experiment end as per results delivery and next were to be examined.

The results showed that the fetal membranes in the case group (85.18 ± 15.98) were thinner than the control group (111.68 ± 27.19) (p <0.05). Further, the immunohisto-chemical appearance of fibronectin in the case group (1.85 ± 0.53) was weaker than the control group (2.49 ± 0.63) (p <0.05). The provision of long- term low-dose ASA in pregnant women was shown to decrease the thickness of fetal membranes and weaken the immunohistochemical appearance of fibronectin.

Keywords: low-dose ASA, thickness of fetal membranes, immunohistochemical appearance of fibronectin

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran Histopatologi dan Tampilan Imunohistokimia Fibronektin Selaput Ketuban pada Perempuan Hamil yang Mendapat Acetylsalicylic Acid (ASA) Dosis Rendah”

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar. A. Siregar, Sp.PD-KGEH dan jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih yang besar dan tulus kepada Ketua Program Studi S2 Ilmu Biomedik Universitas Sumatera Utara dr. Yahwardiah Siregar Ph.D dan terima kasih tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK serta anggota komisi pembimbing dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA yang telah menyediakan waktu, memberikan motivasi, bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga pula penulis sampaikan kepada dr. Makmur Sitepu, Sp.OG(K), dr. Soekimin, Sp.PA yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan serta ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

Terima kasih yang besar penulis sampaikan juga kepada dr. Harkingto Wibisono, Sp.PA , dr. J.S. Khoman, Sp.OG(K) dan dr. Milvan Hadi, Sp.OG untuk dukungan dan fasilitas yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian ini. Selanjutnya ucapan terimakasih kepada seluruh dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan program studi Magister Ilmu Biomedik

(9)

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang begitu banyak membantu penulis dalam menjalani pendidikan.

Persembahan dengan rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis

sampaikan kepada Ayahanda H. T. Zainal Arifin dan Ibunda tersayang Hj. Siti Zainab yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik penulis

sehingga menjadi manusia yang berguna. Teristimewa untuk suami tercinta Meristika Valeri, ST yang selalu memberikan dorongan moril dan materil serta anak-anakku tersayang, Rayyan dan Rifat yang selalu memberikan senyuman dan rasa bahagia sehingga menjadi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga segenap bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari dengan keterbatasan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang kesehatan dan kita semua. Aamiin.

Medan, Mei 2014 Penulis

Cut Mourisa

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I.DATA PRIBADI

Nama : dr. Cut Mourisa

Tempat/tanggal lahir : Sigli, 23 Mei 1980

Pekerjaan : Staf Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UISU Alamat : Jl. Garu II B komplek VHI No. 80 Medan

Agama : Islam

Status : Menikah

Telp/HP : 08126906510

II.RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1986-1987 : Taman kanak-kanak Aisyiah Sigli Tahun 1987-1993 : SDN 3 Sigli

Tahun 1993-1995 : SLTPN 1 Sigli Tahun 1995-1998 : SMAN 1 Sigli

Tahun 1998-2005 : Pendidikan dokter Universitas Syiah Kuala B.Aceh Tahun 2010-sekarang : Peserta Program Magister Ilmu Biomedik FK USU

III.PENGALAMAN KERJA

Tahun 2006 s/d 2007 : PTT di Puskesmas Padang Tiji

Tahun 2008 s/d sekarang : Staf Pengajar Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UISU

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1.2 Rumusan masalah ... 1.3 Tujuan penelitian... 1.3.1 Tujuan umum ... 1.3.2 Tujuan khusus... 1.4 Hipotesis ... 1.5 Manfaat penelitian ... 1 4 5 5 5 6 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Antiphospholipid syndrome (APS) ... 2.2 Antibodi antiphospholipid (aPL) ... 2.3 Pre-eklamsia dan eklamsia... 2.4 Acetylsalicylic acid ... 2.5 Selaput ketuban ... 2.6 Kolagen ... 2.7 Fibronektin ... 2.8 Fibronektin dan vitamin C ... 2.9 Kerangka teori ... 2.10 Kerangka konsep ... 8 9 9 10 12 15 18 18 19

20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22

3.1 Desain penelitian ...

3.2 Lokasi dan waktu penelitian ...

3.3 Populasi dan sampel penelitian ...

3.3.1 Populasi penelitian...

22 22 22 22

(12)

3.3.2 Sampel penelitian...

3.3.3 Cara pengambilan sampel...

3.4 Besar sampel ...

3.5 Kriteria inklusi & eksklusi ...

3.5.1 Kriteria inklusi...

3.5.2 Kriteria eksklusi...

3.6 Kerangka operasional ...

3.7 Identifikasi variabel penelitian ...

3.8 Definisi operasional ...

3.9 Bahan & alat penelitian ...

3.10 Prosedur penelitian ...

3.10.1 Pengumpulan data…...

3.10.2 Prosedur perlakuan jaringan ………..

3.10.3 Prosedur pembuatan sediaan histopatologi……...

3.10.4 Pengukuran ketebalan jaringan ………..

3.10.5 Prosedur pembuatan sediaan imunohistokimia …..

3.10.6 Interpretasi tampilan imunohistokimia fibronektin 3.10.7 Keandalan ………...

3.11 Pengolahan dan analisis data ...

3.12 Etik penelitian ...

3.13 Jadwal penelitian...

23 23 23 25 25 26 26 27 27 29

30

30 30 31 33

34

36

37 37 38 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil penelitian ... 4.2 Pembahasan ... 39 47 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan... 53

5.2 Saran... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ... 63

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 4.1 4.2

4.3

4.4

Jadwal penelitian ...

Rerata dan simpangan baku ketebalan selaput ketuban pada kelompok kontrol dan kelompok kasus……….

Rerata dan simpangan baku intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus………

Rerata dan simpangan baku luas tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus………

Rerata dan simpangan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus.

40 42

44

46 48

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Rumus bangun acetylsalicylic acid... 13

2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan HE………. 15

2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban………... 17

2.4 Biosintesa kolagen ………….………... 19

2.5 Kerangka teori ……….. 21

2.6 Kerangka konsep ……….. 22

3.1 Kerangka operasional..………... 28

3.2 Pembuatan gulungan selaput ketuban.………. 33 4.1 Grafik rerata ketebalan selaput ketuban (lapisan amnion

dan korion) pada kelompok kasus dan kontrol………

43 4.2 Grafik rerata kekuatan intensitas pewarnaan

imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol ………..

45

4.3 Grafik rerata luas tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol ………..

47 4.4 Grafik rerata tampilan imunohistokimia fibronektin pada

kelompok kasus dan kontrol ………

49

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACA Anticardiolipin antibody aCL Anticardiolipin

ASA Acetylsalicylic acid aPL Antiphospholipid

APS Antiphospholipid syndrome β2GP I Beta-2 glycoprotein I COX Cyclo-oxygenase DAB Diamino benzidine HE Hematoxylin Eosin IHC Immunohistochemistry LA Lupus anticoagulant MES Matriks ekstraseluler

PROM Premature rupture of the membrane/selaput ketuban pecah dini (KPD)

MCI Myocardial infarct NHS Normal Horse Serum RGD Arginin-glisin- ROS

asam aspartat Reactive

RSA

oxygen spesies

TBS

Recurrent spontaneous abortion/abortus spontan berulang Tris Buffered Saline

TTP Tx A

Tanggal taksiran persalinan

2 Tromboxan A2

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan komisi etik... 67

2 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian………. 68

3 Surat persetujuan setelah penjelasan……… 70

4 Profil data subjek penelitian ………. 71

5 Dokumentasi……….………. 73

6 Data Perhitungan Statistik ……….………. 80

7 Master Tabel……….……. 84

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan untuk berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan

antitrombotik (bekerja dengan menghambat agregasi trombosit, sehingga obat ini dapat memperpanjang waktu perdarahan) (Goodman dan Gillman, 2007). Sebagai antitrombotik, dosis ASA/aspirin yang digunakan adalah dosis rendah (80-325mg) (Katzung, 2010), dan berguna pada penatalaksanaan strok, infark miokard (MCI), trombosis (Walsh dan Schwartz-Bloom, 2005) sindrom antiphospholipid dan pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia selama kehamilan (Levine et al., 2002;

WHO, 2011).

Sindrom antiphospholipid (APS) adalah gangguan autoimun yang dapat menyebabkan trombosis pembuluh darah, abortus berulang akibat adanya trombosis di pembuluh darah plasenta (Rand, 2002).

Perempuan hamil dengan antibodi aPL

Antibodi antiphospholipid (aPL) utama yang berhubungan dengan APS adalah antibodi anticardiolipin (aCL), antikoagulan lupus (LA), dan antibodi glikoprotein anti-beta2 I (anti-beta- 2GPI) (McNeil et al., 2002).

positif, mempunyai kecenderungan mengalami keguguran berulang sebesar 15% pada trimester pertama, dan 21%

pada trimester kedua (Vashisht dan Regan, 2005). APS masih menjadi penyakit yang sering mengakibatkan keguguran berulang (Rai, 2002). Morbiditas

kehamilan dengan APS dapat dihubungkan dengan vaskulopati desidua (decidual

(18)

vasculophaty) dan infark plasenta (Tektonidou, 2004). Pengobatan kombinasi aspirin/ASA dosis rendah dengan heparin merupakan terapi pilihan (Bates, 2010).

Pemberian ASA/aspirin dosis rendah (50 mg/hari) pada perempuan dengan riwayat abortus spontan berulang (recurrent spontaneous abortion/ RSA) dengan atau tanpa antibodi anticardiolipin (ACA) yang positif, dapat menghambat produksi tromboxan A2 (Tx A2), sehingga menghambat agregasi trombosit (Tulppala et al., 2000 dan Berg, 2011).

Selain itu pemberian antitrombotik, juga ditujukan untuk menurunkan risiko terjadinya trombosis, keguguran, dan kehamilan dengan hipertensi, sehingga pemberian harian ASA/aspirin dosis rendah, merupakan regimen pengobatan pada kehamilan dengan APS (Branch dan Khamashta, 2003).

ASA/aspirin dosis rendah juga diberikan pada kehamilan dengan atau riwayat pre-eklamsia (Duley et al., 2007) dikarenakan pre-eklamsia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trombosis, kelahiran prematur dan kelahiran mati pada neonatal (Duley et al.,2001;

Pada kehamilan, pembentukan selaput amnion berasal dari jaringan ekstra- embrio yang terdiri dari bagian fetal (the chorionic plate) dan bagian maternal (the decidua). Bagian fetal (amnion dan membran korion), memisahkan fetus dari endometrium (Niknejad et al., 2008). Kolagen merupakan komponen dari

membran yang berfungsi untuk menjaga

Hague et al., 2001). WHO (2011) merekomendasikan intervensi pemberian ASA/aspirin dosis rendah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia pada perempuan dengan risiko tinggi sebelum kehamilan 20 minggu.

kekuatan jaringan pada amnion dan korion (Devlieger et al., 2006).

(19)

Selaput amnion dan korion manusia terdiri dari beberapa lapisan, dengan berbagai jenis kolagen (tipe I, III, IV, V, VI) dan glikoprotein non-kolagen (laminin, nidogen dan fibronektin) yang terdapat didalam matriks ekstraseluler (MES) (Benirschke dan Kaufmann, 2006).

Lapisan-lapisan pada selaput ketuban akan mempengaruhi ketebalannya, dan akan memberikan kontribusi terhadap ketahanannya. Namun selaput ketuban yang tipis belum tentu menyebabkan penurunan ketahanannya, karena ketahanan

selaput ketuban juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi (keterikatan) berbagai komponen penunjang selaput ketuban, seperti kolagen, dan glikoprotein non-kolagen lainnya, yaitu: laminin, nidogen dan fibronektin. Perubahan pada membran, termasuk penurunan kadar kolagen, struktur kolagen, peningkatan aktivitas kolagenolitik, merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini/KPD (premature rupture of the membrane/PROM) (Parry dan Strauss, 1998).

Vitamin C (ascorbic acid) adalah zat yang dibutuhkan untuk pembentukan kolagen dan stabilitas collagent cross-link, kadar vitamin C jaringan merupakan mediator penting dalam proses inisiasi ruptur membran sebagai fungsi dari kolagen cross-link rasio (Myllyharju, 2003). Konsentrasi total vitamin C pada perempuan dengan PROM, secara signifikan lebih rendah daripada perempuan yang mengalami ruptur membran pada saat proses persalinan (Stuart, et al., 2005).

Selain itu, vitamin C mempengaruhi pertumbuhan komponen MES lainnya, fibronektin dan laminin (Ronchetti et al., 1998). Pemberian vitamin C sebanyak 100 mg/hari pada perempuan hamil, dapat menurunkan risiko terjadinya PROM (Casanueva et al., 2005).

(20)

Pemberian ASA/aspirin bersama vitamin C (ascorbic acid) mengakibatkan terjadinya interaksi farmakokinetik pada tahap absorpsi, distribusi dan ekskresi.

Pemberian aspirin pada dosis > 25 mg bersama vitamin C (ascorbic acid) dengan dosis 50-100 mg menyebabkan hambatan transpor ascorbic acid ke dalam

leukosit (Das dan Nebiogiu, 1999). Obat golongan salisilat juga menghambat uptake vitamin C kedalam leukosit dan platelet (Levine et al., 1999).

Selain itu ASA/aspirin juga dapat meningkatkan ekskresi vitamin C melalui urin dan menurunkan konsentrasi vitamin C platelet (Levine et al., 2006);

menurunkan kadar ascorbic acid leukosit dan menurunkan kemampuan metabolismenya. (Stargrove et al., 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka akan diteliti pengaruh pemberian ASA/

aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia), terhadap gambaran histopatologi struktur selaput ketuban dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre- eklamsia/eklamsia), dapat menyebabkan penipisan lapisan amnion dan korion, sehingga terjadi perubahan struktur histopatologi selaput ketuban?

(21)

2. Apakah pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/

eklamsia), dapat menyebabkan penurunan tampilan imunohistokimia fibronektin pada matriks ekstraseluler selaput ketuban (amnion dan korion)?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada matriks ekstraseluler (MES) selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre- eklamsia/eklamsia), yang mendapat ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg).

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) terhadap gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion dan korion) selaput ketuban, pada perempuan hamil (mengalami APS atau pre- eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia).

2. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis 80 - 100 mg terhadap kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/

eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia).

3. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis 80 - 100 mg terhadap luas tampilan pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES

(22)

selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/

eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia).

4. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis 80 - 100 mg terhadap tampilan (perkalian kekuatan intensitas pewarnaan dengan luas tampilan imunohistokimia fibronektin) pada MES selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/

eklamsia).

1.4 Hipotesis

Ada perbedaan gambaran histopatologi dan tampilan imunohistokimia fibronektin selaput ketuban antara perempuan hamil (mengalami APS atau pre- eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia) serta mendapat

ASA/aspirin dosis rendah (kelompok kasus), dengan perempuan hamil normal dan tidak mendapat ASA/aspirin (kelompok kontrol), berupa :

1. Selaput ketuban (amnion dan korion) pada kelompok kasus lebih tipis dibandingkan selaput ketuban kelompok kontrol.

2. Kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban kelompok kasus lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol.

3. Luas tampilan pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban kelompok kasus lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol.

(23)

4. Tampilan (perkalian kekuatan intensitas dengan luas tampilan) pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban kelompok kasus lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi tentang pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) terhadap perubahan gambaran histopatologi dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban perempuan hamil

(mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia), agar kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini (KPD) dapat diprediksi dan dapat segera diantisipasi.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antiphospholipid syndrome (APS) 2.1.1 Definisi

Antiphospholipid syndrome (APS) atau Hughes syndrome adalah suatu kumpulan kondisi yang ditandai dengan trombosis vaskuler (arteri dan atau vena), dan keguguran (abortus) berulang. Karakteristik laboratorium dari APS adalah adanya antibodi antiphospholipid (aPL), yaitu lupus anticoagulant (LA), antibodi anticardiolipin (aCL), antiphosphatidylserine atau beta-2 glycoprotein I / B2GPI (apolipoprotein H) (Tektonidou, 2004; Keeling et al., 2012). APS merupakan salah satu penyebab terjadinya abortus (Branch and Khamashta, 2003).

2.1.2 Epidemiologi APS

Frekuensi pasien APS terkini pada populasi umum tidak diketahui, tetapi 1-5% individu sehat mempunyai antibodi aPL dan antibodi aCL serta cenderung meningkat pada usia lanjut. Dari sekitar 30-40% pasien SLE dengan antibodi aPL, 10% menderita APS. Dari hasil penelitian terhadap 100 pasien dengan trombosis vena dan tanpa riwayat SLE, ternyata ditemukan 24% antibodi aCL positif dan 15% lupus anticoagulant (LA) positif (Belilos, 2012).

2.1.3 Penatalaksanaan APS

Penanganan ideal untuk kehamilan dengan APS bertujuan untuk: (1) menurunkan risiko trombosis pada ibu selama kehamilan; (2) upaya pencegahan terhadap abortus, pre-eklamsia, insufisiensi plasenta dan kelahiran prematur.

(25)

Untuk mengobati kondisi ini, dapat diberikan antikoagulan, heparin dan ASA/aspirin dosis rendah (Branch and Khamashta, 2003).

2.1.4 Profilaksis pasien asimptomatik dengan antibodi aCL positif atau LA positif

Dalam praktek klinik, pengobatan empiris dilakukan dengan pemberian ASA (aspirin) dosis rendah (80 mg/hari), walaupun belum ada penelitian prospektif tentang manajemen profilaksis (Tektonidou, 2004).

2.2 Antibodi Antiphospholipid (aPL)

Antibodi Antiphospholipid (aPL) merupakan autoantibodi yang ditemukan pada plasma/serum dalam solid-phase immunoassay. Antibodi aPL utama yang berhubungan dengan APS terdiri dari :

(a) Antibodi aCL / antibodi lain yang menyerang bagian negatif fosfolipid : phosphatidylserine, phosphatidylinositol phosphatidic acid, phosphatidyl glycerol;

(b) Lupus anticoagulants (LAs), dan

(c) Anti-beta2 glycoprotein I (anti-β-2GPI) (Danowski et al., 2013).

2.3 Pre-eklamsia dan eklamsia 2.3.1 Definisi

Pre-eklamsia adalah sindroma yang spesifik dalam kehamilan yang dapat menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya vasospasme dan menurunnya aktivitas sel endotel. Pre-eklamsia merupakan kelainan multisistem

(26)

pada kehamilan, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Lowe et al., 2008).

Eklamsia adalah pre-eklamsia yang disertai kejang dan atau koma. Kejang bisa timbul pada sebelum, selama atau sesudah proses kehamilan. Kejang bisa juga terjadi pada 48 jam atau lebih sesudah melahirkan, bahkan bisa terjadi 10 hari sesudah kelahiran (Cunningham et al., 2005).

2.3.2 Pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia

Pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia difokuskan untuk memperbaiki perubahan patofisiologi yang terjadi. Jalur akhir dari patogenesis terjadinya pre- eklamsia adalah kerusakan sel endotel, sehingga pencegahan dan pengobatan ditujukan untuk mengurangi kerusakan sel endotel (pencegahan primer), atau mengurangi akibat yang muncul dari kerusakan sel endotel (pencegahan sekunder atau tersier). Beberapa strategi dapat digunakan untuk mencegah pre-eklamsia, seperti modifikasi diet dan pendekatan farmakologi dengan pemberian ASA/

aspirin dosis rendah (Sofoewan, 2003; Duley et al., 2007). Pemberian ASA/

aspirin dosis rendah, kalsium dan antioksidan, dipercaya efektif untuk menurunkan risiko pre-eklamsia (Wagner, 2004; Taherian dan Shirvani, 2003).

2.4 Acetylsalicylic acid (ASA) 2.4.1 Uraian umum

Acetylsalicylic acid (ASA) yang nama lainnya aspirin atau asetosal merupakan derivat asam salisilat dengan rumus molekul C9H8O4 dan berat molekul/BM: 180,16. Obat ini merupakan prototype golongan anti-inflamasi

(27)

non-steroid, dengan khasiat sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi, yang diperoleh pada penggunaan dosis >325 mg (Goodman and Gilman, 2007).

Namun, pada dosis <325 mg, ASA/aspirin berkhasiat sebagai antitrombotik/

antiplatelet. Dosis efektif ASA sebagai antitrombotik/antiplatelet berkisar antara 80 - 320 mg (Patrono et al., 1980).

Gambar 2.1 Rumus bangun Acetylsalicylic Acid (Goodman and Gilman, 2007)

2.4.2 Farmakokinetik ASA

Setelah pemberian oral, ASA yang tak terionisasi diabsorpsi secara pasif di lambung dan usus halus. ASA dapat menembus sawar darah otak dan plasenta.

ASA dimetabolisme di hati, dihidrolisis menjadi salisilat dan asam asetat oleh esterase yang ada di jaringan dan darah. Konjugat hasil metabolisme yang larut dalam air diekskresikan oleh ginjal (Mycek, 2003).

2.4.3 Farmakodinamik ASA

ASA bekerja dengan menghambat aktifitas enzim siklooksigenase sehingga menghambat sintesa tromboksan A2 (TXA2) (hambatan agregasi trombosit) serta sintesa prostasiklin dari asam arakidonat dalam trombosit (Mycek et al.,2003).

(28)

ASA menghambat produksi TxA2 dengan mengasetilasi residu serin secara kovalen yang terletak di dekat active-site cyclo-oxygenase (COX). COX adalah enzim yang menghasilkan pre-kusor endo-peroksida siklik TxA2, dan TxA2

2.4.4 Interaksi ASA dengan ascorbic acid (vitamin C)

merupakan produk utama COX pada trombosit yang merupakan penginduksi agregasi trombosit yang labil dan mempunyai sifat vasokonstriktor kuat.

Trombosit tidak mensintesis protein baru, sehingga kerja ASA pada trombosit- COX bersifat permanen dan bertahan sepanjang usia trombosit yaitu 7-10 hari.

Sehingga pengulangan pemberian dosis ASA menghasilkan efek kumulatif dari fungsi trombosit (Goodman and Gilman, 2007).

Acetylsalicylic Acid (ASA)/Aspirin dapat meningkatkan ekskresi vitamin C melalui urin, menurunkan kadar ascorbic acid/vitamin C leukosit dan menurunkan kemampuan metabolismenya (Stargrove et al., 2008). Pemberian ASA/aspirin pada dosis > 25 mg bersama vitamin C (ascorbic acid) dengan dosis 50-100 mg menyebabkan hambatan transpor ascorbic acid ke dalam leukosit (Das dan Nebiogiu, 1999). Obat golongan salisilat juga menghambat uptake vitamin C kedalam leukosit dan platelet (Levine et al., 1999).

2.5 Selaput ketuban

2.5.1 Anatomi dan histologi

Selaput ketuban manusia terdiri dari amnion dan non-plasenta korion.

Amnion adalah lapisan terdalam dari selaput ketuban dan berhubungan dengan cairan ketuban, janin, dan tali pusat. Lapisan amnion tidak mengandung saraf dan

(29)

pembuluh darah, sehingga bahan nutrisi yang dibutuhkan janin disediakan oleh cairan ketuban. Walaupun lapisan amnion hanya mengisi sekitar 20% ketebalan selaput ketuban, namun sangat dominan dalam respon mekanik selaput ketuban (Oyen et al., 2001), sedangkan korion adalah bagian luar selaput dan memisahkan selaput amnion dari desidua dan uterus (Benirschke dan Kaufmann, 2006;

Rohen dan Lutjen-Drecoll, 2009)

Gambar 2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan Haematoxylin- Eosin (HE) (AE: amniotic epithelial layer, AM: amniotic mesenchymal layer, CM: chorionic mesenchymal layer, CT:

chorionic trophoblastic (Parolini et al., 2008)

2.5.2 Amnion

Selaput amnion manusia dapat dibedakan menjadi lima lapisan yaitu : (1) epithelium amnoinic, (2) basement membrane, (3) compact layer, (4) fibroblas

layer, dan (5) Spongy layer. Lapisan paling dalam adalah epitel amnion; berada paling dekat dengan janin (Gambar 2.1). Sel epitel mensekresi kolagen tipe III, IV serta glikoprotein non-kolagen yaitu laminin, nidogen, fibronektin. Kolagen dari

(30)

compact layer disekresi oleh sel-sel mesenkim pada fibroblast layer, yaitu tipe III, V, VI. Lapisan fibroblast (fibroblast layer) adalah lapisan paling tebal pada amnion, terdiri dari sel-sel mesenkim dan sebaran sel makrofag dalam matriks ekstraseluler. Spongy layer/intermediate layer terletak di antara amnion dan korion dan kaya akan proteoglikan serta mengandung kolagen tipe I, III, dan IV (Parry and Strauss, 1998). Tebal lapisan epithelium amnoinic adalah 20-30 µm, sedangkan tebal lapisan basement membrane, compact layer, fibroblast layer (amnionic mesoderm) adalah 15-30 µm (Baergen, 2005).

2.5.3 Korion

Korion terdiri dari lapisan lapisan retikuler dan basal membran. Korion menyerupai membran epitel yang khas dengan polaritas mengarah ke bagian desidua maternal. Pada kehamilan yang lebih lanjut, vili trofoblas pada lapisan korion akan mengalami regresi. Di bawah lapisan sitotrofoblas terdapat basal membran dan jaringan ikat chorionic yang kaya akan fibril kolagen. Kolagen pada lapisan retikular dan basal membran adalah kolagen tipe I, III, IV, V, dan VI.

Walaupun lapisan korion lebih tebal daripada amnion, namun amnion mempunyai daya regang yang lebih tinggi dibandingkan korion (Parry and Strauss, 1998).

Tebal dari lapisan chorionic mesoderm adalah 15-20µm (Baergen, 2004).

(31)

Gambar 2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban (Parry dan Strauss, 1998)

2.6 Kolagen

Kolagen merupakan protein terbanyak dalam tubuh manusia dan membentuk lebih dari 25% massa protein. Kolagen adalah protein fibrosa dan salah satu serat jaringan ikat yang dibentuk dari protein berpolimerisasi menjadi struktur yang panjang. Protein matriks ekstraseluler ini sangat memegang peran penting dan dirancang untuk memberikan struktur dan ketahanan terhadap jaringan (Mecham, 2009). Kolagen terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, jaringan fetal, plasenta, basal membran, dentin, dinding pembuluh darah, sklera, kornea mata dan jaringan ikat seperti ligamentum dan tendo sehingga menjadikan jaringan tersebut memiliki daya regang tinggi (Junqueira, 2007). Kolagen yang terdapat pada amnion terdiri dari kolagen interstisium tipe I, III, V, dan VI, yang saling berikatan silang dan merupakan penentu utama daya regang membran (Cunningham, 2005).

(32)

2.6.1 Struktur kolagen

Tropokolagen terdiri dari 3 serat, yang masing-masing mengandung 1000 asam amino yang bersatu membentuk helix triple collagen. Helix triple collagen memiliki 3,3 residu, salah satunya adalah glisin pada setiap asam amino ketiga rantai polipeptida dan menghasilkan suatu rangkaian Gly-X-Y yang berulang.

Kolagen juga kaya akan prolin atau hidroksiprolin. Prolin sering menduduki posisi X, sedangkan hidroksiprolin atau hidroksilisin menduduki posisi Y pada urutan asam amino. Hidroksiprolin memaksimalkan pembentukan ikatan hidrogen antar rantai sehingga berperan penting untuk menstabilkan struktur helix triple collagen (Champe et al., 2010 ; Gordon dan Hahn, 2010).

2.6.2 Biosintesa kolagen

Kolagen disintesa sebagai prokolagen yang dibentuk dalam fibroblas (memproduksi sekitar 5-10% protein totalnya); osteoblas dan kondroblas kemudian akan disekresi ke dalam matriks ekstraseluler. Kolagen mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin yang tidak terdapat pada kebanyakan protein yang lain. Hidroksiprolin memegang peran penting dalam penstabilan struktur helix triple collagen karena memaksimalkan pembentukan ikatan hidrogen antar rantai (Champe et al., 2010).

Sintesa diawali dengan pembentukan pro-rantai α, hidroksilasi, glikosilasi, perakitan molekul pro-kolagen, sekresi, pembelahan di luar sel, pembentukan fibril kolagen, dan cross-link (Murray et al., 2009; Champe et al., 2010).

(33)

2.6.3 Hidroksilasi dan vitamin C

Hidroksiprolin dibentuk melalui reaksi hidroksilasi yang dikatalisis oleh enzim prolil hidroksilase dengan ko-faktor asam askorbat (vitamin C). Defisiensi asam askorbat menyebabkan gangguan sintesis kolagen akibat defisiensi prolil dan lisil hidroksilase dan berakibat gangguan stabilitas helix triple collagen (Murray et al., 2009; dan Osaikhuwuomwan, 2010).

Gambar 2.4 Biosintesa kolagen (Junqueira, 2007)

(34)

2.7 Fibronektin 2.7.1 Struktur

Fibronektin adalah glikoprotein utama matriks ekstraseluler (MES) (Korhonen dan Virtanen, 2001). Fibronektin berfungsi mengikat heparin, fibrin, kolagen, DNA dan permukaan sel. Fibronektin merupakan anggota kelas integrin transmembran dan berinteraksi dengan reseptor sel, protein ini berperan penting dalam perlekatan sel pada MES (Murray et al., 2009).

Fibronektin mempunyai tempat khusus untuk berikatan dengan komponen MES yang lain (berspektrum luas) seperti kolagen, heparin dan proteoglikan (Robbins et al.,2007).

Pada plasenta manusia, molekul fibronektin terdapat pada lapisan amnion, membran basal, lapisan korion, desidua, plasenta fibrinoid, vili dan umbilical cord (Demir-Weuesten, 2002).

Fibronektin terdiri dari fibronektin tipe I, II, dan III, dimana terjadi pengulangan yang berbeda pada monomer karena differential splicing mRNA fibronektin, dan lebih dari 20 varian monomer berbeda telah diidentifikasi sampai saat ini (White, et al., 2008). Fibronektin terbentuk dari dua sub-unit dengan berat masing-masing sekitar 250kD. Domain ikatan sel mengandung arginin-glisin-

asam aspartat (RGD) yang merupakan sekuensi penting untuk interaksi sel integrin dan RGD site (Jourdan, 2010).

2.8 Fibronektin dan vitamin C

Jumlah proteoglikan, fibronektin dan protein microfibrillar meningkat bersamaan dengan kolagen dengan penambahan askorbat. Penambahan askorbat

(35)

memicu terjadinya penggabungan ['4 C] prolin menjadi protein seluler dan perubahan parameter pertumbuhan sel dan morfologi. Hanya sejumlah kecil fibronektin hadir dalam matriks ketika askorbat tidak ditambahkan, meskipun terdapat jumlah fibronektin yang cukup signifikan dalam serum. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen memberikan tempat yang diperlukan untuk ikatan fibronektin

2.9 Kerangka Teori

(Schwartz, et al., 2000).

Gambar 2.5 Kerangka teori

Peningkatan risiko premature rupture of membrane (PROM) Pemberian acetylsalicylic acid jangka panjang

Peningkatan ekskresi ascorbic acid (vitamin C)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C)

Gangguan struktur, stabilitas cross-link kolagen, ketebalan selaput ketuban Gangguan hidroksilasi prolin

Gangguan struktur fibronektin matriks ekstraseluler

(36)

2.10 Kerangka konsep

Gambar 2.6 Kerangka konsep

Perempuan hamil dengan APS atau mengalami/mempunyai riwayat pre-eklamsia dan eklamsia, diberikan salah satu regimen pengobatan ASA/Aspirin dosis rendah (80-325mg). Pemberian ASA yang terus menerus selama proses kehamilan dapat menyebabkan defisiensi ascorbic acid (vitamin C) melalui mekanisme interaksi kedua obat. ASA menurunkan kadar ascorbic acid (vitamin

Perempuan hamil + APS atau mengalami/mempunyai riwayat pre-eklamsia dan eklamsia

Terapi anti-agregasi trombosit Pemberian ASA dosis rendah (80-100 mg)

Peningkatan ekskresi ascorbic acid (vitamin C)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C)

Gangguan sintesa kolagen Gangguan hidroksilasi prolin Gangguan sintesa fibronektin

Mempengaruhi ketebalan selaput ketuban

Gangguan struktur fibronektin pada matriks ekstraseluler (MES)

(37)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C) mempengaruhi pembentukan struktur kolagen, stabilitas cross-link, struktur fibronektin MES dan ketebalan lapisan amnion dan korion.

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross sectional (potong lintang).

3.2 Lokasi dan waktu penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di beberapa praktek spesialis kandungan di kota Medan. Proses pembuatan dan pembacaan preparat imunohistokimia dilaksanakan di laboratorium Patologi Anatomi, sedangkan pembacaan preparat histopatologi (pengukuran ketebalan jaringan) dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan selama 14 bulan, dari bulan April 2013 sampai Mei 2014 yang mencakup pembacaan proposal, pengumpulan data, pengolahan, analisis data dan pelaporan hasil.

3.3 Populasi dan sampel penelitian 3.3.1 Populasi penelitian

Semua perempuan hamil (20-45 tahun), yang berobat ke klinik dokter spesialis kebidanan.

(39)

3.3.2 Sampel penelitian

− Perempuan hamil (20-45 tahun) dengan kehamilan normal dan tidak mendapat acetylsalicylic acid (ASA).

− Perempuan hamil (20-45 tahun) dengan salah satu diagnosa:

− APS

− Mengalami/mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia dan mendapat acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah (80-100 mg/hari).

3.3.3 Cara pengambilan sampel

Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling, bagi perempuan hamil yang memenuhi kriteria penelitian (kriteria inklusi dan eksklusi). Pengambilan sampel akan dihentikan bila jumlah minimal sampel telah terpenuhi.

3.4 Besar sampel

Untuk membuktikan hipotesis adanya perbedaan gambaran histopatologi antar subyek, digunakan rumus besar sampel untuk uji analitik komparatif numerik tidak berpasangan (Dahlan, 2010).

Rumus :

( )

( )

2

2 

 

= +

xo xa

z

n zα β σ

α= tingkat kemaknaan (ditetapkan peneliti) α= 0,05 zα

β= power of test (ditetapkan peneliti) 80% z

= 1,96

β

σ= simpangan baku = 0,3 (penelitian sebelumnya)

= 0,824

xa-xo= selisih rerata yang dianggap bermakna (0,2)

(40)

( )

( )

2

2 

 

= +

xo xa

z

n zα β σ

= 2

( )

( )

2

2 , 0

3 , 0 0,824 96

,

1 

 

 +

= 34,9

Dari rumus di atas, didapatkan besar sampel minimal adalah 35 orang.

Untuk membuktikan hipotesis adanya perbedaan tampilan imuno-histokimia fibronektin selaput ketuban antara subjek, digunakan rumus besar sampel untuk uji analitik komparatif kategorik tidak berpasangan (Dahlan, 2010). Jika kesalahan tipe 1 ditetapkan 5%, hipotesis 1 arah sehingga Zα=1,96, kesalahan tipe II ditetapkan 20% sehingga Zβ=0,84; P2=0,1; P1-P2

2

2 1

2 2 1 1 2

1

2





+

= +

= P P

Q P Q P z PQ n z

n α β

=0,3

2 2

1 0,3

9 , 0 1 , 0 6 , 0 4 , 0 84 , 0 75 , 0 25 , 0 ( 2 96 , 1





 + +

=

= x x x

n

n =31,46

Dari rumus di atas, didapatkan besar sampel minimal adalah 32 orang.

Berdasarkan kedua rumus yang digunakan, disimpulkan bahwa besar sampel minimal yang akan diambil untuk menilai perubahan gambaran histopatologi dan tampilan imunohistokimia pada penelitian ini adalah 35 orang perempuan hamil.

Setelah menjalani proses pengambilan sampel selama 5 bulan, ternyata jumlah kelompok kasus yang dibutuhkan masih belum memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan. Sehingga karena keterbatasan waktu dan dana, maka besar sampel untuk kelompok kasus dihitung kembali dengan cara memperbanyak kontrol dengan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2010).

𝑛= 𝑛(𝑐 + 1) 2𝑐

(41)

n’= besar sampel kasus n= besar sampel semula

c= jumlah kontrol= 2 (karena direncanakan 2 kontrol/kasus) n’ = 35(2+1)

2𝑥2

n’ = 105

4 =26,3  27

Dari rumus di atas didapatkan jumlah kasus sebanyak 27 orang, jumlah kontrol sebanyak 2x27= 54 orang, sehingga total sampel adalah 81 orang.

3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi 3.5.1 Kriteria inklusi

− Perempuan hamil (20-45 tahun)

− Usia kehamilan > 37 minggu

− Kehamilan normal (tanpa APS, tidak mengalami/mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia dan tidak mendapat ASA kelompok kontrol

− Kehamilan dengan salah satu diagnosa:

− APS

− Mengalami atau mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia dan mendapat ASA dosis rendah (80-100 mg/hari) sejak trimester pertama kehamilan dan berhenti pada waktu 2 minggu sebelum tanggal taksiran persalinan (TTP) kelompok kasus

− Persalinan spontan atau sectio caesarea

− Sampel jaringan selaput ketuban: berwarna putih dan mengkilat; tanpa mekonium dan amnion nodosum

(42)

− Bersedia ikut dalam penelitian (bersedia untuk menandatangani informed consent)

3.5.2 Kriteria eksklusi

− Diabetes mellitus

− Diabetes gestasional

− Perokok

− Kehamilan kembar

3.6 Kerangka operasional

Gambar 3.1 Kerangka operasional

Kehamilan dengan APS/ mengalami atau mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia

dan mendapat acetylsalicylic acid(ASA) dosis rendah (80-100 mg)

Informed consent

Kehamilan normal dan tidak mendapat acetylsalicylic acid(ASA)

Perempuan hamil (usia 20-45 tahun) Kriteria inklusi dan eksklusi

Selaput ketuban

Makroskopis Mikroskopis

ketebalan selaput ketuban (perwarnaan HE)

Imunohistokimia fibronektin Persalinan

Selaput ketuban

Makroskopis Mikroskopis

ketebalan selaput ketuban (perwarnaan HE)

Imunohistokimia fibronektin Persalinan

(43)

3.7 Identifikasi variabel penelitian

− Variabel bebas : acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah (80-100 mg)

− Variabel tergantung :

− Gambaran histopatologi selaput ketuban ( ketebalan lapisan amnion dan korion)

− Tampilan imunohistokimia fibronektin selaput ketuban

3.8 Definisi operasional

Selaput ketuban:

Selaput yang melindungi janin, terdiri atas amnion dan korion; berwarna putih mengkilat

Gambaran histopatologi selaput:

Adalah ketebalan lapisan kolagen pada lapisan amnion dan lapisan korion.

− Hasil pengukuran: dinyatakan dalam satuan µm.

− Alat ukur: sediaan histopatologi selaput ketuban, mikroskop Primostar ZEISS yang dilengkapi kamera Axiocam ERc5s dan software Axiovision Rel. 4.8.2 (06-2010).

− Skala pengukuran : numerik.

Lapisan amnion:

Lapisan yang terdiri dari epitel amnion, membran basal, lapisan kompak, lapisan fibroblas, lapisan intermediat (spongy).

Lapisan korion:

Lapisan yang terdiri dari lapisan retikular dan membran basal.

(44)

Tebal lapisan amnion:

Ketebalan yang diukur dari batas atas epitel amnion sampai batas bawah lapisan intermediat (spongy).

Tebal lapisan korion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah lapisan intermediat (spongy) sampai batas bawah membran basal (batas atas trophoblast).

Tebal kolagen lapisan amnion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah epitel amnion sampai batas bawah lapisan intermediat (spongy)

Tebal kolagen lapisan korion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah lapisan intermediat (spongy) sampai batas bawah membran basal (batas atas trophoblast).

Acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah Acetylsalicylic acid (ASA) dosis 80-100 mg

− Kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia Penilaian intensitas tampilan pewarnaan dengan ketentuan : 0 = negatif

1 = lemah 2 = sedang 3 = kuat

− Luas tampilan pewarnaan imunohistokimia

Penilaian luas tampilan pewarnaan dengan ketentuan : 0 = negatif

1 = < 25%

2 = 25-50%

3 = >50%

(45)

− Tampilan imunohistokimia

Perkalian kekuatan intensitas pewarnaan dengan luas tampilan pewarnaan imunohistokimia dengan penilaian skor :

0 = negatif

1-3 = tampilan lemah 4-6 = tampilan sedang 7-9 = tampilan kuat

(modifikasi quantitative method score/Q-score)

− Hasil pengukuran: dinyatakan dalam Q-score.

− Alat ukur: sediaan imunohistokimia (IHC) selaput ketuban, mikroskop cahaya merk Olympus CX21

Skala pengukuran : kategorik

3.9. Bahan dan alat penelitian 3.9.1 Bahan penelitian

− Jaringan selaput ketuban

− Larutan neutral buffered formalin, larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, aseton, xylol, parafin, albumin, gliserin, timol, larutan haematoxylin , larutan eosin, entelan balsam Canada, antibodi fibronektin 14-9869 clone FN-3mouse anti-human

3.9.2 Alat penelitian

purified eBioscience.

− Mikrotom (Leica RM 2245), blade mikrotom (Leica) kaset, cetakan blok parafin, lemari pendingin, waterbath, hot plate (Thermo), stainning jar, stanning rack, sengkelit, glas objek, glas penutup, vortex, automatic tissue processor (Leica TP 1020), tissue embedding (Leica EG 1160), mikroskop merk OLYMPUS CX21 dan mikroskop Primostar ZEISS

(46)

+Axiocam ERc5s yang dilengkapi software Axiovision Rel. 4.8.2 (06- 2010).

3.10 Prosedur penelitian 3.10.1 Pengumpulan data

1. Perempuan hamil (20-45 tahun) yang mendapatkan acetylsalisilic acid (ASA) dosis rendah (80-100 mg) yang memenuhi kriteria penelitian diminta kesediaannya untuk ikut serta dalam penelitian.

2. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian, diminta persetujuannya dalam bentuk informed consent tertulis. Pada calon subjek penelitian satu persatu diberikan penjelasan secara lisan dan tulisan tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian.

3. Pada saat subjek mengalami persalinan, dilakukan pengambilan sampel selaput ketuban di rumah sakit/klinik tempat subjek melakukan persalinan untuk dilakukan pemeriksaan makroskopis selaput ketuban.

4. Kemudian dilakukan fiksasi jaringan selaput ketuban dan dibawa ke laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia fibronektin.

3.10.2 Prosedur perlakuan jaringan

Setelah menentukan daerah yang ruptur pada selaput ketuban, dibuat daerah dengan lebar sekitar 10 cm. Dengan menggunakan forsep, bagian yang mewakili daerah ruptur dipegang lalu selaput digulung dengan ketentuan bagian

(47)

selaput ketuban. Kemudian gulungan jaringan tersebut difiksasi dan dilakukan pengirisan.

Gambar 3.2 Pembuatan gulungan selaput ketuban (dikutip dari Benirschke and Kaufmann, 2006)

3.10.3 Prosedur pembuatan sediaan histopatologi a. Fiksasi

− Jaringan dimasukkan ke dalam larutan neutral buffered formalin, dan difiksasi selama 18-24 jam.

− Setelah itu, jaringan dimasukkan ke dalam larutan aquadest selama 1 jam; ini bertujuan untuk penghilangan larutan fiksasi.

b. Dehidrasi

− Potongan jaringan dimasukkan dalam alkohol konsentrasi bertingkat 70%, 80%, 90% (masing-masing 1 hari)  alkohol 95%

selama 2 hari, 2 kali pergantian alkohol 100% selama 2 hari, 2 kali pergantian

c. Penjernihan (clearing)

− Jaringan direndam di dalam larutan xylol sebanyak 20 kali volume jaringan, selama 2 x 15 menit.

(48)

d. Pembenaman/ infiltrasi (Impregnasi)

− Jaringan dimasukkan ke dalam parafin cair dan disimpan di oven yang bersuhu 60⁰C, selama 3 x 1 jam.

e. Pengecoran (Blocking)

− Parafin dituang secukupnya pada cetakan, kemudian letakkan jaringan pada dasar cetakan dan beri label.

f. Pengirisan (Sectioning)

− Blok paraffin diiris dengan mikrotom dengan ketebalan potongan ± 5-10 µm

− Atur jarak preparat yang dipegang holder kearah pisau sedekat mungkin

− Gerakkan rotor pada mikrotom secara ritmis searah jarum jam.

− Buang pita parafin awal yang tanpa jaringan.

− Setelah irisan mengenai jaringan, iris blok paraffin hati-hati.

− Pita paraffin yang diinginkan dipindahkan dengan sengkelit ke atas air dalam waterbath suhu 55⁰C

− Setelah pita parafin terkembang dengan baik, tempelkan pada kaca objek yang telah disalut (50 ml albumin + 50 ml gliserin + sedikit timol dan disimpan pada refrigerator bersuhu 4⁰C)

− Kaca objek yang berisi pita paraffin dibiarkan mengering semalaman pada suhu kamar.

(49)

g. Pewarnaan dengan Haematoxylin dan Eosin

− Jaringan pada kaca objek dilakukan deparafinisasi dengan xylol selama 2x2 menit.

− Hidrasi dengan alkohol 100% (selama 2x2 menit); alkohol 95%

(selama 2 menit); 90% (selama 2 menit), 80% (selama 2 menit);

70% (selama 2 menit); air kran (selama 3 menit).

− Inkubasi dalam larutan Haematoxylin Mayer selama beberapa menit.

− Cuci dalam air kran mengalir selama 15-20 menit.

− Observasi di bawah mikroskop, bila masih terlalu biru cuci lagi dengan air mengalirbbeberapa menit. Bila sudah cukup warna lanjutkan dengan counterstaining.

− Counterstaining dengan Eosin working solution beberapa menit.

− Dehidrasi dengan larutan alkohol dengan gradasi peningkatan persentase dari 70%, 80%, 90%, 95%, 100% (masing-masing selama 2 menit).

− Inkibasi dengan Xylol 2x masing-masing selama 2 menit.

− Mounting dengan Entellan TM

− Beri label dan biarkan hingga entellan mongering. Hasil pewarnaan pada inti berwarna biru dan sitoplasma berwarna kemerahan.

balsam Kanada dan cover glass.

3.10.4 Pembacaan/interpretasi sediaan (slide) histologi (pengukuran ketebalan jaringan)

Ketebalan lapisan kolagen pada jaringan selaput ketuban diukur dengan menggunakan mikroskop Primostar ZEISS yang dilengkapi kamera Axiocam

(50)

ERc5s. Tiap sediaan diperiksa pada 3 area (dengan arah jam 12; teknik Fujikura) (Benirschke and Kaufmann, 2006) yang masing-masing mewakili tiap lapisan dari gulungan selaput ketuban.

Prosedur pembacaan dilakukan sebagai berikut: Setelah sediaan diletakkan di mikroskop, dipilih lapang pandang dengan pembesaran 10 kali. Pada monitor komputer yang dilengkapi software Axiovision Rel. 4.8.2 (06-2010) tampak beberapa MENU pilihan. Pada toolbar tampak MENU Live, lalu ditentukan area yang akan diukur, pilih MENU Snap kemudian Measure. Dari menu ini dipilih option Length dan dengan menggunakan mouse tarik garis dari batas bawah epitel aminon sampai batas bawah membran basal korion pada daerah yang berwarna merah sesuai dengan gambaran kolagen dari pewarnaan tersebut. Hasil tersebut adalah ketebalan kolagen pada lapisan amnion dan korion.

Data gambar dan hasil pembacaan kemudian disimpan dalam file.

3.10.5 Prosedur pembuatan sediaan (slide) imunohistokimia

1. Dilakukan deparafinisasi sediaan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan xylol 1, xylol 2 dan xylol 3 selama masing-masing 5 menit

2. Kemudian dilakukan proses rehidrasi untuk menghilangkan sisa xylol dengan menggunakan larutan alkohol absolut, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% selama masing-masing 4 menit

3. Lalu sediaan dicuci di bawah air mengalir selama 5 menit

4. Masukkan sediaan ke dalam mesin pengering merk PT Link Dako Epitop Retrieval lalu diatur set up preheat 65 ⁰C, running time 98⁰ C selama 15 menit . Tunggu sampai ±1jam sampai sediaan kering.

(51)

5. Selanjutnya jaringan pada sediaan dilingkari dengan spidol Pap pen agar pada saat penetesan antibody atau cairan lainnya tidak keluar melewati batas lingkaran Pap pen. Kemudian segera dimasukkan ke dalam larutan Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 selama 5 menit 6. Kemudian dilakukan blocking dengan peroksidase selama 5-10 menit

dan dicuci TBS pH 7,4 selama 5 menit

7. Selanjutnya dilakukan blocking dengan Normal Horse Serum (NHS 3%) selama 15 menit dan dicuci dengan TBS pH 7,4 selama 5 menit 8. Jaringan pada sediaan ditetesi antibodi primer (antibodi anti-Human

fibronectin purified clone FN-3 eBioscience

9. Lalu dicuci kembali dengan TBS pH 7,4 dan Tween 20 selama 5 menit

) dengan pengenceran 1 : 100 dan di-inkubasi selama 1 jam

10. Selanjutnya jaringan pada sediaan ditetesi Dako Real Envision Rabbit/Mouse dan inkubasi selama 30 menit dan kembali dicuci dengan TBS pH 7,4 dan Tween 20 selama 5 -10 menit)

11. Jaringan pada sediaan ditetesi Diamino Benzidine (DAB)+substrat chromogen solution dengan pengenceran 20 µl DAB: 1000 µl substrat dan diinkubasi selama 5 menit lalu dicuci kembali dengan air mengalir 12. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan Hematoxylin selama

10 menit

13. Cuci dibawah air mengalir selama 5 menit dan celupkan sediaan ke dalam lithium karbonat (5% dalam aqua) selama 2 menit dan cuci kembali di bawah air mengalir selama 5 menit

(52)

14. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan melalui proses dehidrasi dengan menggunakan alkohol 80%, alkohol 90% dan alkohol absolut selama masing-masing 5 menit

15. Kemudian dilakukan clearing dengan menggunakan larutan xylol 1, xylol 2 dan xylol 3, masing-masing 5 menit

16. Selanjutnya dilakukan mounting dan tutup sediaan dengan coverglass dan sediaan siap untuk dinilai. (Singapore General Hospital/SGH methode)

3.10.6 Pembacaan/interpretasi sediaan (slide) imunohistokimia (tampilan fibronektin pada jaringan)

Setelah sediaan diletakkan pada mikroskop, dipilih pembesaran 4x untuk menilai luas tampilan dan pembesaran 100x untuk menilai intensitas pewarnaan.

Penilaian tampilan pewarnaan imunohistokimia fibronektin sebagai berikut:

− Kontrol positif digunakan jaringan human plasenta normal yang berfungsi sebagai pembanding tampilan warna coklat yang terwarnai dari hasil pewarnaan imunohistokimia.

− Sediaan yang tertampil warna coklat pada membran sitoplasma dikatakan positif dan negatif bila tidak tertampil warna coklat.

− Penilaian intensitas pewarnaan dengan cara membandingkan sediaan sampel penelitian dengan sediaan kontrol.

Intensitas tampilan :

0 = tidak tertampil warna coklat/negatif

1 = tampilan warna coklat yang tertampil lemah 2 = tampilan warna coklat yang tertampil sedang 3 = tampilan warna coklat yang tertampil kuat

(53)

Luas tampilan :

1 = luas tampilan warna coklat yang tertampil< 25%

2 = luas tampilan warna coklat yang tertampil 25-50%

3 = luas tampilan warna coklat yang tertampil >50%

Tampilan imunohistokimia : 0 = negatif

1 - 3 = tampilan lemah 4 - 6 = tampilan sedang 7 - 9 = tampilan kuat

3.10.7 Keandalan

− Pengukuran ketebalan selaput ketuban dilakukan oleh peneliti dengan koefisien variasi < 10%.

− Penilaian/pembacaan sediaan imunohistokimia dilakukan oleh peneliti dan satu orang ahli patologi anatomi dengan cara tersamar. Inter-rater reliability (keandalan antar pemeriksa) ditetapkan dengan perbedaan tidak lebih dari satu tingkat skor.

3.11 Pengolahan dan analisis data

Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rerata ± SD). Untuk penilaian perbedaan gambaran histopatologi (rerata ketebalan selaput ketuban) antara subjek dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji t tidak berpasangan. Jika distribusi data tidak normal atau tidak homogen, dilakukan uji Mann-Whitney.

Untuk penilaian perbedaan tampilan imunohistokimia antara subjek, dilakukan identifikasi syarat uji Chi Square, bila syarat terpenuhi maka dilakukan

(54)

uji Chi square, bila syarat tidak terpenuhi lakukan uji Fisher. Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 20.0.

3.12 Etik penelitian

Penelitian akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kepada calon sampel penelitian, diberikan penjelasan tertulis dan lisan tentang tujuan, manfaat serta prosedur penelitian. Pasien berhak menolak untuk ikut serta dalam penelitian, dan bagi pasien yang bersedia ikut serta dimintakan persetujuan dengan informed consent tertulis. Identitas subjek penelitian dirahasiakan.

Seluruh biaya yang berhubungan dengan penelitian ditanggung oleh peneliti dan kepada subjek penelitian diberikan imbalan sesuai kemampuan peneliti.

3.13 Jadwal penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Jadwal penelitian

No Kegiatan Mar

(2013)

Apr- Des (2013)

Jan- Mar (2014)

April- Mei (2014)

1 Pembacaan proposal xx

2 Pengumpulan data xx

3 Pengolahan dan analisa data xx

4 Penulisan laporan (tesis) xx

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil pengukuran ketebalan selaput ketuban (ketebalan lapisan amnion dan korion) dan tampilan fibronektin dengan pewarnaan imunohistokimia pada selaput ketuban 2 kelompok pengamatan, yaitu: kelompok kontrol (tidak mendapat ASA) dan kelompok kasus (mendapat ASA dosis rendah).

4.1.1 Perbandingan ketebalan selaput ketuban pada kelompok kasus (mendapat ASA dosis rendah) dan kelompok kontrol (tidak mendapat ASA)

Tabel 4.1 Rerata dan simpangan baku ketebalan selaput ketuban pada kelompok kasus dan kelompok kontrol

Kelompok Rerata SD Minimum

(µm)

Maksimum (µm) Kasus

ASA (+) 85,18 15,98 52,68 127,46

Kontrol

ASA (-) 111,68 27,19 63,25 204,22

Keterangan: SD (Standard deviation)/simpangan baku

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rerata ketebalan selaput ketuban kelompok kasus (85,18±15,98) lebih tipis dibandingkan kelompok kontrol (111,68±27,19).

Pada kelompok kasus, selaput ketuban yang paling tipis adalah 52,68 µm dan yang paling tebal adalah 127,46 µm; sedangkan pada kelompok kontrol, selaput ketuban yang paling tipis adalah 63,25 µm dan yang paling tebal adalah

(56)

204,22 µm. Grafik histogram ketebalan selaput ketuban pada masing-masing kelompok ditampilkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik rerata ketebalan selaput ketuban (lapisan amnion dan korion) pada kelompok kasus dan kontrol (*p<0,05)

Hasil perhitungan analisis statistik terhadap rerata ketebalan selaput ketuban pada kelompok kasus dan kontrol disajikan pada lampiran 6, dan dapat dilihat dalam bentuk grafik histogram (Gambar 4.1).

Dari hasil uji normalitas dan homogenitas data, ternyata data dari hasil penelitian tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, sehingga dilakukan pengulangan transformasi data sebanyak 3 kali, tetapi distribusi data masih tetap tidak normal. Dengan demikian uji statistik dilakukan dengan uji non- parametrik Mann Whitney.

Hasil uji statistik Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara tebal selaput ketuban pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (p<0,05).

*

Gambar

Gambar 2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan Haematoxylin- Haematoxylin-Eosin  (HE)  (AE:  amniotic epithelial layer, AM: amniotic  mesenchymal layer, CM: chorionic mesenchymal layer, CT:
Gambar 2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban (Parry dan Strauss, 1998)
Gambar 2.4 Biosintesa kolagen (Junqueira, 2007)
Gambar 2.5 Kerangka teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada [4] metode Cryptosystem digunakan untuk mengenkripsi data atau pesan rahasia yang berupa teks angka dengan jumlah maksimum yang dimasukkan adalah 24 digit angka

6 2009 Narasumber Strategi Kemasan Produk Boga di Kawasan Agrowisata Turi Sleman Yogyakarta pada tahun 2009. 7 2009 Narasumber Strategi Penetapan Harga Produk Usaha Mikro

Penelitian ini dengan pendekatan Islamicity Performance Index yang menggunakan lima rasio yaitu profit sharing ratio, zakat perfor- mance ratio, equitable distribution ratio,

Dalam konteks upacara adat sulang-sulang pahompu Simalungun simbol adat ini memiliki makna agar pihak yang menerima dengke ini senantiasa sayur matua (panjang umur)

Kayu yang tidak mengalami pengawetan dan yang mengalami pengawetan diuji Physical Properties dan Mechanical Propertiesnya menggunakan acuan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Barata Indonesia (Persero) Medan memiliki masalah dalam tata letak lantai produksinya dimana penyusunan stasiun kerja membentuk jarak yang tidak diperlukan yang disebabkan adanya

Hasil penelitian dan identifikasi yang telah dilakukan pada sampel feses ditemukan Telur cacing Nematoda usus positif 8 orang dari 10 sampel.. Jenis telur cacing

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) dinyatakan bahwa PPK-BLU adalah pengelolaan keuangan