• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR KERTAS KARYA OLEH : PUTRIANI PANDIANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR KERTAS KARYA OLEH : PUTRIANI PANDIANGAN"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR

KERTAS KARYA OLEH :

PUTRIANI PANDIANGAN 132204077

PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 16

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR

OLEH :

PUTRIANI PANDIANGAN 132204077

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

Drs. Jhonson Pardosi, M.Si. Ph.D Drs. Haris Sutan Lubis , MSP

NIP. 19660420 199203 1 003 NIP. 19670523 199203 2 001

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Kertas Karya : RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR

Oleh : PUTRIANI PANDIANGAN NIM : 132204077

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan,

Dr. Budi Agustono, MS NIP. 19600805 198703 1001

PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA Ketua,

Arwina Sufika, S.E., M.Si.

NIP. 19640821 199802 2 001

(4)

ABSTRAK

Kabupaten Samosir adalah hasil pemekaran dari induknya Kabupaten Toba Samosir, yang diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004. Penduduk lokal Kabupaten Samosir adalah suku Batak yang terkenal dengan Rumah Adat Bolon. Rumah adat ini memiliki keunikan tersendiri yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang rumah adat Batak dan memberikan informasi kepada khalayak banyak bahwa rumah adat Batak merupakan wujud kebudayaan etnis Batak sebagai daya tarik wisata. Metode yang digunakan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan data melalui buku-buku dan internet. Penelitian lapangan, yaitu dengan mengunjungi langsung daerah penelitian. Hasil yang didapatkan rumah adat Batak sebagai daya tarik wisata, yaitu ruangan dalam rumah adat Batak tidak memakai kamar, keunikan ukiran atau gorga Batak yang mengandung makna filosofi bagi masyarakat, dan keunikan bangunan rumah adat Batak sebagai daya tarik wisata.

Keyword : Rumah Adat, Daya Tarik Wisata, Kabupaten Samosir

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya kepada penulis akhirnya kertas karya ini dapat selesai. Kertas karya ini merupakan salah satu syarat akademis untuk mendapatkan gelar Diploma III Pariwisata Bidang Keahlian Usaha Wisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini masih banyak kekurangan yang disebabkan masih minimnya pengetahuan penulis serta kurangya diktat dan buku- buku tentang usaha wisata yang menjadi acuan penulis. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, demikian juga penulis yang membuat kertas karya ini tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Berdasarkan pemikiran tersebut berdasarkan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran ke arah perbaikan yang diperlukan dari pembaca guna kesempurnaan kertas karya ini.

Dalam menyelesaikan kertas karya ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh sebab itu sudah selayaknya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, MS selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Arwina Sufika, S.E., M.Si. selaku Ketua Program Studi D-III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Solahuddin Nasution, S.E. MSP selaku dosen koordinator PKL bidang keahlian Usaha Wisata Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

(6)

4. Bapak Sugeng Parmono, SE, MSi selaku dosen pembimbing Akademik yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis selama 3 tahun.

5. Bapak Drs. Jhonson Pardosi, M.Si. Ph.D selaku dosen pembimbing yang dengan susah payah mendidik dan membimbing serta meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini.

6. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, MSP selaku dosen pembaca yang dengan susah payah mendidik dan mengarahkan serta meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikann karya ini.

7. Seluruh staf pengajar Program Studi D-III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua tercinta bapak Lompong Pandiangan dan ibu Sonti Sitanggang yang telah banyak membantu penulis baik dari segi doa, moril dan materi dari awal perkuliahan sampai selesainya kertas karya ini.

9. Kepada saudara-saudara penulis, Dewi, Henta, Andi, Ramli, Rasmi, dan Pontas yang telah banyak memberi dorongan dan mendukung penulis dari segi doa, moril dan materi selama penulis menyelesaikan kertas karya ini.

10. Teman-teman Pariwisata Usaha Wisata stambuk 2013 yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini.

11. Kepada teman penulis, Desi, Wahyu, Ronasari, Pablo, Cory, Ana, Flo, dan spesial kepada Binsar Sitorus yang telah banyak membantu dan memberi semangat kepada penulis terkhusus dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

12. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian kertas karya ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(7)

Akhir kata penulis mengaharapkan semoga kertas karya ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis dan para pembaca.

Medan, 07 Oktober 2016 Penulis,

Putriani Pandiangan NIM : 132204077

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penulisan ... 6

1.4 Metode Penelitian ... 7

1.5 Manfaat penulisan ... 7

1.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Pariwisata ... 10

2.2 Pengertian Wisatawan ... 11

2.3 Pengertian Daya Tarik Wisata ... 12

2.4 Pengertian Produk Wisata ... 13

2.5 Pengertian Kebudayaan ... 14

2.6 Jenis-jenis Kebudayaan ... 15

2.7 Hubungan Kebudayaan dengan Pariwisata ... 16

(9)

BAB III : GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMOSIR

3.1 Letak Geografis Kabupaten Samosir ... 19

3.2 Transportasi ke Derah Tujuan Wisata ... 21

3.3 Sistem Kekerabatan... 24

3.4 Sistem Kemasyarakatan ... 25

3.5 Pola Perkampungan... 27

3.6 Proses Pembangunan Rumah Adat Batak ... 28

BAB IV : RUMAH ADAT BATAK SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR 4.1 Pembagian Ruangan dalam Rumah Adat Batak sebagai Daya tarik wisata ... 31

4.2 Makna Filosofi Ukiran pada Rumah Adat Batak sebagai Daya Tarik Wisata ... 33

4.3 Keunikan Rumah Adat Batak sebagai Daya Tarik Wisata ... 37

BAB V : PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 43 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Kabupaten Samosir adalah hasil pemekaran dari induknya Kabupaten Toba Samosir. Pemekaran ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Samosir diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia. Sehingga tanggal 7 Januari ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Samosir sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 28 Tahun 2005 tentang Hari Jadi Kabupaten Samosir.

Samosir sebagai salah satu daerah pemekaran tentu berdampak terhadap berbagai aspek yang ada terutama dalam penyelenggaraan pembangunan daerah khususnya pembangunan ekonomi dimana salah satu sub sektornya adalah pariwisata.

Sub sektor pariwisata menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan karena Kabupaten Samosir mempunyai potensi wisata dan budaya yang cukup baik untuk dikembangkan.

Penduduk mayoritas Samosir adalah suku Batak Toba yang sangat terkenal dengan Rumah Bolon, yang telah ditetapkan sebagai rumah adat Provinsi Sumatera Utara. Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata, tetapi terdapat juga nilai dan makna hidup

(11)

bermasyarakat dan merupakan filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup.

Rumah adat Batak disebut Ruma Bolon karena suku Batak Toba sangat percaya akan Tuhan mereka yaitu “Mula Jadi na Bolon”, jadi Ruma Bolon berarti Rumah Tuhan. Berdasarkan fungsinya Ruma Bolon yang umumnya terdiri dari dua bagian antara lain Ruma atau tempat tinggal keluarga dan Sopo atau lumbung padi yang digunakan sebagai penyimpanan hasil panen dan hasil tenunan. Kedua bagian rumah ini suku Batak sangat menghargai keberadaan Sopo, yaitu bangunan yang selalu berhadapan dengan Ruma yang dibatasi dengan pelataran luar. Pelataran tersebut berfungsi sebagai ruang bersama warga.

Rumah adat yang memiliki banyak hiasan disebut dengan Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Siang. Ada banyak jenis ukiran atau gorga pada rumah adat Batak, yakni gorga patung ulu ni horbo martanduk, menggambarkan pengharapan habaoaon yaitu harajaon dengan pengertian tanggung jawab. Gorga adop-adop (payudara wanita), menggambarkan kemakmuran, kehidupan yang bersumber dari ibu dengan pengharapan soripada hangoluon. Gorga boraspati (cicak). Menggambarkan pengharapan (hadumaon), artinya seisi rumah tersebut sejahtera, aman, dan damai. Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan atau gorga gajah dompak, yang bermotif wajah binatang dan mempunyai maksud sebagai penolak bala atau kekuatan duniawi. Rumah adat yang tidak dihias disebut dengan Jabu Ereng atau Jabu Batara Suang.

Rumah adat Batak yang memiliki ukuran besar disebut dengan Ruma Bolon.

Sedangkan yang berukuran lebih kecil disebut dengan Jabu Parbale-balean, dan ada

(12)

juga Ruma Parsaktian, yaitu rumah adat yang menjadi hak anak bungsu. Rumah adat Batak memiliki 3 warna, yaitu warna merah melambangkan kecerdasan, warna putih melambangkan kejujuran, dan warna hitam melambangkan kewibawaan. Rumah adat Batak ini memiliki tangga atau balatuk yang berjumlah ganjil, yang menandakan bahwa yang memiliki rumah adalah anak ni raja. Rumah adat yang memiliki tangga atau balatuk yang berjumlah genap berarti hatoban atau pesuruh.

Tangga pada pintu masuk rumah adat Batak dibuat agak menjorok ke dalam, dengan maksud supaya siapapun yang hendak bertamu harus tunduk atau menghormati pemilik rumah. Meskipun status dan derajat tamu lebih tinggi dari pemilik rumah atau sebaliknya. Sedangkan atapnya terbuat dari bahan ijuk dan dibangun melengkung dengan atap belakang lebih tinggi dari atap depan. Hal ini memiliki makna dan harapan supaya kelak status dan derajat anak lebih tinggi dari orangtua.

Berdasarkan tingkatannya rumah adat Batak dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian bawah dipercaya sebagai banua toru dan digunakan sebagai tempat ternak yaitu kerbau, sapi, babi, dan lembu. Bagian tengah sebagai banua tonga digunakan sebagai ruangan tempat hunian manusia. Sedangkan bagian atas sebagai banua ginjang digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan). Bagian atas rumah adat Batak Toba ditopang menggunakan tiang yang biasa disebut “ninggor”. Tiang ini lurus dan tinggi yang bermakna kejujuran. Pada bagian bawah atap bagian depan, ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam

(13)

kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut sebagai Maha Pencipta langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala sigomgom parluhutan”.

Bagian depan tepat di atas pintu masuk dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tersebut dinamai sebagai “songkor”. Ruangan ini digunakan ketika ada pesta bagi yang memiliki rumah ruangan tersebut digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak). Sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh dinamakan “songsong boltok”. Benda ini mengandung makna bahwa, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati.

Sebelah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke kiri disebut

“Ombis-ombis. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini bermakna bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Seluruh badan bangunan rumah Bolon tidak memakai paku sebagai penyanggah pondasi, tetapi menggunakan tali yang disebut dengan tali ret-ret yang terbuat dari rotan dan ijuk.

Rumah Bolon pada masyarakat Batak harus selalu bersih, untuk itu pada bagian tengah agak ke belakang dekat tungku (tataring) tempat bertanak ada dibuat lobang yang disebut dengan “talaga”. Semua yang kotor seperti debu, pasir disapu keluar melalui lobang tersebut. Hal ini memiliki makna untuk membuang semua

(14)

keburukan dari dalam rumah, dan melupakan kelakuan buruk. Sehingga ada falsafah yang mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yang dapat diartikan bahwa segala perbuatan kawan yang tercela atau perbuatan yang dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan tanpa dendam. Pada bagian tengah tataring dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yang kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor, serta sebagai tempat kayu bakar yang dipergunakan untuk memasak. Bagian bawah para-para dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji. Oleh karena itu, ada falsafah yang mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata, na oto tu pargadisan” yang artinya orang-orang yang banyak belajar akan memiliki banyak pengalaman, sedangkan orang malas akan menjadi bodoh dan tidak akan mengetahui apapun.

Ruangan dalam Ruma Bolon merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun bersamaan ditempati lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Pembagian ruangan dalam rumah adat Batak dibatasi oleh adat mereka yang masih kuat. Apabila keluarga besar maka diadakan tempat di antara dua ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah dua lagi dan ruangan ini disebut Tonga-tonga ni jabu bona.

Salah satu hal terpenting dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi.

Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak akan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan “hot di ojahanna”, dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yang berprinsip bahwa dimana tanah dipijak disitu langit dijunjung. Keunikan, nilai filosofi, dan makna dari rumah

(15)

adat Bolon tersebut dapat diaplikasikan masyarakat Samosir sebagai salah satu daya tarik wisata budaya sehingga minat wisatawan yang berkunjung akan meningkat.

Dengan demikian akan menambah pendapatan masyarakat setempat dan nilai filosofi Rumah Bolon banyak diketahui dan dimengerti serta akan tetap berjalan dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis berkeinginan untuk membuat kertas karya yang berjudul “ Rumah Adat Batak Toba sebagai Daya Tarik Wisata di Kabupaten Samosir”.

1.2 Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dalam penulisan kertas karya ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yaitu :

1. Bagaimana nilai-nilai dan makna filosofi yang terdapat pada Rumah Adat Batak Toba di Kabupaten Samosir

2. Apa daya tarik Rumah Adat Batak Toba di Kabupaten Samosir

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui nilai-nilai dan makna filosofi rumah adat Batak Toba di Kabupaten Samosir.

2. Untuk mengetahui daya tarik rumah adat Batak Toba di Kabupaten Samosir.

(16)

1.4 Metode Penelitian

Untuk mempermudah penulis dalam melakukan penelitian ini maka penulis menggunakan beberapa metode penelitian antara lain :

1. Penelitian Kepustakaan ( Library Research)

Melakukan penelitian dengan menggali masalah yang ada dengan menggunakan data-data dari buku dan tulisan lainnya yang mendukung pembahasan topik.

2. Penelitian Lapangan ( Field Research)

Melakukan pengumpulan data dan informasi dengan datang langsung kelapangan atau daerah penelitian.

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan kertas karya ini adalah :

1. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan program D-III Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang rumah adat Batak Toba di Kabupaten Samosir.

3. Untuk memberikan informasi kepada khalayak banyak bahwa rumah adat Batak Toba merupakan wujud kebudayaan etnis Batak yang dapat dijadikan potensi besar dalam pengembangan pariwisata.

4. Sebagai bahan referensi yang dapat membantu menginformasikan kepada masyarakat tentang rumah adat Batak Toba.

(17)

1.6 Sistematika Penulisan

Agar penulisan kertas karya ini tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, maka perlu digunakan digunakan suatu sistematika penulisan, maka perlu digunakan suatu sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Menguraikan tentang alasan pemilihan judul, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan

BAB II : URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN

Menguraikan beberapa hal mengenai pengertian pariwisata, pengertian wisatawan, pengertian daya tarik wisata, pengertian produk wisata, pengertian kebudayaan, jenis-jenis kebudayaan dan hubungan kebudayaan dengan pariwisata.

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG KABUPATEN SAMOSIR Menguraikan tentang gambaran umum Kabupaten Samosir, letak geografis Kabupaten Samosir, transportasi ke daerah tujuan wisata, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, pola perkampungan dan proses pembangunan rumah adat Batak.

BAB IV : PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menguraikan pembagian ruangan dalam rumah adat Batak, makna filosofi ukiran pada rumah adat Batak, serta keunikan rumah adat Batak sebagai daya tarik wisata.

BAB V : PENUTUP

(18)

Bab ini merupakan rangkuman dari seluruh isi kertas karya ini yang dibuat dalam bentuk saran dan kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

(19)

BAB II

URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN

2.1 Pengertian Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan seseorang untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain dengan meninggalkan tempatnya semula dengan suatu perencanaan dan bukan bermaksud untuk mencari nafkah ditempat yang dikunjunginya, tetapi untuk menikmati kegiatan pertamasyaan atau rekreasi untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1990 menyatakan: ”...Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk dengan pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut”. Secara Etimologi pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu “pari” yang berarti banyak atau berkeliling, sedangkan pengertian “wisata” berarti kunjungan untuk melihat, mendengar, menikmati, dan mempelajari sesuatu.

Pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan manusia untuk bersenang-senang tanpa unsur paksaan dengan maksud bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dituju tetapi untuk menikmati pelayanan dan fasilitas disuatu daerah yang dikunjungi.

Pengertian pariwisata menurut Prof. Salah Wahab (dalam Yoeti, 1982:107) menyatakan :

A purposeful human activity that serves as a link between people either within one same country or beyond the geographical limits or states. It involves the temporary displacement of people to another region region, country or continent for the satisfaction of varied needs other than exercising a remunderated function. Suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu

(20)

negara itu sendiri atau di luar negeri, meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain untuk sementara waktu mencari kepuasan yang beraneka ragamdan berbeda dengan apa yang dialaminya, dimana ia memperoleh pekerjaan tetap.

Dari beberapa uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud bukan untuk mencari nafkah ataupun menetap di tempat yang dikunjungi, akan tetapi untuk menikmati perjalanan tersebut sebagai rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beragam tanpa adanya suatu paksaan dan dilakukan perorangan maupun kelompok.

2.2 Pengertian Wisatawan

Wisatawan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia pariwisata.

Jika ditinjau dari arti kata “wisatawan” berasal dari kata “wisata”, maka sebenarnya tidaklah tepat sebagai pengganti kata “tourist” dalam bahasa Inggris. Kata “wisata”

berasal dari dari bahasa Sansekerta, yang berarti “perjalanan” yang disamakan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris. Sehingga wisatawan sama artinya dengan kata traveler. Menurut A.J Norwal (dalam Nyoman S. Pendit, 1999 : 38) menyatakan:

Wisatawan merupakan seseorang yang memasuki wilayah negeri asing dengan maksud tujuan apapun, asalkan bukan untuk tinggal permanen atau untuk usaha-usaha yang teratur melintasi perbatasan, dan yang mengeluarkan uangnya di negeri yang dikunjunginya, uang mana telah diperolehnya bukan di negeri tersebut melainkan di negara lain.

Wisatawan dapat diartikan sebagai orang yang melakukan wisata atau perjalanan ke suatu daerah atau negara dengan meninggalkan tempat tinggalnya sehari-hari selama lebih dari 24 jam dan kurang dari 6 bulan dengan berbagai maksud

(21)

kecuali untuk tujuan mencari nafkah. Sehingga wisatawan dikelompokkan menurut sifatnya oleh Kusumaningrum (2009:18) menyatakan:

1. Wisatawan modern idealis, wisatawan yang sangat menaruh minat pada budaya multinasional serta eksplorasi alam secara individual

2. Wisatawan modern materialis, wisatawan dengan golongan Hedonisme (mencari keuntungan) secara berkelompok

3. Wisatawan tradisional idealis, wisatawan yang menaruh minat pada kehidupan sosial budaya yang bersifat tradisional dan sangat menghargai sentuhan alam yang tidak terlalu tercampur oleh arus modernisasi

4. Wisatawan tradisional materialis, wisatawan yang berpandangan konvensional, mempertimbangkan keterjangkauan, murah, dan keamanan.

Secara umum, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wisatawan merupakan orang-orang yang berkunjung ke suatu daerah atau negara dengan tujuan untuk bersantai, menyegarkan pikiran, dan menikmati alam dan fasilitas di daerah yang dikunjunginya bukan untuk mencari nafkah dengan kurun waktu kurang dari 6 bulan.

2.3 Pengertian Daya Tarik Wisata

Daya tarik wisata merupakan segala sesuatu ciptaan manusia yang memiliki keunikan yang beranekaragam dan layak dipertunjukkan untuk dikunjungi wisatawan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan: “...daya tarik wisata adalah sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan”.

Secara umum, daya tarik wisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan ciptaan manusia yang dapat dilihat, dipelajari, dan dinikmati oleh

(22)

wisatawan. Ada 3 hal yang menjadi salah satu faktor pendukung daya tarik wisata menurut Yoeti (1985 : 164) menyatakan:

1. Something to see, artinya di daerah tujuan wisata terdapat daya tarik khusus di samping atraksi wisata yang menjadi interestnya.

2. Something to do, artinya selain banyak yang dapat disaksikan, harus terdapat fasilitas rekreasi yang membuat wisatawan betah tinggal di objek itu.

3. Something to buy, artinya di tempat wisata harus tersedia fasilitas untuk berbelanja souvenir atau hasil kerajinan untuk oleh-oleh.

Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang mempunyai daya tarik, keunikan dan nilai yang tinggi, yang menjadi tujuan wisatawan datang ke suatu daerah sebagai hal-hal yang dapat dinikmati, dilihat, dan dipelajari oleh wisatawan.

2.4 Pengertian Produk Wisata

Produk merupakan suatu barang atau jasa yang dihasilkan melalui suatu proses. Pariwisata sebagai sebuah industri menghasilkan jasa-jasa atau service sebagai produk yang dibutuhkan oleh para wisatawan pada khususnya. Produk pariwisata adalah berbagai jenis komponen daya tarik wisata, fasilitas pariwisata dan aksesibilitas yang disediakan bagi dan/atau yang dijual kepada wisatawan. Komponen tersebut saling mendukung secara sinergik dalam suatu kesatuan sistem untuk terwujudnya pariwisata. Artinya, semua jasa dan/atau produk industri lain yang dibutuhkan wisatawan mulai dari berangkat meninggalkan tempat kediamannya, hingga pulang ke rumah tempat tinggalnya. Pengertian produk industri pariwisata menurut Burkart dan Medlik (dalam Yoeti, 2002 : 128) menyatakan :

The tourist product may be seen as a composite product, as an amalgam of attractions, transport, accommodation and of entertainment. Artinya bahwa

(23)

produk industri pariwisata merupakan suatu susunan produk yang terpadu, yang terdiri dari objek wisata, atraksi wisata, transportasi (angkutan), akomodasi dan hiburan, di mana tiap unsur dipersiapkan oleh setiap perusahaan dan ditawarkan secara terpisah.

Adapun unsur-unsur dari produk wisata yang merupakan suatu paket yang tidak terpisah, yaitu:

1. Tourist Objects yang terdapat pada daerah daerah tujuan wisata yang menjadi daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut.

2. Fasilitas yang diperlukan ditempat tujuan tersebut, seperti akomodasi, restoran, bar, entertainment, dan rekreasi.

3. Transportasi yang menghubungkan negara asal wisatawan dengan daerah tujuan wisata seperti transportasi ditempat tujuan ke objek-objek wisata.

Produk wisata merupakan suatu bentuk yang nyata dan tidak nyata dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat dinikmati apabila seluruh rangkaian perjalanan tersebut dapat memberikan pengalaman menarik dan pengalaman yang baik bagi wisatawan.

2.5 Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi” yang “artinya budi dan akal”, jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Menurut Edwards B. Tailor (1871:1) mengatakan: ”...Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, kebiasaan istiadat, serta lain beberapa kekuatan dan bebeerapa rutinitas yang diperoleh manusia sebagai anggota orang-orang”.

Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, serta kebiasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:149) menyatakan:

(24)

“…Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat”.

Pengertian kebudayaan merupakan segala sesuatu yang merupakan hasil cipta manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks dan dapat diterima masyarakat sekitarnya untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi (1964:113) menyatakan :

Kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologidan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.

Kebudayaan adalah kekayaan khas tiap-tiap bangsa dan negara, dan dapat menjadi daya tarik wisata yang kuat. Banyak pula kebudayaan yang dapat dikemas dan dipertunjukkan tanpa mengurangi keindahannya. Para wisatawan hanya sekedar mengetahui dan menyaksikan pertunjukan tersebut apabila yang diketahui oleh wisatawan hanya pada taraf tiruan atau duplikat dari objek aslinya.

2.6 Jenis-jenis Kebudayaan

Kebudayaan dapat mengatur supaya manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat menentukan sikapnya apabila mereka berhubungan dengan oranglain. Oleh karena itu ada banyak jenis-jenis kebudayaan, berdasarkan wujudnya menurut Soekanto (2012:151) menyatakan :

1. Kebudayaan yang bersifat abstrak, terletak di dalam pikiran manusia tidak dapat diraba atau difoto, misalnya imajinasi dan khayalan

(25)

2. Kebudayaan bersifat konkret, wujudnya berpola tindakan atau aktivitas manusia di dalam masyarakat yang dapat diraba dan dinikmati, misalnya belajar, bermain, bicara.

Jenis kebudayaan terdiri dari beberapa bagian, namun keseluruhan merupakan suatu hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam bentuk yang berbeda-beda tergantung dari hasil kebudayaan tersebut diciptakan. Ada 3 wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979:186) menyatakan:

Pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma, yang tidak dapat dilihat oleh indera penglihatan karena terdapat dalam pikiran manusua.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat atau disebbut dengan sistem sosial. Wujud kebudayaan ini merupakan sistem sosial konkret karena dapat dilihat pola-pola tindakannya dengan indera penglihatan. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau disebut dengan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktifitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis budaya ada yang bersifat abstrak atau kebudayaan yang tidak dapat diraba karena bersifat imajinasi, dan ada juga kebudayaan yang bersifat konkret atau kebudayaan yang dapat diraba karena berupa benda sebagai hasil ciptaan dan karya manusia.

2.7 Hubungan Kebudayaan dengan Pariwisata

Hubungan antara kebudayaan dengan pariwisata secara umum adalah nilai dan pemeliharaan, termasuk pengawasan serta bimbingan kekayaan kebudayaan.

Pelestarian terhadap benda-benda, monumen sejarah dan segala warisan budaya dan hasil peninggalan bersejarah harus dirancang dan dijaga. Pembentukan desain produk pariwisata hendaknya diaplikasikan juga kepada kehidupan sehari-hari dan kepada

(26)

wisatawan, serta menjaga keaslian dan keindahan kebudayaan. Menurut Pendit (1999:228) menyatakan :

Hubungan kebudayaan dan pariwisata dinyatakan dalam bentuk penggunaan kekayaan kebudayaan untuk maksud-maksud atraksi, seperti pertunjukan, pameran, demonstrasi, pesta (festival), dan sebagainya dalam berbagai cabang kesenian yang dalam keseluruhan aktivitasnya memberikan kesempatan kerja berkarya bagi sang seniman, pengatur, penyelenggara teknis, organisator, pelaksana administratif dan sebagainya.

Secara ekonomi, hubungan kebudayaan dengan pariwisata dinyatakan dalam bentuk penggunaan kekayaan kebudayaan untuk membentuk atraksi-atraksi baik living attraction (seni tari, ritual adat) maupun non-living attraction (arsitektur bangunan, peninggalan historis) yang disuguhkan ke dalam suatu pameran, festival, event, yang dapat memberikan kesempatan kerja bagi seniman, penyelenggara, serta masyarakat Samosir yang bekerja dalam industri pendukung pariwisata, yakni hotel, homestay, restoran, dan transportasi.

Pariwisata dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan begitu saja, karena secara umum adanya hal penting yang mencakup di dalamnya :

1. Identitas

Kebudayaan mengandung cipta, rasa dan karsa yang sesungguhnya menjadi nilai khusus, memberikan efek daya tarikbagi setiap pengunjung. Kebanyakan pengunjung mancanegara tertarik berkunjung ke suatu daerah karena mereka menganggap budaya di tempat yang akan mereka kunjungi berbeda dengan budaya yang mereka miliki. Kebudayaan sebagai identitas dimana melalui kebudayaan seseorang dapat dikenal melalui instrumen yang ditunjukkan seperti gaya hidup, bahasa, perilaku, bahasa, dan adat istiadat.

(27)

2. Ciri khas

Seseorang akan menganggap suatu budaya itu unik apabila budaya yang dimiliki berbeda, tidak diketahui, dan tak sama dengan budaya yang ia miliki.

Melekatnya ciri khas terhadap suatu suku bangsa/etnis tertentu akan menjadi nilai tambah (value added) yang menjadi bahan pertimbangan bagi seseorang untuk berkunjung ke suatu daerah.

Masyarakat Samosir kaya akan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi mereka berikutnya. Kebudayaan tersebut beraneka ragam dan dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Samosir, misalnya budaya yang terdapat pada rumah adat Batak. Melestarikan rumah adat Batak dapat diwujudkan dengan cara menjadikannya sebagai penginapan bagi wisatawan. Hal ini akan menambah keunikan dan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, tanpa menghilangkan nilai dan makna yang terkandung di dalam rumah adat tersebut. Ataupun dengan mengaplikasikan gaya dan arsitektur bangunan rumah adat pada pembangunan hotel, restoran, dan penginapan lainnya di Kabupaten Samosir. Dengan demikian, kebudayaan suku Batak tidak akan hilang tetapi melalui hal tersebut akan menambah devisa bagi penduduk Samosir.

(28)

BAB III

GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMOSIR

3.1 Letak Geografis Kabupaten Samosir

Secara geografis Kabupaten Samosir terletak pada 2˚21’38” LU dan 98˚24’00 - 99˚01’48” BT. Luas wilayahnya ± 1.444,25 km², yaitu seluruh daratan Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba. Batas wilayah Kabupaten Samosir adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir

2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten

Humbang Hasundutan

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

Topografi wilayah Kabupaten Samosir umumnya adalah berbukit-bukit, bergelombang, hingga pegunungan dengan ketinggian antara 904 m – 2.157 m di atas permukaan laut. Menurut para ahli, struktur tanahnya adalah labil dan berada pada lajur gempa tektonik dan vulkanik.

Letak Kabupaten Samosir sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara memiliki keuntungan geografis bagi sektor pariwisata, karena berada di tengah Danau Toba sebagai objek wisata yang terkenal. Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, dimana 6 kecamatan berada di Pulau Samosir, dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan,

(29)

yaitu Kecamatan Harian, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Pangururan, Ronggur Ni Huta, Sianjurmula-mula, Simanindo, dan Sitio-tio, (BPS Kabupaten Samosir 2015).

Table 3:1

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten SamosirTahun 2015

No Kecamatan Luas (Km²)

Persentase

(%) JumlahPenduduk Persentase (%)

Kepadatan Penduduk 1 SianjurMula-

mula 140,24 11,45 9 448 7,63 67,37

2 Harian 560,45 38,81 8 114 6,55 14,48

3 Siti-otio 50,76 7,92 7 341 5,93 144,62

4 Onanrunggu 60,89 16,82 10 687 8,63 175,51

5 Nainggolan 87,86 10,79 12 261 9,90 139,55

6 Palipi 129,55 18,89 16 648 13,45 128,51

7 Ronggurnihuta 94,87 13,35 8 632 6,97 90,99

8 Pangururan 121,43 2,51 30 468 24,61 250,91

9 Simanindo 198,20 4,39 20 190 16,31 101,87

Samosir 1.444,25 100,00 123 789 100,00 85,71

Sumber: BPS Kabupaten Samosir, Samosir Dalam Angka 2015

Kondisi geografis Kabupaten Samosir yang memiliki kekayaan potensi alam

dan budaya hampir di semua bidang, yang paling menonjol adalah di bidang Pariwisata. Selain kekayaan pemandangan alamnya yang sangat indah, beberapa potensi wisata lain seperti tempat atau benda seni budaya peninggalan leluhur suku Batak. Keunikan letak geografis Samosir ini akan lebih menunjang sector pariwisatanya, apabila lebih dilestarikan dan didukung oleh pemerintah terutama masyarakat setempat memiliki sadar wisata yang tinggi.

(30)

3.2 Transportasi ke Daerah Tujuan Wisata

Kampung Siallagan atau Huta Siallagan merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Kabupaten Samosir yang terkenal dengan rumah adat Batak Toba.

Kampung Siallagan terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Penduduk desa ini masih melestarikan dan menggunakan rumah Batak sebagai tempat tinggal mereka, meskipun bangunan rumah Batak yang ditempati tidak seperti bangunan aslinya lagi. Akan tetapi, penduduk desa Siallagan ini tidak meninggalkan nilai-nilai dan makna yang ada pada rumah adat Batak aslinya.

Perkampungan Siallagan (Huta Siallagan) ini dihuni oleh beberapa keluarga yang terkait dalam satu kerabat. Akses perjalanan dari Medan menuju Huta Siallagan dapat ditempuh melalui tiga rute, yaitu rute melalui Parapat dan rute melalui Tele : 1. Akses dari Medan-Siantar-Parapat -Tomok-Huta Siallagan.

Apabila melalui rute ini, dari Medan menuju Siantar menggunakan angkutan umum Sejahtera, ALS, Paradep Trans dengan tarif ongkos Rp. 30.000 per orang.

Kemudian dari Siantar menuju Tomok dengan kapal penumpang umum menggunakan pelabuhan Tigaras yang beroperasi setiap jam dengan waktu tempuh 30 menit, dan kapal Ferry KMP Tao Toba dengan menggunakan pelabuhan Tiga Raja (dapat membawa 25 unit kendaraan minibus, barang, dan penumpang). Kapal ferry Tiga Raja ini beroperasi 5 trip satu hari setiap 3 jam, dengan waktu tempuh satu jam dari Ajibata dan Parapat menuju Tomok pulang pergi. Tarif ongkos apabila menggunakan kapal ferry atau kapal penumpang Rp. 10.000 per orang. Setelah itu, menuju huta Siallagan dari Tomok dapat menggunakan angkutan umum, misalnya :

(31)

Danau Toba Wisata, CV. Karya Agung, dan PSN dengan tarif atau ongkos perjalanan sekitar Rp. 15.000 per orang.

2. Akses dari Medan-Berastagi-Kabanjahe-Merek-Tigaras-Simanindo-Kampung Siallagan.

Melalui rute ini, dari Medan menuju Tigaras menggunakan angkutan umum seperti : ALS, Paradep Trans, Sejahtera dengan tarif ongkos Rp. 30.000. Melalui Tigaras menuju Simanindo, tersedia kapal penumpang umum dengan waktu tempuh 25 menit. Kemudian untuk menuju ke huta Siallagan, dapat menggunakan angkutan umum yang tersedia, antara lain : PSN, CV. Karya Agung, Danau Toba Wisata dengan tarif ongkos Rp. 15.000

3. Akses dengan jalan darat dari Medan-Berastagi-Sidikalang-Tele-Pangururan- Simanindo-Huta Siallagan.

Melalui rute ini dari Medan menuju Huta Siallagan dengan menggunakan angkutan umum Sampri dan banyak juga taksi yang tersedia seperti : Bintang Samosir, Posroha, dan Merpati. Apabila menggunakan Sampri dikenakan tarif Rp.

75.000 dan menggunakan taksi dengan tarif Rp. 100.000 per orang.

Kondisi jalan menuju objek wisata Huta Siallagan masih relatif kurang, disebabkan karena pembangunan jalan yang belum merata ke setiap daerah. Jalan menuju objek wisata ini sudah lebar, tetapi secara keseluruhan masih banyak lubang- lubang ditengah jalan dan masih belum di aspal. Meskipun demikian, untuk menuju objek wisata ini telah dapat dilalui oleh angkutan umum. Sedangkan untuk sarana perhotelan atau penginapan wisatawan belum tersedia, untuk memperoleh penginapan

(32)

cukup dengan waktu 10 menit menuju Tuktuk. Daerah ini telah menyediakan banyak fasilitas hotel dan penginapan lainnya dengan harga yang terjangkau.

Sarana akomodasi di Kabupaten Samosir untuk mendukung kepariwisataan yang tersedia tahun 2014 adalah sebanyak 82 usaha, terdiri dari 6 usaha hotel bintang 1 dan 2 dengan jumlah kamar sebanyak 405 kamar dan 792 fasilitas tempat tidur.

Selain itu, 76 hotel non berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 1.301 kamar dan 2.128 fasilitas tempat tidur, (BPS Kabupaten Samosir 2015).

Tabel 3:2

Statistik Hotel dan Pariwisata Kabupaten Samosir 2015

Sarana Tahun

2012 2013 2014 Akomodasi

Hotel berbintang 6 6 6

Akomodasi lainnya 78 76 76

Jumlah kamar

Hotel berbintang 448 418 405

Akomodasi lainnya 958 1.278 1.301

Jumlah tempat tidur

Hotel berbintang 908 802 792

Akomodasi lainnya 1.809 2.211 2.128

Tingkat hunian kamar %

Hotel berbintang 23,35 17,15 15,50

Hotel berbintang dan akomodasi lainnya 19,76 14,85 12,99 Sumber: BPS Kabupaten Samosir, Samosir Dalam Angka 2015

Kabupaten Samosir dari segi pariwisata sebenarnya masih pilihan nomor satu bagi wisatawan yang ingin berlibur keprovinsi Sumatera Utara, terbukti dari pencatatan kunjungan wisatawan dan data pengunjung hotel pada tabel di atas yang semakin meningkat. Keindahan dan daya tarik daerah Samosir sebenarnya bukan hanya karena dikelilingi oleh Danau Toba. Pegunungan Bukit Barisan dan hamparan

(33)

sawah yang luas menjadi daya tari sendiri bagi para wisatawan yang mengunjungi Samosir. Selain itu, Samosir juga kaya akan kebudayaan seperti rumah adat Batak yang unik, tari tortor, pakaian adat, hasil kerajinan tangan bertenun atau ulos menjadi keunikan tersendiri.

3.3 Sistem Kekerabatan

Suku Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, yaitu kelompok kekerabatan yang dihitung dari garis keturunan ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Kaum laki-laki menjadi penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah dalam suku Batak disebut sa ama, sedangkan satu kakek atau atau satu nenek moyang yang jauh disebut sa ompu. Garis hubungan kekerabatan suku Batak dengan kaum kerabatnya dapat ditunjukkan hingga generasi ke 20 ke atas. Keluarga sa ompu dapat disebut kelompok kekerabatan klen kecil, termasuk semua kerabat patrilineal yang dikenal kekerabatannya. Kelompok kekerabatan yang terkecil pada suku Batak disebut ripe, yaitu orang Batak yang telah menikah dan tinggal bersama orang tua suaminya dalam satu rumah. Sedangkan kelompok kekerabatan yang besar adalah marga, yang dapat disebut klen besar patrilineal (kelompok berdasarkan hubungan kekerabatan yang berasal dari satu nenek moyang dan melalui garis keturunan ayah).

Marga pada suku Batak menunjukkan nama dan asal nenek moyang, misalnya apabila seseorang memiliki marga Pandiangan Pande berarti ia keturunan dari seorang nenek moyang bernama raja Pandiangan dan Pande adalah anaknya. Sistem kekerabatan pada perkawinan suku Batak umumnya tidak hanya mengikat seorang

(34)

laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan tertentu yaitu antara kaum kerabat dari pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat perempuan (parboru).

Perkawinan yang ideal menurut suku Batak adalah antara seorang laki-laki dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (marpariban). Sebelum pelaksanaan adat perkawinan, pihak laki-laki atau paranak akan melakukan kunjungan lamaran ke rumah pihak perempuan (marhusip) yang kemudian kedua pihak akan melakukan acara marhata sinamot dan penentuan hari pelaksanaan perkawinan. Selanjutnya, pihak keluarga perempuan akan mengadakan suatu musyawarah untuk membagikan sinamot kepada seluruh anggota keluarga yang terdekat baik kepada pihak ayah dan pihak ibu yang disebut jambar boru.

Kegunaannya adalah sebagai modal untuk membeli ulos yang akan diberikan pada saat acara pernikahan dilaksanakan.

3.4 Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu (tungku tiga kaki). Isi dan pengertian Dalihan na Tolu tersebut adalah : Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hula-hula adalah pihak keluarga dari istri, yang menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat istiadat Batak sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada hula-hula (somba marhula-hula). Kelompok yang disebut hula- hula antara lain : Saudara laki-laki dari ibu sering disebut tulang. Dongan

(35)

Tubu/Hahaanggi disebut juga dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga.

Arti harafiahnya lahir dari perut yang sama. Namun kepada semua orang Batak dalam berbudaya dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga, sehingga tercipta kalimat manat mardongan tubu.

Kelompok dongan tubu, yaitu adik, abang, kakak, dan yang memiliki marga yang sama. Selain itu, Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari terutama dalam setiap upacara adat. Kelompok yang disebut boru, yaitu saudara perempuan dari pihak laki- laki, sering disebut namboru. Meskipun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti dapat diperlakukan dengan semena-mena. Pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan dengan kalimat elek marboru.

Sistem kekerabatan Batak tidak memiliki kasta, sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi hula-hula, sebagai dongantubu, dan juga sebagai boru. Artinya setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Tata kekerabatan orang Batak harus berperilaku “raja”, tetapi bukan berarti orang yang berkuasa melainkan orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Setiap pembicaraan adat Batak selalu disebut Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu, dan Raja ni Boru. Falsafah ini mengajarkan bahwa suku Batak Toba sejak lahir hingga meninggal kelak, akan selalu terikat dalam struktur keluarga dan kekerabatan.

(36)

3.5 Pola Perkampungan

Suku Batak terutama penduduk Huta Siallagan, sebagian besar masih tinggal di pedesaan. Mereka hidup membentuk perkampungn dengan hidup berdampingan dan bergotong royong dalam mengerjakan pekerjaan. Pengertian pedesaan menurut suku Batak disebut huta, lumban, dan sosor. Huta dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu marga yang berasal dari satu leluhur, dulunya dikelilingi oleh suatu parit yang tinggi atau dinding tanah yang tinggi dan rumpun-rumpun bambu yang tumbuh rapat. Kegunaan parit tersebut adalah sebagai pertahanan terhadap serangan musuh dari huta lain.

Bagian dalam huta, terdapat dua atau lebih deretan rumah-rumah dan diantaranya terdapat halaman rumah yang digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pesta perkawinan, upacara kematian, dan pesta lainnya. Lumban merupakan suatu wilayah yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang merupakan warga dari suatu bagian marga lain. Sedangkan sosor merupakan perkampungan baru yang biasanya kecil dan didirikan karena huta sudah terlalu penuh. Lama kelamaan, sosor dapat juga menjadi suatu huta apabila telah ada izin dari huta yang lama dan telah menjalankan upacara tertentu dengan membayar hutang kepada huta induknya.

Apabila hendak mendirikan huta, harus memerlukan izin dari bius atau raja huta. Setelah perundingan dan mendapat hasil mufakat, kemudian diadakan jamuan makan sebagai pemberitahuan tentang maksud mendirikan huta yang baru tersebut.

Upacara dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan sesajen kepada dewa tanah atau boraspati ni tano. Sesajen tersebut biasanya berisi sehelai kain Batak atau ulos ragi hidup, beras, telor, dan kue-kue dari beras atau itak. Setelah upacara dilakukan,

(37)

sehingga dapat mendirikan huta yang baru, sehingga diantara ketiga pengertian pedesaan tersebut huta adalah yang paling tua.

3.6 Proses Pembangunan Rumah Adat Batak

Apabila telah ada izin untuk membentuk huta, kemudian akan mendirikan rumah sebagai tempat tinggal mereka. Sebelum mendirikan rumah terlebih dahulu dikumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, dalam bahasa Batak disebut mangarade.

Bahan-bahan yang diperlukan, antara lain : tiang, tustus (pasak), pandindingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok, dan ijuk sebagai atap, lais, sumbang, dan bahan lain yang diperlukan. Dalam melengkapi kebutuhan bahan bangunan selalu dilaksanakan dengan gotong royong tanpa pamrih atau sering disebut marsiurup.

Sebelum mendirikan bangunan diadakan upacara mangunsong bunti, yaitu upacara memohon kepada Tri Tunggal Dewa (Mula Jadi na Bolon). Peserta upacara meliputi Datu Ari (dukun), Raja Parhata (ahli hukum adat), Raja Huta (kepala desa) dan Dalihan Na Tolu (raja ni hula-hula, dongan tubu, dan boru). Pada saat mendirikan bangunan, diadakan upacara paraik tiang dan paraik urur atau memasang tiang dan urur. Setelah bahan bangunan lengkap, maka untuk pengerjaannya diserahkan kepada tukang atau pande untuk merancang pembangunan rumah sesuai dengan keinginan pemilik rumah apakah berbentuk Ruma atau Sopo.

Tahapan yang akan dilaksanakan pande adalah menyeleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara yang diketok oleh pande dengan alat tertentu yang disebut mamingning. Salah satu hal yang paling

(38)

penting dalam membangun rumah Batak adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak akan kokoh berdiri.

Pengertian ini terangkum dalam falsafah yang mengatakan hot di ojahanna yang berprinsip bahwa dimana tanah dipijak disitu langit dijunjung.

Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Komponen pembentuk dinding rumah terdiri dari pandindingan yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan dang tartea sahalak sada pandindingan, artinya perlu menjalin kerjasama dan kebersamaan dalam memikul beban berat. Pandindingan dipersatukan dengan parhongkom dengan menggunakan hansing-hansing sebagai alat pemersatu. Ungkapan yang mengatakan hot dibatuna jala ransang diransang-ransangna dan hansing di hansing-hansing na, ,mengandung makna bahwa dasar dan landasannya telah dibuat dan kiranya komponen lainnya dapat berdiri kokoh. Hal ini juga dimaknai bahwa setiap penghuni rumah harus selalu merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.

Bagian atas rumah Batak disebut bungkulan yang ditopang oleh tiang ninggor, dan tiang ninggor ditopang oleh sitindangi dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor disebut sijongjongi. Tiang ninggor selalu diposisikan tegak lurus memanjang ke atas, yang mengandung simbol kejujuran. Pada bagian atas di bawah atap disebut arop-arop yang merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan supaya selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam kepercayaan Batak disebut Mula Jadi na Bolon.

(39)

Sebelah kanan dan kiri membentang dari belakang ke depan disebut ombis- ombis, yang berfungsi sebagai pemersatu bagi urur yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Makna ombis-ombis ini pada suku Batak menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, sehingga perlu mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Setelah bangunan selesai, diadakan 2 upacara, yaitu mangompi jabu (memasuki rumah baru), dan pamestahon jabu (pesta pemberkatan rumah baru). Suku Batak meyakini dalam setiap penempatan bahan untuk membangun sebuah Rumah Batak, mengandung nilai tersendiri yang dimaknai dalam kehidupan sehari-hari.

(40)

BAB IV

RUMAH ADAT BATAK TOBA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR

4.1 Pembagian Ruangan dalam Rumah Adat Batak Toba sebagai Daya Tarik Wisata

Daya tarik merupakan produk yang paling penting dalam suatu objek wisata yang dikunjungi oleh wisatawan. Apabila daya tarik suatu objek wisata semakin unik, maka akan semakin mahal pula nilainya bagi wisatawan. Wisatawan akan semakin sering berkunjung apabila tempat yang dikunjunginya memberikan daya tarik yang belum pernah didapat sebelumnya. Oleh karena itu, suku Batak memiliki rumah adat yang memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh rumah adat lainnya.

Keunikan rumah adat Batak yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata dapat dilihat dari pembagian ruangan di dalam rumah. Rumah adat Batak berbentuk persegi dan tidak memiliki kamar sebagai dinding pembata. Suku Batak menempati rumah adat Batak dibatasi oleh adat mereka yang masih kental. Mereka tinggal di dalam rumah tersebut dengan menjalankan adat dan peranan masing-masing.

Menurut suku Batak ada 4 pembagian ruangan pada Rumah Adat Batak, yaitu : 1. Jabu Bona merupakan bagian rumah adat Batak yang berada pada sudut kanan

dari pintu masuk. Ruangan ini ditempati oleh pemilik rumah, yang disebut sebagai suhut.

2. Jabu Suhat merupakan bagian ruangan dalam rumah adat Batak yang berhadapan dengan jabu bona, dan berada pada sudut kiri dari pintu masuk. Bagian rumah adat ini ditempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga. Apabila suku Batak

(41)

mengadakan acara atau pesta, bagian rumah ini ditempati oleh pihak hula-hula dari pemilik rumah. Pihak hula-hula merupakan pihak yang sangat dihormati dan dihargai dalam suku Batak.

3. Jabu Soding merupakan bagian ruangan rumah adat Batak yang berada pada sudut kiri dekat dengan pintu masuk rumah dan ditempati oleh anak-anak pemilik rumah yang belum menikah. Apabila suku Batak mengadakan acara atau pesta, yang menempati bagian rumah ini disebut sebagai boru atau gelleng yang berperan sebagai parhobas atau pelayan.

4. Jabu Tampiring merupakan bagian rumah adat Batak yang berada pada sudut kanan bagian depan berdekatan dengan pintu masuk. Bagian ruangan rumah ini disediakan untuk tamu. Apabila pemilik rumah mengadakan acara atau pesta, yang menempati bagian rumah ini disebut haha anggi atau keluarga abang/adik dari pemilik rumah adat Batak tersebut.

Pembagian peranan dan kedudukan dalam menempati rumah adat Batak ini, sudah diketahui mereka sendiri. Apabila berperan sebagai hula-hula maka akan menempati jabu suhat, begitu juga selanjutnya untuk peranan dan kedudukan suhut, boru dan haha anggi. Kedudukan yang paling tinggi adalah jabu bona sebagai pemilik rumah adat Batak dan yang berperan sebagai suhut. Peranan hula-hula yang menempati jabu suhat merupakan kedudukan yang paling dihormati dan dihargai dalam suku Batak.

Keunikan dari ruangan rumah adat Batak yang tidak memiliki dinding pembatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa suku Batak juga sangat melestarikan kebudayaan mereka. Hal tersebut adalah salah satu keunikan yang dapat dijual

(42)

kepada wisatawan sebagai daya tarik wisata, karena hal tersebut tidak terdapat pada suku lain kecuali suku Batak sendiri.

4.2 Makna Filosofi Ukiran pada Rumah Adat Batak Toba sebagai Daya Tarik Wisata

Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai daya tarik suatu objek wisata untuk dapat membuat wisatawan mengunjungi suatu daerah. Salah satunya adalah keunikan hasil karya masyarakat, baik berupa kesenian seperti seni tari, seni ukir, seni lukis, dan sebagainya. Masyarakat Batak memiliki hasil karya yang unik dalam bentuk seni ukir. Ukiran atau pahatan tersebut dinamakan gorga, dan terdapat pada rumah adat Batak. Bagi suku Batak, gorga pada rumah adat Batak merupakan sejarah kepemilikan rumah yang ditempati. Gorga atau ukiran ini tidak hanya memiliki keunikan tersendiri, tetapi juga mengandung makna filosofi bagi masyarakat Batak pada umumnya.

Hal-hal yang menjadi keunikan ukiran atau gorga pada rumah adat Batak dapat dijadikan sebagai daya tarik objek wisata. Keunikan gorga tersebut antara lain adalah gorga Batak hanya memakai 3 warna saja, yaitu : merah, putih, dan hitam.

Warna-warna tersebut mengandung makna dan lambang tersendiri, seperti : warna putih melambangkan kejujuran, dan warna merah melambangkan kecerdasan, sedangkan warna hitam melambangkan kewibawaan. Selain itu, bagi orang Batak gorga yang ada pada rumah yang mereka tempati sangat erat hubungannya dengan sejarah kepemilikan rumah mereka. Apabila rumah adat yang mereka tempati menggunakan gorga simataniari (matahari) menandakan bahwa pemilik rumah adat Batak tersebut menghargai matahari sebagai sumber kehidupan manusia.

(43)

Berikut ini merupakan jenis-jenis ukiran atau gorga pada rumah adat Batak serta makna filosofinya bagi masyarakat Batak :

1. Gorga Simataniari (matahari), gorga ini menggambarkan matahari yang merupakan sumber kehidupan manusia, biasanya terdapat di sudut kiri dan kanan rumah Batak. Gorga ini bermakna untuk mengingat jasa matahari yang menerangi dunia karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari tidak akan ada yang dapat hidup di dunia ini.

2. Gorga Desa Naualu, menggambarkan 8 penjuru mata angin yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas ritual suku Batak. Suku Batak zaman dulu telah mengenal mata angin, sehingga segala kegiatan mereka selalu dihubungkan dan dimaknai dari penjuru mata angin tersebut.

3. Gorga Singa-singa, mengandung makna bahwa tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh, pemberani, dan berwibawa. Gorga ini juga melambangkan penghuni rumah harus sanggup mandiri dan menunjukkan identitasnya sebagai manusia berbudaya. Singa-singa tersebut berasal dari belalang atau sihapor yang diukir menjadi bentuk patung dan biasanya ditempatkan di sebelah depan rumah Batak.

Sehingga ada filsafat Batak yang mengatakan metmet pe sihapor lunjung dijujung do uluna, artinya bahwa bagaimanapun kondisi dan status sosial pemilik rumah tidak terlalu beruntung namun harus selalu tegar dan harus mampu menjaga citra dan nama baiknya.

4. Gorga Boraspati (cicak), gorga ini melambangkan kesuburan yang berbentuk gambar cicak dengan ekor yang terbelah dua, selain disebut boraspati juga disebut bujongir. Menurut suku Batak, boraspati jarang kelihatan atau menampakkan diri.

(44)

Apabila boraspati kelihatan berarti tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan (hamoraon). Bentuk gorga ini bermakna bahwa cicak memberikan perlindungan untuk seisi rumah karena cicak dapat memberi tanda-tanda yang membantu manusia untuk menghindari bahaya yang datang.

5. Gorga adop-adop (buah dada wanita), mengandung kemakmuran (dalam bahasa Batak disebut hagabeon dohot hasangapon) dan kehidupan yang bersumber dari ibu dengan pengharapan soripada hangoluan.

6. Gorga sijonggi, mengandung makna kegagahan sehingga pemilik rumah akan dihormati karena adanya lambang keperkasaan ini.

7. Gorga Hoda-hoda, berupa penunggang dengan hewan tunggangannya adalah kuda dalam bahasa Batak hoda. Bentuk gorga ini merupakan gambaran atau lambang kebesaran dari pemilik rumah.

8. Gorga Ulu Paung, yang berada di puncak rumah gorga Batak dan berfungsi untuk melawan setan atau begu yang datang dari luar kampung, gorga ini diisi dengan kekuatan gaib. Menurut kepercayaan suku Batak, pada zaman dulu sering mendapat serangan kekuatan hitam dari luar rumah. Serangan ini misalnya membuat perselisihan di dalam keluarga sehingga membuat suami dan istri tidak akur, atau membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa sakit fisik dan berbagai macam ketidak harmonisan.

9. Gorga Ipon-ipon, dalam bahasa Indonesia adalah gigi, yang berarti manusia tanpa gigi sangat kurang menarik. Ukiran Batak juga demikian, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Gorga ini mengandung makna

(45)

kemajuan, hiasan bagian tepi yang memberi kekuatan pada komposisi gorga yang biasanya berbentuk geometris dengan salah satu bentuknya adalah setengah lingkaran yang berlapis-lapis. Bentuk gorga ini menyerupai bentuk embun sehingga sering disebut ombun marhele.

10. Gorga Silintong, berbentuk pusaran air yang mengandung makna kesaktian dari orang-orang yang memberi ilmu tinggi seperti datu, guru, dan raja untuk melindungi rakyatnya dari bahaya atau bencana.

11. Gorga Gaja Dompak, memiliki bentuk jenggar yang berada di ujung dila paung, yang bermakna bahwa kebenaran yang bersumber dari Debata Mula Jadi na Bolon yang menjadi hukum bagi orang Batak.

12. Gorga Sitompi, bentuk gorga ini merupakan lambang ikatan kebudayaan dengan bentuk anyaman rotan yang dibuat sebagai alat untuk mengikat leher kerbau ketika membajak sawah. Gorga ini dibuat untuk mengingat jasa kerbau atau hewan mengolah ladang mereka.

13. Gorga Hariara Sundung di Langit, merupakan gambaran bagaimana manusia pertama kali diciptakan oleh sang pencipta sehingga manusia harus menghargai penciptaNya.

14. Gorga Sitagan, bentuk gorga ini mempunyai makna nasihat agar manusia tidak sombong terhadap sesamanya, terutama ketika menerima tamu. Tagan merupakan benda berbentuk kotak kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan sirih, rokok, atau benda-benda kecil lainnya. Gorga ini bermakna nasihat supaya menghilangkan rasa sombong terutama ketika menerima tamu.

(46)

15. Gorga Simarogung-ogung (gong), menggambarkan bahwa pada zaman dahulu gong atau ogung merupakan benda yang sangat berharga karena pemakaiannya sangat diperlukan pada saat pesta adat dan upacara ritual, seperti upacara mengangkat tulang-tulang mayat (mangongkal holi).

16. Gorga Dalihan na Tolu (tiga tungku), mengandung makna falsafah Dalihan na Tolu yang merupakan falsafah hidup orang Batak dalam menjalin hubungan dengan sesama. Gorga ini biasanya terdapat pada dinding depan yang dalam bahasa Batak disebut dorpi jolo.

Ukiran atau gorga Batak pada uraian di atas, dapat dipelajari oleh wisatawan sebagai cendramata yang akan dibawa pulang setelah mengunjungi rumah adat Batak Toba. Ukiran Batak ini dapat juga diaplikasikan ke dalam cendramata yang dijual pada toko souvenir setiap objek wisata. Hal ini akan membantu untuk melestarikan ukiran atau gorga Batak yang ada pada rumah adat Batak Toba yang hampir tidak dapat ditemukan lagi. Dengan demikian generasi berikutnya tidak kehilangan warisan kebudayaan dari nenek moyang.

4.3 Keunikan Rumah Adat Batak Toba sebagai Daya Tarik Wisata

Rumah adat Batak tidak hanya memiliki keunikan dari pembagian ruangan dan keunikan gorga atau ukirannya. Akan tetapi, mulai dari proses pendiriannya hingga bangunan rumah adat Batak memiliki keunikan yang dapat dijadikan sebagai daya tarik kepada wisatawan. Secara umum, suku Batak membangun rumah tidak hanya untuk tempat berlindung dari terik matahari, hujan, dan binatang buas, tetapi terdapat juga nilai dan makna filosofi yang dijalankan sebagai pedoman hidup dalam

(47)

bermasyarakat. Berikut ini merupakan keunikan bangunan rumah adat Batak yang menjadi daya tarik objek wisata di Kabupaten Samosir adalah sebagai berikut :

1. Keunikan desain pintu rumah adat Batak Toba, yang dibuat agak menjorok ke dalam. Hal ini mengandung makna supaya pengunjung atau tamu yang memasuki rumah adat Batak menundukkan kepala sebagai rasa hormat kepada pemilik rumah. Hal ini memiliki makna filosofi bahwa meskipun status dan jabatan tamu atau pengunjung lebih tinggi daripada pemilik rumah harus tetap hormat dan berperilaku baik apabila bertamu. Sebaliknya, apabila status dan jabatan tamu lebih rendah dari pada pemilik rumah harus tetap hormat dan bertingkah laku sopan kepada pemilik rumah.

2. Rumah adat Batak juga harus memiliki tangga atau balatuk yang berjumlah ganjil.

Hal ini mengandung makna bahwa apabila tangga rumah adat Batak ganjil, menandakan bahwa pemilik rumah adalah raja atau anak ni raja. Sedangkan apabila rumah adat Batak memiliki tangga yang ganjil menandakan bahwa pemilik rumah tersebut adalah pesuruh (dalam bahasa Batak disebut hatoban). Tangga pada rumah adat Batak diletakkan badan rumah, sehingga orang yang menaiki tangga tersebut harus berjalan sambil agak tunduk.

3. Keunikan bangunan rumah adat Batak, pada zaman dulu tidak memakai paku satupun sebagai alat perekat dalam membangun rumah. Sebagai alat perekat antara bahan-bahan untuk bangunan rumah, digunakan ijuk sebagai tali pengikat dan juga kayu yang saling menopang. Akan tetapi rumah adat Batak ini tidak runtuh apabila terjadi gempa bumi.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun judul skripsi ini adalah : Nilai/Makna Bentuk Dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba (Study Kasus : Hutaurat dan

Sejauh mana nilai-nilai pedagogis dan nilai estetis yang terkandung pada makna simbol ornamen rumah adat Batak Toba tersebut mampu memberikan konstribusi

makna yang terkandung di dalamnya. Karena itu, tugu ini perlu diperkenalkan dan.. Aprina Hartati : Galasibot Sebagai Aset Budaya Marga Sinaga Merupakan Daya Tarik Wisata Di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai makna simbolik upacara adat mangulosi (pemberian ulos) pada siklus kehidupan masyarakat Batak Toba khususnya di kecamatan

Pulau Samosir merupakan salah satu objek wisata di Provinsi Sumatera Utara dengan kunjungan wisatawan tertinggi dan keseluruhan memiliki unsur daya tarik wisata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk pergeseran dalam pernikahan adat Batak Samosir di Kuantan Singingi yaitu : Mebat atau Paulak Une atau merupakan

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Ornamen “ Gorga “ Pada Masyarakat Batak Toba yaitu tentang ornamen rumah adat Batak Toba di kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Secara keseluruhan rumah adat batak toba suah baik dalam merespon iklim di sekitarnya yaitu iklim tropis lembab.Adanya kolong atau kontruksi panggung akan mendukung rumah