PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013 - 2033
September 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan kemudahan dan Hidayah-Nya, hingga penyusunan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Tim KLHS) Kota Palangka Raya telah melakukan inisiasi bersama masyarakat dan forum multipihak untuk menyusun dokumen KLHS dalam upaya mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palangka Raya.
Sebagai salah satu dokumen pengendalian kerusakan lingkungan hidup untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan, dokumen KLHS ini diharapkan untuk mengintegrasikan kepentingan lingkungan pada tataran pengambilan kebijakan yang strategis, yakni pada tataran kebijakan, rencana, atau program di Kota Palangka Raya.
Akhirnya semoga dokumen KLHS ini dapat bermanfaat dan berkontribusi positif sebagai alat kajian strategis untuk memperbaiki dan melengkapi rumusan Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) dalam RTRW Kota Palangka Raya.
Palangka Raya, 29 September 2014
Tim KLHS Kota Palangka Raya
Daftar Isi
KATA PENGANTAR Daftar isi
Daftar Tabel Daftar Gambar
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Maksud dan Tujuan ... 3
1.3 Obyek/sasaran KLHS ... 3
1.4 Hasil yang Diharapkan ... 3
2 METODOLOGI ... 4
2.1 Ruang Lingkup Kajian ... 4
2.2 Pendekatan Kajian ... 4
2.3 Mekanisme dan Tahapan KLHS ... 5
3 KARAKTERISTIK KOTA PALANGKA RAYA ... 8
3.1 Biofisik ... 8
3.1.1 Kondisi Geografi dan Administrasi Wilayah ... 8
3.1.2 Hidrologi ... 13
3.1.3 Tutupan Lahan dan Laju Deforestasi ... 15
3.1.4 Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati ... 22
3.1.5 Wilayah Potensi Rawan Bencana ... 26
3.2 Sosial Budaya dan Ekonomi ... 30
3.2.1 Kependudukan ... 30
3.2.2 Mata Pencaharian ... 32
3.2.3 Pendidikan ... 32
3.2.4 Kesehatan Masyarakat ... 33
3.2.5 Perekonomian Daerah... 35
3.2.6 Masyarakat Adat dan Isu yang Terkait Dengan Sosial Ekonomi dan Budaya .. 37
3.3 Pemanfaatan Kawasan Hutan ... 41
3.3.1 Pemanfaatan Hutan Kota Palangka Raya ... 42
3.3.2 Penggunaan Lahan Kota Palangka Raya ... 44
3.3.3 Taman Nasional Sebangau ... 44
4 KEBIJAKAN DAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH ... 50
4.1 Substansi Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palangka Raya ... 50
4.1.1 Tujuan Penataan Ruang ... 50
4.1.2 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang ... 51
4.2 Rencana Struktur Ruang ... 55
4.3 Rencana Pola Ruang ... 57
4.1 Penetapan Kawasan Strategis ... 59
4.2 Arahan Pemanfaatan Ruang Kota Palangka Raya ... 65
4.3 Arahan Pengendalian Ruang Wilayah ... 66
4.4 Keterkaitan RTRW Kota Palangka Raya dan KRP Prioritas... 67
4.5 KRP yang menjadi kajian dalam studi KLHS RTRW Kota Palangka Raya ... 68
5 PENGKAJIAN DAMPAK PENGARUH KRP RTRW ... 73
5.1 Identifikasi Pemangku Kepentingan ... 73
5.2 Identifikasi Isu-Isu Strategis Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan ... 75
5.3 Dampak/Pengaruh KRP Penataan Ruang ... 78
5.3.1 Dampak KRP RTRW terhadap aspek Lingkungan Hidup ... 78
5.3.2 Dampak KRP RTRW terhadap aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya ... 87
5.4 Perumusan Alternatif dan/atau Mitigasi Penyempurnaan Ranperda RTRW Kota Palangka Raya ... 94
5.4.1 Mitigasi KRP RTRW Kota Palangka Raya Aspek Lingkungan Hidup ... 94
5.4.2 Mitigasi KRP RTRW Kota Palangka Raya Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya 96 5.4.3 Rumusan Skenario Optimal aspek Lingkungan Hidup ... 99
5.4.4 Rumusan Skenario Optimal aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 102
5.4.5. Rumusan alternatif dan/atau mitigasi aspek SPRE ... 104
6 REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT ... 120
6.1 Rencana Struktur ruang ... 120
6.2 Rencana Pola Ruang ... 121
6.3 Tindaklanjut/Pemantauan dan Evaluasi ... 121
Daftar Pustaka..……… 123
Daftar Lampiran…...………... 125
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Empat Tahapan Penyelenggaraan KLHS RTRW yang lazim dilaksanakan di
Indonesia. ... 7
Tabel 3.1 Ketinggian Kota Palangka Raya di atas permukaan air laut (dpl) ... 9
Tabel 3.2 Klasifikasi iklim menurut Ferguson ... 10
Tabel 3.3 Luasan fungsi kawasan hutan Kota Palangka Raya ... 11
Tabel 3.4 Sebaran potensi air tanah Kota Palangka Raya ... 14
Tabel 3.5 Data hujan dan klimatologi Kota Palangka Raya ... 15
Tabel 3.6 Luasan tutupan/penggunaan lahan di Kota Palangka Raya tahun 2012 ... 17
Tabel 3.7 Produksi perikanan perairan umum menurut Jenis perairan (ton basah) ... 22
Tabel 3.8 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk/km2 tahun 2012 ... 31
Tabel 3.9 Jumlah sekolah, ruang kelas, murid dan guru menurut jenis sekolah ... 32
Tabel 3.10 Jenis penyakit yang ditemukan di Kota Palangka Raya Tahun 2012 ... 33
Tabel 3.11 Perkembangan produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Palangka Raya Tahun 2010 - 2012 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 (Jutaan Rupiah)... 35
Tabel 3.12 Struktur perekonomian Kota Palangka Raya menurut lapangan usaha tahun 2010-2012 ... 35
Tabel 3.13 Alokasi anggaran APBD untuk hutan dan lahan ... 37
Tabel 3.14 Luas Kawasan Htan dengan Penggunaan Lain di Kota Palangka Raya ... 42
Tabel 3.15 Luas tanah menurut penggunaannya tahun 2008 – 2012 (ha) di Palangka Raya ... 44
Tabel 4.1 Substansi, Muatan dan Orientasi Tujuan Penataan Ruang Kota Palangka Raya ... 51
Tabel 4.2 Keterkaitan substansi muatan kebijakan dan strategi terhadap tujuan penataan ruang Kota Palangka Raya ... 52
Tabel 4.3 Prakiraan luas kawasan lindung Kota Palangka Raya tahun 2013 ... 57
Tabel 4.4 Prakiraan luas kawasan budidaya Kota Palangka Raya tahun 2033 ... 58
Tabel 4.5 Kawasan Strategis Nasional di Kota Palangka Raya ... 61
Tabel 4.6 Kawasan Strategis Provinsi di Kota Palangka Raya ... 61
Tabel 4.7 Kawasan Strategis Kota di Kota Palangka Raya ... 61
Tabel 4.8 Muatan KRP Ranperda RTRW Kota Palangka Raya dan kemungkinan dampaknya terhadap pelepasan emisi, daya dukung, dan kesesuaian lahan (land suitability) ... 70 Tabel 5.1 Identifikasi pemangku kepentingan, kontribusi, dan peran yang
dilakukan ... 74 Tabel 5.2 Identifikasi isu-isu strategis Kota Palangka Raya ... 76 Tabel 5.3 Jumlah dan prosentasi sampah yang tertangani di Kota Palangka Raya ... 81 Tabel 5.4 Tipe dan Luas Perubahan Lahan di Kota Palangka Raya (tahun 2000 –
2011) ... 105 Tabel 5.5 Kandungan (stok) karbon (ton C/ha) pada berbagai tipe lahan
berdasarkan hasil riset... 106 Tabel 5.6 Perhitungan emisi akibat perubahan tutupan lahan di Kota Palangka
Raya (tahun 2000 – 2011) ... 107 Tabel 5.7 Rencana pola ruang RTRW Kota Palangka Raya (tahun 2013 – 2033)
skenario BAU... 110 Tabel 5.8 Resume perubahan tutupan lahan Kota Palangka Raya sampai tahun
2033 dan emisi karbonnya (skenario BAU). ... 111 Tabel 5.9 Usulan rencana pola ruang RTRW Kota Palangka Raya (tahun 2013 –
2033) – Skenario Optimal ... 116 Tabel 5.10 Resume perubahan tutupan lahan Kota Palangka Raya sampai tahun
2033 dan emisi karbonnya (skenario Optimal) ... 117 Tabel 5.11 Perbandingan emisi karbon rencana pola ruang RTRW Kota Palangka
Raya tahun 2013 - 2033 ... 119
Daftar Gambar
Gambar 3.1 Peta wilayah administrasi Kota Palangka Raya ... 8
Gambar 3.2 Peta fungsi kawasan hutan di Kota Palangka Raya ... 12
Gambar 3.3 Grafik pembagian kawasan hutan di Kota Palangka Raya... 13
Gambar 3.4 Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2012 ... 17
Gambar 3.5 Kerusakan kawasan hutan ... 19
Gambar 3.6 Contoh tutupan lahan pada tanah terdegradasi akibat pembukaan lahan rawa gambut ... 19
Gambar 3.7 Tren Anggaran APBD untuk Hutan dan Lahan 2010-1012 ... 36
Gambar 3.8 Peta kawasan budidaya Kota Palangka Raya ... 43
Gambar 4.1 Peta rencana struktur ruang Kota Palangka Raya ... 56
Gambar 4.2 Peta Rencana Pola Ruang Kota Palangka Raya ... 60
Gambar 4.3 Peta Kawasan Strategis Kota Palangka Raya ... 64
Gambar 5.1 Penataan ruang berdasarkan konektivitas hidrologi ... 80
Gambar 5.2 Peta Konflik Pemanfaatan Ruang di Kota Palangka Raya ... 90
Gambar 5.3 Ilustrasi terjadinya konflik pemanfaatan lahan di Kota Palangka Raya ... 92
Gambar 5.4 Hasil hutan non-kayu dan pemandu wisata alam sebagai alternatif pendapatan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung [Foto Penyadapan getah Pantung di TN Sebangau dan Pemandu Wisata Alam di sekitar Hutan Pendidikan UM Palangka Raya] ... 94
Gambar 5.5 Peta Sebaran Nilai Konservasi Tinggi di Kota Palangka Raya ... 102
Gambar 5.6 Peta Rencana Perubahan Tutupan Lahan Kota Palangka Raya ... 109
Gambar 5.7 Peta Degradasi Lahan Gambut Kota Palangka Raya tahun 2000 – 2011 ... 114
Gambar 5.8 Usulan Peta Rencana Perubahan Tutupan Lahan Kota Palangka Raya Tahun 2013 – 2033 (Skenario Optimal) ... 115
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) adalah instrumen pendukung perencanaan pembangunan berkelanjutan melalui upaya internalisasi kepentingan lingkungan hidup (LH) dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pembangunan tersebut. Upaya pengarusutamaan kepentingan LH dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini penting karena pelaksanaan pembangunan selama ini selain telah meningkatkan keuntungan ekonomi, juga mengakibatkan kemerosotan kualitas LH dan persoalan-persoalan sosial.
Degradasi kualitas LH dan persoalan sosial terkait erat dengan persoalan perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan/atau tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain, sumber masalah degradasi kualitas LH dan persoalan sosial berawal dari proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi kualitas LH dan persoalan sosial harus dimulai dari proses pengambilan keputusan pembangunan pula.
Sebagai suatu instrumen pengelolaan LH, implementasi KLHS adalah pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process).
Studi KLHS merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan pembangunan suatu wilayah. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS untuk memastikan bahwa pertimbangan LH dan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS dalam penyusunan atau evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/M), dan kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) lain yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
Untuk Kota Palangka Raya, mempertimbangkan bahwa RTRW dalam status Ranperda, maka pelaksanaan KLHS dalam hal ini adalah terhadap dokumen Ranperda RTRW Kota Palangka Raya (pendekatan KLHS ex-post).
Penyelenggaraan KLHS ini ditujukan untuk mengintegrasikan usulan
perubahan atau penyesuaian pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang yang telah ada. Dengan demikian, fungsi RTRW Kota Palangka Raya sebagai pedoman/arahan perencanaan dan pembangunan daerah dapat berfungsi secara optimal. Melalui substansi RTRW, Kota Palangka Raya diharapkan mampu mencapai sasaran:
a) Tersusunnya penyempurnaan rumusan pemantapan fungsi Kota Palangka Raya.
b) Tersusunnya penyempurnaan kebijakan dan strategi pengembangan Kota Palangka Raya.
c) Tersusunnya penyempurnaan arahan rencana struktur ruang Kota Palangka Raya.
d) Tersusunnya penyempurnaan arahan pola ruang.
e) Tersusunnya penyempurnaan arahan rencana kawasan strategis.
f) Tersusunnya penyempurnaan arahan implementasi pemanfaatan ruang wilayah Kota Palangka Raya, prioritas tahapan pembangunan (indikasi program).
g) Tersusunnya penyempurnaan rencana pengendalian pemanfaatan ruang (peraturan zonasi, ketentuan perijinan, insentif dan disinsentif dan arahan sanksi).
h) Tersusunnya penyempurnaan arahan pelibatan masyarakat dalam penataan ruang.
(Sumber: Lokakarya 5 KLHS Palangka Raya, 2013).
Implementasi KLHS terhadap RTRW Kota Palangka Raya, diharapkan pula dapat mencapai dua manfaat utama, yaitu:
a) Mengatasi kelemahan dan keterbatasan perencanaan dan kajian- kajian lingkungan hidup yang sudah ada.
b) Mempromosikan prinsip–prinsip pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan/rendah emisi.
Kedua upaya yang mengarah pada terwujudnya pembangunan berkelanjutan tersebut di atas, KLHS sebagai alat kajian yang tatarannya pada tingkat strategik, sangat diperlukan dalam penyusunan RTRW Kota Palangka Raya.
Dengan demikian, diharapkan diperoleh suatu jaminan yang lebih mantap bahwa Dokumen KLHS ini akan berkontribusi positif terhadap RTRW Kota Palangka Raya.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud Dokumen KLHS ini disusun selain memenuhi amanat Undang- Undang No. 32/2099 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah juga untuk mengintegrasikan isu-isu strategis dalam KLHS untuk memperbaiki dan melengkapi rumusan Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) dalam RTRW Kota Palangka Raya. Tujuan penyelenggaraan KLHS Ranperda RTRWK adalah untuk:
1) Memastikan bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sudah digunakan sebagai dasar dalam penyusunan dan penetapan Ranperda RTRWK.
2) Mengkaji potensi pengaruh KRP yang tertuang di dalam Ranperda RTRW terhadap lingkungan hidup, sosial-ekonomi-budaya, dan strategi pembangunan rendah emisi (SPRE) di Kota Palangka Raya.
3) Merumuskan pilihan alternatif KRP dan/atau mitigasi/adaptasi terkait dengan dampak/implikasi KRP yang menjadi kajian.
4) Memastikan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang lain dalam hal pengambilan keputusan kebijakan tata ruang.
1.3 Obyek/sasaran KLHS
Obyek/sasaran KLHS adalah KRP yang tertuang dalam Ranperda RTRW Kota Palangka Raya tahun 2013 – 2033.
1.4 Hasil yang Diharapkan
1. Hasil yang diharapkan adalah tersusunnya Dokumen KLHS Kota Palangka Raya yang memuat penilaian (assessment) dampak KRP terhadap isu-isu strategis yang ditinjau dari perspektif lingkungan hidup, ekonomi, sosial budaya dan strategi pembangunan rendah emisi (SPRE).
2. Terintegrasinya hasil KLHS ke dalam Dokumen Ranperda RTRW Kota Palangka Raya tahun 2013 – 2033 termasuk naskah akademiknya.
2 METODOLOGI
2.1 Ruang Lingkup Kajian
Perencanaan pembangunan yang selama ini dilakukan di Kota Palangka Raya belum memperkirakan besarnya dampak dan arah mitigasi serta belum memberikan gambaran kuantitatif sejauh mana aspek lingkungan akan dipengaruhi oleh rencana yang telah ditetapkan dan bagaimana menanggulangi dampak yang akan terjadi. Untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam Dokumen RTRW Kota Palangka Raya, maka studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada proses perencanaan pembangunan di daerah menjadi penting untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
KLHS adalah suatu proses sistematis dalam evaluasi dampak lingkungan hidup yang diperkirakan akan terjadi akibat pelaksanaan KRP yang dilakukan pada tahap awal dari suatu proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain pertimbangan- pertimbangan ekonomi dan sosial. Dengan kata lain, KLHS adalah proses pengintegrasian konsep keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Dokumen KLHS adalah suatu pendekatan partisipatif dalam pengarusutamaan isu-isu lingkungan dan sosial untuk mempengaruhi rencana pembangunan, pengambilan keputusan (pembangunan) dan proses implementasi (pembangunan) pada tingkat strategis (Asdak, 2012).
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH, implementasi KLHS menjadi suatu kuajiban yang bermanfaat bukan saja bagi Pemerintah Kota Palangka Raya, namun juga bermanfaat bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya karena tujuan dilaksanakannya KLHS adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Disebutkan dalam Pasal 16 UU No. 32 tersebut di atas bahwa kuajiban pelaksanaan KLHS salah satunya adalah dalam penyusunan dan evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Implementasi KLHS terhadap RTRW Kota Palangka Raya ini memiliki kelebihan dibandingkan studi KLHS terhadap RTRW di tempat lain karena substansi atau muatan kajian ditekankan pada perspektif Strategi Pembangunan Rendah Emisi (SPRE). Perspektif SPRE dalam studi KLHS ini menjadi penting karena Kota Palangka Raya, dan kabupaten lain di Kalimantan Tengah berperan penting dalam upaya mengurangi emisi karbon, utamanya yang berasal dari persoalan-persoalan deforestasi, alih fungsi lahan, kebakaran hutan, dan aktivitas pembangunan lain yang bersifat meningkatkan emisi karbon.
2.2 Pendekatan Kajian
Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam implementasi KLHS terhadap rencana penyusunan RTRW kota Palangka Raya adalah penyusunan KLHS berdasarkan pendekatan kombinasi antara proses pengambilan keputusan (decision centerd approach) dan pengkajian dampak LH dan sosial akibat im`plementasi KRP (RTRW) (impact-based SEA approach). Dengan kata lain, studi KLHS dilakukan dengan
beradaptasi terhadap proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Hal ini untuk menjamin agar proses pelaksanaan KLHS dapat beradaptasi sesuai dengan persyaratan- persyaratan proses pengambilan keputusan strategis dalam perencanaan penataan ruang (RTRW).
Implementasi KLHS ditinjau dari perspektif metodologi dan prosedur pelaksanaannya dapat ditempuh melalui pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) dan dari bawah ke atas (bottom up approach). Pendekatan yang digunakan untuk penyusunan dokumen KLHS di Kota Palangka Raya adalah sistem pendekatan menyatu (integrated approach) dimana KLHS menjadi bagian dari proses perencanaan dan evaluasi KRP penataan ruang. Pendekatan ini secara metodologi memanfaatkan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan sebagai ukuran kepentingan lingkungan hidup atau kaidah-kaidah keberlanjutan yang harus dipertimbangkan dalam perumusan KRP.
Selain pendekatan tersebut di atas, mempertimbangkan bahwa implementasi KLHS RTRW Kota Palangka Raya dilakukan terhadap Ranperda RTRW Kota Palangka Raya (KRP RTRW telah dirumuskan sebelumnya), maka studi KLHS ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan ex-post (evaluasi KRP RTRW).
Hasil kajian KRP selanjutnya akan menjadi dokumen KLHS karena substansi pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup dan/atau substansi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah terintegrasi ke dalam KRP (RTRW) yang menjadi kajian. Namun demikian, dalam pendekatan ini disertakan pula catatan-catatan hasil implementasi KLHS dalam perumusan dan/atau evaluasi KRP yang menjadi kajian.
Catatan-catatan tersebut selain dimanfaatkan untuk menunjukkan alasan pemilihan KRP, juga untuk mengawal KRP hasil pilihan/revisi.
2.3 Mekanisme dan Tahapan KLHS
Tahapan penyusunan dokumen KLHS untuk Ranperda RTRW Kota Palangka Raya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan mengumpulkan data mengenai isu-isu, dan permasalahan pembangunan yang bersifat strategis dan merumuskan strategi pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Kota Palangka Raya.
2. Mengidentifikasi KRP Ranperda RTRW Kota Palangka Raya yang akan dikaji dalam perspektif SPRE.
3. Memetakan para pemangku kepentingan yang berpengaruh dan mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap KRP yang akan dirumuskan.
4. Menentukan kriteria dan indikator berdasarkan KRP RTRW Kota Palangka Raya serta isu-isu pembangunan berkelanjutan yang menjadi prioritas.
5. Menyusunan baseline data dan informasi yang akan menjadi acuan atau tolok ukur (benchmark) untuk analisis KLHS.
6. Mengidentifikasi hal-hal terkait metode untuk pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan, sosial budaya dan ekonomi serta SPRE di Kota Palangka Raya berdasarkan data dasar.
7. Melakukan analisis KLHS untuk RTRW Kota Palangka Raya secara spasial maupun non-spasial.
8. Penyusunan peta-peta tematik dan cross tabulasi untuk kebutuhan analisis KLHS.
9. Merumuskan implikasi rencana dan/atau program yang tertuang dalam RTRW Kota Palangka Raya terhadap isu-isu strategis terkait bentang alam, kondisi sosial budaya, pembangunan rendah emisi sesuai hasil kajian KLHS.
10. Merumuskan mitigasi dan skenario alternatif terhadap KRP RTRW Kota Palangka Raya sebagai masukan bagi penyempurnaan RTRW Kota Palangka Raya yang telah dirumuskan sebelumnya.
11. Menyusun draft laporan KLHS untuk kemudian diintegrasikan ke dalam Ranperda RTRW Kota Palangka Raya termasuk naskah akademik RTRW.
12. Melakukan konsultasi publik hasil integrasi KLHS ke dalam Ranperda RTRW oleh Kelompok Kerja KLHS Kota Palangka Raya.
Secara sekuensial, tahapan pelaksanaan KLHS terhadap RTRW dengan perspektif SPRE adalah seperti tersebut dalam Tabel 2.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan KLHS diakhiri dengan rekomendasi dan endorsement hasil KLHS.
Rekomendasi hasil KLHS merupakan alternatif penyempurnaan KRP. Alternatif perbaikan muatan KRP tersebut diperoleh dengan melakukan kajian implikasi/dampak KRP terhadap isu-isu LH dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, dan disepakati bahwa KRP yang dikaji potensial memberikan dampak negatif pada pembangunan berkelanjutan. Beberapa alternatif dan/atau mitigasi/adaptasi untuk menyempurnakan dan/atau merevisi KRP (pada pendekatan/prosedur KLHS ex- post) dilakukan melalui cara sebagai berikut:
a. Memberikan arahan atau rambu-rambu mitigasi terkait dengan KRP yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan hidup atau bertentangan dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.
b. Menyesuaikan ukuran, skala dan lokasi usulan KRP. Misalnya, untuk lokasi, mengusulkan lokasi baru yang dianggap lebih aman, atau mengusulkan pengurangan luas rencana alokasi ruang untuk pembangunan seperti yang diusulkan dalam KRP yang sedang menjadi kajian.
c. Menunda, memperbaiki urutan atau waktu, atau mengubah prioritas pelaksanaan KRP. Misalnya, dalam hal jangka waktu dan tahapan pembangunan:
mengusulkan perubahan jangka waktu pembangunan, baik awal kegiatan pembangunan, urutan, maupun kemungkinan penundaan suatu rencana/program pembangunan.
d. Mengganti kebijakan, rencana, dan/atau program apabila KRP tersebut tidak dapat disetujui karena lebih banyak kerugiannya dibandingkan manfaatnya.
Rambu-rambu tersebut di atas dapat dituliskan dalam penjelasan peraturan daerah misalnya, fungsinya adalah untuk memastikan bahwa dampak negatif akibat implementasi KRP dapat ditanggulangi/dicegah. Argumentasi perlunya revisi, rambu- rambu, dan/atau penggantian KRP tersebut harus dijelaskan secara tertulis, dan menjadi bagian dari dokumen/laporan KLHS.
Tabel 2.1 Empat Tahapan Penyelenggaraan KLHS RTRW yang lazim dilaksanakan di Indonesia.
Tahap Proses Tujuan
1 Pengkajian pengaruh RTRW a Perancangan proses
penyelenggaraan KLHS Merancang agar melalui KLHS prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam RTRW. Memahami konteks KLHS dalam penyusunan RTRW dan peluang integrasinya
b Identifikasi dan pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya
Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dapat menyampaikan masukan tentang isu strategis LH, sehingga akuntabilitas RTRW dapat
dipertanggungjawabkan
c Identifikasi isu-isu strategis LH Menetapkan isu LH yang bersifat strategis yang perlu menjadi dasar dan dipertimbangkan dalam
penyusunan RTRW d Identifikasi muatan RTRW yang
relevan Menetapkan muatan RTRW yang relevan dengan isu strategis LH yang ditetapkan
e Pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah perencanaan
Memprakirakan dampak dan risiko lingkungan hidup oleh rancangan RTRW
2 Perumusan alternatif
penyempurnaan RTRW Merumuskan alternatif penyempurnaan RTRW dan mitigasinya
3 Rekomendasi perbaikan RTRW
dan pengintegrasian hasil KLHS Merumuskan perbaikan rancangan RTRW sesuai dengan alternatif terpilih dan mencatat mitigasi yang diperlukan
4 Dokumentasi KLHS dan Akses Publik
Mendokumentasikan proses-proses KLHS yang terbuka aksesnya untuk publik, agar masyarakat dan pemangku kepetingan lainnya dapat menilai dan menanggapinya
Catatan: Mempertimbangkan pentingnya isu-isu strategis dalam studi KLHS, maka pelaksanaan KLHS diupayakan melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan dan representatif, sehingga mampu merumuskan isu-isu strategis yang juga relevan. Pelaksanaan KLHS ini dilakukan dalam 8 kali pertemuan: satu kali kick-off meeting, empat kali FGD, dua kali konsultasi publik, dan satu kali proses integrasi hasil KLHS ke dalam Ranperda RTRW Kota Palangka Raya termasuk naskah akademiknya.
3 KARAKTERISTIK KOTA PALANGKA RAYA
3.1 Biofisik
3.1.1 Kondisi Geografi dan Administrasi Wilayah
Kota Palangka Raya secara resmi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Juli 1957, dengan kondisi fisik kota yang belum ada, hanya berupa kampong, yaitu Kampung Pahandut, yang terletak di tepi Sungai Kahayan.
Gambar 3.1 Peta wilayah administrasi Kota Palangka Raya
Secara geografis Kota Palangka Raya terletak pada 113030’-114007’ Bujur Timur dan 1035’-2024’ Lintang Selatan. Secara administrasi berbatasan dengan (Gambar 3.1):
Sebelah Utara: Kabupaten Gunung Mas Sebelah Timur: Kabupaten Gunung Mas Sebelah Selatan: Kabupaten Pulang Pisau Sebelah Barat: Kabupaten Katingan
Berdasarkan Peta lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73, 74 dan 75 Tanggal 27 Desember 2013 Tentang Batang Daerah Kota Palangka Raya dengan Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah, luas Wilayah Kota Palangka Raya adalah 2.828,55 km2. Secara administrasi Kota Palangka Raya dibagi menjadi 5 Kecamatan dan 30 Kelurahan, yaitu Kecamatan Pahandut dengan 6 Kelurahan, Kecamatan Sabangau dengan 6 kelurahan, Kecamatan Jekan Raya dengan 4 kelurahan, Kecamatan Bukit Batu dengan 7 kelurahan dan Kecamatan Rakumpit dengan 7 Kelurahan.
3.1.1.1 Topografi
Keadaan topografis Kota Palangka Raya dapat dibedakan dalam 2 tipe, yaitu daerah dataran dan daerah berbukit. Daerah berbukit pada umumnya terdapat di bagian utara Wilayah Kota Palangka Raya dengan ketinggian mencapai > 75 m dari permukaan laut, dengan titik tertinggi terdapat di daerah Bukit Tangkiling, seperti termuat dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Ketinggian Kota Palangka Raya di atas permukaan air laut (dpl)
No Nama Kecamatan Kisaran Ketinggian
1 Sabangau 16-19 meter
2 Pahandut 20-25 meter
3 Jekan Raya 20-25 meter
4 Bukit Batu 40-60 meter
5 Rakumpit > 75 meter
Sumber: Badan Pertanahan Nasional Kota Palangka Raya Tahun 2012. Data diolah (2014).
3.1.1.2 Kemiringan Lereng
Wilayah Kota Palangka Raya bentukan bentang alam atau morfologi yang memiliki kondisi datar hingga landai dan tidak dijumpai perbukitan tajam melainkan perbukitan halus (tanpa ada perbukitan curam) dengan tingkat kemiringan lahan di daerah berbukit kurang dari 40%. Sedangkan daerah dataran terdapat di bagian selatan wilayah Kota Palangka Raya yang terdiri dari dataran rendah dan rawa, dengan ketinggian kurang dari 40 m dari permukaan laut dengan kemiringan 0 – 8%.
3.1.1.3 Kawasan Hutan
Klasifikasi hutan atas tipe-tipe dilakukan berdasarkan faktor iklim, edafis dan komposisi tegakannya. Klasifikasi iklim menurut F.H. Schmidt J.H.A. Ferguson didasarkan pada perbandingan rata-rata jumlah bulan kering dan basah yang dinyatakan dalam bentuk persen (%) disebut dengan nilai Q dengan klasifikasi tersebut pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Klasifikasi iklim menurut Ferguson
Tipe Iklim Nilai Q (%)
A 0 – 14.3
B 14.3 – 33.3
C 33.3 – 60.0
D 60.0 – 100,0
Untuk Kota Palangka Raya termasuk dalam tipe A, karena Palangka Raya mempunyai intensitas hujan sepanjang tahun (tepat di garis katulistiwa). Faktor iklim yang mempengaruhi formasi vegetasi antara lain temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Faktor edafis yang mempengaruhi formasi vegetasi antara lain sifat fisik, kimia dan kelembaban tanah. Tipe yang dalam pembentukan vegetasi dipengaruhi oleh iklim disebut formasi klimatis, sedangkan yang dipengaruhi oleh faktor edafis disebut formasi edafis. Formasi Klimatis meliputi hutan hujan tropis, hutan musim dan hutan gambut, sedangkan formasi edafis meliputi hutan rawa, hutan payau dan hutan pantai.
Dilihat dari klasifikasi tersebut, Palangka Raya secara formasi klimatis didominasi oleh hutan rawa gambut 70%, hutan rawa di sepanjang daerah aliran sungai 10% dan hanya 20% yang berada di daerah Kecamatan Bukit Batu dan Rakumpit yang merupakan hutan peralihan dari gambut menuju tipe hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis merupakan hutan yang selalu basah dengan tipe iklim A dan B yang basah sepanjang tahun dengan komposisi tanah podsolik, latosol, alluvial dan regosol dengan drainase baik dan terletak jauh dari pantai. Jenis-jenis pohon yang mendominasi dari family Lauraceae seperti seperti Ulin, Araucariaceae seperti Agathis, Apocynaceae seperti Jelutung, Myrthaceae dan Myristicaceae.
Hutan gambut merupakan hutan peralihan dari hutan hujan tropis menuju hutan rawa dengan tipe iklim A dan B yang bertanah organosol (gambut) dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Tegakan selalu hijau dan mempunyai multi stratifikasi tajuk. Jenis pendominasi hutan rawa gambut antara lain famili Thymeliaceae seperti ramin, Dipterocarpaceae seperti meranti, resak, bangkirai, kamper tengkawang, Ebenaceae seperti Malam-malam dan tutup kabala, Hypericaeae seperti geronggang, Anonaceae seperti jangkang, pisang-pisang, Myrthaceae dan sebagainya.
Hutan rawa merupakan kawasan hutan yang selalu tergenang air tawar yang tidak dipengaruhi oleh iklim yang terletak di tanah alluvial, dimana di Palangka Raya, kawasan ini berada di sepanjang daerah aliran sungai. Vegetasi pendominasi kawasan
ini adalah anacardiaceae seperti rengas dan Lyrthraceae seperti bungur, terentang, jangkang, Sapotaceae seperti Palaquium, Dipterocarpaceae jenis Shorea ullginosa, manggis, jambu-jambuan, dan Calophyllum spp. (seperti bintangur dan kapur naga).
Berdasarkan tipe habitatnya, Kota Palangka Raya didominasi oleh tipe habitat Volcanic Hills Dipterocarpaceae yang meliputi wilayah sekitar 875,000 ha; yang pada umumnya memiliki tutupan hutan lebih dari 70%. Tipe habitat lain dengan wilayah yang cukup luas adalah Hutan Volcanic Upper Dipterocarpaceae (20%, 245 ha); dan hutan Peat Hill Dipterocarpaceae (6,478 ha). Keempat tipe habitat lainnya memiliki wilayah seluas <
1,500ha. (dikutip dari materi pelatihan ‘Land Conservation Plan’ (LCP) Kalimantan Tengah). Semuanya ini telah mengalami degradasi yang cukup serius, sehingga keberadaannya merupakan bagian yang tersisa dari ekosistem yang ada. Oleh karena itu, ketiga tipe ekosistem ini memerlukan upaya konservasi sepenuhnya (100%).
Berdasarkan data peta kawasan hutan yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palangka Raya Tahun 2014, diketahui fungsi kawasan hutan untuk Kota Palangka Raya adalah seperti tergambarkan dalam Tabel 3.3 dan Gambar 3.2.
Tabel 3.3 Luasan fungsi kawasan hutan Kota Palangka Raya
No. KODE KETERANGAN LUAS / Ha
1 APL Areal Penggunaan Lain 41.209,62
2 CA Cagar Alam Darat 726,20
3 HL Hutan Lindung 10.105,34
4 HP Hutan Produksi 74.595,06
5 HPK Hutan Produksi Konversi 90.722,15
6 KSA/KPA Hutan Suaka Alam dan Margasatw 1.771,12
7 TN Taman Nasional Darat 63.816,40
8 S (Tubuh Air) Lautan/Sungai (mempunyai lebar) 2.403,39
JUMLAH 85.349,28
Sumber : - Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palangka Raya. 2014 - Data diolah 2014
Gambar 3.2 Peta fungsi kawasan hutan di Kota Palangka Raya
Berdasarkan Tabel 3.3. diatas diketahui bahwa fungsi kawasan hutan yang paling besar luasannya untuk Kota Palangka Raya adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversikan 32% dari luas kawasan kota. Kawasan tersebut meliputi kawasan perladangan dan budidaya tanaman pertanian. Hutan produksi tetap sebagian dikonversikan untuk areal pertambangan, kawasan budidaya masyarakat dan termasuk
didalamnya kawasan KHDTK hutan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (4.910 ha) dalam kisaran 26%. Kawasan Suaka Alam dan kawasan pelestarian alam dalam luasan 2% kawasan Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Grafik pembagian kawasan hutan di Kota Palangka Raya
Kawasan hutan di kota Palangka Raya sesuai dengan keberadaan lahan gambut sebagai suatu tipe hutan mayoritas di kota Palangka Raya yang harus dilindungi, mengarahkan pola tata ruang yang berlandaskan kelestarian. Kedalaman gambut yang berada di kawasan budidaya semuanya merupakan gambut dangkal dengan kedalaman berkisar 100-200 m untuk Kelurahan Bukit Tunggal, Petuk Ketimpun dan Sei Gohong dan untuk gambut sangat dangkal dengankedalaman berkisar 50-100 m di Kelurahan Panjehang, Petuk Bukit, Menteng, Panarung, Kalampangan, Bereng Bengkel, Kameloh Baru dan Danau Tundai yang merupakan kawasan budidaya masyarakat untuk kegiatan wanatani (agroforestry) maupun budidaya tanaman pertanian. Di Kelurahan Mungku Baru dan Tangkiling mempunyai tipe penutupan hutan peralihan dari hutan rawa gambut menuju hutan dataran rendah (low land forest).
3.1.2 Hidrologi
Air permukaan yang ada di wilayah Kota Palangka Raya sebagian besar merupakan air permukaan dari sungai. Sungai yang melintasi wilayah Kota Palangka Raya, yaitu Sungai Kahayan dengan panjang 526 km, Sungai Rungan (165 km) dan sungai Sabangau (180 km), serta sungai-sungai kecil yang masih dalam cakupan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan. Seluruh wilayah Kota Palangka Raya adalah wilayah yang posisinya berada pada DAS Kahayan. Hingga saat ini, pemanfaatan air baku bagi kepentingan kebutuhan air bersih/air minum seluruhnya di pasok dari air permukaan atau air sungai, terutama sungai Kahayan. Kualitas air sungai di wilayah Kota Palangka Raya temasuk kategori tercemar ringan dengan Nilai Polutan Indeks (PI) rata-rata 3,88. Data diolah dari 8 lokasi pengambilan sampel (Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Palangka Raya, 2013).
Cakupan air tanah terdiri dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal adalah air tanah yang umumnya digunakan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih berupa sumur timba atau sumur pompa, baik pompa tangan maupun pompa tenaga
listrik. Secara umum rata-rata kedalaman sumur yang tersebar di sebagian masyarakat Kota Palangka Raya, rata-rata minimal pada kedalaman sumur 2 m dan maksimum 5 meter sudah diperoleh air sumur pada masa musim penghujan. Dan pada masa musim kemarau rata pada kedalaman sumur minimal 5 m hingga maksimal 7 m dapat diperoleh air sumur, seperti yang terdapat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Sebaran potensi air tanah Kota Palangka Raya No Potensi Air
Tanah Luas (Ha) (%) Kualitas Deskripsi
1 Air Tanah
Dangkal 205.626,45 72,34
Memenuhi standar baku mutu Permenkes 492/2010,
kecuali pH > 5
Daerah dengan quater sistemnya masih dipengaruhi oleh keberadaan jalur sungai, baik sungai utama
Ranungan/Kahayan, Sabangau dan sungai-sungai lainnya yang tersebar pada daerah sekitar Kahayan, baik sebagai anak-anak sungai maupun alur- alur drainase alam lainnya yang pembuangannya langsung ke sungai besar yang terdekat.
2 Air Tanah Menengah
Datar 78.623,55 27,66 Tidak ada data
Daerah dengan aquater sistemnya sangat di pengaruhi oleh kondisi rawa gambut baik yang dangkal maupun yang sepanjang tahun tetap basah.
Total Luas 284.250,00 100,00
Sumber: 1. Hidrogeologi lembar Palangka Raya Badan Geologi Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, 2007.
2. Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 3. Data diolah, 2014
Secara geohidrologi, Kota Palangka Raya mempunyai cakupan air tanah yang terdiri dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal inilah yang umumnya digunakan oleh masyarakat Kota Palangka Raya selain air perpipaan dari PDAM sebagai sumber air bersih berupa sumur pompa. Secara umum rata-rata kedalaman sumur air tanah dangkal ini 5-7 m pada musim penghujan dan 7-12 m pada musim kemarau. Air tanah yang ada di kawasan rawa gambut, umumnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi (PH<5) dengan warna kecoklatan sampai hitam.
Selain potensi air tanah dan sungai, Kota Palangka Raya memiliki potensi air dalam bentuk danau. Di Kota Palangka Raya terdapat kurang lebih 104 buah danau, dengan total luasan 636,10 ha. Danau-danau ini tersebar di berbagai wilayah Kota Palangka Raya. Pada Kecamatan Bukit Batu terdapat 45 buah danau (281,5 ha), Kecamatan Rakumpit 42 buah danau (167,6 ha), Kecamatan Sabangau 10 buah danau (63 ha), Kecamatan Pahandut terdapat 4 buah danau (90 ha), Kecamatan Jekan Raya 3 buah danau (35 ha) (Sumber data Bappeda Kota Palangka Raya tahun 2014). Masing-masing danau memiliki keunikan dan karakteristik lingkungan biotanya sendiri, namun secara umum danau-danau yang ada merupakan rawa gambut bekas sungai mati (Oxbow), yang mana secara hidrologi sumber airnya berasal dari limpasan sungai utama seperti Sungai Kahayan, Rungan dan Sabangau.
Aliran air permukaan yang mengalir di wilayah Kota Palangka Raya adalah Sungai Kahayan, Sungai Rungan dan Sungai Sebangau. Secara umum, pada aliran sungai tersebut memperlihatkan pola aliran meranting dengan stadium aliran dewasa hingga tua, yang ditandai oleh pola meander (sungai berkelok-kelok) yang sangat kuat hingga membentuk danau-danau kecil sebagai akibat meander terpotong.
Daya dukung air merupakan parameter yang sangat kuat penting dalam perencanaan Tata Ruang Wilayah. Kota Palangka Raya merupakan dataran plat dengan ketinggian 0- 75 m DPL termasuk zona iklim tropis dengan data klimatologi Kota Palangka Raya tersebut dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Data hujan dan klimatologi Kota Palangka Raya Bulan Hari
Hujan Curah Hujan
(mm) Kecepatan
Angin (knot) Rata-rata
Temperatur (°C) Rata-rata Kelembaban (%)
Januari 21 434,6 9,3 26,8 85,4
Februari 22 255,9 9,5 26,8 87,6
Maret 22 339,5 12,9 27,1 85,4
April 21 269,1 7,4 27,7 84,8
Mei 15 229,3 7,9 27,7 83,6
Juni 13 272,8 7,5 27,4 83,0
Juli 16 244,3 9,7 26,5 85,7
Agustus 11 75,0 8,5 27,1 81,7
September 8 72,3 8,9 27,7 79,8
Oktober 18 250,7 8,2 28,1 81,1
November 22 243,5 7,7 27,7 85,0
Desember 25 475,5 9,3 27,3 86,1
Rata rata 17,83 263,54 8,9 27,325 84,1
Sumber: Kota Palangka Raya dalam Angka (2012)
3.1.3 Tutupan Lahan dan Laju Deforestasi
Pembangunan mempunyai efek positif dan negatif pada pembukaan lahan hutan. Efek positif dimana aksesibilitas untuk mencapai kawasan hutan menjadi mudah sehingga pemantauan kawasan hutan akan lebih mudah. Kemudahan ini menimbulkan dampak negatif dimana hutan terancam rusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Isu pemindahan ibukota pemerintahan negara yang akan dipindahkan ke Palangka Raya mempengaruhi kerusakan kawasan hutan yang ada.
3.1.3.1 Tutupan Lahan
Deskripsi tutupan lahan di kota Palangka Raya, terdiri atas tutupan hutan alam tropis, hutan gambut dan beberapa kawasan merupakan kawasan terdegradasi seperti tampak pada Tabel 3.6 dan Gambar 3.4. Kawasan yang telah terbuka dan mulai terdegradasi
ditumbuhi oleh vegetasi yang bersifat pioneer. Penutupan lahan pada lahan yang cenderung terdegradasi mempunyai kecenderungan mengikuti pengaruhi daerah aliran sungai. Zona-zona tersebut berurutan terletak mulai tepian aliran sungai. Zona penutupan lahan yang terjadi adalah sebagai berikut zona rumput kumpai, zona rumput minyak, zona rumput purun dan zona kelakai (hasil penelitian tim PT HAL tahun 2012).
Pohon pioneer yang mampu tumbuh di atas tutupan tersebut antara lain terdiri atas tegakan tumih (Combretocarpus rotundatus) secara homogen. Tumih merupakan salah satu jenis pohon pioneer yang mampu tumbuh di lahan gambut yang sudah terbuka secara merata tumbuh di daerah sekitar Tangkiling dan jenis Galam (Melaleuca leucadendron) secara merata tumbuh di lahan gambut secara alami di sekitar kecamatan Kereng Bangkirai. Sedangkan di kawasan agak kering pada wilayah yang merata di Palangka Raya pohon-pohon pioneer yang secara alami tumbuh antara lain geronggang (Cratoxylum arborescens) dan pada lahan yang lebih tinggi dan berjenis tanah Latosol ditumbuhi pohon pioneer jenis Mahang (Macaranga spp.).
Pola penutupan lahan Kota Palangka Raya selama tahun 2000-2011 terjadi penurunan tingkat penutupan. Tipe penutupan lahan di Kota Palangka Raya berdasarkan peta tutupan lahan selama sepuluh tahun terakhir yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan tentang degradasi lahan gambut tahun 2000-2011, diketahui bahwa wilayah Kota Palangka Raya merupakan kawasan dengan komposisi sebagian besar hutan gambut sekitar 85% dengan ketebalan gambut bervariasi dari gambut dalam dan sedang (kedalaman 800-1200 m dan 400-800 m) yang terdapat di Taman Nasional Sebangau.
Berdasarkan peta tutupan lahan selama 10 tahun terakhir yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, bahwa di Kota Palangka raya terjadi degradasi lahan akibat kerusakan tersebut sekitar 10% kawasan seperti yang ditunjukkan peta berwarna kuning yang terjadi secara sporadis dan sebagian besar terletak di sepanjang daerah aliran sungai. Posisi areal yang terdegradasi tersebut terpusat di Kelurahan Bukit Sua, Petuk Berunai, Gaung Baru, Panjehang Banturung, Habaring Hurung, Tumbang Tahai, Marang, Tumbang Rungan, Pahandut Seberang, Kereng Bangkirai dan Sabaru.
Pada beberapa daerah terjadi suksesi yang akan memperbaiki penutupan lahan yang berpusat di Kelurahan Mungku Baru, Petuk Bukit dan sebagian kecil di Gaung Baru.
Pada wilayah Kota Palangka Raya sebagian besar mempunyai tingkat penutupan lahan yang masih konstan yang harus selalu dijaga dan dilindungi agar tetap lestari.
Pembangunan dan isu pemindahan ibukota pemerintahan Negara Indonesia yang menimbulkan banyaknya spekulasi harga tanah yang mengakibatkan nilai tanah semakin tinggi, yang kemudian menyebabkan terjadinya pembukaan lahan secara besar-besaran, dan menimbulkan sengketa-sengketa lahan lainnya.
Gambar 3.4 Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2012
Tabel 3.6 Luasan tutupan/penggunaan lahan di Kota Palangka Raya tahun 2012
No. KODE
TUTUPAN
LAHAN KETERANGAN LUAS
(ha)
1 2002 Hutan Lahan Kering Sekunder 4.031,90
2 2005 Hutan Rawa Primer 3.584,79
No. KODE TUTUPAN
LAHAN KETERANGAN LUAS
(ha)
3 2007 Semak/Belukar 11.849,33
4 2010 Perkebunan 1.139,88
5 2012 Permukiman 11.336,48
6 2014 Tanah Terbuka 9.464,47
7 5001 Tubuh Air 2.403,32
8 20051 Hutan Rawa Sekunder 135.641,86
9 20071 Semak/Belukar Rawa 86.167,50
10 20091 Pertanian Lahan Kering 3.178,51
11 20092 Pertanian Lahan Kering Bercampur
dengan Semak 287,14
12 20093 Sawah 497,91
13 20141 Pertambangan 1.101,41
14 50011 Rawa 14.664,80
JUMLAH 285.349,30
3.1.3.2 Laju Deforestasi
Diprakirakan bahwa da am kurun waktu 11 tahun terakhir laju deforestasi di Kota Palangka Raya cukup signifikan. Selama tahun 2000 sampai 2011, telah terjadi perubahan tutupan lahan di Kota Palangka Raya sebesar 268.326 ha. Degradasi gambut menjadi penyumbang terbesar deforestasi yang terjadi di Palangka Raya, yaitu sebesar 243.970 ha atau sebesar 90,9% dari total luas perubahan yang ada. Indikasi tingginya angka laju deforestasi kemungkinan terkait dengan kebijakan pemerintah di kelurahan Mungku Baru, yang menetapkannya sebagai “kawasan dengan kegiatan pertanian non ekstensif, perkebunan, perikanan air tawar, dan kegiatan pertambangan dan Sub pusat pelayanan Petuk Bukit ditetapkan di Kawasan Kelurahan Pager yang berfungsi sebagai kawasan pertanian (eco farming), perikanan air tawar dan kehutanan (social forestry) serta preservasi lingkungan dan adaptive planning (Pasal 11 ayat (3) huruf d). Kebijakan ini apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dapat mempengaruhi tingkat kerusakan hutan yang ada. Kerusakan kawasan hutan diprakirakan akan meningkat oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Kawasan yang diisukan sebagai Kawasan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang hingga sekarang penetapan kawasannya belum jelas, namun eksploitasi sudah berlangsung secara besar-besaran di kawasan hutan.
2. Perluasan areal budidaya masyarakat sebagai kawasan budidaya pertanian masih dilakukan dengan sisten ekstensifikasi dan belum dilakukan pola non
ekstensifikasi. Kegiatan ini terjadi secara sporadic di berbagai tempat (perladangan berpindah di beberapa kelurahan).
3. Penebangan pohon untuk kayu bakar dan bahan bangunan (kelurahan Mungku Baru sebagai pemasok kayu untuk bangunan di kota Palangka Raya dan sekitarnya seperti kayu reng dengan diameter 5-10 cm, sehingga sangat mempengaruhi deforestasi.
4. Perumahan masyarakat yang memanfaaatkan kayu hutan dan pengadaan fasilitas umum seperti jalan di desa dan pembukaan akses jalan yang cenderung akan merusak kawasan hutan.
5. Penetapan kawasan untuk perikanan air tawar bias dipandang sebagai kegiatan yang terlambat, karena di sepanjang aliran dungai di kelurahan Mungku Baru 90%
sudah tercemar dan rusak akibat kegiatan pertambangan.
Kerusakan kawasan hutan terjadi akibat adanya kebijakan dan/atau rencana alih fungsi lahan dan eksploitasi lahan. Gambar 3.5 menunjukkan kerusakan hutan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam merambah hutan yang terjadi di kelurahan Mungku Baru kecamatan Rakumpit sebagai dampak pertambangan emas illegal (a), eksploitasi hutan (b), perladangan berpindah (c) maupun pengembangan fasilitas umum dan pemukiman di sekitar kawasan hutan (d).
Gambar 3.5 Kerusakan kawasan hutan
Mengacu pada kondisi penutupan lahan pada Gambar 3.5, secara spesifik dapat digambarkan pola penutupan lahan terdegradasi terdiri atas 4 tipe penutupan lahan seperti tampak pada Gambar 3.6, yaitu: kumpai (a), purun (b), rumput minyak (c), dan kelakai (d) (Hasil penelitian tim PT HAL tahun 2012).
Gambar 3.6 Contoh tutupan lahan pada tanah terdegradasi akibat pembukaan lahan rawa gambut
a b c d
a b c
b
d
3.1.3.3 Hutan Tanaman Industri
Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk Kota Palangka Raya dilaporkan tidak ada perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan khususnya HTI, termasuk juga HPH.
Pada daerah perbatasan terdapat HTI, yaitu PT. Tai Yong dengan perijinan operasional melalui Kabupaten Gunung Mas, meskipun kawasannya tumpang tindih dengan Kota Palangka Raya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 130/26/Adpum, tanggal 10 Januari 2011, perihal Penegasan Batas Daerah. Perusahaan besar di bidang kehutanan di Kota Palangka Raya hanya berupa perusahaan pengolah getah karet dan perusahaan pribadi pengolah getah pantung serta kerajinan tangan dari getah nyatoh yang diusahakan secara konvensional.
3.1.3.4 Hasil Hutan Non-Kayu Termasuk Perikanan
Hasil hutan non kayu adalah materi biologi selain kayu yang merupakan hasil hutan ikutan yang melalui proses ekosistem alam, baik untuk keperluan komersial maupun untuk keperluan sehari-hari atau untuk keperluan sosial, agama dan budaya yang diperoleh dari suatu kawasan hutan. Produktivitas hasil hutan non kayu yang ada di kota Palangka Raya belum dilaporkan secara rutin setiap tahunnya meskipun produksinya diatas ambang rata-rata dan memberi pendapatan yang significant untuk masyarakat. Hasil hutan ini dipanen dari hutan secara sporadis oleh masyarakat pada musim-musim tertentu dan dilakukan masih dengan cara sederhana. Hasil hutan non kayu yang banyak terdapat di hutan dan kawasan hutan sekitar Palangka Raya dapat dipisahkan sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
A. Tumbuhan
1. Sumber bahan makanan seperti sayur-mayur (kelakai, umbut rotan), biji- bijian (seperti jambu mete, kenari, pampaning), umbi-umbian (seperti ubi kayu, uwi, ketela), sagu, aren (kolang-kaling, gula merah), bambu/rebung, jamur (untuk dimakan) dan sebagainya.
2. Sumber bahan baku obat modern dan tradisional seperti jamur Ganoderma, pasak bumi, akar kuning, akar gantung, tumbuhan sarang semut dan sebagainya. Najamuddin, Suatma, dan Savitri (2001) yang menginventarisir tumbuhan berkhasiat obat di Palangkaraya menemukan 60 jenis tumbuhan.
Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat dari suku Dayak (Ngaju dan Ma’ayan) dan suku Banjar. Kebanyakan dari jenis-jenis tumbuhan tersebut dari sekitar pemukiman, bahkan sebagian besar tanaman budidaya.
Jenis-jenis penyakit yang diobati juga pada penyakit-penyakit ringan seperti sakit perut, penyakit kulit, sariawan, luka ringan dan lain-lain. Hal ini karena tempat penelitian pada masyarakat perkotaan.
3. Sumber bahan bangunan, perabot dan kerajinan tangan seperti rotan dan bambu.
4. Rempah-rempah (wijen, daun salam, serai, kemiri, bunga lawang, kayu manis, cengkeh, bumbu dapur, jahe-jahean)
5. Bahan keperluan hidup lainnya (tidak dikonsumsi) seperti:
a. Gemor yang diambil kulit kayunya untuk membuat obat mengusir nyamuk bakar
b. Galam untuk diambil minyak atsirinya yang menyerupai pohon kayu putih hanya berbeda speciesnya. Di Kalimantan jenis yang ada bukan yang mempunyai kandungan minyak yang tinggi sehingga tidak dimanfaatkan, hanya kayunya yang digunakan untuk kayu bangunan.
c. Getah jelutung untuk membuat bahan kosmetik, permen karet, dan sebagainya.
d. Getah Nyatoh untuk kerajinan tangan.
e. Damar pohon pilau (Agathis borneensis) untuk membuat kaca mobil.
f. Minyak tengkawang untuk kosmetik, dan sumber minyak nabati bernilai jual tinggi.
g. Damar beberapa jenis Dipterocarpaceae untuk bahan penambal kapal.
h. Karet (Hevea braziliensis) yang merupakan tanaman perkebunan komersial.
i. Bahan pewarna alami j. Bahan pestisida alami
k. Rumbia, aren sebagai penghasil ijuk, lidi untuk sapi
6. Untuk tanaman hias seperti anggrek, kantong semar, maupun tumbuhan perdu lainnya.
7. Penyangga kawasan/perlindungan ekosistem B. Hewan
1. Lebah madu sebagai penghasil madu
2. Ikan dan udang sumber protein unggulan dari kawasan hutan terutama hutan gambut mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menjamin taraf hidup masyarakat sekitar hutan meskipun bersifat musiman dengan hasil seperti laporan dari Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Kota Palangka Raya tentang data inventarisasi pengolahan hasil perikanan kota Palangka Raya.
Keberadaan hutan dan kelestarian hutan mempengaruhi perekonomian masyarakat dalam hal pemungutan hasil hutan non kayu khususnya hasil tangkapan ikan masyarakat yang sangat membantu peningkatan ekonomi warga masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai di kawasan kawasan hutan. Kerusakan hutan juga berdampak pada rusaknya ekosistem sungai sehingga akan mengurangi hasil tangkapan ikan. Penangkapan ikan yang dianjurkan adalah penangkapan yang ramah lingkungan bukan dengan menggunakan racun, bom air ataupun sengatan listrik. Gambaran produksi perikanan di Kota Palangka Raya dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7 Produksi perikanan perairan umum menurut Jenis perairan (ton basah)
No. Tahun Sungai Danau Rawa Budidaya Jumlah
1. 2010 724,84 796,94 346,61 2.117,74 3.986,13
2. 2011 739,28 830,83 398,40 3.370,92 5.339,43
3. 2012 473,10 571,30 300,50 6.057,12 7.402,02
Sumber : Kota Palangka Raya dalam Angka Tahun 2012
3. Hewan buruan seperti rusa, kijang, babi, kancil
4. Burung, untuk dimakan/ konsumsi, maupun untuk dipelihara karena keindahan suara dan bulunya.
Semua hasil hutan non kayu ini biasanya diusahakan masyarakat sebagai mata pencaharian pokok untuk penduduk sekitar kawasan hutan. Jika luasan hutan rusak ataupun berkurang otomatis akan mengurangi besarnya mata pencaharian masyarakat.
Sehingga agar masyarakat dapat mencukupi kebutuhan hidupnya hendaknya kawasan hutan dan luasannya dijaga dan dilestarikan sebagai sumber mata pencahariannya.
Hutan mempunyai banyak manfaat yang secara tidak langsung kawasan hutan itu sendiri memberi manfaat sebagai kawasan wisata, perdagangan karbon, perlindungan dan konservasi. Hutan ada untuk bermanfaat bagi masyarakat namun harus tetap lestari. Eksploitasi sumber daya hutan dilakukan secara bijaksana dan tetap memperhatikan kebutuhan hidup bagi generasi berikutnya.
3.1.4 Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida, habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non-kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman.
Hutan di sekitar Kota Palangka Raya sekitar 90% merupakan tipe hutan rawa gambut dan hanya sebagian kecil saja di sekitar daerah di Kecamatan Rakumpit yang bertipe hutan peralihan hutan rawa gambut menuju hutan kering. Kawasan hutan yang ada di sekitar Palangka Raya sebagian besar telah rusak dikarenakan perambahan hutan untuk keperluan lain (konversi) seperti pemukiman masyarakat, jalan raya, pertanian semusim, perkebunan maupun pertambangan. Kawasan hutan yang masih utuh hanya terdapat di beberapa titik saja dan berada di kawasan Taman Nasional Sebangau.
Keanekaragaman hayati yang ada di Palangka Raya sudah mulai menurun sejalan dengan rusaknya hutan oleh masyarakat maupun pihak tertentu yang menguasai lahan.
Jika hutan hujan mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (perladangan atau penebangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan kalau keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka setelah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks.
Komunitas hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu komunitas yang dinamis. Komunitas hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Ewusie (1980), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam terbentuknya suatu komunitas, yaitu:
1. Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan suatu komunitas tumbuhan pada setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi tersebut.
2. Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang kritis, karena secara umum selang toleransi semai lebih sempit daripada tumbuhan yang sudah dewasa. tentunya perbedaan lingkungan menghasilkan perbedaan pada tingkat seleksi. Sebagai kasus yang ekstrim misalnya pada permukaan batuan telanjang atau bukit pasir, di sini hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
3. Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni pertama tiba pada habitat telanjang tersebut dan mulai tumbuh, komunitas tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Prinsip dasar dalam proses suksesi adalah adanya serangkaian perubahan komunitas tumbuhan (jenis dan strukturnya) bersamaan dengan habitat tempat tumbuhnya
(Manan, 1979). Sedangkan Emlen (1973), menyatakan bahwa suksesi merupakan suatu proses dimana suatu komunitas tumbuhan mencapai suatu keseimbangan dengan melalui tingkat vegetasi dimana masing-masing tingkat diduduki oleh jenis dominan yang berbeda. Proses suksesi berlangsung pada beberapa kawasan hutan yang dikonversikan/alih fungsikan mengalami beberapa perubahan-perubahan, yaitu:
1. Adanya perkembangan dari sifat-sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya perbedaan lapisan horizon tanah.
2. Terjadinya peningkatan dalam tinggi, kerimbunan dan perbedaan strata dari tumbuh-tumbuhan.
3. Dengan meningkatnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik meningkat.
4. Keanekaragaman jenis meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal tingkat suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
5. Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya meningkat sampai tingkat yang stabil juga jenis yang berumur pendek digantikan oleh jenis yang berumur panjang.
6. Kestabilan relatif dari komunitas meningkat pada awal komunitas tidak stabil dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi lain. Sedangkan pada komunitas akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh tumbuh-tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas tidak banyak berubah.
Keanekaragaman jenis akan meningkat dari komunitas yang sederhana pada awal suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi (Whittaker, 1970). Keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi di dalam komunitas yang lebih tua dan rendah dalam komunitas yang baru terbentuk, kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keragaman jenis. Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cendrung untuk memuncak pada tingkat permulaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Ewel, 1980; Ricklefs, 1973).
Fox (1976) menyebutkan kendala suksesi sekunder alami di hutan hujan tropika basah adalah menyangkut faktor biologis, lingkungan dan atau manusia. Faktor biologis terutama ditentukan oleh struktur populasi dari tegakannya, yaitu komposisi jenis, distribusi spasial dan jumlah pohon induk. Pada kasus sebaran jenis Dipetrocarpaceae yang umumnya mengelompok dan sifat yang cendrung mengarah ke “ecotypic diversification”, maka komposisi Dipterocarpaceae yang terbentuk kemudian akan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelumnya. Ternyata disamping periode pembungaan/pembuahan yang tidak sama antar jenis, persentase kematian akibat
“inter/intra specific competition” adalah juga tidak sama. Oleh karena itu, dengan adanya penebangan pohon, jelas bahwa hanya jenis-jenis yang suka cahaya yang akan
“survive” (Fox, 1976).