Oleh:
IRA WARDHANI 130100197
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
IRA WARDHANI 130100197
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ABSTRAK
Pendahuluan : Impetigo adalah infeksi piogenik pada lapisan superfisial epidermis kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus atau Streptococcus atau keduanya secara bersamaan. Penyakit yang sangat menular ini sering dijumpai pada anak usia 2-5 tahun, namun dapat terjadi pada semua usia. Cuaca yang panas dan lembab khususnya di negara tropis menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit ini. Data di Indonesia tidak banyak membahas penyakit impetigo, khususnya di Sumatera Utara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data prevalensi dan gambaran karakteristik impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2013-2015.
Metode : Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif retrospektif dan desain cross sectional (potong lintang). Teknik pengambilan sampel ini adalah total sampling yaitu diperoleh dari data sekunder rekam medis pasien impetigo di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2013-2015. Dari 124 data rekam medis pasien impetigo terdapat 66 data yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data kemudian dianalisis menggunakan program komputer.
Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi impetigo pertahunnya yaitu dari tahun 2013 -2015 sebesar 1%. Tipe impetigo yang paling banyak ditemui adalah impetigo krustosa yaitu sebanyak 39 orang (59,1%). Kasus terbanyak mengenai kisaran usia 0-5 tahun sebanyak 30 orang (45,5%), jenis kelamin tertinggi yaitu pada perempuan sebanyak 38 orang (57,6%), dan lokasi lesi pasien impetigo terbanyak adalah pada ekstremitas bawah yaitu sebanyak 38 kali (32,2%).
Kesimpulan : Dapat disimpulkan bahwa prevalensi impetigo sebesar 1% tiap tahunnya, impetigo lebih banyak terjadi pada tipe impetigo krustosa, kelompok usia 0-5 tahun, jenis kelamin perempuan, dan lokasi lesi diekstremitas bawah.
Kata Kunci : prevalensi, karakteristik, impetigo.
ABSTRACT
Introduction: Impetigo is a pyogenic infection in the superficial layer of the epidermis of the skin caused by Staphylococcus or Streptococcus, or both simultaneously. This infectious disease is often found in children aged 2-5 years, but can occur at any age. The weather was hot and humid, especially in tropical countries be a supporting factors for this disease. The data of impetigo in Indonesia Is seldom discussed, especially in North Sumatera. Therefore, this study aimed to describe the prevalence and characteristics of impetigo patients in Haji Adam Malik General Hospital Medan period 2013-2015.
Methods: This study was conducted using descriptive retrospective and cross- sectional design. The sampling technique this study is the total sampling obtained from the medical records of patients impetigo at the Haji Adam Malik General Hospital Medan period 2013-2015. Medical records of 124 patients with impetigo there were 66 who met the inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using computer program.
Results: The result of this study showed that the prevalence of impetigo annually from the year 2013 -2015 which amounted to 1%. The most common type of impetigo was impetigo krustosa as many as 39 people (59.1%). The most common case was found in range of 0-5 years at 30 people (45.5%), the highest gender were women at 38 people (57.6%), and the location of the lesion is the most of impetigo patients in the feet which is about 38 times (32,2%).
Conclusion: As a conclusion that prevalence of impetigo by 1% each year, impetigo is more common in the type of impetigo krustosa, the age group 0-5 years, female gender, and location of the lesion on the lower extremities.
Keywords: prevalence, characteristics, impetigo.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan petunjuk ilmu yang dikaruniakan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW serta para sahabatnya. Penulisan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Judul penelitian ini adalah “ Gambaran Karakteristik Impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2013-2015”. Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari kekurangan, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitas dari materi penelitian yang disajikan. Namun, besar harapan penulis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, menjadi masukan yang berarti khususnya dalam upaya preventif terhadap timbulnya penyakit impetigo.
Penelitian ini akhirnya bisa diselesaikan atas dukungan dari banyak pihak, kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya, diantaranya:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Aldi Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku dekan fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Ariyati Yosi Sp.KK, selaku dosen pembimbing 1 yang selalu bijaksana memberikan bimbingan, nasehat serta waktunya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
4. dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked(An), Sp.An, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan yang sangat berarti bagi penulis.
5. dr. Kamal Basri Siregar, M.Ked(Surg), SpB(K) Onk, selaku ketua penguji atas kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. dr. Lidya Imelda Laksmi, M. Ked(PA), Sp.PA, selaku anggota penguji atas kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
7. Pihak RSUP Haji Adam Malik Medan, yaitu Staf bagian Litbang dan Diklit atas izin penelitian yang diberikan dan staf bagian rekam medik atas bantuan dan kerja samanya selama pengambilan data.
8. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi.
9. Ayah dan Ibu penulis, Bapak Parmulaan Nasution dan Ibu Linda Dewi Wanni, atas segenap cinta, motivasi, dan doa yang selalu diberikan kepada penulis.
10. Saudara-saudara tercinta (Andri Ikhsan dan Suhariadi) yang telah memberikan dorongan agar tetap semangat demi lancarnya penulisan skripsi ini
11. Rekan-rekan seperjuangan FK USU, yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di lokasi penelitian serta arahan dan nasihat yang mendewasakan.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Meskipun berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan dalam penelitian ini, penulis yakin bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini pada akhirnya dapat memberi manfaat yang bermakna bagi kemajuan ilmu kedokteran.
Medan, 6 Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN... i
ABSTRAK
...
iiABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR SINGKATAN... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Rumusan Masalah... 2
1.3. Tujuan Penelitian... 3
1.4. Manfaat Penelitian... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 5
2. Impetigo 2.1. Defenisi... 5
2.2. Etiologi... 5
2.3. Klasifikasi... 6
2.4. Epidemiologi... 7
2.5. Patofisiologi... 8
2.6. Gejala Klinis... 10
2.7. Diagnosis... 12
2.8. Pemeriksaan Penunjang... 13
2.9. Penatalaksanaan... 13
2.10 Komplikasi... 15
2.11 Prognosis... 15
BAB 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP... 17
3.1. Kerangka Teori... 17
3.2. Kerangka Konsep... 18
BAB 4. METODE PENELITIAN ... 19
4.1. Jenis Penelitian... 19
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 19
4.2.1. Waktu Penelitian... 19
4.2.2. Tempat Penelitian... 19
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 19
4.3.1. Populasi Penelitian... 19
4.3.2. Sampel Penelitian... 19
4.4. Metode Pengumpulan Data... 20
4.5. Metode Analisis Data... 20
4.6. Defenisi Operasional... 20
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
5.1. Hasil Penelitian... 23
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 23
5.1.2. Karakteristik responden... 23
5.2. Pembahasan... 26
5.2.1. Prevalensi... 26
5.2.2. Jenis Impetigo... 27
5.2.3. Usia... 28
5.2.4. Jenis Kelamin... 29
5.2.5. Lokasi Lesi... 29
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 31
6.1. Kesimpulan... 31
6.2. Saran... 31
DAFTAR PUSTAKA... 32 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Impetigo Periode 2013-2015 24 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Impetigo 24 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Usia 25 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Kelamin 26 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Lokasi Lesi 26
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.6.1. Impetigo Bulosa ... 10
Gambar 2.6.2. Impetigo Krustosa ... 12
Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori ... 17
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep ... 18
DAFTAR SINGKATAN
dkk = dan kawan-kawan
EF-G = Elongasi Faktor G
GABHS = Grup A Beta hemolitik Streptokokus HAM = Haji Adam Malik
HIV = Human Immunodeficiency Virus Menkes = Menteri Ksehatan
MRSA = Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
RS = Rumah Sakit
RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat
SK = Surat Keputusan
SPSS = Statistical Package for the Social Science SSSS = Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Ethical Clearance
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Lampiran 4 Data Induk Penelitian Lampiran 5 Hasil Pengolahan SPSS
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Impetigo adalah pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.1 Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus beta hemolitikus grup A (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan patogen primer pada impetigo bulosa dan eksema.2
Impetigo terjadi lebih sering di iklim tropis dan di dataran rendah. Kondisi lingkungan hangat dan lembab dikombinasikan dengan sering terkena gangguan kulit melalui gigitan serangga mendukung terjadinya penyakit sepanjang tahun di iklim tropis. Kondisi padat dan lingkungan yang buruk juga menyebabkan timbulnya impetigo.3
Impetigo adalah dermatosis yang paling umum pada anak.4 Berdasarkan tinjauan baru oleh World Health Organization Department of Child and Adolescent Health and Development menyatakan bahwa impetigo dan skabies adalah penyakit endemik yang banyak terdapat di negara tropis dan subtropis.5 Perkiraan mengenai prevalensi impetigo di seluruh dunia adalah 111-140 juta anak dari negara berkembang sampai yang terserang penyakit impetigo dalam satu waktu.4 Impetigo biasanya mengikuti trauma superfisial dengan robekan kulit dan paling sering menjadi penyakit penyerta (secondary infection) dari pedikulosis, skabies, infeksi jamur, dan pada gigitan serangga.2
Impetigo dibagi menjadi dua jenis, yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa atau impetigo nonbulosa dimulai dengan sebuah papulovesikel eritematosa yang berkembang menjadi satu atau lebih lesi dengan krustosa berwarna kuning seperti madu (honey-coloured crust), lesi tersebut mengeluarkan sekret berupa cairan jernih. Lesi kulit impetigo bulosa berupa bula dengan ukuran 0,5-3 cm dan memiliki dinding yang tipis dengan pinggir kemerahan. Impetigo terutama timbul di kulit wajah, disekitar cuping hidung dan
area mulut, serta di ekstremitas. Diagnosis impetigo umumnya ditegakkan hanya dengan gambaran klinis tanpa diperlukan pemeriksaan kultur.6
Insiden impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun.7 Impetigo biasanya menyebar melalui kontak langsung. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan impetigo adalah 2,8% terjadi pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1,6% pada anak-anak usia 5-15 tahun. Impetigo krustosa meliputi 70% dari semua kasus impetigo.8 Di Amerika Serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika.7
Penelitian yang dilaporkan di Poliklinik Kulit Kelamin RSUP Prof. DR. R.D.
Kandou Manado periode Januari-Desember 2012 terdapat 53 kasus baru pasien pioderma pada anak, dan distribusi jenis diagnosis pioderma terbanyak adalah impetigo, yaitu sebanyak 31(58,5%) kasus.9 Berdasarkan penelitian tentang angka kejadian impetigo pada anak-anak di Poliklinik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu sebesar 1,72%, dengan karakteristik impetigo tersering yaitu impetigo krustosa , usia tersering adalah early childhood period, jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan, dan lokasi tersering adalah pada wajah.10 Karena sedikitnya data prevalensi impetigo dan profil pasien impetigo di Indonesia, terutama di Sumatera Utara, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat prevalensi dan gambaran karakteristik impetigo di Medan, yakni di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
Bagaimana prevalensi dan gambaran karakteristik impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2013-2015?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik penyakit impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk melihat prevalensi pasien yang menderita penyakit impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan
2. Untuk mengetahui karakteristik penderita impetigo berdasarkan jenis impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan
3. Untuk mengetahui karakteristik penderita impetigo berdasarkan usia di RSUP Haji Adam Malik Medan
4. Untuk mengetahui karakteristik penderita Impetigo berdasarkan jenis kelamin di RSUP Haji Adam Malik Medan
5. Untuk mengetahui karakteristik penyakit impetigo berdasarkan lokasi lesinya di RSUP Haji Adam Malik Medan
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti
1. Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan menelaah, dan kemampuan dalam penulisan skripsi
2. Menambah bidang keilmuan peneliti tentang penyakit impetigo dan mendapatkan gambaran penyakit impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat memberikan data mengenai prevalensi pasien yang didiagnosis impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.4.3 Bagi Institusi Rumah Sakit
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan informasi bagi Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, khususnya mengenai karakteristik impetigo.
1.4.4 Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi tambahan mengenai penyakit impetigo dan angka kejadiannya (prevalensi).
1.4.5 Bagi Peneliti Lain
Dapat mengetahui prevalensi pasien impetigo di RSUP Haji Adam Malik Medan yang dapat dijadikan data dasar untuk penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2. Impetigo
2.1. Definisi
Impetigo adalah penyakit infeksi piogenik pada kulit yang superfisial disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes atau keduanya secara bersamaan.12 Impetigo merupakan penyakit menular yang sering dijumpai pada anak prasekolah. Insiden impetigo pada anak berusia kurang dari 6 tahun lebih tinggi daripada dewasa, namun penyakit ini dapat terjadi pada semua usia. Biasanya, impetigo mempunyai dua bentuk klinis, yaitu bulosa dan nonbulosa.13
2.2. Etiologi
Impetigo bulosa disebabkan oleh S. aureus. Lesi di tubuh bisa timbul dibagian manapun. Impetigo nonbulosa (krustosa) disebabkan oleh S. Aureus, streptokokus, atau kedua organisme tersebut bersama-sama. Impetigo karena streptokokus lebih banyak terdapat di daerah-daerah dengan iklim yang hangat dan lembab, misalnya Amerika Serikat bagian selatan.14
Impetigo paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. meskipun jarang, streptokokus β hemolitikus grup A (GABHS) dapat menjadi patogen primernya. Pada kenyataannya, kedua organisme mungkin ditemukan secara bersamaan di tempat infeksi. Dalam tahun-tahun terakhir, S. aureus resisten- metisilin (MRSA) diketahui dapat menjadi penyebab impetigo. Infeksi ini lebih sering dijumpai pada impetigo bentuk nonbulosa daripada bentuk bulosa.13
Impetigo dapat muncul sebagai infeksi sekunder pada penyakit kulit yang sudah ada atau kulit yang mengalami trauma. Hal ini disebut sebagai impetiginisasi sekunder. Contohnya adalah eksim impetiginisata. Pasien yang mengidap dermatitis atopik atau penyakit peradangan kulit lainnya sering
mengalami kolonisasi oleh S. aureus. Keadaan lain yang dapat menyebabkan impetiginisasi adalah dermatitis statis, infeksi herpes simpleks, varisela, skabies, gigitan serangga, laserasi, dan luka bakar.13
Kesehatan yang buruk, higiene yang buruk, dan malnutrisi dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya impetigo pada orang dewasa. Daerah-daerah tubuh, wajah, tangan, leher, dan ekstremitas yang terbuka merupakan bagian yang paling sering terkena.14 Faktor lain yang juga dapat meningkatkan resiko terjadinya impetigo adalah kontak langsung dengan penderita impetigo atau secara tidak langsung melaui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo, Kondisi ramai seperti asrama, cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab, kegiatan atau olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat, dan mempunyai riwayat dermatitis kronik, khususnya dermatitis atopik.2
2.3. Klasifikasi
Terdapat 2 bentuk impetigo yaitu impetigo krustosa (nonbulosa) dan impetigo bulosa
1. Impetigo krustosa (nonbulosa).1
Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox. Impetigo krustosa hanya terdapat pada anak dan tempat predileksi di muka, yakni di sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
2. Impetigo bulosa.1
Nama lain dari impetigo bulosa adalah impetigo vesiko-bulosa atau impetigo cacar monyet. Impetigo bulosa terdapat pada anak dan orang dewasa dan tempat predileksinya di ketiak, dada, punggung. Varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus disebut impetigo neonatorum, yakni kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya lokasinya menyeluruh, dan dapat disertai demam.
2.4. Epidemiologi
Laporan kasus impetigo yang diamati kurang lebih 10% dari masalah kulit di klinik pediatrik. Impetigo juga merupakan infeksi bakteri kulit yang paling umum dan penyakit kulit yang paling umum ketiga pada anak.11 Insiden impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Impetigo nonbulosa yang murni disebabkan oleh Staphylococcus relatif lebih sering terjadi dan mewabah di dunia dibandingkan dengan yang disebabkan oleh bakteri streptokokus. Di daerah yang lebih hangat dan lembab, contohnya Amerika Serikat bagian selatan, impetigo karena bakteri streptokokus lebih dominan dan endemik. Puncak insidensi musiman terjadi pada akhir musim panas.
Insidensi impetigo di Belanda terjadi antara 0,017 dan 0,021 kejadian tiap orang pertahun, di Norwegia 0,017 tiap orang pertahun.17 Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan impetigo adalah 2,8% terjadi pada anak- anak usia di bawah 4 tahun dan 1,6% pada anak-anak usia 5-15 tahun.8
Impetigo nonbulosa (krustosa) adalah bentuk yang paling sering dari impetigo dan terjadi sekitar 70% pada anak usia dibawah 15 tahun. Agen penyebab impetigo nonbulosa adalah Staphylococcus aureus untuk 50%-60% dari kasus.
Selain itu, sekitar 20-45% kasus disebabkan kombinasi S. aureus dan S. pyogenes.
Sedangkan, bentuk dari impetigo bulosa merupakan kondisi yang lebih jarang terjadi dibandingkan bentuk nonbulosa.15
Impetigo dapat mengenai semua ras. Secara keseluruhan, insiden pada laki- laki dan perempuan sama, namun pada orang dewasa impetigo lebih sering terjadi pada laki-laki. Impetigo terjadi pada individu-individu dari segala usia, tetapi paling sering terjadi pada anak-anak usia 2-5 tahun. Penyebaran cepat dapat terjadi melalui keluarga, pusat penitipan anak, dan sekolah.3
2.5. Patofisiologi
Kolonisasi S. aureus dapat bersifat sementara atau melambangkan seorang karier yg berkepanjangan. S. aureus banyak memproduksi komponen seluler dan ekstraseluler yang dapat mengkontribusi terjadinya suatu patogen. Kondisi faktor
pejamu seperti yang mengalami immunosupresi, terapi glukokortikoid, dan atopi memegang peran penting dalam patogenesis infeksi Staphylococcus. Jaringan kulit yng rusak atau terjadi inflamasi (luka operasi, luka bakar, trauma, dermatitis) juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap patogenesis dari Staphylococcus.16
Beberapa strain memproduksi satu atau lebih eksoprotein, termasuk staphylococcus enterotoksin, exfoliative toksin, leukosidin. Toksin ini memiliki efek biologis yang unik pada sel imun, yang akhirnya menghambat respon imun.
Molekul ini berikatan secara langsung dengan molekul HLA-DR pada antigen presenting cell tanpa adanya pengenalan antigen, meskipun biasanya memerlukan pengenalan oleh ke-lima elemen dari reseptor sel T kompleks, dan superantigen hanya memerlukan rantai β. Akibatnya hanya 5-30% sel T yg istirahat akan aktif, dan antigenik yang normal hanya respon 0,0001-0,01% sel T. Non spesifik sel T yang aktif menyebabkan pelepasan sitokin, khususnya interleukin 2, interferon γ, dan tumor necrosis factor β serta aktifnya makrofag. Stimulasi superantigen dari sel T juga mengaktifkan limfosit di reseptor spesifik se T rantai β. Sel B yang aktif meningkatkan jumlah immunoglobulin E atau auoantibodi.16
Kulit yang utuh biasanya tahan terhadap kolonisasi atau infeksi dari S. aureus atau Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS). Bakteri ini dapat di identifikasi dari lingkungan dan hanya berkolonisasi sementara pada permukaan kulit. Dalam penelitian experimental menunjukkan bahwa inokulasi GABHS pada permukaan subjek tidak menghasilkan penyakit kulit kecuali pada kulit yang sudah mengalami gangguan.11
Perlekatan asam teikoat dari GABHS dan S. aureus memerlukan komponen reseptor fibronektin untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin tidak terdapat pada kulit normal tetapi terdapat pada kulit yang mengalami gangguan, sehingga terjadilah kolonisasi dan invasi pada permukaan kulit yang rusak tersebut.
Mekanisme umum kulit yang mengalami gangguan sehingga terjadi kolonisasi dan infeksi bakteri bisa disebabkan karena terjadinya goresan, dermatopitosis,
varisela, herpes simpleks, skabies, pedikulosis, luka bakar, trauma, dan gigitan serangga.11
Kolonisasi bakteri S. aureus kurang lebih 30% ditemukan terdapat pada nares anterior. Beberapa individu dengan impetigo yang berulang ditemukan kolonisasi dari S. aureus pada hidung dan bibir. Bakteri dapat menyebar dari hidung menuju kulit yang sehat dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo yang mulai tampak 7-14 hari kemudian. Terdapat kurang lebih dari 10% individu didapatkan adanya koloni S aureus pada perineum dan kadang pada aksila, faring dan tangan.
Individu dengan karier permanen bertindak sebagai reservoir infeksi untuk orang lain. Pada orang yang sehat S. aureus hanya sebagai bagian dari flora mikrobial.
Pasien dengan dermatitis atopik atau inflamasi pada kulit umumnya terdapat kolonisasi dari S. aureus.11
Penyebab dari impetigo bulosa adalah bakteri gram positif S. aureus grup faga II. Pada impetigo jenis ini epidermis terpisah tepat dibagian bawah stratum granulosum sehingga membentuk bula berukuran besar yang terletak pada bagian superfisial kulit. Neutrofil berpindah melalui epidermis spongiolitik ke dalam bula yang mengandung Staphylococcus aureus. Kadang-kadang sel akantolitik terlihat yang mungkin disebabkan oleh reaksi dari neutrofil. Bagian atas dermis mengandung neutrofil dan limfosit yang merupakan infiltrat inflamasi.18
S. aureus memproduksi eksotoksin eksfoliatif ekstraseluler yaitu eksfoliatins A dan B. Pada tahun 2006, exfoliatins toksin D dapat teridentifikasi pada 10% S.
aureus yang diisolasi. Eksotoksin menyebabkan hilangnya adesi sel pada superfisial dermis, yang nantinya menyebabkan kulit tampak bergelembung atau seperti melepuh, kemudian akan mengelupas dengan memecah sel granular dari epidermis. Target protein dari eksotoksin adalah desmoglein 1, yang berfungsi memelihara adesi sel, yang juga merupakan super antigen yang bekerja secara lokal dan menggerakkan limfosit T.11
Pada negara-negara berkembang penyebab utama impetigo nonbulosa adalah S. aureus yang menghasilkan bakteriotoksin. Bakteriotoksin mengisolasi S.
aureus pada lesi yang menyebabkan akumulasi pus. Jika seseorang melakukan kontak dengan orang lain (misalnya: anggota rumah tangga, teman sekelas, rekan) yang memiliki infeksi kulit atau pembawa organisme, kulit normal individu akan mengalami invasi bakteri. Setelah kulit yang sehat terinvasi oleh bakteri piogenik, apabila terjadi suatu kondisi trauma ringan, seperti lecet atau gigitan serangga, maka dapat mengakibatkan pengembangan lesi impetigo dalam waktu 1-2 minggu.15
2.6. Gejala Klinis
Impetigo dapat terjadi secara primer atau komplikasi dari kelainan lain (sekunder) baik penyakit kulit (herpes simpleks, varisela, skabies, gigitan serangga) atau penyakit sistemik (HIV, diabetes melitus). Pasien sering mengeluh gatal atau rasa sakit pada lesi.15
a. Impetigo bulosa
Pada semua umur. Tempat predileksi pada umumnya terdapat pada ketiak, leher, dan tempat yang lembab, meskipun di daerah kulit yang lain seperti telapak tangan dan telapak kaki juga dapat terinfeksi. Diawali dengan terbentuknya vesikel sampai timbul menjadi bula yang diameternya sekitar 2 cm. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi keruh. Atap dari bula pecah dan sering meninggalkan skuama kolaret pada pinggirnya. Krusta
“varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika di singkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bula yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh. Biasanya tidak disertai pembengkakan kelenjar getah bening. Paling sering terjadi pada neonatus, biasanya diawali setelah usia 2 minggu, meskipun dapat juga terjadi pada kasus ruptur membran prematur sewaktu kelahiran.3, 12,13
A. B.
Gambar 2.6.1: Impetigo bulosa A. Deskuamasi kolaret yang melepuh B. Impetigo bulosa pada area yang lembab.3 Diagnosis banding dari impetigo bulosa.
Eritema multiforme bulosa yaitu vesikel atau bula yang timbul dari plak merah, berdiameter 1-5 cm, di ekstremitas daerah ekstensor. Lupus eritematosa bulosa yang memiliki lesi vesikel dan bula yang menyebar dan terasa gatal, sering kali melibatkan badan bagian atas dan daerah lengan. Pemfigus bulosa adalah vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh, dengan plak urtikaria. Herpes simpleks adalah vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit. Gigitan serangga yang mempunyai bula terlihat seperti sekumpulan papul yang gatal di daerah gigitan tersebut. Terakhir adalah pemfigus vulgaris yang memiliki bula yang tidak gatal, ukuran bervariasi dari 1 sampai beberapa sentimeter, muncul bertahap dan menjadi menyeluruh, lecet muncul seminggu sebelum penyembuhan dengan hiperpigmentasi, tidak ada jaringan parut.8
b. Impetigo krustosa
Tersering pada anak-anak. Tempat predileksi di muka, yakni disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu (honey-colored) dan lengket yang berukuran kurang lebih 2 cm. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh dibagian tengah. Dapat terjadi pada kulit yang
normal atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (dermatitis atopik, dermatitis kontak, gigitan serangga, pedikulosis dan skabies). Lesi dapat menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi) dan tidak disertai gejala konstitusi (demam, malaise, mual), kecuali bila kelainan kulitnya berat.3, 12-13
A. B.
Gambar 2.6.2: impetigo krustosa. A. Impetigo krustosa di lengan B. Impetigo krustosa dengan gambaran honey-colored.3
Diagnosis banding lainnya dari impetigo krustosa
Dermatitis atopi yaitu adanya keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama dan kulit yang kering, penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa, pada anak sering kali melibatkan daerah wajah. Kandidiasis yang memiliki papul merah, basah, umumnya di daerah selaput lendir atau daerah lipatan. Ektima yaitu suatu kelainan dengan lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam. Skabies memiliki vesikel yang menyebar, kecil, terdapat terowongan, pada sela-sela jari, gatal pada malam hari. Terakhir adalah varisela yang memiliki vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki dan wajah, vesikel pecah dan membentuk krusta, lesi terdapat pada beberapa tahap pada saat yang sama.8
2.7. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan secara klinis. Biakan bakteri dan uji sensitivitas dianjurkan jika terapi topikal atau oral standar tidak memberikan perbaikan. Dapat dilakukan biakan bakteri dengan sampel lubang hidung untuk mengetahui apakah pasien adalah pembawa S. aureus. Jika pasien mengalami edema atau hipertensi maka diperlukan pemeriksaan urinalisis untuk mengevaluasi glomerulonefritis pasca streptokokus akut. Hematuria, proteinuria, dan silindruria merupakan indikator keterlibatan ginjal.13
2.8. Pemeriksaan penunjang:
Tes laboratorium dapat dilakukan dengan memeriksa eksudat dari bula dimana dapat terlihat koloni bakteri gram positif. Staphylococcus aureus grup faga 11 dapat dikultur dari spesimen bula yang intak.16
Histopatologi, lesi dari impetigo bulosa menunjukkan bentuk vesikel di subkorneum atau di stratum granulosum, kadang nampak akantolitik dengan bula, spongiosis, edema papila dermis dan infiltrat campuran limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah pleksus superfisialis.16
2.9. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan ini adalah menghilangkan rasa tidak nyaman, mengobati lesi yang muncul, mencegah penularan infeksi lebih lanjut ke orang lain, dan mencegah kekambuhan penyakit. Pengobatan idealnya harus se-efektif mungkin, murah, dan memiliki sedikit efek samping.8
a. Terapi medikamentosa 1. Pengobatan topikal
Terapi antibiotik topikal dianggap sebagai pengobatan pilihan bagi individu dengan impetigo yang masih ringan, sedang, dan impetigo lokal yang tidak ada komplikasinya.11,16 Ada bukti kuat yang mengungkapkan bahwa penggunaan antibiotik topikal lebih unggul dalam pengobatan impetigo lokal dibanding
antibiotik oral.3 Dan terapi antibiotik oral memiki efek samping yang lebih besar dibanding antibiotik topikal. Antibiotik topikal menguntungkan hanya karena diberikan pada kulit yang terinfeksi sehingga meminimalkan efek samping.
Kadang kala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pada kulit orang-orang tertentu.8
Mupirosin dan asam fusidat adalah opsi pilihan pertama pengobatan topikal.
Salep mupirosin digunakan untuk kedua jenis impetigo. Meskipun harganya mahal , mupirosin memiliki khasiat yang sama dengan sefaleksin atau eritromisin oral, digunakan 2-3 kali sehari.3 Asam fusidat juga efektif terhadap Staphylococcus maupun Streptococcus tetapi penggunaanya dalam pengobatan topikal sudah berkurang karena seringnya terjadi resistensi.18 Asam fusidat dapat menghambat sintetis protein bakteri dengan cara mengganggu elongasi faktor G (EF-G) dari ribosom.17
1. Pengobatan sistemik
Antibiotik yang diberikan harus dapat membunuh Staphylococcus dan Streptcoccus, baik impetigo bulosa maupun krustosa. Jadi benzathine penisilin atau yang sensitif dengan penisilin tidak diindikasikan dalam pengobatan ini.
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus-kasus berat, lama pengobatan paling sedikit 7-10 hari. Penisilin dan semisintetiknya seperti Kloksasilin (untuk Staphylococci yang kebal Penisilin) dengan dosis 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari untuk dewasa, 10-25 mg/kg/dosis 4 kali/hari untuk anak-anak. Fenoksimetil penisilin (penisilin V) 250-500 mg, 4 kali/hari untuk dewasa, anak-anak 7,5-12,5 mg/dosis, 4 kali/hari. Eritromisin 250-500 mg/dosis, 4 kali/hari untuk dewasa, 12,5-50 mg/kg/dosis, 4 kali/hari untuk anak-anak. Klindamisin 150-300 mg/dosis, 3-4 kali/hari, anak-anak yang berusia lebih 1 bulan: 8-20 mg/kg/hari, 3-4 kali/hari.12
a. Terapi non Medikamentosa:2
Cucilah area yang terinfeksi dengan sabun atau air mengalir.
Cucilah pakaian, sprei, dan handuk pasien terinfeksi setiap hari, lalu pisahkan dari yang lainnya.
Gunakan sarung tangan saat mengoleskan salep antibiotik dan cuci tangan setelah itu.
Menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih untuk mencegah garukan.
Menganjurkan pasien untuk lebih sering mencuci tangannya.
Pada infeksi yang ringan, agar tidak menular ke area lain:2
Basahi area yang terinfeksi dengan larutan cuka 1 sendok makan selama 20 menit untuk menghilangkan krusta.
Setelah membersihkan area tersebut, oleskan salep mupirosin 2% , 3 atau 4 kali sehari.
Jauhi garukan atau sentuhan pada area yang terinfeksi sebisa mungkin sampai sembuh dan tutupi daerah yang lecet dengan perban tahan air.
2.10. Komplikasi
Komplikasi impetigo termasuk selulitis, limfangitis, furunkulosis, dan infeksi methicillin resistant resisten Staphylococcus aureus (MRSA).2 Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) lebih sering terjadi pada anak kecil. Dapat juga terjadi ektima, infeksi dermis profunda dan bisa menyebabkan pembentukan jaringan parut.13
Glomerulonefritis akut terjadi pada 2-5% orang dengan impetigo yang disebabkan oleh streptokokus β hemolitikus grup A, terutama pada anak berusia 2 sampai 4 tahun. Awitan penyakit ini biasanya adalah 10 hari setelah lesi impetigo pertama kali muncul, meskipun dapat terjadi dari 1 sampai 5 minggu kemudian.12 Infeksi ini terjadi akibat kompleks antigen-antibodi yang terbentuk karena komponen streptokokus. Kompleks imun ini terbentuk pada glomerulus dan menyebabkan inflamasi lokal sehingga terjadi glomerulonefritis.19 Proteinuria dan hematuria dapat terjadi secara transien selama impetigo yang mereda sebelum ginjal ikut terkena.12 Pemberian antibiotik tidak mencegah timbulnya glomerulonefritis, tetapi hanya membatasi penularan penyakit ke individu lain.11
2.11. Prognosis
Infeksi yang invasif S. aureus pada impetigo yang tidak terobati, dapat berkomplikasi menjadi selulitis, limfangitis, dan bakteremia, sehingga pada keadaan lanjut dapat menjadi osteomielitis, artritis septik, pneumonia, dan sepsis.
Toksin eksfoliatif juga bisa menyebabkan SSSS pada anak dan pada orang dewasa dapat pula terjadi pada orang yang immunokompromais atau terdapat gangguan pada ginjal.16
Impetigo biasanya sembuh selama 2-3 minggu walaupun tanpa pengobatan, tetapi jika diobati dengan baik dapat menurunkan resiko penyebaran infeksi ke bagian tubuh yang lain atau ke orang lain. Terapi yang tepat, lesi biasanya menyembuh selama 7-10 hari, apabila tidak ada perbaikan lakukan kultur. Terbentuknya jaringan parut jarang, tetapi hiperpigmentasi atai hipopigmentasi setelah inflamasi dapat terjadi.11
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangk teori dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori S. aureus atau GABHS atau
keduanya
IMPETIGO
Faktor internal :
Umur (2-5 tahun)
Kesehatan buruk
Telah adanya penyakit lain di kulit
Faktor eksternal
Kontak dengan penderita impetigo
Daerah yang panas
Higiene buruk
Klasifikasi
Impetigo bulosa Impetigo krustosa
Lokasi lesi:
Ketiak, leher dan bagian tubuh yang lembab
Lokasi lesi:
Muka (hidung dan mulut
Eksoprotein:
- Staphylococcal enterotoksin - Exfoliative toksin
- leukosidin
- Sel T aktif
- Non spesifik sel T aktif ( interleukin 2, TNF β, interferon γ)
- makrofag -
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep Penelitian 1. prevalensi 2. karakteristik
- jenis impetigo - usia
- jenis kelamin - lokasi lesi IMPETIGO
BAB 1V
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran karakteristik impetigo di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2013-2015. Desain penelitian yang akan digunakan adalah desain potong lintang (cross sectional) secara retrospektif dengan memperoleh data sekunder dari cacatan rekam medis. Pengambilan data rekam medis dilakukan hanya satu kali pada suatu saat.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Desember 2016 4.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan pusat pelayanan kesehatan yang besar di Medan, jumlah pasien relatif banyak, memiliki data-data rekam medis yang lengkap, dan belum adanya penelitian mengenai gambaran karakteristik impetigo di rumah sakit ini.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh pasien yang sudah terdiagnosis menderita Impetigo dan terdaftar pada rekam medis.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh jumlah populasi yang didapat dari data-data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik periode 2013-2015 dan telah
didiagnosis menderita impetigo. Adapun besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sama dengan jumlah populasi (total sampling).
Kriteria inklusi: semua rekam medis yang memuat diagnosis impetigo mulai periode 2013-2015 di instalasi rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan.
Kriteria eksklusi: rekam medis yang tidak lengkap yaitu rekam medis yang tidak memuat jenis impetigo, usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi impetigo.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengambilan data adalah dengan menggunakan seluruh rekam medis pasien dengan diagnosis Impetigo selama tahun 2013 – 2015 yang didapat di bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan. Pada rekam medis tersebut dilihat variabel yang akan diteliti yaitu jumlah prevalensi serta karakteristik berupa jenis, usia, jenis kelamin, lokasi lesi dari pasien impetigo selama tahun 2013 - 2015, lalu dilakukan pencatatan atau tabulasi.
4.5. Metode Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dengan memasukkan data kedalam program komputer menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) kemudian akan dianalisa secara deskriptif menggunakan tabel
distribusi dan melakukan pembahasan sesuai dengan pustaka yang ada.
4.6. Definisi Operasional
variabel Definisi Cara ukur Alat
Ukur Kategori Skala
Ukur Prevalensi Seberapa
sering angka kejadian penyakit impetigo dapat
Observasi rekam medis
Rekam medis
_
ordinal
terjadi sesuai dengan data rekam medis
Jenis Impetigo
Suatu kelainan kulit
superfisial berupa ruam yang dialami pasien sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis dan telah didiagnosis oleh dokter di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2013-2015
Observasi rekam medis
Rekam medis
1. Impetigo bulosa 2. Impetigo
nonbulosa (krustosa)
nominal
usia Lama waktu hidup atau keberadaan seseorang mulai dari lahir hingga ulang tahun
terakhirnya.
Pengukuran usia
Observasi rekam medis
Rekam medis
0 – 5 tahun 5 – 11 tahun 12 – 16 tahun 17 – 25 tahun 26 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 55 tahun 56 – 65 tahun 65 – sampai atas
Ordinal
menggunakan tahun dimana pasien
didiagnosis menderita impetigo Jenis
Kelamin
Jenis kelamin pasien
impetigo sesuai yang tercatat pada rekam medis
Observasi rekam medis
Rekam medis
1. Laki-laki 2. perempuan
nominal
Lokasi Lesi
Lokasi dimana terdapatnya suatu kelainan patologis pada kulit pasien impetigo yang merupakan tanda klinis penyakit ini
Observasi rekam medis
Rekam medis
1. kulit kepala 2. wajah 3. leher
4. batang tubuh 5. ekstremitas atas 6. ekstremitas bawah
nominal
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Pengambilan data penelitian ini dilakukan di instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang terletak di lantai 1 rumah sakit. RSUP Haji Adam Malik Medan berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, berjarak ± 1 Km dari Jalan Djamin Ginting yang merupakan jalan raya menuju ke arah Brastagi, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan.
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No.
355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP H.
Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP H. Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5.1.2. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 124 rekam medis dari penderita impetigo periode 2013–2015 yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik, dan yang memenuhi kriteria inklusi yaitu rekam medis yang lengkap dan dapat dinilai karakteristiknya yaitu sebanyak 66 orang penderita impetigo. Semua data responden diambil dari data sekunder, yaitu dari rekam medis pasien. Dari keseluruhan sampel tersebut, akan diamati prevalensi penyakit impetigo per tahun serta karakteristik sampel yang diamati adalah jenis impetigo, usia, jenis kelamin dan lokasi lesi impetigo.
Berdasarkan data-data tersebut dapat dibuat prevalensi dan karakteristik sampel penelitian sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Prevalensi Impetigo Periode 2013-2015 Berdasarkan pengolahan data sekunder terhadap 66 sampel penelitian, diperoleh jumlah kasus impetigo per tahun yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tahun
Total Kunjungan Pasien Kulit
Jumlah Pasien
Impetigo (%)
Jumlah pasien impetigo sesuai kategori inklusi dan
eksklusi 2013
2014 2015
5277 4574 4214
53 31 40
1 1 1
28 21 17
Total 14.065 124 3 66
Berdasarkan tabel 5.1. dapat dilihat bahwa prevalensi impetigo per tahun mulai tahun 2013-2015 adalah sebesar 1%.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Impetigo Diperoleh jumlah kasus impetigo berdasarkan karakteristik jenis impetigo yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Jenis Impetigo Jumlah (Orang) (%)
Impetigo Bulosa Impetigo Krustosa
27 39
40,9 59,1
Total 66 100 %
Berdasarkan tabel 5.2. didapati bahwa penderita impetigo dengan jenis impetigo krustosa merupakan sampel terbanyak yaitu sebanyak 39 orang (59,1%).
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Usia
Diperoleh jumlah kasus impetigo berdasarkan karakteristik usia penderita impetigo yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Usia Pasien Jumlah (Orang) (%)
0 - 5 tahun 5 – 11 tahun 12 – 16 tahun 17 – 25 tahun 26 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 55 tahun 56 – 65 tahun
> 65 tahun
30 6 9 3 3 2 5 4 4
45,5 9,1 13,6
4,5 4,5 3,0 7,6 6,1 6,1
Total 66 100
Berdasarkan tabel 5.3. didapati bahwa penderita impetigo dengan kelompok usia 0-5 tahun adalah kelompok usia dengan sampel paling banyak yaitu sebanyak 30 orang (45,5%). Dan yang paling rendah terdapat pada kelompok usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 2 orang (3%).
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Jenis Kelamin Diperoleh jumlah kasus impetigo berdasarkan karakteristik usia penderita impetigo yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Jenis Kelamin Jumlah (Orang) (%)
Laki-laki Perempuan
28 38
42,4 57,6
Total 66 100 %
Berdasarkan tabel 5.4. diketahui bahwa penderita impetigo dengan jenis kelamin perempuan merupakan sampel terbanyak yaitu sebanyak 38 orang (57,6%).
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Lokasi Lesi Diperoleh jumlah kasus impetigo berdasarkan karakteristik lokasi lesi impetigo yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Lokasi Lesi Jumlah (%)
Kulit kepala Wajah Leher
Batang tubuh Ekstremitas atas Ekstremitas bawah
6 16
3 34 20 38
5,1 13,6 2,5 28,8 16.9 32.2
Berdasarkan tabel 5.5. didapati bahwa lokasi lesi penderita impetigo paling banyak adalah di ekstremitas bawah yaitu sebanyak 38 kali (32,2%).
5.2 Pembahasan 5.2.1 Prevalensi
Penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang paling umum terjadi pada manusia, dapat mempengaruhi semua kultur dan golongan usia, serta memberikan efek 30%-70% pada setiap individu khususnya pada populasi yang lebih berisiko. Impetigo juga termasuk dalam lima penyakit kulit tertinggi pada kategori lima puluh jenis penyebab penyakit yang paling umum. Penyakit kulit lainnya adalah pruritus, ekzema, molluskum kontagiosum, dan skabies.25 Berdasarkan prevalensi impetigo pada tabel 5.1. dapat dilihat bahwa persentase angka kejadian impetigo per tahunnya dari tahun 2013 sampai 2015 di RSUP HAM Medan yaitu sebesar 1%. Pada penelitian ini jumlah pasien Impetigo periode 2013-2015 adalah 124 pasien, namun yang dapat dinilai karakteristiknya hanya sebanyak 66 orang.
Hasil penelitian lain yang dilakukan pada 89 studi selama 45 tahun yaitu mulai tahun 1970-2014 didapatkan data mengenai penderita impetigo sebanyak 174.508 individu dan 145.028 diantaranya adalah anak-anak, dan 18.246 adalah
dewasa. Data tersebut mewakili populasi dari 31 negara dengan studi utama di Afrika (30/89, 34%), Asia ( 20/89, 22%), dan Oceania (19/89, 21%). Sekitar tahun 2000, Eropa Utara mengalami peningkatan kejadian infeksi kulit superfisial yang sering didiagnosis dengan impetigo. Hasil penelitian tentang insidensi kejadian impetigo yang dilakukan mulai tahun 2001-2012 di kepulauan Austevoll, Norwegia Barat menunjukkan angka kejadian impetigo tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebanyak 115 kasus atau 2,6% pertahun. Setelah itu, insidensi kejadian impetigo terus mengalami penurunan, mulai tahun 2003 hanya sebanyak 85 kasus, tahun 2004 sebanyak 72 kasus, hingga tahun 2011 merupakan angka insidensi terendah, hanya sebanyak 7 kasus pertahunnya .21
Di Indonesia sendiri berdasarkan penelitian mengenai pioderma pada anak di bagian poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari sampai Desember tahun 2012 didapatkan jenis diagnosis pioderma terbanyak adalah impetigo dengan jumlah 31 dari 53 pasien pioderma (58,5%). Hal yang sama juga dilaporkan pada penelitian Harahap J, di RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2009-2011 bahwa jenis pioderma terbanyak adalah impetigo. Penelitian di RS Soetomo Surabaya didapatkan hasil mengenai prevalensi impetigo dari kejadian pioderma ditemukan sebanyak 40,5% dan di Sanglah Denpasar ditemukan 37,7%.9
5.2.2 Jenis Impetigo
Angka kejadian impetigo krustosa lebih sering terjadi dibandingkan impetigo bulosa walaupun tidak terlampau jauh perbedaannya. Dalam penelitian ini sesuai tabel 5.2 didapatkan bahwa impetigo krustosa lebih banyak dijumpai yaitu 39 orang (59,1%) sedangkan impetigo bulosa hanya sebanyak 27 orang (40,9%). Pada penelitian lain oleh Rizani F.A dkk. (2013) di RS Al-Islam Bandung ditemukan jumlah pasien impetigo krustosa sebanyak 23 pasien (53,5%) dan impetigo bulosa hanya sebanyak 20 pasien (47,5%). Setiawan S. (2005-2006) dan Harahap J (2009-2010) di RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado menyebutkan bahwa impetigo krustosa lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan impetigo
bulosa. Hal ini sesuai dengan penelitian Morelli yang menyatakan bahwa jenis impetigo yang sering terjadi adalah jenis impetigo kontagiosa (krustosa) yaitu sebanyak 70% kasus.
Hasil yang berbeda didapat dari penelitian oleh Setiawan S (2012) di RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, bahwa jenis impetigo bulosa yaitu sebanyak 16 pasien (30,2%), dan impetigo krustosa sebanyak 15 pasien (28,3%) walaupun tidak ada perbedaan yang besar.9
5.2.3 Usia
Dalam penelitian ini sesuai tabel 5.3 didapatkan bahwa kelompok usia yang paling banyak menderita impetigo adalah kelompok anak usia 0-5 tahun yaitu sebanyak 30 orang (45.5%), dan golongan usia ini termasuk yang rentan terhadap infeksi impetigo. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Steer A.C dkk. pada 21 sekolah dasar di Fiji (2009), didapatkan bahwa prevalensi impetigo paling tinggi pada usia 9-11 tahun yaitu sebanyak 329 orang (37,2%), usia 5-8 tahun sebanyak 268 orang (30,3%), dan usia 12-15 tahun sebanyak 288 orang (32,5%).22 Penelitian oleh Bowen A.C dkk. pada tahun 2015 tentang epidemiologi global dari impetigo dilaporkan bahwa rata-rata prevalensi impetigo pada usia 0-4 tahun sekitar 19%, usia 5-9 tahun sekitar 19%, dan usia 10-14 tahun sebanyak 10%. Laporan dari 89 studi selama 45 tahun yaitu mulai tahun 1970-2014 menuliskan bahwa prevalensi impetigo tahun 2012 pada anak-anak di bawah umur 15 tahun paling tinggi berasal dari Oceania ( Australia dan New Zealand) yaitu 29,7%, rata-rata prevalensi impetigo di Afrika 7%, Asia 7,3%, Amerika Utara 13,3%, Amerika Latin dan Karibia (15,5 %).20
Penelitian oleh Daniel S.M dkk. tahun 2014 di Solomon Island usia 5-14 tahun merupakan prevalensi tertinggi yaitu 60,7%. Usia 1-4 tahun sekitar 20,2%, usia >25 tahun adalah 14,%. Usia 15-24 tahun sekitar 4,6% dan usia <1 tahun sebanyak 0,5%.23 Penelitian oleh Marks M dkk. (2015) usia yang paling sering terinfeksi impetigo adalah usia <12 tahun yaitu sebanyak 12,4%, usia 13-18 tahun sebanyak 9,1% dan usia >19 tahun sebanyak 5,2 %.24
5.2.4 Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada tabel 5.5 didapatkan bahwa perempuan memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebanyak 38 orang (57,6%), sedangkan laki-laki hanya sebanyak 28 orang (42,4%). Pada penelitian yang dilakukan pada 21 sekolah dasar di Fiji, didapatkan bahwa prevalensi impetigo pada laki-laki lebih tinggi yaitu sebanyak 532 orang (60,1%), dan pada perempuan sebanyak 353 orang (39,9%).22 Hal yang sama juga dilaporkan pada penelitian oleh Mason D.S dkk. tahun 2014, proporsi laki-laki adalah yang terbanyak yaitu 352 orang (56,5%) sedangkan perempuan adalah 271 orang (43,5%).23 Penelitian oleh Marks M (2015) proporsi laki-laki adalah yang terbanyak juga yaitu 12% sedangkan perempuan hanya 6,3 %.24 Hasil yang berbeda diperoleh dari penelitian Rizani F.A dkk. di RS Al-Islam Bandung (2013), terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pasien impetigo dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 23 pasien (53,5%) dan pada pasien dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 20 pasien (46,5%).10
5.2.5 Lokasi Lesi
Berdasarkan lokasi lesi impetigo pada tabel 5.5 didapatkan bahwa predileksi lesi impetigo terbanyak terdapat pada ekstremitas bawah yaitu sebanyak 38 kali (32,2%). Menurut penelitian lain bagian tubuh yang paling sering terinfeksi impetigo adalah wajah (khususnya sekitar hidung dan mulut) dan tungkai.2 Berdasarkan penelitian oleh Andrew C.S di Fiji (2009) menyatakan bahwa distribusi lesi impetigo lebih umum timbul di ekstremitas bawah yaitu sekitar 56%, impetigo di ekstremitas atas 11,9%, dan gabungan antara ekstemitas atas dan bawah sekitar 32,1%.22
Hal yang sama juga dilaporkan pada penelitian Bowen A.C dkk. tahun 2014 bahwa menurut 21 studi, distribusi lesi impetigo yang paling banyak berada di tungkai bawah yaitu dengan rata-rata 58%, distribusi lesi di tungkai atas yaitu 18%, dan distribusi lesi impetigo di bagian tubuh yang lain seperti kulit kepala, wajah, leher, dan batang tubuh sekitar 38%.20 Hasil yang berbeda diperoleh dari
penelitian Rizani F.A dkk. di RS Al-Islam Bandung (2013), wajah merupakan tempat predileksi tertinggi pada anak-anak yaitu sebanyak 9 pasien (20,9%) dan untuk predileksi yang lain tidak ada perbedaan yang terlampau jauh yaitu sekitar 2,3%-7%.10
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Prevalensi kejadian impetigo di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode 2013-2015 adalah sebanyak 124 orang. Dan persentase kejadian impetigo pertahunnya adalah 1%.
2. Karakteristik penderita impetigo berdasarkan jenis impetigo paling banyak dijumpai pada impetigo krustosa yaitu sebanyak 39 orang (59,1%).
3. Karakteristik penderita impetigo berdasarkan usia paling banyak ditemukan pada kelompok usia 0-5 tahun adalah sebanyak 30 orang (45,5%).
4. Karakteristik penderita impetigo berdasarkan jenis kelamin paling banyak dijumpai pada perempuan yaitu sebanyak 38 orang (57,6%).
5. Lokasi lesi impetigo paling banyak terdapat di ekstremitas bawah yaitu sebanyak 38 kali (32,2%).
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian tersebut, maka dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada bagian Rekam Medis RSUP. Haji Adam Malik Medan diharapkan agar dapat menyimpan rekam medis pasien dengan lebih baik dan juga pihak rumah sakit agar lebih melengkapi data pada rekam medis serta mencatat dengan lengkap segala informasi yang penting karena hal ini sangat berguna baik bagi kepentingan penderita, klinisi, maupun penelitian.
2. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian lebih dalam mengenai impetigo.
Daftar Pustaka
1. Djuanda A. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. p. 58-59.
2. Beheshti M, Ghotbi S. Impetigo, a brief review. Shiraz Emed J. 2007 Jul 3;8(3):138-41.
3. Pereira LB. Impetigo review. An Bras Dermatol. 2014;89(2):293-9.
4. Vos T, Flaxman AD, Naghavi M, Lozano R, Michaud C, Ezzati M, et al.
Years lived with disability (YLDs) for 1160 sequelae of 289 diseases and injuries 1990–2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet. 2012; 380(9859):2163–96.
5. World Health Organization. Epidemiology and management of common skin diseases in children in developing countries. Geneva: World Health Organization; 2005.p. 54.
6. Smith S. Penyakit infeksi. In: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. 6th ed. Indonesia: Elsevier;
2014. p. 410.
7. Aryunisari CG. Impetigo bulosa pada anak usia 9 tahun. Medula Unila.
2013 Oct;1(5):26-32
8. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam Physician. 2007 Mar 3;75(6):859-64
9. Pangow CC, Pandaleke HJ, Kandou RT. Profil pioderma pada anak di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. DR. R. D. kandou manado periode januari-desember 2012. Jurnal e-Clinic. 2015;3(1):217-23
10. Rizani FA, Djajakusumah TS, Sakinah RK. Angka kejadian, karakteristik dan Pengobatan di RS Al-Islam Bandung. Pendidikan Dokter 2. 2014:
1009-15
11. Lewis LS. Impetigo. American Pediatric; 2016 Mei 4.
12. Barakbah J, Pohan SS, Sukanto H, Martodihardjo S, Agusni I, Lumintang H, et al. Atlas: penyakit kulit dan kelamin. Surabaya: Airlangga University Press; 2008. p. 27-28.
13. Goodheart HP. Diagnosis Fotografik penatalaksanaan penyakit kulit. 3th ed. Ramadhani D, Indra L, Sandra F, editors. Jakarta: EGC; 2013. p. 127- 129.
14. Brown RG, Burns T, Lecture notes on dermatologi. 8th ed. Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 21.
15. Muttaqin A, Sari K, Asuhan keperawatan gangguan sistem integumen.
Jakarta: Salemba Medika; 2011. p. 54-55.
16. Graft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberh AN, Swartz MN, Johnson RA.
Superficial cutaneus infections and pyodermas. In:Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell D. Dermatology in general medicine. 7th ed. United States of America. Mc Graw Hill; 2008. p. 1695- 1968.
17. Rortveit S, Skutlaberg DH, Langeland N, Rortveit G. Impetigo in a population over 8.5 years: incidence, fusidic acid, resistance and molecular characteristics. J Antimicrobal Chemoter. 2011 Mar 9;66:1360-4.
18. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s textbook of dermatology. 8th ed. Oxford:
Blackwell; 2010.
19. Oentari W, Menaldi SL. Pioderma. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editors. Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. p. 320.
20. Bowen AC, Mahe A, Hay RJ, Andrews RM, Steer AC, Tong SY, et al.
The global Epidemiology of impetigo : a systematic review of the population prevalence of impetigo and pyoderma. Plos One. 2015 Aug 28;10(8):1-5.
21. Rortveit S, Skutlaberg DH, Langeland N, Rortveit G. The decline of impetigo epidemic caused by the epidemic european fusidic acid-resistant impetigo clone: an 11,5-year population-based incidence study from a community in western norway. Scandinavian J of Infection Disease. 2014;
46: 832-837.
22. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincente SL. Waqatakirewa L, et al. High burden of impetigo and scabies in a tropical country. PloS Negl Trop Dis. 2009 Jun;3(6):e467.
23. Mason DS, Marks M, Sokana O, Solomon AW, Mabey DC, Romani L, et al. The prevalence of scabies and impetigo in the soomon island: a population based survey. PloS Negl Trop Dis. 2016 Jun 27;10(6):1-10.
24. Marks M, Wini BT, Satorara L, Engelman D, Nasi T, Mabey DC, et al.
Long term control of scabies fiften yeras after an intensive treatment programme. Plos Negl Trop Dis. 2015 Dec 1;9(12):1-9.
25. Hay RJ, Johns NE, Williams HC, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis DJ, et al. The global burden of skin disease in 2010: an analysis of the prevalence and impact of skin conditions. J Invest Dermatol. 2014;
134(6):1527–34.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama : Ira Wardhani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat / Tanggal Lahir : Malintang / 1 Januari 1995 Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Universitas no. 34, Medan
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar 142563 Malintang (2001-2007) 2. MTsN Siabu (2007-2010)
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Plus Panyabungan (2010-2013) 4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2013-sekarang)
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Divisi Kewirausahaan Panitia Hari Besar Islam (PHBI) FK USU 2. Anggota Divisi Kewirausahaan Permaked Tabagsel
DATA INDUK PENELITIAN
USIA JK JI LokasiLesi
54 tahun Perempuan Impetigo bulosa Badan
69 tahun Perempuan Impetigo bulosa Dada bagian atas 71 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Pangkal paha 1 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Tangan 5 tahun Perempuan Impetigo krustosa Selangkangan 1 tahun Perempuan Impetigo krustosa Wajah
5 tahun Perempuan Impetigo krustosa Punggung 2 tahun Perempuan Impetigo krustosa Dada 50 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Kepala
34 tahun Perempuan Impetigo krustosa Telapak tangan 13 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Disekitar hidung 4 tahun Perempuan Impetigo krustosa Wajah
1 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Tungkai jari jempol kaki kanan 14 tahun Perempuan Impetigo bulosa Kaki
4 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Tangan 57 tahun Perempuan Impetigo bulosa Tangan 2 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Paha 6 tahun Perempuan Impetigo krustosa Ketiak 3 tahun Perempuan Impetigo bulosa Perut 5 tahun Perempuan Impetigo krustosa Kaki 2 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Wajah 14 tahun Perempuan Impetigo krustosa Wajah 12 tahun perempuan Impetigo krustosa Ketiak 14 tahun Perempuan Impetigo krustosa Lengan 2 tahun Perempuan Impetigo bulosa Badan 44 tahun Perempuan Impetigo bulosa Punggung 9 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Bokong 13 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Kaki 1 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Tangan 1 tahun Perempuan Impetigo krustosa Kaki 6 bulan Perempuan Impetigo bulosa Lengan 11 tahun Perempuan Impetigo krustosa Kaki 53 tahun Laki-laki Impetigo bulosa Badan 16 tahun Perempuan Impetigo bulosa Lengan 40 tahun Perempuan Impetigo bulosa Pipi 62 tahun Perempuan Impetigo bulosa Badan 3 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Badan 7 bulan Laki-laki Impetigo krustosa Leher 5 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Wajah 1 tahun Laki-laki Impetigo krustosa Badan 69 tahun Perempuan Impetigo bulosa Wajah
2 tahun perempuan Impetigo bulosa Disekitar hidung