Akibat Hukum Perjanjian Jaminan Fidusia terhadap Benda yang Dijaminkan
Disusun oleh :
Petra Kusuma Aji, S.H., M.Kn.
Hakim pada Pengadilan Negeri Lembata
Lembaga jaminan fidusia sebenarnya bukan merupakan lembaga jaminan yang baru bagi masyarakat di Indonesia. Lembaga jaminan fidusia telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda.
1Hanya saja, dulu ketentuan mengenai lembaga jaminan fidusia didasarkan pada yurisprudensi dan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sejak 30 September 1999, di Indonesia berlakulah Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut U.U.F.). Dalam ketentuan Pasal 41 U.U.F.
disebutkan bahwa undang-undang tersebut berlaku sejak tanggal diundangkan akan tetapi dalam Pasal 39 disebutkan bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) U.U.F. dibentuk dalam jangka waktu paling lambat 1 tahun setelah U.U.F. diundangkan. Praktis, dengan itu, paling tidak sejak 30 September tahun 2000, lembaga jaminan fidusia di Indonesia kini sudah diatur secara efektiv dalam suatu undang-undang.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 U.U.F. disebutkan bahwa :
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Dari rumusan Fidusia secara “otentik” -- karena rumusan itu diberikan oleh pembentuk undang-undang -- dapat disimpulkan bahwa “Fidusia” merupakan tindakan pengalihan hak milik atas suatu benda, dengan syarat (ketentuan) bahwa benda tersebut tetap “dikuasai” oleh “PEMILIK BENDA”.
Karena dalam anak kalimat terakhir rumusan fidusia dalam U.U.F. di atas dikatakan “... tetap dalam penguasaan pemilik benda.”, maka mestinya yang dimaksud sebagai “pemilik benda” tersebut adalah “orang yang menyerahkan kepemilikkan suatu benda melalui fidusia”. Bukankah ada kata “tetap” yang artinya tidak terjadi perubahan atau pergerakan/pergeseran atas penguasaan benda tersebut secara yuridis ?
Sebelum adanya U.U.F., benda yang dijaminkan secara fidusia hak miliknya dialihkan kepada kreditur penerima fidusia, sedangkan penguasaan fisik atas
1 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Cetakan ke-II, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 1; Penjelasan Umum Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia angka 2 paragraf 3.
benda tersebut tetap berada di tangan pemberi fidusia atas dasar (titel) pinjam pakai. Ketentuan Pasal 1 angka 1 U.U.F. mestinya mau mengambil pengertian fidusia berdasarkan doktrin dan yurisprudensi tersebut. Jadi, yang disebut sebagai “... tetap dalam penguasaan pemilik benda.” dalam anak kalimat terakhir Pasal 1 angka 1 U.U.F. mestinya bermaksud “... tetap dikuasai secara fisik oleh pemberi fidusia.” Hal ini juga sesuai dari segi tujuan kemasyarakatannya (teleologis)
2, karena tujuan diadakannya lembaga jaminan fidusia adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memberikan jaminan atas hutangnya (atau hutang pihak lain), tetapi benda yang dijadikan jaminan tetap berada dalam kekuasaan pemberi jaminan, agar tetap dapat digunakan untuk kegiatan produktif. Hal ini untuk mengatasi keterbatasan lembaga jaminan berupa gadai, sebagai yang diatur dalam Pasal 1152 K.U.H.Perdata (B.W.).
Hal tersebut di atas yang melandasi rumusan masalah dalam penulisan artikel ini, yaitu :
“Bagaimana akibat hukum perjanjian jaminan fidusia terhadap status benda yang dijaminkan ?”
Permasalahan
“Bagaimana akibat hukum perjanjian jaminan fidusia terhadap kepemilikan benda yang dijaminkan ?”
Pembahasan
a. PerjanjianFidusia, Fidusia dan Jaminan Fidusia
Dalam Pasal 1 angka 1 U.U.F. disebutkan definisi fidusia oleh pembentuk undang-undang, yang menggambarkan bahwa fidusia itu adalah suatu
“pengalihan” secara kepercayaan hak milik atas suatu benda, di mana benda yang kepemilikannya dialihkan itu, tetap berada dalam kekuasaan orang yang mengalihkan. Dari ketentuan ini, bisa muncul gambaran dalam benak kita, apakah kalau demikian, U.U.F. hendak menciptakan lembaga “penyerahan” yang baru ?
Untuk memperjelas masalah ini, ada baiknya kita tinjau sedikit masalah penyerahan (levering). Dalam Pasal 584 K.U.H.Perdata disebutkan :
“Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau PENYERAHAN berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh
2 Paul Scholten, Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum, Cetakan Kedua, diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 5.
seorang yang berhak berbuat bebas (berwenang) terhadap kebendaan itu.”
Ketentuan Pasal 584 K.U.H.Perdata tersebut di atas merupakan ketentuan umum cara memperoleh hak milik.
3Dari ketentuan mana terlihat bahwa cara memperoleh hak milik atas suatu benda pada prinsipnya ditentukan secara limitatif dalam K.U.H.Perdata. Sekalipun terhadap hal ini para sarjana (doktrin) berpendapat bahwa masih ada cara perolehan hak milik yang lain, selain yang ditentukan dalam Pasal 584 K.U.H.Perdata, misalnya penggabungan suatu benda.
Atas dasar ketentuan tersebut di atas, maka kembali ke permasalahan kita, apakah fidusia sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 U.U.F.
merupakan cara memperoleh hak milik yang lain, selain yang ditentukan dalam Pasal 584 K.U.H.Perdata, dengan ciri khasnya “secara kepercayaan” dan penguasaan secara fisik benda tersebut tetap ada pada pihak yang mengalihkan ?
Kalau sekedar penguasaan atas suatu benda yang hak miliknya diserahkan, tetap ada di pihak yang menyerahkan, doktrin sudah mengenalnya sejak lama, jadi bukan merupakan hal khusus yang baru.
Dan itu sekedar mengenai “CARA PENYERAHAN”. Intinya tetap ada penyerahan, hanya saja cara penyerahan memang pada prinsipnya dibedakan berdasarkan jenis bendanya. Mengenai cara penyerahan, doktrin mengenal ada penyerahan secara nyata (feitelijk levering) ini khususnya untuk benda bergerak berwujud, lalu ada penyerahan secara constitutum posessorium, yaitu di mana benda yang hak miliknya diserahkan tetapi penguasaannya tetap ada pada pihak yang menyerahkan atas dasar titel tertentu yang umumnya pinjam pakai (dan konstruksi ini yang mestinya terdapat dalam fidusia). Selain itu dikenal pula traditio brevi manu dan traditio longa manu.
Jadi mestinya pengertian fidusia dalam Pasal 1 angka 1 U.U.F. tidak hendak menciptakan bentuk yang baru untuk tindakan penyerahan dengan ciri tertentu. Pengertian fidusia dalam Pasal 1 angka 1 U.U.F. mestinya hendak mengatakan bahwa “CARA PENYERAHAN” dalam lembaga fidusia adalah sebagai yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 U.U.F. tersebut. Dengan kata lain, penyerahan hak milik atas suatu benda sebagai jaminan fidusia prinsipnya dilakukan secara constitutum posessorium, yang didasarkan atas kepercayaan.
Di sini yang dimaksud dengan kepercayaan adalah kepercayaan dari pihak yang mengalihkan kepemilikan suatu benda (pemberi fidusia) terhadap pihak yang menerima pengalihan hak milik atas benda tersebut (penerima
3J. Satrio, Cessie Tagihan Atas Nama, Yayasan DNC, Jakarta, 2012, hlm. 25.
fidusia), bahwa penyerahan itu hanya untuk sementara dan kepemilikkan benda tersebut akan diserahkan kembali kepada pihak yang mengalihkan di awal (pemberi fidusia), setelah mana hutang yang pembayarannya dijamin dengan benda yang diserahkan secara fidusia tersebut hapus bukan karena dieksekusinya benda jaminan fidusia.
Kepercayaan di sini yang menjadi dasar penyerahan secara constitutum posessorium tersebut. Oleh karena itu, kepercayaan ini tidak melekat pada tindakan penyerahannya. Hal ini sesuai dengan konsep penyerahan, yang pada prinsipnya merupakan akibat atau tindak lanjut dari adanya hubungan obligatoir / peristiwa perdata yang menjadi dasar untuk adanya penyerahan tersebut.
Dari Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 2 U.U.F. kita melihat bahwa nampaknya pembentuk undang-undang hendak membedakan antara
“Fidusia” dengan “Jaminan Fidusia”. Fidusia, sebagaimana telah dijelaskan di atas, tertuju kepada “CARA PENYERAHAN” sedangkan Jaminan Fidusia -- sebagai yang dimaksud Pasal 1 angka 2 U.U.F. -- tertuju kepada “LEMBAGA JAMINANNYA” atau hak kebendaannya.
Fidusia merupakan cara penyerahan untuk adanya jaminan fidusia.
Fidusia sebagai cara penyerahan, tidak bisa berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan perjanjian jaminan fidusia (baca Pasal 1 angka 1 U.U.F. jo. Pasal 584 KUHPerdata). Artinya, penyerahan tidak dapat berdiri sendiri, apalagi sekedar “CARA PENYERAHAN”, sekalipun di dalam cara penyerahan terkandung lembaga penyerahan.
Dasar (titel) penyerahan secara fidusia mestinya adalah adanya Perjanjian Jaminan Fidusia. Perjanjian Jaminan Fidusia sendiri merupakan perjanjian.
4Umumnya perjanjian jaminan bersifat riil. Artinya, perjanjian itu baru ada setelah objek dari perjanjian itu diserahkan, sehingga perjanjian jaminan ini seringkali dimasukkan dalam kualifikasi perjanjian kebendaan, karena dengan ditutupnya perjanjian tersebut sudah lahir hak- hak yang oleh undang-undang diberikan sifat hak kebendaan. Apakah pada perjanjian jaminan fidusia juga demikian ?
Ada satu ketentuan dalam U.U.F. yang bisa memberikan gambaran atas hal ini. Pasal 9 ayat (1) UUF mengatakan :
“Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yangtelah ada pada saat jaminandiberikanmaupun yangdiperoleh kemudian.”
Dari ketentuan Pasal 9 UUF di atas, kita melihat bahwa ternyata Perjanjian Jaminan Fidusia bisa diadakan, sekalipun benda yang hendak dijadikan jaminan melalui fidusia belum ada, atau belum menjadi milik
4 Baca ketentuan Pasal 4 U.U.F.
“Calon” Pemberi Fidusia. Jadi di sini belum ada bisa “belum ada secara relatif” maupun “belum ada secara absolut”. Dari ketentuan mana kita bisa menyimpulkan bahwa Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang untuk sahnya cukup dengan saling janji antara Calon Pemberi Fidusia dengan Calon Penerima Fidusia (konsensual dan obligatoir). Disebut “Calon” karena pada saat benda yang hendak dijaminkan dengan penyerahan secara fidusia belum diserahkan, maka belum ada penyerahan, dan karenanya masing-masing pihak mestinya baru sebagai Calon Pemberi dan Calon Penerima Fidusia.
Artinya, Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan Perjanjian yang konsensual dan baru bersifat obligatoir, yaitu Perjanjian Jaminan Fidusia sudah sah cukup dengan sepakat para pihak yang menutupnya (selama memenuhi ketentuan Pasal 1320 K.U.H.Perdata) dan baru menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk nantinya -- sesuai dengan waktu dan syarat yang disepakati -- menyerahkan benda yang hendak dijadikan jaminan melalui penyerahan secara fidusia.
Jadi, bisa ada Perjanjian Jaminan Fidusia tanpa ada Fidusia di dalamnya.
Bukankah antara Perjanjian Jaminan Fidusia dengan Fidusia merupakan dua hal yang berlainan ? Jaminan Fidusia merupakan lembaga jaminannya. Sedangkan Fidusia merupakan lembaga penyerahan atas dasar adanya Perjanjian Jaminan Fidusia. Tetapi ketentuan yang sebaliknya tidak bisa diterapkan, yaitu ada Fidusia tanpa adanya Jaminan Fidusia, karena Fidusia merupakan kelanjutan dari Jaminan Fidusia.
Jadi, apabila benda yang hendak dijadikan jaminan melalui penyerahan secara fidusia itu belum ada dalam kepemilikkan Calon Pemberi Fidusia, maka sekarang bisa ada suatu hutang yang dijamin dengan sekedar
“Perjanjian Jaminan Fidusia”, tetapi “Jaminan Fidusia dan BENDA jaminan” atasnya belum ada. Antara pihak Calon Pemberi Fidusia dalam Perjanjian Jaminan Fidusia baru ada janji untuk nantinya menyerahkan -- secara fidusia -- suatu benda tertentu yang disepakati, kepada Calon Penerima Fidusia, dan janji itu dituangkan dalam Perjanjian Jaminan Fidusia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) U.U.F., dapat disimpulkan bahwa perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian formil yang harus dituangkan dalam suatu akta Notaris berbahasa Indonesia.
Dalam Pasal 4 UUF dikatakan :
“Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
suatu prestasi.”
Dari ketentuan di atas, dari kata “ikutan”, maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Arti dari perjanjian ikutan itu mestinya sama dengan perjanjian accessoir. Perjanjian yang bersifat accessoir ini mempunyai ciri-ciri : lahirnya/adanya, berpindahnya dan hapusnya/berakhirnya mengikuti perjanjian pokok tertentu.5
Jadi, Perjanjian Jaminan Fidusia adalah perjanjian yang berisi kesepakatan antara Pemberi Fidusia dengan Penerima Fidusia, bahwa suatu benda tertentu diserahkan/akan diserahkan hak miliknya secara kepercayaan, dari Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia, guna menjamin pembayaran hutang debitur dalam suatu perjanjian pokok tertentu, yang bisa berupa hutang/kewajiban atas pembayaran sejumlah uang, ataupun kewajiban (prestasi) lain. Yang penting, atas kewajiban prestasi tersebut, nantinya bisa dijabarkan dalam nilai sejumlah uang.6 b. Objek Jaminan Fidusia
Pasal 1 angka 2 U.U.F. mengatakan :
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (U.U.H.T.) ….”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 U.U.F. tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak, dan benda tetap (tidak bergerak) khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Menjadi pertanyaan, apakah konsep benda bergerak dan benda tidak bergerak di sini merujuk pada konsep benda dalam K.U.H.Perdata ? mengingat U.U.F. merupakan perundang-undangan nasional yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang Indonesia sendiri dan setelah lahirnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok- pokok dan Dasar-dasar Agraria (U.U.P.A.).
U.U.P.A. menganut prinsip hukum adat, di mana dalam prinsip hukum adat benda dibedakan antara tanah dan bukan tanah. Sedangkan pembedaan benda sebagai benda bergerak dan benda tetap prinsipnya adalah pembedaan yang dikenal dalam sistem hukum barat (vide Pasal 504 K.U.H.Perdata). Pasal 1 angka 2 U.U.F. sendiri dalam keterangannya merujuk pada ketentuan U.U.H.T., padahal U.U.H.T. sendiri merupakan peraturan turunan (pelaksanaan) dari U.U.P.A. (baca Pasal 51 jo. Pasal 57
5 J. Satrio, Op Cit., hlm. 196.
6Ibid., hlm. 178.