• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep diri perempuan Jawa : pembentukan dan orientasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep diri perempuan Jawa : pembentukan dan orientasi."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

Clara Alverina Pramudita ABSTRAK

Konsep diri atau rasa akan diri penting dalam diri karena akan mempengaruhi bagaimana perasaan, pikiran, dan perilaku kita dalam melihat dunia (Matsumoto, 2003). Penelitian ini akan melihat bagaimana pembentukan dan orientasi dari konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipe-stereotipe yang ada. Perempuan Jawa adalah perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai Jawa. Perempuan Jawa dikenal sebagai perempuan yang halus, tenang,

kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa perempuan Jawa walaupun dikenal seperti itu tetapi mereka merupakan perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak seperti yang dipelajari dari orangtua mereka. Konsep dirinya itu terbentuk dari pengalaman dengan orangtua dan menghasilkan orientasi kepada kehidupan anak yang lebih baik.

(2)

JAVANESE WOMAN SELF-CONCEPT : ESTABLISHMENT AND ORIENTATION

Clara Alverina Pramudita ABSTRACT

Self-concept or a sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world (Matsumoto, 2003). This study would see how Javanese woman self-concept including its establishment and orientation work in a patriarchal culture and all the stereotypes which exist in it. Javanese woman is a woman who grew up with the values of Java. Javanese woman is known as a woman who is smooth, quiet, calm and must not exceed the rights of man (Handayani, 2008). The results of this research showed that although Javanese women are known like that, they have positive self-concept and identify themselves as a tough woman in prioritizing children. They learned the toughness of prioritizing children from their parents. Their self-concept was formed from their close relationship with parents and it gives better future orientation for the children.

(3)

i

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

Memperoleh gelar sarjana psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Clara Alverina Pramudita

119114131

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

Keep Strong, Don’t be Afraid

Always look at the solution not the problem -Hitam Putih-

Kehidupan itu seperti teks,

narasi yang terus ditulis dan ditulis ulang dari waktu ke waktu - Dan P. McAdams -

(7)

Tedjo-v

Sebuah karya yang tidak sempurna ini kupersembahkan untuk My beloved parents in the world

Bpk Hb. Hery Santosa dan Ibu Adriana Novijanti yang sudah membesarkan dan mendidik aku hingga saat ini

Terima kasih sudah menjadikan aku perempuan yang kuat Dan doakan selalu diperjalanan hidupku selanjutnya untuk tetap menjadi

(8)

vi

(9)

vii

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

Clara Alverina Pramudita ABSTRAK

Konsep diri atau rasa akan diri penting dalam diri karena akan mempengaruhi bagaimana perasaan, pikiran, dan perilaku kita dalam melihat dunia (Matsumoto, 2003). Penelitian ini akan melihat bagaimana pembentukan dan orientasi dari konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipe-stereotipe yang ada. Perempuan Jawa adalah perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai Jawa. Perempuan Jawa dikenal sebagai perempuan yang halus, tenang,

kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa perempuan Jawa walaupun dikenal seperti itu tetapi mereka merupakan perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak seperti yang dipelajari dari orangtua mereka. Konsep dirinya itu terbentuk dari pengalaman dengan orangtua dan menghasilkan orientasi kepada kehidupan anak yang lebih baik.

(10)

viii

JAVANESE WOMAN SELF-CONCEPT : ESTABLISHMENT AND ORIENTATION

Clara Alverina Pramudita ABSTRACT

Self-concept or a sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world (Matsumoto, 2003). This study would see how Javanese woman self-concept including its establishment and orientation work in a patriarchal culture and all the stereotypes which exist in it. Javanese woman is a woman who grew up with the values of Java. Javanese woman is known as a woman who is smooth, quiet, calm and must not exceed the rights of man (Handayani, 2008). The results of this research showed that although Javanese women are known like that, they have positive self-concept and identify themselves as a tough woman in prioritizing children. They learned the toughness of prioritizing children from their parents. Their self-concept was formed from their close relationship with parents and it gives better future orientation for the children.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Peristiwa hidup yang satu pasti berhubungan dengan peristiwa hidup yang

lain. Pengalaman yang sekarang juga berhubungan dengan pengalaman yang

sebelumnya. Peristiwa dan pengalaman dalam menuntaskan pendidikan program

sarjana ini juga merupakan hasil dari persitiwa dan pengalaman sebelumnya.

Pengerjaan skripsi ini terjadi karena adanya keingintahuan dari pengalaman yang

dialami penulis sebelumnya. Adanya keingintahuan ini akhirnya melahirkan suatu

pencapaian bagi penulis yaitu suatu karya skripsi dengan judul Konsep Diri

Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi.

Suatu karya pencapaian seseorang bukanlah suatu karya hasil dari tangan

satu orang saja melainkan banyak tangan-tangan pendukung di belakangnya yang

mendukung terjadinya suatu karya. Skripsi ini pun sama demikian, skripsi ini

bukanlah suatu hasil karya penelitian dari tangan dan otak penulis langsung saja

melainkan banyak tangan dan otak yang bekerja dibelakangnya yang membantu

menghasilkan skripsi ini. Yang utama dan pertama yang bekerja dengan penulis

dalam menuntaskan karya skripsi ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Penulis

panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugrah dan cinta yang

diberikan sehingga penulis memperoleh pengalaman selama ini terutama

pengalaman penulisan skripsi beserta dinamikanya. Terima kasih juga kepada

kedua orangtua dan kedua adik-adik penulis yang selalu setia mendukung baik

tenaga, finansial, dan motivasi bagi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

(13)

xi

1. Dosen pembimbing skripsi yang sudah penulis anggap bapak ketiga bagi

penulis, Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph. D. yang sudah mau sabar

menghadapi, membimbing, dan menuntun penulis dari semenjak seminar

hingga penyusunan skripsi ini selesai. Terima kasih semua canda tawa,

penyemangat, dan pengalaman yang sudah penulis dapatkan. Thank you so

much, I LOVE YOU my third father.

2. Dosen sekaligus rekan kerja penulis dalam mengerjakan akreditasi standar 7

hingga akhir, Bapak YB. Cahya Widiyanto yang sudah memberikan

kepercayaan kepada penulis untuk membantu akreditasi hingga akhir dan

memberikan pengalaman yang berharga bekerja memikirkan banyak orang

sekaligus memikirkan skripsi.

3. Sahabat-sahabat penulis, terkhusus Beatriks Christma Antari yang sudah

menemani, mendengarkan keluh kesah dan berjuang bersama dari semester 1

hingga penyelesaian skripsi ini selesai. Lisa sahabat penulis dari SMP yang

sudah mau mendengarkan semua curahan hati penulis dalam setiap

kebimbangan penulis dalam mengerjakan skripsi. I LOVE YOU all my friends.

4. Romo pendamping UKM Karawitan sekaligus my second father, Romo

Gregorius Budi Subanar, SJ yang sudah berkenan mendukung dan

mendampingi penulis dari beberapa semester yang lalu di UKM, dalam

mengerjakan seminar, dan mengerjakan penulisan skripsi ini. Terima kasih

sudah memperkenalkan my beloved third father sehingga membuat penulis

menemukan jodoh pembimbing skripsi. Terima kasih atas semua kepercayaan

(14)

xii

dan memperoleh pengalaman baru yang penulis dapatkan. Cerita, nasihat,

ide-ide, dan pengalaman yang penulis dapatkan tidak akan penulis lupakan di

kemudian hari. I LOVE YOU ROMO

5. Para Informan, Ibu Surti, Eyang Narko, Ibu Surono, Ibu Caecil, Ibu Ita, dan

Ibu Veronika yang sudah memperbolehkan penulis bertanya-tanya berbagi

cerita tentang pengalaman kehidupan mereka, tanpa mereka skripsi ini tidak

akan selesai. Terima kasih atas waktu yang diberikan.

6. Saudara penulis, Atrin yang sudah membantu tenaga dalam merapikan hasil

tulisan skripsi ini, baby Emily yang sudah selalu menjadi moodbooster dikala

bosen dan bingung dalam mengerjakan skripsi, tante penulis, Mbak Eny yang

sudah membantu memfasilitasi peralatan guna pengambilan data. Terima

kasih banyak atas dukungannya.

7. Teman-teman UKM Karawitan semuanya, Mas Cahyo, Nugroho, Cahyo, Mas

Eko, Agnes, Oyen, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu

persatu yang sudah memahami kesibukan penulis mengerjakan skripsi dan

menghibur penulis dikala bosen dengan pengerjaan skripsi. I LOVE YOU my

second family..

8. Teman-teman student staff akreditasi Psikologi, Silla, Nety, Yoan, Arum,

Mbak Tirza, Hervy, Jojo, dan Martha yang sudah berjuang bersama

mengerjakan skripsi sekaligus memikirkan akreditasi Fakultas tercinta. Terima

kasih sudah mau saling berbagi cerita, lembur bersama, diskusi skripsi

(15)

xiii

9. Teman-teman yang sempat penulis asistensiin di matakuliah Tes Proyektif

TAT, Aprex, Erlin, Gue, Asoy, Chopie, Zelda. Terima kasih semua

pengalaman kerjasamanya selama proses asistensi TAT terutama

pengertiannya kepada penulis yang pada masa asistensiin sedang sibuk

akreditasi dan mengerjakan skripsi. I LOVE YOU ALL…

10.Bapak Dekan dan Ibu Kaprodi Fakultas Psikologi Bapak Dr. T. Priyo

Widiyanto, M. Si. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., staff administrasi, Bu

Nanik dan Mas Gandung, staff laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang

sudah memberikan kelancaran dan kemudahan selama penulis mengenyam

pendidikan program sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma.

11.Teman-teman semua satu angkatan Fakultas Psikologi, angkatan 2011

semuanya yang sudah berjuang bersama menyelesaikan studi di Fakultas

Psikologi.

Karya skripsi ini bukanlah menjadi akhir dari perjalanan pendidikan penulis,

karya skripsi ini melainkan menjadi langkah awal penulis untuk semakin belajar

berpikir ilmiah. Karya skripsi ini menjadi titik awal akan proses keingintahuan

berpikir ilmiah penulis untuk memahami dunia sehingga karya ini masih jauh dari

kata sempurna. Penulis sedang akan memulai melangkah ke masa depan untuk

belajar lebih banyak lagi. Semoga dibalik ketidaksempurnaan karya skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 4 Februari 2016

(16)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiv

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Konteks ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

(17)

xv

B. Konsep Diri ... 14

1. Identitas ... 14

2. Definisi Konsep Diri ... 16

3. Pembentukan Konsep Diri ... 18

4. Konsep Diri Positif dan Negatif ... 18

5. Arketipe dalam Pembentukan Konsep Diri... 20

C. Jawa ... 22

1. Masyarakat Jawa ... 22

2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa ... 24

D. Pembentukan dan Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN... 32

A. . Paradigma dan Pendekatan Penelitian ... 32

B. Fokus Penelitian ... 34

C. Prosedur Penelitian... 34

1. Informan ... 34

2. Metode Pengambilan Data ... 35

D. Analisis Data ... 36

E. Kualitas Penelitian ... 37

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Hasil Penelitian ... 40

(18)

xvi

2. Ibu N (68) ... 43

3. Ibu E (54) ... 45

4. Ibu L (56) ... 46

5. Ibu I (42) ... 48

6. Ibu C (36) ... 49

C. Analisis Data ... 52

1. Perempuan Jawa dan Konsep Dirinya... 52

a. Sisi diri positif pada perempuan Jawa ... 52

b. Sisi diri negatif pada perempuan Jawa ... 56

2. Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi ... 57

a. Sisi positif dari orangtua ... 57

b. Sisi negatif dari orangtua ... 60

c. Sistem nilai yang diberikan orangtua ... 61

3. Orientasi Konsep Diri ... 65

D. Pembahasan ... 67

1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri ... 67

2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

1. Perempuan Jawa ... 82

2. Peneliti Berikutnya ... 83

(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1. Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan

dan Orientasi ... 31

Gambar. 2. Skema Proses Penelitian yang Dilakukan ... 38

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Protocol Guide Interview... 89

Lampiran 2. Informed Consent ... 90

Lampiran 3. Contoh Verbatim dan Horizontalizing ... 96

Lampiran 4. Contoh Clustering ... 114

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan suatu konteks penelitian yang dilakukan oleh

peneliti. Bagaimana konteks penelitian yang ada di masyarakat, kemudian

bagaimana pertanyaan dan tujuan penelitian ini, serta bagaimana kebermanfaatan

penelitian ini baik secara teoritis dalam ilmu psikologi maupun secara praktis

kepada masyarakat.

A. Konteks

Kelahiran seorang bayi manusia ke bumi merupakan awal kehidupan

manusia. Manusia lahir bersih dan murni tanpa membawa apa-apa. Manusia lahir

dengan situasi yang sudah ada Tuhan berikan, orangtua, rumah, dan segala

keadaan yang ada tanpa mereka sadari. Bagaimana kehidupan manusia itu

kemudian, menjadi apa manusia itu dan seperti apa dirinya merupakan hasil

dinamika kehidupan manusia itu sendiri dengan lingkungan sekitarnya.

Manusia dikenal karena jati dirinya. Kehidupan manusia dari lahir hingga

mati merupakan proses pencarian dan penguatan jati diri atau identitasnya. “Self

is an important, abstract concept that help us understand much of our psychological composition” (Matsumoto, 2003) yang berarti bahwa diri adalah konsep abstrak yang penting yang membantu kita untuk memahami lebih tentang

komposisi psikologi kita. Menurut Erikson jika seseorang tidak berhasil melalui

(22)

nantinya juga akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Pencarian

identitas seseorang sudah dimulai semenjak masa anak-anak hingga dewasa.

Individu dari anak-anak hingga dewasa memiliki berbagai banyak

peristiwa kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang dialami ini menjadi pengalaman

hidup yang dimiliki individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki dari

anak-anak hingga dewasa membantu seseorang memperoleh identitasnya. Pengalaman

ini dapat berupa pengalaman dengan individu lain maupun dengan lingkungan

sosial.

Seorang anak memiliki pengalaman pertama dengan orangtuanya.

Orangtua merupakan significant others bagi individu. Dalam pembentukan

identitas atau konsep diri, significant others atau orangtua membawa pengaruh

yang kuat. Significant others membawa pengaruh krusial dalam mendefinisikan

diri dan perubahan-perubahannya seperti dalam hal afeksi dan pengalaman

motivasi, regulasi diri, dan perilaku interpersonal (Andersen & Chen, 2002).

Seperti yang dikatakan dalam hasil penelitian sebelumnya bahwa ada hubungan

signifikan antara kedekatan significant others dengan self esteem yang merupakan

salah satu faktor bagian dari konsep diri (Burnett, 1996).

Interaksi relasi yang terjadi antara individu dengan significant others atau

orangtua merupakan sebuah narasi kehidupan individu itu sendiri. Narasi atau

cerita kehidupan ini yang berperan dalam identitas dan konsep diri individu

menjadi seperti apa dirinya. Cerita diri sendiri ini memberikan sebuah konteks

yang jelas yang menjadikan jelas bagaimana diri hidup dan apa sifat alami dari

(23)

ini berisi banyak nilai-nilai kehidupan yang diberikan orangtua, seperti contohnya

dalam mendidik anak, orangtua mendidik anaknya untuk bersikap sopan kepada

orang yang lebih tua. Dalam didikannya itu ada nilai yang ingin disampaikan

orangtua kepada anaknya yaitu nilai menghormati. Nilai ini yang akan

mempengaruhi konsep diri dari individu. Significant others atau orangtua hanya

sebagai simbol atau perantara dari nilai yang ada, termasuk nilai-nilai budaya

yang dimiliki dan dibawa oleh orangtua. Adanya simbolisasi dan pengaruh narasi

dari pengalaman yang dimiliki bersama significant others atau tokoh idola pada

pembentukan identitas ternyata memiliki kesamaan dengan prinsip budaya Jawa.

Masyarakat Jawa kaya menggunakan simbol-simbol dan narasi yang dibangun

dari dinamika kehidupan.

Bentuk-bentuk simbolis yang umum dalam masyarakat Jawa itu dapat

dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu : Pertama, tindakan

simbolis dalam religinya; Kedua, tindakan simbolis dalam tradisinya; Ketiga;

tindakan simbolis dalam keseniannya (Herusatoto, 1984). Bentuk-bentuk simbolis

tersebut dapat dikenal hingga sekarang karena adanya narasi yang dibawa

masyarakat Jawa secara turun temurun ke generasi berikutnya. Bentuk-bentuk

simbolis tersebut menandakan pandangan hidup dan sikap hidup masyarakat Jawa

(Herusatoto, 1984). Ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa

sangat familiar dengan segala macam simbolik karena itu adalah bagian dari

dirinya. Secara umum sendiri menurut A. L. Kroeber dan C. Kluckhon dalam

buku yang berjudul “Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat” yang

(24)

“Cultural consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, costituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments inartifacts; the essential core of culture consist of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action.”.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa budaya mengandung bentuk yang

nyata atau tersembunyi dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan

oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas dari kelompok manusia

termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia. Inti penting dari

kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional (yaitu berasal dan dipilih

secara historis) dan terutama nilai-nilai yang tergabung. Sistem budaya di satu sisi

dianggap sebagai hasil dari tindakan dan di sisi lain sebagai unsur yang

mempengaruhi tindakan lebih lanjut.

Pada masa dewasa konsep diri seseorang sudah jauh lebih stabil dari masa

anak-anak atau masa remaja. Dalam tahap perkembangan psikososial milik

Erikson (1950,1968), individu dewasa sudah melewati tahap pencarian identitas

yang terjadi pada masa remaja. Mereka sudah mampu melihat dan merasakan

siapa dirinya. Konsep diri mereka terbentuk dengan cara dipelajari dari setiap

pengalaman hidup berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Seperti yang

dikatakan Combs dalam Elkins (1979) individu belajar dari cara mereka

diperlakukan oleh orang lain.

Penelitian-penelitian konsep diri yang sudah ada lebih banyak berfokus

pada konsep diri seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Peneliti

(25)

ini karena konsep diri dimiliki oleh semua orang, tidak hanya dimiliki oleh

seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Penelitian ini ingin melihat

konsep diri terutama pembentukan dan orientasi pada seseorang dengan lebih

melihat dari segi perspektif latar belakang budaya yang ada.

Pengalaman hidup perempuan Jawa dewasa berinteraksi relasi dengan

orang lain termasuk significant others dalam pembentukan konsep diri menjadi

fokus dalam penelitian ini. Perempuan Jawa memiliki konsep diri yang cenderung

sama dari dulu hingga sekarang. Bentuk pengekspresian dari perempuan Jawa

yang membuat terlihat berbeda konsep dirinya. Hal ini terlihat dari perempuan

Jawa dahulu kalem tetapi sesungguhnya dibalik sifat kalem itu ada kekuatan.

Kekuatan perempuan Jawa dahulu terlihat dari perempuan Jawa pada zaman

dahulu lebih banyak yang melakukan diam ketika menunjukkan ekspresi

marahnya sehingga membuat orang lain dengan sendirinya merasa terhukum oleh

sikap diam itu. Perempuan Jawa sekarang kekuatannya sudah bisa dilihat dari

kesehariannya yang mampu berpendapat atau tampil menonjol di masyarakat.

Peneliti memilih perempuan karena sistem masyarakat Indonesia terutama Jawa

terkenal dengan budaya patriarkisme yang lebih sering membicarakan tentang

betapa hebat dan berperannya laki-laki, sedangkan perempuan cenderung jarang

dibicarakan. Dalam budaya Jawa sistem masyarakat patriarkisme sangat terlihat

dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seorang perempuan belum dikatakan

perempuan Jawa sesungguhnya atau tidak bernilai dan berharga apabila belum

menikah atau memiliki anak. Wanita atau perempuan dihargai karena

(26)

memenuhi ambisi pria (Barnhouse, 1988). Seperti yang ditulis Warto dalam buku

“Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang perempuan harus pandai

macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal dijalankan, ia dianggap tidak ada

nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan

yang tidak dapat masak atau mempunyai anak dianggap aneh dalam masyarakat

dan menjadi aib keluarga. Konsepsi yang berkembang dalam masyarakat Jawa

tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana sistem nilai masyarakat

patriarkisme dalam budaya Jawa yang menggambarkan kedudukan dan kodrat

perempuan dalam masyarakat Jawa.

Bagi peneliti, perempuan Jawa mencerminkan perempuan Indonesia.

Perempuan Indonesia identik dengan perempuan Jawa karena adanya pengaruh

dari sistem pemerintahan orde baru. Hal ini dijelaskan dalam buku On the Subject

of “Java” karya Pamberton tahun 1994 bahwa adanya peran budaya Jawa yang

diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya

pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut

menjadi gambaran umum diri Indonesia.

Arti dari istilah “Perempuan Jawa” adalah orang Jawa asli yang dibesarkan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Perempuan Jawa menurut tradisi adalah

perempuan yang bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, dan tidak boleh

melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Stereotipe tersebut yang berkembang dalam

lingkungan sosial menjadikan perempuan dan laki-laki mendefinisikan dirinya

menggunakan atribut yang mencirikan kelompok gendernya (Guimond, dkk,

(27)

tidak akan mudah hilang seiring waktu karena sudah ditanamkan dalam diri kita

oleh keluarga walaupun budaya itu bersifat dinamis yang memiliki potensi

berubah seiring waktu dan kepribadian atau identitas atau konsep diri sesorang

juga dapat berubah mengikuti budaya dimana orang tersebut tinggal agar dapat

bertahan hidup seperti yang dikatakan Matsumoto (2003),

“Culture as a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated across generations, relatively stable but with the potential to change across time.”

(budaya sebagai sistem aturan yang dinamis, terlihat atau tersembunyi yang

dibentuk oleh kelompok dengan tujuan menjamin kelangsungan hidup mereka

melibatkan sikap, nilai, kepercayaan, norma, dan perilaku yang dibagikan oleh

kelompok tetapi dihayati berbeda oleh setiap anggota atau unit tertentu dalam

kelompok, dikomunikasikan antar generasi, relatif stabil tetapi memiliki potensi

berubah seiring waktu). Keberadaan individu dalam kelompok budaya tertentu

berperan bagi dirinya dalam mendefinisikan konsep diri individu dengan cara

membandingkan antara karakter yang dibagi oleh anggota kelompok budaya

tertentu dengan membandingkan yang relevan di luar kelompok (Brewer &

Gardner, 1996).

Konsep diri atau rasa akan keberadaan diri yang dimiliki individu akan

mempengaruhi bagaimana dia akan melihat dunia dan bersikap ke depannya.

Konsep diri atau rasa akan diri penting seperti yang dikatakan Matsumoto (2003) :

(28)

and ourselves and others in that world, including our relationship with other people, places, things, and events” (Matsumoto, 2003)

(Rasa akan diri adalah penting dan mempengaruhi pemikiran kita, perasaan, dan

perilaku, dan bagaimana kita melihat dunia dan diri kita dan orang lain di dunia

termasuk hubungan kita dengan orang lain, tempat lain, benda lain, dan peristiwa

lain). Orientasi dari rasa akan diri atau konsep diri terbentuk karena adanya

pikiran, perasaan yang dipengaruhi oleh rasa keberadaan dirinya. Contohnya

adalah individu yang menyayangi anaknya maka rasa cinta dan kasih sayang

kepada anak dengan sendirinya muncul atau dimiliki individu tersebut. Tindakan

yang terwujud dari individu tersebut adalah melakukan apapun untuk anaknya dan

berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik.

Orientasi yang terbentuk juga tidak lepas dari pengaruh pengalaman yang

dialami individu beserta nilai budaya yang membentuk konsep diri. Dalam

pembentukan, ada proses internalisasi dari significant others karena menurut

Combs, dkk dalam Elkins (1979) significant others merupakan sosok penting

yang dalam pembentukan konsep diri individu lebih banyak melihat sosok penting

daripada sosok tidak penting. Dalam orientasi, pengalaman buruk yang diperoleh

dan bersama-sama dengan internalisasi nilai menjadi bahan pembelajaran guna

menjadikan individu mampu melakukan the redemptive self.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana konsep diri perempuan Jawa

(29)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri perempuan Jawa

beserta pembentukan dan orientasinya.

D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang Psikologi Budaya, Psikologi Sosial dan Psikologi

Kepribadian. Penelitian ini memberikan sumbangsih dalam melihat sebuah

konsepsi nilai budaya atau situasi masyarakat tertentu dalam membentuk suatu

konsep diri dan orientasi perempuan yang memiliki latar belakang budaya

tertentu.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memberikan manfaat yaitu hasil penelitian ini dapat

memberikan deskripsi yaitu berupa pemaparan mengenai bagaimana pembentukan

dan bagaimana orientasi kehidupan berdasarkan konsep diri yang ada sebagai

(30)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini yaitu pada bab tinjauan pustaka, peneliti akan memaparkan

teori-teori yang menjadi bahan tinjauan untuk penelitian. Pengertian perempuan

Jawa, pengertian konsep diri, bagaimana masyarakat Jawa beserta kaidahnya,

arketipe yang ada dalam diri, dan juga tinjauan kepustakaan dari dinamika

bagaimana pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa yang akan

dibahas dalam penelitian akan dipahami sebagai landasan pengetahuan dalam

memahami konteks penelitian.

A. Pengertian Perempuan Jawa

Istilah perempuan lebih pas dalam membahas penelitian ini daripada kata

wanita walaupun banyak buku yang menggunakan kata wanita. Kata “wanita

berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah

sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa,

wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu

akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan tergantung

kepada orang lain yang mengaturnya (Handayani, 2008).

Ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar dalam Handayani (2008) juga

mengungkapkan bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan tapa

(menderita). Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk

(31)

perempuan Jawa yang berpuasa demi keberhasilan anaknya dalam menghadapi

ujian. Contoh lainnya yaitu ada juga perempuan Jawa yang rela tidak makan yang

penting anaknya dapat makan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka lebih pas

menggunakan istilah perempuan daripada istilah wanita dalam penelitian ini

karena dalam penelitian ini sosok perempuan dilihat sebagi subjek yang menjadi

pemain utama. Kata “perempuan” dipilih karena kata dasar perempuan adalah

“empu” yang berarti guru yang bermakna dihargai dan dihormati (Handayani,

2008). Penelitian ini ingin menunjukkan sosok perempuan yang dihormati dan

berperan.

Karakter perempuan Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti

bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, tidak suka konflik, mementingkan

harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami

orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi / terkontrol, daya tahan untuk

menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia / loyalitas tinggi.

Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit

sekalipun (Handayani, 2008).

Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam

masyarakat Jawa, terutama yang paling terlihat konsepsi paternalistik dalam

keluarga yang dimana wanita Jawa menjadi istri dengan istilah konco wingking.

Konco wingking yaitu menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu

lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan (Handayani, 2008).

Seorang perempuan tidak selalu menjadi seorang istri akan tetapi dalam

(32)

berhubungan dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan

masyarakat yang muncul bahwa seorang perempuan akan menjadi pembicaraan

publik apabila belum menikah. Contohnya adalah berkembangnya istilah perawan

tua dalam masyarakat yang dilekatkan pada perempuan yang sudah berumur tetapi

belum menikah. Istilah untuk peran perempuan atau wanita Jawa sebagai istri

adalah garwa selain istilah konco wingking. Konsepsi garwa (istri) bukan sekedar

konco wingking, melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan

jiwa / separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberi

gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada kanca wingking. Karena

suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah

separo dari satu entitas (Handayani, 2008).

Dalam keluarga walaupun suami istri adalah dua yang telah menjadi satu,

akan tetapi suami atau bapak bagi anak-anaknya adalah tetap kepala keluarga

yang mencari nafkah yang tetap harus dihormati. Namun dalam berjalannya

kehidupan keluarga, istri atau ibu yang lebih berperan dalam keluarga. Ibu adalah

pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, dan cukup menentukan

dalam pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan

sekolah, pekerjaan, pilihan suami atau istri bagi anak-anaknya. Pada saat-saat

kritis, kesulitan ekonomi, bencana, alam, dan sebagainya biasanya ibulah yang

mempertahankan keluarganya (Handayani, 2008).

Y. B. Mangunwijaya dalam Genduk Duku mengatakan bahwa kejayaan

suami tergantung dari bagaimana ia dapat belajar dari istrinya (bersedia dibenahi

(33)

suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam

kesulitan. Cancut tali wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan

sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis untuk

menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan

mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh, tapi juga dalam

pelaksanaannya (Handayani, 2008).

Berkaitan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin seorang

perempuan atau wanita Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara

normatif istri tidak boleh melebihi suami (Handayani, 2008). Contohnya adalah

jika seorang perempuan Jawa ingin bekerja sebisa mungkin untuk tidak bekerja

karena dalam budaya Jawa bermaksud menghormati laki-laki yang dimana dalam

budaya Jawa berkembang patriarkisme. Seandainya memang tampil dalam sektor

publik tetapi tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap menjaga

kehormatan suaminya. Sebisa mungkin tidak menyakiti kehormatan suaminya

sebagai laki-laki.

Selain itu konsep Jawa swarga nunut, neraka katut dimaknai kembali oleh

perempuan atau wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri adalah cerminan

kepribadian, keberhasilan, bukan kegagalannya sendiri sehingga istri berusaha

keras supaya garis hidup suami baik (swarga) (Handayani, 2008). Maksudnya,

istri menjadi pendukung suaminya dalam menjalani kehidupan. Istri berada di

belakang siap medukung setiap keputusan suaminya. Istilah barunya yang sedang

populer adalah “dibalik laki-laki hebat ada peran perempuan atau wanita

(34)

Walaupun perempuan atau wanita Jawa menghargai suami atau kaum

laki-laki dan tetap tidak bertindak melebihi laki-laki-laki-laki tetapi perempuan atau wanita

Jawa juga dapat memperoleh kekuatan atau otoritas dalam hidupnya. Strategi

yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” (pasif) dan memakai cara

halus, tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah

mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang. Sikap ini dikenal

dengan konsep menang tanpa ngasorake (Handayani, 2008). Cara halus ini

digunakan perempuan atau wanita Jawa sehingga tidak menyakiti perasaan orang

lain melainkan sebaliknya orang merasa dimengerti dan diterima, dengan begitu

orang tersebut akan menyerah dengan sadar.

Perempuan Jawa yang dididik dalam kultur Jawa mampu mempengaruhi

dunia privat dan kebijakan publik justru karena kecerdasan emosional dan

kekuatan femininnitasnya. Perempuan Jawa dididik untuk selalu memiliki

kesadaran diri melalui kontrol emosi dalam dirinya. Kesadaran diri dalam

mengontrol emosi yang muncul membuat perempuan atau wanita Jawa menjadi

cukup trampil untuk mengambil posisi yang tepat dalam kondisi sosial tanpa

mengganggu harmoni yang ada (Handayani, 2008).

B. Konsep Diri 1. Identitas

Berdasarkan Erik H. Erikson (1950, 1968) bahwa identitas yang termasuk

dalam 8 tahap perkembangan manusia adalah menjadi prasyarat untuk masuk ke

(35)

fase remaja dimana memiliki keingintahuan yang besar terhadap hal baru

sehingga banyak melakukan hal-hal baru yang membantunya menemukan

identitas. Akan tetapi dalam pencarian identitas ini remaja dapat menemui

masalah yaitu kebingungan peran. Setiap tahap perkembangan Erikson perlu

dilalui agar dapat menjadi individu seutuhnya. Jadi, permasalahan dalam

pencarian identitas yaitu kebingungan peran perlu diselesaikan sebelum menuju

ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Biasanya remaja untuk menyelamatkan diri

mereka untuk sementara waktu mereka mengidentifikasikan diri secara berlebihan

dengan pahlawan kelompok atau massa (Erikson, 1989).

Identitas juga menjadi bagian dari konstruksi peran sosial. Berdasarkan

analisis yang dilakukan Deux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (1995) dalam Millon &

Lerner, (2003) menghasilkan 5 tipe identitas sosial yaitu, relationship (suami,

saudara), vocational or avocational role (guru), political affiliation (negarawan,

pejuang feminis), stigmatized identity (orang yang tidak punya rumah, orang

gemuk), dan religion or ethnicity (Jewish, Hispanic (dalam budaya Indonesia

dapat diganti dengan istilah orang Katolik, orang Jawa)). Peran identitas di atas

yang merupakan hasil dari budaya dan sosial juga mengungkapkan dimensi

interpersonal dari kepribadian seseorang.

Teori identitas sosial (e.g., Tajfel, 1982; Tajfel & Turner, 1979; Turner,

1982 dalam Millon & Lerner, 2003) mengatakan bahwa konsep diri mengandung

atribut personal dan sosial. Harga diri biasanya fokus pada atribut personal, tetapi

keanggotaan dalam kelompok juga penting. Harga diri kolektif (merasa suatu

(36)

(Luhtanen & Crocker, 1992 dalam Millon & Lerner, 2003). Kemudian harga diri

tidak hanya personal tetapi juga evaluasi diri dalam kelompok di mana individu

berada.

2. Definisi Konsep Diri

Roger (Patterson dalam Elkins, 1979) mengatakan bahwa konsep diri

didefinisikan sebagai :

“the organized, consistent conceptual Gestalt composed of characteritics of the ‘I’ or ‘me’ and the perceptions of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to others and to various aspects of life, together with the value attached to these perceptions.”

Jadi konsep diri merupakan konsep Gestalt yang konsisten dan terorganisir

yang terdiri dari ciri ‘I’ atau ‘me’ dan persepsi hubungan dari ‘I’ atau ‘me’ kepada

orang lain dan berbagai aspek kehidupan lain yang bersama-sama dengan nilai

melekat pada persepsi ini. Sedangkan Combs, dkk dalam Elkins (1979)

menyebutkan “The self concept is meant all those aspects of the perceptual field

to which we refer when we say ‘I’ or ‘me’” yang berarti konsep diri adalah semua

aspek persepsi dimana kita lebih menggunakan “I” or “me”. Konsep diri hanya

mencakup persepsi tentang diri yang tampaknya paling vital atau penting bagi

individu sendiri (Comb dan Snygg, 1959). Patterson dalam Elkins (1979)

menyatakan bahwa beberapa teoritisi melihat ‘me’ berarti the self as object atau

sering disebut konsep diri dan ‘I’ berarti the self as subject atau sering disebut

ego.

William D. Brooks (1974) mendefinisikan konsep diri adalah

persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis dari diri kita yang berasal dari pengalaman

(37)

konsep diri sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri, seluruh

kepercayaan yang kompleks dan sikap yang dipegang tentang diri.

Sedangkan menurut Allport dalam Schultz (1991) menyebutkan seorang

psikolog humanistik mengubah konsep diri menjadi istilah proprium. Proprium

menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang yang

terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi

seorang individu, segi-segi yang menentukan seseorang sebagai yang unik.

Contohnya, individu yang sabar menghadapi anak kecil yang nakal adalah

keunikan yang tidak semua orang miliki. Rogers (Patterson dalam Elkins, 1979)

menganggap konsep diri menjadi kesadaran seseorang, sedangkan diri mungkin

termasuk aspek-aspek ketidaksadaran. Contohnya, seorang individu yang

menyadari dirinya adalah seorang yang memiliki perhatian pada anak merupakan

konsep diri yang dimiliki sedangkan siapa sesungguhnya diri berada dalam

ketidaksadaran.

Konsep diri menurut psikolog persepsi adalah organisasi persepsi tentang

diri individu untuk menjadi siapa dirinya. Itu terdiri dari ribuan persepsi yang

berbeda-beda dalam hal kejelasan, presisi, dan pentingnya dalam perekonomian

seseorang (Combs, dkk dalam Elkins, 1979). Contohnya, seorang individu yang

mampu memahami orang lain, individu yang mampu melihat kekurangan dan

kelebihan diri, individu yang mampu memahami bahwa dirinya dan orang lain itu

berbeda.

Bagi Epstein (1973) dalam memahami konsep diri adalah :

(38)

individual, and it is part of a broader theory which he holds with respect to his entire range of significant experience.”

Jadi konsep diri adalah sebuah teori tentang diri. Itu adalah sebuah teori bahwa

individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai sebuah pengalaman,

individu yang berfungsi, dan itu adalah bagian dari teori yang lebih luas dimana

diri memegang seluruh pengalaman yang signifikan.

3. Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri itu terbentuk dari pengalaman interaksi dengan dunia. Combs,

dkk dalam Elkins (1979) mengatakan bahwa orang-orang belajar siapa dirinya dan

menjadi seperti apa dirinya dari cara mereka diperlakukan oleh orang-orang

penting yang ada disekitar mereka yang biasa disebut significant others.

Sedangkan mempelajari sedikit dari orang yang tidak penting.

Cooley (1902) dalam Millon & Lerner (2003) berargumen bahwa konsep

diri terdiri dari bayangan dari kehadiran kita bagi orang lain, bayangan penilaian

orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Perlu

adanya gambaran dari orang lain tentang diri sebagai cermin atau kaca bagi

individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya

sehingga dapat menilai dirinya sendiri.

4. Konsep Diri Positif dan Negatif

Menurut Brooks dan Emmert (1976) dalam Rakhmat (1985) ada tanda -

tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu mereka peka pada kritik yang

diberikan pada dirinya. Mereka akan langsung tahu jika ada yang mengkritik

dirinya. Mereka juga responsif dalam setiap kali menerima pujian dari orang lain.

(39)

menghadapai kompetisi, dan memiliki sikap hiperkritis. Sikap hiperkritis

merupakan sikap yang selalu mengalah, mencela atau meremehkan apa pun dan

kepada siapa pun. Orang yang memiliki sikap hiperkritis tidak pandai dan tidak

sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

Diri orang dengan konsep diri negatif yang seperti itu membuat mereka merasa

cenderung tidak disenangi oleh orang lain.

Sebaliknya, ada tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif yaitu

mereka yakin dengan kemampuannya dalam mengatasi masalah. Mereka merasa

setara dengan orang lain. Walaupun begitu mereka juga mampu menyadari bahwa

setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak

seluruhnya disetujui masyarakat. Mereka juga mau menerima pujian tanpa rasa

malu, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

D. E. Hamacheck dalam Rakhmat (1985) juga menyebutkan karakteristik

orang yang mempunyai konsep diri positif yaitu mereka meyakini nilai-nilai dan

prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi

pendapat kelompok yang kuat. Mereka peka pada kebutuhan orang lain, pada

kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia

tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Mereka mampu

bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang

berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

Hal tersebut dikarenakan mereka merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia

(40)

latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka cenderung

menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

Karakteristik yang lain yaitu mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak

perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi

waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Mereka memiliki

keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia

menghadapi kegagalan atau kemunduran. Hal ini dikarenakan mereka sanggup

menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling

tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

Karakteristik lain orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka

mampu menyadari perasaan yang ada dalam dirinya. Mereka dapat menerima

pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa

bersalah. Di sisi lain, mereka sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia

mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai

cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai

kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh

dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang

kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.

5. Arketipe Dalam Pembentukan Konsep Diri

Arketipe adalah gambaran kuno yang berasal dari ketidaksadaran kolektif.

Arketipe mempunyai dasar biologis tetapi asalnya terbentuk melalui pengulangan

pengalaman dari para leluhur manusia (Feist & Feist, 2006). Arketipe ini bersama

(41)

Bentuk-bentuk dari arketipe menurut Jung (Feist & Feist, 2006) ada

beberapa yaitu, persona yang merupakan sisi kepribadian yang ditunjukkan

kepada dunia. Persona ini sama dengan pemakaian topeng oleh pemain dalam

pentas panggung. Jung percaya bahwa setiap manusia terlibat dalam peranan

tertentu yang dituntut oleh sosial agar diterima di masyarakat, akan tetapi jika

seseorang terlalu identik dengan persona mereka maka akan kehilangan inner self

dan akan lebih cenderung memenuhi lingkungan sosial. Kebalikan dari bentuk

arketipe persona yaitu bayangan (shadow) yang merupakan akretipe dari

kegelapan dan represi. Bentuk arketipe ini menggambarkan kualitas-kualitas yang

tidak diakui keberadaannya serta berusaha disembunyikan keberadaannya dari diri

sendiri dan orang lain.

Bentuk arketipe yang lain adalah anima dan animus yang masing-masing

dimiliki laki-laki dan perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki laki-laki yaitu

anima karena anima merupakan sisi feminin dari laki-laki yang terbentuk dalam

ketidaksadaran kolektif dan menetap di kesadaran. Jung percaya bahwa anima

terbentuk dari pengalaman laki-laki dengan perempuan (ibu, saudara, orang yang

dicintai) yang digabungkan untuk membentuk gambaran umum mengenai

perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki perempuan adalah animus karena

animus merupakan arketipe maskulin pada perempuan. Animus adalah simbol

berpikir dan berlogika. Jung percaya bahwa animus bertanggung jawab untuk

berpikir dan berpendapat pada perempuan.

Bentuk arketipe lain yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang

(42)

man. Great mother menampilkan dua dorongan yang berlawanan yaitu kesuburan

dan pengasuhan di satu sisi dan di sisi lain adalah kekuatan dan menghancurkan.

Sedangkan wise old man (orang tua yang bijak) merupakan arketipe dari

kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan

misteri kehidupan.

Arketipe berikutnya merupakan arketipe yang menggambarkan diri

individu yaitu hero dan self. Hero (pahlawan) merupakan arketipe yang

direpresentasikan dalam mitologi dan legenda sebagai seseorang yang sangat kuat.

Pahlawan dilihat sangat memukau seperti yang ada di TV, buku, dan film.

Gambaran seperti itu dilihat juga sebagai model gambaran kepribadian yang ideal.

Sedangkan arketipe self adalah arketipe dari semua arketipe karena semua

arketipe bergabung menjadi satu dan bergabung dalam proses realisasi diri. Self

sebagai arketipe disimbolkan sebagai ide seseorang akan kesempurnaan,

kelengkapan, dan keutuhan. Self terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran pikiran

dan hal tersebut menyatukan elemen-elemen yang saling bertentangan dari psike

(kekuatan laki-laki dan perempuan, kebaikan dan kejahatan, serta terang dan

gelap).

C. Jawa 1. Masyarakat Jawa

Yang disebut orang Jawa adalah orang yang yang bahas ibunya adalah

bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian

(43)

dikarenakan bahas Jawa banyak dijumpai di Pulau Jawa bagian Tengah dan

Timur.

Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan antara para penduduk

pesisir yang kuat dengan pengaruh budaya Islam yang menghasilkan budaya Jawa

yang khas yaitu kebudayaan pesisir dan daerah-daerah Jawa pedalaman sering

disebut juga “kejawen” yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan

Surakarta dan Yogyakarta (Suseno, 1984). Yogyakarta dan Surakarta disebut kota

kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman

sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.

Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial yaitu yang pertama

adalah wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan

mereka yang berpendapat rendah di kota. Kedua yaitu kaum priyayi, kaum priyayi

di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kaum priyayi

adalah pembawa kebudayaan kota Jawa tradisional yang mencapai tingkat

sempurna di kraton Yogyakarta dan Surakarta (Suseno, 1984).

Ritus religius sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen adalah

slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana, semua tetangga harus

diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan

kembali. Dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam

oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggan, dan kerukunan (Suseno,

1984).

(44)

2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa

Hildred Geertz dalam Magnis Suseno (1984) menjelaskan ada dua kaidah

yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu yang

pertama adalah prinsip kerukunan, setiap situasi manusia hendaknya bersikap

sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Berlaku rukun berarti

menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara

pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.

Selain itu, berlaku rukun juga berarti bahwa orang sanggup untuk membawa diri

dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat. Keadaan rukun terdapat di mana

semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama,

saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Jadi prinsip kerukunan tidak

berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi,

melainkan merupakan suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan

kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok.

Banyak cara dan bentuk untuk menjaga kerukunan. Suatu cara agar terjadi

kerukunan biasanya menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan,

bahkan kalau perlu untuk melepaskan kepentingan-kepentingannya pribadi demi

kesepakatan bersama. Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma

kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa

menimbulkan konflik. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa agar

menjaga kerukunan adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak

enak secara tidak langsung. Suatu teknik lain yang merupakan norma kelakuan

(45)

untuk berpura-pura. Berpura-pura atau dalam bahasa Jawa ethok-ethok berarti

bahwa tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya

terutama perasaan negatif yang dapat merusak kerukunan. Teknik lain yang

merupakan norma agar menjaga kerukunan adalah menjaga tata krama yang

menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi, dan bentuk suatu pembicaraan.

Dalam berbahasa diharapkan menggunakan bahasa Jawa krama karena dengan

menggunakan bahasa krama berarti ada rasa hormat kepada orang lain yang diajak

berbicara sehingga dapat membantu menjaga kerukuan (Suseno, 1984).

Bentuk dan cara lain untuk menjaga kerukunan adalah dengan praktek

gotong royong yang ada di masyarakat. Praktek gotong royong dimaksud ada dua

macam pekerjaan yaitu saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi

kepentingan seluruh desa (Suseno, 1984). Menurut Kontjaraningrat dalam Suseno

(1984) ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong

yaitu pertama orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia

selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk

memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu

bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus bersifat konform, artinya

orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha menonjol, melebihi

yang lain dalam masyarakatnya.

Kaidah dasar yang kedua adalah prinsip hormat. Manusia dalam cara

bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,

sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat berdasarkan pendapat,

(46)

keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang

wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya.

Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh

kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk

menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus

memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan

dengan dia. Alasan utama mengapa setiap pembicaraan antara dua orang Jawa

dengan sendirinya mengandaikan suatu penentuan perimbangan sosial terletak

dalam struktur bahasa Jawa sendiri. Bahasa Jawa terdiri dari dua tingkat utama

yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Yang satu, bahasa krama yang

mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya mengungkapkan

keakraban yaitu bahasa ngoko.

D. Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi

Significant others merupakan salah satu media dalam pembentukan konsep

diri sesorang karena significant others adalah sosok terdekat dalam berinteraksi.

Significant others menjadi simbol dari nilai-nilai yang ada karena nilai-nilai yang

ada tersebut dibawa significant others melalui cerita dari interaksi yang ada.

Nilai-nilai tersebut yang diimani dalam pencarian identitas. Hal tersebut memiliki

kesamaan dengan tradisi budaya Jawa yang banyak mengunakan simbolisasi.

Significant others atau orang terdekat hanya sebagai media penyalur untuk

(47)

Pengalaman seseorang berinteraksi dengan significant others adalah

pengalaman memperoleh cerita yang berisi aneka nilai-nilai. Bentuk nilai-nilai ini

adalah suatu arketipe dalam diri manusia yang akan membantu membentuk

kepribadian identitas seseorang dalam ketidaksadarannya. Arketipe yang

dinarasikan turun temurun menjadi kekuatan dari suatu cerita. Sesuai dengan

pendapat Ganz, 2011 dalam artikel yang ditulis dalam The Annual Meeting of the

American Sociological Association di Anaheim, California menuliskan,”Story telling is central to social movements because it construct agency, shapes identity, and motives action.” Dapat diartikan cerita adalah pusat dari pergerakan sosial

karena cerita membangun suatu pandangan, bentuk identitas, dan motif dari

perilaku. Selain itu Davis juga menyebutkan, “Stories do not just configure the past in light of the present and future, they also create experiences for and request certain responses from their audience.” Jadi cerita tidak hanya menyusun masa

lalu dalam masa kini dan masa depan, cerita juga membangun pengalaman baru

dan mengharapkan respon tertentu dari para pendengar. Dari cerita-cerita yang

diperoleh mampu mempengaruhi konsep dirinya yang dirasakan dan dapat

membuat berfikir untuk bertindak ke depannya.

Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang di masyarakat Indonesia

terutama di Jawa menjadi makhluk yang jarang diperbincangkan perannya secara

mandiri, mereka lebih cenderung dibicarakan di bawah bayang laki-laki. Adanya

budaya patriarkisme yang berkembang di sistem masyarakat Indonesia

menyebabkan masyarakat lebih sering membicarakan peran laki-laki secara lebih

(48)

perempuan yang pastinya memiliki latar belakang dan pengalaman yang

berbeda-beda. Informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan

perempuan Jawa karena bagi peneliti perempuan Jawa merepresentasikan

perempuan Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan dalam buku On the

Subject of “Java” karya Pamberton (1994) dijelaskan adanya peran budaya Jawa

yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya

pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut

menjadi gambaran umum diri Indonesia.

Perempuan Jawa secara nilai budaya Jawa merupakan perempuan yang

dididik dengan budaya Jawa, memiliki nilai-nilai budaya Jawa serta adanya

pandangan tradisi mengenai perempuan bahwa perempuan Jawa adalah

perempuan yang halus, sopan, menjaga harmoni, menjunjung tinggi keluarga,

memiliki kesetiaan yang tinggi, dan memiliki sikap pengorbanan yang besar

(Handayani, 2008). Pandangan tradisi kepada perempuan Jawa tersebut muncul

dikarenakan adanya prinsip masyarakat Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap

hormat. Nilai-nilai Jawa yang sudah dikenal sejak kecil tersebut tidak akan mudah

hilang seiring dengan waktu walaupun budaya itu bersifat dinamis dapat berubah

seiring waktu.

Dalam penelitian, kedudukan perempuan Jawa yang sudah menikah

menjadi fokus dalam penelitian ini karena dalam budaya Jawa sistem patriarkisme

sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seperti yang ditulis

Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang

(49)

dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam

masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak

dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Selain itu dalam

pernikahan kompleksitas hidup manusia juga sudah terlihat. Perempuan tidak

dilihat lagi sebagai individu sendirian melainkan dia sudah mendapat sebutan baru

yaitu istri atau garwa atau konco wingking dalam budaya Jawa yang memiliki

tanggung jawab suami dan anaknya. Di dalam budaya Jawa, istri diharapkan

memiliki konsep cancut tali wanda dan swarga nunut, neraka katut agar

mendukung dan membawa kejayaan suami karena konsep perempuan dalam

budaya Jawa adalah perempuan tidak boleh melebihi laki-laki sehingga yang

dapat dilakukan perempuan adalah menjadi pendukung laki-laki (Handayani,

2008).

Adanya labelling atau stereotipe budaya Jawa terhadap perempuan

tersebut membuktikan betapa budaya atau kultur memberi pengaruh yang besar

terhadap konsep wanita atau perempuan itu sendiri. Setiap budaya memiliki

konsep tentang wanita atau perempuan yang berbeda-beda. Pengaruh kultural dan

pedagogis itu diarahkan pada perkembangan pribadi wanita atau perempuan

menurut suatu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian

disesuaikan dengan bakat serta kemampuan wanita atau perempuan, dan sebagian

lagi disesuaikan dengan pendapat-pendapat umum atau tradisi menurut

kriteria-kriteria feministis tertentu (Kartini Kartono, 2006). Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan mengenai pengaruh budaya,

(50)

perceptions, memory, logical reasoning, aggression, child rearing, developmental processes (such as the acquisition of language), and mental illness” (Carl Ratner, 2002)

yang berarti psikolog budaya simbolik menunjukkan bahwa konsep budaya

memberitahu konten yang spesifik dan modus operasi emosi, persepsi, memori,

penalaran logis, agresi, membesarkan anak, proses perkembangan (seperti akuisisi

bahasa), dan penyakit mental. Selain itu budaya juga memiliki pengaruh bagi

konsep diri langsung seperti yang disebutkan oleh Carl Ratner (2002) bahwa

Cultural psychologists have investigated the manner in which cultural concepts

serve as filters that mediate perception, memory, self concept, and other psychological phenomena” yang berarti bahwa psikolog budaya telah menyelediki

cara dimana konsep budaya berfungsi sebagai penyaring yang memediasi

persepsi, memori, konsep diri, dan fenomena psikologis lainnya.

Dari paparan di atas maka konsep-konsep atau nilai-nilai yang ada dalam

budaya Jawa dapat mempengaruhi bagaimana konsep diri dan konsep perempuan

juga. Terutama adanya dua prinsip yang dipegang budaya Jawa yaitu menjaga

kerukunan dan sikap hormat dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri

perempuan Jawa.

Adanya konsep diri atau rasa akan diri yang dipaparkan dalam bentuk

cerita kehidupan kemudian menentukan bagaimana diri akan bersikap. Cerita

kehidupan ini berada di sini dan sekarang sebagai internalisasi dan sebagai

perkembangan narasi diri yang menggambarkan bagaimana individu di sini dan

sekarang memahami siapa dirinya sekarang, sebelumnya, dan menjadi apa di masa

(51)

dan perasaan perempuan Jawa sehingga menggerakkan dan memunculkan

orientasi, sikap dan tindakan yang akan dilakukan. Dalam orientasi, pengalaman

yang membentuk konsep diri menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan diri

perempuan Jawa yang mampu melakukan the redemptive self.

Interaksi

Gambar. 1

Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi

Significant others

Narasi

Budaya Jawa

Konsep

(52)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab metode penelitian ini, peneliti akan memaparkan metode

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Paradigma dan pendekatan

penelitian, fokus penelitian, prosedur penelitian, serta analisis data yang

digunakan akan membantu memahami alur berfikir penelitian ini.

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Suatu pengalaman adalah guru terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak

ada manusia di dunia ini yang tidak mengalami suatu pengalaman dalam

hidupnya. Setiap manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang satu

dengan yang lainnya karena setiap manusia adalah unik. Bagaimana manusia

memandang dan memaknai setiap pengalamannya juga unik, tidak ada yang sama,

namun dapat memiliki tema yang sama.

Banyak perempuan Jawa yang dijumpai peneliti selama ini, baik itu

tetangga maupun orang terdekat peneliti. Setiap kali peneliti menjumpai atau

berdinamika relasi bersama, peneliti menemukan pengalaman yang berbeda-beda

dan unik dari setiap kehidupan yang dimiliki para perempuan Jawa baik itu

perempuan Jawa di desa maupun perempuan Jawa di kota. Selain adanya

keunikan dalam setiap pengalaman perempuan Jawa yang kental dan khas

budayanya, ada pola kesamaan yang terbentuk dalam memandang dirinya beserta

Gambar

Gambar. 2. Skema Proses Penelitian yang Dilakukan .......................................
Gambar. 1  Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa :  Pembentukan dan
Gambar. 2 Skema Proses Penelitian yang Dilakukan
Gambar. 3 Dinamika Konsep Diri Perempuan Jawa

Referensi

Dokumen terkait

uji keabsahan data. Hasil penelitian menunjukkan konsep diri serta profil perempuan lansia pensiunan 1) Informan Wg memiliki konsep diri positif; serta profil jarang

Seperti mahasiswa luar Jawa, dengan berada dilingkungan yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya akan mengalami perubahan serta perkembangan pada konsep dirinya,

Ada hubungan positif antara citra tubuh ( body image) dengan konsep diri yang dimiliki oleh perempuan dewasa awal. Semakinpositif konsep

Orientasi masa depan orang tua Jawa terhadap anak perempuan merupakan proses motivasional yang kompleks terkait dengan masa perkembangan orang tua itu sendiri dan

Cerita-cerita dalam wayang kulit Jawa sangat kental dengan budaya patriarki, munculnya beberapa dalang perempuan diharapkan dapat menafsirkan kembali dan memodifikasi cerita

Berdasarkan pernyataan tersebut, konsep diri pada seseorang khusunya pada hal ini adalah perempuan penari striptis menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena menurut

Hasil dari penelitian ini adalah aku sebagai perempuan yang hidup dalam keluarga patriarki memiliki pandangan yang berbeda mengenai perempuan.. Proses rekonstruksi diri yang aku jalani,

Berdasarkan data dari 100 pengusaha perempuan UMKM Kota Semarang yang dianalisis dengan menggunakan SPSS, hasil studi menunjukkan bahwa budaya jawa berpengaruh terhadap orientasi