BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perempuan Jawa
Istilah perempuan lebih pas dalam membahas penelitian ini daripada kata
wanita walaupun banyak buku yang menggunakan kata wanita. Kata “wanita”
berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah
sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa,
wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu
akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan tergantung
kepada orang lain yang mengaturnya (Handayani, 2008).
Ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar dalam Handayani (2008) juga
mengungkapkan bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan tapa
(menderita). Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk
perempuan Jawa yang berpuasa demi keberhasilan anaknya dalam menghadapi
ujian. Contoh lainnya yaitu ada juga perempuan Jawa yang rela tidak makan yang
penting anaknya dapat makan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka lebih pas
menggunakan istilah perempuan daripada istilah wanita dalam penelitian ini
karena dalam penelitian ini sosok perempuan dilihat sebagi subjek yang menjadi
pemain utama. Kata “perempuan” dipilih karena kata dasar perempuan adalah
“empu” yang berarti guru yang bermakna dihargai dan dihormati (Handayani, 2008). Penelitian ini ingin menunjukkan sosok perempuan yang dihormati dan
berperan.
Karakter perempuan Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti
bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, tidak suka konflik, mementingkan
harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami
orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi / terkontrol, daya tahan untuk
menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia / loyalitas tinggi.
Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit
sekalipun (Handayani, 2008).
Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam
masyarakat Jawa, terutama yang paling terlihat konsepsi paternalistik dalam
keluarga yang dimana wanita Jawa menjadi istri dengan istilah konco wingking.
Konco wingking yaitu menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu
lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan (Handayani, 2008).
Seorang perempuan tidak selalu menjadi seorang istri akan tetapi dalam
berhubungan dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan
masyarakat yang muncul bahwa seorang perempuan akan menjadi pembicaraan
publik apabila belum menikah. Contohnya adalah berkembangnya istilah perawan
tua dalam masyarakat yang dilekatkan pada perempuan yang sudah berumur tetapi
belum menikah. Istilah untuk peran perempuan atau wanita Jawa sebagai istri
adalah garwa selain istilah konco wingking. Konsepsi garwa (istri) bukan sekedar
konco wingking, melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan
jiwa / separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberi
gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada kanca wingking. Karena
suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah
separo dari satu entitas (Handayani, 2008).
Dalam keluarga walaupun suami istri adalah dua yang telah menjadi satu,
akan tetapi suami atau bapak bagi anak-anaknya adalah tetap kepala keluarga
yang mencari nafkah yang tetap harus dihormati. Namun dalam berjalannya
kehidupan keluarga, istri atau ibu yang lebih berperan dalam keluarga. Ibu adalah
pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, dan cukup menentukan
dalam pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan
sekolah, pekerjaan, pilihan suami atau istri bagi anak-anaknya. Pada saat-saat
kritis, kesulitan ekonomi, bencana, alam, dan sebagainya biasanya ibulah yang
mempertahankan keluarganya (Handayani, 2008).
Y. B. Mangunwijaya dalam Genduk Duku mengatakan bahwa kejayaan
suami tergantung dari bagaimana ia dapat belajar dari istrinya (bersedia dibenahi
suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam
kesulitan. Cancut tali wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan
sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis untuk
menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan
mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh, tapi juga dalam
pelaksanaannya (Handayani, 2008).
Berkaitan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin seorang
perempuan atau wanita Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara
normatif istri tidak boleh melebihi suami (Handayani, 2008). Contohnya adalah
jika seorang perempuan Jawa ingin bekerja sebisa mungkin untuk tidak bekerja
karena dalam budaya Jawa bermaksud menghormati laki-laki yang dimana dalam
budaya Jawa berkembang patriarkisme. Seandainya memang tampil dalam sektor
publik tetapi tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap menjaga
kehormatan suaminya. Sebisa mungkin tidak menyakiti kehormatan suaminya
sebagai laki-laki.
Selain itu konsep Jawa swarga nunut, neraka katut dimaknai kembali oleh
perempuan atau wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri adalah cerminan
kepribadian, keberhasilan, bukan kegagalannya sendiri sehingga istri berusaha
keras supaya garis hidup suami baik (swarga) (Handayani, 2008). Maksudnya,
istri menjadi pendukung suaminya dalam menjalani kehidupan. Istri berada di
belakang siap medukung setiap keputusan suaminya. Istilah barunya yang sedang
populer adalah “dibalik laki-laki hebat ada peran perempuan atau wanita
Walaupun perempuan atau wanita Jawa menghargai suami atau kaum
laki-laki dan tetap tidak bertindak melebihi laki-laki-laki-laki tetapi perempuan atau wanita
Jawa juga dapat memperoleh kekuatan atau otoritas dalam hidupnya. Strategi
yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” (pasif) dan memakai cara
halus, tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah
mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang. Sikap ini dikenal dengan konsep menang tanpa ngasorake (Handayani, 2008). Cara halus ini
digunakan perempuan atau wanita Jawa sehingga tidak menyakiti perasaan orang
lain melainkan sebaliknya orang merasa dimengerti dan diterima, dengan begitu
orang tersebut akan menyerah dengan sadar.
Perempuan Jawa yang dididik dalam kultur Jawa mampu mempengaruhi
dunia privat dan kebijakan publik justru karena kecerdasan emosional dan
kekuatan femininnitasnya. Perempuan Jawa dididik untuk selalu memiliki
kesadaran diri melalui kontrol emosi dalam dirinya. Kesadaran diri dalam
mengontrol emosi yang muncul membuat perempuan atau wanita Jawa menjadi
cukup trampil untuk mengambil posisi yang tepat dalam kondisi sosial tanpa
mengganggu harmoni yang ada (Handayani, 2008).
B. Konsep Diri