• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS

B. Hasil Penelitian

2. Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi

Konsep diri seseorang terbentuk tidak dengan sendirinya dari Tuhan,

melainkan adanya interaksi antara setiap individu dengan individu lain maupun

antara individu dengan lingkungannya. Setiap interaksi yang terjadi memberikan

pengalaman baru bagi individu. Pengalaman terpenting yang terjadi pada

perempuan Jawa yaitu pengalaman adanya interaksi perempuan Jawa dengan

keluarganya terutama dengan orangtuanya. Apa pun yang ada dan berasal dari

orangtua memberikan arti penting bagi diri perempuan Jawa dan

diinternalisasikan ke dalam dirinya.

a. Sisi positif dari orangtua

Setiap orangtua merupakan manusia yang memiliki sisi positif dan negatif

dalam dirinya. Diri orangtua yang seperti apa sangat mempengaruhi bagaimana

orangtua yang gigih mengutamakan segalanya demi kebaikan anaknya terutama

dalam hal pendidikan, hal ini terungkap dalam pernyataan informan.

“Saya dulu semua anak dimanjakan, kepengin les apa dileskan sama orangtua saya.” (L, 693-695)

“dia sih ngomong sendiri nek aku isa pendidikanku lebih bagus supaya bisa mendidik anakku juga lebih bagus gitu.” (C, 916-918)

“... hidupnya untuk anak itu betul-betul berkorban untuk anak, untuk mengantar anak biar besoknya lebih baik dari orangtua, kehidupannya” (S, 496-499)

Pendidikan adalah nomor satu bagaimana pun keadaan ekonomi yang ada.

Menurut informan, orangtua mereka akan berusaha dengan cara apa pun agar anak

memiliki pendidikan.

... dalam kondisi mereka nggak punya pun mereka ya tetep sekolah mboh anake harus berpendidikan meminimalkan ana ndak ana ya diana-anakke ibrata kata, ra ketang anake ana sing bener ana sing ora.” (... dalam kondisi mereka tidak punya pun mereka ya tetap sekolah entah anaknya harus berpendidikan minimal ada atau tidak ada ya diada-adakan ibarat kata, walaupun anaknya ada yang jadi orang benar dan ada yang tidak) (C, 975-979)

Pokoke orangtua itu untuk anak segala-galanya. Apa yang untuk anak dipenuhi, dalam arti untuk pendidikan. Untuk kehidupan anak-anaknya. semuanya. Apa direwangi wong tuwa rekasa. Ibu njahit juga. anaknya dipenuhi semua.” (pokoknya orangtua itu untuk anak

segala-galanya. Apa yang untuk anak dipenuhi, dalam arti untuk pendidikan. Untuk kehidupan anak-anaknya semua. Sampai orangtua bekerja keras. Ibu menjahit juga, anaknya dipenuhi semua) (L, 796-800)

“Waktu itu kan ya masih kekurangan ya. tapi bapak itu nggak malu, bapak saya ya nggak malu bekerja dengan jualan es dari jalan-jalan dengan dorongan seperti itu. nggak malu demi untuk anak-anak menghidupi keluarga. Seperti itu.” (E, 1060 - 1065)

aja nganti anake ki nek sekolah yo terhalang karena nggak punya uang.” (jangan sampai anaknya itu kalau sekolah terhalang karena tidak punya uang) (C, 657-659)

“Pokoknya pendidikannya cuman rendah tapi anaknya itu pokoknya bagaimana caranya harus sekolah gitu. Ya semampunya perekonomian ya.” (S, 682-685)

Selain berusaha memenuhi ekonomi agar anak memiliki pendidikan, menurut

informan orangtua juga berusaha bagaimana pun caranya untuk membantu dan

menemani anaknya belajar sehingga dukungan yang diberikan tidak hanya

dukungan material melainkan juga dukungan secara personal.

“Meskipun tidak bisa membantu anak-anak belajar tapi menemani. Kan misale nggak bisa garap gitu kan nggak bisa tanya gitu ya tapi menemani sampai jam berapapun.” (S, 183-187)

Usaha yang dilakukan orangtua agar anak memperoleh pendidikan tidaklah cukup,

melainkan orangtua juga melakukan hal lain agar anak juga memiliki kesadaran

sendiri. Menurut informan perempuan Jawa, orangtua juga berusaha meyakinkan

anaknya mengenai penting dan perlunya pendidikan.

“Semangatnya membesarkan hati anak-anaknya biar, misale biar tidak minder, biar tetep maju terus meskipun kondisi keluarga susah, kondisi sosialnya di bawah.” (S, 669-672)

“Soale memang dari dulu bapak ngomong ning anak-anak ngapain kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur. Kayak gitu. Jadi

kita menikmati pekerjaan.” (C, 524-528)

Orangtua Jawa bukan hanya merupakan orangtua yang hanya

memprioritaskan pada pendidikan anak melainkan orangtua Jawa juga merupakan

orangtua yang juga masih menyadari adanya ajaran-ajaran agama.

“Yang religius juga dari orangtua yang ngajarin. Bapak ibu itu selalu bangun pagi, berdoa jam 3 pagi, nanti jam 6 doa malaikat Tuhan, nanti jam 12 doa malaikat Tuhan, jam 3 doa kerahiman.” (C, 599 -604)

Orangtua Jawa melihat bahwa usaha tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritual

kepada Tuhan tidak akan berhasil. Kedua kombinasi tersebut dimiliki oleh

orangtua Jawa.

b. Sisi negatif dari orangtua

Orangtua tidak selalu terlihat sempurna tanpa cacat dalam mendidik

anaknya, melainkan ada juga sikap negatif orangtua yang diberikan kepada anak.

Sikap negatif tersebut disadari para informan kurang pas, yaitu sikap untuk nrima

akan apapun. Sikap itu dipandang oleh informan perempuan Jawa merupakan

sikap orangtua yang kurang pas karena akan merugikan diri sendiri juga.

“Aaa.. anu... menurut saya selalu mengajarkan untuk ngalah, nrrima, terus. Dari ngalah, nrima, apa lagi ya.. itu ternyata kalau di betul-betul dipraktekan, ngalah jadi kalah tenan.” (S, 702-706)

Sikap negatif orangtua yang lain adalah menurut informan perempuan

Jawa, orangtua dalam mendidik dengan tegas tanpa basa-basi nilai-nilai yang ada.

Ketegasan ini menurut informan membuat informan menjadi sangat menghormati

orangtua mereka karena mereka ada rasa takut dengan orangtua.

“... Saben abis dinei jarang, jarang sing digodok itu disitu kan makin lama makin dingin terus minum glek glek glek sambil berdiri ndak boleh. Arepa aku wis ngombe okeh wareg njupuk gelas lungguh, kon mbaleni ngombe. Disuruh ngulang tapi sambil duduk nggak boleh sambil berdiri.” (... setiap setelah dikasih air panas, air panas yang

direbus itu di situ kan makin lama makin dingin terus minum glek glek glek sambil berdiri itu tidak boleh. Walaupun aku sudah minum banyak sampai kenyang, ambil gelas terus duduk disuruh mengulang minum. Disuruh mengulang tetapi dengan duduk tidak boleh dengan berdiri) (N, 532-539)

Kekurangan orangtua Jawa yang lain yaitu berperilaku tidak adil kepada

anak-anaknya yang tidak disadari oleh orangtua. Informan perempuan Jawa

lha itu kakakku kuwi padahale sekolahe ya sekolah SKP, tapi ibuku itu nek nggawekke klambi ki ora gelem kok terus dijahit dewe, ibuku njahit dewe itu nggak untuk kakak itu, dijahitke ning nggone cina, nggon modiste. Gitu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku aku kan dadi kakakku perempuan terus kakakku lanang terus aku. Nah kan iki cewek cewek, kan namanya iri kan mesti ana. Eyang ini dibuatkan sendiri dijahit sendiri nganggo mesin ithik-ithik kae. Mesin jaman mbiyen ngene kae. Kan hasilnya beda, namanya yo wong kreatifitase wong mbiyen kae ki kan wes pokoke wes oblong-oblong ngono.” (lha

itu kakakku itu padahal sekolahnya ya sekolah SKP, tapi ibuku itu kalau membuatkan baju tidak mau menjahit sendiri, ibuku itu menjahit sendiri bukan untuk kakak, dijahitkan di tempatnya cina, di modiste. Seperti itu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku, jadi kakakku perempuan kemudian kakaku laki-laki terus aku. Nah kan cewek cewek, kan namanya iri pasti ada. Eyang ini dibuatkan sendiri, dijahitin sendiri pakai mesin jahit jaman dulu itu. Kan hasilnya beda, namanya juga kreatifitasnya orang jaman dulu itu kan yang penting oblong-oblong) (N, 350-364)

“Pernah suatu saat saya pengen sesuatu seperti ini ibu nggak belikan. Itu pernah suatu hari ibu itu pergi ke Bandung, saya minta dibelikan sepatu. Ini peristiwa waktu masih kecil dan saya inget terus, sudah saya kasih ukuran saya pake tali rafia. Bu, ini nanti ukuran sepatu saya. Ternyata yang saya tunggu-tunggu, ibu saya kondur, ini ibu nggak membelikan saya. Justru membelikan kepada tante saya. Nah ini saya sakit hati.” (I, 179 -188)

Sakit hati yang dirasakan hanya dipendam dalam diri perempuan Jawa, mereka

tidak mampu untuk mengatakan kepada orangtua mereka. Adanya ketakutan dan

hormat dengan orangtua yang disiplin menjadi salah satu alasan mereka

melakukan itu.

c. Sistem nilai yang diberikan orangtua

Sistem nilai yang orangtua berikan kepada informan perempuan Jawa

merupakan pengalaman interaksi langsung informan dengan orangtuanya.

Orangtua Jawa mendidik anaknya sistem nilai kedisiplinan dalam hidup, bahkan

“Bapakku itu disiplin ya itu tadi ya disiplin bangun pagi, disiplin kerja menafkahi keluarga” (N, 1274-1276)

bapakku itu wonge disiplin. Disiplin bener-bener disiplin. Kenapa aku bilang disiplin. Dan mengajari sopan satun itu benar-benar. Nek jaman biyen, jaman aku dari kecil wiwit aku ngerti, ngerti maem itu ya. itu yang namanya ibu itu dulu itu ya maklum ya itu pendidikan kolonial ya waktu itu. itu harus bapak dulu didahulukan gitu karena bapak yang mencari nafkah. Anak itu nanti, mbok aku ngeliha sing kaya ngapa tidak boleh sebelum bapakku itu selesai makan. Semua anaknya diperlakukan kecuali yang kecil-kecil gitu memang ya. tapi yang sudah tahu aku bertiga itu itu mbok aku ngelih kalau bapak belum kondur tidak boleh gitu.” (bapakku itu orangnya disiplin.

Disiplin benar-benar disiplin. Kenapa aku bilang disiplin. Dan mengajari sopan santun itu benar-benar. Kalau orang zaman dulu, zaman aku kecil mulai aku mengerti, mengerti makan. Itu yang namanya ibu itu dulu itu ya maklum ya itu pendidikan kolonial waktu itu. itu harus bapak dulu didahulukan karena bapak yang mencari nafkah. Anak itu nanti, walaupun aku lapar yang seperti apa tidak boleh sebelum bapakku itu selesai makan. Semua anaknya diperlakukan kecuali yang kecil-kecil. Tapi yang sudah tahu aku bertiga itu walaupun aku lapar kalau bapak belum pulang tidak boleh seperti itu) (N, 479-494)

“Kita dididik seperti itu, terus dari waktu kita SD itu sudah dibagi tugasnya masing-masing. Tugasnya pagi ya ada yang nyapu ya ada yang ini. terutama ya bapak itu kan disiplin itu aaa.. misalnya naruh barang itu harus dikembalikan ke tempatnya.” (I, 14-19)

“Kerasnya maksudnya jam segini harus tidur, jam segini harus

bangun, gitu. Harus nyapu, dididik suruh nyapu, kalau ke gereja

setengah jam sebelumnya harus udah nyampe ke gereja, ...” (L, 833-837)

Nilai kedisiplinan yang diberikan orangtua tidak hanya dilakukan tanpa

maksud. Orangtua memberikan nilai kedisiplinan juga dengan maksud

menanamkan nilai kemandirian pada anak. Segala apapun yang diinginkan anak

harus dilakukan dengan usaha terlebih dahulu.

“kita dari kecil memang diterapkan sama bapak ibu mandiri semua, jadi kalau misalnya kita itu mau butuh sesuatu itu harus ada apa ya mbak ya namanya, harus ada usaha dulu.” (I, 10-14)

“Dulu saya kayak dulu semua sudah punya kulkas tempat saya nggak punya kulkas gitu terus saya bilang sama bapak, “Pak, kok saru tho

nggak punya kulkas, orang sing maaf ya dibawahnya kita aja bisa beli kulkas, masa kita nggak beli kulkas.” Aku bilang gitu. “Aku mau belikan kamu, tapi kamu harus bisa mengembalikan uang itu.” bilang

gitu. Caranya apa, bekerja cari uang, terus saya bikin es apolo itu terus saya jual.” (L, 713-723)

bapakku ngasih tahu jaman kecil. Kowe nabungo mben dina, sakmene. Mengko bisa nggo tuku apa-apa nek bapak pas ra nduwe duwet ngono jarene.” (bapakku memberi tahu zaman kecil. Kamu

nabung lah setiap hari. Nanti bisa untuk beli apapun kalau bapak sedang tidak punya uang, begitu katanya) (C, 454-457)

kalau ibu dari segi, ini kudu prigel, isa ngapa-apa. Ora mung isa golek duwit. Isa nyambut gawe sing sak wayah-wayah suami ndak ada, kamu bisa bekerja diluar itu.” (kalau ibu dari segi, ini harus

prigel, bisa melakukan apapun. Tidak hanya bisa cari uang. Bisa cari

uang yang kalau sewaktu-waktu suami tidak ada,kmu bisa bekerja di luar) (C, 510-513)

Orangtua menanamkan nilai kemandirian pada anak berharap anaknya tidak hanya

asal bisa hidup mandiri tanpa memiliki sikap baik kepada diri sendiri maupun

sikap baik kepada orang lain. Orangtua juga menanamkan nilai kesederhanaan

untuk mengimbangi nilai kemandirian sehingga kemandirian itu tidak habis

dengan menghasilkan sikap yang buruk dengan boros atau berfoya-foya maupun

tidak bertanggungjawab.

“ndidiknya orangtua itu sederhana walaupun apa-apa punya tapi jangan dipamer-pamerkan gitu. Orangtua saya kayak gitu.” (L, 710-713)

Kesederhanaan yang ditanamkan atau diberikan orangtua membuat informan

sekaligus juga memiliki nilai kerelaan, tanpa pamrih dalam memberi atau berbuat

baik. Dengan kerelaan maka diri juga berbuat kebaikan kepada sesama.

Sampai dibilang ditanamkan ke anak-anak. Wis pokoke nek karep berbuat baik ke orang, ya berbuat baik lah tapi aja berharap orang itu berbuat baik juga sama kamu aja mbok dadekke atimu, aja dadi

atimu.” (sampai dikatakan, ditanamkan ke anak-anak. Yang penting kalau ada keinginan berbuat baik ke orang, ya berbuat baik lah tapi jangan berharap orang itu berbuat baik juga sama kamu, jangan kamu jadikan hatimu, jangan dibawa hati berharap dibalas) (C, 825-829)

Selain itu, orangtua Jawa tentu juga menanamkan nilai prinsip hidup

dalam budaya Jawa yaitu menjaga kerukunan. Orangtua menanamkan nilai

tersebut agar dalam hidup bermasyarakat tetap terjaga keharmonisannya dan tidak

memiliki musuh.

“... pesan waktu menikah, pokoke nggak boleh ribut, nek ribut ki wis rejeki mawut. Bilanginnya gitu.” (pesan pada waktu menikah, yang

penting tidak boleh bertengkar, kalau bertengkar itu keberuntungan berantakan. Katanya seperti itu) (C, 574-576)

“... jangan apa.. Tetangga-tetangga itu jangan.. jangan bikin masalah, pokoknya nganu opo jenenge? Menjaga kerukunan.” (...

tidak boleh apa.. tetangga-tetangga itu tidak boleh... tidak boleh bikin masalah, yang penting apa itu namanya? Menjaga kerukunan) (S, 173-175)

“orangtua saya ya nggak pernah punya musuh kok. Kan dulu didikannya orangtua dulu.” (L, 222-224)

“Orangtua itu dulu mendidik itu jangan suka bertengkar itu kuncinya, saling menyayangi ...” (N, 462-463)

Kerukunan yang dijaga tidak hanya dalam bermasyarakat melainkan juga

ditanamkan orangtua di dalam keluarga. Orangtua mendidik anaknya bahwa

keributan yang ada atau terjadi dapat merusak segala apapun yang sudah

dilakukan atau dimiliki.

Positif, negatif, dan sistem nilai yang diberikan orangtua kepada informan

perempuan Jawa diinternalisasikan ke dalam diri. Perempuan Jawa

menginternalisasikan semua nilai tersebut karena adanya kedekatan yang

dari perhatian yang diberikan orangtua kepada anak maupun perhatian yang

diberikan anak kepada orangtua.

he’eh. Kalau ndak gitu ndak ngerti aku, aku sendiri jadi apa. Apa -apa dulu ngomong, dulu sebelum suami melamar ya bilang. Anakku aja dipenggak nek ra gelem mandeg nyambut gawe.” (iya. Kalau tidak seperti itu tidak tahu aku, aku sendiri menjadi apa. Apa-apa dulu berbicara, dulu sebelum suami melamar ya bilang. Anakku tidak boleh dilarang kalau tidak mau berhenti bekerja) (C, 520-524).

“Yang paling deket (terdiam) kayaknya ibu juga. waktu itu bapak opname ya. opname di panti rapih, ibu udah di Klaten ya. itu bapak

minta yang nunggu di rumah sakit itu ibu.” (E, 1174-1178).

“Bapak sendiri yang minta. Jadi ibu nunggu di sana satu minggu, nggak pulang.” (E, 1180-1182)

Dokumen terkait