BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS
D. Pembahasan
1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri
Konsep diri merupakan identitas setiap individu untuk merasakan akan
keberadaan dirinya. Konsep diri perempuan Jawa merupakan konsep diri positif.
Perempuan Jawa dapat menyadari, merasakan, dan memahami apa yang sudah
dialami dirinya selama ini. Konsep diri perempuan Jawa yang positif ini salah
satunya ditunjukkan dari bagaimana perempuan Jawa dapat mengidentifikasikan
dirinya sebagai sosok perempuan yang tangguh, gigih, mandiri, religius, menjaga
kerukunan dan memprioritaskan anak. Ketangguhan, kegigihan, dan kemandirian
yang dimiliki semata-mata untuk satu tujuan yaitu demi anak-anaknya. Konsep
diri perempuan Jawa ini tidak dengan sendirinya muncul tanpa ada sebab
melainkan ada proses dibelakangnya yang menjadikan perempuan Jawa seperti
Dalam proses pembentukan konsep diri positif tersebut, perempuan Jawa
memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan orang-orang. Ada peran orang
lain dalam pembentukan konsep diri karena orang lain yang membantu individu
untuk menyadari keberadaan dirinya. Individu bukan merupakan makhluk
individual saja melainkan juga makhluk sosial, dimana pasti ada interaksi dengan
banyak orang.
Dari semua pengalaman interaksi individu dengan banyak orang terdapat
pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang mampu mengubah diri
individu. Pengalaman yang mampu memunculkan hero atau pahlawan dalam
hidup setiap individu. Pengalaman tersebut dialami setiap individu berbeda-beda.
Ada individu yang melihat hero atau pahlawan bukan dari dalam keluarga, namun
ada juga yang melihat dari dalam keluarganya sendiri. Perempuan Jawa memilih
sosok yang berpengaruh dan menjadi hero bagi dirinya adalah orangtuanya
sendiri.
Interaksi perempuan Jawa dengan orangtuanya adalah interaksi yang
menghasilkan pengalaman yang paling berarti dalam hidup mereka. Berperannya
pengalaman interaksi sosok orangtua dengan perempuan Jawa dalam
mempengaruhi hidup menurut Blumer (1969) disebut symbolic interactionism.
Symbolic interactionism melihat pemaknaan timbul dari proses interaksi antar
orang-orang. Pemaknaan merupakan sebuah produk sosial, sebagai kreasi yang
dibentuk melalui kegiatan orang-orang berinteraksi (Blumer, 1969). Logika
symbolic interactionism bisa membantu untuk memahami bagaimana variasi
internalisasi, dan pemeliharaan makna (Cote & Levine, 2002). Dari hasil
penelitian, perempuan Jawa menginternalisasi apa yang ada pada diri orangtua
dan apa yang ditanamkan orangtua ke dalam dirinya. Penginternalisasian yang
dilakukan perempuan Jawa merupakan buah dari hasil pemikiran terhadap
pengalaman yang dimilikinya. Setiap episode kegiatan yang dilakukan terintegrasi
dengan motif moral dan etika dalam setiap narasi kehidupan (Polingkhorne,
1991). Identifikasi diri perempuan Jawa sebagai perempuan yang tangguh dalam
memprioritaskan anak juga merupakan hasil dari kesadaran dan internalisasi
mereka bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang gigih untuk anak.
Perempuan Jawa yang memprioritaskan anak merupakan sebuah proses
internalisasi dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi feminitas merawat dan
penuh perhatian kepada anak dari orangtuanya, baik itu dari bapaknya maupun
dari ibunya. Perempuan Jawa yang tangguh, gigih, mandiri menjalani kehidupan
baik dalam merawat anak maupun dalam hidup berkeluarga, dan berani
berpendapat mengutarakan konsep dirinya merupakan sebuah proses internalisasi
dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi maskulinitas yang diperoleh dari
orangtuanya baik dari bapaknya maupun dari ibunya. Perempuan Jawa juga
menyadari bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang melakukan apapun demi
anaknya agar bisa mengenyam pendidikan dan juga orangtua yang menekankan
kuatnya doa. Orangtua mereka masih memegang prinsip bahwa tindakan tanpa
diimbangi dengan doa adalah suatu yang sia-sia.
Menurut informan kegigihan yang dimiliki orangtua para informan
segala-galanya bagi orangtua. Perjuangan yang dilakukan orangtua kepada para
informan tidak hanya dalam hal pemenuhan ekonomi agar anak mampu sekolah
namun juga dalam bentuk dukungan moril dengan menemani anak dalam belajar.
Informan menyadari juga bahwa orangtua tidak hanya berjuang dalam hal
pemenuhan pendidikan tetapi orangtua juga mengharapkan bahwa mereka
menyadari pendidikan juga penting selain uang dan kedudukan. Pendidikan
mampu menaikkan derajat kehidupan seseorang selain kekayaan. Pendidikan
mampu menaikan harga diri seseorang.
Pengalaman interaksi yang dibangun menghasilkan kedekatan perempuan
Jawa dengan orangtua. Kedekatan ini terbentuk tidak secara reflek disadari oleh
perempuan Jawa mampu memberi pengaruh yang besar dalam hidupnya.
Kedekatan yang terbentuk karena perempuan Jawa yang the relational self
dengan significant others atau orangtua. Budaya Jawa yang kolektivis membuat
perempuan Jawa menjadi the relational self. The relational self memberikan
dampak yang luas karena secara otomatis terjadi tanpa secara reflek disadari atau
disengaja melainkan diaktifkan dengan sedikit usaha, niat, kesadaran dan kontrol
secara otomatis (Chen, Boucher, & Tapias, 2006). Kedekatan ini kemudian
menjadi alasan bagi perempuan Jawa memilih sosok orangtua sebagai sosok yang
mempengaruhi hidupnya dan menginternalisasikan nilai dari orangtua ke dalam
dirinya.
Bentuk dari adanya kedekatan perempuan Jawa dengan orangtuanya
tergambar dalam bentuk yang bermacam-macam. Orangtua menasehati calon
gambaran kedekatan orangtua kepada anaknya. Seperti yang diutarakan oleh Ibu
C (36) bahwa orangtua Ibu C (36) menasehati calon suaminya untuk memahami
anaknya yang suka bekerja. Kedekatan tersebut diakui Ibu C (36) menjadikan
dirinya seperti saat ini serta Ibu C (36) tidak bisa membayangkan akan menjadi
apa dirinya tanpa orangtua. Bukti bentuk kedekatan lain juga ditunjukan orangtua
Ibu E (54) yaitu ketika bapak dari Ibu E (54) sakit, beliau meminta agar Ibu E (54)
yang menjaga dan menunggu di rumah sakit.
Sosok orangtua hanya sebagai media perantara, sedangkan pengalaman
yang mempengaruhi hidup individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki
berasal dan membentuk ceritanya sendiri-sendiri. Perempuan Jawa disayang
orangtua merupakan suatu pengalaman. Orangtua mengajarkan banyak nilai-nilai
serta proses bagaimana diri orangtua berinteraksi dengan perempuan Jawa
merupakan sebuah narasi atau cerita dari pengalaman yang dimiliki perempuan
Jawa, seperti yang sudah diutarakan semua informan. Cerita-cerita atau
narasi-narasi ini merupakan proses komunikasi interaksi individu dengan individu lain
maupun dengan lingkungan sosial.
Interaksi perempuan Jawa dengan lingkungannya membangun cerita atau
narasinya sendiri-sendiri, termasuk juga interaksi perempuan Jawa dengan
orangtua membangun narasi bersama orangtua. Cerita-cerita atau narasi-narasi
yang dibangun dari pengalaman ini memiliki kekuatan juga merubah hidup
individu. Cerita atau narasi secara eksplisit menghubungkan antara pengalaman
yang dinarasikan dan kemudian konsep diri dibentuk oleh individu atau informan
identitas individu dengan menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan
mereka nilai-nilai sosial mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa
dan berpikir (Gergen dalam Sugiman, 2008). Cerita atau narasi secara eksplisit
menghubungkan antara pengalaman yang dinarasikan dan kemudian konsep diri
berpotensi dibentuk oleh individu atau informan yang bercerita (Pasupathi,
Mansour, & Brubaker, 2007). Cerita membentuk identitas individu dengan
menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan mereka nilai-nilai sosial
mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa dan berpikir (Gergen
dalam Sugiman, 2008). Hal tersebut yang juga terjadi pada budaya Jawa.
Nilai-nilai budaya ditanamkan oleh orangtua Jawa kepada perempuan Jawa merupakan
hasil narasi dari pengalaman individu dengan lingkungan sosial yang dinarasikan
kepada generasi berikutnya.
Konsep diri perempuan Jawa dalam budaya Jawa yang kolekivis disebut
sebagai the interdependent self. Mereka melihat diri dan hubungan antara diri dan
orang lain tidak sebagai sesuatu yang terpisah dari konteks sosial tetapi terhubung
dan tidak berbeda dengan orang lain. Mereka termotivasi untuk menemukan jalan
agar sesuai dengan orang lain, untuk memenuhi dan menciptakan kewajiban, dan
secara umum untuk menjadi bagian dari berbagai hubungan interpersonal (Markus
& Kitayama, 1991) termasuk dengan orang-orang disekitarnya terutama orangtua
sebagai sosok yang paling dekat dan yang memiliki interaksi paling banyak bagi
perempuan Jawa.
Identitas perempuan Jawa yang juga merupakan bagian dari masyarakat
tidak lepas dari nilai budaya Jawa. Identitas personal dan sosial bisa dipahami
sebagai bagian dari bentuk operasional kognitif dari konsep diri (Cote & Levine,
2002). Nilai-nilai dan prinsip hidup budaya Jawa diperoleh perempuan Jawa
secara turun temurun yang menjadi narasi publik melalui orangtua. Dua prinsip
hidup orang Jawa seperti yang dikatakan Magnis Suseno (1984) yang sudah
ternarasikan secara turun temurun yaitu sikap hormat dan menjaga kerukunan.
Menurut informan, orangtua sudah mendidik nilai-nilai dan prinsip hidup tersebut
dari kecil. Orangtua mendidik untuk menjaga kerukunan yang ada baik dalam
keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Selain kerukunan, orangtua juga
mendidik kedisiplinan yang menciptakan kemandirian. Orangtua tidak
membiarkan anak menjadi mandiri tidak bertanggungjawab sehingga orangtua
juga mendidik kesederhanaan dan kerelaan tanpa pamrih. Orangtua melakukan itu
dengan harapan di masa yang akan datang jika anak sudah mandiri dan sukses
mereka tidak lupa untuk hidup sederhana serta tidak lupa untuk melakukan dan
menerima dengan ikhlas, tanpa pamrih apapun yang dilakukan atau diterima.
Pemilihan sosok orangtua sebagai seorang yang mempengaruhi hidup
dilakukan perempuan Jawa juga berdasarkan prinsip hidup dalam budaya Jawa
yang ada. Prinsip hidup orang Jawa yaitu memiliki sikap hormat terhadap sosok
yang lebih tua membuat perempuan Jawa yang merupakan sosok the
interdependent self semakin tidak bisa lepas kedekatan mereka dengan orangtua
yang mereka hormati. Sikap hormat yang ada di hidup orang Jawa bukan
merupakan sikap hormat yang lahir dari kepribadian melainkan oleh status orang
sikap lahiriahnya (H. Geertz dalam Magnis Suseno, 1983). Adanya tradisi budaya
Jawa yaitu sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait
kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya yang
menyebabkan seseorang memiliki rasa hormat kepada status atau peranan
seseorang (Herusatoto, 1984). Rasa hormat atau sikap hormat seorang anak
kepada orangtuanya sudah ditanamkan oleh orangtua dari kecil karena merupakan
bentuk mengikuti norma budaya dalam masyarakat yang terdapat dalam identitas
atau peranan sosial dalam masyarakat.
Perempuan Jawa sebagai anak terkadang memandang sikap hormat ini
sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan karena jika tidak dirinya akan
merasa ada hukuman yang diperoleh. Situasi tersebut sering menimbulkan
tekanan emosional yang berat, yang menurut situasi masing-masing, bisa lebih
bersifat wedi (takut), isin (malu) atau sungkan (malu-malu) (H. Geertz, 1961).
Hal tersebut dialami oleh Ibu N (68). Ia dari kecil sudah diajarkan sopan santun
kepada orang yang lebih tua oleh orangtuanya. Ajaran ini dilakukan orangtua
dengan disiplin dan dengan gaya zaman kolonial sehingga membuat Ibu N (68)
tidak ada keberanian untuk melawan orangtua. Apapun yang ada di dalam diri
orangtua baik positif, negative, maupun ajaran yang diberikan oleh orangtua
diterima perempuan Jawa sebagai suatu pengalaman yang membentuk dirinya.
Seperti yang dikatakan Ibu N (68) bahwa ia suka segala kondisi bapak dan