• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Konsep Diri

Berdasarkan Erik H. Erikson (1950, 1968) bahwa identitas yang termasuk

dalam 8 tahap perkembangan manusia adalah menjadi prasyarat untuk masuk ke

fase remaja dimana memiliki keingintahuan yang besar terhadap hal baru

sehingga banyak melakukan hal-hal baru yang membantunya menemukan

identitas. Akan tetapi dalam pencarian identitas ini remaja dapat menemui

masalah yaitu kebingungan peran. Setiap tahap perkembangan Erikson perlu

dilalui agar dapat menjadi individu seutuhnya. Jadi, permasalahan dalam

pencarian identitas yaitu kebingungan peran perlu diselesaikan sebelum menuju

ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Biasanya remaja untuk menyelamatkan diri

mereka untuk sementara waktu mereka mengidentifikasikan diri secara berlebihan

dengan pahlawan kelompok atau massa (Erikson, 1989).

Identitas juga menjadi bagian dari konstruksi peran sosial. Berdasarkan

analisis yang dilakukan Deux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (1995) dalam Millon &

Lerner, (2003) menghasilkan 5 tipe identitas sosial yaitu, relationship (suami,

saudara), vocational or avocational role (guru), political affiliation (negarawan,

pejuang feminis), stigmatized identity (orang yang tidak punya rumah, orang

gemuk), dan religion or ethnicity (Jewish, Hispanic (dalam budaya Indonesia

dapat diganti dengan istilah orang Katolik, orang Jawa)). Peran identitas di atas

yang merupakan hasil dari budaya dan sosial juga mengungkapkan dimensi

interpersonal dari kepribadian seseorang.

Teori identitas sosial (e.g., Tajfel, 1982; Tajfel & Turner, 1979; Turner,

1982 dalam Millon & Lerner, 2003) mengatakan bahwa konsep diri mengandung

atribut personal dan sosial. Harga diri biasanya fokus pada atribut personal, tetapi

keanggotaan dalam kelompok juga penting. Harga diri kolektif (merasa suatu

(Luhtanen & Crocker, 1992 dalam Millon & Lerner, 2003). Kemudian harga diri

tidak hanya personal tetapi juga evaluasi diri dalam kelompok di mana individu

berada.

2. Definisi Konsep Diri

Roger (Patterson dalam Elkins, 1979) mengatakan bahwa konsep diri

didefinisikan sebagai :

“the organized, consistent conceptual Gestalt composed of characteritics of the ‘I’ or ‘me’ and the perceptions of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to others and to various aspects of life, together with the value attached to these perceptions.”

Jadi konsep diri merupakan konsep Gestalt yang konsisten dan terorganisir

yang terdiri dari ciri ‘I’ atau ‘me’ dan persepsi hubungan dari ‘I’ atau ‘me’ kepada

orang lain dan berbagai aspek kehidupan lain yang bersama-sama dengan nilai

melekat pada persepsi ini. Sedangkan Combs, dkk dalam Elkins (1979)

menyebutkan “The self concept is meant all those aspects of the perceptual field to which we refer when we say ‘I’ or ‘me’” yang berarti konsep diri adalah semua

aspek persepsi dimana kita lebih menggunakan “I” or “me”. Konsep diri hanya mencakup persepsi tentang diri yang tampaknya paling vital atau penting bagi

individu sendiri (Comb dan Snygg, 1959). Patterson dalam Elkins (1979)

menyatakan bahwa beberapa teoritisi melihat ‘me’ berarti the self as object atau

sering disebut konsep diri dan ‘I’ berarti the self as subject atau sering disebut

ego.

William D. Brooks (1974) mendefinisikan konsep diri adalah

persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis dari diri kita yang berasal dari pengalaman

konsep diri sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri, seluruh

kepercayaan yang kompleks dan sikap yang dipegang tentang diri.

Sedangkan menurut Allport dalam Schultz (1991) menyebutkan seorang

psikolog humanistik mengubah konsep diri menjadi istilah proprium. Proprium

menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang yang

terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi

seorang individu, segi-segi yang menentukan seseorang sebagai yang unik.

Contohnya, individu yang sabar menghadapi anak kecil yang nakal adalah

keunikan yang tidak semua orang miliki. Rogers (Patterson dalam Elkins, 1979)

menganggap konsep diri menjadi kesadaran seseorang, sedangkan diri mungkin

termasuk aspek-aspek ketidaksadaran. Contohnya, seorang individu yang

menyadari dirinya adalah seorang yang memiliki perhatian pada anak merupakan

konsep diri yang dimiliki sedangkan siapa sesungguhnya diri berada dalam

ketidaksadaran.

Konsep diri menurut psikolog persepsi adalah organisasi persepsi tentang

diri individu untuk menjadi siapa dirinya. Itu terdiri dari ribuan persepsi yang

berbeda-beda dalam hal kejelasan, presisi, dan pentingnya dalam perekonomian

seseorang (Combs, dkk dalam Elkins, 1979). Contohnya, seorang individu yang

mampu memahami orang lain, individu yang mampu melihat kekurangan dan

kelebihan diri, individu yang mampu memahami bahwa dirinya dan orang lain itu

berbeda.

Bagi Epstein (1973) dalam memahami konsep diri adalah :

The self concept is a self theory. It is a theory that the individual has unwittingly constructed about himself as an experiencing, functioning

individual, and it is part of a broader theory which he holds with respect to his entire range of significant experience.”

Jadi konsep diri adalah sebuah teori tentang diri. Itu adalah sebuah teori bahwa

individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai sebuah pengalaman,

individu yang berfungsi, dan itu adalah bagian dari teori yang lebih luas dimana

diri memegang seluruh pengalaman yang signifikan.

3. Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri itu terbentuk dari pengalaman interaksi dengan dunia. Combs,

dkk dalam Elkins (1979) mengatakan bahwa orang-orang belajar siapa dirinya dan

menjadi seperti apa dirinya dari cara mereka diperlakukan oleh orang-orang

penting yang ada disekitar mereka yang biasa disebut significant others.

Sedangkan mempelajari sedikit dari orang yang tidak penting.

Cooley (1902) dalam Millon & Lerner (2003) berargumen bahwa konsep

diri terdiri dari bayangan dari kehadiran kita bagi orang lain, bayangan penilaian

orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Perlu

adanya gambaran dari orang lain tentang diri sebagai cermin atau kaca bagi

individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya

sehingga dapat menilai dirinya sendiri.

4. Konsep Diri Positif dan Negatif

Menurut Brooks dan Emmert (1976) dalam Rakhmat (1985) ada tanda -

tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu mereka peka pada kritik yang

diberikan pada dirinya. Mereka akan langsung tahu jika ada yang mengkritik

dirinya. Mereka juga responsif dalam setiap kali menerima pujian dari orang lain.

menghadapai kompetisi, dan memiliki sikap hiperkritis. Sikap hiperkritis

merupakan sikap yang selalu mengalah, mencela atau meremehkan apa pun dan

kepada siapa pun. Orang yang memiliki sikap hiperkritis tidak pandai dan tidak

sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

Diri orang dengan konsep diri negatif yang seperti itu membuat mereka merasa

cenderung tidak disenangi oleh orang lain.

Sebaliknya, ada tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif yaitu

mereka yakin dengan kemampuannya dalam mengatasi masalah. Mereka merasa

setara dengan orang lain. Walaupun begitu mereka juga mampu menyadari bahwa

setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak

seluruhnya disetujui masyarakat. Mereka juga mau menerima pujian tanpa rasa

malu, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya.

D. E. Hamacheck dalam Rakhmat (1985) juga menyebutkan karakteristik

orang yang mempunyai konsep diri positif yaitu mereka meyakini nilai-nilai dan

prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi

pendapat kelompok yang kuat. Mereka peka pada kebutuhan orang lain, pada

kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia

tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Mereka mampu

bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang

berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

Hal tersebut dikarenakan mereka merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia

latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka cenderung

menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

Karakteristik yang lain yaitu mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak

perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi

waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Mereka memiliki

keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia

menghadapi kegagalan atau kemunduran. Hal ini dikarenakan mereka sanggup

menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling

tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

Karakteristik lain orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka

mampu menyadari perasaan yang ada dalam dirinya. Mereka dapat menerima

pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa

bersalah. Di sisi lain, mereka sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia

mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai

cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai

kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh

dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang

kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.

5. Arketipe Dalam Pembentukan Konsep Diri

Arketipe adalah gambaran kuno yang berasal dari ketidaksadaran kolektif.

Arketipe mempunyai dasar biologis tetapi asalnya terbentuk melalui pengulangan

pengalaman dari para leluhur manusia (Feist & Feist, 2006). Arketipe ini bersama

Bentuk-bentuk dari arketipe menurut Jung (Feist & Feist, 2006) ada

beberapa yaitu, persona yang merupakan sisi kepribadian yang ditunjukkan

kepada dunia. Persona ini sama dengan pemakaian topeng oleh pemain dalam

pentas panggung. Jung percaya bahwa setiap manusia terlibat dalam peranan

tertentu yang dituntut oleh sosial agar diterima di masyarakat, akan tetapi jika

seseorang terlalu identik dengan persona mereka maka akan kehilangan inner self

dan akan lebih cenderung memenuhi lingkungan sosial. Kebalikan dari bentuk

arketipe persona yaitu bayangan (shadow) yang merupakan akretipe dari

kegelapan dan represi. Bentuk arketipe ini menggambarkan kualitas-kualitas yang

tidak diakui keberadaannya serta berusaha disembunyikan keberadaannya dari diri

sendiri dan orang lain.

Bentuk arketipe yang lain adalah anima dan animus yang masing-masing

dimiliki laki-laki dan perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki laki-laki yaitu

anima karena anima merupakan sisi feminin dari laki-laki yang terbentuk dalam

ketidaksadaran kolektif dan menetap di kesadaran. Jung percaya bahwa anima

terbentuk dari pengalaman laki-laki dengan perempuan (ibu, saudara, orang yang

dicintai) yang digabungkan untuk membentuk gambaran umum mengenai

perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki perempuan adalah animus karena

animus merupakan arketipe maskulin pada perempuan. Animus adalah simbol

berpikir dan berlogika. Jung percaya bahwa animus bertanggung jawab untuk

berpikir dan berpendapat pada perempuan.

Bentuk arketipe lain yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang

man. Great mother menampilkan dua dorongan yang berlawanan yaitu kesuburan

dan pengasuhan di satu sisi dan di sisi lain adalah kekuatan dan menghancurkan.

Sedangkan wise old man (orang tua yang bijak) merupakan arketipe dari

kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan

misteri kehidupan.

Arketipe berikutnya merupakan arketipe yang menggambarkan diri

individu yaitu hero dan self. Hero (pahlawan) merupakan arketipe yang

direpresentasikan dalam mitologi dan legenda sebagai seseorang yang sangat kuat.

Pahlawan dilihat sangat memukau seperti yang ada di TV, buku, dan film.

Gambaran seperti itu dilihat juga sebagai model gambaran kepribadian yang ideal.

Sedangkan arketipe self adalah arketipe dari semua arketipe karena semua

arketipe bergabung menjadi satu dan bergabung dalam proses realisasi diri. Self

sebagai arketipe disimbolkan sebagai ide seseorang akan kesempurnaan,

kelengkapan, dan keutuhan. Self terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran pikiran

dan hal tersebut menyatukan elemen-elemen yang saling bertentangan dari psike

(kekuatan laki-laki dan perempuan, kebaikan dan kejahatan, serta terang dan

gelap).

C. Jawa

Dokumen terkait