RESPON KUALITAS CABAI RAWIT MERAH (Capsicum
frutescens L.) TERHADAP SUHU PENYIMPANAN
KHOIRUL UMAM
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Kualitas Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) terhadap Suhu Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2017
Khoirul Umam
v
ABSTRAK
KHOIRUL UMAM. Respon Kualitas Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) terhadap Suhu Penyimpanan. Dibimbing oleh SUTRISNO
Cabai rawit merah merupakan produk hortikultura yang penting di Indonesia dan mudah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Suhu penyimpanan merupakan faktor yang penting dalam hal penanganan pascapanen, sehingga suhu yang sesuai dibutuhkan untuk mempertahankan kesegaran cabai rawit merah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh suhu penyimpanan terhadap kualitas cabai rawit merah, menganalisis perubahan karakteristik cabai rawit merah segar pada penyimpanan suhu rendah, dan menentukan suhu penyimpanan yang optimum untuk mempertahankan kesegaran cabai rawit merah. Parameter kualitas yang diamati dalam penelitian ini meliputi laju respirasi, susut bobot, kadar air, kekerasan, warna dan kadar vitamin C pada cabai rawit merah selama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh terhadap kualitas cabai rawit merah. Penyimpanan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC mampu mempertahankan kualitas cabai rawit merah selama 32 hari, 26 hari, dan 14 hari. Penyimpanan cabai rawit merah pada suhu 5 oC mampu menekan laju respirasi, perubahan warna, kekerasan, kadar air, kadar vitamin C, serta menekan susut bobot namun pada hari ke-28 ditemukan adanya gejala chilling injury berupa legokan (pitting) pada permukaan cabai rawit.
Kata kunci: cabai rawit merah, kualitas, penyimpanan, suhu
ABSTRACT
KHOIRUL UMAM. Quality Response of Red Chili (Capsicum frustescens L.) to the Different Temperature Storage. Supervised by SUTRISNO
Red chili is a most important perishable horticulture product in Indonesia, and has short shelf life. Storage temperature is well known as one of important factors in postharvest handling. Therefore an appropriate storage temperature is required in order to maintain the freshness of red chili. The objective of this research were to analyze the storage temperature impact to the quality of red chili, to analyze the change of characteristics of fresh red chili under low storage temperature, and to determine an optimum storage temperature to maintain the freshness of red chili. Quality parameters which were observed in this research were respiration rate, weight loss, moisture content, firmness, color value, and vitamin C content during storage. The result showed that storage temperature influenced the quality of red chili. Storage at 5 oC, 10 oC, and 15 oC was able to
maintain the quality of red chili for 32 days, 26 days, and 14 days of storage respectively. The chili stored at 5 oC was found best freshness since it could decrease the respiration rate, color value, firmness, moisture content, vitamin C content, and reduce the weight loss but after 28 days storage was found chilling injury symptom, that was pitting at the surface of chili.
vii
RESPON KUALITAS CABAI RAWIT MERAH
(Capsicum frutescens L.) TERHADAP SUHU PENYIMPANAN
KHOIRUL UMAM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
DEPATEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ix
Judul Skripsi :
Nama : NIM :
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
Respon Kualitas Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) terhadap Suhu Penyimpanan
Khoirul Umam F14120084
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2016 ini ialah penanganan pascapanen, dengan judul Respon Kualitas Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) terhadap Suhu Penyimpanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap dosen Teknik Mesin dan Biosistem yang telah membantu membentuk kedisiplinan penulis, dan Beasiswa Karya Salemba Empat yang telah memberikan bantuan beasiswa selama masa perkuliahan di IPB. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Roziqin, Rizqo, Mas Abbas, teman-teman dari Teknik Mesin dan Biosistem lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta staf Laboratorium Teknik Penanganan dan Pengolahan Hasil Pertanian (TPPHP) yang telah memberikan dukungan serta membantu penulis dalam pengambilan data penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2017
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR TABEL xv DAFTAR LAMPIRAN xv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) 2 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit 3 Pascapanen Cabai Rawit Merah 4
Penyimpanan Suhu Dingin 5
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Bahan 6 Alat 6 Prosedur Penelitian 7 Persiapan Bahan 7 Pengamatan Parameter 8 Laju Respirasi 8 Susut Bobot 9 Kadar Air 10 Perubahan Warna 10 Kekerasan 11 Vitamin C 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Pengamatan Visual Mutu Cabai Rawit Merah Selama Penyimpanan 13
Susut Bobot 16 Kadar Air 18 Kekerasan 19 Warna 21 Nilai L 21 Nilai Hue 22 Vitamin C 23
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25 Saran 25 DAFTAR PUSTAKA 26 LAMPIRAN 29 RIWAYAT HIDUP 39
DAFTAR GAMBAR
1 Cabai rawit merah 3
2 Diagram alir metode penelitian 7 3 (a) Cabai rawit merah yang rusak dan terkena penyakit, (b) Cabai rawit
merah hasil sortasi (bagus), (c) Cabai rawit merah yang disimpan dalam
keranjang plastik 8
4 (a) Pengukuran kandungan O2 cabai rawit merah menggunakan portable
oxygen tester tipe POT-101, (b) Pengukuran kandungan CO2 cabai rawit
merah menggunakan continous gas analyzer tipe IRA-107 9 5 Representasi warna dari nilai hue angel 11 6 Pengambilan data warna menggunakan perangkat image processing 11 7 Alat pengukur kekerasan (rheometer tipe DX-500) 11 8 Pengukuran kandungan vitamin C menggunakan metode titrasi iodin 12 9 Indikator kerusakan cabai rawit merah (a) suhu 5 oC, (b) suhu 10 oC, dan
(c) suhu 15 oC 13
10 Sampel cabai rawit merah yang terkena tetesan air dari kebocoran
refrigerator pada suhu 15 oC 14
11 Laju konsumsi O2 cabai rawit merah selama penyimpanan 15
12 Laju produksi CO2 cabai rawit merah selama penyimpanan 16
13 Susut bobot yang dialami cabai rawit merah selama penyimpanan 17 14 Kadar air cabai rawit merah selama penyimpanan 19 15 Nilai kekerasan cabai rawit merah selama penyimpanan 21
xv
16 Nilai L cabai rawit merah selama penyimpanan 22 17 Nilai hue cabai rawit merah selama penyimpanan 23 18 Kandungan vitamin C cabai rawit merah selama penyimpanan 24
DAFTAR TABEL
1 Kandungan nutrisi (gizi) dalam tiap 100 gram cabai rawit segar dan kering 4 2 Parameter kerusakan cabai rawit merah diakhir penyimpanan 13
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel hasil pengukuran laju produksi CO2 (ml/kg.jam) cabai rawit merah
selama penyimpanan 30
2 Tabel hasil pengukuran laju konsumsi O2 (ml/kg.jam) cabai rawit merah
selama penyimpanan 31
3 Tabel hasil pengukuran susut bobot (%) cabai rawit merah selama
penyimpanan 32
4 Tabel hasil pengukuran kadar air (% bb) cabai rawit merah selama
penyimpanan 33
5 Tabel hasil pengukuran kekerasan (kgf) cabai rawit merah selama
penyimpanan 34
6 Tabel hasil pengukuran nilai L cabai rawit merah selama penyimpanan 35 7 Tabel hasil pengukuran nilai hue (°) cabai rawit merah selama
penyimpanan 36
8 Tabel hasil pengukuran vitamin C (mg/100g) cabai rawit merah selama
penyimpanan 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum sp) merupakan komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Selain itu, Kebutuhan cabai di Indonesia semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukan bahwa kebutuhan cabai dalam negeri pada tahun 2003 sebesar 176.264 ton dan meningkat menjadi 194.588 ton pada tahun 2004 (BPS 2006).
Aneka macam cabai yang dijual di pasar tradisional dapat digolongkan dalam dua kelompok, yakni cabai kecil (Capsicum frustescens L.) dan cabai besar (Capsicum annuum L.). Cabai kecil biasa disebut cabai rawit, sedangkan yang besar dinamakan cabai merah. Cabai rawit (Capsicum frustescens L.) merupakan komoditas sayuran yang sangat merakyat dan sangat diminati dalam keadaan segar, sehingga tidak heran bila volume peredaran cabai rawit di pasaran sangat banyak jumlahnya.
Cabai yang telah dipanen biasanya dimasukkan ke dalam kemasan plastik untuk menghemat biaya angkut ke pengumpul kecil dan akhirnya akan dibawa ke pasar tradisional untuk disimpan sementara menggunakan keranjang plastik atau sering dikenal dengan sebutan penyimpanan curah. Cabai yang disimpan dalam curah masih melakukan aktivitas metabolisme seperti laju respirasi. Aktivitas metabolisme ini, tidak bisa dihentikan tetapi bisa dikurangi, salah satunya melalui penyimpanan pada suhu rendah yang dikombinasikan dengan pengemasan yang tepat. Menurut Walker (2010), penggunaan ruang pendingin cocok untuk penyimpanan cabai karena dapat mempertahankan kesegaran produk untuk waktu yang lebih lama. Suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut berat pada cabai rawit putih, semakin tinggi suhu dan semakin lama penyimpanan maka susut berat semakin meningkat (Rachmawati et al. 2009).
Selain penyimpanan suhu rendah, pengemasan juga dapat mempengaruhi masa simpan cabai rawit. Pengemasan buah adalah meletakkan buah-buahan ke dalam suatu wadah yang cocok dan baik, sehingga komoditi tersebut terlindung dari kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi dan biologis. Menurut Sabana (2000), daun pisang biasanya digunakan sebagai pelindung produk pertanian karena dianggap dapat mencegah penguapan dari produk pangan akibat pengaruh udara panas dari lingkungan luar. Sedangkan Lamona et al. (2015) menyatakan bahwa kombinasi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang paling baik dalam mempertahankan mutu fisik cabai dan umur simpan yang lebih lama adalah pengemasan cabai dengan plastik film PP yang disimpan pada suhu 10 oC dengan umur simpan mencapai 29 hari. Informasi respon karakteristik cabai rawit merah terhadap kondisi penyimpanan merupakan acuan utama untuk menetukan jenis bahan pengemas yang baik sehingga kualitas mutu cabai rawit merah dapat dipertahankan lebih lama.
Rumusan Masalah
Cabai rawit merupakan komoditas yang mudah mengalami kerusakan setelah dilakukan pemanenan, baik kerusakan fisik, mekanik, fisiologis maupun mikrobiologis. Sebagian besar dari produk tersebut lebih disukai untuk dikonsumsi dalam keadaan segar dalam waktu yang lebih lama setelah panen. Penanganan pascapanen yang tepat dibutuhkan untuk mempertahankan kesegaran, mencegah susut dan kerusakan terutama saat dilakukan penyimpanan dengan suhu rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan informasi tentang respon kualitas cabai rawit merah segar terhadap kondisi penyimpanan dengan berbagai suhu penyimpanan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh suhu penyimpanan terhadap kualitas cabai rawit merah, menganalisis perubahan karakteristik cabai rawit merah segar pada penyimpanan suhu rendah, dan menentukan suhu penyimpanan yang optimum untuk mempertahankan kesegaran cabai rawit merah.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui suhu optimum dalam mempertahankan kualitas cabai rawit merah (Capsicum frutescens L.) selama penyimpanan serta pengaruh penyimpanan suhu rendah terhadap kualitas cabai rawit merah.
TINJAUAN PUSTAKA
Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens L.)
Cabai rawit merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting yang memiliki peluang bisnis yang menjanjikan. Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) tergolong dalam famili terung-terungan (Solanaceae) yang berasal dari Meksiko, Peru, dan Bolivia, tetapi sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono 2003). Diperkirakan terdapat 20 spesies cabai yang sebagian besar hidup dan berkembang di Benua Amerika, akan tetapi masyarakat Indonesia umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Harpenas dan Darmawan 2010).
Capsicum frutescens L. mempunyai sinonim Capsicum fastigiatum BI. dan Capsicum minimum Roxb. merupakan tanaman budidaya yang digunakan sebagai
sayuran (Dalimartha 2006). Tanaman cabai rawit tergolong tanaman semusim atau tanaman berumur pendek yang tumbuh sebagai tanaman perdu atau semak (Cahyono 2003). Buah cabai rawit berbentuk bulat pendek dengan ujung runcing atau berbentuk kerucut. Ukuran buah bervariasi menurut jenisnya. Cabai rawit yang kecil memiliki ukuran antara 2-2.5 cm dan lebar 5 mm, sedangkan cabai
3
rawit yang agak besar memiliki ukuran panjang mencapai 3.5 cm dan lebar 12 mm. Biji cabai rawit berwarna putih kekuning-kuningan, berbentuk bulat pipih, tersusun berkelompok (bergerombol), dan saling melekat pada empulur (Cahyono 2003).
Klasifikasi tanaman cabai rawit menurut Wiryanta (2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledonae Ordo : Solanales Familia : Solanaceae Sub Famili : Solanaceae Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.
Varietas yang sering ditemui di pasaran yaitu cakra putih yang merupakan varietas cabai rawit merah yang berwarna putih kekuningan saat muda dan akan berubah merah cerah saat masak (Gambar 1). Pertumbuhan tanaman varietas ini sangat kuat dan membentuk banyak percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa sangat pedas. Hasil panen optimal pada varietas ini mampu menghasilkan buah 12 ton per hektarnya dengan rata-rata 300 buah per tanaman. Cakra putih dapat dipanen pada umur 85-90 hari setelah tanam. Keunggulan dari varietas ini yaitu tahan terhadap serangan penyakit antraknose (Rukmana 2002).
Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit
Cabai rawit mengandung zat gizi yang cukup lengkap. Menurut Setiadi (2008), cabai rawit paling banyak mengandung vitamin A dibandingkan cabai lainnya. Cabai rawit segar mengandung 11050 SI vitamin A, sedangkan cabai rawit kering mengandung 1000 SI. Sementara itu, cabai hijau segar mengandung 260 vitamin A, cabai merah segar 470, cabai merah kering 576 SI. Sedangkan menurut Rukmana (2002), cabai rawit mengandung nutrisi (gizi) cukup tinggi seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nutrisi (gizi) dalam tiap 100 gram cabai rawit segar dan kering
Sumber: Rukmana (2002)
Selain tingginya kandungan vitamin A yang baik untuk kesehatan mata, cabai juga mengandung capsaicin yang memberikan efek rasa pedas. Kandungan capsaicin pada cabai mampu menstimulus hormon endorfin yang memberi efek nikmat sekaligus pembangkit selera, oleh sebab itu ketika seseorang menyantap makanan berbumbu cabai biasanya cenderung menambah porsi makan (Trubus 2011).
Pascapanen Cabai Rawit Merah
Penanganan pascapanen dimulai sejak produk dipanen sampai produk tersebut dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Hal tersebut sangat menentukan mutu yang diterima konsumen dan juga masa simpan dari komoditas pertanian. Sistem pascapanen bertujuan mempertahankan mutu produk yang dipanen (kenampakan, tekstur, citarasa, nilai nutrisi dan keamanannya) dan memperpanjang umur simpan (Utama 2001).
Menurut Setiadi (2008), pascapanen merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam menunjang keberhasilan agribisnis dalam menjaga kualitas dan mutu suatu komoditas pertanian. Meskipun hasil panen melimpah dan kualitasnya baik, jika tanpa penanganan pascapanen yang benar maka risiko kerusakan dan menurunnya mutu produk akan sangat besar. Produk holtikultura bersifat mudah rusak, mudah membusuk, dan tidak tahan lama hal ini menyebabkan pemasarannya sangat terbatas sehingga membutuhkan penanganan pascapanen yang baik dan benar (Setiadi 2008).
Penanganan pascapanen cabai dimulai setelah buah dipetik, kemudian diangin‐anginkan (Setiadi 2008). Setelah itu dilakukan sortasi (pemilahan) untuk menentukan cabai yang masih utuh dan sehat, cabai yang rusak sewaktu pemanenan, dan cabai yang terserang hama atau penyakit. Setelah dilakukan proses pemilahan, selanjutnya dilakukan grading yaitu penggolongan buah berdasarkan kualitas dan ukuran buah. Setelah semua proses selesai, cabai dimasukkan ke dalam karung goni dan langsung dijual ke pasar (Prajnanta 2007).
No Komposisi zat gizi Proporsi kandungan gizi Segar Kering 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Vitamin A (Si) Zat besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g)
Bagian yang dapat dimakan (Bdd, %)
103.00 4.70 2.40 19.90 45.00 85.00 11050.00 2.50 0.08 70.00 71.20 90.00 - 15.00 11.00 33.00 150.00 - 1000.00 9.00 0.50 10.00 8.00 -
5
Cabai rawit merah bersifat mudah rusak, menyusut, dan cepat membusuk, sehingga kegiatan saat panen dan pascapanen merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting untuk meningkatkan umur simpan cabai (Rukmana dan Yuniarsih 2005).
Cabai termasuk ke dalam kelompok non-klimaterik (Krajayklang et al. 2000). Winarno (2002b) menyatakan pada produk hortikultura golongan non-klimakterik proses respirasinya akan berjalan lambat sehingga tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan. Hal ini mengakibatkan beberapa buah non-klimakterik termasuk cabai harus dipanen pada saat matang penuh untuk mendapatkan kualitas maksimum dalam hal penerimaan visual (kesegaran, warna, dan tidak adanya kebusukan atau kerusakan fisiologis), tekstur (kekerasan dan kerenyahan), citarasa, dan kandungan nutrisi yang meliputi vitamin, mineral dan serat.
Penyimpanan Suhu Dingin
Salah satu cara menjaga agar sayuran tetap segar dalam waktu yang agak lama adalah menekan kerja enzim yang dilakukan dengan cara menyimpan pada suhu rendah (Sumoprastowo 2004). Koswara (2009) menambahkan, penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan pangan karena aktivitas respirasi menurun dan menghambat aktivitas mikroorganisme. Penyimpanan yang biasa dilakukan adalah dalam refrigerator atau ruang pendingin dan cara ini dianggap paling efektif untuk mencegah kerusakan hasil panen. Jenis tanaman sayur seperti buncis, selada, brokoli serta sayuran lainnya baik disimpan pada suhu rendah karena bisa mengurangi kerusakan hasil panen yang disebabkan oleh mikroorganisme (Ashari 2006).
Penyimpanan bertujuan mengontrol permintaan pasar tanpa menimbulkan banyak kerusakan dan penurunan mutunya. Penyimpanan yang umumnya dilakukan adalah menggunakan suhu rendah dimana suhu diatur di atas titik beku sehingga daya simpannya lebih lama. Suhu rendah ini biasanya diikuti dengan kelembaban nisbi yang optimum agar produk tidak mengalami kekeringan. Penurunan suhu penyimpanan merupakan satu cara yang paling efektif untuk menjaga komoditas karena dapat mengurangi respirasi dan proses metabolisme (Burg 2004). Menurut Walker (2010), penggunaan ruang pendingin cocok untuk penyimpanan cabai karena dapat mempertahankan kesegaran produk untuk waktu yang lebih lama. Kondisi optimum penyimpanan cabai merah segar berada di antara 5 sampai 10 oC dengan kelembaban relatif 95% (Thompson 2002).
Menurut Arifin (2010), Kandungan air dalam cabai rawit merupakan indikasi dari tingkat kesegaran sehingga sangat berpengaruh terhadap mutu, terutama mutu fisik. Hal tersebut terjadi karena proses metabolisme yang terjadi selama penyimpanan dapat mengakibatkan perubahan komponen non air terutama karbohidrat. Penyimpanan cabai rawit dengan dibungkus dan disimpan pada suhu rendah dapat mempertahankan kesegaran dan mutu cabai rawit.
Penyimpanan suhu dingin tidak dapat meningkatkan kualitas produk. Oleh karena itu, sayuran yang disimpan dalam suhu dingin harus dipanen dalam kondisi prima. Sebaiknya pemanenan dilakukan pada pagi hari dan segera disimpan dalam
vitamin yang terkandung di dalamnya (Ashari 2006). Tujuan penyimpanan suhu dingin (cool storage) adalah untuk mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tidak diinginkan sehingga dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin. Pendinginan pada suhu dibawah 10 oC kecuali pada waktu yang singkat tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan bila komoditas itu peka terhadap cacat suhu rendah (chilling injury) (Bastian et al. 2004).
Menurut Cantwel (2009), penyimpanan pada suhu 7.5 oC (45 oF) merupakan suhu terbaik yang mampu mempertahankan mutu cabai (3-5 minggu). Cabai yang disimpan pada suhu 5 oC (41 oF) dapat bertahan setidaknya dua minggu tanpa menunjukkan adanya gejala chilling injury. Penyimpanan pada suhu 5 oC mampu menurunkan laju kehilangan air dan pengerutan, tapi setelah 2-3 minggu, gejala
chilling injury mulai terlihat yakni perubahan warna pada biji cabai. Gejala chilling injury termasuk munculnya lubang pada cabai, kebusukan, perubahan
warna pada biji, dan terlalu banyak cabai yang lembek. Cabai hijau matang lebih sensitif terhadap chilling injury daripada cabai berwarna yang matang.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanaian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 hingga bulan September 2016.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai rawit merah (Capsicum frutescens L.) varietas Domba yang diperoleh dari petani cabai di Desa Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Adapun keseragaman bahan mencakup ukuran dan warna cabai yang dipilih berdasarkan pengamatan visual yang dilakukan.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lemari pendingin (refrigerator) dengan suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC sebagai tempat menyimpan cabai rawit merah, continuous gas analyzer tipe IRA-107 untuk mengukur konsentrasi CO2, portable oxygen tester POT-101 untuk mengukur konsentrasi O2,
respiration chamber, timbangan digital, peralatan analisis kadar air, rheometer
untuk menentukan nilai kekerasan, peralatan image processing untuk menganailis perubahan warna cabai rawit merah dan peralatan analisis vitamin C.
7 Selesai Analisis data Pengambilan data: 1. Konsentrasi O2 2. Konsentrasi CO2 3. Susut Bobot 4. Kadar Air 5. Kekerasan 6. Warna 7. Vitamin C Penyimpanan pada suhu 15 oC Penyimpanan pada suhu 5 oC Penyimpanan pada suhu 10 oC Mulai
Sortasi cabai rawit Cabai rawit
segar
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan sesuai dengan diagram alir pengujian yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir metode penelitian
Persiapan Bahan
Cabai rawit merah dipanen dengan cara dipetik pada bagian tangkai buah. Pemetikan dilakukan pada pagi hari untuk mengurangi panas lahan saat pemanenan. Cabai rawit yang dipanen adalah cabai yang memiliki warna merah merata namun belum menuju merah inti (matang) untuk mengurangi kerusakan cabai selama pengangkutan dan memiliki umur tanam 90 HST.
Sortasi di tempat pemetikan dilakukan untuk memisahkan cabai yang rusak ataupun telah mengalami pembusukan dan memisahkan kotoran yang menempel pada cabai rawit. Pada saat proses pengangkutan dilakukan, cabai dikemas menggunakan karung goni. Proses pengangkutan dari lokasi panen (Desa Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Cianjur) ke tempat penyimpanan (Laboratorium TPPHP, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB) yang memakan waktu ± 3 jam.
Sortasi lanjutan dilakukan pada cabai rawit merah sebelum cabai disimpan untuk memisahkan cabai yang rusak selama proses pengangkutan, cabai yang memiliki warna tidak seragam, serta cabai dengan ukuran dan bentuk tidak seragam. Cabai yang digunakan adalah cabai yang tidak mengalami kerusakan (baik memar ataupun luka), memiliki warna merah merata secara visual, memiliki ukuran seragam dengan berat rata-rata 1.5-2 gram perbiji serta memiliki bentuk yang juga seragam (Gambar 3b). Kerusakan pada cabai rawit dapat disebabkan oleh aktivitas organisme yang menyebabkan penyakit pada cabai rawit (Gambar 3a).
Cabai rawit merah ditimbang sebanyak 3 kilogram untuk setiap perlakukan suhu. Lemari pendingin diatur pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC. Cabai rawit merah yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan pada wadah keranjang plastik (Gambar 3c). Cabai rawit merah yang telah diletakkan di keranjang plastik kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC.
Penyimpanan pada lemari pendingin dilakukan sampai cabai rawit merah mengalami kerusakan.
Pengamatan Parameter
Cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC diamati secara berkala setiap dua hari (48 jam) sekali selama umur simpan. Adapun parameter mutu yang diamati pada penyimpanan cabai rawit merah adalah:
Laju Respirasi
Perhitungan laju respirasi cabai rawit merah membutuhkan data konsentrasi O2 dan CO2. Konsentrasi O2 diukur dengan menggunakan portable oxygen tester
(Gambar 4a), sedangkan konsentrasi CO2 diukur dengan menggunakan
continuous gas analyzer (Gambar 4b).
(a) (b) (c)
Gambar 3 (a) Cabai rawit merah yang rusak dan terkena penyakit, (b) Cabai rawit merah hasil sortasi (bagus), (c) Cabai rawit merah yang disimpan dalam keranjang plastik
9
Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi O2 dan CO2, terlebih dahulu
cabai rawit merah ditimbang sebanyak 300 gram dan kemudian dimasukkan kedalam chamber. Chamber yang berisi cabai rawit merah tersebut ditutup rapat dengan pinggiran penutupnya dilapisi lilin/malan agar udara tidak dapat keluar dari chamber selama proses pengukuran dilakukan. Chamber kemudian disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC selama 3 jam.
Pengukuran dilakukkan dengan menghubungkan selang (hose) pada penutup
chamber ke selang continuous gas analyzer dan portable oxygen tester. Selang ini
melewatkan gas O2 dan CO2 sehingga konsentrasinya dapat diukur. Pada alat
terbaca konsentrasi gas O2 (%) dan CO2 (%).
Laju respirasi selama penyimpanan pada ruang tertutup dihitung menggunakan persamaan 1 yang dikutip dari buku Kays (1991) berikut ini :
………..…………(1)
Nilai R adalah laju respirasi (ml/kg.jam), V adalah volume bebas ruang (ml). Volume ruang bebas diperoleh dari volume chamber dikurangi dengan volume cabai di dalam chamber. W adalah berat segar produk (kg), adalah laju perubahan konsentrasi volume O2 dan CO2 (%/jam) di dalam chamber.
Pengambilan data konsentrasi O2 dan CO2 dilakukan secara periodik setiap 48
jam dengan tiga kali pengulangan.
Susut Bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan cara menimbang berat bahan selama penyimpanan menggunakan timbangan digital sehingga diperoleh data berat sebelum dan sesudah penyimpanan (dalam gram). Pengukuran nilai susut bobot dilakukan secara periodik setiap 48 jam dengan tiga kali pengulangan. Kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan 2 berikut ini :
……….…(2)
(a) (b)
Gambar 4 (a) Pengukuran kandungan O2 cabai rawit merah menggunakan
portable oxygen tester tipe POT-101, (b) Pengukuran kandungan
CO2 cabai rawit merah menggunakan continous gas analyzer tipe
Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode gravimetri (pengeringan menggunakan oven). Cabai rawit merah ditimbang sebanyak 5 gram dalam cawan aluminium yang telah diketahui berat kosongnya. Kemudian cabai tersebut dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 oC. Pengeringan dilakukan hingga tidak terjadi lagi penurunan berat atau sekitar 24 jam. Cabai rawit merah yang telah dikeringkan kemudian didinginkan di dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Setelah didapatkan data berat cawan kosong, berat awal bahan, dan berat akhir setelah pengovenan, selanjutnya kadar air dalam bahan dapat dihitung dengan persamaan 3 berikut ini:
Nilai kadar air didapatkan dari jumlah total air dalam bahan yang diuapkan. Berat awal yang didapatkan adalah berat bahan sebelum dipanaskan menggunakan
oven. Sedangkan berat akhir merupakan berat bahan dimana bahan tidak
mengalami pengurangan berat lagi setelah dilakukan pemanasan dengan oven. Berat akhir didapatkan dari berat akhir pengovenan dikurangi dengan berat cawan kosong. Pengukuran nilai kadar air dilakukan setiap 48 jam dengan tiga kali pengulangan.
Perubahan Warna
Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan sistem pengolahan citra (image processing) yang dapat dilihat pada Gambar 6. Data warna dinyatakan dengan nilai L, a, dan b. Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai a menyatakan warna akromatik merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0 sampai -80.
Nilai warna akromatik (a, b) yang didapatkan dari pengukuran kemudian diubah menjadi hue angle. Hue angle merepresentasikan warna yang sebenarnya dari cabai rawit merah yang diukur. Nilai hue merupakan sudut dari warna yang mempunyai rentang 0o-360o. Gambar representasi warna dari nilai hue dapat
dilihat pada Gambar 5. Pada hue angel 0o menunjukkan warna merah, kemudian memutar spektrum-spektrum warna itu ke sudut 360o untuk menyatakan warna merah lagi. Pengukuran dilakukan dengan menempelkan area yang akan diukur ke sensor alat.
Konversi nilai a dan b menjadi nilai hue dapat dihitung menggunakan persamaan 4 berikut ini:
...(4) ... (3)
11
Pengambilan citra dilakukan pada seluruh permukaan cabai rawit merah dengan prosedur sebagai berikut: cabai rawit merah diletakan di atas kain putih sebagai latar, kemudian perangkat komputer, kamera CCD dan lampu penerang dinyalakan untuk memberikan pencahayaan. Citra cabai rawit merah ditangkap oleh sensor kamera CCD (Charge-Couple Device) atau kamera dengan sensitivitas cahaya yang baik yang menghasilkan gambar low noise dan ditampilkan di monitor komputer. Citra cabai rawit merah yang telah ditampilkan di monitor kemudian disimpan dalam sebuah file. Data yang tersimpan selanjutnya dihitung nilai L, a, dan b citra cabai rawit merah dengan mengunakan
software pengolah citra. Pengukuran perubahan warna cabai dilakukan setiap 48
jam sekali dengan tiga kali pengulangan.
Kekerasan
Pengujian kekerasan diukur dengan menggunakan rheometer tipe DX-500 (Gambar 7). Cabai yang diukur tingkat kekerasannya ditekan oleh probe dengan diameter 2.5 mm. Nilai tingkat kekerasan cabai akan terlihat pada alat dalam satuan kgf. Sebelum dilakukan pengujian dilakukan pengaturan pada alat. Kecepatan tekan probe diatur sebesar 25 mm/menit, R/H Hold sebesar 10 mm. Pengukuran nilai kekerasan sampel cabai rawit dilakukan secara periodik setiap 48 jam dengan tiga kali pengulangan.
Gambar 6 Representasi warna dari nilai hue angel
Gambar 5 Pengambilan data warna menggunakan perangkat image processing
Vitamin C
Pengukuran kandungan vitamin C pada cabai rawit merah dilakukan dengan metode titrasi iodin (Gambar 8). Cabai rawit merah ditimbang sebanyak 10 g dan dihancurkan dengan blender. Hasil blender kemudian diencerkan menggunakan labu ukur sebanyak 250 ml. Hasil ekstraksi ini kemudian disaring menggunakan kertas saring sebanyak 25 ml untuk digunakan sebagai sampel, kemudian dititrasi dengan larutan iodin 0.01 N.
Sebelum dititrasi ditambahkan 1 ml indikator amilum pada filtrase tersebut. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna yang stabil (ditandai dengan terbentuknya warna biru keunguan). Perhitungan vitamin C dengan standardisasi larutan iodin yaitu pada setiap 1 ml 0.01 N iodin ekuivalen dengan 0.88 mg asam askorbat, menggunakan persamaan 5 yang dikutip dari AOAC 2005 berikut ini:
VC merupakan kadar vitamin C (mg/g), V adalah volume iodin yang terpakai selama titrasi (ml). W adalah berat bahan cabai rawit merah yang dicampurkan, dan FP merupakan faktor pengenceran yang digunakan dalam pengujian kandungan vitamin C (10), nilai FP=10 didapatkan dari 250 ml dibagi 25 ml larutan yang digunakan. Pengukuran kandungan vitamin C dilakukan setiap 48 jam sekali dengan tiga kali pengulangan.
Gambar 8 Pengukuran kandungan vitamin C menggunakan metode titrasi iodin
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Visual Mutu Cabai Rawit Merah Selama Penyimpanan
Indikator kerusakan cabai rawit merah pada penelitian ini berdasarkan pengamatan visual yaitu terdapat tekstur yang sudah lunak, tangkai buah sudah layu bahkan kering dan terjadi kebusukan yang mencapai ± 70% dalam satu wadah keranjang plastik. Parameter kerusakan cabai rawit merah pada akhir penyimpanan secara lengkap terdapat pada Tabel 2. Gejala kerusakan yang ditimbulkan berbeda untuk setiap suhu penyimpanan dan dapat dilihat pada Gambar 9.
Tabel 2 Parameter kerusakan cabai rawit merah diakhir penyimpanan
Parameter Suhu 5 oC Suhu 10 oC Suhu 15 oC Jenis kerusakan
Warna
Jamur/cendawan Gejala chilling injury
Busuk basah Merah cerah Tidak ada ada Keriput Merah gelap Tidak ada Tidak ada Busuk basah Merah Gelap Ada Tidak ada
Cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 15 oC ditemukan adanya jamur
atau cendawan, hal tersebut terjadi karena refrigerator pada suhu 15 oC mengalami kebocoran dan mengeluarkan air yang diduga karena proses pembuangan yang tidak lancar atau proses defrost yang tidak sempurna sehingga hasil pencairan es yang membeku menetes kedalam ruang penyimpanan. Sampel yang terkena tetesan dari kebocoran refrigerator dapat dilihat pada Gambar 10. Air tetesan tersebut meningkatkan RH ruang simpan sehingga memicu tumbuhnya jamur atau cendawan pada cabai rawit dan menyebabkan cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 15 oC cepat mengalami kerusakan. Rata-rata RH ruang penyimpanan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing 85.59%, 77.50 % dan 87.22%. Data RH hasil pengukuran selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 9. Menurut hasil penelitian Zaulia et al. (2006) dan hasil penelitian Vicente et al. (2005) menyatakan bahwa kerusakan cabai pada suhu dingin disebabkan oleh cendawan Alternaria dan Botrytis, dan dapat dihambat bila dilakukan perlakuan penyinaran dengan cahaya UV-C.
Gejala
Chilling injury
(a) (b) (c)
Gambar 9 Indikator kerusakan cabai rawit merah (a) suhu 5 oC, (b) suhu 10
Menurut Cantwel (2009), cabai yang disimpan pada suhu 5 oC (41 oF) dapat bertahan setidaknya dua minggu tanpa menunjukkan adanya gejala chilling
injury. Penyimpanan pada suhu 5 oC mampu menurunkan laju kehilangan air dan
pengerutan, tapi setelah 2-3 minggu, gejala chilling injury mulai terlihat yakni perubahan warna pada biji cabai. Berdasarkan hasil penelitian, cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC tidak menunjukkan adanya perubahan pada biji
cabai rawit merah hingga akhir penyimpanan. Namun gejala chilling injury lain yang ditemukan adalah adanya legokan (pitting) pada permukaan beberapa buah cabai pada hari ke-28, hal ini sesuai dengan pernyataan Paull (1990) bahwa gejala
chilling injury pada cabai adalah terbentuk legokan (pitting) di permukaan, busuk
basah yang disebabkan oleh Alternaria dan perubahan warna. Cabai rawit merah yang disimpan pada penyimpanan dingin bersuhu 5 oC, 10 oC, dan 15 °C
masing-masing mampu bertahan hingga penyimpanan mencapai 32, 26, dan 14 hari penyimpanan.
Laju Respirasi
Laju respirasi pada cabai rawit merah diukur dengan menghitung jumlah O2
yang diserap dan CO2 yang dikeluarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
respirasi dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu penyimpanan. Laju konsumsi O2
(Gambar 11) dan laju produksi CO2 (Gambar 12) cabai rawit merah pada awal
penyimpanan (hari ke-0) terlihat cukup tinggi untuk semua suhu penyimpanan. Hal tersebut terjadi karena pada saat proses transportasi berlangsung tidak diberikan perlakuan pendinginan pada cabai rawit sehingga cabai mengalami kontak langsung dengan lingkungan dan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu cabai yang cukup tinggi yaitu sebesar ± 27 oC. Setelah itu laju respirasi
(konsumsi O2 dan produksi CO2) mulai mengalami penurunan karena suhu
penyimpanan mulai stabil. Tingginya suhu pada awal penyimpanan (hari ke-0 sampai hari ke-2) juga menyebabkan proses transpirasi yang berlangsung pada cabai cukup tinggi sehingga air yang diuapkan juga cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 (susut bobot di awal penyimpanan cukup besar, namun pada hari-hari berikutnya memperlihatkan susut bobot yang cenderung menurun jika dibandingkan dengan laju penurunan bobot antara hari ke-0 sampai hari ke-2).
Gambar 10 Sampel cabai rawit merah yang terkena tetesan air dari kebocoran
15
Gambar 11 dan Gambar 12 juga memperlihatkan bahwa respirasi setelah mengalami penurunan di awal penyimpanan, kemudian perlahan mengalami peningkatan yang diduga karena adanya cabai yang mengalami kematangan sebab pada saat dipanen cabai rawit belum mengalami kematangan secara sempurna. Setelah itu laju respirasi kembali menurun yang mengindikasikan terjadinya kerusakan atau kebusukan pada cabai rawit. Puncak kematangan cabai rawit diperkirakan terjadi pada hari ke-10 (suhu 15 °C), hari ke-22 (suhu 10 °C) dan hari ke-28 (suhu 5 °C). Sedangkan peningkatan laju konsumsi O2 di hari ke-14
(suhu 15 oC) dan pada hari ke-32 (suhu 5 oC) diduga terjadi karena respirasi yang terukur bukan lagi dari respirasi cabai tetapi dari jamur atau patogen yang menyebabkan pembusukan pada cabai rawit.
Laju konsumsi CO2 dan produksi O2 cabai rawit merah yang disimpan pada
suhu 5 oC terlihat lebih rendah dibandingkan cabai yang disimpan pada suhu 10
C dan 15 C sehingga umur simpan cabai rawit merah pada suhu tersebut lebih panjang. Hasil ini didukung oleh Hameed et al. (2013) dan Zaulia et al. (2006) yang menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat laju respirasi pada cabai. Peningkatan suhu tiap 10 C akan meningkatkan laju respirasi sebesar dua kali lipat. Suhu rendah dapat menghambat proses metabolisme sehingga laju respirasi menurun karena O2 yang dibutuhkan lebih
sedikit.
Laju respirasi dapat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan substrat. Tumbuhan dengan kandungan substrat yang rendah akan melakukan respirasi dengan laju yang rendah pula. Demikian sebaliknya, bila substrat yang tersedia cukup banyak maka laju respirasi akan meningkat. Penurunan lau respirasi cabai rawit di akhir penyimpanan menandakan bahwa substrat yang terkandung di dalam cabai semakin sedikit seiring dengan penurunan kualitas cabai rawit.
Laju respirasi yang tinggi menunjukkan terjadinya proses perombakan substrat dengan cepat sehingga mengakibatkan penurunan bobot terjadi dalam waktu yang singkat karena banyaknya substrat yang dirombak. Pada Gambar 13 juga terlihat bahwa semakin lama cabai disimpan, maka susut bobot cabai semakin besar, sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan laju respirasi berbanding lurus dengan peningkatan susut bobot cabai rawit merah.
Suhu juga berpengaruh terhadap laju respirasi suatu komoditas pertanian. Semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan semakin tinggi pula laju respirasi yang dihasilkan oleh komoditas pertanian tersebut, termasuk cabai rawit. Suhu penyimpanan sangat berpengaruh pada cepat atau tidaknya laju respirasi karena pada suhu tinggi proses pemecahan komponen komplek seperti karbohidrat dapat berlangsung lebih cepat. Menurut Saltveit (2004), komoditas dengan laju respirasi lebih tinggi cenderung memiliki waktu penyimpanan lebih pendek dibandingkan komoditas dengan laju respirasi rendah. Laju respirasi secara langsung berkaitan dengan perubahan mutu cabai ke arah kerusakan.
Cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 °C, 10 °C, dan 15 °C masing-masing mampu mempertahankan kualitas cabai hingga 32 hari, 26 hari, dan 14 hari penyimpanan. Data hasil pengukuran laju respirasi (laju produksi CO2 dan
laju konsumsi O2), masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Susut Bobot
Susut bobot yang terjadi pada cabai rawit merah terjadi karena adanya kehilangan air yang disebabkan karena proses transpirasi yang tidak hanya berpengaruh pada penurunan bobot (kuantitatif) tetapi juga menyebabkan penurunan secara kualitatif, diantaranya penampilan (layu dan pengkerutan), tekstur, dan kandungan gizi dari cabai rawit.
Selama proses penyimpanan, bobot cabai rawit merah terus mengalami penurunan dan berbeda untuk setiap suhu penyimpanan (Gambar 13). Pada setiap
17
suhu penyimpanan (hari ke-0) susut bobot cabai bernilai 0 karena cabai belum mengalami penyusutan. Sedangkan dari hari ke-0 sampai hari ke-2 terlihat laju penurunan bobot yang cukup besar karena proses transpirasi yang terjadi cukup tinggi dibandingkan dengan proses respirasinya sehingga air yang di uapkan juga tinggi. Namun pada hari-hari berikutnya memperlihatkan laju susut bobot yang cenderung menurun karena suhu penyimpanan mulai stabil sehingga proses transpirasi berjalan lambat. Pada akhir penyimpanan atau tepat sebelum cabai mengalami kerusakan, susut bobot cabai pada suhu penyimpanan 15 oC, 10 oC dan 5 oC masing-masing mencapai 22.59%, 58.88%, dan 53.76% .
Laju susut bobot yang paling rendah terjadi pada penyimpanan cabai rawit pada suhu penyimpanan 15 oC. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh RH ruang penyimpanan yang cukup tinggi dan fluktuatif sehingga air yang diuapkan pada saat proses transpirasi lebih sedikit. Rata-rata RH ruang penyimpanan pada suhu tersebut sebesar 87.22%. Namun penyimpanan pada suhu tersebut dianggap kurang baik karena tidak mampu mempertahankan kualitas cabai dalam waktu yang lama yakni hanya mampu bertahan selama 14 hari. Selain itu karena adanya pengaruh RH tersebut, mikroorganisme dan jamur berkembang baik sehingga menyebabkan cabai lebih cepat membusuk daripada dua suhu penyimpanan yang lain. Data hasil pengukuran susut bobot yang terjadi pada cabai rawit merah dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 3.
Pada penyimpanan suhu 10 oC dan 5 oC masing-masing mampu mempertahankan kualitas cabai rawit hingga hari ke-26 dan hari ke-32. Berdasarkan penelitian Rachmawati et al. (2009) menunjukkan bahwa penurunan susut bobot pada cabai dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan. Semakin tinggi suhu maka susut bobot yang terjadi semakin besar. Gambar 13 juga memperlihatkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan menyebabkan peningkatan susut bobot.
Suhu penyimpanan yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan proses metabolisme yang lain dan menyebabkan hilangnya substrat seperti gula dan protein sehingga susut bobot meningkat (Nyanjage et al. 2005). Peningkatan suhu juga mempercepat transpirasi yang menyebabkan tingginya penguapan air dan berakibat meningkatnya kehilangan air serta susut bobot. Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat terjadinya respirasi dan transpirasi (Lamona et al. 2015). Dapat disimpulkan bahwa peningkatan susut bobot yang terjadi pada cabai rawit merah berbanding lurus dengan penurunan kadar air serta peningkatan laju respirasi selama penyimpanan.
Kadar Air
Kadar air pada cabai rawit merah dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan kesegaran cabai rawit, karena kadar air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan citarasa dari suatu bahan pangan. Namun kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan mempermudah terjadinya kerusakan pada bahan (Sudarmadji et al. 2003).
Gambar 14 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kadar air pada cabai rawit merah selama penyimpanan hingga cabai mengalami kerusakan. Penurunan kadar air pada suhu 10 oC terlihat lebih besar daripada penyimpanan cabai rawit yang disimpan pada suhu 5 oC dan 15 oC. Pada penyimpanan hari ke-0 kadar air
yang terukur untuk setiap suhu penyimpanan adalah 81.82%. Pada akhir penyimpanan kadar air cabai yang terukur pada suhu 15 oC, 10 oC, dan 5 oC masing-masing sebesar 52.22% (hari ke-14), 57.11% (hari ke-26), dan 75.36% (hari ke-32). Kadar air cabai rawit yang disimpan pada suhu 15 oC, terlihat lebih
konstan dan penurunannya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kedua suhu penyimpanan lain. Hal ini diduga karena RH rata-rata pada ruang penyimpanan bersuhu 15 oC cukup tinggi sehingga mampu menekan laju
kehilangan air lebih sedikit yakni sebesar 87.22%.
Kandungan RH pada ruang penyimpanan mempengaruhi laju transpirasi yang terjadi pada cabai rawit merah. Semakin besar laju transpirasi maka akan semakin banyak air yang diuapkan sehingga kandungan air dalam bahan akan semakin sedikit. Gambar 14 juga memperlihatkan bahwa kadar air cabai yang disimpan pada suhu 5 oC terlihat meningkat pada hari ke-26. Hal tersebut terjadi karena sampel cabai yang digunakan dalam setiap pengukuran kadar air berbeda, dan diduga pada hari tersebut kadar air yang terkandung pada sampel cabai masih tinggi dengan laju respirasi dan transpirasi yang rendah sehingga kandungan kadar air dalam cabai yang terukur terlihat mengalami peningkatan.
Kelembaban ruang merupakan faktor penyebab kehilangan air yang juga mengakibatkan kehilangan berat dan kenampakan yang baik pada produk yang disimpan. Meskipun pada suhu 15 oC kadai air mampu dipertahankan lebih stabil, penyimpanan pada suhu ini dinilai kurang begitu baik karena kualitas cabai rawit tidak mampu dipertahankan lebih lama (cabai rawit hanya mampu bertahan hingga penyimpanan hari ke-14). Data hasil pengukuran RH lingkungan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 9.
19
Penurunan kadar air berkaitan dengan proses respirasi dan transpirasi. Proses respirasi mengeluarkan H2O (air) sebagai produk samping. Penyimpanan
pada suhu rendah akan menghambat terjadinya proses respirasi sehingga memperlambat penurunan kadar air pada cabai. Suhu penyimpanan yang rendah juga dapat mengambat berlangsungnya transpirasi. Hal ini dapat mengurangi kehilangan air akibat penguapan saat transpirasi, sehingga kadar air dapat dipertahankan lebih lama. Transpirasi menyebabkan pengurangan kadar air pada komoditas sehingga menyebabkan penampilan suatu komoditas menjadi layu dan berkerut.
Kelembaban udara (RH) juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan kadar air. Kelembaban udara yang rendah dapat memicu terjadinya pengeringan dan keriput pada buah. Namun kelembaban udara yang tinggi dapat memicu terjadinya kebusukan ditandai dengan pelunakan buah. Laju penurunan kadar air cabai rawit merah sejalan dengan penurunan tingkat kekerasan dan susut bobot cabai. Suhu dan lamanya waktu penyimpanan berpengaruh terhadap laju kehilangan air pada bahan yang disimpan. Data hasil pengukuran kadar air cabai rawit secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
Kekerasan
Kekerasan merupakan parameter penting yang berkaitan dengan kualitas cabai dan penerimaan konsumen. Pengukuran kekerasan pada cabai rawit merah dilakukan pada tiga titik berbeda pada cabai yaitu pada bagian ujung, tengah dan pangkal. Berdasarkan hasil pengukuran kekerasan (Gambar 15) terlihat bahwa terjadi penurunan kekerasan pada cabai rawit seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Pada awal penyimpanan kekerasan cabai rawit merah sebesar 0.30 kgf untuk masing-masing suhu penyimpanan. Pada akhir penyimpanan, kekerasan cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC sebesar 0.04 kgf (hari ke-32), 0.04 kgf untuk penyimpanan pada suhu 10 oC (hari ke-26), dan 0.05 kgf pada
Gambar 15 Nilai kekerasan cabai rawit merah selama penyimpanan
penyimpanan suhu 15 oC (hari ke-14). Data hasil pengukuran kekerasan cabai rawit selama penyimpanan dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 5.
Cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5oC cenderung mampu
mempertahankan kekerasan kulit cabai lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 10 oC dan 15 oC. Hasil ini sesuai dengan Hameed et al. (2013) dan Lamona et al. (2015) yang menyatakan bahwa penurunan kekerasan cabai lebih kecil pada suhu rendah. Aktivitas metabolisme lebih kecil pada suhu rendah sehingga dapat mempertahankan kekerasan lebih lama.
Tingkat kekerasan bergantung pada tebalnya bagian kulit luar, kandungan total padatan dan kandungan pati pada suatu bahan. Peningkatan nilai kekerasan yang tinggi menandakan terjadi kekeringan pada cabai. Hal ini disebabkan kandungan air yang hilang membuat cabai menjadi layu dan keriput sehingga teksturnya menjadi keras. Penurunan kekerasan cabai menandakan tekstur cabai semakin lunak. Pelunakan ini terjadi karena perubahan komposisi dinding sel (Lamona et al. 2015). Nilai kekerasan yang rendah mengindikasikan terjadinya pembusukan pada cabai rawit merah.
Kekerasan cabai rawit menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hasil ini sejalan dengan Chitravathi et al. (2015) yang menyatakan kekerasan akan menurun secara signifikan selama penyimpanan. Cabai kehilangan kadar air dan menjadi layu sehingga kekerasan berkurang selama periode penyimpanan. Perubahan tekstur bahan menjadi lunak terjadi karena perubahan komposisi dinding sel yang menyebabkan turunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah. Hal ini disebabkan oleh aktifitas enzim yang merombak senyawa pektin yang tidak larut dalam air (protopektin) menjadi senyawa pektin yang larut dalam air sehingga tekstur buah menjadi lunak (Winarno 2002a). Kekerasan cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing mencapai 32 hari, 26 hari, dan 14 hari penyimpanan hingga cabai rawit mengalami kerusakan total.
21
Warna
Perubahan warna merupakan perubahan yang paling terlihat pada proses pematangan buah karena terjadinya sintesis dari pigmen tertentu seperti karatenoid dan flavonoid, disamping terjadinya perombakan klorofil. Perombakan klorofil menyebabkan pigmen karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata menjadi nampak (Winarno 2002b). Warna pada cabai merah dikendalikan oleh beberapa senyawa karotenoid seperti capsanthin, capsorubin dan xanthophylls untuk warna merah, sedangkan warna kuning jingga oleh senyawa β-karoten dan zeaxanthin (Ittah et al. 1993). Aktivitas metabolisme yang terjadi pada cabai merah keriting selama penyimpanan sangat mempengaruhi perubahan warna yang terjadi. Pigmen klorofil yang terdapat pada cabai rawit merah dirombak perlahan-lahan menjadi pigmen antosianin selama proses pematangan. Pigmen ini akan dirombak kembali hingga warna buah menjadi kecoklatan atau rusak. Laju perombakan pigmen ini bergantung pada aktivitas fisiologi (laju respirasi) bahan selama penyimpanan. Semakin tinggi aktivitas fisiologinya maka perombakan akan terjadi dengan cepat.
Nilai L
Nilai L merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan buah. Gambar 16 memperlihatkan bahwa nilai kecerahan cabai rawit merah mengalami penurunan selama masa penyimpanan. Nilai kecerahan awal cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC sebesar 48.59. sedangkan pada akhir penyimpanan nilai kecerahan cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5
oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing sebesar 44.67 (hari 32), 43.11 (hari
ke-26), dan 41.29 (hari ke-14).
Penurunan nilai kecerahan ini dikarenakan warna cabai rawit merah yang terlihat secara visual berubah menjadi merah gelap sehingga nilai L menurun mendekati warna hitam/gelap (nilai 0). Penyimpanan cabai pada suhu rendah mampu mempertahankan kecerahan lebih baik dibandingkan penyimpanan pada suhu tinggi. Suhu penyimpanan yang rendah akan menghambat laju respirasi pada cabai. Laju respirasi yang rendah akan menghambat pemecahan klorofil dan menurunkan biosintesis karotenoid (Chitravhati et al. 2015). Penyimpanan pada suhu rendah juga dapat menekan angka kehilangan air pada cabai selama penyimpanan. Rendahnya suhu penyimpanan dapat menekan terjadinya penguapan air dari cabai sehingga tingkat kecerahannya lebih tinggi dari cabai yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi (Lamona et al. 2015). Data hasil pengukuran nilai L cabai rawit merah selama penyimpanan dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 6.
Faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran nilai L pada cabai rawit diantaranya adalah faktor pencahayaan dari luar pada saat dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kamera CCD (Charge-Couple Device) yang memiliki tingkat sensitivitas cahaya yang tinggi. Lamona et al. (2015) menyatakan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kecerahan cabai.
Nilai Hue
Nilai hue menyatakan warna dominan yang dinyatakan dalam sudut. Gambar 17 menunjukkan nilai hue cabai rawit merah selama penyimpanan. Secara umum terjadi penurunan nilai hue cabai rawit merah selama masa penyimpanan. Nilai hue cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC di awal penyimpanan yaitu sebesar 24.82o. Sedangkan pada akhir penyimpanan nilai hue cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing sebesar 22.18o, 18.44o, dan 18.58o.
Penurunan nilai hue secara lambat terjadi pada penyimpanan suhu 5 oC dari
awal penyimpanan (hari ke-0) sampai akhir (hari ke-32) memiliki nilai rata-rata penurunan sebesar 0.15o dan penurunan nilai hue secara lambat juga terjadi pada penyimpanan suhu 10oC dengan rata-rata penurunan sebesar 0.46o, sedangkan
penurunan nilai hue secara signifikan terjadi pada suhu 15 oC dengan rata-rata penurunan nilai hue sebesar 1.00o. Nilai hue menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan dan semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan kerusakan klorofil dan biosintesis karotenoid berlangsung dengan cepat sehingga warna cabai akan berubah. Data hasil pengukuran nilai hue cabai rawit merah selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 7.
Nilai hue pada cabai rawit merah secara umum masih diantara 18o-25o dan dapat dicitrakan bahwa sampel berwana merah hingga akhir penyimpanan pada masing-masing suhu. Menurut Hariyanto (2009), pada sudut hue 0o-45o dan 46o
-315o menunjukkan warna merah (outer) sedangkan pada sudut hue 0o-15o dan 16o-345o menunjukkan warna merah inti (inner). Representasi nilai hue dapat dilihat pada Gambar 7. Penurunan pada suhu 15 oC mengalami penurunan nilai
hue paling tinggi dibandingkan dengan nilai hue pada dua suhu penyimpanan
yang lain, sedangkan penurunan nilai hue rendah terjadi pada penyimpanan suhu dingin (5 oC) yang menunjukkan bahwa cabai dapat mempertahankan warna merah lebih baik bila disimpan pada suhu tersebut.
23
Menurut Harris (2001), warna merah pada cabai berasal dari sintesis karotenoid yang terbentuk selama proses pematangan buah. Sintesis karotenoid dipicu oleh meningkatnya konsentrasi O2, etilen, dan meningkatnya suhu
penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa pada keadaan oksigen yang tersedia dengan baik dan suhu penyimpanan yang tinggi akan terjadi perombakan pigmen dengan sempurna, sehingga perubahan warna berlangsung dengan cepat.
Vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang terdapat pada cabai rawit merah. Vitamin C merupakan mikro-nutrien yang dibutuhkan tubuh manusia agar semua metabolisme tubuh tetap berlangsung. Selain sebagai parameter kandungan gizi, kandungan vitamin C juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran cabai rawit merah.
Pada Gambar 18, terlihat bahwa kandungan vitamin C pada cabai rawit merah yang disimpan pada ketiga suhu penyimpanan mengalami penurunan, kemudian kembali mengalami peningkatan karena cabai rawit mengalami kematangan. Kandungan vitamin C cabai rawit kembali mengalami penurunan hingga cabai mengalami kerusakan total. kandungan vitamin C pada suhu 15 oC mengalami penurunan lebih cepat bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 5 oC dan 10 oC. Penyimpanan pada suhu 5 oC dan 10 oC mampu menjaga kandungan vitamin C tetap tinggi hingga akhir penyimpanan.
Penurunan kadar vitamin C cabai rawit merah disebabkan terjadinya oksidasi vitamin C yang dipengaruhi oleh keberadaan oksigen, cahaya, suhu, panas, dan pH (Zaki et al. 2013). Data vitamin C cabai rawit merah selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada awal penyimpanan kadar vitamin C yang terkandung dalam cabai rawit merah sebesar 319.97 mg/100g.
Pada akhir penyimpanan kadar vitamin C cabai rawit yang disimpan pada suhu 5
oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing sebesar 189.82 mg/100g, 145.90 mg/100g,
dan 169.45 mg/100g.
Kenaikan vitamin C cabai rawit merah mencapai puncaknya saat penyimpanan cabai pada hari ke-10 (suhu 15 oC), hari ke-18 (suhu 10 oC) dan hari ke-20 (suhu 5 oC) terjadi karena pada awal penyimpanan cabai rawit merah belum
mengalami kematangan yang sempurna dan diduga puncak kematangan terjadi pada hari tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Kumar dan Tata (2009) yang menyatakan bahwa kandungan vitamin C tertinggi ada pada fase matang pada saat cabai berwarna merah merata. Setelah itu kandungan vitamin C semakin mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan (cabai mengalami kerusakan). Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi penurunan vitamin C adalah proses respirasi yang dialami oleh cabai selama penyimpanan. Proses respirasi dapat meningkatkan laju metabolisme, vitamin C mengalami oksidasi sehingga terjadi penurunan kadar vitamin C (Wulandari et al. 2012).
Metode pengambilan data sangat mempengaruhi tingkat keakuratan data vitamin C yang dikandung oleh cabai rawit. Penentuan volume titrasi cukup sulit dilakukan secara objektif karena pengamatan perubahan warna bergantung pada pencahayaan dan keterampilan penguji.
Penyimpanan cabai pada suhu 5 oC mampu mempertahankan kandungan vitamin C lebih stabil bila dibandingkan dengan suhu 10 oC dan suhu 15 oC. Penyimpanan cabai rawit pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC vitamin C masing-masing dapat dipertahankan hingga 32, 26, dan 14 hari penyimpanan sampai sebelum cabai mengalami kerusakan.
25
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Suhu penyimpanan berpengaruh terhadap kualitas cabai rawit merah selama penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah mampu menekan aktivitas enzim sehingga menghambat perombakan senyawa di dalam cabai. Cabai rawit merah yang disimpan pada suhu 5 oC, 10 oC, dan 15 oC masing-masing mampu
mempertahankan kualitasnya hingga 32 hari, 26 hari, dan 14 hari penyimpanan. Pada penyimpanan suhu 15 oC ditemukan adanya cendawan atau jamur pada cabai rawit merah karena pengaruh RH yang relatif tinggi dengan rata-rata 87.22%.
Cabai yang disimpan pada suhu rendah (5 oC) mampu mempertahankan kualitasnya paling baik. Penyimpanan cabai pada suhu rendah mampu menekan laju respirasi, menekan susut bobot, mempertahankan kadar air cabai, kekerasan, perubahan warna, serta mampu menjaga kandungan vitamin C namun pada hari ke-28 ditemukan adanya gejala chilling injury berupa legokan (pitting) pada permukaan cabai rawit.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa RH terlihat fluktuatif, sehingga perlu dilakukan pengontrolan RH agar hasil yang diperoleh dari penelitian lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Data Kebutuhan Cabai Dalam Negeri. [Internet]. [diunduh 2017 Mar 15]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table7.shtml
Arifin I. 2010. Pengaruh cara dan lama penyimpanan terhadap mutu cabai rawit (Capsicum frutencens L. var. Cengek) [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ashari S. 2006. Meningkatkan Keunggulan Buah-Buahan Tropis Indonesia. Yogyakarta (ID): Andi.
Asmayanti. 2012. Sistem pemasaran cabai rawit merah (Capsicum frutescens) di desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bastian, Februadi AB, Tawali A, Laga. 2004. Mempelajari pengaruh suhu penyimpanan terhadap mutu buah apel varietas red delicious (Malus
Sylvestris). Jurnal Jurusan Teknologi Pertanian Fapertahut UNHAS.
13(2):78-87.
Burg SP. 2004. Postharvest Physiology and Hypobaric Storage of Fresh Produce. London (GB): CABI Publishing.
Cahyono B. 2003. Cabai Rawit: Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Cantwel M. 2009. Recommendations for Maintaining Postharvest Quality. [Internet]. [diunduh 14 Mar 2017]. Tersedia pada: http://postharvest.ucdavis.edu/Commodity_Resources/Fact_Sheets/Datasto res/Vegetables_English/?uid=12&ds=799
Chitravathi K, Chauhan OP, Raju PS. 2015. Influence of modified atmosphere packaging on shelf-life of green chillies (Capsicum annuum L.). Food
Packaging and Shelf Life. 45(1):1-9.
Dalimartha S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 5. Jakarta (ID): Pustaka Bunda.
Hameed R, Malik AU, Khan AS, Imran M, Umar M, Riaz R. 2013. Evaluating the effect of different storage conditions on quality of green chillies (Capsicum annuum L.). Tropical Agricultural Research. 24(4):391-399. Harpenas A, Darmawan R. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Hariyanto D. 2009. Studi penentuan nilai resistor menggunakan seleksi warna metode HSI pada citra 2D. Telkomnika. 7(1):13-22.
Harris H. 2001. Kemungkinan penggunaan edible film dari pati tapioka untuk pengemas lempuk. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 3(2):99-106.
Ittah Y, Kanner J, Granit R. 1993. Hydrolysis study of carotenoid pigments of paprika (Capsicum annuum L. variety Lehava) by HPLC/photodiode array detection. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 41(6):899-901. Koswara S. 2009. Pengolahan pangan dengan suhu rendah. [Internet]. [diunduh