• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 GEOMORFOLOGI docx 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 GEOMORFOLOGI docx 1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

GEOMORFOLOGI

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari muka bumi beserta aspek-aspek

yang mempengaruhinya. Kata geomorfologi (geomorphology) berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari tiga kata yaitu : Geos (Earth atau Bumi), Morphos

(Shape dan Bentuk), Logos (Knowledge atau Ilmu Pengetahuan). Berdasarkan dari kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan pengetahuan

tentang bentuk-bentuk permukaan bumi. Worcester (1939) mendefinisikan

geomorfologi sebagai deskripsi dan tafsiran dari bentuk roman muka bumi.

Definisi Worcester ini lebih luas dari sekedar ilmu pengetahuan tentang bentang alam (the science of landform), sebab termasuk pembahasan tentang kejadian bumi secara umum, seperti pembentukan cekungan lautan (ocean basin) dan paparan benua (continental platform), serta bentuk-bentuk struktur yang lebih kecil dari yang disebut diatas seperti ; Plain, Plateau, Mountain dan sebagainya.

Lobeck (1939) dalam bukunya “Geomorphology : An Introduction to the study of landscapes”. Landscapes yang dimaksudkan disini adalah bentang alam alamiah (natural landscape). Dalam mendeskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentang alam (landform atau landscapes) ada tiga faktor yang deperhatikan dalam mempelajari geomorfologi yaitu; struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor

(2)

2.1.Fisiografi

Menurut Bennet, dkk, 1981 pada peta geologi lembar Langsa dibagi menjadi tiga

satuan fisiografis yang diikontrol oleh keadaan geologinya, yaitu :

1. Fisiografis Pegunungan Barisan (Barisan Mountains) 2. Fisiografis Kaki Bukit Pantai Timur (East Coast Foothills) 3. Fisiografi Daerah Pantai (Coastal Pantai)

2.1.1. Fisiografi Pegunungan Barisan (Barisan Mountains)

Fisiografis Pegunungan Barisan (Barisan Mountains) merupakan morfologi yang mempunyai relief yang terjal. Mempunyai ketinggian berkisar 1000 meter sampai

1500 meter diatas permukaan air laut dan mencapai ketinggian 2000 meter.

Morfologi ini terdapat kelompok batuan Tapanuli yang terdiri dari formasi

Bahorok dan formasi Kluet yang berumur Paleozoikum. Pada Morfologi ini

terdapat juga formasi Batugamping Tampur membentuk suatu jajaran pegunungan

yang berarah Timur – Utara tegak lurus dengan jajaran Bukit Barisan berarah

Barat Laut – Tenggara. Bukit Barisan ini diapit pada arah Utara – Timur oleh

Fisiografi Kaki Bukit Pantai Timur.

2.1.2. Fisiografi Kaki Bukit Pantai Timur (East Coast Foothills)

Fisiografi Kaki Bukit Pantai Timur terletak sebelah Barat yang berbatasan dengan

Pegunungan Bukit Barisan dan sebelah Timur Dataran Pantai. Morfologi ini

umumnya ditempati oleh formasi Bampo, formasi Rampong, formasi Peutu,

formasi Baong, dan formasi Keutapang yang merupakan sedimen berumur Tersier

(3)

Lokasi Pemetaan

2.1.3. Fisiografi Daerah Pantai (Coastal Pantai)

Fisiografi Dataran Pantai Merupakan suatu daerah alluvium berkembang pada

daerah Langsa sampai Tamiang, menempati bagian sebelah Timur fisiografi peta

lembar Langsa yang di tempatin oleh sedimen endapan Kwarter yang terdiri dari

formasi Julu Rayeu dan formasi Idi. Daerah pemetaan termasuk kedalam suatu

Fisiografi Kaki Bukit Pantai Timur (East Coast Foothills).

Gambar 2.1. Fisiografi regional daerah pemetaan ditandai dengan kotak merah

(Bennet, dkk, 1981)

2.2. Geomorfologi Daerah Pemetaan

Pembentukan dan perkembangan relief muka bumi berkaitan dengan litologi,

struktur dan proses (William Thornburry, 1969). Bentuk morfologi dan

pengontrolnya dapat diketahui dengan melakukan analisa berdasarkan peta

topografi daerah pemetaan dengan skala 1 : 50.000 dan pengamatan langsung

(4)

morfologi dimana setiap satuan mempunyai kerakteristik tersendiri dan dengan

kondisi yang berbeda-beda. Secara umum morfologi daerah pemetaan merupakan

daerah dataran dan sebagian kecil daerah perbukitan yang pembentukannya

dikontrol oleh jenis batuan sedimen, perbedaan tingkat resistensi batuan sedimen,

struktur geologi, dan erosi yang bekerja pada daerah pemetaan. Proses morfologi

adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun secara kimia yang dialami

permukaan bumi. Penyebab dari proses perubahan tersebut dikenal dengan

Geomorfic Agent” dimana faktor pengubah ini dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Tenaga asal dalam (tenaga endogen)

2. Tenaga asal luar (tenaga eksogen)

Pengamatan morfologi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengaruh keadaan

geologi terhadap morfologi daerah pemetaan. Pembagian satuan morfologi

berdasarkan klasifikasi W.D Thornburry 1969, yang didasarkan pada

morfoganesa yaitu asal pembentukan bentangalam serta proses-proses yang

mempengaruhi morfoganesa yang terdiri dari :

1. Morfostruktur aktif : Perlipatan, Pensesaran dan Gunung api

2. Morfostruktur pasif : Mesa, Hogback dan Kubah

Berikut adalah klasifikasi satuan geomorfik menurut W.D Thornbury 1969 :

1. Satuan Geomorfik Fluvial, topografi fluvial merupakan topografi yang

terbentuk akibat adanya meterial-material yang berasal dari batuan yang

mengalami pelapukan kemudian tererosi dan terendapkan kembali oleh media

transportasi air.

(5)

a. Topografi Struktur Domal, tipe struktur domal dengan inti batuan kristalin

dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu batuan kristalin sebagai intinya

yang berumur tua dan tipe kedua dinamakan sebagai Domal Locolitik, tipe ini dihasilkan dari masa batuan beku diantara batuan sedimen.

b. Kubah garam yang dihasilkan dari intrusian garam dilapisan batuan dan

pada umumnya berukuran lebih kecil.

c. Struktur lipatan, satuan geomorfik ini dicirikan dengan adanya struktur

perlipatan dimana terdapat lapisan batuan Antiklin dan Sinklin.

3. Topografi Struktur Sesar, topografi ini dicirikan dengan adanya struktur sesar

dan ditemukan adanya bidang sesar, horst, graben, sesar naik dan sesar turun. 4. Satuan Geomorfik Topografi Karst, satuan ini dicirikan dengan permukaan

yang berupa adanya Dolena, Sinking Creek, Karst Valey dan Blind Valley. 5. Topografi Lantai Samudra, topografi ini dibentuk pada dasar samudera.

Topografi ini dibagi menjadi Abyssal Plain, Continental Apron, Continental Shelf, Continental Slope, Deep Sea Chanels, Dep Sea Fan, Plateau, Ridge, Seamont, Seascrap, Submanr Canyon, Valley, Tablemount, Oseanic Bank, Trench dan Trough.

6. Satuan Geomorfik Vulkanik, satuan ini dengan adanya aktifitas vulkanisme

sehingga membentuk suatu morfologi. Hal ini dicirikan dengan adanya Dike

(6)

Berdasarkan William D Thornburry 1969, klasifikasi morfologi berdasarkan morfoganesa yang dikontrol oleh struktur dan litologi, sehingga didapat satuan

geomorfik perbukitan lipatan, karena nilai elevasi atau ketinggian <500m maka

morfonya adalah perbukitan dan jenis litologi yang mempunyai tingkat

keelastisan batuan yang tinggi, sehingga terbentuk struktur lipatan jika batuan

terkena oleh suatu gaya sehingga dapat disimpulkan satuan perbukitan lipatan.

Satuan perbukitan lipatan ini di lapangan dicirikan dengan perbedaan ketinggian

yang tidak begitu mencolok atau hamper memiliki ketinggian yang sama pada

daerah pemetaan dan adanya kedudukan batuan yang berarah berlawanan

(antiklin) dan kedudukan batuan yang berarah searah (sinklin). Pada daerah

pemetaan satuan geomorfik ini berada pada seluruh daerah pemetaan.

Foto 2.1. Satuan geomorfik perbukitan lipatan pada stasiun pengamatan P26 dicirikan dengan

adanya nilai kedudukan batuan yang berbeda, terlihat pada daerah Gerenggam.

2.3. Pola Pengaliran Sungai.

(7)

Suatu sistem jaringan sungai akan membentuk pola pengaliran tertentu diantara

saluran utama dengan cabang-cabangnya dan pembentukan pola pengaliran ini

sangat ditentukan oleh faktor geologinya. Pola pengaliran sungai dapat di

klasifikasikan atas dasar bentuk dan teksturnya. Bentuk atau pola yang

berkembang dipengaruhi oleh topografi dan struktur geologi bawah

permukaannya. Saluran-saluran sungai berkembang ketika air permukaan (surface runoff) meningkat dan batuan dasarnya kurang resisten terhadap erosi. Sistem fluvial dapat menggambarkan perbedaan pola geometri dari jaringan pengaliran

sungai. Jenis pola pengaliran sungai antara alur sungai utama dengan

cabang-cabangnya disatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat bervariasi. Adanya

perbedaan pola pengaliran sungai di satu wilayah dengan wilayah lain sangat

ditentukan oleh perbedaan kemiringan topografi, struktur dan litologi batuan

dasarnya. Arthur D Howard (1967), mengklasifikasikan sungai berdasarkan

polanya dalam beberapa kategori yaitu pola dasar (Basis Patern) pola ubahan (Modifield Basic Patter) dan gabungan pola dasar dengan pola ubahan (Other Modiefield Patter). Pola pengaliran setiap daerah berbeda-beda, setiap pola pengaliran mencerminkan struktur dan proses yang mengontrolnya, maka

identifikasi yang baik terhadap pola aliran sungai akan dapat memberikan

informasi mengenai struktur dan proses yang terjadi. Beberapa faktor yang

mempengaruhi pola aliran sungai antara lain: kemiringan lereng, perbedaan

tingkat resistensi batuan, kontrol struktur, pembentukan pegunungan, proses

(8)

Berdasarkan interpretasi peta topografi dan pengamatan langsung dilapangan serta

sifat fisik batuan dan struktur geologi yang berpengaruh selanjutnya mengacu

pada klasifikasi Arthur D Howard, 1967 (Gambar 2.2), maka pola pengaliran

(Draignage Pattern) daerah penelitian terdapat satu pola pengaliran Subdendritik. Pola pengaliran Subdendritik menurut Arthur D Howard (1967) adalah

Subdendritik adalah Pola ubahan dari pola dendritik, dikarenakan pengaruh

topografi dan struktur kekar secara perlahan, pola ini berkembang menjadi pola

trellis, pada pola ini topografi sudah miring, struktur sudah berperan tetapi masih

sangat kecil,

Gambar 2.2. Pola aliran sungai (Arthur D Howard, 1967)

2.4. Stadia Sungai

Stadia sungai merupakan tahap perkembangan dari suatu sungai. Dalam sejarah

terbentuknya sungai melalui suatu tingkatan ataupun tahapan, yaitu sungai stadia

muda, stadia dewasa dan stadia tua. Keanekaragaman tahapan tahapan ini

ditentukan oleh ciri-ciri sungai tersebut, dimana tingkat perubahannya

dipengaruhi oleh proses-proses alam. Ciri-ciri tersebut yaitu perubahan ciri

bentang alam yang meliputi bentuk lembah dan gradien kelerengan yang terjadi

(9)

Gambar 2.3. Pola perubahan bentuk alur sungai yang semula linear dan kemudian

menjadi meander. Proses perubahan sungai dari linear ke meander

disebabkan oleh sifat erosi vertikal berubah menjadi erosi lateral.

Berdasarkan A.K Lobeck (1939) dari kenampakan bentuk morfologinya yaitu

bentuk lembah yang dihasilkan oleh erosi dan dikaitkan dengan tingkat resistensi

batuan, interpretasi peta topografi, studi literatur dan pengamatan langsung

dilapangan maka penulis menginterpretasikan daerah pemetaan memiliki stadia

sungai yaitu : Stadia Muda

Sungai stadia muda ini dicirikan dengan penampang lembah berbentuk huruf “V”,

Dinding lembah terdiri dari batuan-batuan yang segar akibat kegiatan erosi yang

terjadi sangat kuat khususnya erosi ke bawah (vertikal) dan tidak mempunyai dataran banjir Athur D. Howard (1987 ).

Sungai stadia muda pada daerah pemetaan ini terdapat dibagian seluruh daerah

pemetaan. Sungai stadia muda yang diamati pada salah satu sungai yang berada di

sekitar daerah Gerenggam, sungai ini ditandai dengan masih adanya kelurusan

sungai, seperti yang terlihat pada foto 2.2. Air yang mengalir pada sungai ini

umumnya masih relatif tenang dan berwarna keruh karna tingkat kemiringan

(10)

resistensi yang lemah, lebar sungai ini kurang lebih 3,5m. Sungai stadia muda

daerah Gerenggam ini selalu digunakan oleh penduduk setempat sebagai

kebutuhan perkebunan dan pertanian.

Foto 2.2. Sungai berstadia muda

2.5. Genetika Sungai

Genetika sungai dinyatakan sebagai hubungan arah mengalirnya sungai mengikuti

arah kedudukan dari lapisan batuan atau berlawanan dengan arah lapisan batuan.

Genetika sungai dapat dibagi sebagai berikut :

1. Sungai Superposed atau sungai superimposed adalah sungai yang terbentuk diatas permukaan bidang struktur dan dalam perkembangannya erosi vertikal

sungai memotong kebagian bawah hingga mencapai permukaan bidang

struktur agar supaya sungai dapat mengalir kebagian yang lebih rendah.

Dengan kata lain sungai superposed adalah sungai yang berkembang

belakangan dibandingkan pembentukan struktur batuannya.

2. Sungai Antecedent adalah sungai yang lebih dulu ada dibandingkan dengan keberadaan struktur batuannya dan dalam perkembangannya air sungai

(11)

dapat terjadi karena erosi arah vertikal lebih intensif dibandingkan arah

lateral.

3. Sungai Konsekuen adalah sungai yang berkembang dan mengalir searah lereng topografi aslinya. Sungai konsekuen sering diasosiakan dengan

kemiringan asli dan struktur lapisan batuan yang ada dibawahnya. Selama

tidak dipakai sebagai pedoman, bahwa asal dari pembentukan sungai

konsekuen adalah didasarkan atas lereng topografinya bukan pada kemiringan

lapisan batuannya.

4. Sungai Subsekuen adalah sungai yang berkembang disepanjang suatu garis atau zona yang resisten. Sungai ini umumnya dijumpai mengalir disepanjang

jurus perlapisan batuan yang resisten terhadap erosi, seperti lapisan batupasir.

5. Sungai Resekuen, Lobeck (1939) mendefinisikan sungai resekuen sebagai sungai yang mengalir searah dengan arah kemiringan lapisan batuan sama

seperti tipe sungai konsekuen, Perbedaannya adalah sungai resekuen

berkembang belakangan.

6. Sungai Obsekuen, Lobeck (1939) mendefinisikan sungai obsekuen sebagai sungai yang mengalir berlawanan arah terhadap arah kemiringan lapisan dan

berlawanan terhadap sungai konsekuen. Definisi ini juga mengatakan bahwa

sungai konsekuen mengalir searah dengan arah lapisan batuan.

(12)

Gambar 2.4. Blok diagram di daerah yang berstruktur komplek yang telah mengalami erosi yang

cukup intensif. Percabangan sungai yang berkembangan didaerah ini secara genetik

dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur geologi yang mengontrolnya

(r=resekuen; o=obsekuen; s=subsekuen).

Berdasarkan hasil pengamatan aliran sungai, jenis batuan dan kedudukan

perlapisan batuan dilapangan maka diinterpretasikan bahwa jenis sungai pada

daerah pemetaan merupakan sungai Subsekuen, Obsekuen, Resekuen dan

Insekuen

Genetik sungai dapat diamati pada peta aliran (Lampiran), disekitar A.Gerenggam

ini berada pada bagian tengah dan Timur Laut daerah pemetaan. Arah aliran

sungainya searah kemiringan lapisan Batulempung lanauan, Batulanau

Lempungan dan Konglomerat dimana arah kemiringan Batulempung lanauan dan

Batulanau Lempungan mengarah ke Timur Laut dan arah aliran sungai mengarah

ke Timur Laut dan pada konglomerat arah kemiringan lapisan berarah Tenggara

dan arah aliran sungainya berarah Tenggara, maka genetik sungai pada daerah

sekitar A.Gerenggam dan Tenggara adalah Resekuen.

R

O

(13)

Genetik sungai dijumpai pada bagian Selatan daerah pemetaan. Genetik sungainya

adalah subsekuen, yang ditunjukan arah jurus perlapisan satuan Batulanau

Lempungan searah dengan aliran sungai, dimana jurus perlapisan satuan

Batulanau Lempungan mengarah ke Tenggara sedangkan arah aliran sungainya

juga mengarah ke Tenggara..

Genetik sungai selanjutnya dijumpai pada bagian Barat daerah pemetaan. Genetik

sungainya adalah obsekuen, yang ditunjukan arah kemiringan perlapisan satuan

Batulempung lanauan dan Batupasir lanauan berlawanan arah dengan aliran

sungai, dimana kemiringan perlapisan satuan Batulempung lanauan dan Batupasir

lanauan mengarah ke Barat Daya sedangkan arah aliran sungainya mengarah ke

Timur Laut..

Genetik sungai yang terakhir dijumpai pada bagian tengah dan Utara daerah

pemetaan. Genetik sungainya adalah insekuen, yang ditunjukan arah aliran sungai

yang mengikuti suatu aliran dimana lereng tidak dikontrol oleh kemiringan asli,

Gambar

Gambar 2.1. Fisiografi regional daerah pemetaan ditandai dengan kotak merah
Gambar 2.2. Pola aliran sungai (Arthur D Howard, 1967)
Gambar 2.3. Pola perubahan bentuk alur sungai yang semula linear dan kemudian
Gambar 2.4. Blok diagram di daerah yang berstruktur komplek yang telah mengalami erosi yang

Referensi

Dokumen terkait

Pola permukiman penduduk yang terdapat di daerah dataran rendah dengan mengikuti sisi kiri kanan jalan dan aliran sungai disebut ..... Pola memusat adalah daerah permukiman

Data Blok harus berada di dalam kelurahan dimana blok tersebut berada baik data atribut maupun data spasialnya 5 Sungai Kelurahan Berada Pada Data spasial sungai harus

purification di penggal Sungai Bedog Kuantitatif, pengukuran kualitas air, pengukuran debit, kemiringan dasar sungai, penampang melintang, keadaan aliran (Bilangan

Pada perencanaan sistem irigasi di daerah aliran Sungai Ciujung, digunakan data hujan dari 3 stasiun pengukuran hujan.. Ketiga stasiun pengukuran hujan

Menurut Dinas Pekerjaan Umum, banjir adalah suatu keadaan aliran sungai dimana permukaan airnya lebih tinggi dari pada lahan bagian atas dari tebing sungai (bantaran sungai),

Kelongsoran atau keruntuhan lereng adalah pergerakan massa tanah atau batuan sepanjang bidang gelincir atau suatu permukaan geser dengan arah tegak, mendatar atau miring

Objek aliran terhubung satu sama lain didalam sebuah diagram untuk membuat struktur kerangka dasar dari proses bisnis seperti pada Gambar 2.5, (a) Event, (b)

Analisis Daerah Aliran Sungai Perencanaan sistem pengendalian banjir pada suatu wilayah, perlu diketahui besarnya curah hujan yang mewakili DAS, dimana dapat diperoleh dari analisis