POTRET DAN SOLUSI PERSOALAN PERKOTAAN
DI KOTA SEMARANG
STUDI KASUS PERSOALAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL
(PSK)
Disusun oleh :
1. Yuditya Firdauza Yasmin (14010115120011) 2. Rindra Herlambang (14010115120013) 3. Fathur Reynaldi Pratama (14010115120020) 4. Arum Isnaeny Kasanti (14010115120026) 5. Diaz ‘Aisyah Pratiwi (14010115120046)
DEPARTEMEN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar Isi...2
BAB I PENDAHULUAN...…..3
1.1 Latar Belakang...3
1.2 Rumusan Masalah...4
1.3 Tujuan Penelitian...4
1.4 Metode Penelitian...4
BAB II PEMBAHASAN...6
2.1 Deskripsi Penelitian...6
2.2 Transkrip...8
BAB III ANALISIS ALTERNATIF...16
3.1 Analisis...16
3.2 Alternatif Kebijakan...19
BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PEMERINTAH...21
BAB V KESIMPULAN...23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah sosial bisa diartikan suatu kondisi yang dipandang oleh masyarakat
sebagai suatu hal yang tidak diharapkan. Sebuah fenomena dapat dikatakan sebagai masalah sosial biasanya karena menjadi perhatian publik. Fenomena yang terus berkembang dan tidak pernah terselesaikan salah satunya adalah masalah wanita tuna
susila atau Pekerja Seks Komersial (PSK). PSK merupakan istilah yang diberikan kepada seseorang wanita yang menyediakan dirinya kepada banyak laki-laki untuk mengadakan
hubungan kelamindemi mendapatuang.
Menurut Jenssen, secara luas masalah dapat didefinisikan sebagai perbedaan
antara harapan dan kenyataan atau sebagai kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang seharusnya. Horton dan Leslie menyatakan bahwa masalah sosial adalah
suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif (Suharto, 1997).1
Permasalahan PSK di kota besar selalu ada, hapir setiap kota besar memiliki tempat pelacuran. Pemerintah sampai saat ini juga belum tegas menghadapi masalah yang satu ini. Dibuktikan sampai saat ini belum ada peraturan perundang–undangan yang
melarang menjual jasa seks atau melakukan aktivitas lain sejenisnya. Hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal
seperti yang tertera pada KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 506 yang berbunyi : “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun”.
Setiap permasalahan yang ada harus dapat diselesaikan. Masalah sosial yang ada
pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau kebutuhan masyarakat banyak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana permasalahan PSK di kota Semarang?
2. Bagaimana menangani permasalahan PSK di kota Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan realitas permasalahan PSK di kota Semarang
2. Mengetahui kebijakan untukmengatasi permasalahan PSK di kota Semarang
1.4 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekata kualitatif yaitu pendekatan dengan
wawancara serta pengamatan untuk memperoleh data. Sebagaimana pengertian penelitian kualitatif yaitu meneliti informan sebagai subjek penelitian dalam lingkungan hidup sehariannya. Peneliti kualitatif sedapat mungkin berinteraksi secara dekat dengan
informan, mengenal secar dekat dunia mereka, mengamati dan mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya.
Data kualitatif merupakan fakta atau informasi yang diperoleh dari aktor (subjek penelitian, informan, pelaku), aktivitas dan tempet yang menjadi subjek penelitian. Data
merupakan segala keterangan atau informasi mengenai semua hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
Data kualitatif diperoleh dari hal-hal yang diamati, didengar, dirasa, dan dipikirkan oleh peneliti. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
BAB II
PEMBAHASAN 2.1 Deskripsi Penelitian
Kota Semarang merupakan salah satu kota yang tidak terlepas dari permasalahan atau persoalan mengenai Pekerja Seks Komersial (PSK) baik yang telah
memiliki tempat lokalisasi maupun yang ada di jalanan. Permasalahan mengenai PSK bukan menjadi hal baru dalam pemerintahan. PSK telah ada sejak lama dan sampai saat ini penuntasannya bukan merupakan hal yang mudah.
2.1.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri dari 5 subjek penelitian dan 2 informan. Subjek penelitian dan informan adalah sebagai berikut :
1. 5 PSK yang berada di jalan Imam Bonjol kota Semarang yang dipilih secara random.
2. 2 orang warga yang berada di sekitar lokasi penelitian. 2.1.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di sepanjang jalan Imam Bonjol dan jalan
Pemuda (Stasiun Tawang) kota Semarang. Alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah karena lokasi tersebut merupakan tempat yang menjadi lahan PSK
jalanan di kota Semarang. 2.1.3 Waktu
Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 3 minggu. Dimulai pada tanggal 6 Maret 2017 sampai dengan 20 Maret 2017. Dengan alokasi sebagai berikut :
a. Pengumpulan
Hasil penelitian yang kita peroleh dari wawancara serta pengamatan pada PSK
di sepanjang Jalan Imam Bonjol / disekitar Stasiun Poncol dan Stasiun Tawang yang dilakukan selama 3 minggu, pada pukul 22.00 WIB - 02.00 WIB, setiap malamnya terdapat kurang lebih 30 – 40 PSK yang berada dipinggir jalan untuk
menunggu tawaran dari pelanggannya. Cuacapun tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bekerja.
Kita telah mewawancari 5 orang PSK dan 1 orang pedagang yang berada di sekitar Stasiun KA. Poncol dan pengunjung di taman sekitar Stasiun Tawang. Dari hasil wawancara yang kita laksanakan, kita memperoleh beberapa hasil, diantaranya : identitas pelacur, penyebab ia berprofesi sebagai pelacur, serta
suka duka sebagai pelacur. Hasil penelitian yang kita peroleh tidak hanya dari hasil wawancara saja, tetapi juga hasil pengamatan, diantaranya jumlah PSK
setiap malamnya, bagaimana PSK tersebut merayu pelanggannya, bagaimana perilaku pelanggan terhadap PSK. Pengamatan dan wawancara kami lakukan tidak hanya kepada PSK saja tetapi juga masyarakat yang berada di sekitar
tempat tersebut.Menurut masyarakat yang kami wawancarai, sudah bukan hal tabu lagi jika tempat-tempat tersebut merupakan tempat “mangkal” para PSK.
2. 2. Transkrip
Rina (nama disamarkan), merupakan salah seorang PSK yang berasal dari Demak. Kurang lebih 6 bulan Rina menjalani profesi sebagai PSK. Alasan Rina bekerja
sebagai PSK karena tuntutan ekonomi yang kian mendesak, setelah suaminya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga masuk penjara dan dikenai vonis selama 5 tahun penjara, karena mengkonsumsi obat-obat terlarang, sehingga wanita berusia 35
tahun ini mencari jalan keluar untuk menyelamatkan keluarganya dari krisis ekonomi. Pada mulanya ibu 1 anak ini bekerja sebagai Pemandu Ka lantas tidak raoke, namun
karena penghasilan yang dirasa masih kurang, maka Ibu Rina mencoba peruntungan lain yaitu sebagai PSK.
Walaupun Ibu Rina dapat memperoleh penghasilan Rp 600.000,- s/d Rp
900.000 setiap malam dengan lama waktu bekerja 3 – 4 jam / hari lantas tidak membuatnya akan menekuni profesi sebagai PSK, sebab pekerjaan ini ia jalani karena
dengan rasa terpaksa serta terlalu banyak resiko. Diantaranya adanya razia Satpol PP serta diketahui oleh keluarga besarnya. Seba keluarganya hanya tau dia berprofesi sebagai penyanyi.
Dia tidak terlalu berharap dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebab menurutnya, dia menjalani pekerjaan ini, sudah merupakan pilihannya. Sehingga
apapun resikonya dia sudah berani menerima konsekuensinya.
2. Responden 2
Laras (nama disamarkan), merupakan PSK yang berasal dari Solo. Dia merupakan orang tua tunggal yang menghidupi 3 anak laki-lakinya. Dia telah menjalani profesi ini sudah lebih dari 2 tahun, yaitu semenjak bercerai dengan suaminya dan tanpa
Ibu Laras mematok tarif yaitu Rp 150.000,- untuk setiap pelanggannya baik tua maupun muda. Dalam hati nuraninya dia ingin berhenti menjalani profesi sebagai
PSK karena terlalu beresiko, untuk menghindari razia saja, dia harus berangkat larut malam. Tetapi dia juga tidak tahu harus menjalani profesi apa sebab dia merasa tidak memiliki keahlian khusus. Perempuan berusia 33 tahun ini sudah tidak memiliki harapan
apapun untuk pemerintah. Untuk diberi pembinaanpun sudah tidak mau, sebab ketika dibina tidak ada yang memberi pemasukan untuk keluarganya.
3. Responden 3
Lisa (nama disamarkan), merupakan PSK yang berasal dari Magelang, tetapi kini ia menetap di sebuah kost yang terletak di Pedurungan, Semarang. Perempuan berusia 24 tahun ini telah 1 tahun berprofesi menjadi PSK. Penyabab ia memilih berprofesi sebagai
PSK karena dia sering mendapatkan pelecehan seksual dari mantan kekasihnya yang sudah berjanji akan menikahi, tetapi pada kenyataannya justru ditinggal selingkuh dengan
wanita lain. Keluarganyapun tidak mengetahui jika dirinya bekerja sebagai penjajak seksual, yang keluarganya tahu, dia hanya bekerja sebagai pelayan di restaurant. Karena penyebabnya menjadi PSK ini bukanlah karena faktor ekonomi maupun faktor keluarga, ia
memiliki keluarga yang utuh dimana dirinya merupakan anak ke 2 dari 4 bersaudara. Sebelum memilih profesi sebagai PSK, dulunya ia berprofesi sebagai baby sitter di Jakarta
namun karena gaji yang diberikan hanya Rp 2.000.000,- per bulan sehingga tidak dapat memenuhi kebuutuhannya.
Pendapatan yang diperoleh tergantung dari ramai tidaknya pelanggan pada setiap malam. Jika sedang ramai pengunjung, pendapatan yang diporelah bisa mencapai Rp 1.000.000,- , jika sedang sepi pengunjung hanya memporelah Rp 650.000,-. Sistem
pembayaran yang diterapkan yaitu setiap satu kali main di hargai Rp 150.000,- s/d Rp 2000.000,-. Jadi setiap malamnya dia bisa melayani 3 sampai dengan 5 orang lelaki
Alasan dia menjajakkan diri di Pinggir jalan Poncol karena tidak terikat oleh “Mami” ( mucikari pelacur ) dan bisa disesuaikan dengan keadaan dirinya sendiri, jika di
tempat lokalisasi semuanya diatur dan hasilnya dibagi oleh “Mami”, baik itu sedang ramai atau sepi pengunjung. Profesi ini cukup beresiko, sebab perempuan berstatus lajang ini pernah mengalami beberapa kali kejahatan. Diantaranya pernah mengalami penodongan
dan pencurian yang berkedok sebagai pelanggannya. Kerugian yang dialami yaitu berupa kerugian materi, kurang lebih 1 sampai dengan 2 juta uangnya telah raib. Dalam melayani
pelangganpun juga ada resikonya diantaranya melayani para pemabuk dan para pecandu narkoba, yang cenderung lebih susah untuk diarahkan.
4. Responden 4
Menurut Mbak Lisa (nama samaran) PSK yang berasal dari Kabupaten Kendal, alasan mengapa ia mau bekerja sebagai PSK adalah karena ia ingin mencari nafkah
untuk anaknya atau menjadi tulang punggung keluarga. Sebelum bekerja menjadi seorang PSK ia pernah bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di daerah Kendal
selama kurang lebih 2 tahun. Dan alasan mengapa ia alih profesi dari asisten rumah tangga kemudian menjadi pekerja seks komersial (PSK) karena penghasilan yang didapat dari pekerja seks komersial (PSK) lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pekerjaan
sebagai ART. Sudah 3 tahun ia menjalani profesi sebagai PSK, namun tidak ada satupun keluarga yang mengetahui profesi apa yang sedang dijalani. Pihak keluarga Mbak Lisa
hanya tahu bahwa ia bekerja di sebuah warung. Pendapatan yang didapat dari bekerja sebagai PSK tidak pasti, tergantung ramai atau tidaknya pelanggan. Biasanya pelanggan tetap tarifnya Rp 200.000,00. Mengenai suka duka bekerja sebagai seorang PSK,
menurut Mbak Lisa sendiri sukanya tidak ada karena memang ia sebenarnya tidak ingin bekerja seperti ini, dukanya bekerja menjadi PSK itu karena ia terpaksa untuk bekerja
sering di palak oleh preman dan juga sering dijambret. Dan terkadang ada razia yang dilakukan oleh Satpol PP. Ketika ada razia, Mbak Lisa sudah diberitahu oleh orang
dalam sehingga ia berangkat kerja malam hari, jadi tidak ikut terjaring.
Tidak ada seseorang yang ingin bekerja menjadi seorang PSK kecuali iaterpaksa dengan keadaan. Seperti halnya Mbak Lisa, sebenarnya ia pun tidak menginginkan
bekerja menjadi seorang PSK karena jika sudah tua bekerja seperti ini sudah tidak laku lagi. Dia ingin mendapat pekerjaan lain ketika nanti ia berhenti menjadi PSK.
Harapannya untuk Pemerintah Kota Semarang yaitu Pemkot Semarang dapat memberikan binaan untuk para pekerja seks komersial (PSK) dan menjamin kehidupan keluarga para PSK ketika PSK tersebut sedang dibina.
5. Responden 5
Namanya Mbak Sum, seorang janda memiliki 3 anak yang masih duduk
dibangku Sekolah Dasar. Mbak Sum berasal dari daerah Genuk Semarang. Janda berusia 50 tahun ini bekerja menjadi seorang PSK kira-kira sudah 5 tahun. Alasan
Mbak Sum memilih bekerja menjadi seorang PSK adalah karena keterpaksaan keadaan yang mengharuskan ia mencari uang dengan bekerja seperti ini untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan ia juga harus membiayai sekolah anak-anaknya. Ia
menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya telah meninggalkannya dan menikah lagi. Mbak Sum tidak memberitahu kepada anak-anaknya mengenai
pekerjaannya menjadi seorang PSK, ia hanya memberitahu jika ia bekerja di sebuah restoran. Untuk pendapatannya menjadi seorang PSK Mbak Sum biasanya mendapat Rp 300.000 semalam. Berapa banyaknya penghasilan yang didapat biasanya tergantung
pelanggan setiap malamnya. Pendapatan itu biasanya digunakan untuk makan, biaya sekolah anak-anak dan lain-lain. Menjadi seorang PSK tentu ada suka dukanya.
ia melakukan pekerjaan ini dengan terpaksa. Menurut informasi yang kami dapat dari Mbak Sum, ia pernah tertangkap razia oleh Satpol PP. Lalu ia dibawa ke Solo untuk
dibina selama 2 bulan. Selama masa pembinaan, para PSK yang tertangkap razia diberi pelajaran terutama keterampilan seperti menjahit dan menyalon.
Sebenarnya didalam hati Mbak Sum ia berkeinginan untuk berhenti menjadi
seorang PSK dan mencari pekerjaan lain. Namun, ada kendala yang menghambatnya untuk berhenti menjadi PSK yaitu soal modal untuk membuka usaha. Ketika ia
menjalani pembinaan di Solo, hanya sekedar pembinaan semata dan tidak berkelanjutan atau diberi modal. Karena jika mau menjahit harus ada modal untuk membeli alat-alat jahit. Harapan Mbak Sum untuk Pemerintah Kota Semarang yaitu para PSK yang
tertangkap razia itu tidak hanya dibina saja, tetapi juga diberi modal untuk membuka usaha kecil-kecilan dirumah seperti buka warung, dan lain-lain.
6. Responden 6
Ibu Sri (nama samaran) adalah pemilik warung makan yang ada di sekitar Jalan
Imam Bonjol Semarang. Ia berjualan sudah 10 tahun dan ini merupakan turun temurun dari mertuanya. Selama Bu Sri berjualan banyak kejadian-kejadian yang terjadi diantaranya yaitu ada PSK yang meninggal karena sakit dan ada pula PSK yang kerap
dipalak preman dan juga di jambret. Para PSK yang ada di daerah Jalan Imam Bonjol Semarang ini rata-rata orang pendatang dari luar kota seperti Solo, Purwodadi, Demak
maupun Jepara. Mereka mulai beroperasi sekitar pukul 19.00 WIB. Para PSK yang mangkal di Jalan Imam Bonjol ini ganti-ganti orangnya, tetapi ada juga yang sering mangkal di Jalan Imam Bonjol. Mereka berumur rata-rata 25-50 tahunan dan ada juga
yang berumur belasan tahun. Alasan mereka menjadi PSK itu biasanya akibat dari pacaran yang tidak sehat atau sering dipermainkan oleh pasangan mereka dan ada juga
PSK yang beroperasi di daerah Jalan Imam Bonjol Semarang kerap berselisih bahkan sampai berkelahi. Hal ini terjadi karena berebut pelanggan atau tempat mangkal.
PSK yang ada di daerah Jalan Imam Bonjol Semarang ini merupakan jenis PSK jalanan. Beberapa diantara mereka ada yang dibawah naungan mucikari dan ada juga yang bekerja secara mandiri atau karena keinginan sendiri. Biasanya mucikari itu
berkumpul disuatu tempat yang tidak jauh dari lokasi para PSK beroperasi untuk mengawasi. Ada perbedaan tarif antara PSK mandiri dengan PSK yang berada dibawah
naungan mucikari. Perbedaannya adalah jika PSK dibawah naungan mucikari tarifnya sekitar Rp 500.000 dengan sistem bagi hasil, sedangkan PSK mandiri yang ada di pinggir jalan sekitar Rp 250.000 sudah dengan kamar.
Di daerah Jalan Imam Bonjol ini terdapat perkampungan, namun perkampungan ini perkampungan yang bersih, artinya tidak ada penduduk yang bekerja
menjadi PSK walaupun jika malam hari daerah Jalan Imam Bonjol digunakan sebagai tempat mangkal para PSK. Tempat-tempat yang menjadi berkumpulnya para PSK yaitu daerah sekitar Stasiun Poncol atau Jalan Imam Bonjol. Dahulu sempat ada tempat
karaoke di pinggir-pinggir jalan namun sekarang sudah ada yang di tutup karena sangat bising sehingga mengganggu warga setempat.
7. Responden 7
Pak Joko salah seorang pengunjung taman yang berada di sekitar Stasiun
Tawang. Dia cukup paham dengan daerah ini, sebab ia sering mengunjungi tama tersebut. Pak Joko mengatakan bahwa ada banyak PSK di tempat tersebut. PSK di tempat tersebut rata-rata umurnya diatas 40 tahun. 24 jam para PSK berada di tempat
tersebut bukanlah penduduk asli Semarang, melaiankan penduduk dari luar Kota Semarang.
Di taman yang berada di sekitar Stasiun Poncol tersebut terdapat banyak preman di dalamnya, sehingga hal ini menjadi salah satu sebab mengapa ada PSK di
tempat tersebut. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, sebab PSK bisa beroprasi di daerah tersebut dan preman yang ada didaerah tersebut, melindungi para PSK yang sedang bekerja, dengan menarik upah dari para PSK. Jika sudah tengah malam, taman
tersebut dijadikan tempat karaoke untuk para preman dan PSK yang ada di daerah tersebut.
Karena PSK yang ada didaerah in rata-rata sudah berusia lanjut, maka penghasilan yang didapat tidak setinggi yang ada di sekitaran jalan Stasiun Poncol. Jika
di sekitar Stasiun Tawang ini hanya memperoleh Rp 5.000,- sampai dengan Rp 70.000,-setiap kali main, tergantung pada tempat yang dipilih. Jika hanya dengan taraif Rp
5.000,-, biasanya hanya dilakukan di gang-gang di Kota Lama, tetapi, jika meminta di losmen di Kota Lama harganya bisa mencapai Rp 70.000,- sekali main.
BAB III
ANALISIS ALTERNATIF
3.1 Analisis
Pelacur, lonte, Pekerja Seks Komersial (PSK), wanita tuna susila, prostitute adalah sedikit diantara sederet panjang istilah yang kerap terdengar ketika seseorang
menunjuk pada pada sesosok perempuam penjaja seks. Istilah pelacur berkata dasar “lacur” yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Kata lacur juga
memiliki arti buruk laku. Jika kata tersebut diuraikan dapat dipahami bahwa pelacur adalah orang yang berbuat lacur atau orang yang menjual diri sebagai pelacur untuk mendapatkan imbalan tertentu. Pelacur adalah seseorang yang memberikan layanan
dengan pengertian pelacuran. PSK menunjuk pada “orang” nya, sedangkan pelacuran menunjukkan “perbuatan”.
Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran selalau ada sejak zaman purba sampai sekarang. Pada
masa lalu pelacuran selalu dihubungkan dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara keagamaan tertentu. Ada praktek-praktek keagamaan yang menjurus pada perbuatan dosa dan tingkah laku cabul yang tidak ada bedanya dengan kegiatan
pelacuran. Di Indonesia pelacuran telah terjadi sejenak zaman kerajaan majapahit. Salah satu bukti yang menunjukkan hal ini adalah penuturan kisah-kisah
perselingkuhan dalam kitab mahabrata. Semasa zaman penjajahn jepang tahun 1941-1945, jumlah dan kasus pelacuran semakin berkembang. Banyak remaja dan anak sekolah ditipu dan dipaksa menjadi pelacur untuk melayani tentara jepang. Pelacuran
juga berkembang di luar jawa dan sumatera. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan dua bekas tentara jepang yang melaporkan bahwa pada tahun 1942 di Sulawesi selatan
terdapat setidaknya 29 rumah bordil yang dihuni oleh lebih dari 280 orang yang pelacur (111 orang dari toraja, 67 orang dari jawa dan 7 orang dari mandar).
Beberapa ciri khas PSK adalah sebagai berikut :
1. Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki)
2. Cantik, molek, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria.
3. Masih muda, 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di bawah usia 30 tahun. Yang terbanyak adalah usia 17-25 tahun.
4. Berpakaian sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh (eksentrik) untuk menarik perhatian kaum pria.
5. Bersifat mobilitas, kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya mereka memakai nama samaran dan sering berganti nama, juga berasal dari
Beberapa jenis PSK yang terdapat dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Pekerja seks komersial jalanan (street prostitusion) 2. Pekerja seks komersial lokalisasi (Brothel prostitusion) 3. Pekerja seks komersial panggilan (Call girl prostitusion) 4. Pekerja seks komersial terselubung (Clandestine prostitusion) 5. Pekerja seks komersial amatir
Kami melakukan sebuah penelitian terhadap PSK yang ada di Kota Semarang.
Kategori PSK yang kami teliti adalah jenis PSK Janalanan yang ada di daerah Jalan Imam Bonjol atau sekitaran Stasiun Poncol dan Stasiun Tawang Semarang.
Persoalan PSK di kota Semarang khususnya di Jalan Imam Bonjol Semarang Utara dan sekitar Stasiun Tawang telah menjadi sebuah fenomena yang mulai bisa diterima oleh sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat sudah mulai memahami bahwa memang ada
pekerjaan sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK) yang dipilih seseorang untuk menyambung hidup.
Menurut analisis kami ada beberapa hal yang membuat mereka bekerja menjadi PSK antara lain sebagai berikut :
1. Faktor Ekonomi
Beberapa PSK yang telah kami wawancarai, alasan dari mereka bekerja sebagai PSK karena tuntutan ekonomi. Tuntutan ekonomi ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan pokok mereka sehari-hari serta untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Bekerja sebagai PSK sesungguhnya bukan keinginan mereka, namun
sayangnya mereka tidak memiliki pilihan lain karena rata-rata dari mereka yang menjadi PSK ini adalah golongan ekonomi rendah.
2. Trauma dalam menjalin hubungan
Salah satu PSK yang kami wawancarai, memiliki alasan bekerja menjadi PSK
nakal yang tidak sehat, lebih baik sekalian nakal saja tetapi dapat penghasilan. Artinya dia dulu pernah punya pengalaman tidak menyenangkan dengan pria yang
dulu menjadi kekasihnya. 3. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang kami maksud disini adalah adanya pihak-pihak tertentu yang memberikan pengaruh buruk atau disebut dengan instigator. Dalam hal ini
adalah orang yang mendorong seseorang menjadi pelacur. Diantaranya adalah orang tua, suami, bekas pelacur atau mucikari (mereka adalah suami yang menjual
istri atau orang tua yang menjual anak-anaknya untuk mendapatkan barang-barang mewah).
Jika dilihat dari sisi psikologis, berbagai faktor psikologis yang merupakan
penyebab perempuan menjadi pelacur adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan seksual yang abnormal, misalnya: hiper seksual dan sadis.
2. Kepribadian yang lemah, misalnya cepat meniru.
3. Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya, kurang dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan
hal-hal lainnya.
4. Mudah terpengaruh (suggestible)
5. Memiliki motif kemewahan, yaitu menjadikan kemewahan sebagai tujuan utamanya.
3.2 Alternatif Kebijakan
Menurut James Anderson (1984:3) memberikan pengertian atas definisi kebijakan publik, dalam bukunya “Public Policy Making” menyatakan bahwa: kebijakan publik
Alternatif kebijakan yang sampai sekarang digunakan untuk penanggulangan pelacuran di kota Semarang adalah perda nomor 10 tahun 1956. Dalam Perda No. 10
Tahun 1956 tentang Pemberantasan Pelacuran dijalanan dan Pendirian Tempat Pelacuran yang dengan tegas melarang pelacuran di jalan-jalan dalam Kota Besar Semarang, yaitu: Pasal 1 “Tiap orang dilarang dijalan umum, ditepi jalan umum atau ditempat yang dapat
terlihat dari tempat umum membujuk atau memikat orang lain denganperkataan-perkataan, isyarat-isyarat, tanda-tanda atau dengan jalan untuk berbuat cabul”.
Pasal 2 “Tiap orang yang tingkah lakunya mencurigakan dan dapat disangka bahwa ia pelacur dilarang berada atau berjalan kian kemari dijalan umum, di depan atau didekat hotel, losemen, pension, warung kopi dan rumah semacam itu begitu juga
rumah-rumah pertunjukan untuk umum, sesudah ia diperintahkan untuk pergi oleh pegawai polisi yang berwajib”.
Bagi pelanggar terhadap Perda ini dikenakan sanksi administratif dan dapat diancam pidana denda. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3, yaitu:
Pasal 3 “Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan pada pasal 1 dan 2 dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggitingginya sepuluh ribu rupiah”.
BAB IV
REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PEMERINTAH
4.1 Rekomendasi kebijakan untuk Pemerintah Kota Semarang,
Pemkot Semarang diharapkan dapat mendukung kebijakan Presiden Jokowi
mengenai Indonesia bebas PSK pada tahun 2019 mendatang. Pemerintah Kota Semarang seharusnya menjadikan kebijakan Pemkot Surabaya sebagai acuan, dimana Pemkot
Surabaya berhasil merealisasikan penutupan gang dolly. Pemkot Semarang dalam pengimplementasian kebijakan yang dibuat tentang pelacuran atau PSK belum berjalan efektif, sebab realita di lapangan sangatlah berbeda, hal ini terbukti dengan adanya PSK
yang masih saja berkeliaran di penjuru Kota Semarang, seperti di daerah Stasiun Poncol dan di Stasiun Tawang. PSK ini sebenarnya sangat meresahkan masyarakat terlebih
mereka belum diketahui apakah terjangkit virus HIV/AIDS atau tidak. Sementara untuk tempat lokalisasi di Semarang atau disebut SK (Sunan Kuning) Pemkot Semarang masih belum menentukan sikap, sebab sampai saat ini revisi perda tentang lokalisasi di
Semarang belum juga terbentuk. Perda yang masih digunakan sebagai acuan masih menggunakan perda lama. Pemkot Semarang harusnya mampu bertindak sebagaimana
yang dilakukan Pemkot Surabaya, membentuk perda tentang larangan menggunakan bangunan atau tempat untuk perbuatan asusila serta pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila dengan segera dan mengimplementasikannya secara tegas dalam
penuntasan prostitusi kota Semarang.
Sebelum itu, Pemerintah Kota Semarang harus melakukan audiensi dengan PSK
pembinaan bidang mental atau rohani/keagamaan. Bidang pendidikan, keterampilan, wirausaha, bidang olahraga/kesehatan dan bidang sosial budaya. Pemerintah Kota
Semarang juga harus memberikan modal usaha agar mereka dapat membuka usaha. Seperti apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya yang memberikan kesempatan bagi mucikari dan PSK yang mau bertobat dengan program alih profesi dan
pemberian santunan kepada pelaku prostitusi. Dengan pembinaan yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya, para PSK dan mucikari di bekas tempat prostitusi tersebut
sudah banyak yang berhasil menekuni Usaha Kecil Menengah, seperti menghasilkan batik dan kue.
Setelah pemberian pembinaan dan modal usaha, Pemerintah Kota Semarang
wajib melakukan monitoring terhadap perilaku prostitusi agar mereka tidak melakukan praktek prostitusi lagi. Jadi dalam hal ini jika Pemerintah Kota Semarang berani bertindak
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Setiap daerah pasti memiliki masalah sosial yang membutuhkan penyelesaian.
Penyelesaian permasalahan sosial tidak mungkin terjadi jika hanya dilakukan oleh satu pihak. Permasalahan PSK di kota Semarang salah satuya. Permasalahan ini telah berlangsung lama dan penyelesaiannya pun masih belum menemukan cara yang efektif.
Penyebab banyaknya PSK di kota Semarang yang terdiri dari factor ekonomi, trauma menjalin hubungan, serta fakror eksternal lainnya membuat permasalahan ini sukar untuk
dipecahkan solusinya. Peraturan daerah kota Semarang nomor 10 tahun 1956 tentang Pemberantasan Pelacuran dijalanan dan Pendirian Tempat Pelacuran tidak dapat diimplementasikan dengan baik, bahkan untuk saat ini perda tersebut sudah tidak relevan
lagi untuk digunakan.
Melihat hal tersebut perlu adanya kebijakan sosial berupa peraturan daerah, kebijakan atau aturan sejenisnya untuk mengatur tentang prostitusi di kota Semarang. Pembuatan kebijakan sosial memang bukan perkara udah. Perlu adanya kesamaan
DAFTAR PUSTAKA
Suharto,Edi.2011.Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik.Bandung : Alfabeta
Idrus,Muhammad.2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta : Erlangga