• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi baru bahasa Inggris Konsep corre

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Variasi baru bahasa Inggris Konsep corre"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

PENGUKURAN DAN EVALUASI

Dosen Pengampu: Sisilia Halimi Setiawati, S.S., M.A., Ph.D

Karin Sari Saputra 1206188616

“Variasi baru bahasa Inggris: Konsep ‘correctness’ bagi pengetesan tata bahasa, kosakata, dan keempat kemahiran berbahasa dalam berbagai

perspektif terutama terkait dengan konteks Indonesia”

Munculnya variasi baru Bahasa Inggris

Sejalan dengan Jenkins (2006) yang menyatakan bahwa bahasa Inggris saat ini tidak lagi terbatas pada dikotomi untuk American English (AE) atau British English (BE) saja, namun pada faktanya bahasa Inggris telah menjadi bahasa global atau bahasa internasional. Oleh karena itu, kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi berbahasa yang dilakukan frekuensinya lebih banyak antara sesama non-penutur jati. Pernyataan tersebut didukung oleh Harding (2012) bersumber pada British Council, menunjukkan bahwa saat ini bahasa Inggris digunakan oleh 25% populasi dunia. Lebih jelasnya, ketika bahasa Inggris sudah banyak digunakan dengan proporsi jumlah negara yang berada pada inner circle, outer circle, dan expanding circle terus bertambah sehingga memunculkan jenis bahasa Inggris yang mengacu pada aksen dan kekhasannya sendiri dan

(2)

bahasa target dapat dikatakan atau dinilai berhasil, para guru sedapat mungkin agar dapat memerhatikan konsep variasi bahasa Inggris yang muncul. Terkait dengan isu ini---pemajaan terhadap variasi baru bahasa Inggris dan

keberterimaannya---Caine (2008) mengutip Morrison & White (2005) menjelaskan sejumlah metode pada area-area tertentu, yakni salah satunya penilaian. Dikatakan apabila di penilaian “pre- dan pos-tes berfokus pada peningkatan daripada kecakapan menyerupai penutur jati. Kompetensi inti pada tata bahasa dan kosakata dikembangkan dengan sasaran kompetensi komunikatif, bukan ujaran yang bebas dari kesalahan (error)” (hlm. 8). Kembali kepada variasi baru bahasa Inggris yang kemudian secara umum menjadi label dari istilah WE (world Englishes) (Kachru, 1985 dalam Kilickaya, 2009) dan oleh Hamid & Baldauf Jr (2013) WE terutama sekali merujuk pada Outer Circle Englishes ketika “bahasa Inggris telah melalui nativization, perspektif SLA mungkin tidak relevan dengan bahasa Inggris yang dihasilkan oleh penutur dalam menanggapi realitas sosial budaya lokal” (Bamgbose 1998; Tan 2005; Patil 2006; Guzman 2009) (ibid.: 527). Mengenai makna WE dalam Kilickaya (2009) mengutip Bolton (2004), menyajikan beberapa penafsiran seperti istilah umum yang mencakup semua jenis bahasa Inggris, bahasa Inggris baru di negara-negara seperti Afrika dan Asia. Namun, istilah WE yang digunakan, seperti Jenkins (2006) kemukakan, meliputi bahasa Inggris baru di Afrika dan Asia yang dianggap sebagai Outer Circle oleh Kachru (1985) (ibid.: 35).

Mengingat hadirnya variasi baru bahasa Inggris merupakan hal yang penting agar para guru menyadari dan menentukan apakah memang bahasa yang diproduksi merupakan termasuk ke dalam variasi, maka Hamp-Lyons & Wen-xia (2001) mengutip Brown (1993: 59) meringkaskan tiga elemen utama yang tergolong paradigma WE sebagai berikut.

 Sebuah keyakinan bahwa ada ‘model repertoar untuk bahasa Inggris’

 Sebuah keyakinan bahwa ‘inovasi lokal (dalam bahasa Inggris) memiliki basis pragmatis

(3)

Seperti yang dapat kita lihat, bahasa Inggris merupakan bahasa komunikasi yang menjadi pilihan untuk digunakan kepada orang-orang dengan latar belakang bahasa yang berbeda. Hal itulah yang memunculkan tidak hanya label bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, tetapi juga bahasa Inggris sebagai ‘lingua franca’. Artinya, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa kesadaran seharusnya dapat tercipta dan strategi komunikasi lintas budaya dapat dipahami. Sependapat dengan Kilickaya (2009) dalam kesimpulannya, ia menegaskan penting bagi guru untuk mengembangkan toleransi yang lebih besar dari perbedaan dan

menyesuaikan harapan mereka sesuai dengan pengaturan. Mereka harus

diberitahu tentang variasi dan diberikan kesempatan untuk berkolaborasi dengan guru lain di semua ketiga lingkaran tersebut. Namun, apa yang paling penting tampaknya menjadi kejelasan penggunaan bahasa Inggris di berbagai negara atau wilayah, bukan hanya dalam batas-batas nasional. Simplifikasinya, bagaimana hal tersebut dapat dicapai, jawabannya yakni melalui sejumlah penerbit di seluruh dunia, menyediakan perspektif WE dan ELF untuk buku-buku mereka, materi, dan yang lebih penting untuk praktek-praktek pengukuran dan evaluasi bahasa (ibid.: 37). Dengan demikian, akan semakin jelas asumsi dari ranah pengukuran dan evaluasi bahasa untuk dapat memosisikan munculnya variasi bahasa Inggris ke dalam sebuah tes, baik tes kemahiran atau pun tes kelas. Terakhir, pembedaan atau bahkan bagaimana menyatukan persepsi perihal bahasa Inggris standar dengan variasi baru dalam WE akan berimplikasi terhadap peran guru untuk menyadari hal ini dan memastikan sikap yang tepat kepada pengambil tes.

Konsep ‘correctness’

Mengikuti apa yang dikatakan oleh Harding (2012) bahwa ‘correctness’ merupakan satu hal yang problematik. Sebab yang melandasi hal itu adalah ‘correctness’ dalam kaitannya dengan pemberian tes kepada pengambil tes. Akibatnya (dalam konteks tertentu), para pembuat tes perlu memikirkan kembali hal-hal berikut.

(4)

 Bagaimana mereka melatih juru taksir untuk menyadari bentuk-bentuk mana yang akan diterima

 Bagaimana mereka memilih input untuk tes membaca dan menyimak

Menariknya, ahli bahasa selama bertahun-tahun telah sengaja menghindari istilah ‘correctness’ dan ‘error’ dalam deskripsi bahasa ilmiah mereka. Salah satu isu yang muncul dari pandangan ‘error’ ini adalah pertanyaan dalam menerapkan istilah ‘correctness’ pada bahasa dengan cara yang baik bahkan di dalam kelas. Masalahnya terletak pada gagasan ‘correctness’ itu sendiri seperti yang digunakan pada umumnya. Tampaknya membutuhkan referensi ke beberapa kriteria yang lebih solid dari ekspektasi sederhana tentang bentuk bahasa. Mengambil contoh dengan merujuk pada American Heritage Dictionary dikutip oleh Newman (1996) yang memberikan dua definisi untuk bentuk kata sifat dari ‘correct’, yakni

pertama ‘free from error or fault; true or accurate’. Definisi ini memberikan pemahaman dari ‘correctness’ sebagai persesuaian dengan realitas. Ini mungkin penting untuk dicatat bahwa ketika menerapkan ‘correct’ pada apa yang seseorang katakan atau tulis bukan melalui gagasan ‘correct language’ (bahasa yang benar) melainkan ‘correct statement’ (pernyataan yang benar). Penggunaan ‘correct’, dalam hal ini, untuk mengevaluasi kontennya alih-alih dari bentuk pesannya.

Definisi kedua yang tertulis dalam American Heritage “conforming to standards; proper: correct behavior,” tampaknya lebih dapat dicapai. Landasan dari definisi ini merupakan hasil rujukan pada istilah ‘standards’, dalam arti tertentu sebagai pengganti untuk kebenaran yang disebutkan dalam definisi pertama karena istilah ‘standards’ ini jauh lebih absolut. Secara signifikan dapat dikatakan bahwa ‘standard’ begitu berkaitan erat dengan ‘correctness’ dalam bahasa dan bahasa yang ‘correct’, maka bisa dilihat sebagai bahasa yang dinilai telah memenuhi beberapa jenis standar atau yang lainnya. Pengukuran dan

evaluasi dalam kaitannya dengan standar menyiratkan evaluasi dalam hal kualitas, dan pengertian kualitas sangat sulit untuk membenarkan berkaitan dengan bahasa, setidaknya ketika hal itu dilakukan tanpa memperhatikan makna. Memang

kekakuan yang terlibat dalam ‘correctness’ dapat dihilangkan dengan

(5)

atau Jenkins (2006) menyebutnya dengan ‘intelligibility’. Memperjelas pernyataan ini dengan mengutip Quirk (1962: 17-18) “bahasa Inggris bukanlah hak prerogatif atau ‘kepemilikan’ dari Inggris ... Mengakui ini harus---sebagai konsekuensinya---melibatkan kami mempertanyakan kepatutan yang mengklaim bahwa bahasa Inggris dari satu wilayah lebih ‘correct’ daripada bahasa Inggris yang lain. Tentu saja, kita harus menyadari bahwa tidak ada satu pun bahasa Inggris yang ‘correct’, dan tidak ada standar tunggal ‘correctness’ (Bolton, 2006)”

Korelasi antara ‘correctness’ bagi pengetesan tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa

Berlandaskan atas apa yang telah dikemukakan di atas, pada mulanya

‘correctness’ itu dipandang sebagai standar dari berbahasa dan tentu saja berlaku ketika bahasa tersebut dilakukan tes, maka harus sesuai dengan standar bahasa yang telah ditetapkan. Lowenberg (2000) menguraikan karakteristik dari standar bahasa Inggris, di antaranya sebagai berikut.

 Bentuk-bentuk variasi linguitik yang digunakan secara teratur dalam berbicara formal dan tertulis oleh pembicara yang telah menerima pendidikan tertinggi yang tersedia di negara tersebut.

 Bahasa Inggris standar ialah model yang diterima untuk tulisan resmi, berbicara di depan umum, dan untuk penggunaan pengantar di sekolah.  Namun, bahasa Inggris standar hanya berbeda minimalnya di seluruh variasi,

pada dasarnya berbagi satu set besar norma-norma umum.

Untuk memetakan bahasa Inggris standar secara lebih jelas dalam ranah pengukuran dan evaluasi, pada praktiknya negara-negara seperti Kanada,

Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan cenderung menggunakan British English atau American English tes. Berikut ini pola yang ditunjukkan McArthur (1992) dikutip oleh Davies (2009: 81-82):

Australian English: tidak ada fitur sintaksis yang membedakan Standard

Australian English dari Standard British English.

Canadian English: Canadian English berbeda gramatikal dari British English,

(6)

Irish English: Standard Anglo-Irish dekat dengan variasi Standard British

English.

New Zealand English: Standard New Zealand English, untuk semua maksud

dan tujuannya sama dengan British English.

Seperti yang telah banyak disinggung sebelumnya terkait ‘correctnes’ dan hadirnya variasi baru bahasa Inggris, maka secara tidak langsung, tentu saja memengaruhi proses pengukuran dan evaluasi dari sebuh tes. Ambil contoh, Cambridge ESOL sebagai salah satu pengembang tes internasional telah

membentuk praktik dan kebijakan untuk memungkinkan bagi sebuah kenyataan bahwa komunikasi yang efektif dalam konteks internasional yang lebih luas adalah mungkin meskipun adanya variasi bahasa Inggris (Taylor, 2002).

Namun, tetap saja terdapat perdebatan yang menyertainya karena kerap kali justru menimbulkan salah persepsi. Ketika berbicara tentang pengukuran dan evaluasi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, maka menurut Canagarajah (2006) akan timbul dua pertanyaan, yakni norma-norma manakah yang harus kita terapkan? Dan bagaimana kita mendefinisikan kemahiran dalam bahasa Inggris? (hlm. 229). Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut ialah akan sangat bergantung dari pilihan perspektif yang diambil, apakah dari perspektif standar bahasa Inggris atau perspektif WE (World Englishes). Artinya, jika dilihat dari perspektif standar bahasa Inggris akan mengacu pada variasi dikotomi American English (AE) dan British English (BE), sedangkan WE menghasilkan variasi yang bersumber pada kekhasan lokal negara penutur bersangkutan. Oleh karena itu, ditinjau dari definisi kemahiran, baik standar bahasa Inggris dan WE memiliki pengertian yang

bertolak belakang. Jelasnya, pendukung kemahiran dari perspektif standar bahasa Inggris adalah mengukurnya dari segi penutur jati, didefinisikan sebagai

(7)

Harding (2012) membahasnya dengan melihat bahasa Inggris sebagai lingua franca yang kemudian menyatakan bahwa komunikasi bahasa Inggris sebagai lingua franca yang berhasil memerlukan tipe-tipe kompetensi yang berbeda seperti yang dijelaskan Canagarajah (2006: 233) berikut.

Dalam konteks di mana kita harus terus-menerus berpindah di antara variasi dan komunitas yang berbeda, kemahiran menjadi sesuatu hal yang kompleks. Untuk benar-benar mahir dalam bahasa Inggris saat ini orang harus multidialektal. Ini tidak berarti bahwa orang perlu keterampilan produksi di semua jenis bahasa Inggris. Salah satu kebutuhannya kapasitas untuk bernegosiasi variasi yang beragam untuk memfasilitasi komunikasi. Kompetensi pasif untuk memahami variasi baru ini merupakan bagian dari multidialektal ini ... Kemahiran berarti, maka, kemampuan untuk berpindah di antara variasi yang berbeda dari bahasa Inggris dan masyarakat tutur yang berbeda (ibid.).

Ketika Jenkins (2006) menyinggung bahwa sebaiknya pada praktik terselenggaranya sebuah tes diharapkan untuk memerhatikan variasi-variasi bahasa yang muncul. Untuk tes bahasa di kelas yang sifatnya cenderung tidak berisiko tinggi tetap saja tidak beralasan untuk mengharapkan non-penutur jati untuk menghasilkan konsistensi jenis bahasa Inggris yang lebih kaku daripada apa yang khas atau diharapkan dari penutur jati. Abeywickrama (2013) berpendapat bahwa melakukan tes saat ini kerap kali tidak merefleksikan situasi penggunaan bahasa. Pada umumnya, variasi bahasa Inggris yang telah digunakan, tetap saja merujuk pada variasi penutur jati. Tengok saja pada isu-isu tentang pengetesan tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dari perspektif WE. Selain standarisasi, mengutip argumen utama Kachru terhadap teori bahasa internasional adalah bahwa lingkaran luar (outer circle) penutur bahasa Inggris tidak berusaha untuk mengidentifikasikannya dengan penutur lingkaran dalam (inner circle) atau penutur jati. Artinya, mereka tidak tertarik pada norma-norma bahasa Inggris yang berbasis di lingkaran dalam (inner circle) seperti ‘requesting’ atau ‘complaining’. Dengan demikian, Kachru mengkritik upaya untuk label bahasa Inggris yang di lingkaran luar (outer circle) menyimpang atau kurang sempurna dan terfosilisasi karena pandangan-pandangan ini tidak

(8)

budaya. Kachru pun menentang label ‘errors’ karena lagi-lagi ujaran-ujaran yang dianggap sebagai ‘errors’ mungkin tidak berlaku untuk bahasa Inggris yang lokal karena mungkin saja ujaran-ujaran tersebut berterima.

Pertanyaan yang lain muncul dari Hamp-Lyons & Wen-Xia (2001) ditujukan kepada pengembang tes, yaitu: model bahasa Inggris seperti apa yang seharusnya bernilai dan standar apa yang seharusnya digunakan dalam ujian dengan risiko tinggi? Dari semua hal yang mendasari pertanyaan tersebut, maka setidaknya dalam ranah pengukuran dan evaluasi dari segi pengembang tes dan pengambil tes perlu meninjau kembali pengetesan standar bahasa Inggris yang sesuai.

Pengetesan tata bahasa, ambil contoh pada kalimat berikut. ‘There’s five cars in my picture’ atau ‘I’ve got less cars in my picture’, menurut Jenkins (2006) apabila diperhatikan oleh penguji, tidak akan mungkin mencapai titik temu persetujuan, meskipun fakta bahwa keduanya ‘there are’ dan ‘fewer’ ditambah kata benda jamak yang dapat dihitung jarang terjadi di pembicaraan informal penutur jati, dan bahwa ‘errors’ umumnya terlewati tanpa disadari oleh penutur jati berbahasa Inggris. Untuk memudahkan gambaran terintegrasi dari pengetesan tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa, maka dengan mengambil tes internasional berskala besar yang menanggapi bahwa perubahan saat ini dalam penyebaran bahasa Inggris secara global dapat dilihat pada pengiriman dan kebijakan dari satu tes seperti: IELTS.

Taylor (2002) menunjukkan bahwa masing-masing dari keempat bagian IELTS merefleksikan variasi-variasi bahasa Inggris untuk mewakili konten dan fitur linguistik yang dalam konteks IELTS bermaksud tertuju pada, yaitu Inggris, Australia dan Selandia Baru. Dalam kemahiran reseptif (menyimak dan

membaca), variasi-variasi dapat ditemukan di input, seperti spelling, lexis, grammar, pronunciation, dan discourse. Sebagai kemahiran produksi, standar tes didasarkan pada prinsip berikut (ibid. hlm. 20): “respons kandidat (pengambil tes) untuk tugas-tugas yang diterima dalam variasi bahasa Inggris yang akan

(9)

oleh Abeywickrama (2013) dalam penelitiannya terhadap asisten pengajaran yang pada dasarnya ialah non-penutur jati kemudian mempertanyakan mengapa tidak memberikan variasi input pada kemahiran menyimak. Hasilnya cukup di luar dugaan karena tidak menunjukkan adanya pengaruh signifikan terhadap

pemahaman akan konten menyimak walaupun jika pada satu kondisi, misalnya, dengan satu asisten pengajaran internasional berasal dari Korea dengan pengambil tesnya juga orang Korea, didapati bahwa merasakan tidak ada yang istimewa atau dapat memahaminya seketika. Lagipula, pada faktanya pengambil tes benar-benar tidak bisa memastikan dengan lebih menyakinkan kalau input tersebut apakah benar-benar dari non-penutur jati ataukah sekedar memilki aksen. Beralih pada kemahiran produktif (berbicara dan menulis) dan juga salah satunya penelitian kemahiran menulis (Hamp-Lyons & Wen-xia, 2001) yang menyoroti perihal para juru taksir (raters) dalam melakukan penilaian. Juru taksir (raters) tersebut meliputi penutur jati dan non-penutur jati (berasal dari tempat yang sama dengan pengambil tes) bahwa hasil penelitian tersebut menghasilkan perbedaan penilaian yang cukup bertolak belakang antara kedua kubu penilai ini. Pemberian nilai ini dapat dikatakan bersebrangan dan beda persepsi. Namun, titik tengah yang dapat diambil adalah adanya perhatian terhadap WE, kedua kubu penilai ini dapat menyamakan persepsi pemberian penilaian kepada pengambil tes dengan cara memelajari kecenderungan penulisan pengambil tes yang terpengaruh pada sosial budaya lokal dan memberi batasan topik tulisan sehingga memunculkan

(10)

Variasi baru Bahasa Inggris, ‘correctness’, dan pengetesan tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dalam konteks Indonesia Berbicara perihal variasi bahasa Inggris, ‘correctness’, dan pengetesan tata bahasa, kosakata dan keempat kemahiran berbahasa dalam konteks Indonesia menurut saya sangat menarik. Pertama, mari kita lihat dari status bahasa Inggris di Indonesia yang termasuk sebagai bahasa asing atau dengan kata lain termasuk ke dalam bisa saja outer/expanding circle. Seperti yang sudah disebutkan dan dibahas pada bulir-bulir sebelumnya, maka bahasa Inggris di Indonesia juga memunculkan variasi-variasinya sendiri, misalnya, dari segi aksen. Menurut saya jika ingin meletakkan pengetesan sebagai perspektif yang adil (fair), maka harus terjadi di antara keduanya baik di pihak pengembang tes dan pengambil tes. Kembali kepada ‘kepemilikan’ bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa global, seyogianya tidak terpaku pada standar dikotomi American English (AE) atau British English. Secara sifat dari pelaksanaan tes itu sendiri jika dikaitkan pada tes kelas, maka yang terjadi adalah pemajaan bahasa Inggris yang dilakukan tentu saja bahasa Inggris antar non-penutur jati. Dipandang dari kesahihan sebuah tes, adanya variasi-variasi bahasa atau para ahli di atas menyebutnya WE (World Englishes) perlu diadakannya akomodasi. Beralih pada tes kemahiran, katakanlah juru taksir untuk pengukuran dan evaluasi bahasa Inggris di negara bersangkutan menghadirkan penutur jati yang menilai, maka para pemangku kepentingan tersebut diharapkan telah memiliki skemata atas kemampuan berbahasa Inggris yang tetap membawa kekhasan lokal terhadap pengambil tes yang mengikuti tes tersebut. Kecenderungan saat ini bahwa tes berada di era CLT (communicative language testing) yang dapat dikatakan tes yang terselenggara mewakili sifat dari kompetensi komunikatif sendiri, yakni tidak memisahkan kemahiran atau

(11)
(12)

Tentu akan berbeda bila sekarang membicarakan tentang pengetesan kemahiran produktif, yakni berbicara dan menulis. Hasil pengetesan dari kedua kemahiran tersebut akan memperlihatkan secara eksplisit sejauh mana

pemerolehan bahasa yang dicapai pengambil tes. Lebih jelasnya, hasil pengetesan berbicara katakanlah dengan melakukan wawancara dan jika dalam tes kelas guru yang secara langsung berinteraksi dengan pengambil tes dapat memahami misal aksennya yang dalam perspektif WE merupakan variasi dan sejauh hal itu ‘intelligible’, tes tersebut memiliki ‘fairness’ di kedua belah pihak. Begitu pula dengan pengetesan kemahiran menulis jika memosisikan pada tes kemahiran, misalnya IELTS dengan tetap tidak terpaku pada dikotomi standar bahasa Inggris, tetapi melibatkan perspektif WE maka dapat diakomodasi dengan batasan topik yang diberikan dan memelajari akan kekhasan yang muncul dari variasi-variasi baru bahasa Inggris yang sifatnya ‘intelligible’ dan ‘appropriateness’ (berlaku juga untuk kemahiran berbicara). Dengan demikian, ketika Jenkins (2006) pada ulasan pertama menjelaskan untuk tidak mengesampingkan variasi-variasi baru bahasa Inggris dan untuk menjadi perhatian bagi para pengembang tes maupun para penilai (raters) dengan harapan bisa memberikan akomodasi-akomodasi kepada pengambil tes. Kemudian oleh Taylor (2006) mengingatkan bahwa tes yang sesuai standar bahasa Inggris merupakan hasil dari sikap para pengambil tes itu sendiri yang memang cenderung merujuk pada dikotomi standar bahasa Inggris dan prosedur tes saat ini benar-benar memperhatikan apa yang dapat dilakukan oleh pengambil tes bukan melihat kekurangan, kesalahan atau hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh pengambil tes. Terakhir, Jenkins (2006)

menanggapi kembali bahwa apa yang dikatakan Taylor (2006) tentang sikap para pengambil tes terhadap standar bahasa Inggris cenderung dikotomi hal itu karena mereka tidak mempunyai pilihan. Dari awal mereka memang telah disodori pada standar seperti itu, namun kembali pada kenyataan bahwa bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional, maka sudah seharusnya kita perlu memikirkan perspektif WE bukan malah menafikannya.

(13)

Abeywickrama, P. (2013). Why not non-native varieties of English as listening comprehension test input? RELC Journal, 44 (1), March 11, 2013 (59-74).

Bolton, K. (2006). World Englishes. In B. Kachru, Y. Kachru, & C. L. Nelson (Eds.), The handbook of World Englishes (pp. 367–396). Oxford, England: Blackwell.

Caine, T. M. (2008). Do you speak global? The spread of English and the implications for English language teaching. Canadian Journal for New Scholars in Education, Volume (1), July 2008 (1-11).

Canagarajah, S. (2006). Changing communicative needs, revised assessment objectives: Testing English as an international language. Language Assessment Quarterly, Volume 3 (3), 2006 (229-242).

Davies, A. (2009). Assesing world Englishes. Annual Review of Applied Linguistics (2009) 29, 80-89. USA: Cambridge University Press.

Hamid, M. O. & Baldauf Jr, R. B. (2013). Second language errors of features of world Englishes varieties? Viewing from L2 pedagogy. World Englishes, Volume 32 (4), September 13, 2013 (526-544).

Hamp-Lyons, L. & Wen-xia, B. (2001). World Englishes: Issues in and from academic writing assesment. In John Flowerdew & Matthew Peacock (eds.). Research perspective on English for academic purposes, pp. 1-21.

Cambridge: Cambridge University Press.

Harding, L. (2012). Language testing, world englishes and English as a lingua franca: The case for evidence-based change. (Invited presentation). University of Copenhagen: CIP Symposium.

Jenkins, J. (2006). The spread of EIL: A testing time for testers. ELT Journal, Volume 60 (1), January 2006 (42-50).

Jenkins, J. (2006). The times they are (very slowly) a-changin’. ELT Journal, Volume 60 (1), January 2006 (61-62).

Kilickaya, F. (2009). World Englishes, English as an international language and applied linguistics. CCSE Journal, Volume 2 (3), September 2009 (35-38).

(14)

validation in language assessment. Cambridge: Cambridge University Press.

Newman, M. (1996). Correctness and its conceptions: the meaning of language form for basic writers. Journal of Writing, Volume 15 (1), 1996 (23-38).

Taylor, L. (2006). The changing landscape of English: Implications for language assessment. ELT Journal, Volume 60 (1), January 2006 (51-60).

Referensi

Dokumen terkait

Telkomsel sendiri saat ini memang masih fokus menggarap mobile advertising berupa SMS promo atau messaging, karena komposisi pengguna ponsel di Indonesia masih 70%

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga masyarakat dan

Dokumen Perjanjian Kinerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Badung, merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja/ kesepakatan kinerja/

adanya tempat ibadah yang mempunyai beberapa fungsi, diantaranya untuk melaksanakan shalat maupun untuk kegiatan-kegiatan keagamaan. Ketiga , bidang akhlak obyek

2) Adapun mandi besar yang disunatkan (mandi besar yang dianjurkan) diantaranya : Mandi hari Jum’at, mandi untuk shalat Jum’at ini hukumnya sunat muakat (ditekankan), kecuali

 Peserta didik melakukan tugas bermain sepak bolaantar kelompok dengan memperhatikan hasil kesimpulan mengenai teknik dasar (menendang/mengumpan, menghentikan

STUDIO PERENCANAAN WILAYAH 2015 MASTERPLAN KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI.. PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Syarat- syaratnya adalah: Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli, pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak