• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revolusi Kuba Revolusi Nikaragua Perang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revolusi Kuba Revolusi Nikaragua Perang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Revolusi Kuba, Revolusi Nikaragua, Perang Sipil El Salvador, dan Revolusi Guatemala: Sebuah Komparasi

Probo Darono Yakti

Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga

ABSTRAK

Di Amerika Latin terdapat beberapa negara yang memiliki persamaan garis sejarah: mereka mewarisi rezim junta militer yang berkuasa secara otoriter dan tidak menyebar secara merata kesejahteraan penduduknya. Hal ini dibuktikan oleh resistensi rakyat terhadap rezim otoriter yang berkuasa. Mulanya revolusi ini diinisiatori oleh Kuba melalui Fidel Castro dan gerilyawan Che Guevara. Kesuksesan revolusi yang dilancarkan melalui aksi-aksi gerilya dari Kota Santiago hingga Havana akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan Batista dan secara paksa mengganti presiden Kuba melalui kudeta tersebut. Dari kisah sukses ini, Kuba berhasil menginspirasi negara-negara lain di Amerika Latin seperti Guatemala, San Salvador, dan Nikaragua. Namun yang terjadi adalah beberapa perbedaan mendasar antara ketiga negara ini dalam revolusinya. Begitu menghadapi ‘lawan’ mereka masing-masing, respons yang beragam mereka dapatkan. Akhirnya, dampak yang diterima adalah terjadinya genosida di Guatemala, pemberontakan di San Salvador, dan perang sipil di Nikaragua. Hal-hal inilah yang akan dikomparasikan penulis melalui tiga indikator utama: pimpinan, dukungan, dan strategi.

Kata-kata kunci: Gerilya, revolusi, perang sipil, genosida, junta militer, Che Guevara, komunisme

ABSTRACT

In Latin America there are several countries that have similar historical lines: they inherited the ruling military junta regime is authoritarian and does not spread evenly welfare of the population. This is evidenced by the popular resistance to the authoritarian regime in power. Initially started by the Cuban revolution with Fidel Castro and Che Guevara's guerrillas. The success of the revolution being waged by guerrilla actions from Santiago to Havana City finally managed to overthrow Batista and forcibly replace the Cuban president in a coup. Of these success stories, Cuba managed to inspire other countries in Latin America such as Guatemala, San Salvador, and Nicaragua. But what happens is some fundamental differences between the three countries in the revolution. Once the face of 'opponents' of their respective, diverse responses they get. Finally, the impact of which is received is the genocide in Guatemala, the revolt in San Salvador, and the civil war in Nicaragua. These are the things that will dikomparasikan author through three main indicators: leadership, support, and strategies.

Keywords: Guerrilla, revolution, civil war, genocide, military junta, Che Guevara, communism Pendahuluan

(2)

dapat mewujudkan pemerataan. Kuba telah sukses dalam perjalannya, yang mana akhirnya pada abad ke-21 Kuba dapat mengejar beberapa bidang yang diperhatikan seperti kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Sedangkan apa yang terjadi di beberapa negara lain di Amerika Latin mengalami sedikit halangan, Guatemala adalah negara yang menjadi korban keganasan junta akibat kurang masifnya perlawanan rakyat. Rakyat dikorbankan dengan adanya bantuan Amerika Serikat untuk memberangus komunisme dan ‘hal-hal yang berkaitan’. Dapat dikatakan Guatemala gagal dalam melaksanakan gerilya dan revolusinya. Di sisi lain, negara kecil El Salvador mengalami kesuksesan dalam gerilyanya. Puncaknya adalah terkabulnya tuntutan para tokoh gerilya ketika perjanjian damai ditandatangani di akhir.

Perjuangan yang dilakukan oleh gerilyawan-gerilyawan El Salvador ini diwujudkan dengan beberapa upaya seperti menggelar beberapa show of force yang menunjukkan eksistensi mereka terhadap tentara junta yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya upaya-upaya ini berhasil, meski ternyata negara tetangga yang tidak jauh dari El Salvador yakni Nikaragua justru mengalami hal yang sama dengan Guatemala. Kurang masifnya pergerakan ini ditambah dengan dukungan penuh dari pihak yang berlawanan dengan kaum revolusioner. Inilah yang akan dibahas satu persatu dalam jurnal ini, bagaimana kondisi dan hasil pergerakan di masing-masing negara kemudian dikomparasikan melalui beberapa indikator. Seperti unsur pimpinan dan persenjataan, suplai bantuan, serta seberapa masif pergerakan dari Guatemala, El Salvador, dan Nikaragua inilah yang menjadi perhatian utama. Dari pernyataan awal penulis tadi, Kuba menjadi negara acuan bagi yang lainnya ketika membahas kesuksesan gerilya.

Gerilya dan Kesuksesan Revolusi Kuba

Istilah gerilya telah dikenal sebelumnya dalam bahasan-bahaan konteks perang yang terjadi di Indonesia, yakni dalam kaitannya dengan Masa Revolusi Fisik pada 1945 sampai dengan 1949. Sehubungan dengan itu, kondisi yang ada di Amerika Latin adalah kondisi di mana negara-negara ini masih terkungkug oleh kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa seperti Portugal, Spanyol, Prancis, dan Inggris. Salah satu inisiator pergerakan revolusi yang terkenal di Amerika Latin adalah Che Guevara, kemudian ada pula Fidel Castro dan Simon Bolivar. Namun dalam istilah gerilya, hanya Ernesto ‘Che’ Guevara ini yang karyanya dikenal masyarakat luas. Melalui ‘The essence of guerrilla warfare’, Che Guevara menceritakan kesuksesannya dalam menjalankan aksi gerilya.

(3)

dalam revolusi. Dengan ini, penulis juga mengaitkan dengan gagasan yang ditulis Nasution dalam karyanya Pokok-Pokok Gerilya yang mana perlu kemanunggalan yang kuat antara Rakyat dan TNI karena inti perang Gerilya adalah rakyat yang mendukung sepenuhnya perbekalan dan sekitar satu persen dari populasi keseluruhan bersedia menjadi tentara rakyat (Nasution, 2012).

Motif awal mereka adalah menghapus borjuasi di antara kaum-kaum proletar. Hal ini sejalan dengan tujuan yang ditanamkan oleh para revolusioner yang beraliran kiri. Bagi Guevara, tindakan-tindakan penguasa yang sewenang-wenang terhadap rakyat proletar ini merupakan perbuatan kriminal dan jika dibiarkan maka nasib rakyat proletar akan terus ditindas (Guevara, 1961). Permasalahan bermula ketika ada dua golongan, yakni kaum militer yang berkuasa membentuk pemerintahan yang diktatorian dan sama sekali sewenang-wenang, menindas kaum proletar yang hidup di bawah standar para penguasa militer tadi. Dengan demikian rakyat-rakyat yang dimaksud Che Guevara ini berkonsolidasi untuk membentuk kekuatan tersendiri yang menjelma menjadi tentara gerilya. Adapun karakteristik yang disebutkan Guevara adalah tentara-tentara yang homogen, menghormati pemimpin, berani, memiliki pengetahuan mengenai daerahnya karena harus menyerang melalui jalan-jalan yang strategis, serta bergerak cepat ketika balik diserang, dan memahami taktik yang akan dilakukan dalam revolusi (Guevara, 1961).

Terlepas dari tujuan politik yang dibawa oleh masing-masing aksi gerilya di daerah-daerah, perlu diperhatikan taktik gerilya. Pengalaman yang terjadi di Indonesia adalah diterapkannya sistem Wehrkreise (kantung-kantung pertahanan) beserta pemerintahan militer yang bersifat sementara. Sedangkan kebutuhan yang ada di Kuba pada masa Che Guevara terlibat dalam memimpin pergerakannya, ketika gerakan revolusioner ini terus didesak oleh kebutuhan-kebutuhan mendasar rakyat akan rasa aman di negaranya tanpa kekangan dari pihak militer. Sedangkan ketika kaum revolusioner ini telah menduduki pemerintahan, militer yang sebelumnya menjadi pihak yang dilawan kemudian ditundukkan. Hal ini terjadi pada Fidel Castro, yang terus berusaha melanggengkan kekuasaan serta menebar pengaruhnya di antara kaum militer supaya tunduk di bawah komandonya. Sedangkan program yang dilaksanakan Fidel Castro mencakup pelaksanaan kampanye propaganda intensif, penyediaan dukungan berupa keuangan, persenjataan dan lain-lain kepada kelompok subversif, serta mendukung pelatihan revolusi bagi kelompok subversif di negara lain-lain (Hawkins, 1963: 169). Sehingga tidak hanya dalam segi pemikiran saja revolusiner-revolusioner kiri ini melakukan propaganda, juga dalam tindakan nyata seperti yang ditunjukkan di atas.

Genosida Guatemala: Kudeta Gagal di Tanah Pohon Rimbun

(4)

menjadi yang khas dari kolonialisme Amerika Latin, yang mana kebanyakan pihak kolonialnya merusak wilayah yang dijajah. Dampak dari tuduhan-tuduhan perlambang ketidakpercayaan ini adalah terjadinya 'The Silent Holocaust' yang berjalan dari tahun 1978 sampai dengan tahun 1983 (Johnson, 2014). Motif pembunuhan yang terjadi adalah pihak ‘pembunuh’ ini mengadakan pesta rakyat kemudian dalam keadaan yang kondusif, para eksekutor membunuh satu persatu warga yang ada di 626 desa sasaran dan memaksa sisanya untuk melihat peristiwa keji tersebut. Atau bahkan memang sengaja untuk dibumi hanguskan. Selain itu para pembunuh melakukan sejumlah pemerkosaan, merusak ladang dan perkebunan, menyembelih hewan-hewan ternak milik warga, mengotori suplai air, dan merusak tempat-tempat keramat dan tempat beribadah para suku Maya (Peace Pledge Union Information, t.t).

Hal ini didukung secara langsung oleh Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh Ronald Reagan, dan juga Israel yang dipimpin oleh. Reagan memberi bantuan yang disalurkan secara diam-diam maupun terang-terangan terhadap Guatemala yang pada saat itu dipimpin oleh Efraín Ríos Montt. Montt adalah seorang presiden yang antikomunis, dan kebetulan memiliki kekerabatan dengan gereja konservatif di Amerika Serikat. Dalam salah satu pernyataannya Reagan memberi testimoninya terhadap rezim militer yang dipimpin oleh Montt:

"Presiden Rios Montt adalah seorang yang memiliki integritas pribadi besar dan berkomitmen... Saya tahu ia ingin meningkatkan kualitas hidup untuk rakyat Guatemala dan untuk mempromosikan keadilan sosial."

(Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Desember 1982 dalam Schirmer, 1998).

(5)

4 tahun hingga 1982. Menurut Komisi Klarifikasi Sejarah, kasus pembunuhan yang tercatat di luar hukum meningkat dari 100 korban jiwa pada tahun 1978 menjadi lebih dari 10.000 korban jiwa pada tahun 1981. Dan dalam periode-periode tersebut jika diestimasikan secara keseluruhan, pemerintah Guatemala telah ‘membunuh’ sekitar 70.000 orang, baik yang ditemukan tewas maupun hilang (Johnson, 2014).

Pemberontakan El Salvador: FMLN, Penggerak Revolusi di Tanah Sang Penebus

Di tempat lain – yang mana masih di kawasan Amerika Tengah – El Salvador, negara terkecil di Amerika Latin menjadi salah satu contoh yang serupa namun tak sama dengan kasus yang terjadi di Kuba dan Guatemala. Dalam kurun waktu 13 tahun, yakni dari 1979 hingga 1992 terjadi sebuah Perang Sipil yang berkepanjangan. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan berdirinya sebuah orde otoriter yang dipimpin oleh junta militer. Diawali pada Kudeta Oktober 1979 terhadap Carlos Humberto Romero presiden pada masa itu, pemerintahan junta ini didirikan untuk menggagalkan sebuah upaya revolusioner yang dilakukan oleh partai politik sayap kiri yang ada di Guatemala. Junta ini menasionalisasi hampir semua perusahaan yang ada di El Salvador. Dalam upaya ini, junta militer berhasil membendung pengaruh komunisme yang ada di negara tersebut. Junta ini bertindak sewenang-wenang, hingga peristiwa yang menandai pertumpahan darah yang besar seperti Kasus Pembunuhan berantai El Mozote mencoreng kehiduan bangsa Salvador. Seperti Guatemala, pemerintahan junta juga didanai secara langsung oleh Amerika Serikat.

Junta militer, yang lagi-lagi didukung oleh Ronald Reagan akibat rasa berkobar-kobar untuk menyingkirkan pengaruh komunis di Amerika Tengah. Dukungan Amerika Serikat tersebut berupa bantuan dana langsung 4 juta dolar (Encyclopædia Britannica, 2016). Dukungan itu termasuk organisasi dan pelatihan unit militer elit di El Salvador; mendukung upaya perang melalui penyediaan persenjataan canggih, terutama helikopter; dan digunakan pengaruhnya dalam berbagai cara untuk memandu nasib politik negara. Dukungan itu ternyata disampaikan langsung oleh Reaan dalam sebuah kutipan yang terkenal dalam buku American Foreign Relations Since Independence karya Deans (2013):

"What we’re doing is to halt the infiltration into the Americas, by terrorists and by outside interference, and those who aren't just aiming at El Salvador but, I think, are aiming at the whole of Central and possibly later South America and, I'm sure, eventually North America."

(Reagan dalam Deans, 2013).

(6)

menewaskan seorang pustakawan, menusuk mahasiswa, dan memperkosa puluhan wanita muda (Blum, 2003). Hal ini mendorong beberapa rakyat untuk mengekspresikan kekecewaan mereka yang besar terhadap pemerintah melalui serangkaian aksi, retorika, dan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat luas. Sebagaimana yang dijelaskan dalam karya William Blum (2003), tokoh-tokoh inilah yang nantinya akan menjadi think-tank dalam perang gerilya yang mereka pimpin sendiri bersama ribuan rakyat El Salvador.

Terdapat beberapa kali percobaan revolusi yang dilakukan oleh rakyat, diantaranya adalah oleh kaum petani yang kemudian dihalau dengan militer, kemudian oleh kaum pelajar perguruan tinggi yang menggelar aksi protes terhadap pembatasan kebebasan sipil. Pemerintah menanggapi dengan mengirimkan polisi, yang secara sistematis menghancurkan kantor, ruang kelas, dan laboratorium, memukuli kepala sekolah, menewaskan seorang pustakawan, menusuk mahasiswa, dan memperkosa puluhan wanita muda (Blum, 2003). Namun junta ini berakhir dalam hitungan beberap tahun saja. Pada tahun 1980-an, rakyat El Salvador perlahan menginisiasi sebuah gerakan bawah tanah untuk menentang pemerintahan yang sewenang-wenang. Usaha ini didukung dengan berdirinya beberapa laskar yang terbentuk di tingkat pelajar SMP hingga SMA, yakni MERS (Gerakan Revolusioner Mahasiswa Sekunder). Kemudian di tingkat mahasiswa berdiri AGEUS (Asosiasi Mahasiswa Salvador). Dan yang terakhir para pekerja yang mendirikan BPR (Blok Revolusioner Populer). Hal ini menginspirasi berdirinya FMLN yakni Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti oleh para gerilyawan El Salvador. Sesaat setelah berdiri, bergabunglah sekitar 6.000 hingga 8.000 gerilyawan aktif dan ratusan ribu milisi paruh waktu, pendukung, dan simpatisan (Mason, 1989).

Ada tahun 1981, disusul dengan aksi-aksi beberapa tahun berkutnya terjadi pemberontakan besar antara tentara rakyat dengan tentarapemerintah yang telah terlatih oleh bekal kemampuan yang diberikan Amerika Serikat. Perang Sipil ini diakhiri dengan sebuah perjanjian damai antara FMLN dengan pemerintah El Salvador. Pada tanggal 16 Januari 1992 di Istana Chapultepec di Meksiko, Presiden Alfredo Cristiani, dan perwakilan FMLN yakni Shafik Handal, Joaquin Villalobos, Salvador Sánchez Ceren, Francisco Jovel dan Eduardo Sancho yang merupakan komandan-komandan dari kelompok gerilya menandatangani perjanjian damai tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terlibat di dalamnya berhasil menengahi kedua belah pihak untuk menyudahi 12 tahun pertumpahan darah. Meskipun penandatanganan perjanjian ini tidak dapat menebus sekitar 75 ribu jiwa penduduk yang terbunuh dan hilang sesuai dengan laporan PBB (Security Council of The United Nations, 1993). Kepentingan yang diinginkan Amerika Serikat hampir berhasil, meskipun akhirnya pada tahun 1990-an kasus ini diproses oleh PBB yang mendapatkan bukti bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap gerilyawan-gerilyawan yang mengusahakan revolusi.

Revolusi Nikaragua

(7)

membendung pengaruh Uni Soviet, sekaligus membuat sebuah ketergantungan antara negara-negara yang ada di wilayah-wilayah konsentrisnya dengan negeri yang berjulukan Paman Sam tersebut. Amerika Serikat banyak melakukan tindakan agresif untuk memaksa negara-negara menerapkan liberalisasi ekonomi. Rezim Somoza di Nikaragua ini adalah salah satu target dari persebaran paham liberalisasi perdagangan. Pemerintahan Nikaragua yang pro Amerika Serikat ini akhirnya memaksa modal asing dan perusahaan swasta – utamanya dari Amerika Serikat – untuk dapat bebas masuk dalam perekonomian Nikaragua (IrmaningTyas, 2010).

Dari kondisitersebut, lahirlah FLSN (Frente Sandinista de Liberación Nacional) yaitu front revolusi yang artinya Front Pembebasan Nasional Sandinista. FSLN didirikan pada tahun 1962 oleh Carlos Fonseca Amador, Silvio Mayorga, dan Tomás Borge Martínez sebagai kelompok yang berkomitmen revolusioner untuk sosialisme dan penggulingan dari keluarga Somoza, yaitu pemerintahan otoriter yang saat itu berkuasa (Encyclopædia Britannica Online, 2016). Nama Sandinista terinspirasi dari César Augusto Sandino, seorang pejuang pembelotan Nikaragua terhadap penguasaan militer Amerika Serikat (1927–33). Carlos Fonseca Amador, Silvio Mayorga, dan Tomás Borge Martínez sebagai kelompok revolusioner berkomitmen untuk sosialisme dan penggulingan keluarga Somoza (Encyclopædia Britannica Online, 2016). Keluarga Somoza ini kontra terhadap apa yang mencoba dibangun oleh FSLN atau Sandinista. Somoza beraliran nasionalis liberal, tentu junta militer yang dipertahankan Somoza didukung oleh tentara National Guard sepenuhnya. Hal ini pada catatan sejarah mempersulit gerak-gerik para kam sandinista.

Setelah serangkaian percobaan pemberontakan dilakukan, Sandinista ini mendapatkan beberapa kendala yakni pengekangan yang ketat dilakukan oleh pemerintahan rezim Somoza. Dalam sebuah kasus Somoza membatasi gerak-gerik Sandinista, hingga akhirnya pejuang-pejuang revolusioner ini menggunakan cara yang koersif pula, yakni penculikan terhadap salah satu menteri yang pernah menjabat pada kabinet Somoza. Hal ini akhirnya direspons dengan membayar tebusan dan membiayai Sandinista untuk terbang ke Kuba. Setelah hal ini dilakukan, sesegera mungkin pemerintahan Nikaragua mengerahkan tentara untuk membumihanguskan beberapa desa yang ditengarai menjadi kediaman-kediaman para pejuang Sandinista yang masih tersisa, yang luput tidak dibawa ke Kuba.

(8)

pendirinya berasal dari golongan menengah ke atas yang cenderung merusak ideologi partai sejak awal karena dianggap kurang berpihak pada kemajuan kaum proletariat (La Prensa, 2006)(Wickham-Crowley, 1992).

Amerika Serikat pun dalam kasus selanjutnya bersikap standar ganda, karena rezim Somoza yang ia dukung tersorot luas secara internasional telah melakukan pembantaian besar-besaran terhadap Sandinista yang mencoba mendobrak kekuasaan mereka. Kendatipun demikian, Somoza enggan untuk melepaskan jabatannya sebagai presiden. Untuk itu, perlahan Amerika Serikat melepaskan pengaruh dan bantuannya terhadap pemerintahan Nikaragua. Sedangkan sebaliknya, Sandinista semakin banjir dukungan ketika Pemerintahan Kuba memastikan dukungan penuh terhadap aksi-aksi pemberontakan yang ada di Sandinista. Sedangkan sekutu sosialis yang juga telah berjuang melawan rezim junta yang beraliran liberal dan gagal mewujudkan pemerataan ekonomi di antara rakyatnya, El Salvador saling memberi dukungan. FSLN mengirim senjata kepada pemberontak sayap kiri di El Salvador, yang dimulai paling lambat pada pertengahan tahun 1980 dan melanjutkan untuk dekade berikutnya. Amerika Serikat secara langsung juga terkena dampak yang luas ketika Sandinista yang telah menduduki emerintahan pada beberapa tahun setelahnya memutuskan untuk membatasi perekonomian dengan Amerika Serikat. Hal ini salah satunya juga disebabkan oleh kehadiran bantuan Nikaragua terhadap El Salvador (Brown.edu, 2010).

Bulan Februari 1979, Sandinista mendirikan organisasi koalisi bernama Frente Patriotico Nacional (FPN; Front Patriotik Nasional) yang anggotanya terdiri dari para simpatisan Sandinista & orang-orang anti-Somoza di luar Sandinista. Sebulan kemudian, FPN yang mendapat bantuan persenjataan dari Venezuela, Kuba, & Panama memulai aktivitas pemberontakan besar-besaran di seantero Nikaragua. Pertempuran berjalan sengit, namun FPN yang didukung hampir seluruh rakyat Nikaragua akhirnya berhasil mengungguli militer Nikaragua & menduduki ibukota Managua pada bulan Juli 1979. Peristiwa jatuhnya Managua ke tangan FPN lantas dikenal dengan sebutan "Revolusi Nikaragua".

Dalam perkembangannya, kontinuitas FSLN dapat dijumpai hingga pada saat ini. Hal ini merupakan hasil dari produk sejarah bahwa FSLN memang ditakdirkan untuk terlibat aktif dalam tiap proses pelaksanaan pemilu legislatif di Nikaragua. FSLN menjadi sebuah partai politik demokratik sosialis yang memiliki reputasi tertinggi di Nikaragua (Collin & Martin, 2012). Saat ini sekitar 63 kader partai FSLN menduduki kursi di parlemen. Jumlah terbanyak mengingat jumlah keseluruhan dari anggota legislatif tertinggi di Nikaragua adalah 92 orang, Sedangkan partai lain seperti Partai Konstitusionalis Liberal yang beraliran liberal konservatisme mendapat jatah kursi 2 orang, dan Partai Liberal Independen yang beraliran liberal konservatif mendapat jatah 26 kursi. Sejauh ini FSLN masih mendominasi dengan Daniel Ortega Saavedra terpilih kembali menjadi Presiden pada tahun 2007 hingga saat ini. Namun dalam rentang waktu 1990 hingga 2007, kursi Presiden masih diduduki oleh partai-partai di luar FSLN. Hal ini disebabkan karena Daniel Ortega yang menjabat setelah Revolusi Nikaragua belum mampu mempertahankan kekuasaannya di dalam tataran eksekutif.

(9)

Sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilihat dari keempat negara di Amerika Latin ini. Yang pertama adalah bagaimana Kuba, Guatemala, Nikaragua, dan El Salvador memilih jalan untuk melakukan revlusi sebagai bentuk resistnsinya terhadap junta militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, kurang berhasil dalam memberikan pemerataan terhadap kesejahteraan masyarakatnya, dan cenderung mendukung perdagangan bebas utamanya memilih Amerika Serikat sebagai satu-satunya mitra dagang strategis. Yang kedua adalah hubungan negara-negara yang terlibat dalam perang proxy. Contohnya adalah Uni Soviet. Ada pula negara-negara yang memang senasib dan sealiran hingga saling membantu, seperti El Salvador yang akhirnya dibantu oleh Nikaragua akibat kesuksesan FSLN atau Sandinista. Yang ketiga adalah proses dan segala peristiwa yang terjadi selama revolusi dari ketiga negara tersebut. Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan penting baik dari pihak junta militer yang menjadi pihak yang dilawan oleh para kaum revolusioner maupun dari pihak revolusioner itu sendiri.

Dari ketiga indikator yang ada di atas, maka penulis dapat mengklasifikasikan keempat negara ini dalam beberapa penjelasan akhir: (1) Kuba merupakan negara yang mulanya dikuasai oleh rezim junta militer yang pada saat itu dikuasai oleh seorang Fulgencio Batista. Kuba memiliki dua tokoh utama yang dikenal yakni Fidel Castro dan Che Guevara, yang mana dua orang ini meletakkan fondasi sosialisme terhadap orang-orang yang pada akhirnya menjadi gerilyawan dan menjadi aktor utama dalam revolusi; (2) Guatemala merupakan negara yang dikuasai junta militer, sama seperti Kuba. Julukan revolusi yang dijalankan Guatemala yakni Ten Years of Spring diupayakan dalam segala bentuk. Tidak ada usaha gerilya dari masyarakat untuk mencoba menurunkan rezim otoriter pada masa itu; (3) El Salvador merupakan sebuah negara yang dikuasai oleh militer. Hal ini berawal dari kudeta kelompok junta itu terhadap Presiden yang menjabat pada tahun 1977 hingga 1979 yakni Carlos Humbero. El Salvador akhirnya melakukan resistensi dengan didirikannya laskar-laskar rakyat yang kemudian disebut dengan FMLN. FMLN dipimpin oleh 5 kelompok gerilyawan yang bekerja secara taktis dan menimbulkan sejumlah kekacauan di seluruh penjuru El Salvador;

(10)

ini terasa masif karena memang pada masa itu El Salvador menjadi sorotan dunia akibat kontestasi yang ditunjukkan oleh dua negara adidaya dunia pada masa itu; (8) Nikaragua yang menunjukkan eksistensi Sandinista nya mendapat dukungan persenjataan Uni Soviet, dan perbekalan dari Kuba. Beberapa negara blok Timur menunjukkan dukungan dan keberpihakannya terhadap FSLN;

(9) Kuba terkenal dengan militansi yang dibawa oleh rakyatnya. Guevara menyusun strategi brilian yang tercatat dalam karyanya The essence of guerrilla warfare. Dengan ini gerilyawan yang trgabung dalam Gerakan 26 Juli menduduki Havana pada 8 Januari 1959; (10) Pada revolusi Guatemala, puncak atau klimaks dari revolusi ini adalah Genosida yang menjatuhkan puluhan ribu korban yakni suku Maya yang dituduh sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan ideologi sosialisme di negara tersebut. Hal ini cukup menandakan kegagalan Guatemala dalam mencapai revolusinya; (11) Perang Sipil El Salvador merupakan titik puncak yang dialami oleh para FMLN. Dengan bantuan yang telah disebutkan sebelumnya, FMLN berhasil menjadi pihak yang bernegosiasi dengan pemerintahan. Keadaan imbang ketika Perjanjian damai Perjanjian Damai Chahultepec berisikan: (a) Membubarkan dari pemerintah militer Salvador dengan penyelesaian yang dinegosiasikan, (b) Restrukturisasi Angkatan Bersenjata Salvador, (c) Kepolisian dan Departemen Keuangan dilarutkan (polisi sipil-diawasi baru dibuat), (d) FMLN menjadi sebuah partai politik, pejuang naannya dibebaskan; (12) Revolusi di Nikaragua berjalan dengan pesat mengingat kemenangan dari perang sipil ini akhirnya memastikan kudeta dari pemerintahan Somoza.

(11)

Daftar Pustaka

Buku, Laporan Tertulis, dan Jurnal Ilmiah

Collin, Richard & Pamela L. Martin. 2012. An Introduction to World Politics: Conflict and Consensus on a Small Planet. Rowman & Littlefield. pp. 218

Dean, R. Burns. et. al. 2013. “Reagan, Bush, Gorbachev, and the End of Cold War”, dalam American Foreign Relations Since Independence. Santa Barbara: Praeger. Hal. 301.

Guevara, Ernesto Che. 1961. The essence of guerrilla warfare. Ocean Books.

Hawkins, J. 1963. “Guerrilla Wars-Threat in Latin America”, World Affairs, 126(3), pp. 169-175.

Hunter, Jane. 1987. Israeli foreign policy: South Africa and Central America. Part II: Israel and Central America - Guatemala. pp. 111–137.

IrmaningTiyas, Devita. 2010. Keterlibatan Kuba dalam Revolusi Sandinista di Nikaragua. Jember: Universitas Negeri Jember.

Mason, T.D. & D.A. Krane. 1989. "The Political Economy of Death Squads: Toward a Theory of the Impact of State-Sanctioned Terror", dalam International Studies Quarterly 33 (2): Hal. 175–198.

Nasution. Abdul Haris. 2012. Pokok-Pokok Perang Gerilya, dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan Masa yang akan Datang. Yogyakarta: Narasi.

Schirmer, Jennifer. 1998. The Guatemalan Military Project: A Violence Called Democracy. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. p. 33.

Shoman, A. 2010. Ch. 1 “Decolonization by Internationalization”, Belize’s Independence and Decolonization in Latin America: Guatemala, Britain, and the UN. New York: Palgrave Macmillan. Wickham-Crowley, Timothy. 1992. Guerrillas and revolution in Latin America. Princeton: Princeton

University Press. Hal. 271.

Artikel Daring, Berita Daring, dan Laman Web Resmi

Blum, William. 2003. Killing Hope. [Online]. Tersedia dalam

http://www.thirdworldtraveler.com/Blum/ElSalvador_KH.html [Diakses pada 13 April 2016].

Brown.edu. 2010. “Foreign Relations with the Soviet Bloc”, dalam The Sandinistas. [Online]. Tersedia dalam: https://www.brown.edu/Research/Understanding_the_Iran_Contra_Affair/n-sandinistas.php [Diakses pada 14 April 2016].

Encyclopædia Britannica Online. 2016. El Salvador. [Online]. Diakses pada: http://www.britannica.com/place/El-Salvador/Civil-war [Diakses pada 13 April 2016].

(12)

Johnson, Tim. 2014. Guatemala 'Silent Holocaust': The Mayan Genocide. [Online]. tersedia dalam http://www.cja.org/article.php?list=type&type=294 Pemberontakan di El Salvador

La Prensa. 19 Juli, 2006. “Quién es quién en el sandinismo”, dalam Reportajes. [Online]. Tersedia dalam:

http://www.laprensa.com.ni/2006/07/19/reportajes-especiales/1701453-quien-es-quien-en-el-sandinismo [Diakses pada 14 April 2016].

Security Council of The United Nations. 1 April, 1993. “Report of the UN Truth Commission on El Salvador". [Online]. Tersedia dalam: http://www.derechos.org/nizkor/salvador/informes/truth.html [Diakses pada 13 April 2016].

Peace Pledge Union Information. t.t. GUATEMALA 1982: genocide, dalam Talking about Genocide – Genocides. [Online]. Tersedia dalam: http://www.ppu.org.uk/genocide/g_guatemala1.html [Diakses pada 12 April 2016].

The New York Times. 19 Juni, 1981. “U.S. Clears Military Vehicles for Export to Guatemala”, dalam Around the World. [Online]. Tersedia dalam: http://www.nytimes.com/1981/06/19/world/around-the-world-us-clears-military-vehicles-for-export-to-guatemala.html [Diakses pada 12 April 2016].

Referensi

Dokumen terkait

Untuk peneliti selanjutnya dapat lebih detail dalam memaparkan apa saja identitas Yogyakarta dan menganalisis elemen artistik program Angkringan dan Wedang Ronde

Selain itu, WHO juga telah menggariskan lapan elemen bagi kesihatan primer dan diantaranya ialah, pendidikan kesihatan, makanan berkhasiat, program imunisasi,

Menimbang, bahwa ketika saksi Rudi Sianipar, saksi Fahriyal, saksi Aulya Arifin menanyakan dari mana terdakwa mendapat daun ganja kering tersebut, terdakwa mengakui bahwa

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan instrumen non test yaitu angket kemandirian belajar matematika yang terdiri dari 30 butir pernyataan yang mempunyai 4

11 Pebruari 2008 dan koreksi tambahan dari Keputusan keberatan untuk Masa Pajak Januari 2007 yang pokok Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 dan sanksi bunganya

Variabel terikat yang digunakan dalam model ini adalah tarikan pergerakan kendaraan ke hotel tersebut, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan,

ataupun forum diskusi terfokus (FGD) sebagai kegiatan koordinasi dan fasilitasi serta konsultansi semua pihak pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Jawa