TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Sejarah pembangunan hutan di Indonesia, khususnya hutan tanaman telah
berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan
ditetapkan sebagai landasan hukum kegiatan pembangunan hutan tanaman. Pada
dekade 1990, seiring dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990,
maka dimulai pembangunan hutan tanaman yang dilakukan secara terintegrasi
dengan industri kehutanan. Program Hutan Tanaman Industri ini diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dan kualitas lahan, menjamin ketersediaan bahan
baku kayu bagi kepentingan industri serta penyerapan tenaga kerja dan lapangan
berusaha (Iskandar dkk., 2003).
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 3 tahun 2008, HTI adalah
hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh pelaku usaha kehutanan
untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil
hutan. Hak Pengusahaan HTI adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam
suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan,
pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.
Adapun tujuan pembangunan HTI menurut Direktorat Bina
Pengembangan Hutan Tanaman (2009) adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan
kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment).
2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis,
pulp dan paper, meubel dan lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan
ekspor.
Selain itu, HTI juga dikelola dan diusahakan berdasarkan prinsip
pemanfaatan yang optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan
dan sumber daya alamiah serta dengan menerapkan prinsip ekonomi dalam
pengusahaannya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Pengelolaan
satu kesatuan HTI yang disebut unit HTI merupakan unit pengusahaan yang
terdiri dari satu atau lebih kelas perusahaan. Menurut Dephut (1996), kelas
perusahaan pada pengusahaan HTI ada empat, yaitu:
1. Kelas perusahaan kayu pertukangan
2. Kelas perusahaan kayu serat
3. Kelas perusahaan kayu energi
4. Kelas perusahaan kayu perusahaan hasil hutan bukan kayu
Menurut Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman (2009), setiap
unit pengusahaan pada HTI telah diatur tata penggunaan lahannya/tata ruangnya
sebagai berikut :
a. Areal Tanaman Pokok ± 70 %
b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 %
c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 %
d. Kawasan Lindung ± 10 %
Adapun beberapa ciri pokok HTI, di antaranya adalah:
1. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah tebang habis dengan penanaman
kembali.
2. Komposisi jenisnya murni atau campuran.
3. Potensi produksi yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya, yang dicapai
dengan penerapan silvikultur intensif.
4. Pengusahaan HTI adalah pengusahaan hutan dalam suatu kawasan hutan yang
meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan tegakan, pemungutan hasil,
pengolahan sampai pemasarannya.
Tanaman Eucalyptus sp.
Eucalyptus sp. termasuk kedalam famili Myrtaceae, terdiri dari kurang
lebih 700 jenis. Daerah penyebaran meliputi Australia, New Britian, Papua,
Tasmania, Irian jaya, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Ekaliptus secara
umum tumbuh pada ketinggian 600-1800 m dpl dengan curah hujan tahunan
2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 23°C dan maksimum 31°C di dataran
rendah, serta pada suhu minimum rata-rata 13°C dan maksimum 29°C di
pegunungan (Sutisna dkk.,1998).
Ekaliptus pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak
meloloskan sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas,
jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Ciri khas lainnya adalah sebagian
atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai
dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk.
Warna kulit batang mulai dari putih kelabu, abu-abu muda, hijau kelabu sampai
tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat
tumbuhnya. Jenis ekaliptus dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai
ketinggian 100 meter umumnya berbatang bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit
bercabang. Sistem perakarannya yang masih muda cepat sekali memanjang
hingga menembus ke dalam tanah (Dephut, 1994).
Eucalyptus grandis
Taksonomi dari E. grandis adalah :
Divisio : Spermatophyta
Sud Divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledone
Ordo : Myrtiflorae
Family : Myrtaceae
Genus : Eucalyptus
Species : Eucalyptus grandis W. Hill ex Maiden
E. grandis adalah pohon hutan yang sangat tinggi, umumnya dapat
mencapai ketinggian 45-55 m dan diameter 1,2-2 m dbhob (diameter setinggi
dada di atas kulit). Jenis tanaman ini dapat tumbuh cepat pada lokasi yang sesuai,
dengan pertumbuhan 20-30 m3/Ha/tahun. Bunga berwarna putih dalam kelompok 7-11, umumnya mulai dari bulan April sampai Agustus. Buah berbentuk kapsul,
sedikit membulat seperti buah pir dan mengkerucut. E. grandis ini biasanya paling
sering diperbanyak dari biji, namun dapat juga direproduksi secara vegetatif
(Brooker dkk., 2002 dalam McMahon, 2010).
Jenis E. grandis menghendaki iklim C dan D pada ketinggian tempat
temperatur maksimum sekitar 24 sampai 30oC. Jenis ini tumbuh baik pada lahan datar atau dengan kemiringan yang tidak curam, serta tumbuh pada tanah alluvial
di tempat-tempat dekat air tetapi tidak tergenang air dan mengandung lempung
(Boland dkk., 1984 dalam McMahon, 2010).
Eucalyptus pellita
E. pellita merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yang berpotensi besar
dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Tanaman ini merupakan
jenis asli New South Wales, Queensland, dapat tumbuh pada tanah berpasir,
menyenangi cahaya matahari serta perawatan tanaman yang mudah. E. pellita
dapat tumbuh tinggi hingga 40-130 m dan diameter hingga 1 m. Batang lurus
dengan mahkota yang besar dan sangat bercabang. Kulit kasar, berserat,
pecah-pecah, dan berwarna coklat sampai coklat kemerahan.
Taksonomi jenis ini adalah:
Divisio : Spermatophyta
Sud Divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledone
Ordo : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Eucalyptus
Species : Eucalyptus pellita F. Muell
Tingkat pertumbuhan ekstrim dari E. pellita dan E. grandis dapat
mencapai rata-rata lebih dari 2 m per tahun. Hasil tanaman yang ditanam oleh
Amazonia Reboisasi telah mencapai pertumbuhan lebih dari 6 m di 12 bulan
produksi rata-rata E. pellita sebesar 40 m3/Ha/tahun. Jika kegiatan kehutanan dikelola dengan baik, maka produksi dapat meningkat hingga mencapai lebih dari
50 m3/Ha/tahun. Pertumbuhan yang cepat ini tidak saja dianggap penting oleh investor kayu, tetapi juga menunjukkan adanya penyerapan karbon yang tinggi
sehingga tersirat bahwa jenis ini memiliki manfaat untuk menyerap karbon.
Kegiatan pemanenannya tergantung pada penggunaan, untuk industri pulp dan
kertas dipanen pada umur 8 tahun sedangkan untuk industri kayu dipanen pada
umur 10 tahun (Dombro, 2010). Sedangkan hasil penelitian Bristow dkk. (2006)
mendapatkan bahwa nilai maksimum diameter E. pellita adalah sebesar 30,3 cm
dan nilai maksimum untuk tingginya adalah sebesar 28,8 m.
Pertumbuhan Tegakan
Pertumbuhan tegakan adalah pertambahan dimensi dari satu atau lebih
individu dalam suatu tegakan hutan dalam suatu jangka waktu (Vanclay, 1994).
Pertumbuhan tegakan merupakan perubahan ukuran sifat terpilih dari dimensi
tegakan yang terjadi selama periode tertentu (Davis dan Johnson, 1987).
Pertumbuhan merupakan hasil interaksi dari faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal antara lain sifat genetik pohon, persediaan bahan
makanan dalam pohon dan persediaan air di dalam pohon. Faktor eksternal antara
lain kerapatan tegakan, suhu, curah hujan, kelembapan udara, komposisi kimia
tanah, kandungan hara mineral, dan kandungan organisme-organisme dalam tanah
(Bruce dan Schumacher, 1950). Sedangkan menurut Husch dkk. (1982),
pertumbuhan tanaman merupakan interaksi antara lingkungan dan kemampuan
genetik dari tanaman tersebut. Pertumbuhan tanaman biasanya terbagi pada dua
dimana pertumbuhan terjadi pada daun, batang, dan akar. Sedangkan fase
generatif adalah fase pertumbuhan untuk menghasilkan bunga, buah, dan biji.
Riap
Kata riap biasanya dipakai untuk menyatakan pertambahan volume pohon
atau tegakan per satuan waktu tertentu. Definisi riap berbeda dengan
pertumbuhan. Pertumbuhan ditetapkan sebagai terminologi yang bersifat umum,
sedang riap lebih spesifik. Chapman (1950), menyatakan bahwa riap adalah rasio
bersih tahunan dari suatu tegakan yang merupakan penjumlahan aljabar dari
penambahan volume setiap tahun tersebut.
Menurut Simon (2007), riap dapat dibagi atas dua macam yaitu :
a. Riap individu pohon
Riap individu pohon terdiri dari riap diameter, riap luas bidang dasar, riap
tinggi, dan riap volume. Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter
setinggi dada. Sesuai dengan peranannya dalam perhitungan volume, riap
diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap
volume. Alat yang paling banyak dipakai untuk mengukur riap diameter ini adalah
“bor riap”. Namun alat ini hanya efektif untuk mengukur riap pohon yang
mempunyai lingkaran tahun yang jelas.
Riap tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan riap volume,
terutama untuk tegakan yang masih muda. Untuk tegakan tua peranan riap tinggi
berkurang karena setelah umur tertentu, suatu jenis pohon pertambahan riap
tingginya mendekati nol. Ada empat macam pendekatan yang dipakai untuk
1. Menaksir atau mengukur panjang ruas tahunan.
2. Analisis tinggi terhadap pohon yang ditebang.
3. Mengukur pertambahan tinggi pohon selama periode waktu tertentu.
4. Menentukan riap tinggi dengan kurva tinggi.
Riap volume pohon adalah pertumbuhan volume selama jangka waktu
tertentu. Dalam teori riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan
mengurangi volume pada akhir periode (B) dengan volume pohon tersebut pada
awal periode (A).
b. Riap tegakan
Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon
yang menyusun tegakan tersebut, jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu
pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai
laju yang berbeda-beda. Untuk hutan tanaman, pertumbuhan diameter biasanya
mengikuti grafik berbentuk huruf S (sigmoid) karena pada mulanya tumbuh agak
lambat, kemudian cepat lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada
waktu muda disebabkan tanaman hutan ditanam rapat untuk menghindari
percabangan yang berlebihan (Karyaatmadja, 2000).
Riap volume tegakan selama satu daur menurut Loetsch (1973) dalam
Yudistira (2004) dapat dibedakan menjadi :
1. Riap rata-rata berjalan (Current Annual Increment, CAI), yaitu riap yang
diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran terkecil, biasanya 1 tahun.
2. Riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI), yaitu besarnya riap
rata-rata pada umur tertentu. Fungsi ini merupakan hasil bagi antara
pertumbuhan sampai umur tertentu dengan umurnya.
3. Riap rata-rata periodik (Periodical Annual Increment, PAI), yaitu besarnya
riap rata-rata yang terjadi selama periode waktu tertentu di antara dua kali
pengukuran. Fungsi riap ini merupakan hasil bagi antara selisih total
pertumbuhan dengan lamanya periode waktu di antara dua kali pengukuran
tersebut.
Produktivitas E. hybrid (E. grandis vs E. urophylla) sangat tinggi,
memiliki riap tahunan rata-rata dapat mencapai sebesar 70 m3/Ha/tahun (Campinhos, 1993). E. hybrid ini menghasilkan riap rata-rata tahunan (MAI)
dengan kisaran 12-48 m3/Ha/tahun. Produktivitas hibrid E. hybrid sangat ditentukan oleh jenis tanah serta besarnya curah hujan tahunan di kawasan
tersebut (Gonçalves dkk., 1997). Hal ini terlihat dari hasil penelitian tegakan
hibrid E. urograndis di Bahia, Brazil yang ditanam pada ketinggian 0-300 meter
dari permukaan laut, mempunyai riap rata-rata sekitar 30 m3/Ha yang ditanam pada lahan dengan curah hujan <1000 mm/tahun pada 3 jenis tanah (oxisol
berpasir, ultisol berpasir dan ultisol berlempung). Pada areal dengan curah hujan
antara 1000-1200 mm/tahun, riap rata-rata tahunan tegakan dapat mencapai
sekitar 37 m3/Ha pada jenis tanah ultisol berlempung, riap rata-rata tahunan mencapai 34 m3/Ha pada tanah ultisol berpasir dan sekitar 30 m3/Ha pada tanah oxisol berpasir. Pada areal yang mempunyai curah hujan > 1200 mm/tahun riap
47 m3/Ha pada tanah ultisol berpasir dan sekitar 38 m3/Ha pada tanah oxisol berpasir (Stape dkk.,1997).
Daur
Daur adalah jangka waktu antara waktu penanaman sampai tanaman hutan
dimaksud masak untuk dipanen (Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan,
1999). Terdapat 6 jenis daur menurut Dephut (1992) yakni :
1. Daur fisik
Yaitu jangka waktu yang berhimpitan dengan periode hidup suatu jenis
untuk kondisi tempat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami.
Daur fisik juga dapat disamakan dengan berapa umur suatu pohon sampai pohon
tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan.
Jadi, daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu
hutan.
2. Daur silvikultur
Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan yang
baik dan dapat menjamin permudaan dengan kondisi yang sesuai dengan tempat
tumbuhnya. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik.
Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang sangat
lebar.
3. Daur teknik
Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan
kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur
untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, sedangkan jika tujuan
pengelolaan untuk kayu pertukangan, maka daurnya panjang.
4. Daur volume maksimum
Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil
kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur
ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di
lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume
maksimum ini berhimpitan dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata
tahunan (MAI) mencapai maksimum.
5. Daur pendapatan maksimum
Daur ini juga dikenal sabagai daur “bunga hutan” maksimum (the highest
forest rental), yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih
maksimum. Pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir,
setelah dikurangi dengan seluruh biaya. Daur ini pada umumnya hampir sama
dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh
dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur.
6. Daur finansial
Yaitu daur yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan maksimum
dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang
yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (land expectation value) dan dari
hasil finansial.
Menurut Hendromono dkk. (2003), daur volume maksimum adalah jangka
waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan
kurva yang menunjukkan perpotongan antara grafik riap rata-rata tahunan (MAI)
dengan grafik riap berjalan (CAI). Perpotongan grafik tersebut adalah merupakan
daur volume maksimum suatu tegakan (Gambar 1).
volume (m3/Ha)
MAI
CAI
umur (tahun) Gambar 1. Grafik CAI dan MAI
Menurut Simon (2007), dalam pengelolaan hutan kedua grafik ini
mempunyai arti yang penting. Manipulasi perlakuan tegakan melalui penelitian
untuk memperoleh riap tegakan maksimal, baik CAI maupun MAI masih
memberi peluang yang besar untuk meningkatkan nilai manfaat dari hutan. Grafik
hubungan antara riap berjalan tahunan (CAI) dengan riap rata-rata tahunan (MAI)
mempunyai karakteristik yaitu :
1. Kurva riap berjalan (CAI) mencapai puncak secara cepat dan menurun secara
cepat, jika dibandingkan dengan kurva riap rata-rata tahunan (MAI) yang
mencapai puncak secara perlahan-lahan dan menurun secara perlahan-lahan.
2. Titik potong antara CAI dan MAI merupakan saat pemanenan yang paling
titik potong tersebut kedua kurva akan menurun yang berarti riap akan terus
menurun.
Penentuan panjang daur tebang tergantung pada interaksi beberapa faktor
(Osmaton, 1968 dalam Nuhamara, 2008), yaitu:
1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan yang bergantung pada jenis pohon,
kondisi tempat tumbuh dan intensitas pemeliharaan.
2. Karakteristik jenis tanaman dengan memperhatikan umur maksimum secara
alami, umur untuk dapat menghasilkan benih, fase umur kecepatan tumbuh
terbaik dan fase umur kualitas terbaik.
3. Pertimbangan ekonomi melalui perhitungan ukuran yang layak dipasarkan dan
harga tertinggi yang dapat dicapai.
4. Respon tanah yang sama terhadap penggunaan yang kontiniu atau
berulang-ulang, erat hubungannya dengan bahan induk tanah, pelapukan tanah dan ada
tidaknya faktor alelopati tanaman.
Penentuan daur volume maksimum yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti yaitu dengan cara membuat model pertumbuhan diameter, tinggi, dan
volume pohon. Dari model tersebut, didapat hasil pendugaan pertumbuhan
tegakan pada suatu hutan tanaman yang kemudian dapat ditentukan daur volume
maksimumnya. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dalam menentukan
daur volume maksimum untuk jenis ekaliptus dan lainnya adalah sebagai berikut :
1. Harbagung (1991) menyimpulkan bahwa daur volume maksimum untuk
tegakan hutan tanaman E. urophylla berdasarkan perpotongan antara kurva
riap tahunan berjalan dengan kurva riap rata-rata tahunan adalah 5-6 tahun.
2. Latifah (2004) menyimpulkan bahwa daur volume maksimum untuk tegakan
hutan tanaman E. grandis di HTI PT. TPL Tbk. adalah pada umur 8 tahun.
3. Arifiandy (2006) menyatakan bahwa daur volume maksimum tegakan Acacia
Mangium di PT. Sumalindo Hutani Jaya II, Kalimantan Timur, adalah pada
umur 5,25 tahun.
4. Mindawati (2010) mendapatkan hasil bahwa daur volume maksimum hutan
tanaman E. urograndis pada rotasi 1 adalah 5,5 tahun dengan nilai riap sekitar
35,83 m3/Ha. Sedangkan daur volume maksimum pada rotasi kedua adalah 5
tahun. Penelitian ini dilakukan di PT. TPL Tbk., Sektor Aek Nauli, Sumatera
Utara.
5. Darwo dkk. (2012) menyatakan bahwa riap volume maksimum tegakan
ekaliptusdi PT. TPL Tbk., Sektor Aek Nauli, Sumatera Utara adalah sebesar
31,13 m3/Ha/tahun pada umur 8,1 tahun sehingga daur volume maksimum dan
umur indeks tempat tumbuh ditetapkan 8 tahun dengan rata-rata volume
tegakan 249,34 m3/Ha dan riap tahunan rata-rata 31,17 m3/Ha/tahun.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas HTI
Soepardi (1992) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman adalah faktor genetik dan faktor kualitas tapak, khususnya
kualitas tanah yang keduanya dapat dimanipulasi atau diubah secara buatan.
Faktor genetik dapat dimanipulasi melalui kegiatan pemuliaan tanaman,
sedangkan faktor tanah dapat dimanipulasi melalui kegiatan silvikultur.
Faktor genetik
Peningkatan produktivitas tegakan perlu diikuti dengan peningkatan mutu
keragaman genetik untuk tujuan pengembangan jenis dengan sifat unggul. Seleksi
dilakukan dalam rangka memilih sifat-sifat yang diinginkan dari suatu pohon,
seperti kecepatan pertumbuhan, kecepatan adaptasi lingkungan, dan adaptasi atau
resisten hama dan penyakit dan lain-lain. Hibrida adalah metode untuk
menghasilkan tanaman baru dan merupakan suatu hasil persilangan dari dua jenis
atau lebih tanaman yang memiliki susunan genetik berbeda. Biasanya persilangan
dalam genus yang sama, antar ras atau bahkan antar dua genotip berlainan dalam
populasi yang sama atau sejenis tetapi berbeda sedikit “gen” nya. Hibrida-hibrida
hasil persilangan mendapat warisan sifat-sifat pohon parental atau tetuanya. Oleh
karena itu, jika persilangan ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik
atau untuk hibrida yang tahan serangan penyakit, maka pohon induk harus
mempunyai sifat yang diinginkan tersebut (Zobel dan Talbert, 1984).
Menurut Hardiyanto (2004), tidak semua hibrid menunjukkan
pertumbuhan yang lebih baik dibanding dengan kedua induknya, hibrid dapat pula
tumbuh lebih buruk daripada induknya. Oleh karena itu perlu strategi pemuliaan
yang disusun dengan baik. Strategi pengembangan hibrid dapat sangat sederhana
atau dapat sangat kompleks. Strategi sederhana berupa seleksi hibrid alami pada
pertanaman komersial, sedangkan strategi yang lebih kompleks meliputi
hibridisasi alami dan hibridisasi terkendali yang dilakukan pada individu terpilih
dari masing-masing jenis (Mulawarman, 2003).
Program hibridisasi ekaliptus merupakan salah satu strategi yang sangat
sukses dalam pembangunan hutan tanaman. Hibridisasi buatan genus ekaliptus
melalui penyerbukan terkendali banyak dikembangkan dan memiliki kelebihan
penelitian menunjukkan bahwa persilangan antar jenis dari ekaliptus memiliki
tingkat keseragaman yang lebih tinggi dan memungkinkan produksi tanaman
dengan kombinasi karakter yang dilakukan akan menguntungkan secara ekonomi
(Souvannavong, 1992 dalam Koranto, 2003).
Faktor kualitas tapak
Faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaan tempat
tegakan mencakup bentuk lapangan, sifat-sifat tanah, dan iklim memiliki tingkat
keeratan hubungan yang cukup tinggi dengan dimensi suatu tegakan hutan
tanaman (Suhendang, 1990). Kualitas tempat tumbuh merupakan jumlah total
faktor-faktor lingkungan (tanah, iklim mikro, kelerengan dan lain-lain) yang
merupakan fungsi geologis, fisiografi, iklim mikro dan perkembangan suksesi
(Daniel dkk., 1997).
Sifat kimia tanah
Beberapa sifat kimia tanah yang penting dan berpengaruh terhadap
pertumbuhan suatu tanaman adalah reaksi pH tanah, bahan organik tanah, unsur
hara dan kapasitas tukar kation (KTK). Nilai pH tanah yang merupakan indikator
kualitas tanah terbaik adalah antara pH6 - pH7, karena sebagian unsur hara
menjadi tersedia (USDA, 1998).
Faktor perlakuan silvikultur
Produktivitas maksimum akan tercapai jika dalam pengelolaan hutan
dilakukan tindakan silvikultur intensif bersamaan dengan pemuliaan tanaman.
Berbagai teknik silvikultur dapat diterapkan terhadap tanah dan pengelolaan
tegakan untuk meningkatkan ketersediaan air dan unsur hara selama pertumbuhan.
silvikultur intensif dapat menaikkan dan mempertahankan produktivitas. Pada
umumnya pengelolaan intensif dilakukan pada fase persiapan bibit, persiapan
lahan dan fase pemeliharaan tegakan berupa pemberian input hara atau
pemupukan (Nambiar, 1996).
Hutagalung (2008) menyatakan bahwa ekaliptus dapat membentuk
simbiosis yang saling menguntungkan dengan mikroorganisme sehingga akan
memperbesar kemampuan tanaman dalam menyerap hara, mampu melarutkan P
tidak tersedia menjadi tersedia dan mampu mengurai sisa tanaman.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
PT. Toba Pulp Lestari Tbk. yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon
Utama Tbk. (IIU) adalah suatu perusahaan yang mendapatkan hak pengusahaan
hutan yang bertujuan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akan kertas dalam
negeri yang diimpor oleh beberapa negara. Perusahaan ini memiliki areal konsesi
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang terletak di beberapa
kabupaten yaitu Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli
Tengah dan Tapanuli Selatan dengan total luas ijin HPHTI berdasarkan SK.
Menhut No. 493/KPTS-II/1992 seluas 269.060 ha dengan jangka pengelolaan 43
tahun dan pemanfaatan Pinus berdasarkan SK. Menhut No. 236/KPTS-IV/1984
seluas 15.763 ha yang berada di luar areal HPHTI sehingga total areal berjumlah
berjumlah 284.816 ha (TPL, 2008).
Areal konsesi PT. Toba Pulp Lestari Tbk. terdiri dari 6 sektor yang
1. Sektor Tele berada pada Kabupaten Samosir yang meliputi Kecamatan H.
Boho, Sumbul, Parbuluan, Kerajaan, Sidikalang dan Salak pada 2° 15’ 00” -
2° 50’ 00” LU dan 98° 20’ 00” BT - 98° 50’ 00” BT.
2. Sektor Padang Sidempuan berada pada Kabupaten Tapanuli Selatan yang
meliputi Kecamatan Padang Bolak, Sosopan, Padang Sidempuan, dan Sipirok
pada 1° 15’ 00” LU - 1° 50’ 00” LU dan 99° 13’ 00” BT - 99° 33’00” BT.
3. Sektor Aek Nauli berada pada Kabupaten Simalungun yang meliputi
Kecamatan Dolok Panribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, dan Jorlang pada 2°
40’ 00” LU - 2° 50’ 00” LU dan 98° 50’ 00” BT - 99° 10’ 00” BT.
4. Sektor Habinsaran berada di Kabupaten Toba Samosir yang meliputi
kecamatan Siborong-borong, Sipahutar, Habinsaran, Silaen, dan Laguboti
pada 2° 7’ 00” LU - 2° 2’ 00” dan 99° 05’ 00” BT - 99° 18’ 00” BT.
5. Sektor Tarutung berada di Kabupaten Tapanuli Utara yang meliputi
Kecamatan Dolok Sanggul, Sipaholon, Onan Gajang, Parmonangan, Adian
Koting, Gaya Baru, Tarutung, Lintong Nihuta, dan Sorkam pada 1° 54’ 00”
LU - 2° 15’ 00” LU dan 98° 42’ 00” - 98° 58’ 00” BT.
6. Sektor Sarulia berada di Kabupaten Tapanuli Utara yang meliputi Kecamatan
Pahae Julu, Pahae Jae, Lumut, dan Batang Toru pada 1° 30’ 00” LU - 1° 55’