4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa SawitKelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat jenis bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1912 (Maulana, 2017).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan plasma yang termasuk tanaman tahunan yang berasal dari negara Afrika Barat. Tanaman ini dapat tumbuh subur di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Papua Nugini. Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit. Secara garis besar buah kelapa terdiri dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Mesocarp mengandung kadar minyak rata – rata sebanyak 56 % inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44 % dan endocarp tidak mengandung minyak. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio (Pasaribu, 2004).
2.2 Varietas Kelapa Sawit
Varietas tanaman kelapa sawit cukup banyak yang sudah dikenal. Jenis varietasnya dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah, atau berdasarkan warna kulit buahnya. Selain itu, dikenal beberapa varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain mampu menghasilkan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lain.
Kelapa sawit yang dikenal berdasarkan ketebalan cangkang ada tiga jenis, yakni Dura, Psifera dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal, sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah, namun biasanya tandan buahnya besar – besar dan kandungan minyak per tandannya
5
berkisar 18 %. Dari empat pohon induk yang tumbuh di Kebun Raya Bogor, varietas ini kemudian menyebar ke tempat lain antara lain ke negara Timur Jauh dan negara Jiran Malaysia. Psifera memiliki buah yang tidak memiliki cangkang, namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Psifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing – masing induk dengn sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buah yang bisa mencapai 90 % dan kandungan minyak per tandan yang dapat mencapai 28 % (Sibuea, 2014).
2.3 Proses pengolahan Minyak Kelapa Sawit
Proses pengolahan TBS kelapa sawit disetiap pabrik umumnya bertujuan untuk memperoleh minyak dengan kualitas yang baik, tingkat keasaman yang rendah dan minyak yang mudah dipecahkan. Proses tersebut cukup panjang dan memerlukan kontrol yang cermat, dimulai dari pengangkutan hasil sampai dihasilkan minyak sawit (Hikmawan dan Angelina, 2019).
Pengolahan minyak sawit yaitu untuk memperoleh minyak sawit yang berasal dari daging buah (mesocarp) sedangkan pengolahan inti sawit adalah untuk memperoleh inti yang berasal dari biji (nut). Proses produksi minyak sawit kasar dari tandan buah segar (TBS) terdiri dari beberapa tahapan proses seperti perebusan buah, perontokan atau pemipilan, pelumatan dan pengepresan buah, purifikasi dan klarifikasi. Tandan buah segar yang masuk kedalam pabrik ditimbang terlebih dahulu kemudian dibawa menuju lantai penerimaan buah. Tandan buah segar mengalami proses perebusan menggunakan uap basah. Selanjutnya buah mengalami proses perontokan buah pada tandan dengan menggunakan thresher. Buah yang telah membrondol akan dilumatkan yang bertujuan untuk memudahkan prosesn selanjutnya yaitu proses pengepresan, sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari daging buah (mesocarp) (Pahan, 2008).
6
Selanjutnya buah akan memasuki tahapan pengepresan yang bertujuan untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit secara mekanis. Pengepresan pada buah akan memisahkan minyak dari serat dan biji. Minyak kasar dari hasil pengepresan selanjutnya mengalami proses pemurnian yang berfungsi untuk memisahkan minyak dari sludge dan air. Proses pemurnian dilakukan dengan metode gravitasi dan mekanik. Pada stasiun ini produk yang dihasilkan adalah minyak sawit yang sudah jernih. Keberhasilan proses pengolahan ditentukan oleh 70% keberhasilan proses perebusan. Karena distasiun ini, TBS diberi tekanan steam bertekanan tinggi yang diinjeksikan dari Back Pressure Vessel (BVP). Proses ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap proses – proses selanjutnya (Naibaho, 1996).
Sistem perebusan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan boiler memproduksi uap, dengan sasaran bahwa tujuan perebusan dapat tercapai. Sistem perebusan yang lazim dikenal di PKS adalah single peak, double peak dan triple peak. Sistem perebusan triple peak (STPP) banyak digunakan, selain berfungsi sebagai tindakan fisika juga dapat terjadi proses mekanik yaitu adanya goncangan yang disebabkan oleh perubahan tekanan yang cepat. Keberhasilan STPP dipengaruhi oleh tekanan uap yang tersedia, kapasitas rebusan, bahan baku dan lama perebusan. Uap yang masuk kedalam ketel rebusan pada mulanya memanaskan buah luar dan masuk lagi pada buah yang lebih dalam. Panas yang diterima oleh setiap lapisan buah tidaklah sama, penurunan suhu uap pada lapisan yang lebih dalam menyebabkan penurunan tekanan uap. Waktu perebusan berlangsung lebih lama apabila yang dilalui uap semakin banyak (Pahan, 2008).
2.4 Sterilizer
Stasiun perebusan adalah stasiun pertama dalam proses pengolahan kelapa sawit. Tujuan perebusan adalah menonaktifkan enzim lipase, memudahkan pelepasan buah, mengurangi kadar air dalam buah, melunakkan daging buah. Faktor yang mempengaruhi kesempurnaan proses perebusan adalah kondisi buah dan sistem perebusannya. Apabila dalam perebusan tidak memperhatikan tekanan, waktu dan
7
temperatur perebusan maka kehilangan minyak akan semakin besar (Naibaho, 1996). Sterilizer merupakan suatu bejana bertekanan, yang berfungsi untuk merebus buah dengan media uap (steam) sebagai media pemanas yang berasal dari sisa pembuangan turbin uap (Hasibuan, 2015).
Turbin uap disebut juga boiler yang didalamnya terjadi perpindahan panas untuk mengubah fasa cair menjadi fasa uap. Steam dari boiler dialirkan melalui sistem pinpan ke sterilizer oleh karena steam berupa fluida gas, maka untuk mentransportasikannya dibutuhkan tekanan. Tekanan steam diatur menggunakan kran dan di pantau dengan alat pemantau tekanan. Sehingga steam dapat sampai di sterilizer untuk digunakan pada saat proses perebusan. Sistem perebusan harus sesuai dengan kemampuan boiler produksi uap, dengan sasaran tujuan perebusan dapat tercapai. Dalam perebusan ada tiga sistem perebusan yang digunakan antara lain, sistem perebusan satu puncak (single peak), dua puncak (double peak) dan tiga puncak (triple peak) (Hikmawan dan Angelina, 2019). Pada umumnya satu siklus perebusan membutuhkan waktu ± 120 menit (Naibaho, 1996).
2.4.1 Horizontal Sterilizer
Pada biasanya, horizontal sterilizer mempunyai kapasitas 25 ton TBS dengan muatan lori sebanyak 10 dengan kapasitas per lorinya adlah 2,5 ton TBS. Prinsip kerja yang sering digunakan pada sterilizer horizontal ini biaanya menggunakan sistem perebusan triple peak (tiga puncak). Dengan lama waktu perebusan sekitar 90–95 menit dan target tekanan yang harus dicapai adalah 2,8–3,0 kg/𝑐𝑚2 dengan suhu 130-135 ℃ dan norma losses minyak pada air kondensat sebesar 0,5 %.
8
Gambar 2.1 Sterilizer Horizontal (Sumber :Naibaho, 1996)
Keterangan Gambar :
1. Jembatan Centiliver 7. Safety Valve 2. Pintu Masuk Sterilizer 8. Ketel Rebusan
3. Manometer 9. Pintu Keluar Sterilizer
4. Lori 10. Rail Track Di Dalam Rebusan
5. Pipa Inlet Steam 11. Pondasi (Kaki Rebusan)
6. Pipa Exhaust Steam 12. Pipa Pembuangan Air Kondensat
Dengan menggunakan sistem perebusan 3 puncak, maka panas dapat masuk dengan baik sehingga TBS dapat matang secara merata.
2.4.2 Vertical Sterilizer
Vertical Sterilizer mempunyai bentuk bejana tabung yang tegak, sehingga jenissterilizer ini tidak menggunakan lori sebagai pengantar TBS. Untuk sterilizer ini menggunakan scrapper sebagai alat untuk mengantar TBS menuju sterilizer.
9
Gambar 2.2 Sterilizer Vertical (Sumber : Naibaho, 1996)
2.4.3 Tujuan Perebusan
Keberhasilan dalam proses perebusan akan mendukung untuk di proses berikutnya. Fungsi dari sterilizer sebagai proses perebusan TBS adalah :
1.Menghentikan proses peningkatan Asam Lemak Bebas (ALB) karena pemanasan saat perebusan dapat mematikan aktivitas enzim-enzim yang dapat meningkatkan kadar ALB. Pada umumnya enzim ini tidak akan aktif lagi bila dipanaskan suhu > 50℃.
2.Memudahkan brondolan terlepas dari tandan pada waktu penebahan.
3.Mengurangi kadar air brondolan, memudahkan proses pada digester/kempa dan proses pengutipan minyak di stasiun klarifikasi karena adanya perubahan komposisi kimia mesocarp (daging buah).
4.Mengurangi kadar air pada biji sehingga memudahkan inti lekang dari cangkang sertameningkatkan efisiensi pada saat proses pemecahan biji di cracker atau ripple mill.
2.4.4 Sistem Perebusan
Sistem perebusan yang dipilih harus berdasarkan kemampuan boiler memproduksi uap agar tujuan perebusan dapat tercapai. Sistem perebusan yang dikenali di PKS
10
adalah single peak, double peak dan triple peak. Akan tetapi sistem perebusan yang paling sering digunakan adalah triple peak.
1. Sistem Perebusan Single Peak
Gambar 2.3 Sistem Perebusan Single Peak (Sumber : Naibaho, 1996)
Sistem perebusan single peak adalah sebagai berikut :
a. Setelah buah dimasukkan ke dalam rebusan, pintu ditutup, kran – kran inlet, exhaust dan pipa kondensat ditutup
b. Kran inlet dibuka dank ran kondensat dibuka untuk membuang udara – udara yang ada di dalam rebusan selama 3 – 5 menit.
c. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 2 kg/𝑐𝑚2 selama ±10 menit
d. Dilakukan penahanan waktu rebusan selama ±45 menit
e. Dilakukan pembuangan uap dari 2 – 0 kg/𝑐𝑚2 dan buang air kondensat±5
menit.
2. Sistem Perebusan Double Peak
Proses perebusan ini dilakukan dengan dua tahap pemasukan uap, dengan dua tahap pembuangan kondensat.
11
Gambar 2.4 Sistem Perebusan Double Peak (Sumber : Naibaho, 1996)
Sistem perebusan double peak adalah sebagai berikut :
a. Setelah buah dimasukkan ke dalam rebusan, pintu ditutup, kran – kran inlet, exhaust dan pipa kondensat ditutup.
b. Kran inlet dibuka dank ran kondensat dibuka untuk membuang udara – udara yang ada di dalam rebusan selama 3 – 5 menit.
c. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 2 kg/𝑐𝑚2 selama ± 10 menit.
d. Dilakukan pembuangan uap dari 2 – 0 kg/𝑐𝑚2 dan buang air kondensat ± 2 menit.
e. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 2,6 kg/𝑐𝑚2 selama ± 12 menit. f. Dilakukan penahanan waktu rebusan selama ± 45 menit.
g. Dilakukan pembuangan uap dari 2,6 – 0 kg/𝑐𝑚2 dan buang air kondensat ± 5 menit.
3. Sistem Perebusan Triple Peak
Proses perebusan ini dilakukan dengan tiga tahap pemasukkan uap, dengan tiga pembuangan air kondensat.
12
Gambar 2.5 Sistem Perebusan Triple Peak (Sumber : Naibaho, 1996)
Sistem perebusan triple peak adalah sebagai berikut :
a. Setelah buah dimasukkan kedalam rebusan, pintu ditutup, kran-kran inlet, exhaust dan pipa kondensat ditutup.
b. Kran inlet dibuka dank ran kondensat dibuka untuk membuang udara udara yang ada didalam rebusan selama 3 – 5 menit.
c. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 2 kg/cm2 selama ±8 menit.
d. Dilakukan pembuangan uap dari 2 – 0 kg/cm2 dan buang air kondensat ±4 menit.
e. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 2,6 kg/cm2 selama ±12 menit.
f. Dilakukan pembuangan uap dari 2,6 – 0 kg/cm2 dan buang air kondensat ±7 menit.
g. Tekanan uap dimasukkan dari 0 – 3 kg/cm2 selama ±14 menit. h. Dilakukan penahanan waktu rebusan selama ±45 menit.
i. Dilakukan pembuangan uap dari 3 – 0 kg/cm2 dan buang air kondensat ±5 menit.
13 2.5 Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati dari tanamana kelapa sawit. Secara umum minyak nabato terdiri dari trigliserida – trigliserida asam lemak (mempunyai kandungan terbanyak dalam minyak nabati, mencapai sekitar 95 %). (Tambun, 2006).
Minyak kelapa sawit tersusun dari unsur – unsur C, H dan O. Minyak sawit ini terdiri dari fraksi padat dan fraksi cair dengan perbandingan yang seimbang. Penyusun fraksi padat terdiri atas asam lemak jenuh antara lain asam mirista (1%), asam palmitat (45%) dan asam stearat. Sedangkan fraksi cair terdiri dari asam lemak tidak jenuh yang terdiri dari asam oleat (39%) dan asam linoleat (11%). Komposisi tersebu ternyata agak berbeda jika dibandingkan dengan minyak nabati inti sawit dan minyak kelapa (Akbar, 2012).
2.6 Standart Mutu Minyak Kelapa Sawit
Tabel 2.1 SNI 01-2901-2006 Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO)
No. Kriteria Satuan Persyaratan
1. Warna - Jingga kemerah-merahan
2. Kadar air dan kotoran %, fraksi
masa 0,5 maks
3. Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat)
%, fraksi
masa 0,5 maks
4. Bilangan yodium gr
14 Tabel 2.2 Standart Mutu Minyak Kelapa Sawit
Parameter Standart %
ALB Golden CPO 2,0 % maks
ALB CPO Super -2,5 % maks
ALB CPO non super -3,5 % maks
Kadar Air 0,15 % maks
Kadar Kotoran 0,02 % maks
DOBI 2,5 min
Bilangan Iodin 51 min
Bilangan Peroksida, meq/kg 5,0 maks
Fe (Besi), ppm 5,0 maks
Cu (tembaga), ppm 0,3 maks
Titik Cair 39 – 41 ℃
𝜷 – carotene ≥ 500 ppm
(Sumber : PTPN IV : 2009)
2.7 Sifat Kimia Minyak Kelapa Sawit
Minyak merupakan bahan cair diantaranya disebabkan rendahnya kandungan asam lemak jenuh dan tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap diantara atom – atom karbonnya sehingga mempunyai titik leleh yang rendah.
Sifat–sifat kimia minyak kelapa sawit meliputi beberapa reaksi penting. Beberapa dari reaksi tersebut diinginkan dan ada reaksi yang tidak diinginkan.
2.7.1 Reaksi Hidrolisis
Ikatan ester dari molekul trigliserida dapat dihidrolisis menjadi asam lemak bebas, sebagian gliserida dan gliserol. Hidrolisa ini terjadi karena adanya air atau kelembaban tinggi dan temperatur tinggi mempercepat hidrolisa dalam asam lemak bebas tinggi (Wibowo, 2008).
15 2.7.2 Reaksi Oksidasi
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak atau lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam – asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam – asam lemak bebas. Rancidity terbentuk oleh aldehid bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan peroxida value (PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik (Ketaren, 2008).
Hasil oksidasi berpengaruh dapat dipersingkat periode induktif dari lemak segar dan dapat merusak zat inhibator. Konstituen yang aktif dari hasil oksdasi lemak, berupa peroksida lemak atau penambahan peroksida selain yang dihasilkan pada proses oksidasi lemak, misalnya hydrogen hanya dapat memproses oksidasi. Usaha penambahan anti –oksidan hanya dapat mengurangi peroksida dalam jumlah kecil, namun fungsi antioksidan akan dapat rusak dalam lemak yang mengandung peroksida dalam jumlah besar (Ketaren, 2008).
Oksidasi terjadi selama berbagai taraf pengolahan dan pengangkutan. Beberapa hal yang biasa terjadi dan perlu mendapat perhatian adalah yang berikut :
1. Suhu yang terlampau tinggi dalam pelaksanaan ekstraksi.
2. Kebocoran yang sering terjadi pada alat – alat pengeringan vakum, sehingga minyak dikeringkan pada suhu yang terlampau tinggi dan terbuka bagi udara. 3. Tercampurnya minyak dengan udara sewaktu pemompaan dan sewaktu jatuh
kedalam tangki – tangki dimana terjadi turbulensi.
4. Penyimpanan yang terlampau lama pada suhu yang tinggi tanpa adanya alat pendingin. Juga penyimpanan dalam tangki – tangki mengakibatkan meningkatkan kadar Fe dan kepekaan terhadap pemucatan (bleachability). 5. Minyak sewaktu dalam pengapalan sering mengalami pemanasan terlampau
16 2.8 Perubahan Kimia Akibat Kerusakan Lemak
Proses oksidasi dengan pembentukan produk dari proses oksidasi. Proses oksidasi dengan cara iradiasi dengan adanya oksigen atau kena oksigen dalam waktu singkat setelah proses iradiasi akan menghasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil. Peroksida tidak terbentuk pada proses iradiasi dalam suasana vakum. Adanya air akan mempercepat pembentukan peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh tetapi peroksida tidak terbentuk jika minyak mengandung bahan mengemulsi (misalnya gum ghatti dan dekstrin).
Pembentukan peroksida akan bertambah dengan bertambahnya derajat ketidakjenuhan, pembentukan peroksida ini mempunyai kolerasi dengan tipe dan jumlah radikal bebas dalam lemak. Akumulasi peroksida juga bergantung dari tipe radikal bebas yang dihasilkan, suhu iradiasi dan penyimpanan.
2.8.1 Hidroperoksida
Proses iradiasi dengan adanya oksigen terhadap ester dari lemak jenuh misalnya metil miristat dan metil palmitat, metil oleat serta metil linoleat akan menghasilkan sejumlah kecil peroksida. Peroksida tidak terbentuk pada proses iradiasi dalam suasana vakum. Adanya air akan mempercepat pembentukan peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh tetapi peroksida tidak terbentuk jika minyak mengandung bahan mengemulsi (misalnya gum ghatti dan dekstrin). Pembentukan peroksida akan bertambah dengan bertambahnya derajt ketidakjenuhan, pembentukan peroksida ini mempunyai kolerasi dengan tipe dan jumlah radikal bebas dalam lemak. Akumulasi peroksida juga bergantung dari tipe radikal bebas yang dihasilkan dan penyimpanan.
2.8.2 Persenyawaan Karbonil
Persenyawaan karbonil dalam lemak dihasilkan dari proses reaksi dekomposisi hidroperoksida. Persenyawaan karbonil tersebut menyebabkan bau dan flavor yang tidak diinginkan dalam lemak dan bahan pangan berlemak, bhkan pada proses oksidasi lemak yang intensif akan menimbulkan bau tengik, persenyawaan karbonil juga dapat terbentuk pada proses iradiasi lemak dalam suasana vakum.
17
Menurut Scwweigert, persenyawaan karbonil jenuh atau tidak jenuh, berantai pendek atau panjang dapat terbentuk pada proses iradiasi, dibawah pengaruh oksigen (terutama pada lemak yang tidak mengandung air).
2.8.3 Hasil Oksidasi
Hasil oksidasi lainnya selain dari persenyawaan peroksida dan karbonil, dalam lemak juga terdapat asam karboksilat dan sejumlah kecil persenyawaan hidroksi dan persenyawaan berkonjugasi. Persenyawaan tersebut terbentuk akibat radiasi bebas berkonjugasi (conyugated free radical), sehingga bereaksi dengan zat selain oksigen dan membentuk persenyawaan konjugasi yang jumlahnya kadang – kadang lebih besar dari jumlah hidroperoksida. Berdasarkan penelitian Chepault dkk, persenyawaan ini terutama terbentuk dari metil ester asam lemak dengan jumlah atom C (8 – 12) dan mengandung gugus epoksi (Ketaren, 2008).
2.9 Faktor – faktor yang Mempercepat dan Menghambat Oksidasi
Faktor – faktor yang Mempercepat dan Menghambat Oksidasi dapat dilihat pada Tabel 2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.3 Faktor – faktor yang Mempercepat dan Menghambat Oksidasi
No Aksepator Dihambat/dicegah dengan
1. Suhu tinggi Suhu rendah (refrifgrasi)
2. ionisasi radiasi (α, β dan x) Sinar (UV dan biru) dan Wadah berwarna atau opak, bahan pembungkus
3. Peroksida (termasuk lemak
yang dioksidasi) Menghindarkan oksigen 4. Enzim lipoksidase Merebus (blanching) 5. Katalis Fe – organik Anti – oksidan (Sumber : Ketaren, 2008)
2.9.1 Pengaruh Suhu
Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu. Kecepatan akumulasi peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100 – 115 ℃ adalah dua kali
18
lebih besar dibandingkan pada suhu 10 ℃. Untuk mengurangi kerusakan bahan pangan berlemak dan agar tahan dalam waktu lebih lama, dapat dilakukan dengan cara menyimpan lemak dalam ruang dingin.
2.9.2 Pengaruh Cahaya
Cahaya merupakan akselarator terhadap timbulnya ketengikan. Kombinasi dari oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Sebagai contoh, lemak yang disimpan tanpa udara (𝑂2), tetapi dikenai cahaya sehingga menjadi tengik. Hal ini karena dekomposisi peroksida yang secara alamiah telah terdapat dalam lemak. Cahaya berpengaruh sebagai akselarator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam lemak.
2.9.3 Katalis Logam
Bahan pangan berlemak pada umunya mengandung logam dalam jumlah yang sangat kecil. Logam ini biasanya telah terdapat secara alamiah dalam bahan atau sengaja ditambahkan untuk tujuan tertentu, yang berada dalam bentuk garam kompleks, garam organik maupun garam inorganik. Garam – garam ini biasanya sukar melepaskan secara sempurna dari lemak. Beberapa logm seperti Fe, Cu, Mn, Ni, dan Co, umumnya mempercepat kerusakan lemak dalam bahan pangan. Hal ini mengakibatkan off flavor yang khas yaitu berbau apek pada konsentrasi di bawah 100 ppm. Fungsi logam sebagai katalisator oksidasi dapat dihambat dengan melepaskan katalis logam dari lemak selama tahap permulaan proses oksidasi dan menambahkan zat penghambat yang kuat ke dalam system autooksidasi akan mencegah oksidasi lebih lanjut (Ketaren, 2008).
2.10 Pembentukan Peroksida
Bilangan peroksida menunjukkan derajat oksidasi dari suatu minyak atau lemak, yakni sejauh manakah minyak/lemak tersebut telah mengalami oksidasi. Dibandingkan dengan minyak – minyak nabati lainnya, minyak sawit sesungguhnya agak lebih tahan terhadap kerusakan akibat oksidasi, karena jumlah ikatan – rangkap dari asam lemak tak jenuh berganda dalam minyak sawit adalah relatif kecil dan juga karena adanya tocopherol – tocopherol yang berfungsi
19
sebagai anti–oksidan. Anti–oksidan adalah suatu zat yang mempunyai sifat memperlambat permulaan tengiknya minyak, yakni zat tersebut seakan – akan menangguhkan, tetapi bukan mengatasi kerusakan dari minyak. Sifat – sifat melindungi dari anti–oksidan terletak pada mudahnya teroksidasi, sehingga lebih mudah terurai terhadap lemak/minyak, menghilang sebelum minyak tersebut diserang oleh bakteri – bakteri atau jasad – jasad lainnya.
Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak. Peroksida mempercepat proses timbulnya bau tengik pada bahan pangan dan minyak goreng. Apabila jumlah peroksida pada bahan pangan dan minyak goreng tersebut melebihi standar mutu maka akan beracun dan tidak dapat dikonsumsi seperti timbulnya gejala diare, kelambatan pertumbuhan, pembesaran organ, deposit lemaktidak normal, kontrol tidak sempurna pada pusat syaraf dan mempersingkat umur. Kerusakan minyak tidak dapat dicegah, namun dapat diperlambat dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu :
1. Oksigen, semakin banyak oksigen semakin cepat teroksidasi
2. Ikatan rangkap, semakin banyak asam lemak tidak jenuhnya semakin mudah teroksidasi
3. Suhu, suhu penggorengan dan pemanasan yang tinggi akan mempercepat reaksi 4. Cahaya serta ion logam tembaga (Cu2+) dan besi (Fe2+) yang merupakan
faktor katalis proses oksidasi
5. Antioksidan, semakin tinggi antioksi dan ditambahkan semakin tahan terhadap oksidasi (Ketaren, 2008).
2.11 Hubungan Waktu Perebusan Terhadap Bilangan Peroksida
Hubungan waktu perebusan dengan efisiensi ekstraksi minyak adalah sebagai berikut :
1. Semakin lama perebusan, maka jumlah buah yang terpipil akan semakin tinggi 2. Semakin lama perebusan, maka biji akan semakin masak dan menjadi lebih
20
3. Semakin lama perebusan, maka losses minyak pada air kondensat semakin tinggi.
4. Semakin lama perebusan, maka losses minyak pada tandan kosong semakin tinggi, dikarenakan terjadinya penyerapan minyak oleh tandan kosong.
5. Semakin lama perebusan, maka mutu minyak yang dihasilkan akan semakin berkurang.
Menurut Pahan, (2012), minyak sawit dapat mengalami kerusakan akibat proses hidrolisis, oksidasi dan polimerasi. Hidrolisis ini merubah minyak menjadi oksidasi minyak yang akan menghasilkan aldehid dan keton, polimerasi merupakan kelanjutan reaksi oksidasi dan pemanasan. Adanya proses pengolahan dengan suhu, tekanan dan waktu lama tersebut akan menjadikan kerusakan minyak sawit dan berubahnya komponen yang ada di dalamnya. (Ketaren, 2008;Naibaho, 1998).
Proses hidrolisis ini terjadi adanya kerusakan minyak akibat kerusakan spontan minyak dalam mesocarp/daging buah sawit karena adanya panas suhu dan tekanan yang berasal dari steam yang digunakan selama proses. Sedangkan menurunnya kadar kadar minyak karena semakin lama kontak dengan steam (uap panas suhu sekitar 121 ℃) dan tekanan yang tinggi (1,5-2 bar) maka sel – sel minyak ada yang rusak dan minyak yang keluar bersama kondensat (Sivasothy et al, 2005). 2.12 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas (ALB) adalah asam yang dibebaskan pada hidrolisa dari lemak. Kadar ALB minyak kelapa sawit dianggap sebagai Asam Palmitat (berat molekul 256). ALB yang tinggi menimbulkan kerugian dalam rafinasi dan korosi logam proxidant seperti besi dan tembaga. Standart Nasional Indonesia Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk kandungan asam lemak bebas yaitu sebesar 5%, walaupun di beberapa pabrik kelapa sawit memiliki asam lemak bebas lebih besar dari 4%. Asam-asam lemak yang terdapat sebagai ALB dalam CPO terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai adalah antara 14-20 atom karbon. Kandungan asam lemak yang terbanyak adalah asam tak jenuh oleat dan linoleat, minyak
21
sawit masuk golongan minyak asam oleat – linoleat. Untuk ALB dalam CPO komponen utamanya adalah asam palmitat dan oleat (Naibaho, 1998).
Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sawit sangat merugikan. Tingginya asam lemak ini mengakibatkan rendemen minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak bebas dalam minyak sawit. Kenaikan kadar ALB ditentukan mulai dari tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik. Kenaikan ALB ini disebabkan adanya reaksi hidrolisa minyak. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipecepat dengan faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk. (Mangoensoekarjo dan semangun, 2003).