• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Budaya Keselamatan dalam dunia Transportasi Udara

Upaya2 yang efektif untuk meynjamin keselamatan terbang harus mengedepankan pentingnya budaya. Setiap organisasi dibidang transportasi udara harus sepenuhnya memahami dampak dari budaya pada operasinya, bila mengharapkan keberhasilan upaya jaminan keselamatan terbang. Pemikiran dasar dari diskusi yang dijabarkan dibawah ini adalah bahwa kekokohan budaya keselamatan yang dibangun itu harus berlandaskan pada upaya membangun kekuatan budaya nasional, dan memperkuat budaya-budaya profesi dan organisasi.

Budaya berpengaruh pada semua sisi kehidupan, termasuk nilai-nilai, kepercayaan dan perilaku yang menjadi ciri kelompok. Budaya berperan mengikat kita bersama sebagai anggota2 kelompok dan memberikan petunjuk untuk berperilaku dalam kondisi normal maupun situasi baru. Dalam memikirkan budaya, yang per-tama2 muncul dibenak kita adalah budaya nasional, yang ciri2nya membedakan pengikut satu budaya tertentu dari pengikut budaya yang lain. Tetapi untuk seorang pilot sebenarnya ada 3 budaya yang berpengaruh dalam menentukan perilaku dan sikapnya dalam bekerja.

Yang pertama tentu saja adalah budaya nasional. Disamping itu ada juga budaya profesi yang sangat kuat dan melekat sebagai anggota dari profesi pilot. Yang terakhir, atau ketiga, adalah budaya organisasi dimana pilot tersebut bekerja. Ini sangat penting karena bagaimanapun juga pilot harus menjadi bagian dan mengikuti tata cara kerja yang berlaku dalam organisasi itu. Kalau menentang budaya kerja yang berlaku dalam organisasi, jelas bahwa pilot tersebut akan dianggap tidak bisa menjadi “team player” dan pada akhirnya akan dikucilkan. Budaya nasional itu sulit untuk diubah, karena setiap orang pasti dari sejak kecil sudah akan dipengaruhi dan kepribadiannya dibentuk dalam kerangka budaya nasional. Disisi lain, budaya profesi dan budaya organisasi itu bisa saja diubah, apabila ada insentif yang cukup kuat untuk melakukan perubahan itu.

Ketiga budaya tersebut semuanya sangat penting dalam menentukan perilaku pilot dalam melakukan tugas didalam kokpit. Contohnya adalah bagaimana seorang pilot junior memandang seniornya dan bagaimana informasi yang berkaitan dengan tugas dalam kokpit disampaikan. Seringkali seorang pilot junior enggan, bahkan menolak untuk mengatakan sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai se-olah2 dia menentang seniornya, padahal sebenarnya pilot senior itu memang melakukan kesalahan yang harus dikoreksi dan kecelakaan akan terjadi bila koreksi tidak dilakukan (ini terjadi dalam peritiwa tabrakan antara 2 pesawat Boeing-747 yang terjadi di Tenerife pada tahun 1977 (lihat misalnya http://en.wikipedia.org/wiki/Tenerife_airport_disaster dan juga video dialamat http://www.youtube.com/watch?v=kjLrZ2SDDaU ). Ada kecenderungan untuk

menganggap bahwa pilot seniorlah satu-satunya yang bertanggung jawab, salah atau benar, dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan dalam kokpit saat

menghadapi situasi dan kondisi yang kritis. Jelas bahwa seharusnya semua yang berada dalam kokpit secara ber-sama2 bertukar pikiran dan berkomunikasi secara bebas

sejujurnya dalam upaya menemukan solusi terbaik untuk menyikapi ancaman atau situasi gawat darurat yang sedang dihadapi. Budaya membentuk sikap dalam menangani suasana tegang dan menilai kemampuan pribadi seseorang. Budaya juga berpengaruh pada

bagaimana pilot mematuhi SOP (Standar Operating Procedures atau Prosedur Operasi Standar) dan bagaimana otomatisasi peralatan dihargai dan dimanfaatkan. Masing2 dari ketiga budaya tersebut diatas memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya tentu saja meningkatkan keselamatan sedangkan kelemahannya justru mengurangi keselamatan.

(2)

Budaya Nasional. Ini mewakili komponen2 yang dimiliki bersama dari warisan budaya nasional. Ada beberapa sisi budaya nasional yang telah diidentifikasi sebagai sangat menentukan dibidang aviasi, yaitu “Individualisme-Kolektivisme”, “Jarak Kekuasaan”, dan “Hindari Ketidakpastian” atau “Kepatuhan terhadap Aturan dan Keberaturan”. Pribadi yang Individualistis lebih focus pada diri sendiri dan keuntungan pribadi, sedangkan pribadi yang Kolektivistis lebih mementingkan kelompok primernya. Kolektivisme seringkali dikaitkan dengan Jarak Kekuasaan, yang mencerminkan

kesediaan menerima adanya perbedaan kedudukan dan kepatuhan pada pimpinan. Dipandang dari segi perilaku, Jarak Kekuasaan yang kuat dapat dilihat dari keengganan untuk mempertanyakan keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pemimpin, walaupun semuanya itu sebenarnya kurang tepat. Mereka yang selalu menghindari ketidakpastian (Aturan dan Keberaturan) merasa bahwa aturan tidak boleh dilanggar, walaupun demi kepentingan dan keselamatan bersama. Mereka juga merasa bahwa prosedur tertulis selalu diperlukan untuk semua situasi dan semua kegiatan harus dilakukan sesuai jadwal, yang ditentukan secara ketat. Mereka yang tak begitu peduli dengan menghindari ketidakpastian cenderung untuk melanggar SOP, tetapi boleh jadi juga lebih efektif dalam berupaya mengembangkan cara2 yang tepat dalam menangani situasi darurat yang muncul secara mendadak.

Komunikasi antara individu yang berbeda budaya nasionalnya seringkali terbentur pada tembok perbedaan bahasa disamping oleh nilai2 budaya yang berbeda. Masalah bahasa memang adalah dampak tak terelakkan dari sisi umum budaya. Kenyataan bahwa secara umum ada anggapan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa internasional, bisa jadi justru bisa memperparah masalah. Dalam banyak budaya, seperti budaya Indonesia misalnya, seringkali individu2nya mampu atau menguasai beberapa bahasa, tetapi orang2 dari budaya Anglo (turunan Inggris, seperti Amerika, Australia dlsbnya) biasanya hanya bisa berbicara bahasa Inggris dan tidak bisa atau mampu memahami masalah yang dihadapi oleh orang dari budaya lain saat berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Ini bukanlah sebuah masalah yang punya solusi sederhana, namun demikian tetap harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya.

Budaya Profesi. Rasa bangga seorang pilot mengenai profesinya adalah sisi yang sangat baik dari budaya profesi mereka. Pilot sangat menyenangi pekerjaannya dan termotivasi untuk melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin. Ini bermanfaat dalam membantu organisasi dalam upayanya beroperasi secara aman selamat dan efisien. Disisi lain budaya profesi pilot juga punya sisi jelek yaitu bahwa para pilot merasa bahwa mereka itu kebal, tak mungkin salah dan tertimpa malapetaka. Studi2 yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hampir semua pilot dari segala macam budaya merasa yakin bahwa kemampuan mereka untuk mengambil keputusan dalam kondisi darurat itu sama baiknya dengan pada kondisi normal, bahwa kinerja mereka tidak dipengaruhi oleh masalah2 pribadi, dan bahwa mereka tidak membuat lebih banyak kesalahan dalam kondisi sangat tegang dibandingkan dengan dalam kondisi normal. Ini adalah rasa percaya diri berkelebihan yang membuat mereka sering gagal dalam memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh dalam pelatihan CRM (Crew Resource Management atau pemberdayaan sumberdaya kru) yang seharusnya dapat membantu mereka dalam menghindar dari berbuat kesalahan2 yang bisa berakibat fatal.

Budaya Organisasi. Organisasi bisa memberikan kerangka dimana budaya2 nasional dan profesi beroperasi, dan merupakan penentu utama bagi perilaku. Budaya keselamatan dapat ditanamkan dan di tumbuh-kembang kan dengan hasil terbaik pada tingkat organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan dukungan nyata dan kuat dari manajemen tingkat atas, disamping kebijakan2 yang menunjang komunikasi terbuka

(3)

dan mengambil tindakan positif bukannya justru menutup mata tak mau tahu, sebagai reaksi terhadap masalah2 dan resiko yang ditemukan.

Semakin lama organisasi menjadi semakin bersifat multi-budaya. Individu dari berbagai bangsa sering bekerja-sama didalam sebuah kokpit, dan ini bisa menimbulkan masalah bahasa didalam kokpit dan juga antara pesawat dengan otorita diluar pesawat yang mengelola lalu lintas udara. Pilot bisa jadi memiliki latar belakang profesi yang berbeda, misalnya ada yang berlatar belakang sipil tetapi ada juga yang dari militer. Dengan sering terjadinya kasus dimana sebuah airline menjadi bangkrut atau bergabung (merger) dengan airline lain, maka pilotpun sering pindah dari satu airline ke airline lain sehingga dua pilot yang berada dalam satu kokpit sering memiliki latar belakang budaya organisasi dari dua organisasi yang berbeda dan harus menyesuaikan diri dengan budaya organisasi yang baru bagi ke-dua2nya.

Persyaratan Organisatoris untuk Budaya Keselamatan:

Sebelum sebuah organisasi dapat membangun budaya keselamatan, manajemen tingkat atas harus memutuskan untuk bersedia mengambil semua tindakan yang diperlukan, termasuk yang biayanya mahal. Ada beberapa kondisi dasar yang harus dipenuhi supaya upaya mengembangkan budaya keselamatan itu punya peluang untuk berhasil. Kondisi2 tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

• Saling percaya

• Kebijakan tidak menghukum atas kesalahan

• Komitmen untuk mengambil tindakan dalam meminimalkan kondisi2 yang bisa menimbulkan kesalahan.

• Pengumpulan data2 pencegahan yang menunjukkan sifat ancaman dan jenis kesalahan yang terjadi

• Pelatihan dalam mengenali ancaman dan menghindari kesalahan, dan strategi pemberdayaan sumberdaya kru (CRM)

• Pelatihan dalam mengevaluasi dan meningkatkan pengenalan ancaman dan manajemen kesalahan bagi para instruktur dan pengevaluasi.

Pemikiran yang melandasi butir2 diatas itu sederhana. Seandainya tidak ada rasa saling mempercayai dan kebijakan untuk tidak menghukum kesalahan manusia, maka organisasi tidak akan pernah menerima laporan dari para anggotanya dan tidak akan mampu

mengambil tindakan2 proaktif dalam menjamin keselamatan. Sekarang ini mulai muncul kesadaran bahwa keselamatan adalah sebuah kejadian sistemik, dan kecelakaan hanya terjadi bila ada serentetan faktor2 kesalahan yang saling susul menyusul dan tidak bisa dicegah hanya dengan pelatihan ataupun dengan perbaikan teknologi saja. Upaya2

jaminan keselamatan operasi penerbangan harus melibatkan pengelolaan masalah2 sistem yang lebih luas, disamping pelatihan pada tingkat individu dan kru. Upaya2 tersebut butuh data yang lengkap dan akurat tentang bagaimana individu dan organisasi berfungsi dalam sistem aviasi, untuk memberikan arah pada kegiatan2 jaminan keselamatan yang harus dilakukan. Data tentang kinerja pelatihan dan operasi lapangan bukanlah hal2 teoritis yang hanya penting untuk penelitian saja, tetapi merupakan bagian mendasar dari keselamatan dan efisiensi. Sebuah pengertian yang akurat tentang kinerja lapangan dan pengetahuan tentang sifat dan jenis dari ancaman dan resiko yang terdapat dalam sistem merupakan sebuah persyaratan mutlak untuk menjamin keselamatan. Disamping itu juga diperlukan pengertian yang mendalam mengenai jenis kesalahan dan berapa sering kesalahan itu terjadi. Kunci masalah keselamatan terletak pada kesadaran mengenai

(4)

resiko atau ancaman, termasuk yang berasal dari lingkungan, peralatan, dan manusia dalam sistem, dan pengelolaan serta penghindaran dari kesalahan, yang efektif. Oleh karena itu organisasi harus mengambil langkah2 untuk mengumpulkan data tentang kinerja sistem dan sifat serta skala dari ancaman dan kesalahan yang terjadi dalam operasi2 nya, supaya manajemen bisa mengambil tindakan2 yang efektif. Dibawah ini disampaikan beberapa jenis data yang telah diidentifikasi sebagai mutlak harus dimiliki untuk memahami operasi penerbangan dan keselamatan, dan masing2 memberikan perspektif khusus tentang fungsi sistem:

1. Kinerja Pelatihan. Penilaian kinerja dalam lingkungan pelatihan/evaluasi dari sejak awalnya memang telah merupakan sumber informasi primer tentang kinerja dan tetap masih merupakan sumber informasi primer tentang kualifikasi anggota kru. Namun demikian kita tetap harus menyadari bahwa kinerja dalam kondisi seperti itu sesungguhnya lebih mencerminkan informasi tentang ketrampilan dan kemampuan anggota kru, bukannya tentang apakah prosedur standar (SOP) telah secukupnya dipatuhi dalam lingkungan operasi sebenarnya. Dalam kondisi tidak normal biasanya kru akan berusaha menerbangkan pesawat sesuai SOP atau dengan apa yang tertulis dalam buku aturan.

2. Cek Lapangan. Karakteristik yang sama juga berlaku untuk cek lapangan. Ini menunjukkan ketrampilan dan kesadaran tentang prosedur standar (SOP), tetapi belum tentu mencerminkan bagaimana pesawat sebenarnya ditangani di lapangan, saat kru terbang tidak sedang diawasi dan dievaluasi. Perilaku kru terbang saat dievaluasi dilapangan adalah cerminan dari perilaku saat menghadapi situasi tegang, sama seperti saat dalam pelatihan, dan belum tentu mencerminkan perilaku praktek kerja sehari-hari.

3. Audit Lapangan. Hasil2 penelitian telah dimanfaatkan untuk mengembangkan dan menyarankan agar pelaksanaan evaluasi lapangan sebaiknya menggunakan audit yang berdasarkan kondisi yang tidak tegang sebagai sumber data primer untuk fungsi sistem dan kinerja kru. Audit lapangan yang menggunakan pengamat2 yang berpengalaman dalam lingkungan saling mempercayai, akan dapat memberikan gambaran sesaat dari kinerja sistem dan menciptakan data yang menuntun kearah baik masalah2 dan kesesuaian operasional, maupun persyaratan2 kurikulum untuk

pelatihan. Belakangan ini proses audit telah diperluas dan mencakup kondisi2 yang berbeda dari kondisi normal, dan merupakan sumber ancaman terhadap keselamatan, lalu merekam kesalahan yang terjadi serta pengelolaan dari kesalahan2 tersebut.

4. Survei (anonimus). Salah satu sumber informasi yang penting adalah survei yang dilakukan secara anonimus. Data seperti itu dapat memberikan pengertian mengenai persepsi kru tentang keselamatan dan bagaimana mereka bersedia menerima konsep2 CRM yang diberikan selama pelatihan. Data hasil survei merupakan tambahan yang penting pada data audit, untuk menunjukkan bagian2 yang unggul dan yang lemah dari sebuah skenario pengoperasian pesawat.

5. Laporan Insiden. Pengembangan sebuah sistem nasional pelaporan kecelakaan telah terbukti merupakan kontribusi yang sangat penting bagi keselamatan. Belakangan ini airline2 bekerjasama dengan FAA untuk menciptakan sistem pelaporan dimana anggota kru bisa memberikan masukan mengenai kesalahan2 yang terjadi di organisasi tanpa rasa takut akan di hukum. Data seperti itu sangat bermanfaat bagi organisasi untuk mendapatkan informasi tepat waktu, yang dapat dimanfaatkan untuk

(5)

mengambil keputusan2 dan tindakan2 dalam menangani ancaman potensi bahaya yang teridentifikasi dengan cepat.

6. FOQA. Flight Operations Quality Assurance, atau Program Jaminan Kualitas Operasi Penerbangan, menggunakan data digital dari FDR (Flight Data Recorder) untuk menentukan batasan dari parameter2 penerbangan yang dilanggar. Data tersebut sangat bermanfaat dan kekurangannya adalah dia tidak mampu memberikan informasi tentang akar permasalahan (misalnya lelah karena kerja berlebihan, melakukan

kesalahan secara tidak sengaja, komunikasi dengan ATC dlsbnya) yang menjadi faktor penyebab terjadinya pelanggaran yang terekam

Threat Recognition and Error Management (TREM): Pelatihan untuk mengenali resiko dan menghindari serta mengelola eror. Setelah memperoleh pemahaman dari data yang tersedia, organisasi bisa mengambil tindakan untuk mengurangi atau

melenyapkan sumber2 sistemik dari resiko yang ada. Organisasi kemudian dapat

mengembangkan program pelatihan untuk membantu para staf yang berada digaris depan, yaitu para pilot. CRM telah dikembangkan sebagai seperangkat perilaku dan strategi yang harus diikuti oleh kru demi terwujudnya keselamatan terbang. Dalam perkembangan selanjutnya CRM telah menjadi semakin canggih dan bisa dianggap sebagai seperangkat tindakan2 penangkalan yang menuju kearah menyadari apa yang menjadi ancaman dan resiko, dan akhirnya bagaimana mengelola kesalahan yang pasti terjadi

Data2 diagnostik dapat memberikan informasi pada organisasi tentang pengaruh ke 3 budaya yang telah disebut sebelumnya, dalam operasi perusahaan. Informasi tersebut dapat membantu dalam pengembangan strategi2 lokal sesuai situasi dan budaya2 yang ada, yang akhirnya menghasilkan sebuah pelatihan yang lebih bisa diterima dan diterapkan dilapangan. Beberapa contoh dapat diberikan supaya lebih jelas apa yang dimaksud. Apabila budaya nasional yang ada dalam organisasi adalah dimana anggota junior tak boleh menentang keputusan atau tindakan yang diambil oleh anggota senior, pelatihan CRM yang menekankan betapa pentingnya bagi staf junior supaya berani mengungkapkan pendapatnya atau bersikap lebih asertif, kemungkinan besarnya konsep CRM itu akan ditolak. Tetapi kalau perilaku yang diinginkan itu disamarkan sebagai suatu keharusan bagi sang junior untuk memberi dukungan kepada seniornya, dengan memberikan informasi yang boleh jadi dapat mencegah terjadinya kondisi yang sangat berbahaya dan dapat membuat pimpinan dan organisasi kehilangan muka, maka bisa jadi hal tersebut akan diterima sebagai bagian dari budaya organisasi. Demikian juga pelatihan resmi mengenai keterbatasan manusia dan kepastian bahwa kesalahan akan selalu terjadi, dapat mengurangi kenistaan yang terkait dengan berbuat salah dan juga mengurangi penolakan trehadap kenyataan bahwa pilot juga rawan berbuat kesalahan. Semuanya itu pada akhirnya akan meningkatkan kemauan untuk berbagi informasi mengenai

kesalahan2 operasional. Tugas membangun budaya organisasi untuk saling mempercayai dimana para pilot dan pihak manajemen bisa dengan bebas dan terbuka berbagi informasi penting, mungkin merupakan tugas yang paling sulit. Dalam hal ini sekali lagi data dapat membantu menentukan sebesar apa sebenarnya kekurangan rasa saling mempercayai itu. Misalnya saja dalam survei diantara para pilot, bisa ditanyakan apakah mereka merasa bahwa manajemen bersedia mengambil tindakan nyata untuk menegakkan jaminan keselamatan, disamping apakah mereka mempercayai pihak manajemen. Kalau ada rasa tidak percaya dan justru berpikir bahwa manajemen lebih mementingkan keuntungan dibandingkan dengan komitmen menjamin keselamatan terbang, maka manajemen harus membuktikan dengan perbuatan, bukan sekedar bicara tentang keselamatan sebelum pilot akan mengubah cara berpikir mereka dan mulai mempercayai manajemen. Walaupun membangun budaya keselamatan terbang yang positif bukan pekerjaan yang mudah,

(6)

tetapi sudah ada banyak kasus dimana organisasi pada akhirnya mampu mengatasi rasa kecewa dan frustrasi berat yang disebabkan oleh terjadinya merger antara beberapa airline dan hubungan kerja yang sangat buruk, disamping dampak negatif dari keterpurukan kondisi keuangan, dan akhirnya mampu membangun budaya keselamatan yang kokoh kuat. Semuanya itu menunjukkan bahwa upaya2 berat yang diperlukan memang harus dilakukan dan memberikan hasil tambahan berupa efisiensi dan moral kerja yang bagus.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis varians sebagaimana disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan tempat asal populasi (A) dan pohon induk (B) berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman

Dasar-dasar Audit Internal Sektor Publik, Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik STAN Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)

Berdasarkan data dan analisis data yang telah dilakukan pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa Alat ukur kadar air pada gabah dengan sistem sensor yang terdiri dari LED,

Secara parsial terdapat pengaruh yang positif dan signifikan variabel kompensasi terhadap kinerja guru SLTA di Kecamatan Bangkinang.. Besarnya koefisien determinasinya adalah

Terapi hormonal diberikan pada kanker payudara stadium IV. Prinsip terapi ini berdasarkan adanya reseptor hormon yang menjadi target dari agen terapi kanker. Ketika

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh vortex generator terhadap peningkatan pressure drop

Menjelaskan Kewajiban Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Tujuan Lain dengan benar 5.21.. Menjelaskan Kewajiban Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Kantor untuk

Melalui diskusi penggalian informasi dan literasi (buku paket, modul, presentasi, internet) peserta didik diharapkan mampu mengevaluasi proses Komunikasi daring sinkron (Zoom,