• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum

Hak Imunitas Anggota DPR RI Sebagai Pejabat Publik dalam

Hal Menjalankan Tugas dan Wewenangnya

The Immunity Rights of Members of the DPR RI as Public

Officials in Carrying Out Their Duties and Authorities

Faisal Akbar Nasution

Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Indonesia Diterima: April 2021; Disetujui: Juni 2021; Dipublish: Juni 2021

*Coresponding Email: faisalakbr061@gmail.com

Abstrak

Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Meskipun kewenangan pembentukan sebuah undang-undang ada ditangan DPR bersama-sama dengan Presiden dan tidak melibatkan pemegang kedaulatan yaitu rakyat di dalam proses pembentukannya, namun saat ini peran serta rakyat dalam mempengaruhi sebuah kebijakan untuk melahirkan sebuah undang-undang dan untuk menilai keberlakuan sebuah undang-undang tidak dapat dipandang sebelah mata. Penelitian bertujuan untuk memberikan hak imunitas bagi anggota DPR RI sebagai pejabat publik dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya. Metode penelian yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan doktrin yang diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum serta bersifat preskriptif yang diharapkan dapat diterapkan di dalam masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa anggota DPR RI dalam melakukan tugas dan wewenangnya perlu dilindungi dengan baik dan terhormat sesuai dengan tingkat kehormatannya sebagai wakil rakyat yang telah dipilih rakyat serta setiap anggota DPR RI juga harus mencerminkan pribadi dan prilaku yang terhormat dan terdepan di dalam penegakan hukum.

Kata Kunci: Hak Imunitas; Anggota DPR; Pejabat Publik;

Abstract

The idea of democracy demands that every form of law and various decisions be approved by the representatives of the people and perhaps consider the interests of the people. Authorization, a law is in the hands of the DPR together with the President and does not involve the holders of sovereignty, namely the people in the process of ordering it, but currently the role and the people in influencing policies to produce a law and to assess the validity of a law laws cannot be underestimated. The research aims to provide immunity rights for members of the DPR RI as public officials in carrying out their duties and authorities. The research method used in this research is normative juridical legal research using an invited approach and the doctrine applied to a legal problem and is prescriptive in nature which is expected to be applied in society. The results of the study concluded that in carrying out their duties and authorities, members of the DPR RI need to be properly and respectably protected with their level of honor as people's representatives who have been elected by the people and each member of the DPR RI must also reflect respectable and foremost personal and behavior in law enforcement.

Keywords: Immunity Rights; Members of the House of Representatives; Public official;

How to Cite: Nasution, F.A (2021). Hak Imunitas Anggota DPR RI Sebagai Pejabat Publik Dalam Hal Menjalankan Tugas Dan Wewenangnya, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 8 (1) 2021 : 8-17

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan memakai prinsip negara hukum sebagai dasar dalam setiap tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa, maka Negara Republik Indonesia haruslah memberikan naungan atau perlindungan kepada setiap warga sesuai dengan hak dan kewajiban yang melekat berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga negara seperti DPR (badan legislatif) dan Pemerintah (badan eksekutif). Negara hukum sebagaimana dikatakan oleh Oemar Seno Adji (Hoesein, 2012) adalah sebagai suatu negara yang memandang prinsip legalitas sebagai karakteristik yang esensial, bertindak melalui, berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Dengan demikian negara hukum yang dilaksanakan oleh negara Indonesia sebagai suatu organisasi kekuasaan yang utama, haruslah senantiasa menempatkan hukum sebagai landasan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam setiap bidang kehidupan (Budiardjo, 2000). Hal ini juga pernah diingatkan oleh Aristoteles seorang ahli filsafat zaman Yunani Purba dahulu, bahwa sesuatu kekuasaan itu seharusnya bersumber dari hukum yang dibentuk negara, dan karena itu hukum juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara baik yang memerintah maupun yang diperintah sehingga kedua belah pihak sama-sama memiliki kedudukan hukum. (Rapar, 1993)

Implementasi konsep negara hukum itu di dalam sesuatu negara akan sangat dipengaruhi dengan sistem hukum apa yang dianutnya. Sebagaimana kita maklumi bahwa berbagai negara di dunia ini sangat dipengaruhi oleh 2 (dua) sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara yang berbeda, yakni sistem hukum Eropa Kontinental yang mewarisi hukum Romawi yang sebelumnya mengadopsi hukum Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan oleh Immanuel Kant, Frederich Julius Stahl dan lain-lainnya selanjutnya dikenal dengan istilah rechsstaat. Sementara itu dilain pihak dikenal lagi sistem hukum Anglo Saxon yang dipelopori oleh A.V. Dicey yang kemudian dikenal dengan istilah the

rule of law.

Dalam konsep negara hukum rechsstaat, menurut Friedrich J. Stahl terdiri atas 4 unsur yaitu :

1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia,

2. Untuk melindungi hak asasi tersebut, maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori trias politika (pemisahan atau pembagian kekuasaan negara),

3. Dalam menjalankan tugasnya Pemerintah berdasarkan atas perundang-undangan (hukum), dan

4. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka badan pengadilan administrasi negara yang akan menyelesaikannya.

Sementara itu konsep negara hukum rule

of law menurut pandangan A.V. Dicey terdiri

atas 3 unsur:

1. Supremasi hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum,

2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), dan

3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam konstitusi atau undang-undang yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the

constitution based on individual rights)

Dari kedua ciri sistem hukum diatas, menegaskan kepada kita bahwa dalam sistem hukum apapun yang dianut sesuatu negara, maka posisi hukum berada pada posisi yang sangat strategis untuk mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap warga di dalam suatu negara dari segala tindakan represif yang dilakukan oleh rezim penguasa yang sedang berkuasa, apakah itu dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Manifestasi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia itu secara implisit dan eksplisit merupakan cerminan persamaan didepan hukum (equality before the

law) terhadap setiap orang apakah ia berada

pada posisi yang berkuasa ataupun berada pada posisi yang diperintah. Asas persamaan ini (asas similia similibus) menurut (Arief Sidharta, 2004) pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus non

(3)

diskriminatif). Aturan hukum berlaku sama untuk setiap orang, karena itu harus dirumuskan secara umum dan abstrak.

(Asshiddiqie, 2005) merumuskan unsur-unsur sesuatu negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku sekarang ini dengan mengandung 12 (dua belas) prinsip pokok yaitu:

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law) 2. Persamaan dalam Hukum (Equality before

the Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law) 4. Pembatasan Kekuasaan

5. Organ-organ Eksekutif Independen 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak 7. Peradilan Tata Usaha Negara

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional

Court)

9. Perlindungan Hak Asassi Manusia

10. Bersifat Demokratis (Democratische

Rechtsstaat)

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), dan

12. Transparansi dan Kontrol Sosial

Empat dari dua belas prinsip negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie di atas, menegaskan bahwa dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin yang tertinggi di dalam negara adalah konstitusi sebagai hukum yang tertinggi yang kemudian diimplementasikan kedalam bentuk Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan pelaksana lainnya, dimana di dalamnya mengandung persamaan kedudukan pada setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik yang dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya, dimana segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan dengan dianutnya pembatasan kekuasaan negara pada masing-masing lingkungan kuasanya. Adapun asas legalitas ini berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar

rakyat yang tertuang dalam undang-undang. (Ni’matul Huda, 2017).

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menguraikan tentang hak imunitas anggota DPR RI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian normatif, mengharuskan dilakukannya pendekatan perundang-undangan (statute Approach)

(Susanto, 2012)dan doktrin (Johan, 2018) yang diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum. Penelitian ini diharapkan bersifat preskriptif sebagaimana Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum diharapkan dapat diterapkan (Marzuki, 2017). Hasil penelitian yang akan menjawab permasalahan menurut Marzuki setidak-tidaknya dalam menganalisis masalah harus tampak jelas jawaban berupa

true, appropriate, inappropriate atau wrong.

Penelitian ini akan mengulas mengenai asas dan teori hukum untuk menganalisas permasalahan hukum yang ada (Syahputra, 2018)

HASIL DAN PEMBAHASAN Perwujudan Kedaulatan Rakyat

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diuraikan dalam bagian Pendahuluan di atas, meka menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Indonesia adalah negara yang menganut asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah merupakan bentuk implementasi dari pelaksanaan sistem demokrasi pada sesuatu negara. Demokrasi berasal dari perkataan (Latin) demos dan cratein. Demos artinya rakyat, sedangkan cratein artinya memerintah. Jadi demokrasi itu adalah rakyat yang memerintah.

Demokrasi merupakan suatu bentuk atau cara pemerintahan yang pada masa kini hampir seluruh negara-negara di dunia menganutnya. Demokrasi ialah termasuk cara pemerintahan, dimana golongan yang memerintah dan yang diperintah adalah sama dan tidak terpisah-pisah, yaitu suatu sistem pemerintahan negara dimana pada dasarnya semua rakyat mempunyai hak yang sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah (Kartiko, 2009). Demokrasi berkaitan dengan terciptanya peluang yang besar dalam pembagian kekuasaan. Menurut David Betham, demokrasi

(4)

diangap mempunyai tujuan-tujuan yang dinilai paling baik dan logis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada kebanyakan negara yang mempraktikkannya. Di dalam aturan main demokrasi, dipenuhinya hak-hak pribadi mendapat tempat, jaminan dan perlindungan yang baik.

Praktik demokrasi pada kebanyakan negara-negara di dunia mulai dikenal sejak berakhirnya Perang Dunia II. Bahkan menurut hasil penelitian UNESCO pada tahun 1949 menyatakan bahwa demokrasi sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Andriyan, 2016). Begitu menariknya sistem demokrasi ini, sehingga Amin Rais pada pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, (Rais, 1986) menyebutkan ada 3 (tiga) daya tarik sehingga banyak dianut oleh berbagai negara yaitu

1. Demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara.

2. Demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang dari zaman Yunani purba, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil, dan 3. Demokrasi dipandang sebagai suatu sistem

yang paling alamiah dan manusiawi, sehingga semua rakyat di negara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya.

Meskipun demokrasi ini sebagai sebuah sistem politik banyak menarik minat negara-negara yang mempraktikkannya, namun pelaksanaannya tidaklah sama, yakni mereka dapat dikelompokkan melaksanakan sistem demokrasi dengan pendekatan sistem pemerintahan, dalam hal ini terdapat sedikitnya 2 (dua) varian demokrasi yang banyak dianut negara-negara di dunia yaitu sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem parlementer dan sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem presidensial. Apapun pilihan sesuatu negara yang memilih salah satu varian demokrasi tersebut, yang tetap menonjol adalah tentang keberadaan lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif) dan

hubungannya dengan lembaga pemerintah (eksekutif) sebagai bagian terpenting pelaksanaan ajaran pemisahan/pembagian kekuasaan menurut ajaran Montesquieu yang terkenal dengan ajaran trias politikanya.

Lembaga perwakilan rakyat (DPR) pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalanya pemerintahan, apa yang diputuskan oleh lembaga perwakilan rakyat (parlemen) ini, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat (Asshiddiqie, 2007), terutama membuat sebuah undang-undang sebagai fungsi asli dari lembaga ini. Perkembangan lebih lanjut wewenang dan kekuasaan lembaga parlemen ini adalah termasuk terlibat dalam memutuskan anggaran belanja negara dan melakukan pengawasan (control) terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintahan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah (lembaga eksekutif). Wewenang lembaga perwakilan rakyat (DPR) di Indonesia seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mencakup ketiga wewenang tersebut diatas, yaitu DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Keputusan terpenting yang menyangkut kewenangan lembaga perwakilan rakyat terkait dengan fungsi representasinya pada rakyat yang diwakilnya adalah pembentukan Undang-Undang, meskipun lembaga perwakilan rakyat (DPR) di Indonesia harus bekerja sama dengan pihak Presiden tatkala ingin melahirkan sebuah undang-undang dalam sistem politik demokrasi Indonesia. Meskipun kewenangan pembentukan sebuah undang-undang ada ditangan DPR bersama-sama dengan Presiden dan tidak melibatkan pemegang kedaulatan yaitu rakyat di dalam proses pembentukannya, namun saat ini peran serta rakyat dalam mempengaruhi sebuah kebijakan untuk melahirkan sebuah undang-undang dan untuk menilai keberlakuan sebuah undang-undang tidak dapat dipandang sebelah mata lagi. Bahkan dalam banyak peristiwa menyongsong lahirnya sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang digagas oleh para inisiator (baik oleh anggota DPR maupun dari pihak kalangan Pemerintah), suara rakyat bisa dapat mempengaruhi kelangsung proses pembentukan atau kelahiran sebuah undang-undang, banyak contoh bagaimana gagasan untuk melahirkan sebuah undang-undang dari

(5)

pihak inisiator setelah dikritik habis-habisan oleh segenap eleman masyarakat, menyebabkan keinginan untuk melahirkan sebuah undang-undang menjadi batal.

Seperti keinginan untuk melahirkan undang-undang keamanan nasional dan perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK RI) beberapa tahun yang lalu. Di samping itu, tidak kecil juga pengaruhnya pengawasan dari seluruh elemen masyarakat terhadap keberlakukan sebuah undang-undang bila terdapat materi muatannya mengabaikan bahkan dianggap bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga masyarakat seperti yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, melalui proses pengujian sebuah undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI).

Banyaknya masyarakat yang menggugat kemudian menguji sebuah undang-undang ke lembaga yang menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia ini, dan banyak pula para hakim konstitusi di MK RI ini mengabulkan permohonan masyarakat melalui putusannya, baik beberapa pasal-pasal tertentu yang dimohonkan, bahkan MK RI pun pernah membatalkan sebuah undang-undang, yakni UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) melalui Putusan MK RI Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Kajian Yuridis Atas Hak Imunitas Anggota DPR

Hak imunitas DPR ini sesungguhnya memang ada diatur dalam konstitusi kita, yakni Pasal 20A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”, dimana kemudian berdasarkan Pasal 20A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 ini akan diatur dalam undang-undang. Adapun undang-undang terakhir yang mengatur masalah imunitas anggota DPR ini adalah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sering dikenal dengan sebutan UU MD 3 (Sitorus, 2018).

Undang-undang ini telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali yakni pertama

dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 dan kedua dengan UU Nomor 2 Tahun 2018, serta yang ketiga dengan UU Nomor 13 Tahun 2019. Pengaturan hak imunitas dalam keempat undang-undang ini tidak saja mengatur tentang hak imunitasnya anggota-anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, tetapi juga mengatur hak imunitas dari anggota MPR dan DPD bahkan hak imunitas anggota-anggota DPRD baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten dan Kota pun juga diatur. Jadi terdapat perluasan pengaturan hak imunitas sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal ini tidak perlu dipertentangkan, karena sebagaimana telah menjadi wewenangnya DPR untuk membentuk undang-undang, maka wewenang anggota DPR tersebut mendapatkan atribusi kewenangannya bersumber dari ketentuan Pasal 20A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang”. Melalui ketentuan ini sebagai wujud dari kekuasaan DPR untuk membentuk undang-undang seperti diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pada hakikatnya DPR dapat memperluas wewenangnya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan wewenang dan kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya yang memiliki wewenang atribusi dan bersumber langsung dari UUD NRI Tahun 1945. Dalam pembahasan dibawah ini uraian tentang hak imunitas hanya mencakup lembaga MPR, DPR, dan DPD saja.

Menurut UU Nomor 17 Tahun 2014, hak imunitas MPR diatur dalam Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Anggota MPR mempunyai hak imunitas 2. Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan

pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidangatau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.

3. Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang ata rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPRyang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.

(6)

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan hak imunitas anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 224 UU Nomor 17 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut : 1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan

pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.

3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Pemanggilan dan permintaan keterangan

kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

6. Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.

7. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.

Terkait dengan proses penyidikan bila seorang anggota DPR melakukan suatu tindak pidana yang akan dilakukan penyidikan, maka perlakuan yang harus dilakukan oleh penyidik (pejabat kepolisian sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan isitilah KUHAP) adalah harus mengindahkan ketentuan undang-undang ini pula terutama ketentuan Pasal 245 yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

2. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR :

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Kemudian dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014, kedua pasal diatas mengalami perubahan, yang selanjutnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 224

(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang

(7)

berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kelihatannya tidak terjadi perubahan yang sinifikan terkait dengan ketentuan Pasal 224 ini, hanya terdapat penghapusan beberapa ayat dari ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 yang semula terdiri dari 7 (tujuh) ayat menjadi 4 (empat) ayat di dalam UU Nomor 2 Tahun 2018, sementara materi muatan pada ke empat ayat tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali.

Pasal 245

(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Pasca Putusan MK RI Nomor 16/PUU-XVI/2018 tertanggal 28 Juni 2018 diganti menjadi “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana yang tidak

sehubungan dengan pelaksanaan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus

mendapatkan persetujuan tertulis dari

Presiden”. Dengan demikian apabila seorang

anggota DPR diduga telah melakukan suatu tindak pidana, maka secara administratif seorang penyidik harus meminta izin terlebih dahulu kepada Presiden. Jadi dalam hal ini bila diduga seorang anggota DPR melakukan suatu tindak pidana yang tidak ada kaitannya dengan menjalankan tugas dan wewenangnya, tidak perlu lagi Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang dalam prakteknya seringkali bernuansa politis dan dapat memperlambat proses penyidikan yang akan dilakukan oleh seorang penyidik.

Sementara itu hak imunitas anggota DPD, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 290 UU Nomor 17 Tahun 2014, yang berunyi sebagai berikut:

(1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas (2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan

pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.

(3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPD.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemaknaan hak imunitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 57, Pasal 224 UU, dan Pasal 290 Nomor 17 Tahun 2014 beserta perubahannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2018, tidaklah bertentangan dengan prinsip negara

(8)

hukum seperti diuraikan pada bagian pendahuluan diatas, karena sepanjang anggota DPR melakukan tugas dan wewenangnya memang perlu dilindungi dengan baik dan terhormat sesuai dengan tingkat kehormatannya sebagai wakil rakyat yang telah dipilih rakyat dan menjalankan fungsi representasi dari rakyat yang diwakilinya, sehingga rakyat mempunyai wadah penyalur aspirasi rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Hal ini juga bersesuaian dengan prinsip kedaulatan rakyat seperti telah diuraikan pada bagian perwujudan kedaulatan rakyat diatas.

Namun terkait dengan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 17 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2018, ini sudah bertentangan dengan kedua prinsip diatas, yaitu prinsip negara hukum dan prinsip perwujudan kedaulatan rakyat, karena sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka setiap anggota DPR harus mencerminkan pribadi dan prilaku yang terhormat dan terdepan di dalam penegakan hukum, di samping mereka adalah sekumpulan warga masyarakat yang terpilih lewat seleksi yang ketat melalui proses pemilihan umum baik ketika mereka diseleksi oleh partai-partai politik tempat mereka bernaung sebelumnya, dan juga melalui seleksi oleh masyarakat pemilih didalam pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD yang menaruh harapan besar kepada mereka. Bertentangan dengan prinsip negara hukum terutama pada asas supremasi hukum (Supremacy of Law), asas persamaan dalam hukum (Equality before the Law) dan asas legalitas (Due Process of Law). Karena selain sebagai anggota DPR yang mendapat kedudukan terhormat dimata masyarakat, mereka juga adalah sebagai manusia biasa layaknya warga masyarakat pemilihnya, sehingga tidak terhindar juga dari prilaku menyimpang yang dapat melanggar ketentuan hukum yang berlaku di negara ini (prinsip supremasi hukum). Oleh sebab itu bila anggota DPR itu tidak dapat menunjukkan sifat pribadi dan prilaku terhormat dalam penegakan hukum dan seharusnya menjadi panutan atau suri tauladan bagi masyarakat yang diwakilinya, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan masyarakat umum,

sehingga tidak terkesan pelaksanaan asas persamaan dalam hukum itu merupakan pengecualian bagi mereka.

Demikian juga dalam pelaksanaan asas legalitas, bila anggota DPR itu melakukan pelanggaran hukum yang tidak terkait dengan tugas dan wewenangnya, maka terhadapnya berlaku pulalah ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP yang memberi wewenang kepada penyelidik dan penyidik untuk melakukan suatu tindakan memproses sebuah tindakan melanggara hukum yang diduga dilakukan seseorang (termasuk juga dalam hal ini adalah setiap anggota DPR) yang mendapat pelaporan atau pengaduan dari setiap orang yang menjadi korban kejahatan (Harahap, 2002). Demikian juga dengan ketentuan Pasal 16 dan Pasal 17 KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk melakukan penangkapan, dan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk melakukan penahanan terhadap seseorang yang disangkakan telah melakukan suatu tindakan atau perbuatan pidana.

Dalam hal ini tidaklah perlu ada proses perizinan atau persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) seperti diatur dalam Pasal 245 UU Nomor 2 Tahun 2018. Karena bila hal ini dilakukan terlebih dahulu, akan muncul kekhawatiran terduga atau tersangka pelaku tindak pidana dalam hal ini anggota DPR akan menghilangkan barang bukti atau mempengaruhi saksi-saksi yang mengetahui dan dapat menjelaskan terjadinya peristiwa pidana yang dilakukan anggota DPR ini. Dalam pemecahan kasus seperti ini bisa diterapkan asas perundang-undangan yang khusus dapat mengenyampingkan perundang-undang yang umun (lex specialist derogat lex

generalist), yang menjadi lex specialist dalam

hal ini adalah KUHAP karena berkaitan dengan proses hukum terhadap suatu perisitiwa pidana yang dilakukan oleh terduga atau tersangka pelaku, sementara itu UU Nomor 2 Tahun 2018 adalah lex generalis karena mengatur tentang kelembagaan negara yakni MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Ketentuan Pasal 245 ini di dalam undang-undang yang sama telah pula menimbulkan perlakuan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) seperti telah dijelaskan dalam dua bagian terdahulu diatas.

(9)

Karena untuk anggota MPR (nota bene didalamnya terdapat juga anggota DPR) dan anggota DPD bila melakukan suatu tindakan atau perbuatan melanggar hukum dalam bidang hukum pidana diluar dari pelaksanaan tugas dan wewenangnya, akan diperlakukan sama halnya dengan pejabat publik lainnya dan seluruh warga negara Indonesia, yaitu berlaku terhadapnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara yang akan memproses perbuatan melawan hukum baik ditingkat penyelidikan maupun penyidikan.

Sebagai perbandingan pelaksanaan hak imunitas ini bagi pejabat publik lainnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, adalah seperti diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Bunyi pasal tersebut selengkapnya adalah

“Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”

Penjelasan Pasal 10 undang-undang ini menyatakan “Ketentuan ini tidak berlaku apabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum”.

Ombudsman RI sebagai salah satu lembaga negara penunjang atau sampiran (State Auxiliary Agencies/ Institutions) dalam sistem ketatanegaraan RI adalaah lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggaran pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Jadi dalam hal menjalankan tugas dan fungsinya diperlukan jaminan agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik tanpa perlu merasa takut untuk ditangkap atau ditahan, diinterogasi bahkan dituntut dan digugat ke depan pengadilan. Karena pihak Terlapor (biasanya para pejabat pemerintahan termasuk aparat penegak hukum) yang kinerjanya sedang disorot dan dilaporkan oleh warga masyarakat yang merasa dirugikan atau tidak dilayani sebagaimana mestinya seperti diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, akan merasa risih untuk diawasi oleh Ombudsman setelah mendapat

laporan dari warga masyarakat yang tidak mendapat pelayanan publik yang baik dan kemungkinan bisa saja terjadi tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat publik yang telah merugikan warga masyarakat (Pelapor). Meskipun para Komisioner dan Petugas dari Ombudsman (Asisten Ombudsman RI) tetap harus menjunjung tinggi penegakan hukum, dan tidak serta merta dapat pula melakukan penyimpangan hukum diluar dari menjalankan tugas dan fungsinya yang sudah tentu dapat di proses hukum oleh aparat penegak hukum (APH) yaitu pihak Kepolisian, Kejaksaan, bahkan KPK bila mereka melakukan tindakan koruptip yang telah merugikan keuangan negara, dengan melalui prosedur hukum yang biasa seperti dilakukan terhadap pejabat publik lainnya atau warga masyarakat umumnya yang diduga atai disangka telah melakukan perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SIMPULAN

Kehormatannya sebagai wakil rakyat yang telah dipilih rakyat dan menjalankan fungsi representasi dari rakyat yang diwakilinya, sehingga rakyat mempunyai wadah penyalur aspirasi rakyat yang diwakili oleh wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Setiap anggota DPR juga harus mencerminkan pribadi dan prilaku yang terhormat dan terdepan di dalam penegakan hukum, di samping mereka adalah sekumpulan warga masyarakat yang terpilih lewat seleksi yang ketat melalui proses pemilihan umum baik ketika mereka diseleksi oleh partai-partai politik tempat mereka bernaung sebelumnya, dan juga melalui seleksi oleh masyarakat pemilih didalam pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD yang menaruh harapan besar kepada mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Andriyan, D. N. (2016). Hukum Tata Negara dan

Sistem Politik: Kombinasi Presidensial

dengan Multipartai di Indonesia.

Deepublish.

(10)

tentang Negara Hukum. Jentera: Jurnal

Hukum. Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Edisi, 3.

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta.

Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-pokok Hukum Tata

Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana

Ilmu Populer.

Budiardjo, M. (2000). Pengantar Ilmu Politik. Gramedia.

Harahap, M. Y. (2002). PEMBAHASAN

PERMASALAHA DAN PENERAPAN KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan.

Hoesein, Z. A. (2012). Pembentukan Hukum dalam Perspektif Pembaruan Hukum.

Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(3), 307–327.

Johan, T. S. B. (2018). Hukum Tata Negara Dan

Hukum Admnistrasi Negara Dalam Tataran

Reformasi Ketatanegaraan Indonesia.

Deepublish.

Kartiko, G. (2009). Sistem Pemilu dalam Perspektif Demokrasi di Indonesia.

KONSTITUSI Jurnal, 2(1), 37.

Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi

Revisi. Prenada Media.

Ni’matul Huda, I. N. (2017). Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi.

Edisi Pertama, Kencana, Jakarta.

Rais, M. A. (1986). Demokrasi dan Proses Politik. Lembaga Penelitian Pendidika.

Rapar, J. H. (1993). Filsafat Politik Aristoteles. RajaGrafindo Persada.

Sitorus, Y. B. T. (2018). IMPLIKASI UNDANG–

UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD TERHADAP KEWENANGAN DPR DALAM HAL HAK IMUNITAS.

Susanto, H. (2012). Kajian Terhadap Hak

Imunitas dan Malpraktek Advokat (Studi Kasus dalam Putusan DKC IKADIN No. 01/Put/DKC. Ikadin/2006/Ska).

Syahputra, M. Y. A. (2018). Kajian Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/Puu-Xiv/2016 Perspektif Filosofi Bangsa. Prosiding: Problematika

Hukum Di Indonesia.

UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Tentang MPR,DPR,DPD,DPRD

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio perilaku sedentari terhadap aktivitas sedang dan berat di atas nilai median lebih banyak pada siswa obes, sedangkan yang berada di

Menurut Bapak/Ibu/Saudara manakah diantara hal di bawah ini yang paling efektif dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol

Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 8 juga menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan

Framework yang digunakan untuk menggambarkan pemodelan Enterprise Architecture pada Sistem KBM Online yang berpusat di bandung menggunakan Treasury Enterprise Architecture

 Total NILAI BOBOT seluruh sub unsur PENDEKATAN DAN METODOLOGI = NILAI BOBOT sub unsur pemahaman atas jasa layanan yang tercantum dalam KAK + NILAI BOBOT sub unsur

Sedangkan menurut Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, pada pasal

aktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pemilihan skala usaha jasa rental komputer serta mempelajari kriteria-kriteria yang menjadi pertimbangan dari aktor yang

Aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan non-derivatif yang ditetapkan untuk dimiliki selama periode tertentu, dimana akan dijual dalam rangka