• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia. Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen The Killers Karya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia. Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen The Killers Karya"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terkait dengan penerapan model pembelajaran inovatif telah dilakukan sebagai bentuk tindakan meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa dalam berbahasa. Dalam penelitian ini dicoba diterapkan model pembelajaran berbasis masalah sebagai upaya peningkatan kemampuan siswa dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia.

Penelitian tentang kohesi pernah dilakukan oleh Ali (2010) dengan judul “Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen ”The Killers” Karya Ernest Hemingway”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam cerpen ”The Killers” karya Ernest Hemingway. Penyediaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode simak dan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Sumber datanya adalah cerpen yang berjudul The Killers karya Ernest Hemingway, sedangkan data yang dianalisis berupa klausa atau kalimat yang mengandung penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam wacana cerpen tersebut. Dalam menganalisis data digunakan metode distribusional dengan teknik BUL (bagi unsur langsung) dan dilanjutkan dengan penerapan beberapa teknik lanjutan, seperti teknik ganti dan teknik ubah wujud.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali (2010) ini memiliki kesamaan, yaitu mengambil topik tentang kohesi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dijadikan patokan dasar dalam teknik menganalisis peranti kohesi yang ada pada teks yang diproduksi siswa,

(2)

baik peranti kohesi gramatikal maupun peranti kohesi leksikal sehingga teknik mengklasifikasikan peranti kohesi secara cepat dan tepat dilakukan.

Penelitian yang dilakukan ini menjadikan sebuah cerpen yang berjudul The

Killers karya Ernest Hemingway sebagai objek penelitiannya dan tidak dilakukan

dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian selanjutnya dilakukan dalam kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa sebagai objeknya. Dalam kegiatan penelitian beikutnya diterapkan sebuah model pembelajaran inovatif untuk dapat merangsang minat belajar siswa dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki siswa terhadap kompetensi dasar yang harus dikuasai. Penelitian yang dilakukan selanjutnya ini sebagai bentuk refleksi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Ali sehingga terjadi pembaruan dari penelitian sebelumnya.

Penelitian lain dilakukan Prasetia (2013) yang berjudul “Penggunaan Peranti Kohesi dalam Karangan Narasi oleh Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Blahbatuh”. Penelitian ini memiliki kesamaan, yaitu dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dan pengambilan topik yang sama terkait dengan peranti kohesi. Penelitian yang dilakukan mendekripsikan peranti kohesi yang digunakan dalam karangan narasi oleh siswa yang dijadikan subjek penelitian. Peranti kohesi siswa yang ditemukan ada dua jenis peranti, yaitu peranti kohesi gramatikal dan peranti kohesi leksikal. Hasil menunjukkan bahwa peranti kohesi gramatikal yang digunakan dalam karangan narasi, yaitu referensi, elipsis, dan konjungi sedangkan peranti kohesi leksikal yang digunakan yaitu repetisi dan hiponim. Penelitian ini berupa penelitian yang berifat deskriptif semata, tidak ada penerapan metode pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini walaupun dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Di samping itu, tidak ada tindak lanjut untuk

(3)

meningkatkan kemampuan terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki siswa dalam menggunakan peranti kohesi secara maksimal. Pengemasan pembelajaran yang dilakukan terkesan sederhana sehingga dalam kegiatan pembelajaran siswa terkesan hanya menjadi objek pembelajaran dan belum mampu memainkan peranan siswa menjadi subjek pembelajaran. Di pihak lain penelitian yang dilakukan selanjutnya mencermati dan mengubah paradigma pembelajaran yang semula peran peserta didik hanya menjadi objek belajar kini lebih mengarah menjadi subjek belajar. Di samping itu, pengemasan pembelajaran yang lebih inovatif dirancang dan diterapkan pada penelitian selanjutnya.

Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Putri (2011) dengan judul “Penanda Kohesi pada Wacana Rubrik ”SUARA MAHASISWA”dalam Harian

Joglo Semar”. Kesamaan penelitian ini terletak pada topik yang sama, yaitu

terkait dengan peranti kohesi. Penelitian yang telah dilakukan mendekripsikan penanda kohesi yang terdapat pada Wacana Rubrik ”SUARA MAHASISWA”dalam Harian Joglo Semar. Peneliti tersebut menemukan bahwa penanda kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana rubrik “Suara Mahasiswa” dalam harian Joglo Semar terdiri atas (1) PK referensi persona, PK referensi persona demonstratif, dan PK referensi persona komparatif, (2) PK substitusi, (3) PK elipsisi, (4) konjungsi. Di satu sisi, peneliti sebelumnya juga menemukan penanda kohesi leksikal terdiri atas (1) repetisi, (2) sinonim, (3) antonim, (4) kolokasi, (5) hiponim dan (6) ekuivalensi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011) ini merupakan penelitian yang berupa penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Tidak ada penerapan model pembelajaran karena objek penelitian itu yaitu sebuah wacana yang

(4)

kemudian dianalisis. Penelitian itu memiliki kesamaan dalam pengambilan topik terkait dengan kohesi. Penelitian tersebut dijadikan patokan dasar dalam teknik klasifikasi data yaitu data berupa teks yang diproduksi siswa kelas X AP 1 yang dilakukan selanjutnya. Teknik klasifikasi data yang dimaksud yaitu dengan tahapan setelah data dikumpulkan dan diseleksi, dilakukan pengklasifikasian atau pengurutan. Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai dengan kriteria tertentu yang digunakan oleh seorang peneliti. Pengklasifikasian data tersebut bertujuan untuk memilih dan memilah data agar lebih mudah dianalisis. Dalam penelitian ini peneliti mengklasifikasikan data berdasarkan jenis penanda kohesi gramatikal dan leksikal yang terdapat dalam teks yang telah diproduksi oleh siswa. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan selanjutnya memijakkan kakinya pada penelitian yang dilakukan Putri (2011) dalam hal teknik pengklasifikasian data teks siswa. Penelitian yang dilakukan ditambah dengan penerapan model pembelajaran yang inovatif seperti model pembelajaran berbasis masalah sehingga ada usaha yang preventif agar pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan siswa disertai dengan penerapan teori linguistic, yaitu terkait dengan teori kohesi sebagai dasar pemikiran dalam membelajarkan siswa.

Penelitian berikutnya dilakukan Pratama Y.R. (2012) yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Menulis Paragraf Persuasif Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas X Lab SMA Saraswati Denpasar”. Penelitian yang dilakukan tersebut memiliki kesamaan, yaitu dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dan diterapkannya model pembelajaran berbasis masalah walaupun materi yang dibahas berbeda. Penelitian tersebut mengkaji efektivitas

(5)

pembelajaran berbasis masalah sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis paragraf persuasif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah sangat efektif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf persuasif siswa kelas X Lab. SMA Saraswati Denpasar TP 2011/2012. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perolehan nilai rata-rata pada tes awal sebesar 5,6 berkategori hampir cukup, pada Pratindakan sebesar 6,7, pada Siklus I sebesar 7,9, dan pada Siklus II nilai rata-rata yang diperoleh telah mampu menunjukkan nilai yang sangat signifikan dan berada di atas standar nilai KKM yang ada, yaitu 9,4. Indikator peningkatan yang terjadi ketika nilai rata-rata siswa terus naik, dengan acuan nilai KKM yang ada di sekolah tersebut, yaitu dengan capaian nilai KKM 8,0. Selain perubahan nilai rata-rata, siswa juga mengalami perubahan perilaku dari periaku negatif ke perilaku positif selama mengikuti pembelajaran. Langkah-langkah dalam menerapkan pembelajaran berbasis masalah ini, yaitu (1) penyampaian ide, (2) penyajian fakta yang diketahui, (3) mempelajari masalah, (4) menyusun rencana tindakan, dan (5) evaluasi. Dasar pemikiran dari langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah ini dijadikan landasan dalam menerapkan pembelajaran berbasis masalah pada penelitian yang dilakukan selanjutnya.

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan siswa terhadap permasalahan pembelajaran yang dimiliki. Dari beberapa penelitian di atas hanya satu menerapkan tindakan pembelajaran dengan model penelitian tindakan kelas, sedangkan penelitian yang lain lebih mengacu pada penelitian deskriptif walaupun model linguistik yang digunakan sama yaitu terkait dengan peranti kohesi dalam teks. Penelitian yang

(6)

telah dilakukan dijadikan dasar pemikiran dalam menguraikan data hasil penelitian yang dilakukan.

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yang mengkaji dan meningkatkan pemahaman siswa dalam menguesai peranti kohesi pada teks. Hal ini dipecahkan melalui tindakan refleksi awal yaitu untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Selanjutnya, tindakan dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Tindakan-tindakan, baik sebelum maupun setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah, merupakan bagian dari tindakan kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan siswa secara signifikan. Tindakan-tindakan ini didasarkan pada lemahnya kemampuan siswa dalam memahami peranti kohesi. Penelitian berikutnya diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah penelitian bagi para pendidik agar terinspirasi menerapkan pembelajaran-pembelajaran yang lebih inovatif.

2.2 Konsep

Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa konsep

yang memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut, antara lain (1) pemahaman, (2) peranti kohesi dan (3) model pembelajaran berbasis masalah.

2.2.1 Pemahaman

Purwanto (1997:44) mengartikan pemahaman sebagai tingkatan kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu memahami arti atau konsep, situasi, dan fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini tidak sekadar hafal secara verbalitas, tetapi memahami konsep masalah atau fakta yang

(7)

ditanyakan. Operasionalnya yaitu dapat membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemonstrasikan, memberikan contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil keputusan.

Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi daripada ingatan dan hafalan. Dengan memahami sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan, menafsirkan, memperkirakan, menentukan, memperluas, menyimpulkan, menganalisis, memberikan contoh, menulis kembali, mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan. Indikator tersebut menunjukkan bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih dalam daripada pengetahuan. Dengan pengetahuan seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dipelajari. Di pihak lain dengan pemahaman seseorang tidak hanya sekadar menghafal sesuatu yang dipelajari, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna yang dipelajari secara lebih mendalam dan mampu memahami konsep pelajaran tersebut.

2.2.2 Peranti Kohesi

Halliday dan Hasan (1980:3-19) mengatakan bahwa kohesi merupakan hubungan semantik antarakalimat pada teks dan hubungan tersebut merupakan hubungan makna dalam sistem dan proses. Jadi, dalam sistem dan proses bahasa, kohesi adalah hubungan semantik antara kalimat satu dan kalimat lainnya. Di satu sisi, Kridalaksana (1993:109) mengistilahkan

(8)

kohesi dengan “keutuhan” dan mendefinisikannya sebagai “… taraf keterikatan antara pelbagai unsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana, misalnya morfem terikat lebih lekat pada unsur yang menyertainya”. Kohesi adalah hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Jadi, suatu wacana dapat disebut sebagai wacana yang utuh apabila memiliki pola hubungan gramatikal dan keterpautan semantik antara kalimat yang satu dan kalimat lainnya.

2.2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran berdasarkan pertanyaan atau masalah, tidak hanya mengorganisasi prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu, tetapi mengorganisasi pelajaran di sekitar pertanyaan atau masalah kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.

Setyosari (2006:1) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan yang berarti melalui proses pembelajaran yang disiapkan oleh pendidik.

(9)

2.3 Landasan Teori

Sebagai seorang peneliti, tentu mengharapkan penelitian yang dilakukan dapat mencapai hasil analisis yang objektif dan sesuai dengan fakta di lapangan. Untuk memperkuat penelitian yang dilakukan perlu dilandasi dengan teori-teori yang dapat menunjang kelancaran dan kemantapan analisis, terutama teori-teori yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.

2.3.1 Teori Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico pada tahun 1710. Ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).

Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman, dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan. Di pihak lain rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.

Karli (2003:2) menyatakan bahwa konstruktivisme merupakan salah satu pandangan tentang proses pembelajaran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dalam

(10)

proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.

Menurut Suparno (1997:49), secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengonstruksi secara terus-menerus sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih terperinci, lengkap, dan sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

Brooks dan Brooks (dalam Elliot dkk, 2000) mengemukakan cara menggunakan pendekatan konstruktivisme di kelas, yaitu sebagai berikut.

1. Kemukakan masalah yang relevan bagi siswa, yang menarik siswa, yang kompleks, dan sediakan waktu yang cukup untuk memecahkan masalah itu. 2. Guru hendaknya mengidentifikasi ide besar (tema) yang penting bagi siswa

untuk dipahami dan terstruktur (menyusun, mengembangkan) pembelajaran sekitar ide besar itu.

3. Cari dan hargai pandangan siswa. Paham konstruktivisme menghendaki agar guru mendengarkan baik-baik pendapat siswa itu sebab pendapat siswa adalah jendela bagi guru untuk memahami alas an sebaliknya.

(11)

4. Sesuaikan kurikulum pada pemahaman siswa sekarang. Jika kurikulum tidak cocok bagi siswa, ubahlah. Sesuaikan kurikulum itu pada pemahaman siswa sekarang dan untuk perkembangan pengetahuan selanjutnya.

5. Ukur belajar siswa dalam konteks yang diajarkan. Hasil pengukuran semacam itu dapat digunakan unuk mengetahui prestasi belajar siswa, melanjutkan ke materi pelajaran berikutnya, dan dapat untuk memperbaiki pengajaran selanjutnya.

2.3.2 Teori Kohesi

Halliday dan Hasan (1980:3-19) mengatakan bahwa kohesi merupakan hubungan semantik antarakalimat pada teks dan hubungan tersebut merupakan hubungan makna dalam sistem dan proses. Jadi, dalam sistem dan proses bahasa, kohesi adalah hubungan semantik antara kalimat satu dan kalimat lainnya.

Kridalaksana (1993:109) mengistilahkan kohesi dengan “keutuhan” dan mendefinisikannya sebagai “… taraf keterikatan antara pelbagai unsur dalam struktur sintaksis atau struktur wacana, misalnya morfem terikat lebih lekat pada unsur yang menyertainya”. Kohesi adalah hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren.

Kohesi memiliki beberapa unsur penting, yaitu keterikatan atau keterpautan hubungan makna antara satu unsur-unsur yang lain, baik dalam kata (antara morfem yang satu dan yang lain), paragraf (klausa yang satu dan klausa yang lain), maupun teks (antara paragraf satu dengan paragraf yang

(12)

lain). Jadi, suatu wacana dapat disebut sebagai suatu wacana yang utuh apabila memiliki pola hubungan gramatikal dan keterpautan semantik antara kalimat yang satu dan kalimat lainnya.

Halliday dan Hasan (1980) membagi alat kohesi menjadi dua macam yaitu, kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

1. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal didasarkan pada bentuk bahasa yang digunakan (Rani dkk, 2006:94). Peranti kohesi gramatikal digunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat dalam sebuah wacana. Oleh karena itu, kohesi ini dapat membantu menjelaskan hubungan semantik antara bagian wacana yang kurang jelas dan bagian wcana yang lain sehingga sebuah unsur wacana dapat menjelaskan unsur wacana lainnya atau teks secara keseluruhan (Zaimar dan Harahap, 2009:116).

Kohesi gramatikal diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu referensi (pengacuan), elipsis (pelesapan), substitusi (penggantian), dan konjungsi (penyambungan). Kategori-kategori tersebut tidak hanya memiliki dasar teoretis sebagai jenis-jenis hubungan kohesif, tetapi juga mempersiapkan suatu cara yang praktis untuk menggambarkan dan menganalisis sebuah wacana. Setiap kategori tersebut menampilkan ciri-ciri tertentu dalam sebuah wacana. Berikut disampaikan secara singkat kategori – kategori kohesi tersebut.

A. Referensi (Pengacuan)

Referensi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang merefer (menunjuk) satuan lingual yang lain, yang

(13)

mendahului atau yang mengikutinya. Referensi dapat dibagi menjadi dua, yakni eksofora dan endofora. Acuan eksofora ialah acuan yang berada di luar teks, sedangkan acuan endofora ialah acuan yang berada di dalam teks.

1) Referensi Persona

a. Referensi Endofora

Purwo (1987:10) menjelaskan bahwa ditinjau dari arah acuannya, referensi endoforis dapat dibagi menjadi dua, yaitu anaforis dan kataforis. Referensi anaforis mengacu kepada suatu konstituen sebelumnya, sedangkan referensi kataforis mengacu kepada konstituen di belakangnya. Kohesi referensi dapat dilihat pada contoh berikut.

Setiap akhir pekan, ratusan mobil bernomor polisi Jakarta menyeberangi Selat Sunda menuju Bandar Lampung (BL) (a).Kamar-kamar hotel di kota itu pun setiap Sabtu-Minggu tidak tersisa lagi, bahkan harus dipesan dua minggu sebelumnya (b). BL kotanya enak, di atas bukit dengan panorama laut (c). Kota ini pun tidak terlalu ramai (d).

(Nesi dkk., 2012:36)

Teks di atas terdiri atas empat kalimat, yaitu kalimat (a), (b), (c), dan (d). Pada kalimat (b), itu menunjuk BL pada kalimat (a). BL pada kalimat (c) menunjuk BL pada kalimat (a) atau itu pada kalimat (b). Pada kalimat (d), ini menunjuk satuan lingual sebelumnya, yakni BL pada kalimat (a) dan (c) atau itu pada kalimat (b). Referensi seperti itu disebut referensi demonstratif tempat. BL,

ini, dan itu merupakan satuan endofora. Ini adalah referensi kataforis, yakni

acuan untuk konstituen sebelumnya, sedangkan itu adalah referensi anaforis, yakni acuan untuk konstituen sesudahnya, (Purwo, 1987:10).

(14)

b. Referensi Eksofora

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa ada unsur wacana yang tidak dipahami apabila tidak dibantu oleh informasi (sesuatu yang lain). Jadi, unsur teks itu tidak dipahami berdasarkan dirinya sendiri, tetapi harus mengacu pada sesuatu yang lain. Apabila unsur yang diacu tersebut ada di luar wacana, maka acuan tersebut disebut referensi eksofora. Jenis acuan ini biasanya terdapat dalam wacana pidato, surat-menyurat, dan karya sastra.

Contoh:

Pembaca yang setia…di zaman sekarang ini kita harus pandai-pandai membaca situasi dan kondisi kalau tidak kita mungkin tidak akan bisa bertahan.

Tabel 2.1 Pronomina Bahasa Indonesia

Makna

Persona Tunggal Jamak

Netral Eksklusif Inklusif

Pertama saya, aku, ku-, -ku - kami kita

Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -mu

kalian, kamu sekalian, Anda sekalian

-

-Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka -

-(Alwi dkk., 2010:256)

2) Referensi Demonstratif

Penunjuk atau demonstratif memberikan posisi pada partisipan. Posisi partisipan yang ditunjukkan dapat (1) dekat kepada pemakai bahasa, yang direalisasikan dengan kata ini, (2) jauh dari pemakai bahasa yang direalisasikan dengan kata itu, dan (3) tidak dekat dan tidak jauh dari pemakai bahasa yang

(15)

direalisasikan itu, tersebut, berikut, di atas, dan di bawah. Penunjuk jenis yang ketiga ini tidak memerinci posisi dekat atau jauh, tetapi memberikan pengertian kepada mitrabicara. Sejalan dengan penunjuk, lokasi sebagai unsur sirkumstan dapat ditunjukkan sebagai dekat dari pemakai bahasa yang dikodekan dengan kata di sini, jauh dari pemakai bahasa yang dikodekan dengan kata di situ, atau di suatu tempat yang dikodekan dengan di suatu + lokasi. Misalnya:

Kalung ini milik Ashila. Gelang itu milik Khaira (ini dan itu penunjuk dekat dan jauh)

Kesehatan itu amat mahal harganya (itu penunjuk tidak jauh tidak dekat atau kata sandang)

Ali dilahirkan di sini, tetapi dibesarkan di situ (di sini dan di situ penunjuk lokasi)

3) Referensi Komparatif

Sebagai alat kohesi, perbandingan berfungsi menampilkan dua partisipan atau lebih dan menghubungkan keduanya untuk membentuk pertautan. Pertautan dengan perbandingan dapat terjadi dengan tiga kemungkinan. Pertama, perbandingan positif dengan dua partisipan sama, setingkat, atau setaraf. Perbandingan positif dapat direalisasikan oleh se + adjektiva/adverbia, seperti setinggi, selebar, sejalan, dan sebagainya. Kedua, perbandingan komparatif dengan satu partisipan lebih (dalam kualitas atau sifat) daripada yang lain. Perbandingan komparatif direalisasikan oleh lebih + adjektiva/adverbia + daripada, seperti lebih tinggi daripada, lebih cepat daripada, dan sebagainya. Ketiga perbandingan superlatif dengan satu partisipan berada pada posisi paling (dalam tingkat, taraf, atau kualitas) di antara tiga partisipan. Perbandingan

(16)

superlatif dapat direalisasikan oleh paling + adjektiva/adverbia, seperti paling pintar, paling cepat, paling baik, dan sebagainya.

B. Elipsis

Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami (Zaimar dan Harahap, 2009:127 ). Elipsis juga merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa pelesapan unsur tertentu yang telah disebutkan.

Contoh:

Berdasarkan peraturan, sekolah-sekolah swasta yang menumpang di sekolah negeri diberi batas waktu sampai dengan tahun 1990. Setelah itu, øharus menempati gedung sendiri.

(Nesi dkk., 2012:37) Pada contoh di atas tampak bahwa unsur yang dihilangkan ialah sekolah-sekolah swasta.

C. Substitusi

Subtitusi merupakan salah satu peranti kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (satuan lingual yang telah disebut) dengan satuan lingual yang lain. Subtitusi sebagai salah satu peranti kohesi gramatikal dapat berfungsi untuk menghindari kemonotonan sebuah wacana.

Contoh:

Setelah empat lima kali mendatangi suatu desa, barulah dr. Rien merasa diterima oleh rakyat setempat (a). Ia pun merasa berani sedikit-sedikit berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan keluarga berencana (b).

(Nesi dkk., 2012:37) Pada contoh (2) terdapat dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b). Satuan dr. Rien pada kalimat (a) disubstitusi dengan satuan ia pada kalimat (b).

(17)

D. Konjungsi (Penghubung)

Untuk membentuk sebuah wacana yang baik diperlukan konjungsi atau penghubung. Konjungsi berfungsi untuk merangkai atau mengikat beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana lebih terasa lembut. Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan unuk merangkaikan ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat (Rani dkk., 2006: 107). Penggunaan konjungsi dalam sebuah wacana memerlukan pertimbangan logika berpikir untuk membentuk sebuah wacana yang apik (Zaimar dan Harahap, 2009:128).

Peranti kohesi konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Berikut disajikan klasifikasi konjungsi bedasarkan hubungan proposisi yang diwujudkan dalam dua kalimat. Pengklasifikasian peranti kohesi tersebut didasarkan pada jenis hubungan yang diciptakan.

Tabel 2.2 Konjungsi Bahasa Indonesia

No Makna Submakna Realitas Konjungsi

1 Konjungsi koordinatif

menghubungkan menjumlahkan

dan, dengan, serta

menghubungkan memilih atau menghubungkan

mempertentangkan

tetapi, namun, sedangkan, sebaliknya

menghubungkan membetulkan melainkan, hanya menghubungkan menegaskan bahkan, malah (malahan),

lagipula, apalagi, jangankan menghubungkan membatasi kecuali, hanya

menghubungkan mengurutkan kemudian, lalu, selanjutnya, setelah itu

menghubungkan menyamakan yaitu, yakni, ialah, adalah, bahwa 2 Konjungsi subordinatif menghubungkan menyatakan sebab akibat sebab, karena menghubungkan menyatakan persyaratan

kalau, jikalau, jika, bila, bilamana, apabila, asal

(18)

tujuan

menghubungkan menyatakan waktu

ketika, sewaktu, sebelum, sesudah, tatkala, sejak, sambil, selama

menghubungkan menyatakan akibat

sampai, hingga, sehingga

menghubungkan menyatakan batas kejadian

sampai, hingga

menghubungkan menyatakan tujuan atau sasaran

untuk, guna menghubungkan menyatakan penegasan meskipun, biarpun, kendatipun, sekalipun menghubungkan menyatakan pengandaian seandainya, andaikata menghubungkan menyatakan perbandingan

seperti, sebagai, laksana

3 Konjungsi antar kalimat

menghubungkan dan

mengumpulkan

jadi, karena itu, oleh sebab itu, kalau begitu, dengan demikian menghubungkan menyatakan penegasan lagipula, apalagi menghubungkan mempertentangkan atau mengkontranskan namun, sebaliknya (Chaer, 2008:98) Contoh:

Membaiknya hubungan Timur-Barat disambut baik oleh dunia (a). Sebaliknya, perkembangan itu makin memperjelas ketimpangan hubungan Utara - Selatan, yang berdampak negatif terhadap pembangunan di negara-negara berkembang (b).

(Nesi dkk., 2012:37)

Contoh di atas terdiri atas dua kalimat, yaitu kalimat (a) dan (b). Pada kalimat (b) terdapat kata sebaliknya yang menandai hubungan antara kedua kalimat itu. Penanda hubungan konjungsi ada yang berupa kata, misalnya sebaliknya, namun, akhirnya, padahal, kemudian, tetapi dan ada pula yang berupa kelompok kata yang diakhiri dengan kata itu, begitu, atau demikian.

(19)

2. Kohesi Leksikal

Selain kohesi gramatikal, keterpautan atau keterjalinan makna di dalam sebuah wacana dapat dilihat dari segi kosakatanya atau kohesi leksikalnya (Zaimar dan Harahap, 2009:140). Aspek yang terdiri atas jalinan kata-kata ini menjadikan sebuah teks padu, tanpa mengabaikan konteksnya. Konsep semantik berperan sangat penting dalam kohesi leksikal ini. Berkat adanya keterkaitan makna ini, ketidakjelasan satu bagian teks dapat ditopang oleh bagian teks yang lain.

Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam. Keenam macam kohesi leksikal tersebut adalah (1) repetisi/ pengulangan, (2) sinonim (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponim (hubungan atas bawah), (5) antonim (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan).

a. Repetisi/ Pengulangan

Halliday mengatakan bahwa pengulangan adalah penyebutan kembali suatu unsur leksikal yang sama seperti yang telah disebut sebelumnya (Badru, dkk., 2003:44). Dalam konteks analisis wacana bahasa Indonesia, pengulangan yang dimaksud bukanlah proses reduplikasi seperti kata rumah menjadi rumah-rumah, melainkan pengulangan sebagai penanda hubungan, yaitu adanya unsur pengulang yang mengulang unsur yang terdapat pada kalimat di depannya. Ramlan (1993:31) membagi pengulangan menjadi empat, yaitu sebagai berikut. 1) Pengulangan sama tepat (pengulangan utuh), yaitu pengulangan yang terjadi

karena unsur pengulang sama dengan unsur yang diulang. Pada umumnya, unsur pengulang diikuti unsur penunjuk itu, ini, dan tersebut.

(20)

Adalah suatu kejahatan menjual kepulauan ini kepada Jepang (a). Kepulauan ini bukan sesuatu yang tumbuh begitu saja dari karang yang tandus (b). Akan tetapi, bagi kami kepulauan ini merupakan zambrut di ujung timur Soviet (c).

(Nesi dkk., 2012:39)

Contoh di atas terdiri atas tiga kalimat. Pada kalimat (a) terdapat frasa kepulauan ini. Frasa ini diulang pada kalimat (b) dan diulang sekali lagi pada kalimat (c). Pada frasa-frasa itu kata ini merupakan unsur penunjuk eksoforik (Ramlan, 1993:31).

2) Pengulangan dengan perubahan bentuk, yaitu pengulangan yang disebabkan oleh keterikatan tata bahasa, misalnya unsur diulang berupa kata kerja dan unsur pengulang berupa kata kerja. Pengulangan dengan perubahan bentuk dapat dilihat pada contoh berikut.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan antara pemerintah daerah dengan sejumlah perusahaan di 13 provinsi, pada hari Selasa telah diserahkan 403 kasus pencemaran lingkungan hidup (a). Penyerahan dilakukan oleh Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim ketika memberikan sambutan pada penandatanganan piagam kerja sama tentang peningkatan kemampuan penegakan Hukum Lingkungan di Auditorium Depkeh, Jakarta (b).

(Nesi dkk., 2012:39)

Pada kalimat (a) terdapat kata diserahkan. Kata ini diulang pada kalimat (b), tetapi karena keterikatan tata bahasa, yaitu menduduki fungsi subjek kalimat yang cenderung diduduki oleh kata benda, kata diserahkan yang termasuk golongan kata kerja mengalami perubahan bentuk menjadi kata benda, yaitu penyerahan pada kalimat (b) (Ramlan, 1993:32--33).

3) Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari unsur yang diulang. Pengulangan sebagian dapat dilihat pada contoh berikut.

(21)

Adakah pengaruh kekerasan film bagi Anda? (a), Kalau di TV, Sinchan paling keras! (b).

(Nesi dkk., 2012:40) Contoh di atas terdiri atas dua kalimat. Kata kekerasan pada kalimat (a) diulang secara parsial (sebagian) pada kalimat (b), yakni keras. 4) Pengulangan parafrasa, yaitu pengulangan yang unsur pengulangnya

berparafrasa dengan unsur terulang. Misalnya:

Kami mencintai mereka semua tanpa kecuali (a). Kami mencintai mereka semua dengan sepenuh hati dan bertekad membesarkan mereka (b). Jika Tuhan mengizinkan, kami ingin mengantar mereka kelak ke ambang dewasa (c). Melihat mereka menjadi orang (d). Melihat mereka berkeluarga dan menghadiahkan kakek dan nenek mereka cucu-cucu yang mungil (e).

Contoh di atas terdiri atas lima kalimat. Dapat dilihat jelas bahwa sebagian dari kalimat (b) berparafrasa dengan kalimat (a) dan sebagian dari kalimat (e) berparafrasa dengan kalimat (d) (Ramlan, 1993:36).

b. Sinonim (Padan Kata)

Yang dimaksud dengan sinonimi ialah penggunaan bentuk bahasa yang maknanya sama atau mirip dengan bentuk lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Badru (1994:6) yang mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Berikut ini dikemukakan contohnya.

Jumlah orang Jawa perantauan ini selalu cenderung naik (a). Sensus yang dilakukan Inggris di tahun-tahun mereka berkuasa menunjukkan peningkatan itu (b).

Pada contoh di atas terlihat bahwa kata naik pada kalimat (a) memiliki makna yang sama dengan kata peningkatan pada kalimat (b) (Baryadi, 2002:28).

(22)

c. Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi merupakan kohesi leksikal yang terdapat pada dua unsur lingual atau lebih yang memiliki makna oposisi. Kridalaksana (1993:15) mengatakan bahwa antonimi ialah oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dijenjangkan. Dalam peranti kohesi leksikal, antonimi merupakan hubungan antara suatu konstituen dan konstituen lain yang bersifat kontras. Keantoniman dalam sebuah wacana bisa berupa kata di dalam kalimat atau bisa juga berupa kalimat di dalam paragraf. Kohesi antonimi dapat dilihat pada contoh berikut.

Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya: Laki-laki lebih rasional, lebih aktif, lebih agresif. Wanita sebaliknya: lebih emosional, lebih pasif, lebih submisif

(Baryadi, 2002:28) Pada contoh di atas terdapat tiga pasangan kata yang memiliki makna yang saling bertentangan, yaitu rasional emosional, aktif pasif, dan agresif submisif (Baryadi, 2002:28).

d. Hiponimi (Hubungan Atas -Bawah)

Hiponimi merupakan peranti kohesi leksikal yang makna kata-katanya merupakan bagian dari makna kata lain. Kata yang mencakup beberapa kata yang berhiponim disebut hipernim (subordinat). Menurut Halliday dan Hasan, dalam relasi makna, kata umum mengacu ke hipernim, sedangkan kata khusus mengacu ke hiponim (Badru., dkk., 2003:48). Contoh kohesi hiponimi adalah sebagai berikut.

Dalam soal ini, Lampung menyediakan berbagai macam oleh-oleh yang bisa Anda bawa. Jika penggemar hiasan tradisional, karya-karya hiasan dinding dan kain tapi sangat patut dijadikan oleh-oleh. Jikalau dana Anda sedang pas-pasan, keripik pisang lampung atau kerupuk kemplang tentu pantas pula untuk Anda hadiahkan kepada rekan-rekan Anda.

(23)

(Nesi dkk., 2012:42) Pada contoh di atas hubungan hiponimi terdapat pada macam oleh-oleh sebagai hipernim, sedangkan hiasan dinding, kain tapis, keripik pisang lampung, dan kerupuk kemplang sebagai hiponim.

e. Ekuivalensi

Ekuivalensi ialah jenis kohesi leksikal yang berupa sejumlah kata sebagai hasil proses afiksasi dengan morfem asal yang sama. Contoh kohesi ekuivalensi adalah sebagai berikut.

Salah satu daya tarik lain berwisata ke Lampung pastilah oleh-oleh yang bisa kita bawa dari Lampung. Berwisata ke suatu tempat, memang terasa kurang lengkap kalau tidak membawa oleh-oleh untuk dibawa pulang

(Nesi dkk., 2012:42) Pada contoh di atas, ekuivalensi sebagai kohesi leksikal tampak pada paradigma bawa, membawa, dibawa.

2.3.3 Pembelajaran Berbasis Masalah

Problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah merupakan

metode pembelajaran yang sangat populer saat ini. Pembelajaran berbasis masalah memerlukan pembelajar yang aktif dalam mengaplikasikan pengetahuannya terutama dalam memecahkan permasalahan yang terjadi secara nyata. Pembelajaran berbasis masalah bertentangan dengan pandangan metode pembelajaran tradisional. Metode pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan dan memberikan informasi kepada warga belajar, Problem

(24)

mendorong warga belajar untuk belajar secara aktif dan pembelajaran yang lebih bermakna.

Barret (2005) mendefinisikan PBM sebagai “The learning that results

from the process of working towards the understanding of a resolution of a problem. The problem is encounteredfirst in the learning process.” Di satu sisi,

Setyosari (2006: 1) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya masalah nyata, a

real-world problems sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kritis dan

keterampilan memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan. Di pihak lain, Nurhadi dkk. (2004:56) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah

(problem-based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah

dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Di samping itu, untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PBM adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengguanakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Selain itu, juga untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.

Pembelajaran berbasis masalah mempunyai tujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kecakapan yang penting, yaitu pemecahan masalah berdasarkan keterampilan belajar sendiri atau kerja sama kelompok dan memperoleh pengetahuan yang luas. Guru mempunyai peran untuk memberikan inspirasi agar potensi dan kemampuan siswa dimaksimalkan.

(25)

Masalah yang diterapkan dalam pembelajaran berbasis masalah adalah masalah tidak terstruktur (ill-structured), terbuka (open ended), atau ambigu (ambiguous). Masalah realistik tidak terstruktur (ill-structured problem) berbeda dari masalah terstruktur dengan baik (well-structured problems) yang kebanyakan ditemukan dalam buku-buku teks dalam beberapa hal (Savoi dan Hughes, 1994). Pada pembelajaran ini pembelajar bertindak sebagai stakeholders, yang memungkinkan menjadi bagian dari masalah. Pembelajar dapat memeriksa isu-isu dari perspektif yang berbeda. Tidak seperti pembelajaran konvensional, pembelajaran berbasis masalah dirancang oleh pembelajar. Pembelajaran melibatkan pembelajar bekerja dengan masalah dalam kelompok kecil yang dibimbing oleh tutor. Fungsi tutor dalam pembelajaran berbasis masalah adalah untuk melatih kelompok dengan mendorong terjadinya interaksi pembelajar secara produktif dan membantu pembelajar mengidentifikasi pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah, memfasilitasi proses pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memonitoring proses pemecahan masalah. Proses pembelajaran berbasis masalah akan berakhir jika pembelajar telah melaporkan apa yang dipelajari. Tujuan pertama siswa adalah menghubungkan pengetahuan yang diperoleh dengan masalah secara langsung. Fokus kedua bergerak ke level pemahaman yang lebih umum, membuat pemindahan pada masalah baru yang mungkin. Setelah menyelesaikan siklus pemecahan masalah, pembelajar mulai menganalisis masalah baru, sekali lagi mengikuti prosedur analisis-penelitian pelaporan. Setelah pembelajar diberikan masalah, guru menjadi “guide on the side” daripada “sage on the stage”. Guru memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan bimbingan dan arahan

(26)

kepada pembelajar, jika diperlukan. Guru hanya memberikan bantuan, tidak mencampuri cara belajar pembelajar. Dengan demikian, guru harus percaya pada proses belajar yang dilakukan oleh pembelajar. Guru membantu pembelajar berperan sebagai problem-solver. Melalui proses ini pembelajar akan menjadi pembelajar yang mandiri dan mampu memecahkan masalah-masalah kompleks yang dihadapi.

Landasan teori PBM adalah kolaborativisme, suatu pandangan yang berpendapat bahwa pembelajar akan menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer informasi fasilitator pembelajar ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya sosial dan individual. Menurut paham kosntruktivisme, manusia hanya dapat memahami melalui segala sesuatu yang dikonstruksinya sendiri (Putrayasa, 2012:83). Pelaksanaan PBM memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah pembelajarannya. Barret (2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM sebagai berikut.

1. Penyampaian ide 2. Penyajian fakta 3. Mempelajari masalah 4. Menyusun rencana tindakan 5. Analisis dan evaluasi

(27)

2.4 Model Penelitian

Usaha untuk meningkatkan pemahaman peranti kohesi bahasa Indonesia dilakukan melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu tindakan mengubah pola pembelajaran yang cenderung menggunakan metode konvensional. Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, yaitu (1) bagaimanakah kemampuan peserta didik dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia sebelum penerapan model pembelajaran berbasis masalah, (2) bagaimanakah kemampuan peserta didik dalam memahami peranti kohesi bahasa Indonesia setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah, dan (3) Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi dalam pembelajaran pemahaman peranti kohesi bahasa Indonesia melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah? Oleh karena itu, dilakukan tindakan dengan dua siklus untuk mendapatkan keadaan akhir sesuai dengan harapan, yaitu peningkatan kemampuan pemahaman peranti kohesi bahasa Indonesia melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action

research) dengan menggunakan metode kombinasi (mixed methods), yakni

metode penelitian kuantitatif dan metode kualitatif dengan model penelitian

concurrent triangulation. Metode kombinasi (mixed methods) adalah suatu

metode penelitian yang mengombinasikan atau menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliabel, dan objektif. Di pihak lain, model yang

(28)

digunakan adalah model concurrent triangulation, yaitu metode penelitian yang menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan cara mencampur kedua metode tersebut secara seimbang (50% metode kuantitatif dan 50% metode kualitatif). Metode tersebut digunakan secara bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi independen untuk menjawab rumusan masalah yang sejenis (Sugiyono, 2012:499).

Gambar 2.1 Model Penelitian

Pembelajaran Pemahaman

Peranti Kohesi Bahasa Indonesia Siswa

Kemampuan Peserta Didik dalam Memahami Peranti Kohesi Bahasa Indonesia setelah Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Kendala-kendala yang Dihadapi dalam

Penerapan Tindakan Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Teori Konstruktivisme PTK Pemahaman Peranti Kohesi

Model Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Mixed Methods) dengan Model Penelitian Concurrent

Triangulation

Analisis Data

Kemampuan Peserta Didik dalam Memahami Peranti Kohesi Bahasa Indonesia

sebelum Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Hasil Penelitian Pemahaman Peranti Kohesi Bahasa Indonesia melalui Penerapan Model

Gambar

Tabel 2.1 Pronomina Bahasa Indonesia
Tabel 2.2 Konjungsi Bahasa Indonesia
Gambar 2.1 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Standar ketuntasan minimal nilai siswa secara individu adalah 75, secara klasikal nilai ketuntasan minimal harus mencapai 75% dari jumlah siswa, sedangkan pada tahap

Sugiyono (2013:117) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan

Jika dilihat pada table 1.3 terlihat bahwa presentase mahasiswa FPEB angkatan 2010 UPI yang tertinggi adalah menggunakan smartphone Samsung android berjumlah 32

Beauty industry doesn’t only offer cosmetics to beautify the body but it also makes women as a commodity in which various concepts of beauty are infiltrated through numerous

Sumber keuangan pada suatu sekolah/ sekolah Islam secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu: pemerintah (baik pemerintah pusat, daerah,

Ini pengalaman pertama saya dan Farid Gaban turun ke lapangan. Kemudian hari, Farid Gaban punya ide lebih besar lagi; mengajak saya keliling Indonesia, naik sepeda motor

Dengan demikian pembelajaran berdasarkan pengalaman langsung melalui pemecahan masalah kontekstual, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna (Ausubel, dalam Dahar

 Meningkatkan peran kawasan perkotaan di Jawa Barat bagian Selatan menjadi PKNp yang mempunyai fungsi tertentu dengan skala pelayanan internasional, nasional atau beberapa