Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos banteng) (Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos sondaicus (Payne dan Hodges 1997). Banteng atau Bos banteng ditemukan hidup di Myanmar, Cambodia, Laos, Vietnam, Thailand, Malaya, Pulau Bali, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan (Borneo) (Payne dan Hodges 1997). Domestikasi sapi Bali diduga terjadi di Asia Tenggara dan terpusat di Indonesia. Sapi Bali didomestikasi selama lebih kurang 3500 SM (Rollinson 1984).
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali belum disepakati, dimana Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Pulau Jawa, namun Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi Bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi Zebu di India dan pusat gen
primigenius di Eropa (Gambar 1) (Handiwirawan et al. 2003).
Sapi Bali merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal utama (Aceh, Pesisir, Madura dan Bali) di Indonesia, dimana sapi Bali merupakan hasil domestikasi langsung dari Banteng liar (Martojo 2003). Hubungan antara sapi Bali dan sapi lokal lainnya telah banyak diteliti, salah satunya dengan analisis DNA mitokondria. Menurut Kusdiantoro (2009) hubungan maternal dari sapi Bali asli dari empat tempat berbeda (Sulawesi, Bali, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat) berhubungan erat dengan banteng ditinjau dari analisis DNA mitokondria (mt), kromosom Y (Y) dan mikrosatelit alel autosom (µst) (Gambar 2).
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan 1927 (Herweijer 1950). Kemudian, sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan kepada petani (Pane 1991). Sapi-sapi inilah bersama dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi Bali terbanyak di
I a B ( w b Indonesia (T abad ke-19 y 1993), dan s Bali ke ban (Hardjosubr wilayah Indo Gam Gam Tahu besaran yan Talib 2002). yang dibawa sampai ke Pu nyak wilaya roto dan Ast
onesia. mbar 1. Kem Rol mbar 2. Lok Ind un 1964 di g menyebab . Penyebaran a oleh raja-r ulau Timor ah di Indon tuti 1993) d mungkinan llinson 1973 kasi sampel donesia (Kus Bali terjad bkan sapi Ba n sapi Bali raja pada zam
antara tahun nesia kemud dan saat ini t
rute domes )
l dan hubu diantoro 200 di musibah ali tidak bole
ke Lombok man itu (Ha n 1912 dan 1 dian dilakuk telah menye stikasi sapi ngan geneti 09) penyakit je eh dikeluark mulai dilak ardjosubroto 1920. Penye kan sejak ta ebar hampir di Asia (P ik dari pop embrana sec kan lagi dari
kukan pada dan Astuti ebaran sapi ahun 1962 di seluruh Payne dan pulasi sapi cara besar-pulau Bali
sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib 2002).
Karakteristik Fenotipe Sapi Bali
Sapi Bali memiliki karakteristik fenotipe yang unik dibandingkan dengan sapi lainnya. Menurut Pane (1986) anak sapi jantan hingga sekitar umur 6 bulan berwarna sama dengan sapi betina yaitu merah bata kecoklatan, tetapi dengan semakin tua umurnya akan mulai berubah menjadi coklat kehitaman mulai dari bagian depan tubuh ke belakang. Terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pinggiran bibir atas pada sapi Bali jantan dan betina (Hardjosubroto dan Astuti 1993).
Sapi Bali merupakan ternak tipe potong atau pedaging dan sebagai ternak pekerja. Sapi Bali merupakan penghasil daging utama untuk ruminansia besar di Indonesia. Berat sapi jantan dewasa sekitar 400 kg, lingkar dada sekitar 192 cm, tinggi gumba sekitar 127 cm, dan panjang tubuh sekitar 140 cm. Berat sapi betina dewasa sekitar 260 kg dengan lingkar dada sekitar 165 cm, tinggi gumba sekitar 114 cm, dan panjang badan sekitar 260 cm (Pane 1986).
Banyak laporan yang telah mengemukakan hasil penelitian mengenai keunggulan produksi sapi Bali. Keunggulan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak kelahiran (calving interval), dan persentase kelahiran. Beberapa sifat produksi dan reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo 2004).
Keragaman Genetik Sapi Bali
Sapi Bali sebagai ternak domestik Indonesia yang berasal dari hasil domestikasi Banteng liar Bos banteng (Namikawa et al. 1980), Bos javanicus, Bos
sondaicus (Payne dan Hodges 1997), memiliki karakteristik genetik yang khas.
sehingga lingkungan mempengaruhi sifat fenotipik dan genotipiknya. Kondisi tersebut yang membuat sapi Bali berbeda dengan bangsa sapi lain di dunia.
Kemampuan sapi Bali beradaptasi pada lingkungan yang marjinal menjadi hal yang penting, disebabkan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh beberapa bangsa sapi lainnya. Sapi Bali dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipraja 1996), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Dramadja 1996), dan memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (Bugiwati 2007).
Karakteristik genetik pada ternak banyak disebabkan oleh kondisi lingkungan. Rata-rata efek dari sebuah gen tergantung pada keadaan yang ekstrem akan diekspresikan oleh genetika lingkungan yang dibawa oleh gen tersebut yang dapat memberikan perubahan fenotipik sampai intra-lokus dominan, epistatis terhadap lokus yang mekanisme fungsinya berhubungan dan lingkungan fisik dimana mempunyai dampak terhadap fenotipik, hal tersebut disebabkan dasar fisiologis menyebabkan dampak pada penampilan sifat yang diobservasi pada daerah yang berbeda. Sebagai contoh, gen yang mengatur efisiensi pakan seharusnya memberikan dampak yang nyata pada keadaan nutrisi kurang, dan gen yang mengatur nafsu makan seharusnya memberikan dampak pada keadaan nutrisi yang berlimpah (Noor et al. 1993).
Kultur sel atau organisme secara keseluruhan memberikan respon dengan mensintesa sejumlah protein yang dikenal sebagai heat shock protein atau stress protein, pada saat bersamaan sebagian besar protein akan switched off (Noor 2002). Organisme memberikan respon terhadap stress dengan jalan mengatur fisiologi atau morfologi untuk meredam pengaruhnya dan mempertahankan fungsi normal, resistensi melibatkan respon fisiologis dan morfologis sehingga organisme dapat bertahan dan bereproduksi pada kondisi stress.
Kemampuan suatu individu/genotipe untuk menampilkan lebih dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan/atau tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan lingkungan disebut sebagai kelenturan fenotipik (Noor 2002). Kelenturan fenotipik merupakan suatu fenomena genetik karena subjek seleksi alam, subjek perubahan secara evolusi, adanya variasi genetik pada arah dan besarnya respon serta adanya respon seleksi terhadap kelenturan fenotipik. Tiga
teori utama tentang aspek genetik kelenturan fenotipik, yakni ; (1) suatu sifat yang dikontrol oleh gen-gen yang terletak pada lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengatur rataan sifat pada lingkungan tertentu, (2) suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda, (3) perubahan fenotip pada lingkungan yang berbeda merupakan fungsi menurun dari jumlah lokus heterosigot (Noor 2002).
Secara umum, produktivitas ternak lokal di daerah tropis rendah, tetapi adaptabilitas dan ketahanan terhadap lingkungan buruk mungkin menjadi hal yang baik. Di beberapa Negara tropis, usaha untuk meningkatkan produktifitas telah dilakukan dengan mendatangkan ternak dari daerah subtropik dan menyilangkan dengan ternak lokal (Noor et al. 1993).
Kelenturan fenotipik merupakan fenomena genetik, yang disebabkan beberapa hal, yakni : (1) Kelenturan fenotipik adalah suatu sifat yang menjadi subjek seleksi alam dan perubahan secara evolusi, (2) terdapat variasi genetik pada arah dan besarnya respon terhadap perubahan lingkungan, dan (3) telah dideteksi adanya respon seleksi terhadap kelenturan fenetopik (Noor 2008).
Interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan merupakan masalah yang sangat serius di bidang peternakan pada umumnya dan impor-ekspor ternak pada khususnya. Interaksi ini dikatakan ada jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan berbeda. Fenomena kelenturan fenotipik akan memberikan arah baru dalam program seleksi. Program seleksi tidak saja ditujukan pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat poduksi, tetapi juga pada gen-gen yang mengatur daya lentur sifat produksi tersebut pada lingkungan yang berbeda (Noor 2008).
Gen-Gen Pengontrol Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan salah satu sifat utama dan bagian penting dari makhluk hidup. Secara umum pertumbuhan memiliki aspek yang luas seperti pertumbuhan sel, organ, fetus, tulang dan beberapa aspek lain yang terkait dengan pertumbuhan individu. Menurut Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel,
serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan dikarakterisasikan oleh peningkatan ukuran dari sel individu (hypertrophy) sama seperti peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia).
Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH. Gen GH diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton et al. 1994). Disebabkan fungsinya yang penting, gen GH merupakan kandidat gen untuk program Marker Asissted Selection pada sapi (Beauchemin et al. 2006).
Fungsi dari gen GH pada suatu individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi. Menurut Sumantran et al. (1992) gen GH telah terbukti menjadi pengatur utama pada pertumbuhan pasca kelahiran, metabolisme pada mamalia, kecepatan pertumbuhan, susunan tubuh, kesehatan. Selanjutnya, gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas dan respon immun (Ge et al. 2003). Secara mendalam gen GH juga diperlukan dalam pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994).
Pertumbuhan juga diatur oleh gen POU1F1 (juga dinamakan Pit-1 atau
GHF-1) yang merupakan anggota dari POU-transcription factors family yang
diekspresikan terutama pada pituitary (Pan et al. 2008). Ekspresi gen Pit-1 diperlukan pada pembelahan sel secara normal, perkembangan dan pertahanan tiga tipe sel adenohypophysis (thyrotrophs, somatotrophs and lactotrophs).
Gen Pit-1 mengatur ekspresi gen GH, prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1993) dan thyroid-stimulating hormone β (TSH-β) (Pan et al. 2008) pada pituitary
anterior. Menurut McCormick et al. (1990) defisiensi dari gen Pit-1 mengurangi
ekspresi gen GH, disebabkan penurunan ploriferasi lapisan sel dalam memproduksi gen GH.
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen
Insulin-like growth factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan
polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008).
Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi metabolism protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ (Pereira
et al. 2005).
Gen Growth Hormone Receptore (GHR) menjadi kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak disebabkan gen GH membutuhkan reseptor dalam mekanisme ekspresinya ketarget jaringan. Zhou dan Jiang (2005) menyatakan bahwa pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi oleh gen GHR. Hubungan antara keragaman gen GHR dan sifat pertumbuhan sapi telah dilakukan pada sifat in vivo dan karakteristik daging sapi Piedmontese (Di Stasio
et al. 2005), lemak karkas pada sapi Bos taurus (Tatsuda et al. 2008), lemak intra
muscular (Han et al. 2009) dan komposisi otot (lemak intramuscular, protein dan kadar air) (Reandon et al. 2010).
Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Receptor)
Salah satu faktor yang juga menentukan pertumbuhan secara hormonal pada individu khususnya ternak adalah Growth Hormone Receptor (GHR). Menurut Moody et al. (1995) Growth Hormone Receptor (GHR) adalah sel permukaan reseptor untuk growth hormone (GH) dan dibutuhkan oleh GH untuk membawa pengaruhnya ketarget jaringan. GH memiliki berat molekul yang tinggi sehingga sulit sulit memasuki sel yang harus melewati membrane sel. Karenanya efek pertama dari GH adalah pada reseptor yang terdapat dalam membrane sel, agar GH dapat memberikan efeknya ke target sel tanpa merusak membrannya (Djojosoebagio 1995).
Growth Hormone Receptor merupakan anggota dari kelas I cytokine receptor super family. Cytokine receptor tidak termasuk ke dalam suatu tyrosine kinase tetapi tepatnya berasosiasi dengan salah satu anggota dari Janus Kinase Family (JAK), yang mengaktifkan specific transcription factors, signal transducer, dan aktivator transkripsi (Scanes 2003). GHR termasuk cytokine receptor super family yang transkripsinya diatur dalam jaringan spesifik yang
d T a b r d b ( 2 P b m b d t dibuat men Talamantes aktivasi enz berikatan de residu tirosi sinyal, salah Transcriptio Gam Gen ditranskripsi 1996). Horm berperan da (Moody et a 25.688 bp ( Proses trans 1A, 1B dab bagian 5’-u mRNA GHR
blot dan ana
diobservasi transkripsi G nggunakan 1998). Peng zim tyrosine engan GHR l. Kejadian h satunya fos on) (Gambar GHR mbar 3. Linta 2003) adalah ba i ke dalam mon GHR m lam pertumb al. 1995). Ge (Lampiran 1 kripsi gen G 1C, secara u ntranslated R pada otot alisis in situ dengan ukur GHR sapi ya kelipatan e gikatan GH e kinase JA , sehingga t ini menimbu sforilasi prot r 3). asan transdu ) agian segme mRNA yan merupakan h buhan ternak en GHR pada ) (Gambar GHR pada sa umum varias (Jiang dan sapi selama hybridisatio ran sekitar 4 ang dilaporka ekson yang dengan rese AK2 (Janus-terjadi fosfo ulkan aktiva tein STAT ( uksi sinyal y en DNA te ng akan ditr hasil transla k. Gen GHR a sapi terdiri 4) (Lucy et api diinisiasik si mRNA G Lucy 2001 a perkemban
on. Pada oto
4,5 kb yang m an pada hati g tidak ter eptornya men -family Tyro orilasi resept asi sejumlah (Signal Tran yang diaktifk ermasuk sem anslasi men si dari gen R terletak pa i atas 10 exo t al. 1998; J
kan oleh tiga HR 1A, 1B
). Identifika ngan fetus m
ot fetus, sebu mana hal ters sapi dewasa rpetakan (E ngakibatkan osine Kinas tor dengan J h lintasan pem nduser and A kan oleh GH mua nukleo njadi protein GHR, yang ada kromoso on, dengan p Jiang dan Lu a promotor e dan 1C berl asi dan loka menggunakan uah transkrip sebut konsis a (Listrat et a Edens dan n terjadinya se 2) yang JAK2 pada mbentukan Activator of HR (Scanes otida yang n (Nicholas g kemudian om 20 sapi panjang gen ucy 2001). exon utama lainan pada alisasi dari n Northern-psi tunggal sten dengan al. 1994).
Sama halnya dengan gen GH, target utama dari gen GHR adalah hati. Ekspresi gen GHR bersifat autoregulation. Gen GHR 1A diekspresikan secara eksklusif pada hati (Lucy et al. 1998), sedangkan gen GHR 1B dan GHR 1C diekspresikan pada jaringan (Jiang dan Lucy 2001). Ekspresi mRNA GHR 1A bermacam-macam pada tahapan perkembangan, ada sedikit mRNA GHR 1A pada fetus hati tetapi setengah pada mRNA GHR dalam hati individu dewasa yang dihasilkan olah mRNA GHR 1A (Jiang dan Lucy 2001). Menurut Scanes (2003) terdapat dua mRNA GHR yang dihasilkan dari sambungan dan inisiasi pada transkripsi dari promotor 1 dan 2. Hal ini digambarkan berturut-turut sebagai gen GHR 1A dan GHR 1B pada sapi. Ekspresi gen GHR 1A dibatasi pada hati dan merupakan pengontrol perkembangannya, hal tersebut tidak terjadi pada saat setelah panyapihan. Sebaliknya, ekspresi gen GHR 1B ditemukan pada lipatan jaringan dan dalam tahapan awal dan akhir perkembangan setelah kelahiran (Liu
et al. 2000). 5’ 3’ Keterangan : Lokus = EF207442 Panjang = 3876 pb Gen = 10 – 35, 200 – 280, 416 -481, 675 – 804, 935 – 1095, 1321 – 1499, 1612 – 1777, 1981 – 2071, 2246 – 2315, 2609 – 3876 Sekuen depan = 9 = 9 bp Exon 1 = 10 – 35 = 25 bp Intron 1 = 36 – 199 = 163 bp Exon 2 = 200 – 280 = 80 bp Intron 2 = 281 – 415 = 134 bp Exon 3 = 416 -481 = 65 bp Intron 3 = 482 – 674 = 192 bp Exon 4 = 675 – 804 = 129 bp Intron 4 = 805 – 934 = 29 bp Exon 5 = 935 – 1095 = 160 bp Intron 5 = 1096 – 1320 = 234 bp Exon 6 = 1321 – 1499 = 178 bp Intron 6 = 1500 – 1611 = 111 bp Exon 7 = 1612 – 1777 = 165 bp Intron 7 = 1778 – 1982 = 204 bp Exon 8 = 1981 – 2071 = 90 bp Intron 8 = 2072 – 2245 = 173 bp Exon 9 = 2246 – 2315 = 69 bp Intron 9 = 2316 – 2608 = 292 bp Exon 10 = 2609 – 3876 = 126 bp = 129 bp
Gambar 4. Rekonstruksi struktur gen GHR berdasarkan sekuens gen GHR di GenBank (Kode Akses. EF207442)
Gen Growth Hormone Receptor sangat penting di dalam proses
pertumbuhan ternak. Mutasi pada gen GHR telah diasosiasikan sebagai
Laron-type dwarfism pada manusia (Godowski et al. 1989), sex-linked dwarfism pada
Kodon awal ATG Kodon akhir TAG
Coding sequence (CDS) Exon 10 Exon 9 Exon 8 Exon 7 Exon 6 Exon 5 Exon 4 Exon 3 Exon 2 Exon 1 Flanking region 5’ Intron 3 Intron 2 1 Intron 1 Flanking region 3’
ayam (Burnside et al. 1992), sifat pertumbuhan pada sapi pedaging (Hale et al. 2000) dan sifat produksi susu pada sapi Holstein (Aggrey et al. 1999). Dwarfism dihubungkan dengan rendahnya peredaran konsentrasi dari gen IGF-I dan dengan ketiadaan atau rendahnya ekspresi gen GHR (Vandeerpooten et al. 1991). Gen
Growth hormone (GH), insulin-like growth factors 1 dan 2 (IGF1 dan IGF2) dan
hubungan mereka pada pengikatan protein dan reseptor transmembran (GHR,
IGF1R dan IGF2R) mengatur sebuah pengaturan penting dalam fisiologis
pertumbuhan mamalia (Curi et al. 2004).
Gen GHR bertanggung jawab pada pertumbuhan dan karkas, keragaman gen GHR berhubungan dengan keragaman produksi daging yang terjadi pada
liver-specific promoter sapi (Ohkubo et al, 2006). Gen GHR pada sapi dipetakan
sebagai sebuah gen tunggal (Moody et al. 1995) dan gen GHR memiliki ekspresi pada tubuh dengan level yang tinggi pada hati (Lucy et al. 1998).
Perbedaan observasi dalam metabolisme ternak dengan perbedaan ukuran dalam bermacam tahapan pertumbuhan, pengaturan hormon dari somatotropic
axis harus menjadi penekanan (Owens et al. 1994). Somatotropic axis merupakan
hal yang penting terkait pada GH, insulin-like growth factors I dan II (IGF-I dan
IGF-II) dan reseptornya yang berhubungan dengan pengikatan protein (GHR, IGF-IR, IGF-IIR dan IGFBP) berperan dalam pengaturan metabolisme dan
fisiologis dari pertumbuhan mamalia (Curi et al. 2006).
Keragaman pada Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone Receptor)
Seperti halnya dengan gen GH, gen GHR juga bersifat beragam. Berdasarkan hal tersebut maka gen GHR sering dijadikan penanda dalam menentukan sifat produksi dari sapi. Menurut Womack (1993) keragaman teknik dapat digunakan untuk mengidentifikasi gen tersebut, termasuk metode berdasarkan pemetaan genetik yang mana penanda keragaman molekuler bekerja untuk mengetahui lokasi bagian kromosom dalam menentukan ekspresi normal pada sifat atau keragaman dalam ekspresinya. Sebuah metode alternatif dalam mengetahui kandidat gen, berdasarkan penelitian terhadap mekanisme fisiologis termasuk dalam manifestasi pada sifat yang menarik, variasi dalam gen spesifik
antara individu yang menampilkan perbedaan fenotipik yang diseleksi dan diinvestigasi.
Salah satu metode dalam penentuan keragaman dari gen GHR adalah menggunakan metode PCR-RFLP. Identifikasi keragaman pada gen GHR telah dilakukan pada exon 10. Menurut Ge et al. (2000) single nucleotide
polymorphism (SNP) fragmen gen GHR|AluI ditemukan pada exon 10, dengan
mengkode pada sitoplasma domain gen GHR yang berlokasi pada posisi 76 (T/C), 200 (G/A), 229 (T/C) dan 257 (A/G). SNP pada posisi 200 dan 257 pb merubah susunan asam amino, secara berturut-turut Ala/Thr dan Ser/Gli, sedangkan dua mutasi lainnya merupakan silent mutation (mutasi yang tidak mengubah susunan asam amino).
Menurut Di Stasio et al. (2005) penelitian mengenai kandidat gen untuk
sifat produksi daging pada sapi diinvestigasi pada hubungan SNP posisi 257 bp pada exon 10 gen GHR (fragmen gen GHR|AluI) dengan sifat in vivo dan karakteristik daging sapi Piedmontese. Hubungan antara keragaman gen GHR|AluI dan sifat pertumbuhan sapi telah dilakukan pada sifat in vivo dan karakteristik daging sapi Piedmontese (Di Stasio et al. 2005), lemak karkas pada sapi Bos taurus (Tatsuda et al. 2008), lemak intra muscular (Han et al. 2009) dan komposisi otot (lemak intramuscular, protein dan kadar air) (Reandon et al. 2010).
Single Nucleotide Polimorphism (SNP) pada umumnya merupakan
perbedaan basa tunggal DNA antar individu (Kwok 2003). Pendeteksian perbedaan basa tunggal DNA terjadi pada penyisipan atau penghilangan satu atau beberapa basa pada DNA. Sifat keragaman pada bagian DNA yang terjadi variasi atau SNP frekuensinya tidak lebih dari 1% di dalam populasi (Kwok 2003).
Penciri Genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP)
Salah satu teknik penciri genetik (genetic marker) yang dikembangkan telah dipopulerkan oleh Botstein et al. (1980) dan digunakan untuk mengetahui adanya keragaman sekuens DNA, teknik ini dikenal dengan Restriction Fragment
Length Polymorphism (RFLP). Mullis et al. (1986) menyatakan bahwa setelah
adanya teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengampilifikasi fragmen DNA spesifik secara in-vitro, penggunaan teknik RFLP menjadi lebih
intensif dengan mengkombinasikan teknologi PCR tersebut sehingga lahirlah teknik PCR-RFLP yang penggunaannya terus hingga sekarang ini. PCR-RFLP adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk menvisualisasikan perbedaan pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotongan (restriction enszymes) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera 1998). Teknik ini pada prinsipnya menggunakan primer. Pengamatan keragaman dalam genom organisme digunakan juga suatu enzim pemotong tertentu (restriction enzymes). Karena sifatnya yang spesifik, maka enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs enzim pemotong dari genom suatu kelompok organisme yang kemudian berubah karena mutasi atau berpindah karena genetic rearrestrictionment dapat menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim, atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya dari satu organisme ke organisme lainnya. Li dan Gaur (1991) menyatakan bahwa enzim pemotong yang dapat mengenal sekuens DNA spesifik disebut recognition sequences dan biasanya memiliki panjang empat sekuens basa atau lebih dan bersifat
palindrome.
Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al. 2007). Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP juga dapat digunakan untuk analisis keragaman DNA. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi bentuk dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et
al. 2001). Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan
migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo dan Herrera 1998).