• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSTMODERNISME Dr. H. Supriadi, SH., MM. Prodi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POSTMODERNISME Dr. H. Supriadi, SH., MM. Prodi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 106 POSTMODERNISME

Dr. H. Supriadi, SH., MM. Prodi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS

ABSTRAK

Istilah Posmodernisme dapat memiliki beberapa pengertian yang berbeda, antara lain bisa berarti aliran pemikiran filsafat yang merupakan sebuah intensifikasi dinamisme, periodesasi sejarah berikut pergeseran paradigma di dalamnya ataupun sikap dasar tertentu. Masing-masing pengertian tersebut memiliki konsekwensi logis yang berbeda mesipun saling berhubungan juga. Jika yang kita maksudkan adalah aliran filsafat, maka ini menunjuk terutama pada gagasan-gagasan Lyotard yang paling eksplisit menggunakan istilah Posmodernisme.

Berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Ada beberapa definisi lain yang penulis temukan untuk menjelaskan mengenai postmodernisme, di antaranya adalah Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Steinar Kvale berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu : Postmodernitas yang berkaitan dengan era postmodern. Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern. Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern.

Sedangkan Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, posmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi –seperti Jameson- beranggapan, posmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity nya.

Perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Postmodernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan posmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa posmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme. Maka, tidak mungkin kita dapat masuk jenjang posmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas.

Pendapat terakhir inilah akhirnya posmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post- Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi. Zygmunt Bauman dalam karyanya Postmodern Ethics berpendapat, posmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting) belaka.

(2)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 107 ABSTRACT

The term Posmodernism can have several different meanings, among others, can mean the flow of philosophical thought which is an intensification of dynamism, historical periodization following a paradigm shift in it or a certain basic attitude. Each of these meanings has different logical consequences even if they are interconnected as well. If we mean the flow of philosophy, then this refers primarily to the most explicit ideas of Lyotard using the term Posmodernism.

Talking about the notion of postmodernism, it will be various definitions that can be found. There are several other definitions that the author finds to explain about postmodernism, among which are Concerning the diverse definitions of postmodernism, Steinar Kvale argues that the term postmodernism, derived from the postmodern term, can be very broad, controversial. This is evident from the division of understanding that Kvale did to distinguish the postmodern term, namely: Postmodernity relating to the postmodern era. Posmodernism associated with the postmodern cultural expression of the era. Posmodern thought, or discourse, relating to the philosophical reflection of the postmodern era and culture.

While Foster explains, some people like Lyotard think, postmodernism is the opposite of modernism that is considered unsuccessful to lift the dignity of modern humans. While some - like Jameson - think that postmodernism is the development of modernity as Bryan S Turner reveals in Theories of Modernity and Post-Modernity.

The difference of opinion between the two groups is about understanding Postmodernism. One says, the concept of modernism is quite contrary to postmodernism more a paradox, while others think that postmodernism is the perfect form of modernism. Thus, it is impossible to enter postmodernism without going through the stage of modernity.

It is this latter opinion that postmodernism is ultimately divided into several parts: Post-Modernist Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernism and Affirmative Post-Modernism. As a result of the debate between the two opinions above, came the third opinion that wanted to mediate between the two contradictory opinions earlier. Zygmunt Bauman in his Postmodern Ethics argues that postmodernism is a tough endeavor as a reaction to the futility of the modernist era that just vanished in the wind. The cause of the futility of the modernist age is the result of pressure derived from mere prejudice (instinct).

(3)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 108 Pendahuluan

Postmodernisme menurut Jean Francois Lyotard dalam bukunya La condition Postmoderne (1979)1, memiliki arti sebagai “merdulity towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap metanarasi). Metanarasi yang dimaksud, misalnya kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat.

Postmodernisme merupakan sebuah

“intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”. Kadangkala orang menyamakan

postmodernisme dengan paradigma

postmodernitas. Menurut I. Bambang Sugiharto keduanya memiliki perbedaan, postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistomologi, dan ideologi-ideologi modern, sedangkan postmodernitas merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, uangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang menyamakan kedua arti

tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.

B. Definisi

Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Ada beberapa definisi lain yang penulis temukan

untuk menjelaskan mengenai

postmodernisme. Beberapa di antaranya adalah 2 :

Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Steinar Kvale berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu : Postmodernitas yang berkaitan dengan era postmodern. Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern. Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern.3

Sedangkan Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, posmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.

1 file:///H:/TEORI%20POSMO/POSMO%20%C2%A B%20%Civic 2 http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism 3

Kvale, Steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. 2006. Pustaka Pelajar : Yogyakarta, hal 56-57

(4)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 109

Sedang sebagian lagi –seperti Jameson- beranggapan, posmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity nya.

Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Postmodernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan posmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa posmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme. Maka, tidak mungkin kita dapat masuk jenjang posmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas.

Dari pendapat terakhir inilah akhirnya posmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction,

Opposition Post-Modernisme dan

Affirmative Post- Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi. Zygmunt Bauman dalam karyanya Postmodern Ethics berpendapat, posmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting) belaka.4

Labih lanjut, terdapat perbedaan pandangan yang berasal dari kata "modern"

4

http://jurnalislam.net/id

sendiri. Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah

yang biasanya digunakan untuk

menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah).

adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier undefined.5

Sementara itu postmodernisme

dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom,

Senada dengan Gahral Adian,

Anthony Giddens ternyata juga

5

Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer : Sebuah Pengantar Komprehensif. 2006. Yogyakarta : Jalasutra.Hal 95-97

(5)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 110

membedakan postmodernisme

(postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modern.

Postmodernitas memiliki beberapa tanda. Setidaknya bisa kita lihat dari beberapa hal dibawah ini :

Globalitas. Bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa dan wilayah maju (dunia pertama) dengan bangsa dan wilayah terbelakang (dunia ketiga)

Lokalitas. Kecenderungan global berdampak langsung pada lingkungan lokal, sehingga

(6)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 110  Simulasi. Ini bahasanya Baudrillard

(1983). Menurutnya, realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun, masyarakat katanya semakin “tersimulasi”, tertipu dalam citra dan wacana. Iklan adalah salah satu kendaraan utama simulasi ini

Perbedaan dan Penundaan dalam Bahasa. Menurut Derrida, dalam postmodernitas, bahasa tidak lagi berada pada hubungan representatif pasif atas “kenyataan” sehingga kata dapat secara jelas dan jernih menjabarkan realitas dunia. Dalam hal ini,

pembacaan teks dengan konsep

dekonstruksi adalah aktivitas kreatif untuk mendapatkan makna yang ambigu atau yang hilang dari realitas

Polivokalitas. Segala hal dapat dikatakan secara berbeda, dalam berbagai cara yang secara inheren tidak superior ataupun inferior satu sama lain. Sehingga, sains menjadi satu dari sejumlah “narasi” yang

melengkapi, menyaingi dan

mengkontraskan dan tidak memiliki status epistemologis yang istimewa (misal, status superior teori pengetahuan).

Gerakan sosial baru. Terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosial progressif, seperti gerakan anti diskriminasi warna kulit, pembela lingkungan hidup, feminisme, gay, serta

lesbian. Dalam negara maju seperti Amerika, gerakan ini (gay dan lesbian) termasuk aktif di permukaan, ketimbang kita di Indonesia yang cenderung underground. memungkinkan kita untuk memahami dinamika lokal dengan mempelajari manifestasi lokal

Akhir dari “akhir sejarah”. Modernitas, sebagaimana yang diteorikan oleh pendukung Pencerahan, bukanlah tahap akhir sejarah yang muncul di masa postindustrial dimana kebutuhan dasar material semua orang dipenuhi sehingga konflik kelompok dan persaingan ideologi menghilang. Namun postmodernitas adalah satu tahap sejarah yang terputus dengan garis halus perkembangan evolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh pendukung Pencerahan dan pendiri teori sosiologi dan borjuis

“Kematian” Individu. Konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari dunia luar tidak lagi masuk akal dalam kacamata postmodernitas. Kini, diri atau subjek telah menjadi lahan pertarungan tanpa batas antara dirinya dan dunia luar.

Mode Informasi. Cara produksi, dalam terminologi Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan mode informasi (bahasanya Max Poster), yaitu cara

(7)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 111

masyarakat postmodern mengorganisir dan menyebar informasi dan hiburan

Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling

menentukan. Masyarakat adalah

masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.

Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme

meluluhlantakkan konsep-konsep

modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier.

Istilah “pos”, menurut kubu

postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah

guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.

Maka, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembahasan berikutnya, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Dalam hal ini Jean Baudrillard benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Berikutnya,

teoritisi postmodern menolak

kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988)

(8)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 112

menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya

C. Para Tokoh-tokoh Postmodernisme

1. Jacques Derrida

Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya. Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana- wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay,

hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

Derrida terkenal dengan

penolakannya atas apa yang disebut sebagai metafisika kehadiran. Bagi dia, seluruh tradisi pemikiran Barat, dalam narasi filosofis pertarungan mitos dan logos, adalah sebuah metafisika kehadiran. Ia menulis, “...anggapan mengenai ada sebagai kehadiran dalam segala kepenuhan arti dari kata ini. Mungkinlah memperlihatkan bahwa segala istilah yang berkaitan dengan dasar-dasar, asas-asas, atau pusat senantiasa melukiskan suatu kehadiran yang tetap, hakekat, eksistensi, substansi, subyek, transendentalitas, kesadaran, dan suara hati. Allah, manusia, dan seterusnya...” Dengan demikian, Derrida bukan saja mau lepas landas dari modernitas dengan pertarungan klasiknya itu, ia bahkan membunuh kedua pahlawan narasi sepanjang sejarah filsafat, Mitos dan Logos, “...dengan menghampakan jati diri keduanya...”.6

Ada dua titik penting yang bisa ditimba dari pemikiran Derrida, yakni “...radikalisasi konsep difference menjadi différance, kata ciptaannya sendiri, dan

6

(9)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 113

prioritas tulisan atas percakapan...” tulis Giddens. Konsep différance tidak hanya menentukan makna, melainkan juga seluruh realitas. Différance berarti juga membedakan, namun juga menunda makna yang sudah ada maupun yang akan ada.

Artinya, kita tidak akan pernah dapat mengindentifikasikan makna yang definitif dari kenyataan. Pengertian yang kita dapat bukanlah korespondensi dengan obyek. Jika pengetahuan bukanlah korespondensi dengan obyek, bagaimana pengetahuan bisa didapatkan?. Bagi Derrida, kita hanya dapat mengenal jejak atau trace dari Différance itu. Jejak itu bagaikan jejak ingatan pada otak, suara yang lenyap setelah diucapkan. Implikasi gaya berpikir seperti ini bagi ilmu-ilmu sosial tampaknya sudah cukup jelas, yakni ilmu-ilmu sosial hanya bisa menangkap jejak. Oleh karena itu, klaim-klaim kebenaran ilmu-ilmu sosial tidaklah pernah dapat dipastikan. Dengan kata lain, kebenaran tidak akan pernah dapat dicapai.

Disposisi teoritis Derrida tersebut lebih kelihatan lagi dalam prioritas tulisan atau percakapan. Dalam Grammatology, Derrida berpendapat bahwa metafisika kehadiran sudah melekat di dalam bahasa percakapan, karena dalam percakapan, si penutur, tanda, dan makna hadir sekaligus.

Dalam percapakan, bahasa dikaitkan secara erat dengan kesadaran penuturnya. Padahal, menurutnya, bahasa itu bersifat anonim. Bahasa yang asli sebenarnya bukanlah bahasa percakapan, seperti yang diyakini banyak filsuf, melainkan bahasa tulisan.

Dalam tulisan, tidak seperti dalam percakapan, tak ada kaitan antara tanda, acuan makna, dan kesadaran penulis. Di titik ini, ia sebenarnya ingin meradikalkan makna arbiter dari tanda. Maka dari itu, jika realitas sungguh dipandang sebagai sebuah teks, maka teks itu dapat ditafsirkan dalam relasinya dengan teks-teks lain. Inilah yang disebut Derrida sebagai intertekstualitas.

Penafsiran di atas bisa sampai tak berhingga, dan tidak pernah akan ada alasan untuk merujuk pada suatu teks asli, karena teks semacam itu sudah hilang. Dengan kata lain, setiap upaya mencari makna definitif dengan merujuk pada suatu teks asli haruslah direlatifkan terhadap makna-makna lainnya. Pola seperti ini disebut dekonstruksi. Implikasi epistemis dari dekonstruksi dan intertekstualitas kiranya juga cukup jelas, yakin pengaburan batas antara yang mana mitos dan yang mana logos, yang mana fiksi yang mana pengetahuan, yang mana sastra yang mana sains, dan sebagainya, karena yang satu

(10)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 114

tidaklah lebih benar daripada yang lain. Suatu bentuk klaim kebenaran hanyalah absolutisasi dari suatu jejak.

Dengan dekonstruksinya, Derrida mau menghancurkan fondasi kenyataan,

dan menggantinya dengan

interktekstualitas dan multi penafsiran, karena, bagi dia, tak ada yang namanya fondasi, dalam bahasa Derrida, teks asli. Habermas juga berpendapat bahwa Derrida ternyata juga mewarisi kelemahan tradisi kritik atas metafisika, yang ingin menjadi “filsafat pertama tentang teks yang hilang.”

2. Jurgen Habermas

Dalam konteks epistemologi, pendekatan yang cukup mutakhir dan yang berpengaruh adalah teori kritis. Teori ini bukan hanya ingin melampaui teori-teori sosial sebelumnya, melainkan juga mengupayakan sebuah rekontruksi rasional yang penting bagi teori-teori sosial lainnya. Tokohnya yang terpenting adalah Jurgen Habermas. Dengan teori kritis yang

dirumuskannya, Habermas mau

memberikan pemahaman mendalam

tentang hakekat sesungguhnya modernitas, dan produksi-produksi kulturalnya, khususnya ilmu-ilmu sosial.

Yang menarik dari teori kritis yang dirumuskan Habermas adalah sebuah upaya yang gigih dan tidak kenal lelah

untuk menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris dengan asumsi bahwa

pencerahan barat tidak hanya

menghasilkan patologi-patologi, melainkan juga peningkatan diri, dan pendewasaan kehidupan sosial yang universal. Ambiguitas pencerahan tersebut juga menjangkiti ilmu-ilmu sosial modern. Menurut dia, seluruh ilmu-ilmu sosial modern kerap menggunakan paradigma filsafat kesadaran, sehingga menyingkirkan potensi komunikatif yang ada di rahim masyarakat. Oleh karena itu, Habermas berupaya merangkum kembali semua ilmu-ilmu sosial modern ke dalam paradigma teori tindakan komunikatif.

Pertarungan antara sains dengan metafisika tradisional dapat dibayangkan sebagai pertempuran antara mitos dan logos dalam seluruh sejarah filsafat. Sains, yang awalnya berperan sebagai Logos yang menghancurkan mitos dalam rupa metafisika tradisional dan feodalisme, kini telah berubah menjadi mitos baru yang lebih rasional. Habermas berhasil menemukan penyebab utama perubahan karakter sains tersebut, atau apa yang disebut para seniornya sebagai Dialektika Pencerahan. Sains telah merubah karakternya menjadi mitos, karena sains dipahami sebagai rasionalitas instrumental, yakni kemampuan akal budi manusia

(11)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 115

untuk mengontrol proses-proses alam

melalui kerja, dengan tujuan

menguasainya. Padahal, Logos, sebagai protagonis dalam pertempuran sepanjang sejarah filsafat, juga dapat dipahami sebagai komunikasi dan bahasa.

Oleh karena itu, “...rasionalitas

yang mendasari pencerahan dan

perkembangan sains serta teknologi juga dapat dipahami sebagai rasionalitas komunikatif, yakni kemampuan akal budi

manusia untuk mencapai

kesalingpemahaman dengan pihak lain secara timbal balik...”7

.

Dengan optimismenya itu,

Habermas ingin memahami Logos dengan segala “...kesegaran dan kemudaannya...”8 untuk menghancurkan mitos dalam bentuk ideologi yang mendistorsi proses komunikasi sosial antara manusia.

Disamping itu, teori tindakan komunikatif yang dirumuskan Habermas membuat distingsi antara dunia sistem, dan dunia kehidupan. Dua dunia ini adalah dua matra kehidupan sosial yang menandai modernitas. Dalam konteks epistemologi, ilmu-ilmu sosial positivistis dapat bermanfaat meneliti proses-proses dalam

7

Habermas, Theory and Practice, London, Heinemann, 1974, hal. 142., untuk lebih detilnya ihat hal. 142-169.

8

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan

Modernitas, Yogyakarta, Kanisius, 2002, 1969, hal.

169.

dunia sistem, seperti dalam dunia ekonomi modal kapitalis dan dunia birokrasi pemerintahan, yang keduanya bekerja menurut prinsip-prinsip rasionalitas instrumental.

Dunia kehidupan, yang dilandasi oleh solidaritas, dibentuk oleh proses-proses komunikasi yang bersifat intersubyektif. Dengan demikian, dunia kehidupan hanya dapat didekati oleh fenomenologi dan hermeneutik.

Di titik ini, Habermas merumuskan dua jenis pengetahuan, pertama adalah ilmu- kedua adalah ilmu-ilmu historis hermeneutis, seperti fenomenologi dan hermeneutik, yang digunakan untuk menganalisa dunia kehidupan sosial yang dilandasi oleh solidaritas.

Tidak hanya itu, Habermas juga melihat ada jenis pengetahuan yang ketiga, yakni ilmu-ilmu sosial kritis, atau teori

tindakan komunikatif yang

dirumuskannya, yang mau bersikap kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmu sosial yang sudah ada sebelumnya, yang tidak lagi sensitif terhadap asal usul dan perkembangan rasionalitas.

Di titik ini, berbeda dari Gadamer, Habermas meyakini aspek normatif dari modernitas, yakni masyarakat yang mampu berkomunikasi secara rasional dan bebas dominasi.

(12)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 116

Nampaknya kita bisa memahami visi Habermas -- tokoh kubu pemikiran kritis Frankfurt School -- yang dengansikap kritis mengamati tendensi pascamodernisme, untuk sepenuhnya menanggalkan modernitas. Sebab, modernitas tidak hanya memiliki sisi represif (seperti yang diwakili "rasionalitas instrumental"), melainkan juga sisi yang progresif (seperti "rasionalitas komunikatif"). Modernitas, diakuinya, memang merupakan suatu proyek yang belum terselesaikan, tapi yang diperlukan adalah upaya rekonstruktif, bukan dekonstruktif modernitas, seperti anjuran pascamodernisme. rekonstruksi tadi menuntut suatu pergeseran paradigma dari pola pemikiran filsafat kesadaran (philosophy of consciousness), yang digerakkan oleh "rasionalitas instrumental", ke pemikiran filsafat

komunikasi (philosophy of

communication) yang bersumber para "rasionalitas komunikatif".

3. Teori Sosial Post – Modern Moderat : Frederic Jameson

Pendirian dominan tentang masalah Post-Modernitas jelas menunjukkan adanya pemisahan waktu radikal antara modernitas dan Post-Modernitas. Tetapi ada beberapa teori post-modern yang

menyatakan bahwa meski ada perbedaan penting dalam jarak waktu antara modernitas ke post modernitas, namun ada juga kesinambungan antara keduanya. Menarik jika dalam makalah ini saya mengutip pendapat Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992). Rosenau membedakan postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas social budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard). Dari arah yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak

lain adalah konsekuensi logis

perkembangan kapitalisme lanjut.

Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni

(13)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 117

kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.

Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis

konsumen. Kapitalisme yang

mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.9

Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif,

9

Alex Callinicos, Menolak Postmodernisme,

Yogyakarta, Resist Book, 2008. hal 202-203

malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional. 10

Mengenai istilah “late capitalism” serta situasi dan kondisi di dalamnya, Jameson memberikan catatan yang menarik. Istilah itu berasal dari Madzhab Frankfurt, diantaranya Theodor Adorno, Max Horkheimer, dll. dan menunjuk pada bentuk kapitalisme yang datang dalam periode modern dan kini sedang mendominasi era posmodernisme. Jika late capitalism versi Madzhab Frankfurt ditandai dengan dua ciri esensial: jaringan kontrol birokrasi dan interpenetrasi kapitalisme negara, maka Jameson menambahkan versi late capitalisme tersebut dengan elemen-elemen baru posmodernisme, yakni:

Pertama, munculnya formasi-formasi baru organisasi bisnis yang bersifat multinasional dan transnasional yang melampaui tahap kapitalisme monopoli ala Lenin, yakni melampaui batas-batas nasional.

Kedua, internasionalisasi bisnis melampau model imperial lama. Dalam tata dunia kapitalisme baru, korporasi multinasional tidak terikat pada satu

10

Jameson, Fredric. 1989. Postmodernism or The

Cultural Logic of Late Capitalism.

Durham: Duke University Press. Hal

(14)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 118

negara tetapi merepresentasikan sebentuk kekuasaan dan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang satu negara manapun. Internasionalisasi ini juga berlaku dalam pembagian kerja yang memungkinkan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap para pekerja di negara-negara miskin guna mendukung modal multinasional. Dalam hal ini Jameson lalu menunjuk pada “aliran produksi ke wilayah-wilayah dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional, munculnya profesional muda yang ambisius (yuppies) dan kelas elit (gentrification) pada skala global”.

Ketiga, dinamika baru yang tak seimbang dalam perbankan internasional dan pertukaran saham, termasuk utang dunia kedua dan ketiga yang sangat besar. Melalui struktur perbankan yang seperti itu perusahaan multinasional Dunia Pertama mempertahankan kontrol mereka terhadap pasar dunia.

Keempat, munculnya formasi-formasi baru interrelasi media. Bagi Jameson, media termasuk salah satu produk baru kapitalisme lanjut yang sangat berpengaruh, seperti: print, internet, televisi, dan film, dan merupakan sarana-sarana baru bagi kaum kapitalis mengambil alih kehidupan kita. Melalui

proses mediasi kebudayaan, kita semakin tergantung pada realitas yang dihadirkan media, yakni versi realitas yang dipenuhi secara dominan dengan nilai-nilai kapitalis.

Kelima, komputer dan otomatisasi Kemajuan-kemajuan dalam otomatisasi komputer memungkinkan produksi massal sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghasilkan profit-margins lebih besar bagi korporasi multinasional.11

Keenam, keusangan (planned obsolescence). Jameson menyatakan bahwa dibalik produksi secara besar-besaran barang-barang yang selalu baru, baru dan baru lagi, dan terus menerus diperbarui agar tampak tak ketinggalan, dari baju sampai pesawat terbang, telah menandai fungsi dan posisi struktural yang semakin esensial bagi inovasi dan eksperimentasi estetik.

Dan terakhir adalah dominasi militer Amerika. Di balik dominan budaya posmodernisme, Jameson mengungkap sebuah kenyataan secara lugas bahwa “This whole global, yet American, postmodern culture is the internal and superstructural expression of a whole new wave of American military and economic domination throughout the world: in this

11

(15)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 119

sense, as throughout class history, the underside of culture is blood, torture, eath, and terror”.12

Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah dirinya sendiri. Namun untuk

memahami postmodernisme secara

mendasar terutama pada dataran ontologism dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat.13

4.Teori Sosial Post Modern Ekstrem : Jean Baudrillard

Bila Jameson tergolong Post modernis lebih moderat, Baudrillard adalah tokoh aliran yang paling radikal, tetapi karyanya sudah sejak lama meninggalkan batas-batas disiplin

12 Ibid, hal 5 13 .http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24 /jameson-posmodernisme-kapitalisme/- _ftn2

sosiologi. Karyanya tak lagi dapat digolongkan kedalam satu disiplin tertentu dan ia bagaimanapun menolak seluruh gagasan yang membatasi ilmu. Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca

dan menyingkap

perubahan watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan

Marshal McLuhann Baudrillard

memusatkan diri menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra. Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra.14 (Baudrillard, 1983:54-56).

Pertama, simulacra yang

berlangsung semenjak era Renaisans

14Jean Baudrillard, Simulations, New York,

(16)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 120

hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta.

Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial,budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi,

bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model. Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi,film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).

Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet menurut

Baudrillard tidak saja dapat

memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas

(17)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 121

baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak, semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo,boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri.15 Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi.16

D.Simpulan

15

Baudrillard, Op. Cit. Hal 183 16

Ibid, hal 146

Postmodernisme merupakan sebuah ikhtiar yang tidak pernah berhenti untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan revolosi kehidupan secara terus menerus. Posmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissance, pencerahan atas pencerahan. Dalam perspektif yang demikian, Postmodernisme diartikan sebagai ketidak percayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metasentris, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme.

Didalam pemikiran Postmodernism hanyalah sebuah trend pemikiran yang cenderung Destruktif, tak pernah bisa berhasil merumuskan secara positif basis-basis normatifnya, ditandai dengan keterputusan-keterputusan teoritis, dan berbagai kelemahan lainnya. Konsekuensi logis dari penghancuran logos, seperti juga dilihat oleh banyak pemikir oposan dari postmodernisme, adalah nihilisme dan relativisme.

Adapun konsekuensi politisnya adalah anarkisme. Mereka disebut nihilis karena mau menghapus segala bentuk makna dan kebenaran, termasuk makna dan kebenaran yang ditawarkannya sendiri, maka tak ada alternatif yang mereka tawarkan. Jika tidak jatuh ke nihilisme,

(18)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 122

mereka menjadi relativis, karena telah mengganti Kebenaran dengan kebenaran-kebenaran, yang justru sebenarnya adalah fiksi-fiksi personal subyektif mereka saja. Bahaya juga datang dari tendensi menjadi anarkis, karena cenderung untuk terus menolak segala bentuk rumusan yang mau memberikan realitas sosial sebuah stabilitas.

Yang lebih penting untuk tujuan kita, teori sosial Post-Modern bukan hanya hidup atau sehat, tetapi juga berkembang di Amerika Serikat Akan tetap,kita perlu melihat dunia luar mode intelektual di Amerika Serikat atau Perancis dan menyadari bahwa entah itu ide-ide Post Modern atau Post Struktural masih berlaku atau tidak didalam waktu dan tempat tertentu, ide-ide itu akan tetap signifikan bagi teori sosial pada umumnya selama beberapa waktu mendatang. Kita akhirnya akan keluar dari teori sosial Post-Modern, tetapi teori sosial pada umumnya tidak akan pernah sama lagi.

Ketidak puasan terhadap era modern tidak terlalu menonjol sampai munculnya ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama. Sejak itulah modernitas dianggap lebih menghasilkan kecemasan dari pada kesejateraan. Dengan demikian modernitas jelas bukanlah sebuah idealism yang dapat diterima secara

utuh. Pemikiran pun akan bergeser ke arah yang dianggap lebih baik dan disinalah

Postmodernisme mengambil peran

(19)

Jurnal Spektrum Komunikasi Vol. 5 No. 2 2017 123 Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean. Simulations, New York, 1983

Giddens, Anthony. Modernity and Self Identity, Cambridge: Polity Press, 1900 Habermas, Jurgen. Theory and Practice, London, Heinemann, 1974

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal 184

Jameson, Frederic. Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism

Durham: Duke University Press. 1989 Kvale, Steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. 2006. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Stanley J. Grenz.Sosiologi Primer On Postmodernisme, Yogyakarta, Yayasan Andi, 2001 http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24/ jameson-posmodernisme-kapitalisme http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism http://jurnalislam.net/id File :///Teori %20Posmo/Posmo%20%C2%AB%20%Civ ic

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Definisi lain menyatakan bahwa kegiatan pemasaran dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi pada orang banyak agar tujuan

Brand position ice cream Wall’s Magnum adalah sebagai komunikator yang menyampaikan pesan-pesannya kepada komunikan (khalayak sasaran) yaitu masyarakat dengan tujuan

Hasil penelitian ini adalah dalam Corporate Culture ( nilai perusahaan ) ditemukan adanya nilai - nilai yang mengcu pada pemahaman laba secara abstrak, yaitu adanya rasa

Pembuatan garis kontur digital menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.2, mempunyai maksud, mampu mengumpulkan dan menyeleksi data berupa titik-titik koordinat berupa

Holder dan tutup holder menggunakan dua buah jenis bahan yang berbeda, yaitu akrilik dan kuningan. Kedua jenis bahan ini akan dibandingkan untuk mengetahui efek dari kedua

Signifikansi penelitian ini secara akademis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana khalayak menginterpretasi makna dari sebuah teks yang ditawarkan oleh media melalui tayangan

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa porositas yang terbentuk menunjukkan pola acak seiring dengan penambahan unsur Mg. Hal ini disebabkan karena unsur Mg

Apakah ekstrak etanol rimpang lempuyang gajah (Zingiber zerumbet L.) dan lempuyang emprit (Zingiber littorale Val.) memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker