• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA TRANSMISI DATA SUHU BADAN PENDERITA DEMAM BERDARAH MENGGUNAKAN TURBO CODE PADA SISTEM KOMUNIKASI 4G-LTE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KINERJA TRANSMISI DATA SUHU BADAN PENDERITA DEMAM BERDARAH MENGGUNAKAN TURBO CODE PADA SISTEM KOMUNIKASI 4G-LTE"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

KINERJA TRANSMISI DATA SUHU BADAN

PENDERITA DEMAM BERDARAH

MENGGUNAKAN TURBO CODE PADA SISTEM

KOMUNIKASI 4G-LTE

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Dimaz Damar Wisya W. 145114016

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

FINAL PROJECT

DATA TRANSMISSION PERFORMANCE OF

BLOOD DENGUE FEVER PATIENTS

TEMPERATURE USING TURBO CODE IN 4G-LTE

COMMUNICATION SYSTEM

In a partial fulfillment of the requirements for Bachelor degree of Engineering Department of Electrical Engineering

Faculty of Science and Technology, Sanata Dharma University

By:

Dimaz Damar Wisya W. 145114016

ELECTRICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO HIDUP

MOTTO:

Sedikit Beda Lebih Baik daripada Sedikit lebih baik

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1.

Tuhan Yesus yang selalu memberi kekuatan.

2.

Kedua orangtua saya yang selalu mendukung segala keputusan saya.

3.

Dosen pembimbing saya yang sabar dan senantiasa mendampingi saya.

4.

Dosen-dosen yang telah memberikan materi pembelajaran selama diperkuliahan.

(7)

vii

(8)

viii

INTISARI

Kemajuan dari sistem teknologi telekomunikasi di suatu negara saat ini sangat berpengaruh terhadap sistem kehidupan masyarakatnya. Saat ini salah satu wujud perkembangan dunia telekomunikasi adalah munculnya teknologi Long Term Evolution (LTE). Permasalahan utama dalam teknologi telekomunikasi adalah error pada kanal, sehingga memerlukan suatu metode untuk mendeteksi dan memperbaiki error.

Solusi atas permasalahan utama tersebut adalah dengan menggunakan Error Control Coding. Dibutuhkan suatu penyandian agar proses dalam pentransmisian data dapat tercapai. Penyandian yang dibutuhkan untuk jenis teknologi LTE adalah Turbo Codes. Turbo Codes adalah metode baru hasil turunan dari sandi konvolusi dengan hasil unjuk kerja berupa Bit Error Rate (BER). Turbo Codes dinilai mempunyai deteksi dan mengoreksi error paling baik dalam teknologi Long Term Evolution (LTE).

Simulasi Program yang dijalankan menggunakan pengulangan sebanyak lima belas kali agar mendapatkan unjuk kerja yang nyata. Hasil dari pengulangan pada setiap data informasi akan menghasil perbandingan antara Bit Error Rate (BER) dengan Signal to Noise Ratio (SNR). Unjuk kerja dengan perbandingan BER dan SNR menghasilkan suatu bentuk pola BER yang semakin turun dengan tingkat kenaikan pada SNR.

Kata kunci : Transmisi Data, Demam Berdarah, Penyandian, Turbo Codes, LTE, Long Term Evolution, Signal to Noise Ratio, SNR, Bit Error Rate, BER.

(9)

ix

ABSTRACT

The progress of the telecommunications technology system in a country is very influential on the living system of its people. At present one form of the development of the telecommunications world is the emergence of Long Term Evolution (LTE) technology. The main problem in telecommunications technology is the channel error, so it requires a method to detect and correct errors.

The solution to the main problem is to use Error Control Coding. An encoding is needed so that the process in data transmission can be achieved. Encoding needed for this type of LTE technology is Turbo Codes. Turbo Codes is a new method derived from convolution passwords with performance results in the form of Bit Error Rate (BER). Turbo Codes are considered to have the best detection and correct error in Long Term Evolution (LTE) technology.

Program simulation that is run using repetition fifteen times to get real performance. The results of repetition in each information data will produce a comparison between the Bit Error Rate (BER) with Signal to Noise Ratio (SNR). Performance with the BER and SNR comparisons results in a BER pattern which decreases with the rate of increase in SNR.

Keywords: Data Transmission, Dengue Fever, Encoding, Turbo Codes, LTE, Long Term Evolution, Signal to Noise Ratio, SNR, Bit Error Rate, BER.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan karena berkat hidayah dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini dengan lancar. Laporan tugas akhir ini disusun sebagai pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar sarjana, terkhusus pada bidang Teknik Elektro.

Pada proses penulisan laporan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah memberikan masukan dan bantuan sehingga penulisan laporan tugas akhir ini terselesaikan dengan lancar. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan yang telah memberikan hidayah dan penyertaan-Nya.

2. Sudi Mungkasi, S.Si, M.Math.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.

3. Petrus Setyo Prabowo, S.T., M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

4. Dr. Damar Widjaja, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, saran, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan laporan tugas akhir ini.

5. Agustinus Bayu Primawan, S.T., M.Eng. dan Wiwien Widyastuti, S.T., M.T., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan bimbingan untuk merevisi laporan tugas akhir ini.

6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis didalam perkuliahan dan bertukar pikiran diluar perkuliahan selama menempuh pendidikan di Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

7. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan untuk menyelesaikan laporan tugas akhir ini.

8. Teman-teman Teknik Elektro 2014 yang banyak memberikan dukungan dan bertukar pikiran selama menempuh pendidikan.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan serta bantuan sehingga laporan tugas akhir ini dapat diselesaikan.

(11)
(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO HIDUP ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat ... 3

1.3. Batasan Masalah ... 4

1.4. Metodologi Penelitian ... 4

BAB II : DASAR TEORI ... 6

2.1. Channel Coding ... 6

2.1.1. Jenis Kontrol Kesalahan ... 6

2.1.2. Forward Error Correction ... 6

2.2. Sandi Turbo ... 7

2.3. Interleaver... 9

2.3.1. Almost Regular Permutation ... 11

2.3.2. Quadratic Polynomial Permutation (QPP) ... 12

2.4. Turbo Encoder dan Decoder ... 13

2.5. Modulasi ... 17

2.5.1. Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) ... 18

2.6. Gaussian Channel ... 19

(13)

xiii

2.6.2. Additive White Gaussian Noise (AWGN) ... 23

2.7. Bit Error Rate (BER) ... 24

2.7.1. BER untuk QPSK ... 24

2.8. Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah ... 24

BAB III : PERANCANGAN SISTEM ... 27

3.1. Gambaran Sistem ... 27

3.1.1. Analisis Kebutuhan Sistem ... 28

3.2. Pembuatan Data Masukan ... 28

3.3. Perancangan Encoder ... 29

3.4. Proses Modulasi ... 30

3.5. Perancangan AWGN ... 30

3.6. Proses Demodulasi... 30

3.7. Proses Decoding ... 31

3.8. Penerjemahan Kembali Data Biner menjadi Desimal ... 31

3.9. Menghitung BER pada Sistem ... 31

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Penjelasan dan Validasi Data dari setiap Syntax program ... 32

4.1.1. Pembuatan Data Masukan ... 32

4.1.2. Proses Encoding ... 34

4.1.3. Proses Modulasi ... 37

4.1.4. Proses AWGN ... 38

4.1.5. Proses Demodulasi ... 39

4.1.6. Proses Decoding ... 39

4.1.7. Proses Pengembalian Data Masukan ... 41

4.1.8. Bit Error Rate ... 42

4.2. Perbandingan Grafik Input dengan Output Nilai SNR ... 42

4.2.1. Grafik Perbandingan ketika SNR1 ... 42

4.2.2. Grafik Perbandingan ketika SNR 9 ... 43

4.2.3. Grafik Perbandingan ketika SNR 17 ... 45

4.3. Bit Error Rate (BER) ... 46

4.3.1. BER untuk Data Individual ... 46

4.3.2. BER untuk Data Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah ... 47

(14)

xiv

5.1. Kesimpulan ... 49 5.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur dasar Turbo Encoder dan Iterative decoder ... 8

Gambar 2.2. (a) Contoh original uninterleave codewords. (b) interleave code symbol .. 10

Gambar 2.3. Contoh DRP Permutasi ... 11

Gambar 2.4. Contoh Almost Regular Permutation (ARP) ... 12

Gambar 2.5. Ilustrasi dari soft-input atau soft-output decoder dari Sandi Turbo ... 14

Gambar 2.6 menunjukkan struktur encoder yang terdapat pada Turbo Codes ... 15

Gambar 2.7. Diagram Struktur Decoder Turbo Codes ... 16

Gambar 2.8. Sistem QPSK ... 18

Gambar 2.9. Gaussian Channel ... 20

Gambar 2.10. Bentuk Kurva Normal... 21

Gambar 2.11. Gambar Kurva Distribusi Normal dengan yang sudah ditransformasi ... 22

Gambar 2.12. Kanal AWGN ... 23

Gambar 2.13. Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah ... 25

Gambar 3.1. Perancangan Sistem Kinerja Transmisi Data pada MATLAB ... 27

Gambar 4.1. Syntax Program untuk masukan data dari user ... 33

Gambar 4.2. Hasil Ubahan masukan user dari desimal menjadi biner... 33

Gambar 4.3. Syntax program Proses Encoding ... 34

Gambar 4.4. Hasil untuk Proses Encoding ... 35

Gambar 4.5. Verifikasi Data Hasil Encoding Turbo Codes ... 35

Gambar 4.6. Diagram Struktur encoder Turbo Codes sesuai input... 36

Gambar 4.7. Syntax Program Modulasi ... 37

Gambar 4.8. Hasil dari Syntax Program Modulasi ... 37

Gambar 4.9. Syntax Program AWGN ... 38

Gambar 4.10. Hasil dari Syntax Proses AWGN ... 38

Gambar 4.11. Syntax Proses Demodulasi ... 39

Gambar 4.12. Hasil dari Syntax Proses Demodulasi ... 39

Gambar 4.13. Syntax program untuk Proses Decoding ... 40

Gambar 4.14. Hasil untuk Proses Decoding ... 40

Gambar 4.15. Syntax program untuk mengubah data biner menjadi desimal ... 41

Gambar 4.16. Hasil ubahan data biner menjadi desimal ... 41

(16)

xvi

Gambar 4.18. Program BER... 42

Gambar 4.19. Hasil program BER ... 42

Gambar 4.20. Grafik Perbandingan BER dengan Nilai SNR 1 ... 43

Gambar 4.21. Grafik Persen Kesalahan ketika SNR 1 ... 43

Gambar 4.22. Grafik Perbandingan BER dengan Nilai SNR 9 ... 44

Gambar 4.23. Grafik Persen Kesalahan ketika SNR 9 ... 44

Gambar 4.24. Grafik Perbandingan BER dengan Nilai SNR 17 ... 45

Gambar 4.25. Grafik Persen Kesalahan ketika SNR 17 ... 46

Gambar 4.26. BER untuk data suhu individual ... 46

Gambar 4.27. BER untuk Data Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah ... 47 Gambar L-1. Ikon MATLAB ... L-4 Gambar L-2. Tampilan Utama Software MATLAB R2017b ... L-5 Gambar L-3. Program Simulasi dengan jenis masukan perseorangan ... L-5 Gambar L-4. Program simulasi dengan masukan sekumpulan data ... L-6 Gambar L-5. Hasil Keluaran Sekumpulan Data awal yang dikirim ... L-6 Gambar L-6. Grafik Perbandingan antara Data Suhu Kirim dengan Data Suhu Diterima ketika SNR 1 ... L-9 Gambar L-7. Grafik Perbandingan antara Data Suhu Kirim dengan Data Suhu Diterima ketika SNR 9 ... L-11 Gambar L-8. Grafik Perbandingan antara Data Suhu Kirim dengan Data Suhu Diterima ketika SNR 17 ... L-13

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Symbol modulasi QPSK ... 18

Tabel 2.2. Pemetaan Simbol Inphase dan Quadrature ... 19

Tabel 3.1. Contoh Pembuatan Data Masukan dengan software Excel ... 28

Tabel 4.1. Hasil penghitungan manual ubahan desimal menjadi biner ... 34

Tabel 4.2. Hasil Perhitungan encoding sesuai dengan masukan ... 36 Tabel L-1. Perbandingan BER dengan SNR untuk data individual ... L-3 Tabel L-2. Perbandingan BER dengan SNR untuk Pola Suhu Badan Penderita DB ... L-4 Tabel L-3. Data perbandingan Data kirim dengan Data terima dan persentase kesalahan ketika SNR 1 ... L-7 Tabel L-4. Data perbandingan Data kirim dengan Data terima dan persentase kesalahan ketika SNR 9 ... L-9 Tabel L-5. Data perbandingan Data kirim dengan Data terima dan persentase kesalahan ketika SNR 17 ... L-11

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Di era sekarang, komunikasi adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia pada umumnya. Perkembangan dunia telekomunikasi juga sangat pesat dan manusia juga berlomba-lomba untuk menciptakan terobosan yang membantu manusia berkomunikasi. Perkembangan alat komunikasi merupakan kemajuan yang tidak bisa dipungkiri. Dari perangkat yang menggunakan kabel hingga telepon selular atau telepon tanpa menggunakan kabel.

Pada waktu sekarang orang-orang telah menggunakan telepon selular sebagai bagian dari hidupnya yang tak bisa dipisahkan. Banyak juga orang menciptakan aplikasi dalam bentuk jasa yang dapat dinikmati oleh pengguna telepon selular. Tak perlu lagi orang harus bertatap muka untuk melakukan suatu transaksi atau sekedar mencari informasi. Orang semakin dimudahkan oleh adanya kemajuan ilmu telekomunikasi sekarang ini.

Salah satu perkembangan dari adanya kemajuan telekomunikasi adalah teknologi Long Term Evolution (LTE) [1]. Teknologi ini sudah secara luas digunakan oleh negara-negara maju dan berkembang. Masalah utama dalam teknologi telekomunikasi adalah galat (error) pada kanal. Suatu metode deteksi dan koreksi error yang baik dibutuhkan tanpa harus menurunkan pesat data. Proses pengembangan LTE di Indonesia juga sangat gencar diselaraskan hingga ke daerah-daerah sampai sekarang.

Beberapa aspek kehidupan yang terpengaruh oleh adanya perkembangan dunia telekomunikasi adalah pada bidang pendidikan, bisnis, seni, olahraga, pemerintahan, dan kesehatan [2]. Informasi terkait pendidikan, produk, dan pelayanan kesehatan secara langsung dapat diperoleh dari tenaga-tenaga ahli profesional, pelaku bisnis, dan antar konsumen. Dunia kesehatan juga tak kalah dalam hal perkembangan e-health atau telemedicine untuk membantu orang-orang untuk mencari informasi kesehatan secara cepat. E-health merefleksikan perubahan bagi pelayanan kesehatan di seluruh dunia agar orang diharapkan dapat semakin mengerti mengenai kesehatan. Dalam telemedicine, sehingga setiap konsumen mendapatkan hasil secara realtime dan langsung dapat segera dilakukan tindakan apabila berhubungan dengan nyawa seseorang.

(19)

Masalah dalam telekomunikasi adalah error saat transmisi, yang diakibatkan oleh adanya derau dan distorsi [3]. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan error control coding.

Penggunaan error control coding juga untuk komunikasi luar angkasa, transmisi data, penyimpanan data, komunikasi perangkat bergerak, pengiriman file, dan transmisi digital audio atau video [4]. Dibutuhkan penyandian dalam error control coding agar proses transmisi berjalan dengan baik. Penyandian tersebut dengan menggunakan Turbo Codes. Turbo Codes diperkenalkan oleh Berrou, Glavieux, dan Thitimajshima pada tahun 1993. Turbo Codes merupakan metode turunan terbaru dari sandi konvolusidengan unjuk kerja perhitungan Bit Error Rate (BER) mendekati shannon limit.

Dalam teknologi LTE, Turbo Codes digunakan sebagai metode penyandian kanal. Turbo Codes dinilai sebagai penyandian kanal yang memberikan kemampuan deteksi dan koreksi error yang paling baik [5].

Turbo Codes banyak dikembangkan untuk National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan European Space agency (ESA) untuk komunikasi satelit. Salah satu contoh adalah dalam misi Pathfinder pada tahun 1997, Turbo Codes digunakan untuk mengirim citra foto dari Mars [6].

Tianyu Xiang dari Universitat Politecnica De Catalunya pada 2015 mengkaji efisiensi manajemen mobilitas jaringan LTE femtocell [7]. Alasan utama Xiang mengkaji efisiensi LTE femtocell karena semakin padatnya populasi perangkat seluler yang menyebabkan jaringan mengalami kongesi . Maka femtocell ini dapat membantu dalam mengembangkan algoritma baru menggantikan yang konvensional untuk meningkatkan Quality of Service (QoS) pada jaringan tersebut.

Fatima Furqan dari University of Technology Sidney pada 2015 membahas mengenai QoS in 4G Wireless Network [8]. Dalam tesis ini, Furqan juga melakukan studi parameter yang komprehensif yang mempengaruhi kapasitas dan cakupan jaringan 4G. Studi parameter yang komprehensif berfungsi sebagai dasar untuk merancang QoS efektif untuk distribusi layanan yang dinamis dan beragam. Hasilnya sangat baik bagi operator jaringan yang akan membuat pengeluaran secara minimal.

Prassetia M. dari Universitas Lampung pada tahun 2015 membahas mengenai Mekanisme Carrier Aggregation pada jaringan 4G LTE-Advance [9]. Pengujian dilakukan untuk melihat performa dari teknik Carrier Aggregation dan membandingkannya dengan

(20)

teknik non-carrier Aggregation pada frekuensi primer 900MHz dan frekuensi sekunder 1800MHz.

Eko Kuncoro Adiyanto dari Universitas Mercu Buana Jakarta pada 2009 membahas mengenai Perbandingan Performansi Convolutional Code dengan Convolutional Turbo Code [10]. Perbandingan dilakukan pada kurva BER berbanding dengan Eb/No menggunakan parameter yang berbeda-beda seperti modulasi, bit input rate, perpindahan user, dan kanal. Dari hasil yang didapat, memperlihatkan bahwa Convolutional Turbo Code memiliki performansi lebih baik dari Convolutional Code.

Eng. Amr Mohamed Ahmed Mohamed Hussien dari Universitas Kairo pada 2008 membahas mengenai Implementation Of Convolutional Turbo Codes and Timming/Frequency Tracking for Mobile WiMAX [11]. Dalam tesis ini, Hussien menyajikan model simulasi Convolutional Turbo Code yang digunakan dalam WiMAX Mobile IEEE802.16e yang memiliki kinerja lebih baik selama skema pengkodean dengan iterasi yang tinggi. Hussien juga menyajikan implementasi perangkat keras encoder dan decoder Convolutional Turbo Codes dengan teknik yang efisien sehingga menambah kecepatan dibandingkan dengan teknik Convolutional yang ada.

Sina Vafi dari University of Wollongong pada 2005 membahas mengenai On The Design of Turbo Code with Convolutional Interleavers [12]. Tesis ini terkait dengan penerapan Convolutional Interleavers yang merupakan Interleavers non-block paling populer untuk Turbo Codes. Convolutional Interleavers sebagai Interleavers deterministik yang baik dan yang dapat melakukan hal yang sama atau bahkan lebih baik daripada interleavers deterministik dan acak sebelumnya.

Beberapa artikel di atas menyajikan kinerja sistem telekomunikasi menggunakan Turbo Codes dengan data umum. Skripsi ini membahas mengenai kinerja transmisi data menggunakan Turbo Codes. Secara khusus, penelitian ini membahas kinerja sistem komunikasi 4G-LTE menggunakan data suhu badan penderita demam berdarah.

1.2.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. menghasilkan program simulasi pengiriman data suhu badan penderita demam berdarah.

(21)

Manfaat dari adanya penelitian ini diharapkan dapat:

1. membantu akses pasien ke pusat kesehatan rujukan yang terdekat.

2. Membantu dokter menyatakan bahwa pasien positif menderita DBD dan mendapatkan pertolongan pertama.

3. Membantu dokter dalam penyeleksian pasien yang harus dirawat di rumah sakit atau yang hanya menjalani rawat jalan di rumah.

1.3.

Batasan Masalah

Batasan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian dilakukan dalam lingkungan jaringan Komunikasi 4G-LTE.

b. Metode penyandian yang digunakan dalam error control coding dalam skripsi ini adalah Turbo Codes.

c. Encoder Turbo Codes yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan code rate 1/3 dan menggunakan Turbo Interleaver.

d. Model kanal yang dipilih dalam saluran transmisi kali ini adalah Additive White Gausian Noise.

e. Data masukan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ASCII untuk validasi awal dan pola suhu badan penderita demam berdarah.

f. Penelitian dilakukan dengan simulasi komputer menggunakan software Matlab.

1.4.

Metodologi Penelitian

Metode yang dilakukan untuk penulisan ini adalah:

a. Mengumpulkan referensi dari website, jurnal-jurnal, dan buku-buku.

b. Perancangan berupa simulasi software. Tahap ini bertujuan untuk melihat bentuk dalam permodelan yang optimal dan efisien dari sistem LTE yang telah ada.

c. Proses pengambilan data. Teknik yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini dengan cara pola suhu badan penderita demam berdarah yang diambil dari World Health Organization dalam bentuk desimal diubah menjadi biner agar dapat diolah dalam simulasi software.

d. Pengujian program simulasi. Program simulasi akan diujikan dengan mencoba memasukkan data kecil atau yang berjumlah sedikit sebagai titik acuan awal untuk melihat simulasi program yang dibuat. Kemudian hasil program simulasi akan dibandingkan untuk melihat kesesuaian data awal dengan akhir.

(22)

e. Analisa dan kesimpulan hasil percobaan simulasi. Analisa dilakukan dengan melihat kerja dari sistem dengan mengirimkan data pola suhu badan penderita demam berdarah dalam bentuk biner dan dapat diterima kembali menjadi data awal, dengan mengubah-ubah SNR menjadi beberapa tahapan yakni 0.1 hingga 10 sehingga dapat menghitung nilai Bit Error Rate (BER) untuk simulasi sistem transmisi pada software MATLAB. Kesimpulan hasil percobaan dilakukan untuk mengetahui kinerja transmisi data dengan melihat BER pada pengiriman data suhu badan penderita demam berdarah

(23)

6

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Channel Coding

Channel Coding mengacu pada transformasi sinyal yang dirancang untuk meningkatkan kinerja komunikasi dengan meningkatkan ketahanan dari berbagai gangguan saluran, seperti kebisingan, gangguan, dan pemudaran [13]. Channel Coding dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu waveform coding (penyandian gelombang) dan structured sequences (urutan terstruktur). Penyandian gelombang dapat mengubah gelombang menjadi lebih baik, sehingga deteksi kesalahan menjadi lebih baik. Urutan terstruktur membuat urutan data menjadi sebuah urutan yang lebih baik yang memiliki bit paritas.

Bit paritas dapat digunakan sebagai deteksi dan koreksi suatu kesalahan yang ada. Channel Coding memiliki prosedur pengkodean yang berbentuk sinyal kode dari suatu bentuk gelombang atau urutan terstruktur yang lebih baik daripada yang tidak dikodekan sebelumnya.

2.1.1. Jenis Kontrol Kesalahan

Kesalahan pada bit dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga Channel Coding dapat mengendalikan kesalahan yang ada. Ada dua jenis kontrol kesalahan, jenis pertama adalah Error Detections and Retransmission yang menggunakan bit paritas (atau menambahkan bit pada data) untuk mendeteksi bahwa bit yang muncul terdapat kesalahan atau tidak. Terminal penerima tidak akan memperbaiki kesalahan tersebut bila ada, namun meminta agar pemancar mentrasmisikan ulang data tersebut. Jenis kedua adalah Forward Error Correction (FEC) yang hanya membutuhkan link satu arah saja, karena bit paritas dapat digunakan untuk mengoreksi dan mendeteksi kesalahan yang ada. Walaupun tidak semua pola kesalahan dapat diperbaiki, koreksi kesalahan hanya diklasifikasikan menurut kemampuan pengoreksi saja.

2.1.2.

Forward Error Correction

Forward Error Correction (FEC) digunakan untuk meningkatkan suatu efisiensi dari sistem komunikasi nirkabel [14]. Pada sisi transmitter, encoder FEC menambahkan

(24)

bit paritas. Kemudian pada receiver, decoder FEC memanfaatkan bit paritas tersebut untuk mengoreksi data yang memiliki kesalahan. Beberapa keunggulan decoder FEC antara lain decoder FEC tidak dapat menoleransi kesalahan yang terjadi pada data sehingga kemungkinan kesalahan yang ada kecil. Sistem pengkodean mampu beroperasi dengan daya pancar yang rendah, mentransmisikan data dengan jarak yang lebih jauh, menoleransi lebih banyak interferensi, menggunakan antena yang lebih kecil, dan data rate yang dikirim lebih tinggi.

Sebuah encoder FEC mengambil bit k pada satu waktu dan akan menghasilkan sebuah output dari n bit, dengan n > k. Walaupun ada kemungkinannya bahwa 2n adalah urutan dari n bit tersebut, namun hanya sebagian kecil kemungkinannya. Pada artinya 2k akan valid menjadi codewords. Rasio antara k/n akan disebut sebagai Code Rate yang dilambangkan dengan r.

Ada dua jenis laju sandi yang terdapat pada decoder FEC ini. Jenis pertama adalah sandi laju rendah yang ditandai dengan dengan r yang dapat membenarkan kesalahan saluran lebih banyak daripada sandi laju tinggi. Yang kedua adalah sandi laju tinggi, dengan laju sandi yang dapat menghemat bandwidth daripada laju sandi sebelumnya. Jadi pemilihan laju sandi sangat berpengaruh terhadap decoding sandi tersebut .

Ada batas bawah energi yang digunakan untuk mengirimkan 1 bit data. Batas ini disebut Channel Capacity atau Shannon Capacity yang dikemukakan oleh Claude Shannon pada tahun 1948. Penemuannya mengenai kapasitas kanal ini dikenal sebagai Information Theory. Sejak teori ini ada, para insinyur dan matematikawan mulai mencoba membuat kode supaya mencapai kinerja yang mendekati kapasitas Shannon.

2.2. Sandi Turbo

Pada tahun 1993 beberapa peneliti di Perancis berhasil menemukan dan mengembangkan Turbo Codes [3]. Bagi perkembangan dalam dunia coding, Turbo Codes termasuk dalam hasil yang luar biasa, namun hasil tersebut disambut dengan skeptis bagi beberapa orang. Peneliti yang lain juga melakukan riset untuk Turbo Codes ini supaya nantinya hasil yang ditunjukkan dapat lebih baik lagi dan mendapatkan perkembangan yang cukup signifikan pada unjuk kerja Turbo Codes tersebut.

Pada akhir tahun 1990an penemuan mengenai Turbo Codes ini mulai sangat akrab di dunia teknologi, sehingga banyak dari sistem yang mulai mengadopsi penggunaan Turbo Codes [14]. Turbo Codes sendiri telah dipergunakan oleh NASA sebagai alat

(25)

berkomunikasi di antariksa atau di dalam The Consultative Committee of Space Data System (CCSDS). Penyiaran pun juga telah menggunakan Turbo Codes yaitu dalam penyiaran video digital atau sistem Digital Video Broadcasting (DVB-T). Standar telekomunikasi seluler juga telah menerapkan Turbo Codes dengan memasukkannya dalam standar telekomunikasi seluler generasi yang ketiga yakni UMTS dan CDMA2000.

Gambar 2.1. Struktur dasar Turbo Encoder dan Iterative decoder [15].

Dalam teori informasi, seseorang dapat secara ideal mendekati batas Shannon sedekat yang diinginkan dengan menggunakan soft-decision decoding dari sandi blok yang panjang atau sandi konvolusional dengan panjang kendala yang besar [15]. Jika urutan bit yang diterima tidak sesuai, receiver menyatakan ada kesalahan yang terjadi. Jika jumlah kesalahan cukup kecil dan strukturnya kuat, receiver dapat mendeteksi bit yang salah dan merekonstruksi urutan bit. Sandi koreksi kesalahan yang kuat memiliki dua karakteristik utama, yaitu encoder menerapkan struktur yang memaksimalkan jarak antara dua urutan bit yang valid dan decoder menggunakan semua informasi yang tersedia di ujung penerima termasuk bit paritas dan transmisi yang sebelumnya tidak berhasil.

Perbedaan signifikan pertama antara Turbo Codes dan Convolutional Codes adalah penggunaan encoder berstruktur rekursif. Struktur rekursif itu sistematis, yaitu, bit input muncul secara langsung sebagai bagian dari bit stream yang dikodekan. Convolutional codes yang khas menggunakan encoder berstruktur non-rekursif. Dengan mengumpan salah satu output kembali ke input, struktur pengkodean rekursif diperoleh. Oleh karena itu, struktur rekursif memungkinkan kombinasi dua sandi untuk membangun sandi yang

11 Turbo Interleaver Data Masukan Interleaver Data Keluaran Kanal AWGN Convolutional Encoder 2 Decoder 1 Modulasi Decoder 2 De-Interleaver Convolutional Encoder 1 Interleaver

(26)

lebih kuat. Struktur rekursif berinteraksi dengan interleaver untuk memberi beberapa karakteristik kinerja.

Pada Convolutional Codes, urutan bit biasanya memiliki bit paritas. Ini menginisialisasi keadaan encoder ke semua nol pada akhir urutan bit. Dalam Turbo Codes, ini memperlihatkan bahwa urutan bit yang valid tidak dapat berisi satu saja. Karena pengkodean adalah proses linier, ini berarti bahwa urutan masukan yang valid harus berbeda dari urutan masukan lain.

Encoder turbo mempunyai bagian interleaver di dalamnya. Pada decoder pertama, keduanya terpisah jauh pada input decoder kedua. Akibatnya, output decoder kedua berbeda dari keluaran yang benar dalam posisi bit.

Prinsip dasar Turbo Codes adalah dapat bekerja pada SNR rendah. Urutan informasi yang salah untuk satu decoder kemungkinan akan ditolak oleh decoder lainnya. Karena interleaver bersifat acak, ada beberapa pola kesalahan bagi kedua decoder tersebut. Salah satu karakteristik Turbo Codes yang paling menarik adalah sandi dapat bekerja untuk lebih dari satu sandi saja . Sebenarnya, ini adalah kombinasi dari dua sandi yang bekerja sama untuk mencapai hasil. Tidak dapat dilakukan hanya menggunakan satu sandi saja. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1, kode turbo terbentuk dari rangkaian paralel dua penyusun konstituen yang dipisahkan oleh interleaver.

Setiap encoder penyusun dapat berupa sandi FEC yang digunakan untuk komunikasi data konvensional. Namun, dalam praktiknya, encoder penyusun adalah encoder konvolusi yang sama. Seperti pada Gambar 2.1, Turbo Codes terdiri dari dua encoder penyusun identik. Aliran data input dan output paritas dari dua encoder paralel kemudian disambung menjadi satu Turbo Codes tunggal. Interleaver adalah komponen penting dari Turbo Codes. Ini adalah blok fungsional sederhana yang mengatur ulang urutan bit data dengan cara yang ditentukan, namun tidak beraturan. Meskipun set bit data akan sama ada pada output interleaver, urutan bit-bit ini telah diubah.

.

2.3.

Interleaver

Teknik pengkodean untuk saluran dengan memori memang sudah dikembangkan, namun masalah terbesar dari pengkodean tersebut adalah sulitnya mendapatkan keakuratan dari pengiriman sandi dari saluran tersebut [13]. Teknik yang mengatur durasi dan rentang memori dari saluran, yaitu time-diversity atau interleaving. Interleaver mengacak simbol sandi dengan rentang panjang blok (untuk sandi blok) atau constraint lengths (untuk sandi

(27)

konvolusi). Rentang yang dibutuhkan ditentukan pada saat pengiriman. Rincian pola redistribusi bit harus diketahui oleh penerima agar arus simbol disisipkan sebelum didekodekan.

Gambar 2.2. (a) Contoh original uninterleave codewords. (b) interleave code symbol [13].

Gambar 2.2 menunjukkan proses interleaving yang sederhana menggunakan Uninterleaved codeword, dari A sampai G. Setiap codeword terdiri dari tujuh simbol sandi. Diangap memiliki kemampuan mengoreksi kesalahan tunggal dalam setiap urutan tujuh simbol. Jika rentang saluran adalah satu codeword dalam setiap durasi, maka setiap tujuh simbol dalam satu rentang waktu bisa merusak informasi yang terdapat dalam satu atau dua codewords. Gambar 2.2 (b) adalah hasil dari proses interleaving codewords pada Gambar 2.2 (a).

Artinya, setiap simbol sandi dari masing-masing codeword dipisahkan dari sebelahnya yang telah dipisahkan oleh rentang waktu tujuh simbol. Data hasil interleaving kemudian digunakan untuk memodulasi gelombang yang ditransmisikan melalui saluran. Kemudian sandi diterjemahkan. Karena setiap codewords memiliki capability untuk mengoreksi kesalahan tunggal.

Pada Long Term Evolution (LTE) decoding membutuhkan kecepetan di atas 100 Mbps [16]. Pada TurboInterleaver LTE proses decoding tidak sesuai dengan kecepatan di atas. Pilihan solusi untuk mengatasi kecepatan data tersebut, yaitu Almost Regular Permutation (ARP) dan Quadratic Polynomial Permutation (QPP). QPP banyak digunakan pada teknologi komunikasi LTE.

(28)

2.3.1.

Almost Regular Permutation

Dapat disebut juga Almost Regular Circular Permutation (ARCP), Almost Regular Permutation (ARP), atau Dithered Relatively Prime Permutations (DRP) [17]. ARCP, ARP, dan DRP tidak menyimpang terlalu jauh dari regular permutations, hanya disesuaikan dengan pola kesalahan sandi sederhana dan untuk memberikan beberapa gangguan namun tetap terkontrol untuk melawan banyak kesalahan dari sandi. Gambar 2.3 memberi contoh dari kelainan kecil pada saat transmisi. Sebelum Circular Regular Permutation dilakukan, bit tersebut mengalami permutasi local dahulu. Permutasi ini dilakukan dalam kelompok bit Cycle Writing (CW). CW adalah pembagi panjang bit k. Begitu juga dengan Cycle Reading (CR) permutasi dilakukan sebelum bit keluar sebagai output.

Gambar 2.3. Contoh DRP Permutasi [17]

Cara lain untuk mengganggu regular permutation adalah dengan cara yang terkendali ditunjukkan pada Gambar 2.4. Sepotong informasi (bit atau simbol) ditempatkan di setiap baris dan kolom yang saling silang.Dengan Regular permutation, data ini dapat menghafal baris demi baris dan kolom demi kolom.

(29)

Gambar 2.4. Contoh Almost Regular Permutation (ARP) [17].

Persamaan ARP dapat dituliskan sebagai berikut:

(2.1)

dengan:

adalah indeks sekuensial dari posisi bit setelah interleaving Π(j) adalah indeks bit sebelum interleaving sesuai dengan posisi i

K adalah ukuran blok informasi dalam bit i0 adalah bilangan bulat yang relatif terhadap k

Pj adalah offset konstan

Q(j) adalah vector dengan panjang C

dan C adalah bilangan kecil (misalnya, 4, 8) atau disebut panjang siklus. Jika:

(2.2)

dengan:

A(j) dan B(j) adalah vektor masing-masing panjang C dan diterapkan secara berkala untuk .

2.3.2.

Quadratic Polynomial Permutation

(QPP)

Pembahasan mengenai Quadratic Polynomial Permutation (QPP) memerlukan pembahasan bentuk polynomial secara umum terlebih dahulu [17]. Untuk mengetahui polynomial itu sendiri sudah sesuai dengan Polynomial Permutation pada bilangan dengan modulo N, ZN, maka N terlebih dahulu diberi masukan dengan nilai 2. Sehingga persamaan suatu polynomial akan menjadi sebagai berikut:

(30)

(2.3) dengan:

koefisien a0, a1, a2,…, am dan m adalah bilangan bulat non negatif.

Persamaan polynomial dapat dikatakan Permutation polynomial atas ZN saat f(x)={0, 1, 2, 3,…., N-1}. Modulo N cukup untuk koefisien-koefisien a0, a1, a2,…, am yang berada pada ZN. Interleaver berbasis QPP dengan invers kuadrat sangat baik walaupun dengan jangka waktu dan jarak yang minimum dibandingkan dengan kelas interleaver berbasis QPP tanpa invers kuadrat.

2.4. Turbo

Encoder

dan

Decoder

Cara kerja Turbo encoder dan decoder adalah sebagai berikut. Bit input biner {0, 1} diwakili oleh tingkat bipolar {+1, -1} dan dilanjutkan ke variabel d, yang mengambil nilai d = +1 dan d = -1 [17]. Untuk kanal AWGN, fungsi kepadatan probabilitas bersyarat f (x | d = -1) dan f (x | d = +1) disebut sebagai fungsi likelihood. Kriteria hard decision yang umum dikenal sebagai Map-Likelihood, memilih simbol dk = +1 atau dk = -1 bergantung pada titik intersep dari nilai sinyal yang diterima xk dan fungsi kepadatan probabilitas bersyarat di atas menggunakan ambang batas tetap λ (titik keputusan). Dengan demikian, dk = +1 jika xk > λ, jika tidak, maka dk = -1.

Aturan keputusan yang lain, dikenal sebagai Maximum a Posteriory Probability (MAP) memperhitungkan probabilitas posteriori f (d = +1 | x) dan f (d = -1 | x) untuk membangun hipotesis H1 dan H2 sebagai berikut:

(2.4) Dengan:

H1 (d = +1), jika f (d = -1 | x) > f (d = +1 | x); Jika tidak, maka H2 (d = -1).

Dengan menggunakan Baye’s Theorem, probabilitas posteriori di atas dapat diganti dengan ekspresi ekuivalennya, menjadi sebagai berikut:

(2.5) Uji rasio likelihood adalah sebagai berikut:

(31)

(2.6) Jika bit input independen dan identik dengan variabel acak, persamaan di atas disederhanakan menjadi:

(2.7) Dengan mengambil logaritma rasio kemungkinan di atas, logaritma rasio tersebut dikenal sebagai Log-Likelihood Ratio (LLR), yang merupakan bilangan real atau nilai yang mewakili keluaran soft-decision yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.8) di mana L (x | d) adalah LLR statistik uji x yang diperoleh melalui pengukuran output saluran x di mana d = +1 atau d = -1 mungkin telah dikirim, dan L (d) menunjukkan LLR apriori dari bit data d seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Pengenalan sebuah decoder akan memperbaiki keandalan proses pengambilan keputusan di atas. Untuk kode yang sistematis, dapat ditunjukkan bahwa ekspresi LLR (soft output) pada keluaran decoder

dapat ditulis sebagai dengan Linput = (d).

dari detektor (atau input ke decoder), dan Le = (d) mewakili informasi tambahan yang diperoleh dari proses decoding.

Gambar 2.5. Ilustrasi dari soft-input atau soft-output decoder dari Sandi Turbo. [15] Urutan output dari decoder terdiri dari nilai-nilai yang mewakili bit data dan paritas. Dengan demikian, keluaran dekoder LLR dapat didekomposisi menjadi komponen data yang terkait dengan pengukuran dan komponen ekstrinsik yang ditunjukkan oleh kontribusi decoder karena paritas. Keluaran komponen Soft-decisionL (d) adalah bilangan

(32)

real yang memberikan keputusan tersebut. Tanda dari parameter output L (d) menunjukkan Hard-decision, yaitu, untuk nilai positif dari keluaran L(d), menjadi d = +1 dan untuk nilai negatif dari keluaran L (d), menjadi d = -1. Besarnya output L (d) menunjukkan reliabilitas. Turbo decoding bergantung pada pertukaran informasi probabilistik antara dua decoder soft-input soft-output yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.6. Diagram struktur encoderTurbo Codes

Gambar 2.6 menunjukkan struktur encoder yang terdapat pada Turbo Codes. Encoder Turbo Codes menggunakan dua encoder Recursive Systematic Convolutional (RSC) yang terhubung secara parallel dengan Interleaver. Interleaver Turbo mendahului encoder RSC yang kedua, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6. Generator untuk encoder diatas adalah

G0 = 133oct = Xk

G1 = 171oct = Zk

(33)

Hasil keluaran dari Turbo Encoder di atas adalah d0k = Xk

d1k = Zk

d2k = Z‟k

Untuk k = 0, 1,2,..., K-1

Masukan bit ke enkoder turbo dinotasikan dengan c0, c1, c2, c3, ..., cK−1 dan output bit dari yang pertama dan kedua 8-state konstituen enkoder dilambangkan masing-masing dengan z0, z1, z2, z3, ..., zK−1 dan z'0, z'1, z'2, z'3, ..., Z‟k−1. Hasil keluaran bit dari interleaver internal sandi turbo dinotasikan dengan c'k0, c'k1, ..., C′k −1, dan bit-bit ini akan menjadi input ke enkoder penyusun 8-state konstituen kedua.

Tiga digit biner pertama merupakan klasifikasi dalam masukan awal, yakni masukan langsung, penyandi 1, dan penyandi 2. Hasil keluaran dari Xk masukan data biner asli.

Untuk Zk adalah hasil keluaran dari Xk+ d1k, d1k+1, d1k+2 = Zk+1, d1k+2 Penghentian untuk

menyandikan data pada penyandi pertama terjadi ketika semua data telah selesai disandikan oleh penyandi satu dan sisa dari 3 bit terakhir menjadi umpan untuk memulai penyandi kedua menyandikan data. Hasil untuk Z’k didapatkan dari 3digit biner akhir yang

diawali dengan 0, Zk+0 = d2k+1, Xk+1, d2k+2. Hasil keluaran dari X’k adalah 3 bit terakhir

dari Z’k dan menjadi hasil keluaran terakhir dari sistem encoder turbo codes.

Gambar 2.7. Diagram Struktur Decoder Turbo Codes

Decoder Turbo Codes akan melakukan dengan cara yang berulang, karena proses umpan balik pada decoding. Setiap iterasi terdiri dari dua iterasi setengah, satu iterasi setiap RSC. RSC decoder 1 mulai berjalan selama iterasi setengah yang pertama, dan RSC decoder 2 berjalan selama iterasi pada yang kedua.

(34)

Nilai W (Xk), 1 < k < K adalah informasi ekstrinsik yang dihasilkan oleh decoder 2

dan diperkenalkan pada input dari decoder 1. Sebelum iterasi pertama, W(Xk) diinisialisasi

ke angka nol. Setelah setiap iterasi sudah lengkap, nilai W(Xk) akan diperbarui untuk

mencerminkan kepercayaan mengenai data yang disebarkan dari decoder 2 kembali ke decoder 1. W(Xk) tidak didefinisikan K + 1 < k < K + 3 sehingga akan dianggap sebagai 0.

Keluaran dari decoder 1 adalah LLR Xk, diperoleh dengan:

(2.9)

untuk 1kK

dan untuk K+1 k K+3V1 (Xk) = R(Xk)

Begitu juga untuk decoder 2, yaitu dengan:

(2.10)

untuk 1kK

dan untuk K+1 k K+3V2 (X’k) = R(X’k)

Setelah iterasi selesai, diambil sedikit keputusan pada persamaan 2.19, dimana Xk = 1 dengan Λ2 (Xk) > 0 dan Xk = 0 dengan Λ2 (Xk) < 0.

2.5. Modulasi

Modulasi adalah proses pengubahan suatu parameter data informasi yang akan ditransmisikan ke dalam suatu media seperti kabel, udara, dan serat optik supaya data informasi yang dikirimkan dapat diterima dengan baik [18]. Pada transmisi digital terdapat tiga macam konsep dasar dari modulasi yakni:

a. Amplitude Shift Keying (ASK) b. Frekuensi Shift Keying (FSK) c. Phase Shift Keying (PSK)

Teknik modulasi ASK adalah modulasi dengan cara mengubah amplitudo gelombang sinyal pembawa untuk data digital yang ditumpangkan pada sinyal pembawa. Teknik modulasi FSK adalah modulasi dengan cara mengubah frekuensi untuk gelombang pembawa, namun amplitudonya sama. Teknik modulasi PSK adalah modulasi dengan phasa yang keluarannya berbeda dan jumlahnya terbatas.

Dalam perkembangan teknik modulasi, PSK mempunyai turunan kembali yaitu Binary Phase Shift Keying (BPSK) dan Quadrature Phase Shift Keying (QPSK).

(35)

2.5.1.

Quadrature Phase Shift Keying

(QPSK)

Tujuan dari suatu perancangan sistem komunikasi digital adalah untuk memperoleh probabilitas kesalahan yang rendah, selain itu juga penggunaan kanal lebar bidang (bandwitdh) yang efisien [19]. Bagian dari modulasi bandwidth-conservation atau lebih dikenal dengan Coherent Quadriphase-Shift Keying. QPSK mentransmisikan dua bit secara simultan dalam waktu interval T. Skema modulasi bandwidth-conservation ditunjukkan oleh Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Sistem QPSK

Pada Gambar 2.8 dua bit yang ditransmisikan ditandai sebagai m1 dan m2, yang dipisahkan oleh aliran bit tunggal m dimana m1 adalah aliran bit ganjil dan m2 sebagai bit genap. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 diatas m1 akan naik dan m2 akan turun, sehingga aturan yang diikuti adalah

a. m1 akan memicu sinyal a1 dan m2 memicu sinyal a2 b. m1 = 1 atau 0, a1 = +√E/2 atau -√E/2

c. m2 = 1 atau 0, a2 = +√E/2 atau -√E/2

d. a1 dan a2 akan dikalikan dengan √2/TCos(( 2∏ )fc t ) atau √(2/T)sin ((2∏)f1Ct)

Sehingga hubungan antara m1 dan m2, a1 dan a2 ditunjukkan pada Tabel 2.1 menjadikan simbol baru dalam bentuk Cos 45 = 1/2√2 yang bernilai 0.7071 seperti diatas. Setelah diketahui nilai dari simbol baru tersebut yang membedakan antara bilangan positif dan negatif dari sebuah teknik modulasi multi level menjadi pasangan tegangan real dan

(36)

imajiner dan dapat disebut sebagai bilangan kompleks. Bilangan real adisebut sebagai Inphase(I) dan bagian imajiner disebut Quadrature(Q) yang ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1. Symbol modulasi QPSK Bit Informasi Simbol Modulasi

0,0 0.7071, 0.7071

0,1 0.7071, -0.7071

1,0 -0.7071, 0.7071

1,1 -0.7071, -0.7071

Data Tabel di atas memperlihatkan bilangan real ini adalah bilangan yang dikalikan dengan frekuensi tinggi sebagai carrier dalam bentuk cosinus, sedangkan imajiner adalah bilngan yang dikalikan dengan sinus. Kemudian kedua bilangan ini digabungkan dengan cara ditambahkan dan disebut sebagai simbol baru. Dengan memetakan bit-bit ini menjadi pasangan bilangan akan meningkatkan kecepatan data tergantung dengan berapa banyak bit yang direpresentasikan oleh sebuah simbol baru.

Tabel 2.2. Pemetaan Simbol Inphase dan Quadrature Desimal Bit Informasi Simbol I+Q

0 0,0 1/2√2 + 1/2√2i

1 0,1 1/2√2 - 1/2√2i

2 1,0 -1/2√2 + 1/2√2i

3 1,1 -1/2√2 – 1/2√2i

2.6.

Gaussian Channel

Saluran Gaussian dapat dilihat dari rumus 2.11 dan gambar 2.8 [20]. Ini adalah saluran diskrit pewaktuan dengan output Yi pada waktu i. Persamaan yang umum digunakan sebagai berikut

(2.11)

dengan:

Yi adalah jumlah inputXi dan noiseZi.

Persamaan 2.11 adalah model untuk beberapa saluran komunikasi yang umum, seperti saluran telepon kabel, jaringan nirkabel dan satelit.

(37)

Keterbatasan yang umum pada masukan adalah hambatan energi atau daya. Asumsikan bahwa batasan daya yang digunakan rata-rata. Untuk setiap codeword (x1, x2, ..., xn) yang dikirim melalui saluran, batasan daya yang digunakan rata-rata adalah:

(2.12)

dengan:

n adalah codewords length xi adalah variabel acak

P adalah Power Constraint

Noise aditif di saluran semacam ini disebabkan oleh berbagai macam sebab. Namun, dengan limit theorem.

Gambar 2.9. Gaussian Channel

Asumsikan Transmitter akan memasukkan 1 bit melalui satu saluran. Dengan keterbatasan daya, yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mengirim satu dari dua tingkat, + √P atau -√P. Penerima akan melihat Y yang sesuai untuk diterima dan mencoba memutuskan mana dari dua tingkat yang dikirim. Dengan asumsi bahwa kedua tingkat tersebut sama-sama dapat terjadi (jika ingin mengirim tepat 1 bit informasi). Aturan decoding yang optimal adalah memutuskan bahwa +√P dikirim jika Y > 0 dan memutuskan -√P dikirim jika Y < 0. Probabilitas error dengan skema decoding seperti itu menjadi [24]:

(2.13)

(2.14)

(38)

(2.16) Dengan Φ (x) adalah Cumulative Normal Function

(2.17)

Dengan menggunakan sinyal masukan empat tingkat, saluran Gaussian dapat diubah menjadi empat saluran input secara diskrit. Dalam beberapa skema modulasi praktis, gagasan serupa digunakan untuk mengubah saluran secara kontinyu menjadi saluran diskrit. Keuntungan utama dari saluran diskrit adalah kemudahan pemrosesan sinyal keluaran untuk koreksi kesalahan, namun beberapa informasi akan hilang dalam kuantisasi

2.6.1. Distribusi Gaussian

Distribusi Normal bisa memberikan gambaran yang jelas dan nyata untuk perindustrian dan penelitian [21]. Galat dalam pengukuran-pengukuran ilmiah juga dapat diperbaiki dengan baik oleh distribusi normal ini. Distribusi normal juga dapat disebut sebagai distribusi Gauss sebagai penghormatan untuk Karl Friedrich Gauss sebagai ilmuwan yang juga menemukan persamaan sewaktu meneliti error dalam pengukuran. Secara karakteristik, variabel acak kontinyu berbeda dengan variabel acak diskrit. Variabel acak kontinyu dapat mencakup keseluruhan bilangan, baik utuh dan pecahan.

Variabel acak secara kontinyu dapat sering disebut sebagai fungsi kepadatan, karena tidak ada ruang kosong di antara dua nilai tersebut. Fungsi kepadatan adalah dasar untuk mencari probabilitas di antara dua variabel nilai. Variabel acak kontinyu x yang distribusinya berbentuk lonceng disebut juga sebagai variabel acak normal. Fungsi kepadatan variabel acak normal x dengan rataan µ dan σ2 adalah [21]:

(2.18)

dengan:

µ adalah Parameter untuk rata-rata distribusi

e adalah Konstanta matematika yang nilainya mendekati 2.718 π adalah Konstanta matematika yang nilainya mendekati 3.1415 σ2

adalah Parameter untuk variansi pada distribusi

Nilai x pada f(x) mempunyai batas -∞ < x < ∞, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel acak x adalah distribusi normal.

(39)

Gambar 2.10. Bentuk Kurva Normal

Setiap variabel acak normal x dapat ditransformasikan menjadi satu variabel baru yang disebut variabel acak normal z dengan rataan nol dan variansi 1. Variabel acak normal z tersebut dapat dityuliskan sebagai berikut:

(2.19)

Sehingga bila x bernilai antara x = x1 dan x = x2 maka variabel acak z akan bernilai

antara z1 = dan z2 =

.

Persamaan 2.14 dapat dituliskan kembali sebagai berikut [21]:

(2.20)

(40)

2.6.2.

Additive White Gaussian Noise

AWGN adalah noise yang ditambahkan dalam setiap kanal transmisi yang ideal [22]. Disebut kanal ideal karena kanal tersebut memiliki bandwidth yang luas dan memiliki respon terhadap semua jenis frekuensi sehingga tidak mempengaruhi bentuk sinyal yang keluar karena permasalahan distorsi. Additive berarti ditambahkan dalam proses pentransmisian suatu sinyal. White Noise berarti frekuensi dari keseluruhan spektralnya sebagai cahaya putih. Gaussian berarti mengikuti pola distribusi Gaussian atau juga dapat disebut dengan distribusi normal.

White noise dapat dituliskan sebagai berikut [25]:

(2.21)

dengan:

N0 adalah daya dari noise f adalah frekuensi

Noise yang muncul sesuai dengan distribusi gaussian dengan rataan nol dan variansi yang dimiliki tergantung dari kerapatan daya dari noise tersebut. Nilai dari variansi itu dapat dituliskan sebagai berikut [24]:

(2.22)

Kanal AWGN dapat dikatakan sebagai media untuk transmisi sinyal dalam sistem telekomunikasi. Output pada kanal AWGN adalah penjumlahan dari input dan noise, seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.

(41)

2.7. Bit Error Rate

Kesalahan bit pasti akan muncul pada sistem transmisi suatu informasi yang dilakukan dalam sistem telekomunikasi [22]. Ukuran kesalahan pada bit adalah dengan Bit Error Rate (BER). BER dihitung dengan cara membandingkan bit yang keluar setelah pengiriman dengan bit asli atau bit masukan di awal pada saat proses transmisi. Persamaan umum BER tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

(2.23)

2.7.1. BER untuk QPSK

QPSK adalah pengembangan dari BPSK, sehingga BER pada QPSK adalah sama dengan yang ada pada BPSK untuk komponen in-phase dan quadrature [23]. Persamaan BER untuk QPSK adalah sebagai berikut:

(2.24)

dengan:

Ps adalah symbol Probability error untuk QPSK Q adalah variansi output

Persamaan (2.24) dapat disubstitusi sehingga menghasilkan Ps untuk γs sebagai berikut:

(2.25)

γs = 2γb = 2A2

/N0 dapat dituliskan kembali menjadi:

(2.26) dengan menggunakan fakta bahwa jarak minimum antara titik konstelasi adalah dmin = √2A2

, persamaan 2.29 dapat dituliskan sebagai berikut:

(2.27)

2.8. Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah

Demam Berdarah merupakan penyakit yang masih menjadi masalah utama di Indonesia [24]. Demam Berdarah biasanya memang menyebar di daerah dengan iklim

(42)

tropis. Penyebar utama virus Demam Berdarah ini adalah Aedes Aegypti, walaupun pada Kejadian Luar Biasa (KLB) penyebar virus ini juga dikarenakan oleh Aedes Albopictus, Aedes Polynesisensis, dan Aedes Scutellaris. Penderita yang mengalami Demam Berdarah umumnya akan mengalami berbagai rasa ketika sakit. Gambaran klinis yang akan di alami oleh penderita Demam Berdarah meliputi tiga fase, yaitu fase febris, fase kritis, fase pemulihan.

Fase febris adalah fase dimana penderita akan mendadak mengalami demam tinggi, berkisar antara dua hingga tujuh hari masa demam. Dari muka penderita akan berwarna kemerahan, pada tubuh akan mengalami nyeri, dan kepala akan mengalami sakit kepala. Beberapa kasus Demam Berdarah lain kadang ditemukan juga hingga nyeri tenggorokan, mual, dan muntah.

Fase kritis akan dialami penderita pada hari ketiga hingga hari ketujuh dengan tanda suhu tubuh penderita mengalami penurunan suhu badan. Fase ini akan disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma yang berlangsung 24-48 jam. Fase ini terkadang akan mengalami proses syok pada penderita Demam Berdarah.

Fase pemulihan akan terjadi apabila penderita Demam Berdarah telah melewati fase kritis dan pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan 48-72 jam setelah fase kritis.

Gambar 2.13. Pola Suhu Badan Penderita Demam Berdarah

Patogenesis infeksi Demam Berdarah belum sepenuhnya dipahami, berbagai teori dipelajari agar mendapatkan obat, timbulnya mediator penyulut demam dapat merangsang pusat termoregulator di hipotalamus sehingga penderitanya demam. Salah satu keadaan yang terjadi adalah kenaikan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma sehingga dapat menyebabkan penderita jatuh ke keadaan syok.

(43)

World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan pedoman baru tahun 2009 untuk mengatasi supaya Demam Berdarah tidak cepat menyebar di lingkungan. Sehingga perlu adanya sosialisasi supaya pedoman tersebut dapat memberikan efek baik bagi lingkungan dan kesehatan.

(44)

27

BAB III

PERANCANGAN SISTEM

3.1. Gambaran Sistem

Proses perancangan sistem untuk mengetahui kinerja transmisi data suhu badan penderita demam berdarah melalui beberapa proses, yaitu encoding data suhu badan menjadi biner, penambahan AWGN, decoding biner menjadi data suhu badan kembali. Perancangan sistem ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Perancangan Sistem Kinerja Transmisi Data pada MATLAB

Gambar 3.1 menunjukkan proses yang akan dilakukan pada sistem untuk melihat kinerja transmisi data dengan menggunakan data masukan berupa suhu badan penderita demam berdarah. Simulasi kinerja transmisi data suhu badan penderita demam berdarah menggunakan software MATLAB. Gambar 3.1 memperlihatkan fungsi utama pada sistem, yaitu interleaving, penyandian, modulasi dan pengawasandi. Data masukan berupa suhu badan yang akan dimasukkan ke dalam sistem diubah dahulu menjadi biner, sehingga dapat disandikan melalui proses penyandian. Hasil penyandian akan diteruskan melewati Modulasi agar bisa masuk dalam kanal AWGN.

Setelah melewati kanal AWGN, sandi dikembalikan melalui De-Modulasi kembali untuk dilakukan proses pengawasandian. Sandi akan menjadi data keluaran, namun setelah melewati proses De-Interleaving terlebih dahulu. Data keluaran inilah yang akan menjadi hasil akhir atas sistem kinerja transmisi data yang menggunakan Turbo Codes pada komunikasi 4G-LTE.

Data Masukan Interleaving Encoder 1 Modulasi

AWGN

De-Modulasi Decoder 1

Data Keluaran De-Interleaving

Bit Error Rate

Encoder 2

LTE Turbo Encoder

Decoder 2

Interleaving

Interleaving LTE Turbo

(45)

3.1.1. Analisis Kebutuhan Sistem

Perancangan sistem yang digunakan untuk mengetahui kinerja transmisi data suhu badan penderita demam berdarah membutuhkan file dalam format “.xls”. File dalam format “.xls” tersebut merupakan data suhu badan penderita demam berdarah yang berbentuk desimal. Data tersebut akan diubah menjadi data biner (data yang terdiri dari angka 0 dan 1) yang dimasukkan secara manual ke dalam perancangan sistem.

3.2. Pembuatan Data Masukan

Pembuatan data masukan bertujuan untuk menentukan jumlah data yang akan ditransmisikan dalam sistem kinerja transmisi data. Data masukan didapatkan dari data suhu badan penderita demam berdarah. Proses pembuatan data masukan ini ditunjukkan pada Syntax program 3.1.

b = de2bi(d,n) (3.1)

dengan:

d = data masukan yang ingin diubah menjadi biner n = jumlah bit dalam kolom yang ingin di buat

Data suhu badan penderita Demam Berdarah yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) berbentuk data kurva. Data kurva tersebut diubah ke dalam bentuk desimal dengan mengambil data secara berkala dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Setelah data dalam bentuk desimal didapatkan, maka data tersebut harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk data biner. Data tersebut akan menjadi masukan untuk sistem kinerja transmisi yang dimasukkan secara manual.

Tabel 3.1. Contoh Pembuatan Data Masukan dengan software Excel

Hari Suhu Badan Biner

36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100

(46)

Hari 1 36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100 36 00100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100 37 10100100

3.3. Perancangan

Encoder Turbo Codes

Pada sistem Turbo Codes, proses selanjutnya adalah melakukan proses Encoding Turbo Codes. Proses perancangan encoder pada Turbo Codes sistem kinerja transmisi menggunakan Code Rate (Cr) = 1/3, Encoder ini adalah Parallel Concenated Convolutional Code (PCCC) dengan 2 encoder 8-state constituent yang bekerja langsung dengan disematkannya interleave didalamnya. Fungsi encoder pada sistem ini adalah mengubah data masukan yang berupa data biner menjadi data sandi. Satu data biner akan dilakukan penyandian menjadi tiga data baru yang meliputi satu data adalah data asli, dua data adalah data paritas. Ditunjukkan pada Syntax 3.2 dan diharapkan mendapatkan hasil kerja yang sesuai.

(47)

3.4. Proses Modulasi

Setelah bit input sudah dapat disandikan oleh encoder, maka proses selanjutnya adalah memodulasi bit-bit yang telah menjadi simbol baru dalam proses modulasi sebelum ditransmisikan ke dalam kanal.Modulasi yang digunakan dalam sistem ini adalah Quadrature Phase Shift Keying (QPSK). Syntax 3.3 menunjukkanProgram modulasi.

out = lteSymbolModulate(in,mod) (3.3) dengan :

in = input, masukan yang akan dimodulasikan

mod = modulasi yang diinginkan, seperti „QPSK‟, „16QAM‟, „64QAM‟

3.5. Perancangan AWGN

Suatu kanal transmisi memiliki noise yang timbul akibat perangkat transmitter dan perangkat receiver. Noise inilah yang disebut dengan AWGN karena noise ini bersifat Additive atau ditambahkan pada sinyal transmisi dengan pola acak dari Gaussian. SNR yang digunakan yaitu dengan lima belas tahapan dengan urutan dari 1 hingga 15. Syntax 3.4 adalah rumus AWGN yang telah ada dalam software MATLAB sehingga langsung dapat digunakan dalam sistem yang akan dibuat.

y = awgn(x,snr,sigpower) (3.4) dengan :

x = input, masukan yang akan diproses AWGN

snr = Signal to Noise Ratio yang diinginkan sigpower = Signal Power dalam dBW

3.6. Proses De-Modulasi

Pengembalian dari proses AWGN menuju De-Modulasi dilakukan dengan syntax De-modulasi seperti Pada syntax 3.5. Dengan menggunakan rumus yang telah adaroses pemindahan ini dilakukan untuk mengembalikan data input dapat di decoding sehingga nantinya di akhir dapat menjadi data output.

out = lteSymbolDemodulate(in,mod) (3.5)

dengan :

in = input, masukan yang akan dilakukan De-Modulasi

(48)

3.7. Proses

Decoding Turbo Codes

Proses Decoding atau Pengawasandian dilakukan supaya data dapat kembali dibaca pada akhir proses transmisi ini. Dua Decoder pada sistem ini menggunakan algoritma Maximum a-posteriori Probability (MAP) dengan masukan yang sama dari model Parallel Concenated Convolutional Code (PCCC). Sehingga di dalam sistem Turbo Encoder ini sudah tersemat Interleave dan De-Interleave yang langsung dapat bekerja dan menghasilkan output yang akan langsung dilanjutkan dalam proses selanjutnya. Fungsi untuk proses Decoding Turbo Codes ditunjukkan dalam Syntax 3.6.

output = lteTurboDecode(input) (3.6)

3.8. Penerjemahan Kembali Data Biner menjadi Desimal

Syntax 3.7 adalah rumus yang digunakan untuk mengubah data biner yang telah menjadi data keluaran. Data biner tersebut diubah bentuknya menjadi data desimal seperti bentuk awal dari data suhu badan penderita demam berdarah. Data biner tersebut diubah menjadi data desimal secara berkala dengan memilah setiap delapan bit.

Out = bi2de(in) (3.7)

3.9. Menghitung BER pada Sistem

Untuk menghitung BER yang diinginkan, dapat dengan menggunakan perhitungan yang akan membantu untuk melihat seberapa besar kesalahan yang ada pada saat penerimaan. Data-data yang dikirimkan dalam bentuk paket akan dapat ditentukan kesalahannya dengan menggunakan BER. BER inilah yang akan melihat nilai kinerja untuk sistem perancangan yang dibuat. Semakin kecil BER, maka perancangan sistem yang dibuat dikatakan berhasil. Pengubahan SNR juga akan mempengaruhi BER pada akhirnya, karena dapat terjadi bahwa signal power lebih tinggi dari noise power yang ada.

Z = mod(b+i ,2) X = sum(z(:)==1) Y = size(b,2)

(49)

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas mengenai langkah yang digunakan untuk menjalankan Kinerja Transmisi Data Suhu Badan Penderita Demam Berdarah Menggunakan Turbo Codes Pada Sistem Komunikasi 4G-LTE dengan simulasi yang dijalankan pada Software MATLAB baik masukan secara perseorangan dan sekumpulan data yang telah dibuat, Syntax program yang digunakan, dan membahas mengenai data hasil pengujian simulasi.

Spesifikasi laptop yang digunakan untuk menjalankan simulasi program Kinerja Transmisi Data Suhu Badan Penderita Demam Berdarah Menggunakan Turbo Codes Pada Sistem Komunikasi 4G-LTE adalah sebagai berikut:

1. Merk dan Tipe Laptop : Asus TP550-L Series

2. Processor : Intel(R) Core(TM) i3-4030U CPU@1.90GHz

3. Memory : 4096MB RAM

4. Versi MATLAB : R2017b

5. Sistem Operasi : Windows 8 (64bit)

4.1. Penjelasan dan Validasi Data dari setiap

Syntax

program

4.1.1. Pembuatan Data Masukan

Data masukan yang dibuat dalam program ini terdiri menjadi dua bagian, yakni data masukan yang dimasukkan sendiri oleh user dan sekumpulan data yang dibuat menyerupai pola suhu badan demam berdarah. Pembuatan data masukan dari user telah diberi range antara tiga puluh enam hingga empat puluh, dimana itu mewakili suhu badan manusia normal hingga mengalami demam tinggi. Sedangkan pembuatan data masukan yang sudah menjadi sekumpulan dibuat untuk mewakili pola suhu badan manusia yang mengalami demam berdarah dengan range yang sama seperti data masukan user.

program yang dijalankan pada software MATLAB seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.1

Gambar

Gambar 2.3. Contoh DRP Permutasi [17]
Gambar 2.5. Ilustrasi dari soft-input atau soft-output decoder dari Sandi Turbo. [15]  Urutan output dari decoder terdiri dari nilai-nilai yang mewakili bit data dan paritas
Gambar 2.7. Diagram Struktur Decoder Turbo Codes
Gambar 2.8. Sistem QPSK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini menggunakan algoritma naïve bayes disertai information gain sebagai metode seleksi fitur dan metode adaboost sebagai teknik untuk memperbaiki tingkat

Dari data hasil penelitian yang telah dianalisis, kemampuan memahami peribahasa pada jenis ungkapan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Membawa dokumen asli atau fotocopy yang dilegalisir untuk semua berkas sesuai dengan Dokumen Penawaran dan Isian Kualifikasi Saudara. Menyerahkan berkas-berkas asli penawaran dan

Conclusions: The finding that women and men with major depressive disorder demonstrated a similar therapeutic outcome after placebo administration suggests that gender is not

Relationship Marketing pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Palu yang terdiri dari Kepercayaan, Komitmen, Komunikasi, dan Penanganan Konflik secara umum

Untuk mengamati pengaruh konsentrasi glycerine yang digunakan terhadap karakteristik calcium glyceroxide yang akan dihasilkan sebagaimana tujuan dari penelitian ini,

Bagi akademis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penulis/peneliti selanjutnya mengenai ada atau tidaknya pengaruh, besaran hubungan dari

ISO 9000 ialah satu set piawaian antarabangsa bertulis yang tetap dan menyenaraikan elemen-elemen asas yang perlu ada dalam sistem kualiti sesebuah organisasi bagi