• Tidak ada hasil yang ditemukan

54680 ID kios pasar sebagai objek jaminan kredit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "54680 ID kios pasar sebagai objek jaminan kredit"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

252 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00902.6 Nurul Masfuhah

Kantor Notaris PPAT Suie Ethika, SH. Jl. KH. Wahid Hasyim 76 Jombang Email: nurulmasfuhah@gmail.com

Abstract

This journal aims to identify and analyze the market stalls as the object of credit guarantees. This research is a normative juridical research (Normative Legal Research) by using the conceptual legislation approach, assisted with legal materials that will be described, and analyzed in relation to one another. Guarantee intimately is related to loans. Good guarantee should be able to provide a sense of security, provide legal certainty and to provide legal protection for creditors. There are various forms of guarantees given debtors, including in the form of a market stall. Market stall in law collateral material can not be categorized as immovable, for to be categorized as “things” it has not met the elements contained in Book II of the Civil Code and market stalls only permits the use of the place alone where they do not deliver relations material, therefore there is no direct relationship between traders as the object (the market stalls are used). So that when the market stalls used as a guarantee of legal protection for the loan, the creditor itself is weak because the market stall can not be bound by the guarantee institution in Indonesia.

Key words:creditor,collateral, market stall

Abstrak

Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kios pasar sebagai objek jaminan kredit. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif (Normatif Legal Research) dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang bersifat konseptual. Kemudian dibantu dengan bahan-bahan hukum yang akan diuraikan, dideskripsikan, dan dianalisis keterkaitan satu sama lain. Jaminan berkaitan erat sekali dengan pemberian kredit. Jaminan yang baik haruslah yang dapat memberikan rasa aman, memberikan kepastian hukum dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi kreditor. Ada berbagai macam bentuk jaminan yang diberikan debitor, diantaranya berupa kios pasar. Kios pasar di dalam hukum jaminan kebendaan tidak bisa dikategorikan sebagai benda tidak bergerak karena kios pasar untuk dapat dikategorikan sebagai “benda” belum memenuhi unsur yang ada dalam Buku II KUHPerdata, yang mana kios pasar hanya merupakan ijin pemakaian tempat semata dimana tidak melahirkan hubungan kebendaan, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara pedagang dengan bendanya (kios pasar yang dipakainya). Sehingga apabila kios pasar dijadikan suatu jaminan kredit maka perlindungan hukum untuk kreditor itu sendiri lemah karena kios pasar tidak dapat diikat dengan lembaga penjamin yang ada di Indonesia.

(2)

Latar Belakang

Jaminan mempunyai peranan yang sangat

penting dalam kegiatan perkreditan di bank

karena pemberian pinjaman modal dari

lembaga keuangan (baik bank maupun non

bank) mensyaratkan adanya suatu jaminan

yang harus dipenuhi oleh debitor selaku

pencari modal kalau ingin mendapatkan

pinjaman dari lembaga keuangan tersebut. Berkenaan dengan jaminan, hal ini berkaitan erat dengan pemberian kredit.

Karena jaminan merupakan sesuatu yang

diberikan oleh Debitor kepada Kreditor untuk

menimbulkan keyakinan bahwa Debitor

akan memenuhi prestasi atau kewajiban yang timbul dari suatu perikatan, yang mana kewajiban tersebut dapat dinilai dengan

uang sehingga fungsi jaminan dalam hal ini

sangatlah penting.

Bagi Kreditor, jaminan yang baik haruslah yang dapat memberikan rasa aman

dan memberikan kepastian hukum sehingga

kredit yang telah diberikan kepada Debitor

dapat diperoleh tepat pada waktu seperti

yang tertuang dalam perjanjian pokoknya. Sedangkan bagi Debitor, jaminan yang baik adalah suatu bentuk jaminan yang tidak akan

mengganggu jalannya usaha yang mereka

lakukan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata pada Pasal 1131 dan Pasal 1132

serta Pasal 8 UU Perbankan tercantum kata

“jaminan.” Pengertian jaminan ini juga

terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tentang

Jaminan Pemberian Kredit tertanggal 28 Pebruari 1991 menyebutkan bahwa, “suatu bentuk keyakinan kreditor atas kesanggupan

Debitor dalam pelunasan kreditnya sesuai

dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian

pokoknya.”

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan, bahwa, “segala suatu kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Ketentuan tersebut, jelaslah merupakan suatu bentuk ketentuan yang

memberikan perlindungan kepada Kreditor

dalam perjanjian kredit. Hal mana juga

lebih detail di jelaskan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan

bersama-sama bagi kreditor atau yang

mengutangkan kepadanya; pendapatan

penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada

alasan-alasan yang sah untuk di dahulukan.”

Ketentuan yang termuat dalam

KUHPerdata tersebut diatas merupakan

suatu bentuk jaminan umum yang lahir dari

undang-undang dimana ketentuan tersebut

berlaku untuk semua kreditor. Kreditor disini

mempunyai kedudukan antara kreditor yang

satu dengan kreditor yang lain (asas paritas

(3)

penjualan kekayaan debitor dibagikan secara

seimbang menurut besarnya utang masing-masing kreditor, kecuali kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang tepat dan sah

untuk mendapat pelunasan yang didahulukan.1

Didalam Pasal 8 UU Perbankan, ada dua macam jaminan, yaitu: jaminan pokok yaitu suatu barang, suatu surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang

dananya dibiayai dengan kredit yang diperoleh

debitor pada umumnya berupa seperti

barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dan

dibiayai dengan kredit tersebut dan jaminan

tambahan yaitu kebalikan dari jaminan pokok

yang mana jaminan tersebut tidak berkaitan

langsung dengan objek yang dibiayai oleh

kredit tersebut yang ditambah dengan dengan

agunan.

Saat ini banyak ragam atau macam

jaminan yang diberikan oleh Debitor kepada

Kreditor sehingga pemerintah mengatur hak jaminan dalam undang-undang tersendiri, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang mana sering disebut Undang-undang

Hak Tanggungan. Undang-undang Hak

Tanggungan ini berlaku sebagai pengganti

lembaga jaminan hipotik dan creditverband,

dan untuk sementara ini ketentuan mengenai

gadai masih tetap merujuk pada KUHPerdata.

Pengaturan jaminan selain yang

tertuang dalam Undang-undang tentang Hak

Tanggungan dan KUHPerdata tersebut diatas, terdapat pula undang-undang lain mengenai jaminan, yaitu tentang idusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia

merupakan hak jaminan atas benda bergerak

baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

UU Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditor

lainnya.2

Semakin ramainya roda perekonomian

di sektor mikro yakni pasar tradisional

menimbulkan perputaran uang dan usaha

dalam pasar tradisional turut melaju pesat

dan tidak dapat dipandang sebelah mata.

Fenomena ini yang kemudian dimanfaatkan

oleh dunia perbankan dalam menyalurkan

kreditnya.

Akan tetapi, kendala penyaluran kredit oleh lembaga keuangan perbankan terhadap

pelaku usaha di pasar tradisional adalah

mengenai jaminan. Para pelaku usaha di pasar

tradisional yang menginginkan tambahan

modal usaha tidak semuanya mempunyai

jaminan berupa benda atau barang yang

lembaga penjaminannya telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Tidak jarang

para pelaku usaha atau calon Debitor ini hanya

1 Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

(4)

mempunyai jaminan berupa tempat mereka

berdagang atau berjualan yang mereka sebut

dengan kios pasar.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kios sendiri merupakan kata benda yang

memiliki arti rumah kecil (tempat berjualan buku, koran, dsb).3 Sedangkan pengertian kios

pasar lebih banyak dimuat dalam Peraturan

Daerah tentang Retribusi Pelayanan Pasar di

daerah-daerah seluruh Indonesia.4

Keberadaan kios pasar yang memiliki nilai ekonomis tersebut, dapat diterima oleh Kreditor atau pihak bank sebagai jaminan idusia. Padahal kios pasar yang dimiliki oleh para pedagang adalah milik pemerintah daerah

setempat dan bukan milik pedagang. Akan tetapi, pemerintah daerah setempat memberi ijin kepada para pedagang untuk menempati

kios pasar tersebut untuk berdagang atau

berjualan. Ijin yang diberikan oleh pemerintah

daerah kepada para pedagang itu diwujudkan

dalam bentuk tertulis. Nama ijin tertulis

atas penggunaan kios beraneka ragam dan

tidak ada yang baku. Hal ini dikarenakan

disesuaikan dan merupakan kewenangan

pemerintah daerah dalam memberikan nama

ijin.

Sebagai contoh ada beberapa nama

ijin penggunaan kios pasar pada beberapa

Perda tentang Retribusi Pelayanan Pasar di

Indonesia yakni misalnya Perda Kabupaten

Berau Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 1 Angka

17 menyebut “Kartu Bukti Pedagang yang

selanjutnya disingkat KBP adalah bukti diri

bagi pedagang yang diberi hak penggunaan

kios atau los.” Sedangkan Perda Kabupaten

Bengkayang Nomor 6 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 16 menyebutkan, “Surat Penunjukan Tempat Usaha selanjutnya disingkat SPTU

adalah surat izin yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Daerah atas pemakaian kios/ios dan/atau bangunan darurat milik pemerintah,” serta Perda Kabupaten Jombang Nomor 25

tahun 2010 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar Pasal 1 Angka 20 menyatakan, “Bukti Pemakaian Tempat Usaha (BPTU) adalah

bukti diri yang diberikan kepada pedagang untuk memakai tempat berjualan pada ruko, toko, kios/bedak”. Seperti yang tertera didalam sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah didalam KBP, SPTU, atau BPTU, tersebut juga memuat data-data tentang kios tersebut seperti nama pemilik kios, luas kios, lokasi kios serta jangka waktu berakhirnya

kios tersebut.

Padahal secara teori kios pasar bukanlah

merupakan objek jaminan menurut hukum

kebendaan yang berlaku di Indonesia karena

3 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 442.

4 Misalnya saja pada beberapa Perda tentang Retribusi Pelayanan Pasar mengenai pengertian kios atau kios pasar

sebagai berikut, PerDa Kab. Jombang Nomor 25 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 15, PerDa Kab. Kotawaringin Barat Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 1 Angka 8 dan Perda Kota Bengkulu Nomor 7 Tahun 2013, Pasal 1 Angka 13, “Kios pasar adalah bangunan semi permanen di dalam Pasar yang beratap dan dipisahkan satu dengan yang

lainnya dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit yang dipergunakan untuk usaha

berjualan.” Serta Perda Kab. Berau Nomor 13 Tahun 2011, “Kios adalah lahan dasaran berbentuk bangunan tetap, beratap dan dipisahkan dengan dinding pemisah mulai lantai sampai dengan langit-langit serta dilengkapi

(5)

undang-undang tentang jaminan yang ada

selama ini belum ada yang mengaturnya secara

jelas karena kios pasar hanya merupakan ijin

memakai bangunan saja. Meski demikian

banyak pemerintah daerah di Indonesia yang

memberikan regulasi tentang kios pasar ini

dimana regulasi tersebut menyatakan kios

pasar dapat dipindahtangankan kepada pihak

lain setelah mendapat persetujuan dari Bupati

atau pejabat yang ditunjuk yang mana hal

tersebut adalah pemerintah daerah.

Kreditor, disamping melihat sisi ekonomis dari kios pasar itu sendiri, regulasi pemerintah daerah inilah yang membuat kreditor yakin

bahwa kios pasar dapat di jadikan jaminan

kredit. Meskipun Pedagang mempunyai

ijin berupa surat keterangan hak pemakaian tempat berjualan dalam bentuk KBP, SPTU, BPTU atau jenis ijin penggunaan kios pasar

lainnya dari pemerintah daerah akan tetapi

bukti ini bukan merupakan bukti hak pakai

sebagaimana yang dimaksud dan diatur

dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mana dalam

undang-undang tersebut hak pakainya jelas

menggunakan Lembaga jaminan berupa Hak

Tanggungan.

Menurut Pasal 41 Ayat 1 UUPA

menyebutkan bahwa “Hak Pakai adalah hak

untuk menggunakan dan/atau memungut hasil

dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan

dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat

yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan

ketentuan-ketentuan undang-undang ini.”

Maka sangat jelas hak pakai yang dimaksud

dalam pasal diatas adalah hak pakai atas tanah.

Alasan mendasar permasalahan ini adalah

kekaburan dan ketidakpastian mengenai

pengikatan jaminan berupa kios pasar

dikarenakan ketidak jelasan status hak yang

melekat pada kios pasar itu sendiri. Kekaburan

norma mengakibatkan tidak adanya kepastian

hukum.

Dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun

Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan

berlaku maka hal-hal yang hendak diatur oleh

peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu

kekaburan norma dapat terjadi karena hal-hal

atau keadaan yang terjadi telah diatur dalam

suatu peraturan perundang-undangan namun

tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya

kekaburan norma terhadap hal-hal yang telah

atau belum diatur tersebut dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)

atau ketidakpastian peraturan

perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh

lagi akan berakibat pada kekacauan hukum

(6)

tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan

tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan

kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat

mengenai aturan apa yang harus dipakai atau

diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak

ada kepastian aturan yang diterapkan untuk

mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian

Yuridis Normatif (Normatif Legal Research)

yang mempunyai suatu pendekatan dengan

mengkaji implementasi keterangan hukum

positif (peraturan perundang-undangan)

antara pasal yang satu dengan pasal yang lain.

“Penelitian hukum normatif ialah penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, penelitian hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.”5

Penelitian yuridis normatif dilakukan

untuk menjelaskan dan menganalisis

permasalahan yang berhubungan dengan kios

pasar sebagai objek jaminan.

Metode pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan

UU (Statute Approach) dengan menelaah

semua UU dan regulasi yang berkaitan

dengan isu hukum dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) yang beranjak dari

pandangan dan doktrin yang berkembang di

dalam ilmu hukum untuk menemukan ide

yang melahirkan konsep-konsep hukum.

Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah semua bahan hukum terkumpul, akan diolah dan dianalisa dengan menghubungkan antara teori dengan hasil penelitian, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode interpretasi restriktif, yaitu suatu metode penafsiran yang memberikan batas-batas jelas dalam

memaknai suatu frase yang terdapat dalam

pasal maupun dalam penjelasan

perundang-undangan dan bahan hukum terkait. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier dianalisis dengan menggunakan instrument teori untuk membahas dan menjawab permasalahan, yang kemudian diharapkan memperoleh kejelasan

dari permasalahan mengenai status hak dari

kios pasar dan bentuk perlindungan hukum

terhadap kreditor selaku pemegang jaminan

berupa kios pasar tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan

jurnal ini adalah sebagai berikut: Apakah

kios pasar bisa dikategorikan sebagai benda

dalam hukum kebendaan yang berlaku di

Indonesia? Dengan tujuan untuk mengetahui

dan menganalisis apakah kios pasar itu bisa

dikategorikan sebagai benda tidak bergerak

dalam hukum kebendaan yang berlaku di

Indonesia.

Pembahasan

Sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang tersebut diatas, jaminan kebendaan pada dasarnya memberikan kedudukan

(7)

yang lebih baik kepada kreditor pemegang

jaminan tersebut daripada kreditor-kreditor lainnya. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah apakah kios

pasar bisa dikategorikan sebagai benda tidak

bergerak dan dijadikan objek jaminan serta

diikat dengan lembaga penjaminan yang ada?

Penulis mencoba menganalisis hal tersebut

satu persatu.

Benda didalam hukum perdata diatur dalam Buku II KUHPerdata, tidak sama dengan benda didalam bidang disiplin ilmu isika, dimana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa). Sedangkan dalam

pengertian hukum perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak/belum ada yang (dapat) memilikinya.

Pengaturan tentang hukum benda dalam

Buku II KUHPerdata ini menggunakan sistem “tertutup”, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak kebendaan selain dari

yang telah diatur dalam undang-undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang

telah ditetapkan.

Deinisi mengenai kebendaan tercantum dalam pasal 499 KUHPerdata sebagai

berikut: “menurut paham undang-undang

yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap

barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.” Dari deinisi tersebut,

ditemukan dua istilah yaitu, kebendaan (zaak) dan barang (goed). Ini berarti istilah “benda”

pengertiannya masih bersifat luas dan abstrak

karena tidak saja meliputi benda berwujud

tetapi juga benda tidak berwujud. Sedangkan

barang mempunyai pengertian yang lebih

sempit karena bersifat konkret dan berwujud artinya dapat dilihat dan diraba. Adapun hak, menunjuk pada pengertian benda yang tidak

berwujud (immaterieel) misalnya,

piutang-piutang atau penagihan-penagihan seperti

piutang atas nama (vordering opnaam),

piutang atas bawa/kepada pembawa

(vordering aan toonder) dan piutang atas

tunjuk (vordering aan order) atau berupa

hak milik intelektual seperti hak pengarang

(auteursrecht), hak paten (octrooirecht) dan

hak merek (merkenrecht).6 Namun berkaitan

dengan istilah benda dan barang, KUHPerdata tidak secara konsekwen membedakannya

karena seringkali mencampuradukkan kedua

pengertian tersebut.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian

terkait dengan pengertian kebendaan dalam

pasal 499 KUHPerdata adalah kata “dapat”

yang tercantum dalam pasal tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kata tersebut mempunyai arti yang penting karena membuka

berbagai kemungkinan yaitu pada saat-saat

tertentu “sesuatu” itu belum berstatus objek hukum, namun pada saat-saat lain merupakan objek hukum, seperti aliran listrik. Adapun untuk menjadi objek hukum harus memenuhi

(8)

syarat-syarat tertentu yaitu, penguasaan manusia, nilai ekonomis dan karenanya dapat dijadikan objek (perbuatan) hukum.7

Unsur yang tidak kalah pentingnya adalah dari deinisi kebendaan mengenai “dikuasai oleh hak milik”, yang mana pengertian hak milik dalam pasal 570 KUHPerdata adalah:

“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau

peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain;

kesemuanya itu dengan tak mengurangi

kemungkinan akan pencabutan hak itu demi

kepentingan umum berdasar atas ketentuan

undang-undang dan dengan pembayaran ganti

rugi.”

Dengan demikian, “sesuatu” dapat dianggap sebagai kebendaan apabila “sesuatu”

itu (pada dasarnya) dapat dikuasai oleh hak

milik. Pengertian dapat menguasai benda itu

dengan sebebas-bebasnya bisa diartikan dalam

dua arti. Pertama adalah dalam arti dapat

memperlainkan (vervreem den), membebani,

menyewakan dan lain-lain yang mana intinya

dapat melakukan perbuatan hukum terhadap

sesuatu benda (zaak). Kedua adalah dalam arti dapat memetik buahnya, memakainya, merusak, memelihara dan lain-lain yang mana

intinya dapat melakukan perbuatan-perbuatan

yang materiil8.

Perumusan mengenai pengertian benda

para sarjana berpendapat dan mengemukakan

pengertian tersebut antara lain sebagai

berikut9:

a. Menurut H.F.A Vollmar, benda dalam

arti dapat diraba atau berwujud adalah

di dalamnya termasuk segala sesuatu yang mempunyai harga, yang dapat ditundukkan dibawah penguasaan

manusia dan yang merupakan suatu

keseluruhan.

b. Menurut Paul Scholten, “zaak is ieder deel

der stofelijke natuur, dat vor uitsluitende

heerschappij van den mensch vatbaar en

voor hem van waarde is en dat door het

recht al seen geheel wordt beschouwd”.

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah:

Benda ialah setiap bagian dari alam

yang berwujud yang semata-mata dapat dikuasai manusia, berharga untuknya dan yang oleh hukum dipandang sebagai satu

kesatuan.

c. Menurut Sardjono, benda adalah segala

sesuatu yang dapat dinilai dengan uang

setidak-tidaknya mempunyai nilai efektif, berdiri sendiri dan merupakan satu keseluruhan, bukan merupakan bagian-bagian yang terlepas satu sama

lainnya.

(9)

Dari pengertian yang dikemukakan para ahli hukum tersebut diatas, “sesuatu” dapat disebut benda jika dapat dikuasai manusia, dapat diraba maupun tidak, dapat dinilai dengan uang atau setidak-tidaknya mempunyai harga perasaan (afeksi) dan merupakan satu kesatuan serta bersifat mandiri.

Benda didalam KUHPerdata di bedakan menjadi beberapa macam, antara lain 10:

a. Benda-benda bertubuh/berwujud (lichamelijke

zaken) dan benda tak bertubuh/tak

berwujud (onlichamelijke zaken) diatur

dalam pasal 503 KUHPerdata.

b. Benda-benda yang jika dipakai dapat

habis (verbruikbaar) dan

benda-benda yang dipakai tidak dapat habis

(onverbruikbaar) diatur dalam pasal 505

KUHPerdata.

c. Benda yang sudah ada (tagenwoordige

zaken) dan benda-benda yang masih aka

nada (toekomstige zaken).

d. Benda di dalam perdagangan (zaken in

de handel) dan benda diluar perdagangan

(zaken buiten de handel).

e. Benda yang dapat dibagi (deelbare zaken)

dan benda-benda yang tidak dapat dibagi

(ondeelbare zaken).

f. Benda-benda yang dapat diganti

(wisseling zaken) dan benda-benda yang

tidak dapat diganti (onwisseling zaken).

g. Benda-benda bergerak (roerend zaken)

dan benda-benda tidak bergerak

(onroerend zaken).

Untuk kebendaan tidak bergerak, menurut pasal-pasal 506, 507 dan 508 KUHPerdata di bagi kedalam tiga golongan, yaitu11:

a. Barang yang bersifat (uit haar aard)

tak bergerak karena sifatnya. Barang ini dapat diklasiikasikan menjadi:

1. Tanah,

2. Segala sesuatu yang bergandengan dengan tanah secara tumbuh disitu, yaitu secara berakar atau bercabang

(wortel of takvast) seperti tanaman-tanaman, buah-buahan yang belum dipetik,

3. Segala sesuatu yang bergandengan

dengan tanah secara didirikan

disitu dengan mempergunakan

tanah (cement) atau paku (aard-of

nagelvast);

b. Barang yang ditujukan supaya menjadi, oleh karena dipakai terus menerus, dengan barang-barang tak bergerak (door bes temming), seperti:

1. Dari suatu pabrik segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat-alat lain, yang dimaksudkan supaya terus menerus

berada disitu untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik,

2. Dalam suatu rumah tempat tinggal, segala kaca, lukisan dan lain-lain yang alat-alatnya untuk menggantungkan barang-barang itu, merupakan bagian dari dinding,

10 Ibid.

(10)

3. Dari suatu perkebunan, segala sesuatu

yang dipergunakan selaku rabuk bagi tanah, burung-burung merpati yang secara besar-besaran dikumpulkan di tanah itu (duivenvlucht), sarang-sarang burung senlowo (eetbare

vogenestjes) selama belum dipetik,

ikan-ikan ditambak.

4. Barang-barang runtuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi

bangunan itu;

c. Beberapa hak-hak atas barang-barang tak bergerak tersebut diatas, seperti:

1. Hak memetik hasil (vruchtgebruik)

atau hak memakai (gebruik),

2. Hak pemilikan pekarangan

terhadap pekarangan tetangga

(erfdienstbaarheden).

3. Hak “opstal” yaitu hak mempunyai

bangunan diatas tanah milik orang

lain.

4. Hak “erfpacht” yaitu hak menguasai

tanah seperti pemilik sendiri dengan

membayar sejumlah uang “canon”

selaku pengakuan hak milik sejati.

5. Hak atas “grondrente” yaitu hasil

tanah dalam wujud buah-buahan atau

uang.

6. Hak menuntut didepan hakim

supaya barang-barang tak bergerak

diserahkan pada penggugat.

Adapun untuk benda bergerak, dalam pasal-pasal 509, 510 dan 511 KUHPerdata digolongkan sebagai berikut 12:

1. Barang-barang yang bersifat bergerak dalam arti, barang-barang itu dapat dipindahkan tempat (verplaatsbaar),

2. Beberapa hak atas barang bergerak,

seperti:

a. Hak memetik hasil (vruchtgebruik) dan hak memakai (gebruik),

b. Hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang;

c. Hak menuntut di depan hakim supaya uang tunai atau barang-barang bergerak diserahkan pada penggugat, d. Saham-saham dari perseroan dagang,

e. Tanda-tanda pinjaman suatu negara, baik negara sendiri maupun negara asing.

Pembedaan-pembedaan tersebut diatas

mempunyai akibat-akibat yang sangat penting

dalam hukum karena berkaitan dengan cara

penguasaan (bezit), penyerahan (levering),

daluwarsa (verjaring) dan pembebanan

(bezwaring) atas benda-benda tersebut,

dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Mengenai bezit misalnya terhadap barang

bergerak berlaku asas seperti yang

tercantum dalam pasal 1977 KUHPerdata

yaitu bezitter dari barang bergerak adalah

sebagai eigenaar dari barang tersebut.

Sedangkan kalau mengenai barang

bergerak tidak demikian halnya.

2. Mengenai levering terhadap benda

bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan nyata, sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan

balik nama.

(11)

3. Mengenai verjaring ini juga berlainan.

Terhadap benda-benda bergerak itu tidak

dikenal verjaring sebab bezit disini sama

dengan eigendom atas benda bergerak itu,

sedang untuk benda-benda tak bergerak

mengenal adanya verjaring.

4. Mengenai pembebanan (bezwaring)

terhadap benda bergerak harus dilakukan

dengan pand sedang terhadap benda

tak bergerak harus dilakukan dengan

pand sedang dan bisa dilakukan dengan

Hipotik13.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, didalam bukunya juga mengatakan betapa pentingnya

membedakan antara zaak dalam hukum benda

dan zaak dalam hukum perikatan. Zaak dalam

hukum benda terhadap itu dapat dilakukan

penyerahan dan umumnya dapat menjadi

objek dari hak milik. Tetapi apabila sesuatu

bukanlah zaak dalam arti demikian, maka itu

tidak berarti bahwa tidak dapat menjadi objek

daripada hukum perutangan. Apakah kamar

atau tingkat kedua (loteng) dari rumah yang

bertingkat itu merupakan suatu zaak sendiri? Jika dianggap sebagai rumah, dan dikatakan bukan zaak tersendiri, maka berarti

bahwa terhadap bagian-bagian tersebut tidak

dapat dilakukan penyerahan; bagian-bagian

itu tidak dapat dijadikan objek dari eigendom.

Sehingga yang dapat dijadikan objek dari

eigendom adalah rumahnya.

Bagian-bagian itu bukan zaak dalam

arti zakenrecht, akan tetapi bagian tersebut

dapat disewakan dengan kata lain dapat

dijadikan objek verbintenis. Bagian-bagian

itu adalah zaak juga tapi dalam lapangan

verbintenissenrecht14.

Dengan demikian yang dimaksud dengan

hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak mutlak

atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan

terhadap siapapun juga15. Jadi hak kebendaan

itu adalah hak mutlak (hak absoluut). Dalam hukum perdata hak mutlak, terdiri atas:16

a. Hak kepribadian, misalnya: hak atas namanya, kehormatannya, hidup, kemerdekaan dan lain-lain.

b. Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yaitu hak-hak yang timbul karena adanya hubungan antara suami isteri, karena adanya hubungan antara orang tua dan anak

c. Hak mutlak atas sesuatu benda, inilah

yang disebut hak kebendaan.

Adapun ciri-ciri dari hak kebendaan, yaitu17:

1. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya

hak ini dapat dipertahankan terhadap

setiap orang. Pemegang hak berhak

menuntut setiap orang yang mengganggu

haknya.

2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak

terbatas.

13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit., hlm. 22-23.

14 Ibid., hlm. 17. 15 Ibid., hlm. 24.

16 Ibid.

(12)

3. Hak kebendaan itu mempunyai hak

yang mengikuti. Artinya hak it uterus

mengikuti bendanya dimana barang itu

berada. Hak it uterus saja mengikuti

orang yang mempunyainya. Jika ada

beberapa hak kebendaan diletakkan atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.

4. Hak kebendaan memberikan wewenang

yang luas kepada pemiliknya. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri.

Di dalam buku II KUHPerdata diatur

adanya macam-macam hak kebendaan. Akan

tetapi dalam membahas macam-macam

hak kebendaan tersebut harus mengingat

berlakunya Undang-undang pokok Agraria

dan harus mengetahui mana hak-hak

kebendaan yang masih ada dan yang sudah

dicabut berlakunya dari Buku II itu. Hak-hak

kebendaan yang sudah dicabut itu tidak lagi

termasuk di dalam lapangan keperdataan

melainkan menjadi objek dari hukum yang

lain yaitu agraria.

Hubungan antara hak kebendaan dengan

lembaga penjaminan yang ada di Indonesia sangat erat sekali, karena dengan melihat hak yang melekat pada suatu benda dapat

menentukan lembaga penjamin yang tepat

untuk mengikat benda yang menjadi objek

jaminan kredit. Lembaga penjaminan di Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu:

1. Gadai

Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, yang dimaksud dengan gadai adalah: “sesuatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang

itu untuk mengambil pelunasan dari barang

tersebut secara didahulukan daripadanya

orang-orang berpiutang lainnya…”

Selanjutnya Pasal 1152 KUHPerdata

mengatur sebagai berikut:

“Hak Gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh pihak kedua.

Tidak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang. Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai.”

Pasal 1153 KUHPerdata mengatur

kemungkinan gadai atas piutang atas nama

sebagai berikut:

(13)

izinnya si pemberi gadai dapat

dimintanya suatu bukti tertulis.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam rangka gadai

adalah sebagai berikut:

a. Obyek yang dapat dijaminkan dengan

gadai adalah berupa benda-benda bergerak, baik yang bertubuh (berwujud) ataupun tidak bertubuh.

b. Benda yang dijaminkan dengan gadai

harus diserahkan kepada kreditur atau

kepada pihak ketiga yang disetujui oleh

para pihak. Benda yang masih dalam

penguasaan si pemberi gadai akan

mengakibatkan perjanjian gadai menjadi

batal demi hukum.

Memperhatikan unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam rangka gadai, penulis berpandangan bahwa kios pasar sangat sulit

diterima sebagai objek yang dapat dijaminkan

dengan gadai.

2. Hipotik

Ketentuan pasal 1162 KUHPerdata

merumuskan pengertian Hipotik sebagai

berikut: “Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi

pelunasan suatu perikatan.”

Dengan kata lain Hipotik adalah hak

kebendaan yang memberi kekuasaan langsung atas benda tak bergerak, yang mana benda itu dapat dijadikan jaminan pelunasan sejumlah

utang.

Adapun obyek yang dapat dijadikan

jaminan hipotik adalah benda-benda tetap/

tidak bergerak dengan mengambil tanah

sebagai pokok dan berdasarkan asas accessie meliputi pula bangunan-bangunan, tanaman-tanaman yang melekat atau tertanam dan

beberapa benda yang lain berdasarkan

peruntukkannya. Lebih jelasnya pasal 1164

KUHPerdata mengatur sebagai berikut: “Yang

dapat dibebani dengan Hipotik hanyalah:

1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya, sekadar yang terakhir ini dianggap sebagai benda tak bergerak;

2. Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut

beserta segala perlengkapannya;

3. Hak menumpang karang dan hak usaha;

4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar

dengan uang maupun yang harus dibayar

dengan hasil tanah dalam ujudnya;

5. Bunga sepersepuluh;

6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah,

beserta hak-hak istimewa yang melekat

padanya.

Namun sejak berlakunya

undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah, ketentuan Hipotik sebagaimana tersebut dalam

Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai

pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas

tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi18.

Selain objek-objek yang dimaksud dalam Buku II KUHPerdata, benda-benda bergerak

(14)

yang karena undang-undang ditetapkan

sebagai benda yang dijaminkan dengan Hipotik, yaitu:

1. Kapal-kapal Indonesia yang berukuran

paling sedikit 20 M3 (dua puluh meter

kubik) isi kotor, yang dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut

ketentuan yang akan ditetapkan dalam

suatu undang-undang19.

2. Pesawat terbang dan helikopter yang

telah mempunyai tanda pendaftaran dan

kebangsaan Indonesia20.

Ketentuan pasal 1168 KUHPerdata

menyebutkan bahwa Hipotik tidak dapat

diletakkan selainnya oleh siapa yang

berkuasa memindahtangankan benda yang

dibebani. Ketentuan ini mensyaratkan adanya

hubungan kepemilikan dan kedudukan

berkuasa untuk memindahkan objek jaminan

hipotik oleh pemberi hipotik. Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa kios pasar tidak dapat

dijadikan objek jaminan hipotik.

3. Hak tanggungan

Hak Tanggungan diatur dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah beserta

Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah

(selanjutnya disebut Undang-undang Hak

Tanggungan). Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Indang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lain.

Adapun hak-hak atas tanah yang dapat

dijaminkan dengan Hak Tanggungan adalah21:

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan; dan

d. Hak Pakai atas tanah negara.

Selain yang disebut diatas, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak

atas tanah yang pembebanannya dengan tegas

dinyatakan di dalam akta pemberian hak

tanggungan yang bersangkutan.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sudah jelas bahwa kios pasar tidak dapat dibebankan dengan Hak

Tanggungan karena kios pasar bukan

merupakan bentuk hak atas tanah.

4. Jaminan idusia

Banyak bank atau kreditor yang

membebankan kios pasar pada lembaga

(15)

penjamin ini, oleh sebab itu penulis merasa perlu untuk menganalisis lebih dalam tentang lembaga penjamin idusia ini terkait jaminan kios pasar yang diterima oleh kreditor.

Pranata jaminan idusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum

Romawi. Pranata ini sebelumnya muncul

atas dasar adanya kebutuhan masyarakat

akan kredit dengan jaminan barang bergerak tanpa (secara isik) melepaskan barang yang dijadikan jaminan.

Fidusia berasal dari kata “Fides”, yang berarti kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan pemberi idusia (debitor) dengan penerima idusia (kreditor) merupakan suatu hubungan hukum yang

berdasarkan atas kepercayaan.22 Pemberi

Fidusia percaya bahwa kreditor penerima idusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitor melunasi hutangnya. Sebaliknya, kreditor juga percaya bahwa pemberi idusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan

yang berada dalam kekuasaannya dan mau

memelihara barang tersebut selaku “bapak rumah yang baik”. Konstruksi idusia yang demikian sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh Asser bahwa:”Orang berbicara mengenai suatu hubungan hukum atas dasar ides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak

atas suatu barang sedang barang itu secara

social ekonomis dikuasai oleh orang lain.”23

Ada dua macam bentuk jaminan idusia yaitu idusia cum creditore dan idusia cum

amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang

disebut pactum iduciae yang kemudia diikuti

dengan penyerahan hak atau in iure cessio.24

Dalam bentuk yang pertama atau

lengkapnya idusia cum creditare contracta

yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan suatu benda

kepada kreditor sebagai jaminan atas utangnya

dengan kesepakatan bahwa kreditor akan

mengalihkan kembali kepemilikan tersebut

kepada debitor apabila utangnya sudah

dibayar lunas25.

Fidusia lahir dalam praktek hukum yang

dituntun oleh yurisprudensi di negeri Belanda

maupun yurisprudensi di Indonesia. Sebagai pranata hukum yang lahir dari praktek, dan tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak terdapat pengaturan dari segi prosedural dan proses. Karena itu, tidak mengherankan jika kewajiban pendaftaran sebagai salah satu mata rantai dari prosedur lahirnya idusia tidak diatur, sehingga tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan idusia.

22 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001), hlm. 113. 23 Nova Faisal, “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15 Maret 2005”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-36, No. 4, (Oktober-Desember 2006): 421.

24 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 114.

(16)

Ketidakadaan kewajiban pendaftaran

tersebut sangat dirasakan dalam praktek

sebagai kelemahan bagi pranata hukum idusia, sebab disamping menimbulkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan idusia tersebut menjadikan jaminan idusia tersebut tidak memenuhi unsure publisitas, sehingga sulit dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya idusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang idusia tanpa sepengetahuan kreditor, dan lain-lain26.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum baru terkait dengan jaminan idusia. Berdasarkan Lembaran Negara nomor 168 tahun 1999, tertanggal 30 September 1999, telah diundangkan di dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-undang Fidusia), yang terhitung sejak saat diundangkannya, maka secara yuridis formal pranata jaminan idusia yang kita kenal selama ini dimasyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dikenal dengan

sebutan “Fiduciaire Eigendoms Overdracht

atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi masuk dalam hukum positif di Indonesia dengan sebutan

Undang-undang Fidusia.

Sebagaimana dijelaskan dalam angka 3 Penjelasan Umum Undang-undang Fidusia,

Undang-undang ini dimaksudkan untuk

menampung kebutuhan masyarakat mengenai

pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah

satu sarana untuk membantu kegiatan usaha

dan untuk memberikan kepastian hukum

kepada para pihak yang berkepentingan. Sebelum undang-undang idusia dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi obyek

Jaminan Fidusia adalah benda bergerak

yang terdiri dari benda dalam persediaan

(inventory), benda dagangan, piutang,

peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini obyek Jaminan

Fidusia diberikan pengertian luas. Hal mana

disebutkan pada Pasal 1 Undang-undang Fidusia, yaitu: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak

dapat dibebani hak tanggungan dan hipotik”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1

Undang-undang Fidusia tersebut diatas dapat diketahui bahwa objek jaminan idusia adalah:

1. Benda bergerak yang meliputi berwujud

dan tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan dan hipotik Mengenai pengaturan benda idusia ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 3

Undang-26 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis-Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGraindo Persada,

(17)

undang Fidusia. Dalam ketentuan mengenai benda idusia juga ditegaskan, bangunan diatas orang lain yang tidak dapat di bebani

dengan hak tanggungan berdasarkan

undang-undang Hak Tanggungan nomor 4 tahun 1996

tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek idusia.

Terhadap benda jaminan idusia ini hal penting yang perlu dicermati adalah menyangkut prinsip dari benda idusia itu sendiri yang mana haruslah merupakan benda milik pemberi idusia dan bukan merupakan benda yang berada dalam status kepemilikan

orang lain.

Dari pengertian tersebut diatas jelaslah

sudah bahwa kios pasar yang di pakai

oleh para pedagang tradisional tidak dapat dibebani idusia jika ditinjau dari pengertian benda dalam Pasal 1 Undang-undang Fidusia

karena kios baik bangunan maupun tanahnya

bukan milik para pedagang akan tetapi

milik pemerintah daerah setempat yang

di pergunakan oleh para pedagang untuk

berjualan berdasarkan ijin tertulis yang bisa berupa Kartu Bukti Pedagang (KBP), Surat Penunjukan Tempat Usaha (SPTU) maupun

Bukti Pemakaian Tempat Usaha (BPTU).

Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit

Security, Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian

hukum itu adalah Sircherkeit des Rechts Selbst ( kepastian tentang hukum itu sendiri), ada empat hal yang berhubungan dengan makna

kepastian hukum:27

a. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa

ia adalah peraturan perundangan

b. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta

(Taatsachen), bukan suatu rumusan

tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”

c. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan

cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah dijalankan.

d. Hukum positif itu boleh sering

berubah-ubah.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan

yang hanya bisa di jawab secara normatif.

Kepastian hukum secara normatif merupakan

suatu peraturan yang dibuat dan diundangkan

secara pasti karena mengatur jelas dan logis.

Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem

norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan dan menimbulkan konlik norma.

Persoalan kepastian hukum masih menjadi

hambatan dalam kegiatan penyelenggaraan

negara dan pembangunan. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas sehingga terjadi multitafsir.

Berdasarkan teori kepastian hukum

menurut Soerjono Soekanto dan Peter Makmud

Marzuki sebagaimana telah disebutkan dan dijelaskan dalam kerangka teori, dimana intinya bahwa kepastian hukum akan

tercapai apabila tersedia aturan-aturan hukum

(18)

yang jelas dan aturan yang bersifat umum

membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Jika

melihat dari pengertian maupun penjelasan

hukum kebendaan bahkan pendapat para

sarjana hukum sekalipun kios pasar belum

bisa dikategorikan sebagai “benda” apalagi

benda tidak bergerak karena seperti yang

telah di jelaskan diatas pengaturan tentang

hukum benda dalam Buku II KUHPerdata

ini menggunakan sistem tertutup dan bersifat

memaksa (dwingend recht).

Dengan kata lain bahwa hubungan

hukum antara pedagang dengan kios

pasar yang dipakainya tidak melahirkan hubungan kebendaan, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara pedagang dengan

bendanya (kios pasar yang dipakainya).

Meskipun pedagang memegang ijin tertulis

dari pemerintah daerah setempat tidak

menyebabkan para pedagang tersebut menjadi

pemilik kios pasar yang dipakainya. Pemberian

ijin tertulis kepada pedagang tersebut tidaklah

memberikan suatu hak kebendaan yang dapat

dipertahankan terhadap setiap orang (droit de

suite).

Terkait kios pasar yang dijadikan objek

jaminan dan diterima sebagai jaminan oleh

kreditor maka akibat hukum yang timbul

adalah kreditor tidak dapat melakukan

pengikatan jaminan terhadap objek kios

pasar tersebut dengan menggunakan lembaga

penjamin apapun karena kios pasar belum

bisa dikategorikan sebagai benda dan hanya

merupakan ijin memakai bangunan saja

dengan kata lain kios pasar bagi pedagang

tidak ada hak pemilikannya.

Simpulan

Kios pasar ditinjau dari hukum

kebendaan belum bisa dikategorikan sebagai

benda karena kios pasar hanya merupakan

ijin memakai bangunan saja tidak dapat

melahirkan hubungan kebendaan meskipun

debitor memiliki ijin berupa surat keterangan

hak pemakaian tempat berjualan dalam bentuk KBP, SPTU, BPTU atau jenis ijin penggunaan kios pasar lainnya dari pemerintah daerah setempat, tetapi tidak secara otomatis akan memberikan suatu hak kebendaan yang

dapat dipertahankan terhadap setiap orang

(droit de suite) karena pengaturan tentang

hukum benda dalam Buku II KUHPerdata menggunakan sistem “tertutup”, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak

kebendaan selain dari yang telah diatur dalam

KUHPerdata tersebut dan sifat dari hukum

benda itu sendiri yang mana bersifat memaksa

(dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang

(19)

Buku

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Kenikmatan Jilid I. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2001.

_________________. Seri Hukum

Bisnis-Jaminan Fidusia. Jakarta: RajaGraindo Persada, 2000.

Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni, 1983.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1985.

Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press, 2006. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata

Tentang Hak Atas Benda. Jakarta: Intermasa, 1979.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang

jaminan idusia.

Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan.

Perda Kabupaten Berau Nomor 13 Tahun 2011

tentang Retribusi Pelayanan Pasar.

Perda Kabupaten Bengkayang Nomor 6 Tahun

2010 tentang Retribusi Pelayanan

Pasar.

Perda Kabupaten Jombang Nomor 25 tahun

2010 tentang Retribusi Pelayanan

Pasar.

Jurnal

Faisal, Nova. “Tinjauan Yuridis Atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan

Angka 2 Surat Edaran Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum

Nomor: C.HT.01.10-22 tanggal 15

Maret 2005”. Jurnal Hukum dan

Pembangunan Tahun Ke-36 No. 4.

(Oktober-Desember 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah penderita GGK yang menjalani hemodialisis di rumah sakit ini pada tahun 2012 sebesar 241.41 penderita, pada tahun 2013 sebesar 15.11 penderita dan pada tahun 2014 sebesar

Gambar 5.14Adegan Rawbertemu dengan dua orang pemuda (Sumber: Screenshot film RAW).. Adegan ini bertujuan untuk menimbulkan rasa “duga” kepada penonton bahwa pelaku bom

Dengan pengamatan terhadap alat ukur yang dikirim melalui WA group, siswa dapat menyatakan satuan panjang yang digunakan, paling sedikit dua satuan baku dengan tepat..

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari pengetahuan perpajakan, modernisasi administrasi perpajakan dan kesadaran Wajib Pajak serta menguji

Dari hasil penelitian ditentukan bahwa 1 orang sampel mendapatkan sampel 80 (Rata-rata 5= Sangat Setuju) bahwa layanan bimbingan kelompok untuk membantu memahami

Dana yang berlebih atau yang menganggur membuat perusahaan memilki tingkat likuiditas yang tinggi, tingkat likuiditas yang tinggi menunjukkan keadaan perusahaan yang baik,

Bahwa Kepemimpinan Paternalistik berupa menganggap bawahan sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, bersikap terlalu melindungi

Setelah materi di atas selkesai dikerjakan, skripsi ini melaporkan bahwa adalah benar dan terbukti bahwa sistem yang sedang berjalan tidak dalam proporsinya (artinya : Tidak