• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak untuk hidup sehat telah ditetapkan secara internasional sebagai hak dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan hanya dalam lingkup pelayanan kesehatan saja, tetapi berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan, seperti kondisi pekerjaan dan lingkungan kerja yang sehat (World Health Organization, 2013). Hak untuk mendapatkan lingkungan kerja yang sehat dan aman membutuhkan penegakan beberapa aspek seperti pencegahan kecelakaan dan timbulnya penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan, serta meminimalisir penyebab penyakit berbahaya di lingkungan kerja (National Economic & Social Right Initiative, 2008). Kesehatan kerja berhubungan dengan seluruh aspek kesehatan dan keselamatan pada tempat kerja dan berfokus pada pencegahan primer dari bahaya (Khan dan Sudha, 2012).

Kesehatan pekerja memiliki beberapa faktor penentu, salah satunya faktor risiko penyakit kanker pada tempat kerja. Penyakit kanker ini dapat berkembang akibat paparan substansi berbahaya yang mampu merusak DNA (Khan dan Sudha, 2012). Jutaan pekerja pada berbagai macam pekerjaan memiliki potensi untuk terpapar substansi berbahaya. Substansi tersebut dapat berada di lingkungan kerja dalam bentuk gas, uap, kabut, atau partikel (Benites dkk., 2006).

Peneliti dari berbagai negara yang berkumpul di International Agency for Research on Cancer (IARC) menemukan empat substansi amina aromatik dan

(2)

2

dua yang berasal dari proses industri sebagai substansi karsinogenik pada manusia dan substansi tersebut didapatkan dari paparan saat bekerja (International Agency for Research on Cancer, 2009). Paparan pada pekerjaan terhadap substansi tersebut meningkatkan risiko genotoksik (Rajkokila dkk., 2010). Beberapa substansi ini dapat menyebabkan perubahan genetik dalam sel somatik pekerja yang terpapar. Perubahan tersebut, jika terjadi pada proto-onkogen atau gen supresor tumor yang terlibat dalam mengendalikan pertumbuhan atau diferensiasi sel, dapat menyebabkan perkembangan kanker (Keshava dan Ong, 1999).

Salah satu contoh pekerjaan dengan risiko terkena paparan zat kimia berbahaya tinggi adalah petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) (Martins dkk., 2009, Celik dkk., 2003). Petugas SPBU terpapar secara kronis terhadap turunan petroleum melalui inhalasi uap bensin ketika pengisian bahan bakar (Rajkokila dkk., 2010). Petugas SPBU yang memompa bensin besar kemungkinan menyerap bukan hanya produk yang terdapat di uap bensin, tetapi juga produk yang dihasilkan kendaraan. Paparan ini dapat meningkatkan risiko perkembangan berbagai macam kanker, seperti saluran kemih, kulit, laring dan kanker hati, serta leukemia (Benites dkk., 2006).

Bensin dan emisi kendaraan merupakan salah satu substansi genotoksik yang sangat dekat dengan kita. Bensin merupakan campuran kompleks hidrokarbon alifatik dan aromatik yang berasal dari pencampuran fraksi minyak bumi dengan zat aditif spesifik (Chilcott, 2007). Salah satu sifat bensin yaitu sangat cepat menguap dan dapat membentuk campuran berdaya ledak tinggi di

(3)

3

udara. Bensin mengandung lebih dari 150 zat kimiawi termasuk sejumlah kecil benzena dan timah (U.S. Department of Health and Human Services, 1995).

Salah satu zat kimia yang terdapat pada bensin adalah benzena. Benzena merupakan cairan mudah terbakar, tidak berwarna, dan memiliki bau aromatik yang khas. Benzena menguap dengan sangat cepat ketika terpapar udara (World Health Organization, 2010; U.S. Department of Health and Human Services, 1995). Umumnya benzena terbentuk dari proses alami seperti vulkanik gunung berapi dan kebakaran hutan, tetapi kebanyakan paparan terjadi akibat aktivitas manusia. Benzena merupakan bagian alami dari minyak bumi, bensin, serta asap pembakaran kendaraan dan rokok (American Cancer Society, 2013).

Paparan benzena ke manusia telah dikaitkan dengan beberapa efek kesehatan dan penyakit akut maupun jangka panjang, termasuk kanker, nonlimfotik leukemia akut, limfotik leukemia akut, limfotik leukemia kronis, multiple myeloma, dan non-hodgkin limfoma (International Agency for Research on Cancer, 2009). Paparan dapat terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan sekitar sebagai hasil dari penggunaan terus-menerus produk minyak bumi yang mengandung benzena, seperti bahan bakar mesin dan pelarut pada industri. Benzena sangat mudah menguap dan terdegradasi secara cepat di atmosfer. Oleh karena itu, jalur paparan paling sering dari benzena adalah melalui inhalasi (World Health Organization, 2010). Selain inhalasi, paparan benzena juga dapat melalui absorpsi kulit maupun pencernaan; meski inhalasi menjadi rute utama paparan (Benites dkk., 2006).

(4)

4

Benzena sebagai penyebab kanker sudah dibuktikan dengan berbagai studi in vivo maupun pada manusia. Keterkaitan antara benzena dan kanker sekarang ini difokuskan pada leukemia dan kanker sel darah lain (American Cancer Society, 2013). Paparan benzena pada lingkungan kerja dapat menyebabkan kelainan kromosom di limfosit periferal manusia sehingga menimbulkan leukemia. Paparan kronis benzena juga dapat mengurangi produksi sel darah merah dan sel darah putih dari sumsum tulang di manusia yang menyebabkan anemia aplastik (World Health Organization, 2010). Oleh karena itu, IARC mengkategorikan benzena sebagai senyawa ‘karsinogenik pada manusia’ (grup 1 atau grup A) berdasarkan berbagai bukti dan studi kasus. Senyawa ini menjadi karsinogenik karena mampu merubah DNA (International Agency for Research on Cancer, 2009).

Setelah melalui inhalasi, substansi karsinogenik akan masuk ke peredaran darah dan dapat berakhir di sel epitel mukosa rongga mulut. Sel epitel berfungsi sebagai barier pertama terhadap partikel yang masuk ke dalam tubuh dan mampu memetabolisme partikel karsinogen menjadi produk reaktif. Sekitar 90% kanker pada manusia berasal dari sel epitel (Morton dan Richard, 2009; Holland dkk., 2008). Hal ini menyebabkan rongga mulut lebih mudah mengalami perubahan patologis. Perubahan patologis tersebut dapat diamati salah satunya pada sel epitel mukosa bukal karena sel ini sangat responsif terhadap kondisi sistemik dan memiliki kecepatan turnover yang tinggi (Borthakur dkk., 2008). Pengujian mikronukleus pada sel bukal telah dilakukan pada berbagai studi dari berbagai negara. (Holland dkk., 2008). Menurut Celik dkk. (2003), pemantauan efek

(5)

5

genotoksik, sitotoksik, indikasi paparan bahan kimia, dan respon toksik dapat dilakukan dengan teknik eksfoliasi sel epitel bukal.

Salah satu perubahan DNA akibat zat genotoksik atau karsinogenik yang dapat dilihat pada sel mukosa adalah mikronukleus. Mikronukleus adalah inti sel kecil yang terbentuk ketika kromosom atau fragmen kromosom tidak mampu bergabung menjadi satu nukleus saat mitosis sel (Grover dkk., 2012). Kegagalan pembagian kromosom ini akan meninggalkan sebuah bangunan yang menyerupai nukleus dan berukuran jauh lebih kecil. Mikronukleus yang terdapat pada lapisan superfisial mukosa bukal dapat kita gunakan sebagai indikator terjadinya mutasi gen. Dengan menggunakan lapisan superfisial mukosa bukal, pengambilan preparat untuk melihat adanya mutasi gen akan menjadi lebih mudah dan tidak perlu melukai probandus seperti pada pengambilan leukosit dan sumsum tulang (Holland dkk., 2008).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara frekuensi mikronukleus dan paparan benzena yang didapat dari SPBU di Turki dan Brazil (Benites dkk., 2006; Celik dkk., 2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada negara Eropa Barat dan Amerika Selatan seperti Turki dan Brazil memiliki tingkat insidensi penyakit kanker oral lebih tinggi dibanding negara-negara di Asia Tenggara (Jemal dkk., 2011). Tidak dapat dipungkiri pula bahwa risiko berbagai penyakit kanker dapat bervariasi akibat perbedaan etnis, ras, serta jenis kelamin. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan paparan pada lingkungan serta perbedaan respon biologis masing-masing individu (Zahm dan Fraumeni, 1995). Selain itu, komposisi bensin pada

(6)

6

setiap negara dapat berbeda satu sama lain juga perlu dijadikan pertimbangan. Pada Turki sendiri batas maksimum level benzena pada bensin yaitu sebesar 5% (Organisation for Economic Co-Operation and Development, 1999), pada Brazil sebesar 1%, sedangkan di Indonesia sendiri sebesar 3% (Safrudin dan Palguna, 2010). Berdasarkan perbedaan insidensi, etnis, serta komposisi bensin pada penelitian sebelumnya, maka diperlukan studi untuk mengamati frekuensi mikronukleus pada petugas SPBU di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan: Bagaimana frekuensi mikronukleus sel epitel mukosa bukal pada petugas pengisi bahan bakar di SPBU Kota Yogyakarta?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitian tentang pengaruh paparan komponen bahan bakar telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut antara lain yang dilakukan oleh Benites dkk. (2006) pada 30 petugas pengisi bahan bakar di Brazil dan Celik dkk. (2003) pada 50 petugas pengisi bahan bakar di Mersin, Turki. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan fakta yang sama yaitu frekuensi mikronukleus sel epitel mukosa oral pada pekerja yang terpapar komponen yang terdapat pada bahan bakar lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol. Penelitian mengenai frekuensi mikronukleus sel epitel mukosa bukal pada petugas

(7)

7

pengisi bahan bakar di SPBU Kota Yogyakarta sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi mikronukleus sel epitel mukosa bukal pada petugas pengisi bahan bakar di SPBU Kota Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian

1. Dari penelitian ini nantinya diharapkan masyarakat menjadi lebih waspada dan mawas diri akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja terutama pekerjaan dengan risiko terpapar bahan kimiawi berbahaya tinggi.

2. Memberikan informasi tentang deteksi dini risiko kanker akibat bahan kimiawi berbahaya melalui perubahan struktur epitel mukosa bukal rongga mulut manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan inklusi keuangan dapat diterapkan melalui pembayaran sosial kelompok miskin, pemberian kredit dengan skema yang compatible 26 Otoritas Jasa Keuangan,

Pengabil kebijakan keuangan takut dengan ancaman hukuman pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang acaman

Sebagai bahan pertimbangan, kami lampirkan proposal Permohonan Bantuan Dana Pembangunan Asrama Putra Yayasan Miftahul Ulum Sindanggalih dengan harapan

sebagai pengurus LMDH yang kompeten dalam bidangnya serta mampu mengelola lembaga dengan baik. Seleksi dilakukan oleh pengurus lama didampingi perwakilan dari Perum

tua, bimbingan belajar, dan tingkat kecerdasan (IQ) dengan kemampuan bina diri bagi siswa tunagrahita di SDLB Pembina Malang. Penelitian ini menggunakan metode survey

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa kadar CRP umumnya meningkat pada penderita appendisitis sederhana (91,7%) dan juga pada penderita appendisitis komplikasi (84,2%);

Berdasarkan pengujian hipotesis, hasil belajar IPA siswa kelas eksperimen dan kontrol menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan data hasil belajar IPA

HOST sebagai tempat yang dimasuki AGENT (kuman2 penyakit) adalah penderita dan personil lain yang bertugas dirumah sakit, misalnya pada kasus menyuntik tadi maka penderita yang